Upload
ngothien
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
1. Pengertian PHT
Saat ini dikenal ada dua istilah Bahasa Inggris yang sering
digunakan secara bergantian untuk pengendalian hama terpadu yaitu
Integrated Pest Control (IPC) yang kita terjemahkan sebagai
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Integrated Pest
Management (IPM) yang kita terjemahkan sebagai Pengelolaan Hama
Terpadu dengan singkatan yang sama PHT. Sebetulnya kedua istilah
dapat kita gunakan untuk menjelaskan hal yang sama. Kalau dilihat dari
sejarah perkembangan konsepsi pengendalian terpadu maka IPM
merupakan perkembangan yang lebih lanjut dari konsepsi IPC. Saat ini
dunia pergaulan ilmiah internasional istilah IPC sudah ditinggalkan dan
yang digunakan adalah istilah IPM (Untung, 1996: 7).
Konsep PHT bukan sesuatu yang baru karena jauh sebelumnya
tahun 1959 baik di Amerika maupun di Indonesia praktek pengendalian
hama sudah di coba untuk menggunakan dasar pertimbangan ekologi dan
ekonomi. Konsep PHT muncul akibat kesadaran umat mabusia akan
bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup
ekosistem dan kehidupan manusia secara global, sedangkan kenyataan
yang terjadi bahwa penggunaan pestisida oleh petani di dunia dari tahun
ke tahun semaknin meningkat (Untung, 1996: 7-8).
9
Semula yang menjadi perhatian para ahli adalah bagaimana agar
dalam usaha mengendalikan hama oleh para petani tidak hanya
menggunakan pengendalian kimiawi tetapi juga pengendalian hayati.
Mula-mula pada tahun 1956 Barlett menyodorkan konsepsi yang dia
sebut sebagai Integrated Control atau pengendalian Terpadu sebagai
penggabunan antara pengendalian kimiawi dan pengendalian hayati.
Konsep ini kemudian diperkuat dan dilengkapi oleh Stern dan teman-
temannya dari Universitas California pada tahun 1959 yang kemudian
terkenal dengan konsepsi Integrated Pest Control atau Pengendalian
Hama Terpadu (PHT). Menurut mereka penggunaan pestisida hanya di
lakukan apabia populasi hama meningkat dan berada di atas suatu aras
(tingkat) populasi hama yang mereka namakan sebagai Ambang Ekonomi
(AE). Apabila populasi hama masih berada dibawah AE tidak perlu di
adakan pengendalian kimiawi karena pada saat itu pengendalian hama
mampu dilakukan secara alami oleh kompleks musuh alami hama yang
meliputi predator, parasitoid, dan patogen hama. Dengan cara ini maka
perpaduan antara pengendalian kimiawi dan hayati dapat dilaksanakan
(Untung, 1996: 8).
Konsepsi PHT yang semula hanya mengikutsertakan dua metode
atau teknik pengendalian kemudian dikembangkan dengan memadukan
semua metode pengendalian hama yang dikenal, termasuk didalamnya
pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik, pengendalian secara
bercocok tanam, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi dan
10
pengendalian hama lainnya. Dengancara ini ketergantungan petani
terhadap pestisida yang biasa menjadi cara pengendalian hama utama
dapat dikurangi. Dilihat dari segi operasional pengendalian hama dengan
PHT dapat kita artikan sebagai penendalian hama yang memadukan
semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa sehingga
populasi hama dapat tetap berada di bawah Ambang Ekonomi. Dengan
keadaan Populasi hama yang rendah usaha budidaya tanaman lain untuk
meningkatkan produktivitas tanaman tidak akan terhambat oleh gangguan
hama tanaman (Untung, 1996: 8-9).
Secara prinsip dari sekian banyak definisi PHT tidak banyak
perbedaannya hanya masing-masing ahli memberikan memberikan
penekanan pada aspek-aspek tertentu dari PHT. Sebagai contoh Smith
(1978) menyatakan PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat
multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan
beraneka ragam taktik pengendalian secara kompatibel dalam suatau
kesatuan koordinasi pengelolaan. Bottrell (1979) menekankan bahwa
PHT adalah pemilihan, perpaduan dan penerapan pengendalian hama
yang didasarkan pada perhitungan dan penaksiran konsekuensi-
konsekuensi ekonomi, ekologi, dan sosiologi. Sedangkan Kenmore (1989)
memberikan definisi singkatan PHT sebagai perpaduan yang terbaik.
Yang dimaksud dengan perpaduan terbaik disini adalah perpaduan dengan
menggunakan berbagai metode pengendalian hama yang dapat
memperoleh hasil yang terbaik yaitu stabilitas produksi pertanian,
11
kerugian seminimal mungkin bagu manusia dan lingkungan, serta petani
memperoleh penghasilan yang maksimal dari usaha taninya (Untung,
1996: 9).
Dari definisi-definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa PHT tidak
hanya mencakup pengertian tentang perpaduan beberapa teknik
pengendalian hama, tetapi dalam penerapannya PHT harus
memperhitungkan dampaknya baik yang bersifat ekologis, ekonomis, dan
sosiologis sehingga secara keseluruhan kita memperoleh hasil yang
terbaik. Oleh karena itu PHT dalam perencanaan, penerapan dan
evaluasinya harus mengikuti suatau sistem pengelolaan yang
terkoordinasi dengan baik (Untung, 1996: 9).
2. Mengapa Harus PHT ?
Ada banyak faktor yang mendorong untuk menerepkan PHT secara
nasional terutama dalam rangka program pembangunan nasonal
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Berikut akan disampaikan
bebrapa faktor yang mengharuskan untuk menerapkan PHT di Indonesia
untuk semua jenis komoditas pertanian.
a. Kegagalan pemberantasan hama konvensional
Samapai saat ini masih banyak pentani dan masyarakat pada
umumnya yang mengartikan pengendalian hama sama dengan
penggunaan pestisida. Apabila diketahui bahwa tanaman yang di
usahakan rusak karena terserang hama maka petani akan langsung
mencari pestisida untuk di semprotkan pada tanamannya. Demikian
12
juga yang mereka lakukan apabila diketahui bahwa pada tanaman nya
terdapat kerumunan serangga tanpa memperhitungkan apakah
serangga tersebut serangga yang merugikan atau serangga yang
bermanfaat. Kekhawatiran petani terhadap akan datangnya serangan
hama menyebabkan mereka melakukan tindakan pencegahan dengan
melakukan penyemprotan pestisida pada pertanamannya secara
terjadwal artinya pada waktu tertentu atau pada tingkatan tumbuhan
tertentu. Metode pengendalian semacam ini masih banyak i
rekomendasikan oleh para ahli dan para petugas Dinas yang belum
menyadari dan mengerti tentang PHT (Untung, 1996: 10).
b. Kesadaran akan kualitas lingkungan hidup
Pestisida sebagai bahan beracun termasuk bahan pencemar yang
berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu
sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan maka residu
yang di tinggalkan di lingkungan yang menjadi masalah. Dari banyak
hasil monitoring residu yang dilaksanakan oleh laboratorium-
laboratorium universitas, lembaga-lembaga penelitian, dan dinas-
dinas pemerintah ditunjukkan bahwa saat in residu pestisida hampir di
temukan disetiap tempat di lingkungan sekitar kita. Residu pestisida
telah ada di dalam tanah, di air minum, air sungai, makanan sehari-har
yang kita konsumsi seperti sayuran dan buah-buahan. Meskipun kadar
residu pestisida yang ditemukan masih belum membahayakan bagi
kesehatan menurut ukuran WHO namun temuan-temuan tersebut
13
merupakan ndikasi bahwa penggunaan pestisida bagaimanapun perlu
dikendalkan. Apabila tidak di kendalikan semakin lama akan terjadi
akumulasi kandungan pestisida d ilingkungan yang dapat mencapai
kadar yang mebahayakan.
Kesadaran akan perlunya kualitas lingkungan hidup yang tinggi
dari masyarakat, pemerintah dan masyarakat dunia ini yang
mendorong dan mengharuskkazn kita untuk segera menerapkan PHT
karena dengan PHT penggunaan pestisida dapat ditekan sekecil-
kecilnya (Untung, 1996: 14-15).
B. Pestisida Nabati
1. Pengertian Pestisida Nabati
Pestisida Nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktekkan 3 abad yang lalu. Pada tahun 1690,
petani di Perancis telah menggunakan perasaan daun tembakau untuk
mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Tahun 1800, bubuk
tanaman pirethrum digunakan untuk mengendalikan kutu. Penggunaan pestisida
nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif lebih
murah apabila dibandingkan dengan pestisida sintetis (Sudarmo,2005).
Menurut Kardinan (2002), karena terbuat dari bahan alami/nabati maka
jenis pestisida ini bersifat mudah terurai di alam jadi residunya singkat sekali.
Pestisida nabati bersifat “pukul dan lari” yaitu apabila diaplikasikan akan
membunuh hama pada waktu itu dan setelah terbunuh maka residunya cepat
menghilang di alam. Jadi tanaman akan terbebas dari residu sehingga tanaman
14
aman untuk dikonsumsi. Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati
dapat membunuh atau menganggu serangga hama dan penyakit melalui cara kerja
yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal.
Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik yaitu :
1. merusak perkembangan telur, larva, dan pupa
2. menghambat pergantian kulit
3. menganggu komunikasi serangga
4. menyebabkan serangga menolak makan
5. menghambat reproduksi serangga betina
6. mengurangi nafsu makan
7. memblokir kemampuan makan serangga
8. mengusir serangga (Repellent)
9. menghambat perkembangan patogen penyakit
Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang
merupakan poduksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan dari serangan OPT. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan
yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida.
Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida
maka akan membantu masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang
ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada
disekitarnya (Kardinan, 2002).
2. Fungsi Pestisida Nabati :
1. Penghambat nafsu makan (antifeedant)
15
2. Penolak (repellent)
3. Penarik (attractant)
4. Penghambat perkembangan
5. Pengaruh langsung sebagai racun
6. Pencegah peletakkan telur (Glio, 2015: 56).
Bagian tanaman yang dapat digunakan untuk membuat pestisida nabati
diantaranya daun, biji, buah, dan akar. Bahan-bahan tersebut dapat diolah menjadi
berbagai macam bentuk. Untuk pestisida nabati biasanya berbentuk cairan
umumnya berupa ekstrak, minyak, dan pasta. Sementar itu, apabila bentuknya
padat dapat berupa tepung atau abu (Glio, 2015: 56).
Efektivitas bahan-bahan alami yang digunakan sebagai pestisida nabati
sangat tergantung pada jenis tumbuhan yang digunakan. Jika ada satu jenis
tumbuhan yang sama, tetapi berasal dari daerah yang berbeda dapat menghasilkan
efek yang berbeda. Pasalnya, sifat bioaktif atau sifat racun dari bahan sangat
tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman, dan varietas tumbuhan (Glio,
2015: 57).
3. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Pestisida Nabati
a. Kelebihan
1. Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT yang telah kebal terhadap
pestisida sintetis
2. Mampu mengurai cepat dengan bantuan sinar matahari
3. Memiliki efek yang cepat untuk menghentikan nafsu makan
serangga, tetapi tidak membunuhnya.
16
4. Toksisitas rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman pada
manusia
5. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun lambung dan
syaraf) dan bersifat selektif
6. Fitotoksisitas rendah sehingga tidak meracuni dan merusak
tanaman
7. Murah dan mudah dibuat oleh petani (Glio, 2015: 58).
b. Kekurangan :
1. Cepat terurai sehingga aplikasi pestisida nabati harus sering
dilakukan
2. Daya racunnya rendah sehingga tidak langsung mematikan
serangga
3. Memiliki efek lambat dibandingkan dengan pestisida sintetis
4. Kapasitas produksi pestisida nabati masih rendah dan belum dapat
diproduksi secara besar
5. Bahan tanaman untuk pestisida nabati belum banyak
dibudidayakan secara intensif
6. Ketersediaan ditoko-toko pertanian masih terbatas
7. Kurang praktis dan tidak tahan disimpan dalam wantu yang lama
(Glio, 2015: 58).
C. Kriteria Tanaman yang Berpotensi sebagai Pestisida Nabati
Menurut Suryaningsih (2004) Kriteria pestisida nabati yang "baik" antara
lain adalah :
17
1. Toksisitas terhadap jasad bukan sasaran nol atau rendah.
2. Biotoksin memiliki lebih dari satu cara kerj a, daya persistensi
tidak terlalu singkat.
3. Diekstrak dari tanaman sumber yang mudah diperbanyak, tahan
terhadap kondisi suboptimal, diut amakan tanaman tahunan, tidak
akan jadi gulma atau inang alternatif OPT.
4. Tanaman sumber sedapat mungkin tidak atau kurang berkompetisi
dengan tanaman yang diu sahakan.
5. Tanaman sumber tersebut dapat berfungsi multiguna.
6. Biotoksin sudah efektif di bawah konsentrasi 10 ppm, secara
praktikal sekitar 3 - 5% bobot kering bahan.
7. Sedapat mungkin solven/pelarutnya adalah air.
8. Bahan baku pestitani dapat digunakan baik dalam kondisi segar,
kering dan pengkondisian sederhana lainnya.
9. Teknologi pestitani tidak bertentangan, bahkan berakar pada
teknologi tradisional, mudah dimengerti dan sederhana.
10. Teknologi pestitani tidak menimbulkan masalah baru, terjangkau
biayanya, bahan baku mudah didapat, kontinyu pasokannya.
Apabila pestisida nabati seperti di atas ditemukan dan
penggunaannya praktis untuk petani, maka dampak negatif aplikasi
pestisida sintetik dapat dihindari serta ditambah dengan manfaat-
manfaat lainnya, baik dari aspek ekonomi, sosial maupun ekologi.
18
D. Penggolongan Pestisida Nabati Berdasarkan Cara Kerjanya
Penjelasan mengenai cara kerja pestisida nabati tidak selalu mudah karena
cara kerja pestisida nabati dapat dilihat dari beberapa sudut yang berbeda. Namun,
beberapa aspek cara kerja pestisida nabati sangat penting untuk diketahui oleh
para pengguna (petani) supaya tidak salah dalam pemilihan dana penggunaan.
Menurut cara kerja atau gerakkan nya pada tanaman setelah diaplikasikan,
pestisida nabati secara kasar di bedakan menjadi tigga macam sebagai berikut.
1. Pestisida Nabati Sismetik
Pestisida nabati sismetik diserap oleh organ-organ tanaman,
Baik lewat akar, batang atau daun. Selanjutnya, pestisida nabati sismetik
tersebut mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan
kebagian-bagian tanman lainnya, baik ke atas (akropetal) atau kebawah
(basipetal) (Djojosumarto, 2000: 41)
2. Pestisida Nabati Nonsismetik
Pestisida nabati setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan pada
tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya
menempel dibagian luar tanaman. pestisida nabati nonsismetik sering
disebut pestisida nabati kontak. Namun istilah itu sebenarnya kurang
begitu tepat. Istilah kontak lebih tepat digunakan bagi cara kerja pestisida
nabati yang berhubungan dengan cara masuknya ke dalam tubuh serangga
(Djojosumarto, 2000: 42).
19
3. Pestisida Nabati Sismetik Lokal
Pestisida nabati sismetik lokal adalah kelompok pestisida nabati
yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak di
translokasikan ke bagian tanaman lainnya. Termasuk kategori ini adalah
pestisida nabati berdaya kerja translaminar atau pestisida nabati yang
mempunyai daya penetrasi ke dalam jaringan tanaman (Djojosumarto,
2000: 42).
E. Cara Masuk Pestisida Nabati ke Dalam Tubuh Serangga Sasaran
Menurut cara masuknya pestisida nabati ke dalam tubuh serangga sasaran
di bedakan menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut.
1. Racun Perut
Pestisida nabati memasuki tubuh serangga melalui saluran
pencernaan makanan (perut). Serangga terbunuh bila pestisida nabati
tersebut termakan oleh serangga (Untung, 1996: 198). Menurut
Djojosumarto (2008: 42) pestisida nabati yang benar-benar murni racun
perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan pestisida nabati mempunyai efek
ganda, yakni sebagai racun perut dan racun kontak, hanya ada perbedaan
kekuatan antara keduanya. Ada yang pestisida nabati yang kontaknya
lebih kuat daripada racun perutnya, demikian sebaliknya.
2. Racun Kontak
Pestisida nabati memasuki tubuh serangga bila serangga
mengadakan kontak dengan pestisida nabati atau serangga berjalan di atas
permukaan tanaman yang telah mengandung pestisida nabati. Disini
20
pestisida nabati masuk kedalam tubuh serangga melalui dinding tubuh
(Untung, 1996: 199), menurut Djojosumarto (2008: 43) racun kontak juga
berperan sebagai racun perut.
3. Racun Pernapasan
Racun pernapasan adalah pestisida nabati yang bekerja lewat
saluran pernaapasan. Serangga hama akan mati bila menghirup pestisida
nabati dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas,
atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau
menghasilkan gas dan diapalikasikan sebagai fumigansia. Ada pula
pestisida nabati, baik racun kontak atau racun perut, yang mempunyai
efek sebagai fumigansia (Djojosumarto, 2008: 43).
F. Hama Plutella xylostella
1. Klasifikasi
Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella) menurut Kalshoven (1981)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Spesies : Plutella xylostella L.
21
2. Morfologi
Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah tropis dan
daerah subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan hanya di daerah
pegunungan tetapi saat ini sudah menyebar sampai di dataran rendah. P. xylostella
memiliki kisaran inang yang luas. Banyak jenis kubis, sawi dan beberapa tanaman
silangan lainnya, termasuk Raphanaus sativius (lobak). Ulat kubis banyak
memakan daun muda dan daun tua. Jenis kerusakan oleh ulat kubis ini sangat
khas: daun menampilkan jendela putih tidak teratur, jarang lebih besar dari 0,5 cm
yang kemudian memecah ke lubang bentuk (Kalshoven, 1981). Menurut
Rukmana (1994) gejala serangan oleh hama Plutella xylostella adalah daun
berlubang-lubang kecil dan jika serangan berat tinggal tulang-tulang daunnya saja.
Bila ulat Plutella tersentuh, akan menggeliat lalu menjatuhkan diri dengan alat
bantu benang sutera yang dibentuknya. Serangan yang berat dan hebat biasanya
terjadi pada musim kemarau.
Stadium telur antara 3-6 hari. Larva instar pertama setelah keluar dari telur
segera menggerek masuk ke dalam daging daun. Instar berikutnya baru keluar dari
daun dan tumbuh sampai instar keempat. Pada kondisi lapangan, perkembangan
larva dari instar I-IV selama 3-7; 2-7; 2-6; dan 2-10 hari. Larva atau ulat
mempunyai pertumbuhan maksimum dengan ukuran panjang tubuh mencapai 10-
12 mm. Panjang pupa bervariasi sekitar 4,5-7,0 mm dan lama umur pupa 5-15 hari
(Hermintato, 2010).
Larva P. xylostella berukuran kecil, sekitar 0,33 inci ketika tumbuh penuh.
Tubuh larva melebar di bagian tengah dan meruncing ke arah anterior dan
22
posterior dengan dua proleg pada segmen terakhir (posterior) membentuk huruf-
V. Ketika terganggu, larva bergerak panik atau cepat menempel pada garis sutra
menuju daun. Larva sebagian besar makan daun luar atau daun tua baik pada
tanaman tua maupun titik-titik tumbuh tanaman muda. Larva juga akan memakan
tangkai bunga dan kuncup bunga (Kalshoven, 1981).
P. xylostella mengalami empat kali perubahan bentuk yaitu telur, ulat,
kepompong dan ngengat. Stadium telur 3-4 hari, ulat 12 hari, pupa 6-7 hari, dan
ngengat 20 hari. Telur P. xylostella berbentuk bulat memanjang, dengan ukuran
panjang 0,49 mm dan lebar 0,26 mm. Telur diletakkan pada permukaan bawah
daun atau pada permukaan atas daun (Pracaya, 2005).
Larva P. xylostella terdiri atas empat instar. Larva instar ke-1 berukuran
sangat kecil, panjangnya sekitar 1 mm. Larva tersebut berwarna putih kekuning-
kuningan dengan kepala berwarna kehitaman. Lama hidup instar ke-1 dan instar
ke-2 berkisar antara 1-2 hari. Larva instar ke-3 berwarna hijau, panjang tubuhnya
sekitar 3 mm. Lama hidup instar ke-3 berkisar antara 1-2 hari. Larva instar ke-4
berwarna hijau tua menyerupai warna daun yang dimakan. Pada akhir instar ke-4,
larva membuat kokon yang berwarna putih sebagai pelindung sehingga tampak
seperti jala dan berbentuk silinder pada permukaan bawah daun (Muchlis, 1993).
Menurut Hermintato (2010) serangga dewasa atau ngengat berbentuk
ramping, berwarna coklat-kelabu. Sayap depan bagian dorsal memiliki corak khas
seperti berlian, sehingga hama ini terkenal dengan nama ngengat punggung
berlian (diamondback moth). Nama lain dari serangga tersebut adalah ngengat
23
tritip dan ngengat kubis (cabbage moth). Ngengat memakan sari bunga dan
merupakan penerbang yang lemah serta sering terlihat pada waktu senja.
Gambar 1. Siklus Hidup P.xylostella
Sumber: Haperidah Nunilahwati-WorldPress.com
G. Kerusakan yang ditimbulkan oleh Hama Plutella xylostella
Plutella xylostella menyerang daun, tetapi tidak memakan urat daun.
Biasanya mereka memakan daging daun dan kulit arinya tidak dimakan sehingga
daun kelihatan ada bercak-bercak putih. Bila serangan hebat, maka daun-daun
yang diserang tersebut kelihatan putih (hama bodas). Larva akan memakan
permukaan daun yang mengakibatkan bagian epidermis (kulit ari) daun menjadi
kering. Sehingga daun akan terlihat berlubang. Apabila serangannya hebat, daun-
daun yang diserang hanya tinggal tulang daunnya saja (Praca, 2008: 89).
Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama-hama ini adalah dengan merusak daun
dan pucuk sehingga tanaman tidak dapat membentuk krop (Sembel, 2010: 212).
24
Faktor-faktor yang menyebabkan tanaman terserang hama (Pracaya, 2008:
14-15)
1. Kesuburan tanah dan kesuburan tanaman. Bila tanahnya subur dan
cukup mengandung unsur hara, maka dengan sendirinya tanaman
menjadi subur dan sehat. Apabila terlalu banyak atau kekurangan
unsur hara, maka tanaman akan mudah terserang oleh hama.
2. Serangan hama dan penyakit: serangan hama dan penyakit akan
bertambah dengan bertambahnya zat-zat larut dalam air serta dalam
sel-sel tanaman. Sebab, umumnya hama dan penyakit memakan zat-zat
yang larut dalam air seperti zat-zat gula, asam-asam amino dan
lainnya.
H. Tanaman Jarak Cina
Gambar 2. Tanaman Jarak cina
Sumber: khasiat-manfaat-tanamanobat.blogspot.co.id
1. Klasifikasi Jarak Cina
Tanaman Jarak Cina menurut Cronquist (1981: 739) mempunyai
klasifikasi sebagai berikut :
25
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha multifida Linn
2. Morfologi Jarak Cina
Tanaman Jarak cina merpakan tanaman menahun dan termasuk tumbuhan
semak atau pohon kecil yang mempunyai akar tunggang. Tinggi tanaman 6 m,
mempunyai batang yang bulat, berkayu dan berbulu. Batang tanaman ini sangat
besar dan memiliki cairan yang disebut getah di bagian pangkal batang hingga
keseluruhan tanaman. Batang ini berwarna kehijauan muda hingga hijau tua,
batang ini diperkiraan memiliki panjang mencapai 2 – 5 meter bahkan lebih.Daun
tanaman ini adalah daun tunggal dengan bentuk persegi memanjang berbentuk
hati dengan warna hijau muda. Daun ini biasanya terletak di bagian pangkal
batang dan juga batang lainnya. Daun ini juga memiliki panjang 15 -20 cm dan
dengan lebar 2,5 -4 cm yang terdapat pertulangan daun yang menjari dan juga
memiliki bagian tepi yang rata. Daun ini juga digunakan untuk fotosintesis pada
tanaman klorofil tersebut, yang akan membantu membuat cadangan makanan
sendiri agar tetap tumbuh dan berkembang, tangkai daun berukuran 10-25 cm.
Tanaman ini mempunyai bunga majemuk yang berbentuk malai. Bunga ini
memiliki tangkai dan muncul di bagian cabang tanaman. panjang tangkai bunga
26
sendiri sekitar 1,5 cm. Batang bunga jarak cina berwarna hijau dan berwarna
coklat jika sudah tua, sedangkan bunganya berwarna merah. Benang sari bunga
berjumlah delapan dan kepala sari berbentuk seperti tapak kuda yang disertai
putik bunga berjumlah tiga dan memiliki ukuran pendek. Tanaman jarak cina
mempunyai biji yang berbentuk bulat. Biji ini berwarna putih ketika muda dan
setelah tua, biji berubah warna menjadi coklat. Buah tanaman jarak cina berbentuk
bulat oval atau elips dengan diameter sekitar 2 sampai 4 cm (Susiarti S, 1999:
326-327).
3. Habitat
Jarak cina ditanamn sebagai tanaman hias di Australia utara dan Afrika
tenggara, terdapat pula di Filipina dan Srilanka terutama Pulau Jawa dan Sulawesi
(Sabandar). Jarak cina hidup pada iklim tropis dengan curah hujan tahunanekitar
944 dan 3121 mm. Tanaman ini mudah tumbuh liar di sekitar pekarangan rumah.
Tanaman ini dapat tumbuh di tempat yangkurang subur asalkan pH tanah nya 6-7
dan darinase nya baik, sebab akar jarak cina tidak tahan dengan genangan air.
Jarak cina merupakan tanaman perdu yang tumbuh pada ketinggian 0-800 m di
atas permukaa laut, tinggi tanaman mencapai 2-3 m (Haryanto 2009: 230).
4. Kandungan kimia
Bagian tumbuhan jarak cina yang dapat dimanfaatkan sebagai agen
pestisida nabati adalah bagian batang tumbuhan. Batang Jarak cina mengandung
alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin (Suharmiati, 2005). Alkaloid pada
serangga bertindak sebagai racun perut. Alkaloid dapat mendegradasi
membransel untuk masuk ke dalam dan merusak sel. Selain itu, alkaloid juga
27
bekerja dengan mengganggu sistem kerja saraf larva dan menghambat kerja
enzim asetilkolinesterase (Cania, 2012). Menurut Endah dan Heri (2000) bahwa
fungsi dari senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, glikosida dan terpen dapat
menghambat daya makan larva (antifeedant) cara kerja senyawa-senyawa tersebut
adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh akrena
itu, apabila senyawa-senyawa tersebut masuk kedalam tubuh serangga, alat
pencernaan akan terganggu.
I. Tanaman Sawi Caisim
Gambar 3. Tanaman Sawi
Sumber: hewantumbuhan.com
1. Deskripsi dan klasifikasi Sawi Caisim
Caisim (Brassica juncea L.) merupakan tanaman semusim, berbatang
pendek hingga hampir tidak terlihat. Daun Caisim berbentuk bulat panjang serta
berbulu halus dan tajam, urat daun utama lebar dan berwarna putih. Daun caisim
ketika masak bersifat lunak, sedangkan yang mentah rasanya agak pedas. Pola
pertumbuhan daun mirip tanaman kubis, daun yang muncul terlebih dahulu
menutup daun yang tumbuh kemudian hingga membentuk krop bulat panjang
yang berwarna putih. Susunan dan warna bunga seperti kubis (Sunarjono, 2004).
28
Adapun klasifikasi tanaman Sawi menurut Plantamor (2011)adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Brassicaceae (suku sawi-sawian)
Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea L.
Di Indonesia dikenal tiga jenis sawi yaitu : sawi putih atau sawi jabung,
sawi hijau dan sawi huma. Sawi putih ( B. Juncea L. Var. Rugosa Roxb. &
Prain) memiliki batang pendek, tegap dan daun lebar berwarna hijau tua, tangkai
daun panjang dan bersayap melengkung ke bawah. Sawi hijau, memiliki ciri-ciri
batang pendek, daun berwarna hijau keputih -putihan, serta rasanya agak pahit,
sedangkan sawi huma memiliki ciri batang kecil-panjang dan langsing, daun
panjang-sempit berwarna hijau keputih-putihan, serta tangkai daun panjang dan
bersayap (Rukmana, 1994).
Manfaat tanaman caisim/sawi adalah daunnya digunakan sebagai sayur
dan bijinya dimanfaatkan sebagai minyak serta pelezat makanan. Tanaman
caisim/sawi banyak disukai karena rasanya serta kandungan beberapa vitaminnya.
29
Pada daun sawi 100 gr terkandung 6460 IU Vitamin A, 102 mg Vit B, 0,09 mg
Vit C, 220 mg kalsiu m dan kalium (Arief, 1990).
2. Morfologi Tanaman Sawi Caisim
Seperti tanaman yang lainnya, tanaman sawi mempunyai bagian-bagian
seperti akar, batang, daun, buah dan biji.
a. Akar
Sistem perakaran tanaman sawi memiliki akar tunggang (radix
primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang
(silindris) menyebar kesemua arah dengan kedalaman antara 30 - 50
cm. Akar- akar ini berfungsi antara lain mengisap air dan zat makanan
dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman (Heru
dan Yovita, 2003).
b. Batang
Batang tanaman sawi pendek sekali dan beruas- ruas sehingga hampir
tidak kelihatan. Batang ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan
penopang daun (Rukmana, 2002).
c. Daun
Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Pada
umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga sukar
membentuk krop (Sunarjono, 2004).
Tanaman sawi umumnya mudah berbunga dan berbiji secara alami baik di
dataran tinggi maupun di dataran rendah. Stuktur bunga sawi tersusun dalam
tangkai bunga yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap
30
kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun
mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah
putik yang berongga dua (Rukmana, 2002 ).
3. Kandungan gizi pada sawi serta manfaatnya
Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat - zat gizi
yang cukup lengkap sehingga apabila dikonsumsi sangat baik untuk
mempertahankan kesehatan tubuh. Kandungan gizi setiap 100 g bahan yang dapat
dimakan pada sawi hijau adalah :
Tabel 1. Kandungan gizi setiap 100 g sawi
No Komposisi Jumlah
1 Kaori 22,00 k
2 Protein 2,30 g
3 Lemak 0,30 g
4 Karbohidrat 4,00 g
5 Serat 1,20 g
6 Kalsium (Ca) 220,50 mg
7 Fosfor (P) 38,40 mg
8 Besi (Fe) 2,90 mg
9 Vitamin A 969,00 SI
10 Vitamin B1 0,09 mg
11 Vitamin B2 0,10 mg
12 Vitamin B3 0,70 mg
13 Vitamin C 102,00 mg
Sumber: Direktorat Gii, Departemen Kesehatan RI, 1979
4. Jenis-Jenis Tanaman Sawi
Secara umum tanaman sawi biasanya mempunyai daun lonjong, halus,
tidak berbulu, dan tidak berkrop (Haryanto, 2003: 9).
31
a. Sawi Putih atau sawi jabung
Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat karena memiliki rasa yang paing enak
diantara sawi jenis lainnya. Tanaman ini dapat dibudidayakan
ditempat kering. Bila sudah dewasa jenis sawi ini memiliki daun yang
lebar dan berwarna hijau tua. Tangkainya panjang, tetapi lemas dan
halus. Batangnya pendek, tetapi tegap dan bersayap.
Beberapa varietas sawi putih di antaranya rugosa roxb dan prain.
Kedua varietas ini berasal dari luar negeri, tetapi cocok untuk
ditanam di Indonesia pada daerah dengan ketinggian 500-1000 m dpl
(Haryanto, 2003).
b. Sawi hijau atau sawi asin
Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi
sebagai bahan sayur segar karena rasanya agak pahit. Namun,
rasa pahit pada daun sawi hijau dapat dihilangkan dengan cara
pengasinan. Masyarakat umumnya mengolah nya terlebih dahulu
menjadi sawi asin sebelum digunakan untuk campuran aneka
masakan. Sawi asin yang sudah jadi biasanya berwarna hijau
cokelat kebasahan.
Sawi hijau berukuran lebih kecil dibandingkan sawi jabung
atau sawi putih. Daun sawi jenis ini juga lebar seperti daun sawi
putih, tetapi warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek,
tetapi tegap. Tangkai daunnya agak pipih, sedikit berkilau, tetapi
32
kuat. Varietas sawi hijau banyak dibudidayakan dilahan yang
kering, tetapi cukup pengairannya (Haryanto, 2003).
c. Sawi huma
Disebut sawi huma karena jenis ini akan tumbuh baik jika
ditanam ditempat-tempat yang kering, seperti tegalan dan huma.
Tanaman ini biasanya ditanam setelah usai musim penghujan
karena sifatnya yang tidak tahan terhadap genangan air.Sawi
huma daunnya sempit, panjag, dan berwarna hijau keputih-
putihan. Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma
berbatang kecil, tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang
seperti bersayap (Haryanto, 2003).
d. Caisim atau sawi bakso
Caisim atau sawi bakso (ada juga yang menyebutnya sawi
cina) merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan
dikalangan konsumen. Tangkai daunnya panjang, langsing, dan
berwarna putih kehijauan. Daunnya lebar memanjang, tipis, dan
berwarna hijau. Rasanya yang renyah dan segar dengan sedikit
sekali rasa pahit, membuat sawi ini bayak diminati (Haryanto,
2003).
e. Sawi keriting
Sesuai namanya, ciri khas sawi ini adalah daunnya keriting.
Bagian daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai
daun. Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang
33
keriting, jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa
(Haryanto, 2003).
f. Sawi monumen
Sawi monumen tumbuhnya tegak dan berdaun kompak.
Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai
daunnya berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun
yang juga berwarna putih. Daunnya berwarna hijau segar. Jenis
sawi ini tergolong terbesar dan terberat diantara sawi lainnya
(Haryanto, 2003).
5. Media Tanam Sawi
Media tanam berfungsi sebagai tempat melekatnya akar, juga sebagai
penyedia hara bagi tanaman Agoes (1994). Campuran beberapa bahan untuk
media tanam harus menghasilkan struktur yang sesuai karena setiap jenis media
mempunyai pengaruh yang berbeda bagi tanaman. Sejalan dengan pendapat
Suteja dan Kartasapoetra (1992) bahwa media tanam dapat diperbaiki dengan
pemberian bahan organik seperti kompos, pupuk kandang atau bahan organik lain.
Berbagai komposisi media tanam masing-masing memiliki kandungan
yang berbeda-beda. Jenis-jenis media tanam antara lain pasir, tanah, pupuk
kandang, sekam padi, serbuk gergaji, dan sabut kelapa. Bahan–bahan tersebut
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sehingga perlu dipahami agar
media tanam tersebut sesuai dengan jenis tanaman.Untuk mengatasi kelemahan
tanah sebagai media tanam sebaiknya dikombinasikan dengan pasir dan pupuk
kandang atau pasir dan sekam padi dengan perbandingan 1:1
34
(Nurhalisyah,2007).Selanjutnya Supriyanto dkk (2006), mengemukakan media
tanam yang baik harus mempunyai sifat fisik yang baik, lembab, berpori, draenase
baik.
J. Kerangka Berpikir
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati
adalah Jarak cina (Jatropha multifida Linn). Bagian tumbuhan jarak cina yang
dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati adalah bagian batang tumbuhan.
Batang Jarak cina mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin. Alkaloid
pada serangga bertindak sebagai racun perut. Selain itu, alkaloid juga bekerja
dengan mengganggu sistem kerja saraf . Fungsi dari senyawa alkaloid, saponin,
flavonoid, tanin dapat menghambat daya makan larva (antifeedant) cara kerja
senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning
atau racun perut. Oleh karena itu, apabila senyawa-senyawa tersebut masuk
kedalam tubuh serangga, alat pencernaan akan terganggu. Dengan demikian jarak
cina berpotensi sebagai pestisida nabati.
35
Gambar 4. Kerangka Berpikir
Pestisida nabati dari batang Jarak
cina (Jatropha multifida L.)
Flavonoid Saponin Alkaloid
Racun Perut Racun Kontak
Tanaman Sawi Plutella xylostella
Tingkat
kerusakan
1. Mortalitas
2. Jumlah Pupa
Tanin
Gangguan
syaraf
Menghambat
indera perasa
36
K. Hipotesis Penelitian
1. Semakin tinggi dosis ekstrak batang Jarak cina (Jatropha multifida Linn),
semakin tinggi persentase mortalitas hama Plutella xylostella
2. Semakin tinggi dosis ekstrak batang Jarak cina (Jatropha multifida Linn),
semakin rendah persentase jumlah pupa Plutella xylostella
3. Semakin tinggi dosis ekstrak batang Jarak cina (Jatropha multifida Linn),
semakin rendah kerusakan pada tanaman sawi
4. Dosis optimal ekstrak batang Jarak cina yang berpotensi sebagai bahan
aktif pestisida nabati yang mempengaruhi mortalitas dan jumlah pupa
hama Plutella xylostella dan tingkat kerusakan tanaman sawi yaitu mulai
dosis 12,5%