Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Definisi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit bagian dari rumah sakit yang bertugas
menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan pelayanan farmasi di rumah sakit (Depkes, 2009). Menurut The
American Society of Hospital Pharmacist (AHFS, 2011) tujuan dari farmasi
rumah sakit adalah berpartisipasi aktif dalam penyembuhan pasien dan memupuk
tanggung jawab dalam profesi dengan landasan filosofi dan etika. Pengembangan
ilmu dan profesi dengan konsultasi pendidikan dan penelitian. Meningkatkan
kemampuan administrasi dan manajemen, penyediaan obat dan alat kesehatan di
rumah sakit. Keterampilan tenaga farmasi yang bekerja di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit menjadi meningkat. Kesejahteraan staf dan pegawai yang bekerja di
lingkungan Instalasi Farmasi Rumah Sakit menjadi terjamin. Perkembangan
pengetahuan tentang farmasi rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan
(Permenkes, 2016).
2. Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Permenkes Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di rumah sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk
pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi
rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di
rumah sakit tersebut.
2.1 Tugas Pokok Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Melangsungkan
pelayanan farmasi yang optimal, menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi
profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi, melaksanakan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), memberi pelayanan bermutu melalui
analisis, dan evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi, melakukan
8
pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi, mengadakan penelitian dan
pengembangan di bidang farmasi, memfasilitasi dan mendorong tersusunnya
standar pengobatan dan formularium rumah sakit (Depkes, 2016).
2.2 Fungsi Pokok Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Memilih perbekalan
farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit, merencanakan kebutuhan
perbekalan farmasi secara optimal, mengadakan perbekalan farmasi berpedoman
pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku, memproduksi
perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah
sakit, menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku, menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian, mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di
rumah sakit.
B. Manajemen Obat
Proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan dengan memadukan penggunaan ilmu dan seni
untuk mencapai tujuan organisasi merupakan definisi dari manajemen.
Manajemen yang baik bila terselenggara unsur-unsur manajemen yaitu man,
money, methods, materials, machines, dan market diproses melalui fungsi-fungsi
manajemen. Prinsip-prinsip manajemen tersebut merupakan pegangan umum
untuk terselenggaranya fungsi-fungsi logistik dengan baik (Seto, 2015).
Manajemen obat pada dasarnya terdiri dari 4 fungsi dasar yaitu seleksi,
perencanaan, pengadaan dan distribusi serta penggunaan dalam sistem manajemen
obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan
menentukan fungsi selanjutnya. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-
faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi,
keuangan atau finansial, sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi
manajemen (SIM). Setiap tahap siklus manjemen obat yang baik harus didukung
oleh keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara
efektif dan efisien (Quick et al, 2012).
9
Seleksi
Penggunaan
Dukungan manajemen organisasi, keuangan informasi manajemen
SDM
Pengadaan
Distribusi
Gambar 1. Siklus Manajemen Obat
Pelayanan yang bermutu didukung dengan pengelolaan manajemen obat di
rumah sakit, pengelola tahap-tahap dan kegiatan diharapkan dapat berjalan
dengan baik dan saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat
yang efektif dan efisien. Pengelolaan obat yang efektif efisien dapat menjaga
ketersediaan obat setiap saat dibutuhkan dengan mutu terjamin (Quick et al,
2012). Fungsi dasar manajemen persediaan adalah :
1. Seleksi dan Perencanaan.
Membantu para dokter karena banyaknya jenis obat dan merk obat
sehingga dokter tidak mungkin up to date dan membandingkan berbagai macam
obat tersebut. Produk obat yang sangat bervariasi juga menyebabkan tidak
konsistennya pola peresepan dalam suatu sarana pelayanan kesehatan. Hal ini
akan menyulitkan dalam proses pengadaan obat. Disinilah letak peran seleksi dan
perencanaan obat.
1.1 Seleksi. Menurut Permenkes Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit, seleksi merupakan proses kegiatan sejak
dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi
pemilihan terapi, bentuk dan dosis obat, menentukan kriteria pemilihan dengan
memprioritaskan obat esensial, standarisasi, sampai menjaga dan memperbaharui
Kebijakan dan Perundang-Undangan
10
standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif Apoteker dalam
Panitia Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta
jaminan purna transaksi pembelian.
Salah satu fungsi pengelolaan obat adalah menyeleksi obat yang benar-
benar diperlukan bagi sebagian besar populasi berdasarkan pola penyakit yang
ada. Proses seleksi merupakan awal yang sangat menentukan dalam perencanaan
obat karena melalui seleksi obat akan tercermin berapa banyak item obat yang
akan dikonsumsi di masa datang (Quick et al., 2012).
Kriteria pemilihan obat yang baik meliputi jenis obat yang dipilih
seminimal mungkin dengan cara menghindari kesamaan jenis, penggunaan obat
kombinasi, kecuali jika obat mempunyai efek lebih baik dibanding obat tunggal,
apabila jenis obat banyak, maka pemilihan berdasarkan obat pilihan (drug of
choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi, menghindari obat yang tidak
mempunyai nilai terapetik, mengurangi jumlah item obat, dan meningkatkan
efisiensi obat yang tersedia merupakan tujuan dari seleksi obat.
1.2 Perencanaan. Perencanaan merupakan tahap penting dalam
pengadaan obat di IFRS. Apabila suatu rumah sakit lemah dalam perencanaan
maka akan mengakibatkan kekacauan dalam suatu siklus manajemen secara
keseluruhan, mulai dari pemborosan dalam penganggaran, membengkaknya biaya
pengadaan dan penyimpanan, tidak tersalurkannya obat, obat rusak atau
kadaluarsa.
Obat kadaluarsa dan rusak dapat dihindari dengan perencanaan yang tepat.
Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara lain konsumsi, epidemiologi dan kombinasi metode konsumsi dengan
epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Permenkes, 2016).
Tujuan perencanaan obat adalah mendapatkan jenis dan jumlah obat yang
tepat sesuai kebutuhan, menghindari kekosongan obat, meningkatkan penggunaan
obat secara rasional dan meningkatkan efisiensi penggunaan obat (Satibi, 2015).
11
Perencanaan merupakan tahap awal pada siklus pengelolaan obat. Ada
beberapa macam metode perencanaan, yaitu :
1.2.1 Metode morbiditas/epidemiologi. Metode perencanaan berdasarkan
pada penyakit yang ada. Dasarnya adalah jumlah kebutuhan obat yang digunakan
untuk beban kesakitan (morbidity load), yaitu didasarkan pada penyakit yang ada
di rumah sakit atau yang paling sering muncul di masyarakat. Dengan tahapan
menentukan beban penyakit, menentukan pedoman pengobatan, menentukan obat
dan jumlahnya.
Perencanaan dengan metode morbiditas ini lebih ideal, namun prasyarat
lebih sulit dipenuhi. Sementara kelemahannya yaitu seringkali standar pengobatan
belum tersedia atau belum disepakati dan data morbiditas tidak akurat.
1.2.2 Metode Konsumsi. Metode konsumsi paling sering dipilih dalam
perencanaan obat. Suatu metode perencanaan obat berdasarkan pada kebutuhan
riil obat pada periode lalu dengan penyesuaian dan koreksi berdasarkan pada
penggunaan obat tahun sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu
memastikan kelengkapan dan keakuratan data stok, distribusi dan penggunaan
obat, melakukan estimasi jumlah kunjungan total untuk periode yang akan datang,
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan.
Metode konsumsi akan memakan waktu lebih banyak tetapi lebih mudah
dilakukan, namun aspek medik penggunaan obat kurang dapat dipantau.
Kelemahannya yaitu kebiasaan pengobatan yang tidak rasional seolah-olah
ditolerir (Satibi, 2015).
1.2.3 Metode gabungan. Pedoman yang digunakan dalam perencanaan
obat di rumah sakit dengan metode gabungan meliputi Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN), Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit,
ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia,
penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang
lalu atau dari rencana pengembangan (Satibi, 2015).
Metode analisis ABC digunakan untuk koreksi perencanaan yang telah
dibuat terhadap aspek ekonomis, karena suatu jenis obat dapat memakan anggaran
besar disebabkan pemakaiannya banyak atau harganya mahal. Dengan analisis
12
ABC ini, dapat diidentifikasi jenis-jenis obat yang dimulai dari golongan obat
yang membutuhkan biaya terbanyak (Quick et al, 2012).
2. Pengadaan
Pengadaan bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi, obat/alat
kesehatan untuk menunjang kegiatan pelayanan rumah sakit. Pada proses
pengadaan juga dilaksanakan pengawasan terhadap persediaan sebagai proses
kontrol terhadap peredaran obat. Peredaran obat yang tinggi menunjukkan
keberhasilan dalam mengelola persediaan (Satibi, 2015).
Tahapan dalam proses pengadaan meliputi menghitung kebutuhan obat,
memilih metode pengadaan, mengelola tender, menyusun kontrak, memastikan
kualitas obat, dan ketaatan terhadap isi kontrak. Tujuan pengadaan adalah
memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik, pengiriman
obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar (Quick et al, 2012).
Strategi WHO dalam pengadaan obat ada empat yaitu pengadaaan obat-
obatan dengan harga mahal dengan jumlah yang tepat, seleksi terhadap supplier
yang dapat dipercaya dengan produk yang berkualitas, memastikan ketepatan
waktu pengiriman obat, dan mencapai kemungkinan mendapat harga total obat
yang layak.
Pengadaan bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga
yang layak, mutu yang baik, pengiriman barang yang terjamin tepat waktu, proses
berjalan lancar dan tidak memerlukan tenaga serta waktu yang berlebihan.
Beberapa jenis obat, bahan aktif yang mempunyai kadaluwarsa relatif pendek
harus diperhatikan waktu pengadaannya. Pengadaan dalam jumlah besar harus
dihindari (Permenkes, 2016)
Pengadaan di dalamnya dilakukan proses pelaksanaan rencana pengadaan
dari fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan, serta rencana pembiayaan dari
fungsi penganggaran. Fungsi pengadaan merupakan usaha-usaha dan kegiatan-
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan di dalam
fungsi perencanaan, penentuan kebutuhan maupun penganggaran (Seto, 2015).
Pemenuhan kebutuhan operasional yang telah ditetapkan dilakukan
melalui pengadaan dan perencanaan menggunakan metode konsumsi, metode
13
epidemiologi atau gabungan kedua metode tersebut. Penentuan kebutuhan obat
mengacu pada DOEN, formularium standar terapi rumah sakit, data catatan
medik, penetapan prioritas, pola penyakit, sisa persediaan, data catatan medik,
penetapan prioritas, pola penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode
sebelumnya, rencana pengembangan maupun penganggaran. Di dalam pengadaan
dilakukan proses pelaksanaan rencana pengadaan yang dapat dilakukan dengan
pembelian, pembuatan, penukaran ataupun penerimaan sumbangan.
Periode pengadaan obat di rumah sakit dapat dilakukan per tahun,
triwulan, atau per minggu. Penentuan jumlah pengadaan perlu diketahui adanya
minimum dan maximum stock, stok rata-rata, buffer stock, reordering level,
economi order quantity, lead time dan batas kadaluarsa (Permenkes, 2016). Proses
pengadaan harus memperhatikan beberapa hal : doelmatig harus sesuai kebutuhan
yang direncanakan sebelumnya, rechamatig harus sesuai dengan kemampuan
keuangan, wetmatig (cara atau sistem pengadaan) harus sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Prinsip pengadaan barang/jasa yaitu : transparan, adil, bertanggung
jawab, efektif, efisien dan good corporate governance. Menurut Hartono (2007)
tujuan pengadaan obat adalah tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang
cukup sesuai kebutuhan dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada
saat yang diperlukan.
3. Penyimpanan
Kegiatan pengaturan terhadap perbekalan farmasi menurut persyaratan
yang ditetapkan dengan cara dibedakan bentuk sediaan dan jenisnya, dibedakan
menurut suhunya dan kestabilannya, mudah tidaknya meledak/terbakar,
tahan/tidaknya terhadap cahaya, disertai dengan sistem informasi yang selalu
menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan (Permenkes, 2016).
Penyimpanan bertujuan adalah untuk mempertahankan kualitas obat,
mengoptimalkan manajemen persediaan, memberikan informasi kebutuhan obat
yang akan datang, melindungi permintaan yang naik turun, melindungi pelayanan
dari pengiriman yang terlambat, menghemat biaya pemesanan dan mengurangi
kerusakan dan kehilangan.
14
Sistem penataan obat antara lain yang pertama sistem First In First Out
(FIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan di belakang obat yang
terdahulu, yang kedua Last In First Out (LIFO) yaitu obat yang datang kemudian
diletakkan di depan obat yang datang dahulu, yang ketiga First Expired First Out
(FEFO) yaitu obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa lebih dahulu diletakkan di
depan obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa kemudian. Cara penempatan obat
yang dapat dilakukan yaitu menurut jenisnya, menurut abjad, menurut pabrik yang
memproduksi dan menurut khasiat farmakoterapinya.
4. Distribusi
Kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi di rumah sakit bertujuan
untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat
jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas
dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien untuk mempertimbangkan efisiensi
dan efektifitas sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi,
sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi
(Permenkes, 2016).
Quick et. al (2012) mengatakan proses distribusi meliputi pengesahan
bahan obat, pengendalian stok, pengadaan oleh gudang dan pengiriman ke depo-
depo obat dan pelayanan kesehatan.
Sistem pendistribusian obat ada beberapa macam yaitu unit dose
dispensing (UDD), floor stock, individual prescribing, gabungan floor stock dan
individual prescribing. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kualitas obat,
mengoptimalkan manajemen persediaan, memberikan informasi kebutuhan obat
yang akan datang, dan mengurangi kerusakan dan kehilangan (Permenkes, 2016).
5. Penggunaan
Proses yang menyangkut pelayanan resep dokter, pelayanan obat oleh
farmasi serta penggunaan obat oleh pasien. Seorang dokter diharapkan membuat
peresepan yang rasional, dengan indikasi yang tepat, dosis yang tepat,
memperhatikan efek samping dan kontra indikasinya serta mempertimbangkan
harga dan kewajarannya. Obat yang ditulis dokter pada resep selanjutnya menjadi
15
tugas instalasi farmasi untuk menyiapkan dan menyerahkannya kepada pasien
(Quick et al, 2012).
Pengobatan rasional dapat terwujud apabila memenuhi kriteria obat yang
benar, indikasi yang tepat, aman, cocok untuk pasien dan biaya terjangkau,
ketepatan dosis, cara pemakaian dan lama yang sesuai, sesuai dengan kondisi
pasien, tepat pelayanan, serta ditaati oleh pasien. Manfaat penggunaan obat yang
rasional adalah meningkatkan mutu pelayanan, mencegah pemborosan sumber
dana, dan meningkatkan akses terhadap obat esensial (Kemenkes, 2017). Pola
peresepan yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap
mutu pengobatan dan pelayanan pengobatan yang akan sangat dirasakan oleh
pasien, kemungkinan efek samping obat dan dampak psikososial (Kemenkes,
2017).
Tindakan pengobatan yang rasional meliputi identifikasi masalah pada
pasien, identifikasi penyebab kasus dan faktor pemicunya, menyusun tindakan
yang dapat dilakukan, mengkaji sumber/referensi untuk dapat melakukan tindakan
tersebut, memilih terapi yang paling sesuai untuk pasien (Quick et al., 2012).
C. Manajemen Persediaan
Faktor keberhasilan suatu perusahaan untuk melayani kebutuhan
konsumen dalam menghasilkan suatu produk layanan yang berkualitas dan tepat
waktu adalah dengan menjalankan manajemen persediaan yang baik.
Pengendalian persediaan yang efektif adalah mengoptimalkan dua tujuan yaitu
memperkecil total investasi pada persediaan obat dan menjual berbagai produk
yang benar untuk memenuhi permintaan konsumen (Seto, 2015). Persediaan
(inventory) memiliki arti sangat penting dalam sebuah organisasi, dimana
persediaan ini digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan dan memberikan
kepuasan pada kebutuhan organisasi (perusahaan) tersebut. Terdapat tiga alasan
perlunya persediaan, yaitu antisipasi adanya unsur ketidakpastian permintaan,
adanya unsur ketidakpastian pasokan dari supplier, dan adanya unsur
ketidakpastian tenggang waktu (lead time) saat dilakukan pemesanan (Quick et
al., 2012).
16
Pengendalian persediaan bertujuan antara lain adalah untuk memberikan
layanan terbaik pada pelanggan, memperlancar proses produksi, mengantisipasi
kemungkinan terjadinya kekurangan persediaan (stock out), menghadapi fluktuasi
harga, menjaga agar persediaan tidak besar, sehingga biaya yang timbul juga tidak
besar, menekan biaya pemesanan dengan cara melakukan pembelian dalam
jumlah kecil (Quick et al., 2012).
Tujuan dari manajemen persediaan adalah untuk memiliki material dalam
jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat, pada tempat yang tepat dan dengan
biaya yang rendah. Biaya persediaan adalah semua pengeluaran dan kerugian
yang timbul sebagai akibat persediaan. Biaya-biaya yang relevan dengan
kebanyakan sistem persediaan adalah sebagai berikut :
1. Biaya pemesanan (order cost)
Biaya yang dikaitkan dengan usaha untuk mendapatkan bahan dari luar
atau dengan kata lain, biaya ini timbul pada saat perusahaan melakukan
pemesanan barang. Setiap kali suatu bahan atau obat dipesan, akan menanggung
biaya pemesanan antara lain biaya telepon, surat menyurat, pemprosesan pesanan
dan biaya ekspedisi, upah, biaya pengepakan dan penimbangan, biaya
pemeriksaan penerimaan, biaya pengiriman ke gudang, dan lain-lain. Biaya
pemesanan tidak tergantung pada jumlah per item barang yang dipesan setiap kali
pemesanan. Biaya pemesanan dipengaruhi frekuensi pesanan per periode
kegiatan. Semakin sering dilakukan pemesanan, semakin besar pula total biaya
pemesanannya.
2. Biaya penyimpanan (carrying cost atau holding cost)
Biaya-biaya yang bervariasi sesuai dengan kuantitas persediaan. Biaya-
biaya variabel yang berhubungan langsung dengan jumlah persediaan antara lain
biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (penerangan, pemanas, exhaust fan, cold
storage, dehumidifier, dan lain-lain), biaya modal (opportunity cost of capital),
biaya risiko kerusakan, kecurian, biaya keusangan, biaya asuransi persediaan,
biaya pajak persediaan, dan biaya pengelolaan atau administrasi penyimpanan.
Sifat biaya penyimpanan adalah semakin besar frekuensi pembelian bahan,
semakin kecil biaya penyimpanan.
17
3. Biaya kekurangan persediaan (stock outcost)
Biaya yang timbul apabila persediaan tidak mencukupi terhadap
permintaan atas bahan tersebut. Biaya-biaya ini meliputi kehilangan penjualan,
kehilangan langganan, adanya biaya karena pemesanan khusus, biaya ekspedisi,
biaya karena terganggunya operasi, biaya kegiatan administrasi, dan lain-lain.
Biaya kekurangan bahan ini sulit diukur dalam pelaksanaannya karena sering
berupa opportunity cost.
4. Biaya yang dikaitkan dengan kapasitas
Biaya yang disebabkan perubahan dalam kapasitas produksi yang
diperlukan karena untuk memenuhi fluktuasi pasar/permintaan. Biaya yang
dikaitkan dengan kapasitas dapat berupa biaya kerja lembur, biaya pelatihan
tenaga kerja baru, dan biaya perputaran tenaga kerja (labour turn over cost).
5. Biaya barang atau bahan itu sendiri
Harga yang harus dibayar atas item yang dibeli. Biaya ini akan
dipengaruhi oleh besarnya diskon yang diberikan oleh supplier. Oleh karena itu,
biaya bahan atau barang akan bermanfaat dalam menentukan apakah perusahaan
tersebut sebaiknya menggunakan harga diskon atau tidak.
6. Biaya penyiapan
Biaya penyiapan timbul apabila bahan-bahan tidak dibeli, tetapi
diproduksi sendiri, pabrik menanggung biaya penyiapan (set up cost) untuk
memproduksi komponen tertentu antara lain biaya mesin-mesin tidak terpakai,
biaya persiapan tenaga kerja langsung, biaya penjadwalan, biaya ekspedisi, dan
sebagainya. Konsep biaya ini analog dengan biaya pemesanan (Seto, 2015).
D. Metode Pengendalian Persediaan
1. Analisis ABC
Teknik manajeman dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi
persediaan digunakanlah Analisis ABC (Always, Better, Control) atau Analisis
Pareto. Prinsip Analisis Pareto yaitu membagi persediaan ke dalam tiga kelompok
berdasarkan volume tahunan dalam jumlah uang. Gambar berikut ini dapat
menjelaskan secara lebih terperinci bentuk kurva ABC dengan cara menghitung
18
rangking masing-masing kelompok jenis barang berdasarkan hasil penjualan
dengan jumlah sisa inventory yang masih ada dalam stok. Kemudian data tersebut
di plot ke dalam bentuk kurva secara kumulatif (Quick et al, 2012).
Gambar 2. Analisis ABC
Persediaan barang yang terdiri dari banyak item sering menimbulkan
permasalahan dalam pengendalian persediaan.Untuk memudahkan dalam
pengendalian, dapat dilakukan klasifikasi item barang. Klasifikasi yang sering
digunakan adalah Klasifikasi Pareto (klasifikasi ABC), yang didasarkan pada
Hukum Pareto. Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Vilfredo Pareto, seorang
ahli ekonomi dan sosiologi berkebangsaan Italia. Ia mengemukakan bahwa
sebagian besar kekayaan di Italia dimiliki oleh sebagian kecil dari populasi
penduduk, dan ia sampai pada kesimpulan bahwa pola distribusi penghasilan di
negara-negara lain pun pada dasarnya serupa. Dalam kenyataannya, hukum ini
pun berlaku untuk barang-barang dalam persediaan (Quick et al, 2012).
Metode pengendalian persediaan dengan Analisis Pareto berdasarkan
volume obat dan harga obat untuk pemakaian obat selama periode tertentu.
Analisis ini berdasarkan pengelompokan barang menjadi kelompok A, B, dan C.
Cara pengelompokannya menurut Heizer and Render, adalah : kelompok A
meliputi obat-obatan yang menghabiskan 75% total biaya dan jumlah item
obatnya 20% total item obat, kelompok B terdiri dari obat-obatan yang
menghabiskan 15% total biaya persediaan dan jumlah item obatnya 30% total
item obat, kelompok C menghabiskan 10% total biaya dan jumlah 50% total
persediaan.
19
Markland menyimpulkan bahwa secara garis besar bahwa kelompok A
memerlukan pemantauan yang ketat, sistem pencatatan/medical records yang
lengkap dan akurat, peninjauan secara tetap harus dilakukan oleh pengambil
keputusan yang berpengaruh. Kelompok B memerlukan pengendalian yang tidak
terlalu ketat, sistem pencatatan yang cukup baik, disertai dengan peninjauan
berkala. Kelompok C memerlukan pemantauan yang sederhana, sistem pencatatan
yang sederhana, jumlah persediaan banyak dilakukan.
Langkah-langkah dalam teknik analisis Pareto adalah sebagai berikut
menentukan penggunaan tahunan setiap item persediaan, dikalikan penggunaan
tahunan setiap item dengan harga satuannya, sehingga didapat nilai penggunaan
tahunan, susun item-item persediaan dalam daftar nilai penggunaan tahunan, yang
terbesar diletakkan di atas, sedangkan terkecil diletakkan paling bawah dalam
daftar. Tambahkan secara kumulatif item persediaan dan nilai penggunaannya.
Konversikan jumlah kumulatif menjadi prosentase kumulatif.
Manfaat pengendalian persediaan secara Pareto yaitu membantu
manajemen dalam menentukan tingkat persediaan yang efisien, memberikan
perhatian pada jenis persediaan utama yang dapat memberikan cost benefit yang
besar bagi perusahaan, dapat memanfaatkan modal kerja (working capital) sebaik-
baiknya sehingga dapat memacu pertumbuhan perusahaan, sumber-sumber daya
produksi dapat dimanfaatkan secara efisien yang pada akhirnya dapat
meningkatkan produktifitas dan efisiensi fungsi-fungsi produksi.
2. Analisis VEN
Klasifikasi barang persediaan menjadi golongan VEN (Vital, Esensial dan
Non esensial) ditentukan oleh faktor makro (misalnya peraturan pemerintah atau
data epidemiologi wilayah) dan faktor mikro (misalnya jenis pelayanan kesehatan
yang tersedia di rumah sakit yang bersangkutan). Pengelompokan golongan VEN
diperoleh dari wawancara secara mendalam kepada Kepala Instalasi Farmasi,
Kepala Gudang dan Kepala Perencanaan dan Pengadaan obat di rumah sakit
tersebut.
20
Golongan obat-obat dalam sistem VEN yaitu :
2.1 Golongan V (Vital). Golongan Vital adalah obat-obat yang termasuk
dalam potensial life-saving drugs. Mempunyai efek withdrawal secara signifikan
atau sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan dasar.
2.2 Golongan E (Essensial). Golongan Essensial adalah obat-obat yang
efektif untuk mengurangi kesakitan, namun demikian sangat signifikan untuk
bermacam-macam obat tapi tidak vital untuk penyediaan sistem kesehatan dasar.
2.3 Golongan N (Non Essensial). Golongan Non Essensial adalah obat-
obat yang digunakan untuk penyakit minor atau penyakit tertentu yang efikasinya
masih diragukan, termasuk terhitung mempunyai biaya yang tinggi untuk
memperoleh keuntungan terapeutik. Langkah-langkah menentukan VEN dengan
menyusun kriteria menentukan VEN, menyediakan data pola penyakit, dan
merujuk pada pedoman pengobatan.
3. Analisis Economic Order Quantity (EOQ)
Beberapa tipe sistem pengendalian persediaan menurut Quick et. al
(2012), antara lain:
3.1 Sistem inventory perpetual. Sistem inventory perpetual ini disebut
juga fixed quantity system atau Economic Order Quantity (EOQ). Sistem tersebut,
setiap item persediaan akan dipantau setiap saat. Apabila jumlah inventory berada
pada reorder-level (ROL) yaitu tingkat inventory yang harus diadakan pembelian
baru, maka dilakukan pembelian sebesar jumlah standar yang telah ditentukan
yang disebut optimum order quantity atau Economic Order Quantity (EOQ).
Reorder-level dipengaruhi oleh selang waktu inventory obat harus dapat melayani
resep sampai pesanan tiba. Makin panjang lead time-nya maka makin besar
reorder level-nya. Pada sistem reorder-level akan cepat tercapai apabila terjadi
peningkatan jumlah resep sehingga pemesanan juga akan terjadi lebih cepat.
3.2 Sistem inventory periodic. Sistem inventory periodic ini disebut juga
fixed interval system atau Economic Order Interval (EOI) atau T-system.
Inventory diperiksa dalam selang waktu yang tepat. Apabila pada saat
pemeriksaan atau apabila diperkirakan sebelum saat pemeriksaan berikutnya
jumlah inventory sudah mencapai reorder-level maka dibuat pembelian baru
21
sebesar dari jumlah maksimum (Q + S) yang telah ditetapkan sebelumnya dengan
persediaan yang ada sekarang.
Keuntungan dari sistem EOQ adalah dimungkinkannya mengadakan
respon dengan cepat terhadap kenaikan mendadak permintaan. Karena itu pada
sistem EOQ ini diperlukan catatan inventory yang akurat, up-to-date, komunikasi,
dan pelayanan yang baik dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) serta dibantu
dengan penggunaan komputer.
Menurut Tersine dan Richard (1994) asumsi yang mendukung metode
EOQ adalah kebutuhan diketahui dan konstan, tidak ada potongan harga, biaya
penyimpanan per unit per tahun (H) konstan, biaya pemesanan (S) konstan, waktu
antara pesanan dilakukan sampai barang diterima (lead time, L) konstan, tidak
terjadi kekurangan barang (backorders).
Asumsi metode tersebut digunakan dengan pertimbangan bahwa metode
tersebut sederhana dan sering digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan
dengan harga tetap, harus selalu terdapat stok persediaan, dan diharapkan tidak
ada kekurangan/kehabisan obat. Jumlah yang paling ekonomis jika biaya
penyimpanan persediaan (holding costs atau carrying costs) dan biaya pemesanan
(order costs atau procurements costs) sama.
Gambar 3. Hubungan antara biaya penyimpanan dan biaya pemesanan
Gambar diatas menggambarkan biaya total yang terdiri dari biaya
pemesanan dan biaya penyimpanan minimum saat pemesanan dilakukan sebesar
Q, dimana nilai Q diperoleh dari perhitungan dengan EOQ.
22
Tingkat persediaan
[dalam unit]
Q
ROP ROP=dL
waktu
Gambar 4. Tingkat persediaan versus waktu bagi EOQ
ROP : reorderpoint
d : kebutuhan perhari
L : waktu tunggu (leadtime)
Permintaan akan barang adalah konstan dan seragam, sehingga grafik
persediaan dari waktu ke waktu seperti dalam gambar 4, dimana Q adalah jumlah
yang dipesan sampai mencapai titik pemesanan kembali reorder point (ROP),
adalah tingkat permintaan atau penggunaan per hari, dan lead time (L) adalah
waktu tunggu. EOQ adalah jumlah pemesanan ekonomis untuk system berulang,
jumlah order untuk tiap barang bisa dicari dengan formula sebagagi berikut :
EOQ =
Keterangan:
Co : Cost per order (sekali pesan). Termasuk biaya telepon, fax, kertas dan biaya
SDM
Cm : Cost of maintenance atau biaya penyimpanan dari persediaan dalam setahun
S : jumlah permintaan setahun
V : Cost per unit
4. Analisis Kombinasi ABC danVEN
Analisis kombinasi ABC VEN dapat dilakukan dengan Analisis PUT
(Prioritas, Utama dan Tambahan), obat yang masuk Prioritas: harus diadakan
tanpa memperdulikan sumber anggaran. Pada Analisis ABC dan VEN termasuk
dalam klasifikasi AV, BV dan CV. Obat utama dialokasikan pengadaannya dari
d
EOQ
L L
23
sumber dana tertentu. Pada Analisis ABC dan VEN termasuk dalam klasifikasi
AE, BE, CE, dan obat tambahan: dialokasikan pengadaannya setelah obat
prioritas dan utama terpenuhi. Pada Analisis ABC-VEN dalam klasifikasi AN, BN
dan CN.
Analisis kombinasi ABC VEN yaitu dengan melakukan pendekatan mana
yang paling bermanfaat dalam efisiensi atau penyesuaian dana. Jenis obat yang
termasuk kelompok A (dalam Analisis ABC) adalah benar-benar yang diperlukan
untuk menanggulangi penyakit terbanyak, dan obat tersebut statusnya harus E dan
sebagian V (dari analisis VEN). Sebaliknya jenis obat dengan golongan N
harusnya masuk dalam kelompok C (Satibi, 2015).
5. Nilai Persediaan (Inventory value)
Data - data yang dibutuhkan untuk menghitung nilai persediaan dalam
rupiah yaitudata awal pemakaian obat dan sisa persediaan. Nilai persediaan
dihitung tiap minggu merupakan persediaan dikurangi jumlah pemakaian obat
sebagai stok sisa selanjutnya dikalikan dengan harga (Indrajit, 2003)
6. Ratio Perputaran Persediaan (Inventory turn over ratio)
Pengukuran investasi persediaan (inventory invesment) dapat dilakukan
melalui pengukuran absolut dengan nilai persediaan (inventory value) dan
pengukuran relatif melalui ratio perputaran persediaan (inventory turn over ratio).
Menurut Heizer dan Render, pengukuran relatif inventory turn over Ratio
(ITOR) dengan rumus :
Inventory Turn Over Ratio =
Nilai Inventory Turn Over Ratio (ITOR) tinggi menunjukkan
meningkatnya efisiensi manajemen inventori. Makin tinggi nilai ITOR makin
rendah tingkat persediaan sebaliknya makin rendah nilai ITOR makin tinggi
tingkat persediaan. Nilai ITOR pertahun adalah yang paling realistis dalam
mengontrol persediaan obat yang efisien. Nilai ITORyang menunjukan efisiensi
telah dilakukan dengan baik berkisar antara 8 sampai 12 (Quick et al, 2012).
24
6. Tingkat Pelayanan (Customer Service Level)
Customer Service Level digunakan untuk menghitung tingkat efektivitas
persediaan barang. Digunakan rasio layanan atau tingkat layanan. Rasio layanan
menunjukkan rasio atau perbandingan dua ukuran tertentu, dan tingkat layanan
menunjukkan tingkat pelayanan tertentu. Rasio layanan adalah perbandingan
antara jumlah/nilai permintaan yang dapat dipenuhi persediaan dan jumlah/nilai
seluruh permintaan pemakai (Indrajit, 2003).
Rasio layanan =
Makin tinggi rasio layanan, berarti persediaan makin mampu memenuhi
dan menunjang keperluan rumah sakit, yang berarti pula makin efektif (Indrajit,
2003).
7. Reorder Point (ROP)
Menurut John dan Harding (2001), pada pengendalian obat dengan ROP,
keputusan mengenai kapan mengajukan pemesanan kembali terletak pada dua
faktor, yaitu ; pertimbangan tingkat pemesanan kembali secara langsung
berdasarkan pada pemakaian normal dan pertimbangan sediaan pengaman
berdasarkan derajat ketidakpastian dan tingkat pelayanan yang diminta.
8. Safety stock (SS)
Persediaan yang diadakan untuk mencegah terjadinya kekurangan
persediaan ketika permintaan tidak pasti atau karena faktor yang menentukan
besarnya persediaan ini adalah penggunaan bahan baku rata-rata selama periode
tertentu sebelum barang yang dipesan datang dan waktu tunggu yang bervariasi
(Assauri, 2008).
9. Maximum level inventory
Keadaan dimana persediaan mencapai posisi yang maksimal.Maximum
level inventory = Stok minimum + (periode pengadaan x rata-rata penggunaan
sehari).
E. Landasan Teori
Metode pengendalian persediaan Economic Order Quantity (EOQ)
digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan yang paling ekonomis
25
setiap kali pembelian. Pengendalian persediaan dapat dilakukan jika diketahui
kapan dilakukan pesanan barang dan berapa jumlah yang dipesan.
Persediaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Kediri
perlu dikendalikan, maka pada penelitian yang dilakukan akan menggunakan
metode Economic Order Quantity (EOQ) terhadap persediaan obat setelah
dinalisis ABC, yang dikombinasi dengan VEN, agar pelayanan obat di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Kediri dapat terpenuhi.
Pengendalian persediaan obat sangat penting dalam menunjang sistem
distribusi obat, dimana tanpa pengendalian persediaan yang baik maka
ketersediaan obat dalam pelaksanaan distribusi obat terhambat. Persediaan obat
terlalu banyak akan memerlukan biaya penyimpanan.
Rumah Sakit Bhayangkara Kediri pelayanan obat menjadi prioritas utama
dari pihak rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran obat gudang farmasi
ke IFRS, IGD maupun rawat inap yang merupakan penghasilan terbesar rumah
sakit, apabila persediaan obat-obat BPJS Kesehatan tersebut tidak dikelola dengan
sistem pengendalian persediaan yang baik, maka akan menyebabkan pengeluaran
dana yang cukup besar yang disebabkan oleh besarnya biaya penyimpanan, obat
kadaluarsa dan resiko terjadinya kerusakan obat.
Pengendalian persediaan obat-obat BPJS Kesehatan di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Bhayangkara Kediri penting, maka pada penelitian yang dilakukan
akan menggunakan metode ABC,VEN dan EOQ terhadap persediaan obat, agar
efisiensi biaya di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri dapat terpenuhi.
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri pada bulan
Maret – April 2019 jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan
pengambilan data secara retrospektif. Terdapat dua sumber data yakni data primer
yang diperoleh melalui wawancara Kepala Instalasi Farmasi, Kepala Gudang,
Kepala Pengadaan.Data sekunder berupa laporan stok opname obat, laporan
mengenai jenis obat BPJS Kesehatan yang digunakan, laporan mengenai harga
obat dan laporan mengenai jumlah pemakaian.
Biaya penyimpanan dalam metode EOQ lebih rinci menyesuaikan dengan
variabel-variabel biaya penyimpanan yang ada di rumah sakit sehingga diperoleh
26
efisiensi biaya atau penghematan biaya yang dikaitkan dengan menggunakan
ketiga metode ABC, VEN, dan EOQdan dengan menggunakan parameter
Inventory Turn Over Ratio (ITOR), Customer Service Level (CSL), Re Order
Point (ROP), Safety Stock (SS), dan Maximum Level Inventory,
Perencanaan persediaan obat sangat penting dalam menunjang sistem
distribusi obat, dimana tanpa perencanaan persediaan yang baik maka
ketersediaan obat dalam pelaksanaan distribusi obat terhambat. Persediaan obat
terlalu banyak akan memerlukan biaya penyimpanan yang besar, dan obat yang
tersimpan merupakan modal yang sirkulasinya berhenti, sedangkan jika terlalu
sedikit, kemungkinan ada resep yang tidak terlayani, karena persediaan
mengalami stockout yang dapat berakibat merosotnya pelayanan rumah sakit
khususnya Instalasi Farmasi, karena itu perencanaan persediaan obat dan barang
farmasi lainnya sangat penting. Adanya pengendalian yang matang dengan
penerapan metode ABC, VEN, dan EOQ maka ketepatan perencanaan akan lebih
baik.
F. Parameter Empiris
1. Analisis obat BPJS Kesehatan dengan metode ABC dan VEN dapat
menentukan efisiensi persediaan khususnya obat kategori AE.
2. Pengendalian persediaan obat BPJS Kesehatan dengan menggunakan metode
ABC, VEN dan EOQ dapat menurunkan nilai Stock Out dan menjadikan
pengelolaan obat menjadi efektif dan efisien.
27
G. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pengendalian obat-obat BPJS Kesehatan di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Kediri dapat dilihat ada skema berikut ini :
Gambar 5. Kerangka Konseptual
Perencanaan, pengadaan dan penggunaan obat tahun 2018
Analisis dengan metode ABC, VEN dan EOQ
(Pengelompokan item obat BPJS Kesehatan dengan
klasifikasi AE)
Efisiensi dalam manajemen persediaan obat
Perhitungan Inventory Turn Over Ratio (ITOR), Customer Service Level (CSL),
Re Order Point (ROP), Safety Stock (SS), dan Maximum Level Inventory
Rujukan berjenjang dan pengadaan obat melalui E-catalogue mempengaruhi
pengendalian persediaan di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri