Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang dapat
berakibat fatal dalam waktu yang relative singkat. Penyakit ini tergolong
“susah dibedakan” dari penyakit demam berdarah yang lain.
Penyakit ini dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun orang
dewasa. Penyebab penyakit ini adalah virus dengue, sejenis virus yang
tergolong arbovirus yang masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti betina.
Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia secara
langsung, tetapi dapat ditularkan melalui nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti
betina menyimpan virus dengue pada telurnya, selanjutnya akan menularkan
virus tersebut ke manusia melalui gigitan. Sekali menggigit, nyamuk ini akan
berulang menggigit orang lain lagi sehingga dengan mudah darah seseorang
yang mengandung virus dengue dapat lebih cepat dipindahkan ke orang lain,
yang paling dekat tentuah orang yang tinggal di dalam satu rumah. (Hastuti,
Oktri, 2008)
B. Penularan
1. Fase suseptibel (Rentan)
Fase suseptibel adalah tahap awal perjalanan penyakit dimulai dari
terpaparnya individu yang rentan (suseptibel). Fase suseptibel dari Demam
8
Berdarah Dengue adalah pada saat nyamuk Aedes aegypti yang tidak
infektif kemudian menjadi infektif setelah menggigit manusia yang sakit
atau dalam keadaan viremia (masa virus bereplikasi cepat dalam tubuh
manusia). Nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue
menjadi penular sepanjang hidupnya. Ketika menggigit manusia nyamuk
mensekresikan kelenjar saliva melalui proboscis terlebih dahulu agar darah
yang akan dihisap tidak membeku. Bersama sekresi saliva inilah virus
dengue dipindahkan dari nyamuk antar manusia. (Purnama, Gede S, 2016)
2. Fase Subklinis (Asismtomatis)
Fase subklinis adalah waktu yang diperlukan dari mulai paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut dengan masa inkubasi
(penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit
belum menampakkan tanda dan gejala klinis, atau disebut dengan fase
subklinis (asimtomatis). Masa inkubasi ini dapat berlangsung dalam
hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersensitivitas. (Purnama, Gede S,
2016)
Menurut Lestari (2007) dalam buku Purnama, Gede S (2016), Fase
subklinis dari demam berdarah dengue adalah setelah virus dengue masuk
bersama air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian
memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar getah
bening untuk kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Virus ini
berada di dalam darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan oleh nyamuk.
Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit masih normal selama 3 hari
9
pertama. Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya
akan terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi
sebagai anti gennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-
zat yang merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses
autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat
yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh
darah kapiler. Hal tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah,
antara lain trombosit dan eritrosit. Jika hal ini terjadi, maka penyakit DBD
akan memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan gejala dan tanda
secara klinis adanya suatu penyakit.
3. Fase klinis (proses ekspresi)
Tahap selanjutnya adalah fase klinis yang merupakan tahap ekspresi
dari penyakit tersebut. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala
(symptom) penyakit secara klinis, dan penjamu yang mengalami manifestasi
klinis.
Menurut Lestari (2007) dalam buku Purnama, Gede S (2016), Fase
klinis dari demam berdarah dengue ditandai dengan badan yang mengalami
gejala demam dengan suhu tinggi antara 39-40ºC. Akibat pertempuran
antara antibodi dan virus dengue terjadi penurunan kadar trombosit dan
bocornya pembuluh darah sehingga membuat plasma darah mengalir ke
luar. Penurunan trombosit ini mulai bisa dideteksi pada hari ketiga. Masa
kritis penderita demam berdarah berlangusng sesudahnya, yakni pada hari
keempat dan kelima. Pada fase ini suhu badan turun dan biasanya diikuti
10
oleh sindrom shock dengue karena perubahan yang tiba-tiba. Muka
penderita pun menjadi memerah atau facial flush. Biasanya penderita juga
mengalami sakit kepala, tubuh bagian balakang, otot, tulang dan perut
(antara pusar dan ulu hati). Tidak jarang diikuti dengan muntah yang
berlanjut dan suhu dingin dan lembab pada ujung jari serta kaki.
Menurut Arif dkk (2000) dalam buku Purnama, Gede S (2016),
Tersangka DBD akan mengalami demam tinggi yang mendadak terus
menerus selama kurang dari seminggu, tidak disertai infeksi saluran
pernapasan bagian atas, dan badan lemah dan lesu. Jika ada kedaruratan
maka akan muncul tanda-tandasyok, muntah terus menerus, kejang, muntah
darah, dan batuk darah sehingga penderita harus segera menjalani rawat
inap. Sedangkan jika tidak terjadi kedaruratan, maka perlu dilakukan uji
torniket positif dan uji torniket negatif yang berguna untuk melihat
permeabillitas pembuluh darah sebagai cara untuk menentukan langkah
penanganan selanjutnya.
Dalam buku Purnama, Gede S (2016), Manifestasi klinis DBD sangat
bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi 4 derajat,yaitu:
a. Derajat I: Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan
manifestasi perdarahan spontan satu satunya adalah uji tourniquet
positif.
b. Derajat II: Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan
kulit spontanatau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
c. Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanannadi menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis
11
disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
d. Derajat IV: Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
4. Fase penyembuhan, kecacatan, atau kematian
Menurut Satari (2004) dalam buku Purnama, Gede S (2016), Setelah
terinfeksi virus dengue maka penderita akan kebal menyeluruh (seumur
hidup) terhadap virus dengue yang menyerangya saat itu (misalnya, serotipe
1). Namun hanya mempunyai kekebalan sebagian (selama 6 bulan) terhadap
virus dengue lain (serotipe 2, 3, dan 4). Demikian seterusnya sampai
akhirnya penderita akan mengalami kekebalan terhadap seluruh serotipe
tersebut.
Menurut Lestari (2007) dalam buku Purnama, Gede S (2016), Tahap
pemulihan bergantung pada penderita dalam melewati fase kritisnya.Tahap
pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau transfer trombosit.
Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka pada hari keenam dan
ketujuh penderita akan berangsur membaik dan kembali normal pada hari
ketujuh dan kedelapan, namun apabila penderita tidak dapat melewati masa
kritisnya maka akan menimbulkan kematian.
C. Faktor Resiko Lingkungan yang berpengaruh
Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui konsep segitiga
epidemiologi. Faktor tersebut adalah agent (agen), host (manusia),
Environment (lingkungan). Timbulnya penyakit DBD bisa disebabkan oleh
12
ketidakseimbangan antara faktor host (manusia) dengan segala sifatnya
(biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis), adanya agent sebagai penyebab
dan environment (lingkungan) yang mendukung. (Purnama, Gede S, 2016)
1. Pembawa Penyakit (Agent)
Agent adalah sesuatu yang bila ada atau tidak ada akan
menimbulkan penyakit. Agent yang menyebabkan demam berdarah
dengue tentunya adalah nyamuk Aedes aegypti. Hanya nyamuk betina
yang dapat menggigit dan menularkan virus dengue. Nyamuk ini
umumnya menggigit di siang hari (09.00-10.00) dan sore hari (16.00-
17.00). Nyamuk ini membutuhkan darah karena darah merupakan sarana
untuk mematangkan telurnya 1,5 Virus Dengue yang ditularkan oleh
nyamuk ini sendiri bersifat labil terhadap panas (termolabil) ada 4 tipe
virus yang menyebabkan DBD, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4. Masing-masing virus dapat dibedakan melalui isolasi virus di
laboratorium. Infeksi oleh salah satu tipe virus dengue akan memberikan
imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang
akan datang. Namun, hanya memberikan imunitas sementara dan parsial
pada infeksi tipe virus lainnya. Bahkan beberapa penelitian mengatakan
jika seseorang pernah terinfeksi oleh salah satu virus, kemudian terinfeksi
lagi oleh tipe virus lainnya, gejala klinis yang timbul akan jauh lebih berat
dan seringkali fatal. Kondisi ini yang menyulitkan pembuatan vaksin
terhadap DBD. (Purnama, Gede S, 2016)
13
Ekologi Dan Bionomika Nyamuk
a. Telur
Telur diletakkan satu persatu pada permukaan yang basah tepat
diatas batas permukaan air. Sebagian besar nyamuk Ae. Aegypti
betina meletakkan telurnya di beberapa sarang selama satu kali
siklus gonotropik. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48
jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu embrionasi
selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari
satu tahun). Telur akan menetas pada saat penampungan air penuh ,
tapi tida semua telur akan menetas pada waktu yang sama. Kapasitas
telur untuk menjalani masa pengeringan akan membantu
mempertahankan kelangsungan spesies ini selama kondisi iklim
buruk.
b. Larva dan pupa
Larva akan menjalani empat tahapan perkembangan. Lamanya
perkembangan larva akan bergantung pada suhu, ketersediaan
makanan, kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi optimum,
waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan
nyamuk dewasa akan berlangsung paling sedikit selama 7 hari,
termasuk dua hari untuk masa menjadi pupa, akan tetapi pada suhu
rendah, mungkin akan dibutuhkan beberapa minggu untuk
kemunculan nyamuk dewasa.
c. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa akan kawin dan nyamuk betina yang sudah dibuahi
14
akan menghisap darah dalam 24-36 jam. Darah merupakan sumber
protein yang esensial untuk mematangkan telur.
Perilaku Nyamuk Aedes Aegypti
a. Perilaku makan
Aedes Aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan
hewan berdarah panas lainnya, sebagai hewan diurnal, nyamuk
betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi
hari beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari selama
beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas menggigit yang
sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim. Jika masa
makannya terganggu, Aedes Aegypti dapat menggigit lebih dari satu
orang. Perilaku ini semakin memperbesar efisiensi penyebaran
epidemic. Dengan demikian, bukan hal yang luar biasa jika
beberapa angota keluarga yang sama mengalami awitan penyakit
yang terjadi dalam 24 jam, memerlihatkan bahwa mereka terinfeksi
nyamuk infeksi yang sama. Aedes Aegypti biasanya tidak menggigit
di malam hari tetapi menggigit saat malam di kamar yang terang
b. Perilaku istirahat
Aedes Aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan
tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk kamar tidur,
kamar mandi, kamar kecil, maupun dapur. Nyamuk ini jarang
ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau tempat terlindung
lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka suka
15
adalah di bawah funitur, benda yang tergantung seperti baju, korden
serta di dinding.
c. Jarak terbang
Penyebaran Nyamuk Aedes Aegypti, betina dewasa dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah,
tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi
kemunculan. Akan tetapi, penelitian terbaru Puerto Rico
menunjukan bahwa nyamuk dapat menyebar lebih dari 400 meter
terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi pasif dapat
berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam penampungan.
d. Lama Hidup
Nyamuk Aedes Aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya
delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih
panjang, resiko penyebaran virus semakin besar. Dengan demikian,
diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkaji survival alami
Aedes Aegypti dalam berbagai kondisi lingkungan. (WHO, 2001)
2. Pejamu (host)
Pejamu (host) artinya adalah kelompok yang dapat terserang
penyakit ini. Dalam kasus penyakit yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk ini, tentu ada beberapa hal yang mempengaruhi pejamu (host) ini
mudah terserang penyakit DBD ini, diantaranya.
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang kurang menyebabkan tindak lanjut yang
16
terkadang salah dan lambat. Masyarakat perlu diberikan penyuluhan
khusus mengenai sosok penyakit DBD itu sendiri lebih dini. Ada
kriteria klinis yang perlu diketahui oleh masyarakat terlebih di daerah
endemik. Sehingga diharapakan masyarakat dapat menindak lanjuti
kasus DBD ini lebih dini dan prevalensi penderita dapat ditekan.
b. Sikap dan Perilaku
Perilaku manusia yang menyebabkan terjangkitnya dan
menyebarnya DBD khususnya diantaranya adalah mobilitas dan
kebiasaan masyarakat itu sendiri. Mobilitas, saat ini dengan semakin
tingginya kegiatan manusia membuat masyarakat untuk melakukan
mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Dan hal ini yang
mempercepat penularan DBD. Kebiasaan, kebiasaan yang dimaksud
adalah sebagaimana masyarakat di Indonesia cenderung memiliki
kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti
menampung air hujan, menampung air dibak mandi dan keperluan
lainnya, yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti. Kebiasaan lainnya adalah mengumpulkan barang-barang
bekas dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3 M PLUS.
(Purnama, Gede S, 2016)
3. Lingkungan (Environment)
Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan yang memudahkan
terjadinya kontak dengan agent.
1. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik ada bermacam-macam misalnya tata rumah, jenis
17
kontainer, ketinggian tempat dan iklim.
a. Jarak antara rumah
Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah
ke rumah lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah
nyamuk menyebar kerumah sebelah menyebelah. Bahan-bahan
pembuat rumah, konstruksi rumah, warna dinding dan pengaturan
barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut
disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk.
b. Macam kontainer
Termasuk macam kontainer disini adalah jenis/bahan kontainer,
letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup dan asal air
mempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.
c. Ketinggian tempat
Pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap syarat-syarat
ekologis yang diperlukan oleh vektor penyakit. Di Indonesia
nyamuk Ae. aegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada
daerah dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut
d. Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik, yang
terdiri dari : suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan
kecepatan angin
e. Suhu udara
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi
metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun
18
sampai dibawah suhu kritis. Rata-rata suhu optimum untuk
pertumbuhan nyamuk adalah 25ºC - 27ºC. Pertumbuhan nyamuk
akan terhenti sama sekali bila suhu kurang 10ºC atau lebih dari
40ºC.
f. Kelembaban udara
Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
keadaan rumah menjadi basah dan lembab yang memungkinkan
berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit.
g. Curah hujan
Hujan berpengaruh terhadap kelembaban udara dan tempat
perindukan nyamuk juga bertambah banyak.
h. Kecepatan angin
Kecepatan angin secara tidak langsung berpengaruh pada
kelembaban dan suhu udara, disamping itu angin berpengaruh
terhadap arah penerbangan nyamuk.
i. Lingkungan Sosial
Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan
menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan
membersihkan TPA, kebiasaan membersihkan halaman rumah,
dan juga partisipasi masyarakat khususnya dalam rangka
pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan resiko
terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di dalam
masyarakat. (Purnama, Gede S, 2016)
19
D. Pola Epidemiologis
1. Interaksi Virus-Pejamu
Untuk memahami berbagai situasi epidemiologis yang muncul, penting
untuk mengenali beberapa aspek dasar interaksi virus-pejamu. Aspek-
aspek tersebut meliputi :
Infeksi dengue tidak jarang menimbulkan kasus ringan pada anak
Infeksi dengue pada orang dewasa sering menimbulkan gejala,
yang infeksi tersebut : pada beberapa epidemic rasio kesakitan
yang tampak hampir mencapai 1. Akan tetapi, beberapa strain virus
mengakibatkan kasus yang sangat ringan pada anak maupun orang
dewasa yang sering tidak dikenali sebagai kasus dengue dan
menyebar tanpa terlihat di dalam masyarakat.
Infeksi primer maupun sekunder dengue pada orang dewasa
mungkin menimbulkan pendarahan gastrointestinal yang parah
begitu juga kasus peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Contoh, tahun 1988 di Taiwan, banyak orang dewasa yang
mengalami pendarahan yang berat yang dihubungkan dengan
DEN-1 juga mengalami penyakit ulkus peptikum.
Siklus Penularan
Vektor : Aedes aegypti, spesies Aedes (Stegomyla) lain
Masa Inkubasi ekstrinsik berlangsung 8-10 hari
Infeksi virus dengue pada manusia disebabkan oleh gigitan nyamuk
Masa inkubasi intrinsik skitar 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari)
20
Viraemia tampak sebelum awitan gejala dan berlangsung selama
rata-rata lima hari setelah awitan
Penularan vertikal dapat terjadi, yang mungkin penting bagi
kelangsungan hidup virus, tetapi tidak dalam siklus epidemic
2. Faktor-Faktor Risiko pada DHF
Infeksi sekunder dengue merupakan faktor risiko untuk DHF, termasuk
juga antibodi-pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan faktor risiko
untuk terkena DHF, tidak semua tipe liar virus berpotensi menimbulkan
epidemic atau menakibatkan yang parah. Terakhir usia pasien dan
genetic pejamu juga termasuk faktor risiko terhadap DHF. Walaupun
DHF dapat dan memang menyerang orang dewasa, kebayakan kasusnya
ditemukan pada anak-anak usia kurang dari 15 tahun, dan bukti tidak
langsung memperlihatkan bahwa kelompok di masyarakat justru lebih
rentan terhadap sindrom pecahnya pembuluh darah daripada kelompok
lainnya. (WHO, 2001)
E. Upaya Pencegahan
Tahapan pencegahan yang dapat diterapkan untuk menghindari
terjadinya fase suseptibel dan fase subklinis atau yang sering disebut dengan
fase prepatogenesis ada dua, yaitu:
1. Health Promotion
a. Pendidikan dan Penyuluhan tentang kesehatan padamasyarakat.
b. Memberdayakan kearifan lokal yang ada (gotong royong).
c. Perbaikan suplai dan penyimpanan air.
21
d. Menekan angka pertumbuhan penduduk.
e. Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan
pemerintah.
2. Specific protection
a. Abatisasi
Menurut Ndesul dalam buku Penyakit Berbasis Lingkungan,
Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-
cuma kepada seluruh rumah, terutama diwilayah yang endemis DBD
semasa musim penghujan. Tujuannya agar kalau sampai menetas,
jentik nyamuknya mati dan tidak sampai terlanjur menjadi nyamuk
dewasa yang akan menambah besar populasinya. (Purnama, Gede S,
2016)
b. Fogging focus (FF).
Menurut Widoyono dalam buku Penyakit Berbasis Lingkungan,
Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida
(malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1
RW per 400 rumah per 1 dukuh. (Purnama, Gede S, 2016)
c. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan sekali,
dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan.
Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara random atau
metodespiral (dengan rumah ditengah sebagai pusatnya) atau metode
zig-zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik
atau House Index (HI). (Purnama, Gede S, 2016)
22
d. Penggerakan PSN
Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi
atau WC, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti
gentong air atau tempayan, mengubur atau menyingkirkan barang-
barang bekas yang dapat menampung air hujan serta mengganti air vas
bunga, tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya
untuk melakukan PSN DBD. (Purnama, Gede S, 2016)
e. Pencegahan gigitan nyamuk
Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian kawat
kasa, menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar,
oles), dan tidak melakukan kebiasaan beresiko seperti tidur siang, dan
menggantung baju. (Purnama, Gede S, 2016)
Pencegahan yang dilakukan pada fase klinis dan fase penyembuhan
atau yang sering disebut dengan tahap patogenesis ada tiga,yaitu:
a. Early Diagnosis dan Prompt Treatment
Dalam Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Konsep ini
mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara dini
dengan metode antigencapture (NS1 atau non-structural protein)
untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa
dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam, hingga virus
hilang pada hari ke sembilan. Setelah diketahui ada nya virus,
penderita diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD.
23
Menurut Widoyono dalam buku Penyakit Berbasis Lingkungan,
Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada tahap
Early Diagnosis dan Prompt Treatment antara lain sebagai berikut:
1) Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis) yaitu kegiatan
mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks
kasus) untuk mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik
dalam radius ± 100 m dari rumah indeks.
2) Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari
penderita lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus
segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk ke Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) terdekat.
3) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui jumlah leukosit.
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengantisipasi terjadinya
leukopenia.
b) Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul
pada infeksi virus). Jika terjadi peningatan, mengindikasikan
dalam waktu kurang lebih 24 jam penderita akan bebas demam
dan memasuki fasekritis.
c) Menurut Satari dalam buku Penyakit Berbasis Lingkungan,
Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi
penurunan jumlah keduanya, mengindikasikan penderita DBD
memasuki fase kritis dan memerlukan perawatan ketat di
rumah sakit.
24
b. Disability Limitation
Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk
menghilangkan gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan
suatu penyakit. Dampak dari penyakit DBD yang tidak segera
diatasi, antara lain:
1) Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma
merembes keluar dari pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di
antara selaput paru (pleura) juga terjadi penumpukan. Pada anak-
anak sering terjadi bendungan cairan pada selubung paru-
parunya (pleural effusion).
2) Menurut Nadesul dalam buku Penyakit Berbasis Lingkungan,
Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat
terjadi kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya
akan terjadi kejulingan atau bisa juga terjadi peradangan pada
tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea yang berakhir dengan
gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa menyisakan
kelumpuhan atau gangguan saraf lainnya.
Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan pengobatan dan
perawatan. Obat- obatan yang diberikan kepada pasien DBD hanya
bersifat meringankan keluhan dan gejalanya semata. Obat demam,
obat mual, dan vitamin tak begitu besar peranannya untuk
meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian
cairan atau tranfusi darah, tranfusi sel trombosit, atau pemberian
cairan plasma. (Purnama, Gede S, 2016)
25
c. Rehabilitation
Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue,kadang-
kadang orang menjadi cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut
kadang-kadang diperlukan latihan tertentu. Oleh karena kurangnya
pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak akan segan
melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu orang
yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk
kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau
menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh
sebab itu, pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang
yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan pada
masyarakat. Rehabilitasi pada penderita DBD yang mengalami
kelumpuhan saraf mata yang menyebabkan kejulingan terdiri atas:
1 Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh
perbaikan fisik semaksimal-maksimalnya. Misalnya dengan
donor mata agar saraf mata dapat berfungsi dengan normal
kembali.
2 Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat
menyesuaikan diri dalam hubungan perorangan dan sosial secara
memuaskan. Seringkali bersamaandengan terjadinya cacat
badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan mental.
Untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan bimbingan
kejiwaan sebelum kembali ke dalam masyarakat.
3 Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita
26
menempati suatu pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat
dengan kapasitas kerja yang semaksimal- maksimalnya sesuai
dengan kemampuan dan ketidakmampuannya.
4 Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan
rasa keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat
tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan misalnya dengan
menggunakan mata palsu. (Purnama, Gede S, 2016)
F. Dominan Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus
atau rangsangan dari luar oranisme (orang), namun dalam memberikan respons
sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang
bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang,
namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respons
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan ini
dapat dibedalan menjadi dua, yakni
1. Determinan atau faktor internal, yaitu karakteristik orang yang
bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat
kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor
lingkungan ini sering merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku
seseorang.
27
Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah totalitas
penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama atau
resultant antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dengan
perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai
bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi
pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga dominan sesuai
dengan tujuan pendidikan. Bloom menyebutnya ranah atau psikomotor. Dalam
perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan yakni :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan dominan yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior)
Tingkat pengetahuan di dalam dominan kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam dominan kognitif mempunyai
enam tingkatan.
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkayan ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan
28
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebeb itu,
tahu ini merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain
dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyertakan, dan
sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan
kalori dan protein pada balita.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek dan materi harus dapatmenjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa
harus makan-makanan yang bergizi.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam
konteks atau situaai yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus
statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat
menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem
solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus
yang diberikan.
29
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-kompoenen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisi ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, menggelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan utuk
menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas,
dapat menyesuaikan. Dan sebagainya terhadap suatu teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-
penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang di tentukan sendiri,
atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. misalnya, dapat
membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang
kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya diare disuatau tempat.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian
30
atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita
ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas.
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus objek. Beberapa batasan lain tetang
sikap ini dapat dikutipkan sebagai berikut
“An individual’s social attitude is a syndrome of response
consistency with regard to social object” (Campbell, 1950)
“Attitude entails an existing predisposition to reponse to social
obecs which in interaction with situational and other dispositional
variables, guides and direct the overt behavior of the individual”
(Cardno, 1955)
Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi
sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku. Sikap itu merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi
terbuka atau tingah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek.
31
Diagram dibawah ini dapat lebih menjelaskan uraian tersebut.
Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi
Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi
a. Komponen pokok sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai tiga komponen pokok.
1. Kepercayaaan (keyakinan), ide, dan konesp terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini.
Pengetahuan, pikiran, keyakinan, emosi memegang peranan penting.
b. Berbagai tingkatan sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan
1. Menerima (receiving)
Stimulus
Rangsangan
Proses
Stimulus
Reaksi
Tingkah Laku
(Terbuka)
Sikap
(Tertutup)
32
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap
orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian
orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2. Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab suatu
pertanyaan atau mengerjakan tugasyang diberikan, terlepas dari
pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang
menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya
seorang ibu yang mengajak ibu yang lain untuk pergi
menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang
gizi, adalah suatu bukti bahwasi ibu tersebut telah mempunyai
sikap positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggungjawab (responsible)
Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Misalya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun
mendapatkan tantagan dari mertua atau orang tuanya sendiri.
33
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau
pertanyaan responden terhadap suatu objek. Misalnya, bagaimana
pendapat anda tentang pelayanan dokter di rumah sakit cipto? Secara
langsung dapat dinyatakan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis,
kemudian ditanyakan pendapat responden. Misalnya apabila rumah
ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan posyandu? Atau, saya
akan menikah apabila saya sudah berumur 25 tahun (sangat setuju,
tidak setuju, sangat tidak setuju).
3. Praktik atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwuju dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,
antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi
harus mendapatkan konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi
yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya,
disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor pendukung (support)
dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua, dan
lainnya. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan.
1. Respons terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh merupakan indicator praktik tingkat pertama.
Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari
34
cara mencuci dan memotong-motongnya, lamanya memasak, menutup
pancinya, dan sebagainya.
2. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat kedua. Misalnya, seorang ibu yang
mengimunisasikan bayinya pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu
perintah atau ajakan orang lain.
3. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih
dan memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan
yang murah dan sederhana.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,
hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara
langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
Pengukuran praktik (overt behavior) juga dapat diukur dari hasil perilaku
tersebut. Misalnya perilaku hygiene perorangan (personal hygiene) dapat
diukur dari kebersihan kulit, kuku, rambut dan sebagainya. (Notoatmojo,
2012)
35
G. Perubahan Perilaku dan Pendidikan Kesehatan
Intervensi terhadap faktor perilaku ini sangat strategis. Intervensi
terhadap faktor perilaku secara garis besar dapat dilakukan melalui dua upaya
yang saling bertentangan. Masing-masing upaya tersebut mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Kedua upaya tersebut dilakukan melalui :
1. Paksaan (Coertion)
Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mengadopsi perilaku
kesehatan dengan tekanan, paksaan dan koersi (coertion). Upaya ini bisa
secara tidak langsung dalam undang-undang atau peraturan-peraturan (low
enforcement), intruksi-intruksi, dan secara langsung melalui tekanan-
tekanan (fisik dan nonfisik), sanksi-sanksi, dan sebagainya. Pendekatan
atau cara ini biasanya menimbulkan dampak yang lebih cepat terhadap
perubahan perilaku. Tetapi pada umumnya perubahan atau perilaku baru ini
tidak langgeng (sustainable), karena perubahan perilaku yang dihasilkan
dengan cara ini tidak didasari oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi
terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan.
2. Pendidikan (Education)
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku
kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan
informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya, melalui kegiatan yang
disebut pendidikan atau promosi kesehatan. Memang dampak yang
ditimbulkan dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat, akan
memakan waktu lama dibandingkan dengan cara koersi. Namun demikian,
36
bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, maka akan langgeng,
bahkan selama hidup dilakukan.
Dalam rangka pembinaandan peningkatan perilaku kesehatan
masyarakat, tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) klebih
tepat dibandingkan dengan pendekatan koersi. Dapat disimpulkan bahwa
pendidikan atau promosi kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau
upaya yang ditunjukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif
untuk kesehatan. Dengan perkataan lain, promosi kesehatan mengupayakan
agar perilaku individu, kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh
positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Agar intervensi
atau upaya tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu
dilakukan diagnosa atau analisis terhadap masalah perilaku tersebut.
Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep
Lawrence Green (1980). Menurut Green perilaku dipengaruhi oleh tiga
faktor utama, yaitu :
a) Faktor Predisposisi (Predisposing factors)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaiatan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat,
tingkat pendidikan, tingkat sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ikhwal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan,
misalnya pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil, diperlukan
pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa
kehamilan baik untuk kesehatan ibu sendiri maupun janinnya.
37
Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai
masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa
kehamilan. Misalnya, orang hamil tidak boleh disuntik (periksa
kehamilan termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena
suntikan bisa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang
positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor
pemudah.
b) Faktor Pemungkin (enabling factors)
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat
pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan
yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan
kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu,
polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta, dan
sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana
dan prasarana pendukung. Misalnya perilaku pemeriksaan kehamilan.
Ibu hamil yang masuk periksa kehamilan tidak hanya karena ia tahu
dan sadar manfaat periksa kehamilan melainkan ibu tersebut dengan
mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa kehamilan,
misalnya puskesmas, polindes, bidan praktik, ataupun rumah sakit.
Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan
terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor
pendukung atau faktor pemungkin. Kemampuan ekonomi pun juga
merupakan faktor pendukung untuk berperilaku sehat.
38
c) Faktor pendorong (reinforcing factors)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat
(Toma), tokoh agama (Toga), sikap dan perlaku para petugas termasuk
petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-
peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait
dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang
bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas
saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan para petugas, lebih-lebih para petugas
kesehatan. Disamping itu undang-undang juga dilakukan untuk
memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti perilaku periksa
kehamilan, dan kemudahan memperoleh fasilitas periksa kehamilan.
Juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang
mengharuskan ibu hamil melakukan periksa kehamilan. (Notoatmodjo,
2012)
39
H. Kerangka Teori
Menurut Lawrence Green (1980) dalam buku Promosi Kesehatan dan Perilaku
Kesehatan Notoatmodjo (2012), berdasarkan uraian tinjauan pustaka maka
dapat dilihat kerangka teoritis sebagai berikut :
I.
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Keturunan
Pelayanan
Kesehatan
Perilaku
Status Kesehatan Lingkungan
Predisposing Factors
(pengetahuan, sikap,
kepercayaan,
pendidikan, tradisi,
nilai, dsb)
Enabling Factors
(ketersediaan sumber-
sumber/fasilitas)
Reinforcing Factors
(sikap dan perilaku
petugas, peraturan
UU dll)
Komunikasi
(Penyuluhan)
Edukasi
Pemberdayaan
Masyarakat
(Pemberdayaan
Sosial)
Training
Advokasi, dll
Promosi Kesehatan
40
K. Kerangka Konsep
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Kejadian
DBD
Predisposing
Factors :
1. Jenis Kelamin
2. Umur
3. Pendidikan
4. Pengetahuan
5. Sikap
Perilaku
41
L. Definisi Operasional
Tabel 2.1
Definisi Operasional
No. Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Keterangan
1. Jenis Kelamin Jenis kelamin
Penderita/ mantan
penderita saat
menderita penyakit
DBD
Wawancara Kuesioner 1. Laki-Laki
2. Perempuan
Ordinal
2. Umur Satuan waktu
responden dari lahir
sampai dengan ulang
tahun terakhir.
Wawancara Kuisoner 1. < 1 tahun
2. 1-5 tahun
3. 6-7 tahun
4. 8-15 tahun
5. 16-23 tahun
6. 23-40 tahun
7. 41-55 tahun
8. > 55 tahun
Oridinal Bila
responden
berumur
dibawah ≤ 17
Tahun maka
dilakukan
wawancara
terhadap
orang tua
responden
3. Pendidikan Pendidikan yang
sedang dijalani
ataupun pernah
diikuti oleh
responden
Wawancara Kuesioner 0. Tidak tamat SD
1. Tamat SD
2. Tamat SMP
3. Tamat SMA
4. Tamat PT
5. Lainya
Ordinal
42
4. Pengetahuan Segala sesuatu yang
diketahui responden
mengenai DBD
Wawancara Kuesioner 1. Baik
2. Sedang
3. Kurang
Ordinal
5. Sikap Tanggapan atau
reaksi responden
mengenai DBD
Wawancara Kuesioner 1. Baik
2. Sedang
3. Kurang
Ordinal
6. Perilaku Kebiasaan sehari-
hari responden
sehubung dengan
DBD
Observasi Cheklis 1. Baik
2. Sedang
3. Kurang
Ordinal
43
L. Cara Ukur
1. Pengetahuan
Pengetahuan diukur melalui 11 pertanyaan dengan pengkategorinya
menggunakan prosedur yang dijelaskan Prof. Azwar dalam buknya Azwar
(2012), responden yang menjawab benar maka akan diberi nilai 1
sedangkan jika salah maka akan diberi nilai 0. Sehingga skor tertingginya
adalah 11.
Selanjutanya dikategorikan baik, sedang, dan kurang sebagai berikut
a. Baik, apabila responden mengetahui sebagian besar atau seluruhnya
tentang DBD. (x > Mean + Std. Deviation) sehingga skore jawabannya
( x > 10)
b. Sedang, apabila responden mengetahui sebagian tentang DBD. (Mean
- Std. Deviation ≤ x ≤ Mean + Std. Deviation) sehingga skore
jawabannya (8 ≤ x ≤ 10 )
c. Kurang, apabila responden mengetahui sebagian kecil tentang DBD. (x
< Mean - Std. Deviation) sehingga skore jawabannya ( x < 8 )
2. Sikap
Sikap diukur melalui 12 pertanyaan dengan pengkategorinya
menggunakan prosedur yang dijelaskan Prof. Azwar dalam buknya Azwar
(2012), responden yang menjawab benar maka akan diberi nilai 1
sedangkan jika salah maka akan diberi nilai 0. Sehingga skor tertingginya
adalah 12.
Selanjutanya dikategorikan baik, sedang, dan kurang sebagai berikut
44
a. Baik, apabila responden mempunyai skore jawaban (x > Mean + Std.
Deviation) sehingga skore jawabannya ( x > 11)
b. Sedang, apabila responden mengetahui sebagian tentang DBD. (Mean
- Std. Deviation ≤ x ≤ Mean + Std. Deviation) sehingga skore
jawabannya (9 ≤ x ≤ 10 )
c. Kurang, apabila responden mengetahui sebagian kecil tentang DBD. (x
< Mean - Std. Deviation) sehingga skore jawabannya ( x < 9 )
3. Perilaku
Perilaku diukur melalui 13 pertanyaan dengan pengkategorinya
menggunakan prosedur yang dijelaskan Prof. Azwar dalam buknya Azwar
(2012), responden yang menjawab benar maka akan diberi nilai 1
sedangkan jika salah maka akan diberi nilai 0. Sehingga skor tertingginya
adalah 13.
Selanjutanya dikategorikan baik, sedang, dan kurang sebagai berikut
d. Baik, apabila responden mempunyai skore jawaban (x > Mean + Std.
Deviation) sehingga skore jawabannya ( x > 12)
e. Sedang, apabila responden responden mempunyai skore jawaban
(Mean - Std. Deviation ≤ x ≤ Mean + Std. Deviation) sehingga skore
jawabannya (8 ≤ x ≤ 12 )
f. Kurang, apabila responden mempunyai skore jawaban. (x < Mean -
Std. Deviation) sehingga skore jawabannya ( x < 8 )