Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Tujuan Hukum
A.1. Istilah dan Pengertian Hukum
Didalam kehidupan sosial masyarakat, terdapat berbagai petunjuk
hidup dalam berperilaku dan berhubungan antar-individu masyarakat
yang disebut dengan norma (kaidah), tanpa itu niscaya masyarakat akan
mengalami kondisi yang antabranta. Secara prinsipil Norma dalam
masyarakat terbagi dalam dua bagian yakni nomo dinamis (norma
kesopanan, norma kesusilaan, dan norma agama) dan nomo statis (norma
hukum).
Norma (kaedah) hukum ditujukan pada sikap atau perbuatan lahir
manusia.27
Norma (kaedah) hukum berisi kenyataan normatif (apa yang
seyogyanya dilakukan), sebab dalam hukum yang penting bukanlah apa
yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi.28
Norma hukum berisi
perintah dan larangan yang bersifat imperatif, dan berisi perkenaan yang
bersifat fakultatif.29
Norrma hukum inilah yang sebut sebagai hukum
positif, yang berlaku dalam suatu negara dan dalam waktu tertentu, atau
yang dikenal dengan ius contutum.
27
Sudikno Mertokusumo, 2003, mengenal hukum suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Hal. 12
28 Ibid. Hal. 16
29
Ibid. Hal. 32
23
Istilah “hukum” sangat cukup beragam dalam bahasa setiap negara,
dalam bahasa Inggris disebut “law”, dalam bahasa Perancis disebut
“droit”, dalam bahasa Belanda disebut “recht”, dalam bahasa Jerman
disebut “recht” sedangkan dalam bahasa Arab disebut “syari’ah”.30
Perihal mendefinisikan hukum, para ahli hukum cukup sukar untuk
mendefinisikan hukum secara baku, sehingga setiap para ahli sangat
beraneka ragam dalam memberikan suatu rumusan atau mendefinisikan
hukum, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Lemaire.31
Utrecht, dalam bukunya pengantar hukum indonesia
mengemukakan “hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup
(perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan.32
Selanjutnya, Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya rasa keadilan
sebagai dasar segala hukum menyatakan bahwa “hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang sebagai
anggota masyarakat.33
Sementara, Soerjo Wignjodipoero dalam bukunya pengatar ilmu
hukum menyatakan bahwa “hukum adalah himpunan peraturan-peraturan
hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau
30
Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Cetakan Ke III, Bandung, Hal. 15
31 Lemaire menjelaskan bahwa “hukum yang banyak seginya dan meliputi segala macam
hal itu menyebabakan tak mungkin orang membuat suatu definisi apa itu hukum sebenarnya”.
Dalam Mohamad Rosmalie, 1985, Ibid. Hal. 16
32 Ibid. Hal 16.
33 Ibid. Hal. 16.
24
perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud
untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyrakat”.34
Demikianlah beberapa rumusan para ahli untuk melukiskan apa
yang dengan “hukum”. dan dalam hal ini penulis menguraikan unsur-
unsur dalam hukum sebagai berikut:
1 Serangkaian peraturan-peraturan petunjuk hidup
2 Berisi perintah dan larangan, dan kebolehan atau perkenaan
3 Bersifat memaksa dan mengatur
4 Ditujukan sikap tindak atau perilaku masyarakat
5 Dibuat oleh lembaga yang berwenang atau berkuasa.
6 Memiliki sanksi tegas bilamana dilanggar apa yang dilarang.
A.2. Pengertian Asas Hukum
Secara etimologi asas berasal dari bahasa arab yakni asasun yang
mengandung arti dasar, basis, dan pondasi. Jika dikaitkan dengan sistem
berpikir maka asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar.35
Dalam kamus ilmiah populer Asas adalah pokok, dasar, prinsip,
fundamen.36
Sementara dalam pengertian lain, asas adalah suatu alam
pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma
hukum.37
34 Ibid. Hal. 18
35
Rohidin, 2016, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam dari Semenanjung Arab Hingga
Indonesia, Jogjakarta, Lintang Rasi Aksara Books, Hal 37. 36
Agustin Risa, Kamus Ilmiah Populer Lengkap Dengan EYD dan Pembentukan Istilah
Serta Akronim Bahasa Indonesia, Penerbit Serba Jaya, Surabaya, Hal. 39 37
Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung 2008. Hal. 31
25
Berpijak pada pengertian asas yang dirumuskan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, maka terdapat tiga pengertian yang terkandung
didalamnya, yakni (1) dasar, alas, pondamen, (2) suatu kebenaran yang
menjadi pokok dasar atau tumpuan berfikir, (3) cita-cita yang menjadi
dasar.
Dalam memaknai asas hukum, beberapa pakar mengemukakan
antaralain, Bellefroid mengartikan asas hukum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap
berasal dari aturan aturan yang lebih umum. Asas hukum umum itu
merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.38
dengan
demikian titik tekan Bellefroid bahwa asas hukum bertitik tolak dari
adanya hukum positif yang dipengaruhi oleh waktu dan tempat.
Sementara Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa asas
hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan konkrit, melainkan
pikiran-pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang
dari peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan dilatarbelakangi
setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif.39
Berdasarkan beberapa pengertian dan pendapat pakar tersebut,
penulis menyimpulkan dan merumuskan unsur-unsur asas hukum
antaralain : (1) Suatu rumusan yang memuat hal-hal mendasar, pokok
38 Bellefroid, dalam Machmudin Dudu Duswara, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah
Sketsa, Bandung, PT Refika Aditama, Hal 67-68
39 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sutau Pengantar, Liberty, Cetakan Ke dua,
Yogyakarta, Hal. 34
26
atau prinsipil, (2) menjadi dasar ada dan berlakunya suatu norma hokum,
(3) bersifat umum.
Sementara Teori Hukum secara terminology dikenal dengan
beberapa istilah yaitu Legal theory, Jurisprudence, Legal history.40
Dalam
hal ini diuraikan sebagai berikut:
(1) Legal theory adalah suatu teori hukum yang memfokuskan
kajiannya bahwa hukum yang dianggap eksis adalah apa yang ada
di dalam undang-undang, sedangkan di luar undang-undang dapat
dianggap bukan/bagian dari hukum. Istilah legal theory banyak
lebih mengacu pada pandangan positivistik. Pada posisi demikian
ini para praktisi hukum (jurist als medespeler) kurang atau tidak
menyukai teori hukum (legal theory) karena dianggap sangat
terbatas dan sempit sifatnya. (2) Jurisprudence adalah suatu teori
hukum yang lebih meletakkan pada suatu dasar pemikiran bahwa
hukum dan masyarakat bersifat dialektika fungsional. Yaitu antara
hukum dan masyarakat tidak dapat dilepaskan satu dan lainnya dan
saling pengaruh mempengaruhi. (3) Legal history adalah suatu teori
yang berdasarkan pemikiran tentang teori hukum erat hubungannya
dengan ideology (legal ideology) dari masyarakat pendukungnya
yang berarti bahwa teori hukum sangat erat hubungannya dengan
sejarah hukum.41
Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling
berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan
keputusan-keputusan hukum, yang untuk suatu begian penting sistem
tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif.42
Artinya bahwa suatu
teori yang saling berkaitan berkenaan dengan hukum yang memperoleh
suatu bentuk tetap dalam aturan-aturan dan keputusan.
A.3. Teori Tujuan Hukum
40 L.A. Hart dan W. Halverson, 1981, Hal. 2-9, dalam Tiar Ramon, Teori Hukum
https://tiarramon.wordpress.com, di unduh pada tanggal 10 April 2018 Pukul 1.34.
41 Ibid.
42
Bruggink, yang diterjemahakan (alih bahasa) Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang
Hukum, PT. Citra Aditya Bakhti, Hal. 4
27
Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Dan dalam
fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai
tujuan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak
diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan
tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan prilaku masyarakat.
Begitu banyak teori tentang tujuan hukum, namun paling tidak, ada
beberapa teori yang dapat di golongkan sebagai grand theory tentang
tujuan hukum, sebagaimana dikemukakan Acmad Ali dalam bukunya.43
Achmad Ali membagi grand theory tentang tujuan hukum ke dalam
beberapa teori yakni teori barat, teori timur, dan teori hukum islam yakni
sebagai beriku:
a. Teori Barat
menempatkan teori tujuan hukumnya yang mencakup kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan.44
Yang akan dijelaskan lebih
lanjut dalam tabel yang terdiri atas teori klasik dan teori modern.
b. Teori Timur
berberda dengan teori barat, bangsa-banga timur masih
menggunkan kultur hukum asli mereka, yang hanya
menekankan maka teori tentang tujuan hukumnya hanya
43 “Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Toeri Peradilan (judicialprudence)
termasuk interpretasi Undang-Undang (legisprudence)” merupakan salah satau dari sebelas
Volume karangan buku Profesor Dr. Acmad Ali, S.H.,M.H, (Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Hasanudin)
44 Acmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Toeri Peradilan
(judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-Undang (legisprudence), Kencana Perdana
Media Group, Cetakan Ke-I Agustus, Jakarta, Hal. 212
28
menekankan “keadilan adalah keharmonisasian, dan
keharmonisasian aalah kedamaian”.45
c. Teori hukum islam.
Teori tujuan hukum islam, pada prinsipnya bagaimana
mewujudkan “kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia,
yang mencakup “kemanfaatan” dalam kehidupan dunia maupun
diakhirat. Tujuan mewujudkan kemafaatan ini sesuai dengan
prinsip umum Al-Qur’an: a. Al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi al-
mudar al man’u (segala yang bermanfaat dibolehkan, dan segala
yang mudarat dilarang). b. La darara wa la dirar (jangan
menimbulkan kemudaratan dan jangan menjadi korban
kemudaratan). c. Ad-darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).46
Perilah “teori barat” lebih jelasnya ia (Achmad Ali) memasukan
dan menjelaskanya ke dalam skema sebagai berikut:47
Tabel : Grand Western Theory tentang Tujuan Hukum
Teori Klasik a. Teori Etis Tujuan hukum semata-mata
untuk mewujudkan keadilan
(justice)
b. Teori Utilitas Tujuan hukum semata-mata
untuk mewujudkan
kemanfaatan (Utility)
c. Teori Legalistik Tujuan hukum semata-mata
untuk mewujudkan
kepastian hukum (Legal
Certainty)
Teori Modern a. Teori Prioritas Baku Tujuan hukum mencakup:
1. keadilan
45 Ibid. Hal. 212-213
46
Ibid. Hal. 216-217
47 Ibid. Hal. 213
29
2. kemanfaatan
3. kepastian hukum
b.Teori Prioritas Kasuitik Tujuan hukum mencakupi
keadilan-kemanfaatan-
kepastian hukum, dengan
urutan prioritas, sesuai
dengan kasus yang dihadapi
dan ingin dipecahkan.
Selaras dengan tujuan hukum barat, Indonesia mengunakan hukum
formal barat yang konsep tujuan hukumnya adalah keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum, namun Indonesia juga menganut
sistem eropa kontinental secara dominan dalam sistem hukumnya,
sehingga corak pemikirannya sangat legalistik. Hal itu disebabkan oleh
keadaan dan sejarah perkembangan indonesia sebagaimana dikemukakan
oleh Ahmad Ali.48
Dan bagi negara-negara berkembang (salah satunya Indonesia)
pada umumnya hukum di negara-negara berkembang secara historis
terbentuk oleh empat lapisan.
Lapisan terdalam terdiri dari aturan aturan kebiasaan yang diakui
(sebagai hukum oleh masyarakat yang bersangkutan), di atasnya
ialah lapisan aturan-aturan keagamaan yang diakui, kemudian
aturan-aturan hukum dari negara kolonial dan lapisan paling atas
ialah hukum nasional modern yang terus berkembang. Sejak
beberapa puluh tahun ke belakang kemudian ditambahkan lapisan
kelima, yaitu hukum internasional.49
48 Acmad Ali mengemukakan bahwa Indonesia sebagai bangsa timur memang mengalami
“dua macam kesialan atau kecelakaan sejarah”. Yang pertama, sial atau celaka pernah mengalami
penjajahan dari Bangsa Barat selama ratusan tahun di jawa dan puluhan tahun di berbagai daerah
lain. Kedua, bangsa barat yang menjajah indonesia, yakni bangsa belanda yang menganut sistem
hukum eropa kontinental yang legalistik dan ditambah dengan pemaksaan “politik hukum kolonial
belanda” kepada negeri jajahan yang dikenal dengan istilah asas konkordansi. Dan penulis tidak
sepenuhnya sependapat atas pandangan tersebut. 49 Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum Yang Nyata di Negara Berkembang, dalam Jan
Michiel Otto (et.all), 2012, Kajian sosio-legal: Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara
Hukum, Penerbit Pustaka Larasan, Edisi Pertama, Denpasar, Bali, Hal. 119
30
Soebekti, berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan
negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan keabahagiaan para rakyat.
Dalam mengabdi kepada tujuan negara dengen menyelenggarakan
keadilan dan ketertiban.50
Menurut hukum positif yang tercantum dalam alienea ke 4
Pembukaan Undang-Undang Dasar, menyatakan bahwa tujuan hukum
positif kita adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh
tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdasakan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.51
Menurut Teori Campuran, Mochtar Kusuatmadja mengemukakan
tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan
ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya masyarakat manusia yang
teratur. Disamping itu, tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda isi dan ukuranya menurut masyarakat dan zamanya.52
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan
negara yang menggunakan konsep umum tujuan hukum yang sama
dengan negara-negara barat yang menggunakan sistem hukum civil law
dan living law yakni keadilan, kemanafaatan dan kepastian. Namun yang
50 Sudikno Mertokusumo ,Op.cit, Hal. 81
51 Ibid.
52
Ibid.
31
lebih dominan bercorak legalistik yang menekankan pada aspek hukum
tertulis yang berorientasi pada kepastian.
Dengan demikian, pada hakikatnya suatu hukum harus memiliki
tujuan yang didalamnya mengandung unsur keadilan, kemanfaatan dan
kepastian. Ketiga-ketiganya merupakan syarat imperatif yang tidak boleh
hanya satu unsur dan atau dua unsur lainya yang terpenuhi.
A.4. Teori Tujuan Hukum dalam Aspek Kepastian
Kepastian hukum merupakan teori yang lahir atas perkembangan
paham positivisme hukum yang berkembang pada abad ke 19. Kepastian
hukum sangat erat kaitanya dengan hukum positif yakni suatu hukum
yang berlaku dalam suatu wilayah Negara dan atau kedaan tertentu yang
berbentuk tertulis (Peraturan Perundang-Undangan). Aturan tersebut
pada prinsipnya mengatur atau berisi tentang ketentuan-ketenatuan umum
yang menjadi pedoman bertingkah laku bagi setiap individu masyarakat.
Bahwa adanya aturan hukum semacam itu dan pelaksanaan aturan
tersebut akan menimbulkan kepastian hukum, yang dalam pandangan
Peter Mahmud sebagai berikut:
Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu dapat mengetahui apa
saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhadap individu.53
53
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengntar Ilmu Hukum edisi revisi, Kencana Prenada
Media Group, Hal 136
32
Sejalan dengan itu, Satjipto Raharjo mengemuka-kan pandangan
mengenai hukum subtantif dan hukum proesdural yang dikeluarkan oleh
pembuat hukum. Peraturan subtantif adalah peraturan yang berisi tentang
perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sedangkan
peraturan prosedural adalah peraturan yang isinya mengatur tentang tata
cara dan tata tertib untuk melaksanakan peraturan subtantif tersebut yang
bersifat prosedural.54
Kepastian undang-undang lahir dari aliran yuridis dogmatik-
normatif-legalistik-positivistis yang bersumber dari pemikiran kaum legal
positivisim di dunia hukum. penganut aliran ini, tujuan hukum hanya
semata-mata untuk mewujudkan legal certainty (kepastian hukum) yang
dipresepsikan sekedera “kepastian undang-undang”. Kepastian hukum
menurut pandangan kaum legalistik, sifanya hanya sekedar membuat
produk perundang-undangan, dan menerapkan dengan sekedar
menggunakan “kacamata kuda” yang sempit.55
Lebih lanjut, penganut legalistik menyatakan, meskipun aturan
hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil, dan tidak memberikan
manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak
menjadi soal, asalkan kepastian hukum legal certainty dapat terwujud.56
Secara sosio-historis, masalah kepastian hukum muncul bersamaan
dengan sistem produksi ekonomi kapitalis. Berbeda dengan sistem
54
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke-V,
Bandung, Hal. 77 55
Acmad Ali, Op.cit. Hal.284
56Ibid. Hal.286
33
produksi sebelumnya maka yang terkahir ini mendasarkan pada
perhitungan efisiensi. Semua harus bisa dihitung dengan jelas dan pasti,
berapa barang yang dihasilkan, berapa ongkos yang dikeluarkan, dan
berapa harga jual.57
Hukum modern itu mengikuti perkembangan zaman
yang sangat mendukung kebutuhan sistem ekonomi baru yang
kapitalistik.
Karena tertulis dan diumumkan secara publik, maka segala sesuatu
bisa diramalkan dan dimasukan ke dalam komponen produksi. Sehingga
ilmu hukum juga terpanggil untuk memberi legitimasi teori terhadap
perkembangan tersebut. disinilah munculnya positivisme dan berfikir
positivistik.58
Dengan demikian penulis menarik kesimpulan dan menegaskan
sekali lagi, bahwa sejatinya hukum positif negara kita yang bersifat
legalistik yang selalu mengangungkan kepastian hukum pada dasarnya
berpihak dan mengikuti perkembangan ekonomi kapitalisme dalam
sistem produksi dan industrialisasi.
Redbruch, dalam tesisnya yang membicarakan tentang cita hukum
(idea des recht) yang termaktub dalam tiga nilai dasar (Grundwerten)
yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zwekmaeszigkeit), dan
kepastian hukum (rechtssichherkeit).59
Ketiga nilai dasar tersebut tidak
selalu berada dalam hubungan yang serasi (harmonis) satu sama lain,
melainkan saling berhadapan, bertentangan satu sama lain.
57 Ibid. Hal.290
58 Ibid. Hal.291
59
Redbruch, dalam Acmad Ali, Ibid. Hal.292
34
Berdasarkan ajaran prioritas baku, Gustav Rebruch mengemukakan
kembali, yang awalnya bahwa ide dasar hukum itu merupakan tujuan
hukum secara bersama-sama, namun setelah berkembang, bahwa (ia
mengajarkan) kita harus menggunakan asas prioritas, dimana prioritas
pertama adalah keadilan, kedua kemanfaatan, dan terkahir adalah
kepastian hukum. kepastian dan kemanfaatn hukum tidak boleh
bertentang dengan keadilan, juga kepastina hukum tidak boleh
bertentangan dengan kemanfaatan.60
Selanjutnya, tentang “kepastian hukum” Fuller yang dikutip Satjipto
Raharjo dalam bukunya Hukum dalam Jagat Ketertiban menjelaskan
bahwa, “Fuller mengajukan delapan asas yang harus dipenuhi oleh
hukum dan apabila itu tidak terpenuhi, maka gagalah hukum disebut
sebagai hukum. kedepalan asas tersebut sebagai berikut :61
1 Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak
berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu (ad
hoc).
2 Peraturan tersebut di umumkan kepada publik.
3 Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem.
4 Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
5 Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
6 Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang
bisa dilakukan.
7 Tidak boleh sering diubah-ubah.
8 Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-
hari.
Sejalan dengan itu, Jan Micheil Otto memberikan suatu definisi
“kepastian hukum” yang tidak sekedar kepastian yuridis. Kepastian
60
Ibid. Hal. 288
61 Fuller yang dikutip oleh Satjipto Raharjo, 2006, Hukum dalam jagat ketertiban,
dalam Acmad Ali, Ibid. Hal. 294
35
hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum
yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Saya (Jan) mendefinisikannya
sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:62
1. tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah
diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena
(kekuasaan) negara.
2. bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan
hukum itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya.
3. bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-
negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku
mereka terhadap aturan-aturan tersebut.
4. bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
(independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum yang dibawa kehadapan mereka.
5. bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Dengan demikian, pada dasarnya kepastian hukum akan memberikan
suatu dasar, apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat oleh masyarakat,
serta perlindungan bagi setiap individu masyrakat dari tindakan otoriter
negara. Namun yang tak kalah penting adalah bahwa nilai kepastian
hukum tidak hanya berbentuk pasal-pasal dalam peraturan perundang-
udangan, melainkan adanya korelasi antara aturan hukum yang satu
dengan aturan hukum yang lain baik secara hierarkis maupun secara
subtansif. Artinya suatu aturan hukum yang satu dengan yang lain tidak
boleh tumpang tindih dan bertentangan antara yang umum dengan khusus
baik secara hierarkis maupun subtansi dalam aturan tersebut, sehingga
dapat menimbulkan suatu kepastian hukum dalam implementasinya.
62
Jan Michiel Otto, op.cit. Hal. 122
36
Termasuk dalam hal ini perjanjian kerjasama antara TNI dan Polri
dalam Nota Kesepahaman atau MoU TNI dan POLRI Nomor B/2/I/2018
dan Kerma Nomor 2/I/2018 Tentang Perbantuan TNI kepada Kepolisian
RI dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat harus
selaras dan berdasarkan aturan hukum kedudukanya lebih tinggi yakni
UU TNI dan UU Polri.
B. Konsep Memorandum Of Understanding (MOU)
B. 1. Istilah dan Pengertian Memorandum Of Understanding (MOU)
Istilah Memorandum of Understanding berasal dari dua kata, yakni
Memorandum dan Understanding. Secara gramatikal Memorandum of
Understanding diartikan sebagai Nota Kesepahaman.
I. Nyoman Sudana, mengartikan Memorandum of Understanding
sebagai suatu perjanjian pendahuluan, dalam artian akan diikuti perjanjian
lainya.63
kemudian dipertegas kembali oleh Munir Fuady, yang
mendefinisikan Memorandum of Understanding sebagai:
“perjanjian pendahuluan, dalam artian nantinya akan diikuti dan
dijadikan barkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara
detail, karen itu, Memorandum of Understanding berisikan hal-hal
yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari
Memorandum of Understanding relatif sama dengan perjanjian
lain”.64
Sedangkan Erman, menyatakan bahwa Memorandum of
Understanding sebagai sebuah “dokumen yang memuat saling pengertian
diantara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari Memorandum of
63 I. Nyoman Sudana, Hal.9, dalam dalam Salim (et.al), Perancangan Kontrak dan
Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, Hal.47
64 Munir Fuady, Hal. 91, dalam Salim (et.al), Perancangan Kontrak dan Memorandum of
Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, Hal.46
37
Understanding harus dimasukan dalam kontrak, sehingga ia mempuyai
kekuatan mengikat.65
Unsur yang terkandung dalam ketiga definisi di atas, adalah (1).
Memorandum of Understanding sebagai perjanjian pendahuluan, (2). Isi
Memorandum of Understanding adalah mengenai hal-hal yang pokok, (3).
Isi Memorandum of Understanding dimasukan dalam kontrak. Ketiga
definisi di atas kurang lengkap, karena hanya mengfokuskan pada sifat
dari MOU yakni sebagai perjanjian pendahuluan.
Berbeda dari ketiga para ahli diatas, Salim dkk, mengartikan
Memorandum of Understanding adalah “nota kesepahaman yang dibuat
antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, baik
dalam suatu negara maupun antara negara untuk melakukan kerjasama
dalam berbagai aspek kehidupan dan jangka waktu tertentu”.66
Unsur yang terkandung dalam definisi diatas, adalah meliputi:67
1. Para pihak yang membuat Memorandum of Understanding
tersebut adalah subyek hukum, baik berupa badan hukum publik
mupun badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya
negara, pemerintah provinsi/kota/kabupaten. Adapaun badan
hukum privat adalah Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Yayasan.
2. wilayah berlaku dari Memorandum of Understanding itu bisa
regional, nasional maupun internasional.
3. subtansi Memorandum of Understanding adalah kerjasama dalam
berbagai aspek kehidupan.
4. jangka waktu tertentu.
65 Erman Rajagukguk, Hal. 4, Dalam dalam Salim (et.al), Perancangan Kontrak dan
Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, Hal.46
66 Salim (et.al), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar
Grafika, Jakarta, Hal. 47
67Ibid. Hal. 47
38
Pada hakikatnya subtansi dari Memorandum of Understanding
misalnya berisi suatu kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan, di
bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan (Hankam),
keuangan, keahlian dan lain-lain.
Menurut hemat penulis, bahwa yang diartikan Memorandum of
Understanding adalah suatu perjanjian yang dibuat secara sukarela dan
saling mengikatkan diri antara subyek hukum, dimana muatan perjanjian
tersebut memuat hal-hal yang pokok dan mengandung batasan waktu
dalam berbagai bidang kehidupan (sosial, politik, keamanan, pertahanan,
yudisial dll) yang dibuat secara tertulis maupun lisan.
Dengan demikian, tidak selalu MoU dibuat untuk masa yang akan
datang dan tidak selalu MoU akan ditindak lanjuti dengan suatu perjanjian
lainya yang bersifat rinci, karena MoU yang dibuat sudah berisi hal-hal
yang pokok dan teknis. Maka MoU merupakan suatu perjanjian.
sebagaimana Pasal 1313 KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau
lebih”.68
Subketi dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.69
Dari peristiwa itu, timbulah suatu hubungan
68
Soimin Soedharyo, 2012, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit Sinar
Grafika, cetakan Kesebelas, Jakarta, Hal. 328
69 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Penerbit PT. Intermesa, Cetakan Keduapulusatu,
Hal. 1
39
hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang di ucapkan atau tertulis
B. 2. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding (MOU)
MoU dalam hukum positive Indonesia tidak diatur secara kongkrit,
melainkan muncul dalam praktik-praktik perbuatan hukum antara
masyarakat. Sehingga dalam berbagai perturan perundang-undangan,
tidak kita temukan ketentuan yang secara khusus mengatur tentang
Memorandum of Understanding, namun bilamana kita memperhatikan
subtansi dari Memorandum of Understanding maka jelaslah bahwa di
dalamnya berisi kesepakatan para pihak yang berisi tentang hal-hal yang
umum.
Ketentuan yang mengatur tentang kesepakatan atau persetujuan
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya di
singkat KUHPerdata) dalam Pasal 1320, yang pada intinya mengatur
mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Salah satu syarat sahnya
perjanjian tersebut adalah adanya konsensus antara para pihak.
Menurut Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, supaya terjadi suatu
persetujuan atau perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat70
:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
70
Soimin Soedharyo, Op.cit, Hal. 329
40
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Empat (4) point dalam ketentuan diatas merupakan syarat
kumulatif yang harus ada dalam setiap persetujuan atau perjanjian yang di
adakan oleh para pihak. Dan yang dapat dijadikan dasar hukum pembuatan
Memorandum of Understanding adalah Pasal 1338 KUHPerdata yang
berbunyi semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
Disamping itu, terdapat beberapa asas yang menjadi dasar
timbulnya suatu kesepakatan. Pertama, Asas pucta sun Survanda
merupakan asas yang mempertegas akibat hukum dari suatu perjanjian
yang dibuat para pihak. Asas tersebut diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.71
Kedua, Asas konsensualisme pada dasarnya menganut paham dasar
bahwa suatu perjanjian itu sudah lahir sejak saat tercapainya kata sepakat.
Asas konsensualisme di atur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
menetapkan bahwa harus ada kesepakatan antara para pihak yang
mengkitakan dirinya atau terdapat “consensus”.72
dengan demikian pada
detik tercapainya kesepakatan, maka lahirlah suatu perjanjia.
Ketiga, Asas Freedom of Contract atau kebebasan berkontrak.
Asas ini lahir berdasarkan sifat dalam Buku III KUHPerdata (BW) yang
71
Ibid. Hal. 332 72
Rai Widjaya I.G, 2003, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan
Praktik, Penerbit Kesaint Blanc, Jakarta, Hal. 35
41
menganut sistem terbuka dan bebas. Artinya, setiap orang dapat membuat
perjanjian sesuai dengan maksud dan keinginanya. Kebebasan diberikan
seluas-luasnya (beginsel der contractsvrijheid) untuk mengatur dan
menentukan isi suatu perjanjian, asalkan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.73
Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang memberikan suatu
kebebasan kepada para pihak untuk: (1). Membuat atau tidak membuat
perjanjian, (2). Mengadakan perjanjian dengan siapapu, (3). Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratnaya (4). Menentukan bentuk
perjanjianya yaitu tertulis atau lisan.74
Secara internasional, yang menjadi dasar hukum adanya MoU
adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional. Dalam ketentuan umum Pasal 1 huruf a menyebutkan
perjanjian internasional adalah “perjanjian dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
Bila kita memperhatikan definisi dan penjelasan umum UU perjanjian
internasional, maka perjanjian internasioal dalam praktiknya disamakan
dengan: Treaty (Perjanjian), Convetion (Konvensi.kebiasaan
internasional), Agreement (persetujuan), Memorandum of understanding
(Nota Kesepahaman), Protocol (surat resmi yang memuat hasil
perundingan), charter (Piagama), declaration (Pernyataan), final act
73
Ibid. Hal. 33 74
Salim (et.al), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar
Grafika, Jakarta, Hal.48
42
(keputusan final), letter of intent (surat yang mengungkapan suatu
keinginan).
Apabila kita perhatikan dasar hukum adanya MoU adalah
peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional dalam UU
Perjanjian internasional.
Dengan demikan, dasar hukum lahinrya MoU adalah ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya pasal 1320, dan Pasal
1338 dan Asas asas hukum. disamping juga diatur dalam Undang-Undang
Perjanjian Internsional. sehingga MoU dapat dikategorikan sebagai
sebuah perjanjian yang sifatnya tertulis.
B. 3. Ciri-Ciri Memorandum Of Understanding (MOU)
Menurut Munir Fuady, suatu MoU memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:75
a Isinya ringkas, bahkan sering kali satu halaman saja.
b Berisi hal yang pokok saja.
c Bersifat pendahuluan, yang akan diikuti oleh perjanjian yang lebih
rinci.
d Mempunyai jangka waktuya.
e Biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan.
f Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para
pihak untuk membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah
penandatangan MoU, karena secara resonable barangkali kedua
belah pihak punya rintangan untuk membuat dan menandatangai
perjanjian yang lebih detail.
Disamping itu, berdasarkan uraian-uraian pengetian di atas, maka
dapat dipahami bahwa dalam suatu Mou muatanya mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:
75 Ibid. Hal. 52-53
43
a MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian).
Kecuali content atau isi dari MoU telah memenuhi syarat-syarat
dalam Pasal 1320, maka kedudukanya bukan lagi sebagai
perjanjian pendahuluan melainkan telah menjadi perjanjian yang
sah dan mengikat.
b Content atau isi MoU memuat hal-hal yang pokok-pokok.
c MoU bersifat sementara karena memiliki tenggang waktu.
d MoU biasanya dibuat untuk memudahkan pembatalan sewaktu-
waktu oleh para pihak.
Namun pada dasarsnya ciri utama dari MoU adalah sebagai dasar
membuat kontrak pada masa yang akan datang, isinya singkat dan jangka
waktu tertentu.
B. 4. Kekuatan Hukum Memorandum of Understanding (MOU)
Mengenai kekuatan hukum mengikat dan memaksa dari suatu
MoU yang dibuat pada dasarnya sama halnya dengan suatu perjanjian.
Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU. Namun
yang harus diperhatikan adalah isi dari suatu kesepakatan tersebut,
bukanlah nama. Karena dalam prakteknya ada suatu dokumen yang
diberi Judul MoU, namun isinya tidak singkron dengan judulnya,
sehingga dokumen tersebut memiliki kekuatan mengikat seperti
perjanjian.
Dalam beberapa pendapat mengatakan bahwa MoU merupakan
perjanjian pendahuluan, yang artinya perjanjian awal dan akan ada
44
perjanjian lanjutan yang kektentuanya lebih rinci. Namun bukan berarti
MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi
para pihak untuk mentaatinya dan atau melaksanakannya.
Karena apabila suatu MoU telah dibuat secara sah, dengan
memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320
KUHPerdata, maka kedudukan dan atau keberlakuan MoU bagi para
pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mengenai kekuatan
hukum dari suatu MoU dapat mengikat para pihak, apabila subtansi yang
diperjanjikan sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 BW, dan dengan
demikian maka MoU tersebut dengan sendirinya bukanlah suatu
perjanjian pendahulu, melainkan suatu perjanjian.
Ray Wijaya mengemukakan kekuatan mengikat dari Memorandum
of Understanding (MoU) adalah sebagai berikut;76
“dari sudut pandang indonesia, tampaknya para ahli hukum
indonesia masih berbeda pendapat makna dari MoU tersebut. satu
pihak berpendapat bahwa MOU hanya merupakan gentelement
agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, sedangkan pihak
lain menganggap bahwa MOU merupakan suatu bukti awal telah
terjadi atau tercapai saling pengertian mengenai masalah-masalah
pokok. Artinya telah terjadi pemahaman awal antara para pihak
yang benegosiasi sebagaimana yang dituangkan dalam
Memrandum para pihak yang melakukan kerjsama. Oleh
karenanya, kesepakatan awal ini merupakan pendahulun untuk
merintis lahinya suatu kerjasama yang sebenanrya, yang kemudian
baru diatur dan dituangkan secara lebih rinci dalam perjanjian
kerjsama atatu joint venture dalam bentuk yang lebih formal”.
76 Rai Widjaya I.G, 2003, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan
Praktik, Penerbit Kesaint Blanc, Jakarta, Hal.103
45
Pandangan ini hanya mendeskripsikan tentang kekuatan hukum
dari MOU atas berbagi pandangan ahli hukuim lainya. yang didalamnya
ia (Ray Widjaya) mengemukankan dua pandangan tentang kekuatan
mengikat MOU, yaitu (1). MOU hanya merupakan gentelement
agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, dan (2). MOU
merupakan bukti awal telah terjadinya atau tercapainya saling pengertian
mengenai msalah pokok.
Munir Fuady, mengemukanan dua padangan juga mengenai
kekuatan mengikat dari MoU, yaitu gentelement agreement dan
agreement is agreement. Pertama, MoU merupakan suatu gentelement
agreement maksudnya kekuatan mengikat suatu MoU (1). tidak sama
denganperjanjian biasa, sungguh pun MoU dibuat bentuk yang paling
kuat, seperti dengabn akta notaris sekalipun (tetapi dalam praktik jarang
MOU dalam notariil). (2). Hanya sebatas pengikat moral belaka, dalam
artian tidak enforcable secara hukum, dan pihak yang wanprestasi tidak
dapat digugat dipengadilan. Kedua, sekalipun suatu perjanjian dibuat,
apapun bentuknya, lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap atau
detail atau hanya diatur pokok-pokoknya saja. Tetap saja merupakan
suatu perjanjian dan karenaya mempunyai kekuatan mengikat seperti
layaknya suatu perjanjian, sehingga keseluruhan pasal pasal tentang
hukum perjanjian telah diterapkan kepada nya.77
B. 5. Tujuan dibuatnya Memorandum of Understanding (MOU)
77 Munir Fuady, 1997, Hal-93-94, dalam Salim, 2003, Op.cit, Hal. 55
46
Pada prinsipnya, setiap MoU yang dibuat oleh para pihak, tentunya
memiliki tujuan dan maksud tertentu.
Munir Fuady, mengemukakan tujuan pembuatan MoU adalah:78
1 Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement
nantinya, dalam hal prospek bisnis belum jelas, dalam artian
belum bisa dipastikan apakah deal kerjasama tersebut akan
ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah MoU yang mudah dibatalkan.
2 Penandantangan kontrak masih lama karena masih dilakukan
negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa
sebelum ditanda-tangani kontrak tersebut, sehingga untuk
sementara dibuatlah MoU.
3 Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk pikir-
pikir dalam hal penandatangan suatu kontrak, sehingga untuk
sementara dibuat MOU.
4 Mou dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari
sutau perusahaan, sehingga untuk sutau perjanjian yang lebih
rinci mesti dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-stasf yang
lebih rendah.
Hemat penulis, pada prinsipnya tujuan diadakan-nya MOU adalah
dalam rangka untuk melaksanakan suatu kerja sama dalam bidang
tertentu, berdasarkan suatu kewenangan dan atau tugasnya masing-
masing antara para pihak. Melalui kewenangan dan atau tugas itulah,
mereka saling mengikatkan dirinya.
B. 6. Para Pihak dan Objek Memorandum Of Understanding (MOU)
MOU tidak hanya dibuat oleh badan hukum privat semata-mata,
tetapi juga oleh badan hukum publik yang wilayah pemberlakukanya
meliputi nasional dan internasional. Pemerintah dan atau lembaga negara
indonesia selama ini telah menadatangai berbagai macam MOU dengan
pemrintah dan atau lembaga negara asing. Sementara objek dalam MOU
78 Ibid. Hal. 52
47
adalah kerjasama dalam berbagai aspek seperti bidang ekonomi, yudisial.
Termasuk dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan yang diadakan antara
TNI (Bidang Pertahanan Negara) dan POLRI (Bidang Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat) dalam melaksanakan Tugas Perbantuan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
B. 7. Jenis-Jenis Memorandum Of Understanding (MOU)
Perihal jenis-jenis Memorandum of Understanding pada dasarnya
tidak diatur secara jelas dalam peraturan-perundang-undangan, namun
dalam prakteknya, dapat lahir dari berbagai hubungan hukum antara
perorangan (naturalijk persoon), badan hukum (recht persoon) yang
berupa lembaga negara, lembaga negara non pemerintahan, lembaga atau
badan hukum swasta.
Memorandum of Understanding menurut negara yang
membuatnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:79
1 MoU yang bersifat nasional, merupakan MoU yang kedua belah
pihaknya adalah warga negar atau badan hukum indonesia.
Misalnya, MoU yang dibuat antara badan hukum publik seperti
TNI dan KNRI/Polri.
2 MoU yang bersifat internsional, merupakan nota kesepahaman
yang dibuat antara pemerintah indonesia dengan pemerintah negara
asaing dan atau badan hukum indonesia dengan badan hukum
asing.
79
Ibid, Hal 50.
48
C. Konsep Kepolisian Negara Republik Indonesia (KNRI)
C.1. Istilah Polisi dan Kepolisian
Secara etimologi istilah polisi di beberapa daerah negara memiliki
ketidak samaan, seperti Yunani istilah polisi dengan sebutan “politeia”,
di Inggris “police” , di Jerman “polize”, di Amerika dikenal dengan
“sheriff”, di Belanda dikenal “politie”, di Jepang dengan istilah
“koban” dan “chuzaisho”.80
Jauh istilah polisi lahir sebagai sebuah organ, kata “polisi” telah
dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia”
digunakan sebagai title buku pertama Plato yakni “politeia” yang
mengandung makna suatu negara yang ideal sesuai dengan cita-citanya,
suatu negara bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat
keadilan dijunjung tinggi.81
Kemudian dikenal sebagai bentuk negara, yaitu negara polisi
(polizeistaat) yang artinya negara yang menyelenggarakan keamanan dan
kemakmuran. Di dalam negara polisi dikenal dua konsep polisi (polizei),
yakni sicherheit polizei yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan
keamanan, dan verwaltung polizei yang berfungsi sebagai penyelenggara
perekonommian atau penyelenggaran semua kebutuhan hidup warga
negara.82
80 Sadjijono, 2010, Memahami Hukum Kepolisian, Laskbang Pressindo Group, Cetaka I,
Yogyakarta, Hal. 1
81 Ibid. Hal. 2
82 Ibid. Hal. 2
49
Dilihat dari sisi historis, istilah “polisi” di Indonesia tampaknya
mengikuti dan menggunakan istilah “politei” di Belanda. Hal ini sebagai
akibat dan pengaruh dari bangunan system hukum Belanda yang banyak
di anut di negara Belanda.83
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.84
Istilah
kepolisian dalam Undang-Undang dengan Polri mengandung dua
pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi.
Beranjak dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa
istilah “polisi” dan “kepolisian” mengandung pengertian yang berbeda.
Istilah “polisi” adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang
terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara, sedangkan sebagai
fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggungjawab lembaga atas
kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya. Dengan
demikian berbicara kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan
lembaga kepolisian.85
Dalam implementasinya KNRI bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharaya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta
83 Ibid.
84
Lihat Pasal 1 angka 1 dan 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
dan Peraturan Pemerintah R.I. Tahun 2010 tentang Kepolisian, Bandung, Cetakan I, Juli 2010,
Penerbit Citra Umbara, Hal. 3
85 Sadjijono, Op.cit. Hal. 5
50
terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.86
C.2. Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor
VII/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan KNRI dalam Pasal 6
ayat 1 dan 2 menyatakan “KNRI merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan
hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dan dalam menjalankan peranya, KNRI wajib memiliki keahlian dan
keterampilan secara profesional. Dan kemudian dipertegas dengan frasa
yang sama pada Pasal 5 ayat 1 Undang Undang No.2 Tahun 2002 tentang
KNRI serta ditambah frasa yang dilakukan “dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri”.
Keamanan Dalam Negeri yang dimaksud adalah suatu keadaan
yang ditandai dengan terjaminya kemananan dan ketertiban masyarakat,
tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.87
Sedangkan fungsi pokok kepolisian yang diatur dalam Pasal 2
Undang-undang Kepolisan adalah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan kemananan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.88
Artinya Kepolisian merupakan lembaga negara yang melaksanakan tugas
86 Ibid Hal. 5
87
Ibid Hal. 3
88 Ibid Hal. 5
51
eksekutif yang berhadapan dengan masyarakat sipil dalam memeliharan
keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat yang dilaksanakan di
seluruh wilayah negara republik indonesia. Salah satu fungsi kepolisian
merupakan fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Jo
Pasal 13 UU a-quo.
C.3. Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan pengertian diatas, bahwa fungsi kepolisian tersebut
menjadi tugas pokok kepolisian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 13
dan 14 UU a-quo, bahwa Tugas pokok Kepolisian adalah a. Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, b. Menegakan hukum, c.
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. dengan demikian, tugas pokok kepolisian dapat dimaknai
sebagai fungsi utama kepolisian yang merupakan salah satu fungsi
pemerintahan, yakni terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sementara mengenai wewenang Kepolisian terbagi dalam
wewenang umum yang diatur dalam pasal 15 ayat 1, wewenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan lainya yang diatur dalam
pasal 15 ayat 2, dan wewenang dalam bidang proses pidana yang diatur
dalam pasal 16 ayat 1. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
pejabat kepolisian senantias bertindak berdasarkan norma hukum dan
norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia.89
89 Ibid Hal. 13 lihat Pasal 9 ayat 1 dan 2
52
C.4. Susunan Organisasi dan Kedudukan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Dilihat dari ketatanegaraan berdasarakan UUD 1945 lembaga
kepolisian merupakan lembaga pemerintahan (regeringsorganen).
Kosenkuensi dari menjalankan fungsi pemerintahan tersebut, maka
kedudukan kepolisian berada dibawah Presiden yang secara
ketatanegaraan tugas pemerintahan tersebut adalah tugas lembaga
eksekutif yang dikepalai Presiden.90
Implikasi kedudukan kepolisian dibawah Presiden, bahwa
tanggungjawab penyelenggaraan kepolisian menjadi tanggungjawab
Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepolisian di pimpin oleh Kapolri yang bertugas menetapkan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian, serta
bertanggung jawab atas: a. Penyelenggaraan kegiatan operasional
kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas kepolisian NRI, b.
Penyelenggaraan pembinaan kemampuan kepolisian NRI.91
Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yang diajukan oleh Presiden yang
disertai alasanya. Selain tugas yang dikemukakan di atas, Kapolri juga
dapat mewakili KNRI dalam membuat nota kerjasama atau kesepakatan
antara lembaga negara baik wilayah dalam negeri maupun luar negeri
dalam pelaksanaan tugas tertentu, yang salah satunya Mou antara TNI dan
90 Sadjijono, Op.Cit. Hal. 53
91
Ibid Hal. 7
53
Polri Nomor B/2/I/2018 dan Kerma Nomor 2/I/2018 Tentang Perbantuan
TNI kepada Kepolisian RI dalam rangka memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Berdasarkan Keppres No. 70 Tahun 2002, struktur organisasi di
tingkat Mabes Polri memiliki unsur-unsur yang terdiri dari:92
a. Unsur Pimpinan
b. Unsur Pembantu pimpinan dan pelaksana staf.
c. Unsur Pelaksana Pendidikan dan atau Pelaksana Staf Khusus
d. Unsur Pelaksana Utama Pusat.
e. Unsur Organisasi Penunjang lainnya.
D. Konsep Tentara Nasional Indonesia (TNI)
D.1. Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Prajurit Tentara Nasional Indonesia atau yang disingkat TNI.
Tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk
tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer
maupun ancaman bersenjata93
, baik ancaman yang dilakukan oleh militer
suatu negara kepada negara lain94
, maupun yang datangnya dari gerkan
kekuatan bersenjata.95
Tentara Nasional Indonesia memiliki ciri khas yang
membedakannya dengan Tentara bangsa-bangsa lain, yakni TNI
berdasarkan jati dirinya:
92 Ibid Hal. 65
93
Pasal 1 angka 21 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, dalam www.hukumonline.com , di unduh pada tanggal 24 September 2018 94
Ibid pasal 1 angka 23
95 Ibid pasal 1 angka 24
54
a. Tentara Rakyat yaitu tentara yang anggotnya berasal dari warga
negara indonesia
b. Tentara Pejuang yaitu tentara yang berjuang menegakan negara
republik indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tuganya.
c. Tentara Nasional yaitu tentara kebangsaan indonesia yang bertugas
demi kepentingan negara dan di atas kepentingan daerah, suku, ras,
dan golongan agama.
d. Tentara Profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik,
diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis,
dan dijamin kesejahteraanya, serta mengikuti kebijakan politik
negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak
asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang diratifikasi.96
Dengan demikian secara historis TNI merupakan bagian dari
rakyat, serta lahir dan berjuang bersama rakyat demi membela kepentingan
negara.
D.2. Peran dan Fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Menurut TAP-MPR Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000
Tahun 2000 tentang Peran TNI Pasal 2 ayat 2, TNI merupakan alat
negara yang berperan sebagai alat pertahanan negara, dan menjadi
komponen utama dalam sistem pertahanan negara.97
dan lebih lanjut
dipertegas dalam pasal 5 Undang-Undang TNI yang menyataka bahwa
TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan
tugasnya berdasarkan kebijkan dan keputusan politik negara.98
Maka berdasarkan peran tersebut, TNI berfungsi sebagai: a.
Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman
bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan
96
Ibid pasal 2
97 TAP MPR Nomor VII/MPR/2000
98
Undang-Undang TNI, op.cit. Pasal 5
55
wilayah, dan keselamatan bangsa. b. Penindak terhadap setiap bentuk
ancaman. c. Pemulih terhadap kondisi negara yang terganggung akibat
kekacauan keamanan.99
D.3. Tugas dan Pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Hasil amandemen ke II UUD 1945 dalam Pasal 30 ayat 3 TNI
bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
keadulatan Negara.100
Kemudian dipertegas dalam Pasal 7 ayat 1
Undang-Undang TNI yang menyatakan bahwa tugas pokok TNI;
“adalah menegakan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan Negara”.
Tugas pokok TNI dilakukan dengan Operasi Militer (OMP) untuk
Perang, dan Operasi Militer selain Perang (OMSP) yang terbagi dalam
tiga wilayah yakni wilayah darat, udara dan laut. Setiap wilayah terdiri
dari satuan angkatan masing-masing yang bertugas secara khusus yakni
ankatan darat, angkatan udara dan angkatan laut. TNI dipimpin oleh
seorang panglima sebagai perwira tertinggi yang membawahi
keseluruhan angkatan dan setiap ankatan dipimpin oleh Kepala Staf
Angkatan yang secara khusus bertanggungjawab kepada Panglima TNI
99 Ibid
100 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2018, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Cetakan Ke 17, Penerbit
Sekretariat Jenderal MPR RI, Hal. 187
56
yang bertugas untuk memimpin TNI dan termasuk mewakili dalam
pembuatan kerjasama antara lembaga negara.
D.4. Hierarki Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Sebagai Lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif ,
TNI memiliki struktur organisasi yang terdiri atas:
(a). Markas Besar TNI yang membawahi Markas Besar TNI
Angkatan Darat, Markas Besar TNI Angkatan Laut, dan Markas
Besar TNI Angkatan Udara. (b). Dalam Markas Besar TNI terdiri
dari unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan,
badan pelaksana pusat, dan komando utama operasi. (c).
Begitupula Markas Besar TNI Angkatan terdiri dari unsur
pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan
pelaksana pusat, dan komando utama pembinaan.101
Struktur organisasi Tentara Nasional Indonesia sebagai berikut:102
101
Lihat Pasal 12 UU No 34/2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia
102 Tentara Nasional Indonesia, Struktur Organisasi TNI https://tni.mil.id/struktur, diakses
12 Desember 2018