33
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Parkir didefinisikan sebagi tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi keselamatan. Parkir mempunyai tujuan yang baik, akses yang mudah dan jika seseorang tidak dapat memarkir kendaraannya, dia tidak bisa membuat suatu perjalanan. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan maka orang akan beralih ke tempat lain. Sehingga tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan antara 300 - 400 adalah jarak berjalan yang pada umumnya masih dianggap dekat (Tamin, 2000). Masalah parkir telah menimbulkan persoalan pelik di banyak kota besar karena keterbatasan ruang kota. Meskipun demikian, parkir justru dapat dimanfaatkan sebagai peluang dan potensi atau salah satu alat pengelola lalulintas kota. Parkir berkaitan erat dengan kebutuhan ruang, sedangkan sediaan ruang terutama di daerah perkotaan sangat terbatas tergantung pada luas wilayah kota, tata guna lahan, dan bagian wilayah kota. Yang mana, bila ruang parkir dibutuhkan di wilayah pusat kegiatan, maka sediaan lahan merupakan masalah yang sangat sulit, kecuali dengan mengubah sebagian peruntukannya. Jumlah kendaraan yang bertambah setiap tahun terutama jenis kendaraan pribadi jelas menjadi penyebab utama meningkatnya kebutuhan akan ruang parkir. Kota-kota lama yang dibangun sebelum era kendaraan bermotor pasti mengalami kesulitan untuk menyediakan lahan parkir tanpa pengorbanan besar, apalagi di pusat kegiatan kota. Setiap pelaku lalu lintas mempunyai kepentingan yang berbeda dan menginginkan fasilitas parkir sesuai dengan kepentingannya. Keinginan para pengguna parkir ini patut diperhatikan oleh penyedia tempat parkir dalam merencanakan dan merancang fasilitas parkir. Selain itu, lokasi tempat parkir dengan tempat yang dituju harus berada dalam jarak yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Ketiadaan fasilitas parkir (pelataran atau gedung) di kawasan tertentu dalam kota, menyebabkan jalan menjadi tempat parkir, yang berarti mengurangi lebar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id. BAB II.pdf · 8 terhadap lalu lintas dan faktor keamanan lebih terjamin baik kecelakaan maupun kendaraannya. Kerugiannya adalah

  • Upload
    phamtu

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Parkir didefinisikan sebagi tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti

demi keselamatan. Parkir mempunyai tujuan yang baik, akses yang mudah dan

jika seseorang tidak dapat memarkir kendaraannya, dia tidak bisa membuat suatu

perjalanan. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan maka orang akan beralih ke tempat

lain. Sehingga tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan

tujuan perjalanan antara 300 - 400 adalah jarak berjalan yang pada umumnya

masih dianggap dekat (Tamin, 2000).

Masalah parkir telah menimbulkan persoalan pelik di banyak kota besar

karena keterbatasan ruang kota. Meskipun demikian, parkir justru dapat

dimanfaatkan sebagai peluang dan potensi atau salah satu alat pengelola lalulintas

kota. Parkir berkaitan erat dengan kebutuhan ruang, sedangkan sediaan ruang

terutama di daerah perkotaan sangat terbatas tergantung pada luas wilayah kota,

tata guna lahan, dan bagian wilayah kota. Yang mana, bila ruang parkir

dibutuhkan di wilayah pusat kegiatan, maka sediaan lahan merupakan masalah

yang sangat sulit, kecuali dengan mengubah sebagian peruntukannya.

Jumlah kendaraan yang bertambah setiap tahun terutama jenis kendaraan

pribadi jelas menjadi penyebab utama meningkatnya kebutuhan akan ruang parkir.

Kota-kota lama yang dibangun sebelum era kendaraan bermotor pasti mengalami

kesulitan untuk menyediakan lahan parkir tanpa pengorbanan besar, apalagi di

pusat kegiatan kota. Setiap pelaku lalu lintas mempunyai kepentingan yang

berbeda dan menginginkan fasilitas parkir sesuai dengan kepentingannya.

Keinginan para pengguna parkir ini patut diperhatikan oleh penyedia tempat

parkir dalam merencanakan dan merancang fasilitas parkir. Selain itu, lokasi

tempat parkir dengan tempat yang dituju harus berada dalam jarak yang dapat

dijangkau dengan berjalan kaki.

Ketiadaan fasilitas parkir (pelataran atau gedung) di kawasan tertentu dalam

kota, menyebabkan jalan menjadi tempat parkir, yang berarti mengurangi lebar

7

efektif jalan dan dengan sendirinya menurunkan kapasitas ruas jalan yang

bersangkutan. Akibat selanjutnya adalah kemacetan lalu lintas (Warpani, 2002).

2.2 Jenis-jenis Tempat Parkir

Jenis-jenis tempat parkir dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian

antara lain berdasarkan penempatan dan jenis peruntukan.

2.2.1 Berdasarkan Penempatannya

Menurut cara penempatannya terdapat dua cara penataan parkir yaitu :

1. Parkir di badan jalan (On Street Parking).

Parkir di tepi jalan ini mengambil tempat disepanjang jalan, dengan atau

tanpa melebarkan jalan. Parkir ini baik bagi pengunjung yang ingin

dekat dengan tujuannya. Tetapi untuk lokasi dengan intensitas

penggunaan lahan tinggi, cara ini kurang menguntungkan. Sistem parkir

di badan jalan banyak dijumpai di kota-kota di Indonesia pada

umumnya, karena beberapa keuntungan yang dimilikinya, antara lain :

a. Tidak memerlukan biaya untuk membangun ruang parkir karena

jalan sudah tersedia.

b. Praktis, mudah dicapai oleh kendaraan dalam waktu yang relatif

singkat.

c. Pada umumnya, pusat kegiatan dan daya tarik perkotaan

mengumpul di sepanjang jaringan jalan.

Walaupun demikian, akibat yang merugikan kurang disadari. Kerugian

tersebut antara lain :

a. Berkurangnya kapasitas jalan.

b. Menyebabkan kemacetan lalu lintas.

c. Mengurangi kenyamanan mengemudi.

2. Parkir di luar badan jalan (Off Street Parking).

Parkir di luar badan jalan mempunyai dua bentuk yaitu :

a. Pelataran parkir.

Suatu bentuk parkir berupa ruang terbuka atau pelataran khusus

yang disediakan untuk parkir kendaraan. Keuntungan bentuk

parkir semacam ini adalah tidak mengganggu (gangguan kecil)

8

terhadap lalu lintas dan faktor keamanan lebih terjamin baik

kecelakaan maupun kendaraannya.

Kerugiannya adalah sulitnya mencari lahan di daerah pusat kota,

jika ada harganya pasti mahal, jauh dari pusat kegiatan dan tentu

membutuhkan jalan kaki yang cukup jauh.

b. Bangunan parkir.

Bentuk penyediaan parkir berupa parkir di bangunan. Bentuk

bangunan ini dapat berupa parkir diatap bangunan, di bawah

tanah maupun bangunan bertingkat yang disediakan khusus

untuk parkir kendaraan. Ada beberapa kriteria yang harus

dipenuhi dalam pengembangan parkir digedung parkir yaitu :

i. Tersedia tata guna lahan.

ii. Memenuhi persyaratan konstruksi dan perundang-

undangan yang berlaku.

iii. Tidak mencemarkan lingkungan.

iv. Memberi kemudahan bagi pengguna jasa.

2.2.2 Berdasarkan Jenis Peruntukan Parkir

Berdasarkan jenis peruntukan parkir dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. Untuk kegiatan parkir yang tetap.

a. Pusat perdagangan.

b. Pusat perkantoran swasta atau pemerintahan.

c. Pusat perdagangan eceran atau pasar swalayan.

d. Pasar.

e. Sekolah.

f. Tempat rekreasi.

g. Hotel, dan tempat penginapan.

h. Rumah sakit.

2. Untuk kegiatan parkir yang bersifat sementara.

a. Bioskop.

b. Tempat pertunjukan.

c. Tempat pertandingan olahraga.

9

2.3 Standar Kebutuhan Ruang Parkir

Standar kebutuhan parkir adalah jumlah luas areal parkir yang dibutuhkan

untuk menampung kendaraan berdasarkan fasilitas dan tata guna lahan.

Kebutuhan parkir ini berbeda-beda untuk setiap jenis dan fungsi tata guna lahan,

daerah/kawasan pada suatu negara, sehingga adanya penelitian mengenai parkir

ini sangat perlu untuk mendapatkan standar kebutuhan parkir sesuai hal tersebut.

Diharapkan dengan menggunakan data hasil parkir akan didapatkan gambaran

mengenai kebutuhan parkir yang lebih akurat.

Dalam beberapa keadaan untuk mengetahui kebutuhan ruang parkir adalah

dengan cara menggunakan angka kebutuhan yang sudah disesuaikan terhadap

lahan yang berbeda (Warpani, 1990). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel

di bawah ini :

Tabel 2.1 Kebutuhan ruang parkir untuk guna lahan tertentu

Guna lahan Luas untuk parkir

Kawasan tempat kerja, usaha, daerah

perdagangan jasa. 1/4 dari luas lantai bangunan.

Untuk kawasan industri ringan,

industri berat. 1/8 dari luas lantai bangunan.

Bangunan pasar. Sama dengan luas lantai pasar.

Tempat tinggal untuk umum: hotel,

losmen, dan sejenisnya. Tiap kamar ada 1 (satu) petak parkir.

Sumber: Perda Tingkat I Bali, 1997, pasal 32.

2.4 Satuan Ruang Parkir (SRP)

Satuan Ruang Parkir (SRP) adalah ukuran luas efektif untuk kebutuhan satu

kendaraan termasuk ruang bebas dan bukaan pintu mobil. Satuan ruang parkir

(SRP) digunakan untuk mengukur kapasitas ruang parkir. Untuk ruang bebas

kendaraan parkir diberikan pada arah lateral dan longitudinal kendaraan. Ruang

bebas arah lateral ditetapkan pada saat posisi pintu kendaraan terbuka yang diukur

dari ujung paling luar pintu ke badan kendaraan parkir yang ada disampingnya.

Ruang bebas arah memanjang diberikan didepan kendaraan untuk menghindari

dengan dinding atau kendaraan yang lewat jalur gang. Untuk lebar bukaan pintu

merupakan fungsi karakteristik pemakai kendaraan yang memanfaatkan fasilitas

10

SRP Lp

Bp

parkir. Jadi untuk menentukan satuan ruang parkir (SRP) didasarkan atas

pertimbangan:

1. Dimensi kendaraan standar untuk mobil penumpang.

2. Ruang bebas kendaraan parkir.

3. Lebar bukaan pintu kendaraan.

Berikut ini adalah gambar Satuan Ruang Parkir (SRP) tersebut :

Keterangan :

Bp = Lebar SRP.

Lp = Panjang SRP.

Gambar 2.1 Satuan ruang parkir (SRP)

Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP) dibagi atas tiga jenis kendaraan

seperti yang ada pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2 Penentuan satuan ruang parkir (SRP).

Jenis kendaraan Satuan ruang parkir

(m²)

1. a. Mobil penumpang untuk golongan I

b. Mobil penumpang untuk golongan II

c. Mobil penumpang untuk golongan III

2. Bus/truk

3. Sepeda motor

2,30 x 5,00

2,50 x 5,00

3,00 x 5,00

3,40 x 12,50

0,75 x 2,00

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996

11

Mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan yang didasarkan

atas lebar bukaan pintu kendaraan yang didapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.3 Lebar bukaan pintu kendaraan.

Jenis bukaan pintu Penggunaan dan/atau

peruntukan fasilitas parkir Gol.

Pintu depan/belakang terbuka tahap

awal 55 cm

Karyawan/pekerja kantor

Tamu/pengunjung pusat

kegiatan perkantoran,

perdagangan,

pemerintah, universitas

I

Pintu depan/belakang terbuka

penuh 75 cm

Pengunjung tempat

olahraga, pusat

hiburan/rekreasi, hotel,

pusat perdagangan

eceran, swalayan, rumah

sakit, dan bioskop

II

Pintu depan terbuka penuh dan

ditambahkan untuk pergerakan

kursi

Orang cacat III

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.

2.5 Inventarisasi Fasilitas Parkir

Untuk keteraturan kendaraan yang parkir biasanya kendaraan ditempatkan

pada kotak-kotak parkir (stall) yang sudah disediakan. Kotak-kotak parkir ini

digambarkan secara khusus pada lantai parkir kendaraan sehingga dapat dilihat

secara jelas dan mudah.

Inventarisasi fasilitas parkir dalam studi parkir selalu dimulai dari keadaan

yang ada sekarang. Inventarisasi fasilitas parkir berguna untuk mengetahui jumlah

petak parkir yang ada pada daerah studi, yang berkaitan dengan kapasitas parkir.

Pada pelataran parkir yang tidak terdapat marka dari petak parkir, maka untuk

menentukan ukuran petak parkir dipakai standar fasilitas parkir (Warpani, 1990).

2.5.1 Pola Parkir

Untuk melakukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan parkir, terlebih

dahulu dipikirkan pola parkir yang akan diimplementasikan. Pola parkir tersebut

akan baik apabila sesuai dengan kondisi yang ada. Pola parkir tersebut adalah

sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996):

12

Akses

Gedung

E

Akhir persimpangan

0.2 m6 m 6 m

2.3 m (min)

5 m

1. Pola parkir paralel.

Pola parkir ini menampung kendaraan lebih sedikit dibandingkan dengan

pola parkir bersudut.

Gambar 2.2 Pola parkir paralel

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996

2. Pola parkir bersudut

a. Membentuk sudut 30º, 45º, 60º.

Pola parkir ini mempunyai daya tampung lebih banyak jika

dibandingkan dengan pola parkir paralel. Kemudahan dan kenyamanan

pengemudi melakukan manuver masuk dan keluar keruangan parkir

lebih besar jika dibandingkan dengan pola parkir dengan sudut 90º.

b. Membentuk sudut 90º

Pola parkir ini mempunyai daya tampung lebih banyak jika

dibandingkan dengan pola parkir paralel. Tetapi kemudahan dan

kenyamanan pengemudi melakukan manuver masuk dan keluar ke

ruangan parkir lebih sedikit jika dibandingkan dengan sudut yang lebih

kecil dari 90º.

Untuk jenis mobil penumpang, pola parkir yang membentuk sudut dapat dilihat

pada Gambar 2.3, 2.4, 2.5, dan Gambar 2.6.

13

E

12 m 9 m

D

B 0.2 m

A

C

30°

E

12 m 9 m

D

B 0.2 m

A

C

45°

A

Pola parkir dengan sudut 30º.

Gambar 2.3 Pola parkir dengan sudut 30º

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996

Keterangan:

Mobil penumpang A (m) B (m) C (m) D (m) E (m)

Golongan I 2,3 4,6 3,45 4,70 7,6

Golongan II 2,5 5,0 4,30 4,85 7,75

Golongan III 3,0 6,0 5,35 5,0 7,9

Pola parkir dengan sudut 45º.

Gambar 2.4 Pola parkir dengan sudut 45º

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996

Keterangan:

Mobil penumpang A (m) B (m) C (m) D (m) E (m)

Golongan I 2,3 3,5 2,5 5,6 9,3

Golongan II 2,5 3,7 2,6 5,65 9,35

Golongan III 3,0 4,5 3,2 5,75 9,45

14

E

12 m 9 m

D

B 0.2 m

A

C

60°

E

12 m 9 m

D

B 0.2 m

A

90°

Pola parkir dengan sudut 60º.

Gambar 2.5 Pola parkir dengan sudut 60º

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996

Keterangan:

Mobil penumpang A (m) B (m) C (m) D (m) E (m)

Golongan I 2,3 2,9 1,45 5,95 10,55

Golongan II 2,5 3,0 1,5 5,95 10,55

Golongan III 3,0 3,7 1,85 6,0 10,6

Pola parkir dengan sudut 90º.

Gambar 2.6 Pola parkir dengan sudut 90º

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996

Keterangan :

Mobil penumpang A (m) B (m) C (m) D (m) E (m)

Golongan I 2,3 2,3 - 5,4 11,2

Golongan II 2,5 2,5 - 5,4 11,2

Golongan III 3,0 3,0 - 5,4 11,2

Dimana: A = Lebar ruang parkir (meter).

B = Lebar kaki ruang parkir (meter).

C = Selisih panjang ruang parkir (meter).

15

2.0 m

0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m

De = Ruang parkir efektif (meter).

Dm = Ruang manuver (meter).

E = Ruang parkir efektif ditambah ruang manuver (meter).

Sedangkan untuk sepeda motor, penentuan pola petak parkir dapat dilihat pada

Gambar 2.7 (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996):

Gambar 2.7 Pola parkir untuk sepeda motor

2.5.2 Penentuan Sudut Parkir

Bermacam-macam hal yang perlu diperhatikan pada suatu badan jalan,

dimana hal-hal tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan sudut

parkir. Hal-hal yang menjadi pertimbangan yang secara umum digunakan adalah

sebagai berikut :

a. Lebar jalan.

b. Volume lalu lintas.

c. Karakteristik kecepatan.

d. Dimensi kendaraan.

e. Sifat peruntukan lahan sekitarnya dan peranan jalan yang bersangkutan.

Dalam penentuan sudut parkir pada suatu badan jalan berbeda antara satu

dengan yang lainnya. Dimana perbedaan tersebut dikarenakan oleh fungsi

jalan dan arah gerak lalu lintas pada jalan yang bersangkutan. Seperti yang

ditunjukan pada Tabel 2.4, 2.5, dan 2.6.

16

Tabel 2.4 Lebar minimum jalan lokal primer satu arah untuk parkir pada badan

jalan

Kriteria parkir Satu lajur Dua lajur

Sudut

parkir Lebar

ruang

parkir

(A)

m

Ruang

parkir

efektif

(D)

m

Ruang

manuver

(M)

m

D + M D + M – J

Lebar

jalan

efektif

(L)

m

Lebar

total

jalan

(W)

m

Lebar

jalan

efektif

(L)

m

Lebar

total

jalan

(W)

m

0º 2,3 2,3 3,0 5,3 2,8 3 5,8 6,0 8,8

30º 2,5 4,5 2,9 7,4 4,9 3 7,9 6,0 10,9

45º 2,5 5,1 3,7 8,8 6,3 3 9,3 6,0 12,3

60º 2,5 5,3 4,6 9,9 7,4 3 10,4 6,0 13,4

90º 2,5 5,0 5,8 10,8 8,3 3 11,3 6,0 14,3

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.

Tabel 2.5 Lebar minimum jalan lokal sekunder satu arah untuk parkir pada badan

jalan

Kriteria parkir Satu lajur Dua lajur

Sudut

parkir Lebar

ruang

parkir

(A)

m

Ruang

parkir

efektif

(D)

m

Ruang

manuver

(M)

m

D + M D + M – J

Lebar

jalan

efektif

(L)

m

Lebar

total

jalan

(W)

m

Lebar

jalan

efektif

(L)

m

Lebar

total

jalan

(W)

m

0º 2,3 2,3 3,0 5,3 2,8 2,5 5,3 5,0 7,8

30º 2,5 4,5 2,9 7,4 4,9 2,5 7,4 5,0 9,9

45º 2,5 5,1 3,7 8,8 6,3 2,5 8,8 5,0 11,3

60º 2,5 5,3 4,6 9,9 7,4 2,5 9,9 5,0 12,4

90º 2,5 5,0 5,8 10,8 8,3 2,5 10,8 5,0 13,3

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.

17

W

L

D

M J

A

Kereb

Tabel 2.6 Lebar minimum jalan kolektor satu arah untuk parkir pada badan jalan

Kriteria parkir Satu lajur Dua lajur

Sudut

parkir Lebar

ruang

parkir

(A)

m

Ruang

parkir

efektif

(D)

m

Ruang

manuver

(M)

m

D + M D + M – J

Lebar

jalan

efektif

(L)

m

Lebar

total

jalan

(W)

m

Lebar

jalan

efektif

(L)

m

Lebar

total

jalan

(W)

m

0º 2,3 2,3 3,0 5,3 2,8 3,5 6,3 7,0 9,8

30º 2,5 4,5 2,9 7,4 4,9 3,5 8,4 7,0 11,9

45º 2,5 5,1 3,7 8,8 6,3 3,5 9,8 7,0 13,3

60º 2,5 5,3 4,6 9,9 7,4 3,5 10,9 7,0 14,4

90º 2,5 5,0 5,8 10,8 8,3 3,5 11,8 7,0 15,3

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.

Sebagai salah satu contoh parkir kendaraan yang disertai dengan dimensi

yang ada dapat dilihat pada Gambar 2.8 (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat,

1996).

Gambar 2.8 Ruang Parkir Pada Badan Jalan

Dimana: A = Lebar ruang parkir (meter).

D = Ruang parkir efektif (meter).

M = Ruang manuver (meter).

J = Lebar pengurangan ruang manuver (meter).

W = Lebar total jalan (meter).

L = Lebar jalan efektif (meter).

18

2.6 Karateristik Parkir

Karakteristik Parkir merupakan suatu sifat-sifat dasar yang dapat

memberikan penilaian terhadap pelayanan parkir dan permasalahan parkir yang

terjadi pada daerah studi (Hobbs, 1995). Berdasarkan hasil dari karakteristik

parkir ini, akan dapat diketahui kondisi perparkiran yang terjadi pada daerah studi

yang meliputi: volume parkir, akumulasi parkir, rata-rata lamanya parkir, tingkat

pergantian parkir, kapasitas parkir, penyediaan ruang parkir, dan indeks parkir.

2.6.1 Volume Parkir

Volume parkir adalah merupakan jumlah dari keseluruhan kendaraan yang

menggunakan ruang parkir pada suatu lahan parkir tertentu dalam satu satuan

waktu. Waktu yang digunakan kendaraan untuk parkir, dalam menit atau jam

untuk menyatakan lamanya parkir. Data volume parkir diperlukan untuk

mengetahui intensitas penggunaan ruang parkir yang ada dilokasi penelitian.

2.6.2 Akumulasi Parkir

Akumulasi parkir adalah merupakan jumlah seluruh dari kendaraan yang

parkir di suatu tempat pada waktu tertentu dan dapat dibagi sesuai dengan

kategori jenis maksud perjalanan, dimana integrasi dari akumulasi parkir selama

periode tertentu menunjukan beban parkir/jumlah kendaraan parkir dalam satuan

jam kendaraan per periode waktu tertentu. Akumulasi parkir dapat dijadikan

ukuran kebutuhan ruang parkir di lokasi penelitian.

2.6.3 Rata-rata Lama Waktu Parkir

Rata-rata lama waktu parkir adalah lamanya suatu kendaraan berada pada

suatu parkir tertentu. Suatu ruang parkir akan mampu melayani lebih banyak

kendaraan jika waktu parkirnya singkat dibandingkan dengan ruang parkir yang

digunakan parkir oleh kendaraan dalam waktu yang lama. Menurut waktu yang

digunakan untuk parkir, maka parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Parkir waktu singkat yaitu pemarkir mempergunakan ruang parkir kurang

dari satu jam.

19

b. Parkir waktu sedang yaitu pemarkir mempergunakan ruang parkir antara

satu sampai empat jam dan untuk keperluan belanja.

c. Parkir waktu lama yaitu pemarkir mempergunakan ruang parkir lebih dari

empat jam dan biasanya untuk keperluan kerja.

Persamaan yang dapat dipakai (Oppenlender, 1976):

Nt

I . X . NxD (2.1)

Dimana:

D = Rata-rata lamanya parkir (jam/kendaraan).

Nx = Jumlah kendaraan yang parkir selama x interval (kendaraan).

X = Jumlah interval parkir.

I = Lamanya waktu setiap interval (jam).

Nt = Jumlah total kendaraan selama waktu survei (kendaraan).

2.6.4 Tingkat Pergantian Parkir (Parking Turn Over)

Tingkat pergantian parkir adalah menunjukan tingkat penggunaan ruang

parkir dan diperoleh dengan membagi jumlah total kendaraan yang parkir dengan

jumlah petak yang ada pada periode waktu tertentu.

Persamaan yang dapat dipakai (Oppenlender, 1976):

Ts . S

NtTR (2.2)

Dimana:

TR = Angka pergantian parkir (kendaraan/SRP/Jam).

Nt = Jumlah total kendaraan selama waktu survei (kendaraan).

S = Jumlah petak parkir yang ada (SRP).

Ts = Lamanya waktu survei (jam).

2.6.5 Kapasitas Parkir

Kapasitas parkir merupakan banyaknya kendaraan yang dapat dilayani

oleh suatu lahan parkir selama waktu pelayanan. Kapasitas parkir dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

20

D

SKP (2.3)

Dimana:

KP = Kapasitas parkir (kendaraan/jam).

S = Jumlah petak parkir yang ada (SRP).

D = Rata-rata lamanya parkir (kendaraan/jam).

2.6.6 Indeks parkir

Indeks parkir adalah perbandingan antara akumulasi dengan kapasitas

parkir. Indeks parkir ini dipergunakan untuk mengetahui apakah jumlah petak

parkir tersedia di lokasi penelitian memenuhi atau tidak untuk menampung

kendaraan yang parkir.

Indeks parkir dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Parkir Kapasitas

Parkir AkumulasiIP (2.4)

IP > 100% Artinya kebutuhan parkir melebihi daya tampung yang ada atau

terjadi masalah parkir.

IP = 100% Artinya kebutuhan parkir seimbang dengan daya tampung yang ada

atau normal.

IP < 100% Artinya kebutuhan parkir masih dibawah daya tampung yang ada

atau tidak ada masalah parkir.

Besarnya indeks parkir yang tertinggi didapat dari perbandingan antara

akumulasi parkir terbanyak dengan kapasitas parkir. Nilai indeks parkir yang

paling tinggi ini dipakai sebagai dasar untuk menganalisis kebutuhan fasilitas

ruang parkir (Warpani, 2002).

2.7 Kebijakan Parkir

Perparkiran merupakan bagian penting dalam manajemen lalu lintas, untuk

itu diperlukan dukungan kebijakan perparkiran yang harus dilakukan secara

konsisten dan teratur. Sasaran utama kebijakan tersebut adalah pengendalian

wilayah, meningkatkan fungsi dan peranan jalan serta keselamatan lalu lintas.

21

Bila permintaan terhadap parkir meningkat dan tidak mungkin untuk

memenuhinya maka sudah tentu mempertimbangkan penerapan suatu

kebijaksanaan untuk mengendalikannya. Adapun kebijakan parkir tersebut antara

lain: kebijakan melarang parkir, kebijakan membatasi parkir, manajemen parkir.

2.7.1 Kebijakan larangan parkir

Ada dua macam larangan parkir yaitu larangan berdasarkan tempat, dan

larangan parkir berdasarkan waktu.

Adapun tempat-tempat tertentu tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pada daerah dimana kapasitas lalu lintas diperlukan, dimana lebar jalan

secara keseluruhan dibutuhkan untuk mengalirkan arus lalu lintas.

b. Pada daerah dimana akses jalan masuk ke lahan sekitarnya diperlukan.

c. Di dalam daerah persimpangan dengan jarak minimum absolut 10 meter.

Jarak-jarak ini dikombinasikan dengan pertimbangan terhadap

keselamatan (jarak pandangan), pembatasan kapasitas (pengurangan lebar

jalan), dan lintasan membelok dari kendaraan-kendaraan besar.

d. Pada jalan yang sempit yang lebarnya kurang dari 6 meter, dan

mengijinkan parkir hanya pada 1 sisi jalan saja untuk jalan-jalan dengan

lebar 6-9 meter.

e. Dalam jarak 6 meter dari suatu penyeberangan pejalan kaki.

f. Pada jembatan dan terowongan.

g. Dalam jarak 6 meter dari sumber air (hidrant) pemadam kebakaran.

h. Selanjutnya ”parkir ganda” atau parkir diatas trotoar tidak diperbolehkan.

i. Larangan parkir pada tempat-tempat rawan macet.

Sedangkan untuk larangan parkir berdasarkan waktu diterapkan pada

daerah-daerah yang terjadi kemacetan pada jam-jam tertentu. Sehingga pada jam-

jam tersebut larangan parkir benar-benar harus diberlakukan untuk mengurangi

terjadinya kemacetan.

22

2.7.2 Kebijakan membatasi parkir

Menerapkan pembatasan kegiatan parkir merupakan salah satu dari

kebijakan parkir. Pembatasan kegiatan parkir ini dilakukan terhadap parkir di

badan jalan ataupun pada parkir di luar badan jalan, yang diterapkan terutama di

jalan-jalan utama dan di pusat-pusat kegiatan serta di jalan-jalan yang bermasalah

akibat adanya parkir.

Adapun kebijakan parkir yang diambil yang erat kaitannya dengan pembatasan

lalu lintas antara lain:

a. Mengendalikan penyediaan tempat parkir swasta dan pemerintah.

b. Mengendalikan penetapan biaya parkir swasta dan biaya parkir pemerintah.

c. Mengurangi penggunaan fasilitas parkir dalam jangka panjang dan

mendorong penggunaan parkir dalam waktu singkat.

d. Membangun gedung atau taman parkir di lokasi yang ideal.

e. Melarang parkir, terutama pada periode sibuk pada jalan-jalan tertentu.

f. Mewajibkan bangunan-bangunan umum untuk menyediakan fasilitas parkir.

2.7.3 Manajemen Parkir

Arti manajemen secara umum adalah pengaturan. Jadi manajemen parkir

berarti pengaturan dibidang perparkiran. Aktivitas parkir di badan jalan akan

membawa konsekuensi penyediaan fasilitas parkir di luar badan jalan, dimana

pengelolaan fasilitas parkir di luar badan jalan tersebut akan diusahakan oleh

pemerintah daerah atau pihak swasta. Di sisi lain aktivitas parkir, baik yang

berada di badan jalan ataupun di luar badan jalan dapat menjadi sumber

pendapatan daerah yang potensial apabila dikelola secara baik. Bila permintaan

parkir meningkat dan tidak mungkin untuk memenuhinya atau parkir yang

dilakukan di pinggir jalan mengakibatkan gangguan terhadap kelancaran lalu

lintas ataupun untuk membatasi arus lalu lintas menuju kawasan tertentu, maka

perlu untuk mempertimbangkan penerapan suatu manajemen parkir guna

mengendalikannya.

Kebijakan ini diberlakukan pada parkir di badan jalan (on street parking)

dan parkir di luar badan jalan (off street parking). Manajemen parkir dilakukan

dengan menerapkan kebijakan tarif parkir. Penerapan kebijakan ini dimaksudkan

23

untuk menentukan tarif parkir yang tepat, sehingga retribusi parkir merupakan alat

(tools) untuk pengendalian pemakaian kendaraan pribadi serta mengurangi

kemacetan lalu lintas, misalnya dengan menerapkan kebijakan sebagai berikut:

a. Level tarif parkir pada jaringan jalan yang rawan macet lebih tinggi

dari jaringan jalan lain yang tidak rawan macet.

b. Penerapan level tarif parkir didasarkan pada zona, artinya tarif parkir

di pusat kota lebih besar daripada zona wilayah antara dan luar kota.

2.8 Pengendalian Parkir

Pengendalian parkir bertujuan untuk mengurangi masalah parkir seperti

kemacetan serta berkurangnya sistem jaringan jalan. Pada jalan menuju pusat kota

akan lebih besar hambatan akibat parkir dan kebutuhan parkir, dibandingkan

dengan diluar pusat kota. Bila pemintaan parkir (demand) melampaui penyediaan

ruang parkir (supply), maka peranan ruang, waktu, dan ongkos parkir (tarif)

sebagai wacana pengendalian parkir sangat berpengaruh. Pengendalian parkir

pada tempat rawan macet, lebih ditekankan pada:

a. Pembatasan lokasi/ruang parkir, dimaksudkan untuk mengendalikan arus lalu

lintas kendaraan pribadi ke suatu daerah tertentu, atau untuk membebaskan

koridor/kawasan tertentu dari pengaruh parkir untuk tujuan kelancaran arus

lalu lintas.

b. Pembatasan dan pengendalian waktu parkir yang dilakukan pada jam-jam

sibuk.

c. Penetapan tarif optimal dapat dilakukan dengan menaikkan tarif parkir.

d. Pembatasan wilayah parkir pada sistem jaringan jalan.

2.8.1 Alat Pengendalian Parkir

Pembatasan-pembatasan parkir khususnya di jalan biasanya menurut

lokasi dan waktunya, tetapi hal ini memerlukan penegakan dan penindakan yang

tegas.

Metode-metode pengendalian yang umum dilakukan adalah:

24

a. Sistem karcis

Para pengemudi yang akan memarkir kendaraannya mendapatkan karcis dari

juru parkir, pada karcis dituliskan jam masuk ke ruang parkir dan nomor pelat

kendaraan.

b. Alat pengukur karcis

Terdiri dari jam pengukur waktu, dimana jam berfungsi untuk mengukur

lamanya parkir.

c. Sistem kartu dan disk

Dengan sistem ini pemilik kendaran diminta untuk menyerahkan kartu/disk

yang memperlihatkan waktu kedatangan kendaraan. Peraturan setempat akan

menentukan batas waktu kendaraan tersebut diijinkan menunggu/parkir.

2.9 Arus dan Komposisi Lalu Lintas

Nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan

menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu

lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan

menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara

empiris. Untuk tipe kendaraan berikut:

1. Kendaraan Ringan (LV) meliputi: mobil penumpang, opelet, mikrobis,

pick-up, dan truk kecil.

2. Kendaraan Berat (HV) meliputi: truk dan bus.

3. Sepeda Motor (MC) meliputi kendaraan bermotor beroda dua atau

termasuk sepeda motor dan skuter.

4. Kendaraan tak Bermotor (UM) yaitu kendaraan yang beroda yang

menggunakan tenaga manusia atau hewan yang termasuk sepeda, beca,

kereta kuda dan gerobak/kereta dorong.

Untuk kendaraan ringan (LV), nilai (emp) selalu 1,0. Ekivalensi mobil

penumpang (emp) untuk jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan Tabel

2.8

25

Tabel 2.7 Emp untuk jalan perkotaan tak-terbagi

Tipe jalan : Arus lalu- emp

Jalan tak terbagi lintas total

HV

MC

dua arah Lebar jalur lalu-lintas

Cw (m)

(kend/jam) ≤ 6 > 6

Dua-lajur tak 0 1,30 0,50 0,40

terbagi

(2/2 UD) ≥ 1800 1,20 0,35 0,25

Empat-lajur tak 0 1,30 0,40

terbagi

(4/2 UD) ≥ 3700 1,20 0,25 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

Tabel 2.8 Emp untuk jalan perkotaan terbagi

Tipe jalan :

Jalan satu arah dan

jalan terbagi

Arus lalulintas

per lajur

(kend/jam)

emp

HV

MC

Dua-lajur satu-arah (2/1) 0 1,3 0,40

dan

Empat-lajur terbagi (4/2D) ≥1050 1,2 0,25

Tiga-lajur satu-arah (3/1) 0 1,3 0,40

dan

Enam-lajur terbagi (6/2D) ≥1100 1,2 0,25 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

2.10 Kapasitas jalan

Kapasitas jalan adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dialirkan pada

suatu ruas jalan pada kondisi lalu lintas, geometrik jalan dan lingkungan yang ada.

Evaluasi mengenai kapasitas bukan saja bersifat mendasar pada permasalahan

pengoperasian dan perancangan lalu lintas tetapi juga dihubungkan dengan aspek

keamanan. Kapasitas merupakan ukuran kinerja (performance), pada kondisi yang

bervariasi yang dapat diterapkan pada kondisi tertentu.

Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) sebagai berikut:

C = CO . FCW . FCSP . FCSF . FCCS (2.5)

Dimana:

C = Kapasitas jalan sesungguhnya (smp/jam).

26

CO = Kapasitas dasar (smp/jam).

FCW = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas.

FCSP = Faktor penyesuaian pemisah arah.

FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping.

FCSF = Faktor penyesuaian ukuran kota.

2.10.1 Kapasitas Dasar

Kapasitas dasar (base capacity) merupakan kapasitas pada kondisi ideal.

Kapasitas dasar jalan lebih dari empat lajur (banyak lajur) dapat ditentukan

dengan menggunakan kapasitas per lajur.

Tabel 2.9 Kapasitas dasar

Tipe jalan Kapasitas dasar

(smp/jam) Catatan

Empat lajur terbagi atau jalan satu arah 1650 Per lajur

Empat lajur tak terbagi 1500 Per lajur

Dua lajur tak terbagi 2900 Total dua arah

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

2.10.2 Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas Untuk Jalan Perkotaan

(FCW)

Penentuan penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas (FCW) berdasarkan lebar

jalur lalu lintas efektif (WC). Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan lebih dari

empat lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai per lajur yang diberikan

untuk jalan empat lajur.

27

Tabel 2.10 Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas untuk jalan perkotaan (FCW)

Tipe jalan Lebar jalur lalu lintas efektif (WC) (m) FCW

Empat lajur terbagi atau

jalan satu arah

Per lajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

0,92

0,96

1,00

1,04

1,08

Empat lajur tak terbagi

Per lajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

0,91

0,95

1,00

1,05

1,09

Dua lajur tak terbagi

Total dua arah

5

6

7

8

9

10

11

0,56

0,87

1,00

1,14

1,25

1,29

1,34 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

2.10.3 Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP)

Untuk menentukan penyesuaian pemisah arah (FCSP) untuk jalan dua lajur

dua arah (2/2) dan empat lajur dua arah (4/2) tak terbagi terdapat pada Tabel 2.11

berikut:

Tabel 2.11 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCSP)

Pemisah arah SP %-% 50-50 60-40 70-30 80-20 90-10 100-0

FCSP

Dua lajur 2/2 1,00 0,94 0,88 0,82 0,76 0,70

Empat lajur 4/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 0,85

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian kapasitas untuk

pemisah arah tidak dapat diterapkan dan nilainya 1,0.

28

2.10.4 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Bahu Jalan/Kereb

(FCSF)

Hambatan samping yang berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan

perkotaan adalah:

a. Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan,

memiliki faktor bobot sebesar 0,5.

b. Jumlah kendaraan berhenti dan parkir, memiliki faktor bobot sebesar 1,0.

c. Jumlah kendaraan bermotor yang masuk dan keluar ke/dari lahan samping

jalan dan jalan sisi, memiliki faktor bobot sebesar 0,7.

d. Arus kendaraan yang bergerak lambat, yaitu arus total (kend./jam) dari

sepeda, becak, delman, pedati, traktor, dan sebagainya memiliki faktor bobot

sebesar (0,4).

Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan, tingkat

hambatan samping telah dikelompokan dalam lima kelas dari sangat rendah

sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian hambatan samping

sepanjang segmen jalan yang diamati. Adapun kelas hambatan samping pada

suatu ruas jalan dapat dilihat pada Tabel 2.12 berikut ini:

Tabel 2.12 Kelas hambatan samping

Kelas hambatan

samping (SFC) Kode

Jumlah berbobot

kejadian per 200 m

per jam (dua sisi)

Kondisi khusus

Sangat rendah VL < 100 Daerah pemukiman; jalan

samping tersedia.

Rendah L 100 - 299

Daerah pemukiman;

beberapa kendaraan umum

dsb.

Sedang M 300 - 499 Daerah industri; beberapa

toko di sisi jalan.

Tinggi H 500 - 899 Daerah komersial; aktivitas

sisi jalan tinggi.

Sangat tinggi VH > 900 Daerah komersial; aktivitas

pasar di samping jalan.

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

29

Jika data terinci hambatan samping tidak tersedia, kelas hambatan samping

dapat ditentukan dengan memeriksa uraian tentang “kondisi khusus” dari Tabel

2.10 dan pilih salah satu yang paling tepat untuk keadaan segmen jalan yang

dianalisis.

Dalam menentukan faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan bahu

jalan/kereb (FCSF) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Jalan dengan bahu

Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu

jalan (FCSF) pada jalan pertokoan dapat dilihat pada Tabel 2.13 berikut:

Tabel 2.13 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan

bahu jalan (FCSF) untuk jalan perkotaan

Tipe

jalan

Kelas

hambatan

samping

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar

bahu (FCSF)

Lebar bahu efektif Ws

≤ 0,5 1,0 1,5 ≤ 2,0

4/2 D

VL

L

M

H

VH

0,96

0,94

0,92

0,88

0,84

0,98

0,97

0,95

0,92

0,88

1,01

1,00

0,98

0,95

0,92

1,03

1,02

1,00

0,98

0,96

4/2 UD

VL

L

M

H

VH

0,96

0,94

0,92

0,87

0,80

0,99

0,97

0,95

0,91

0,86

1,01

1,00

0,98

0,94

0,90

1,03

1,02

1,00

0,98

0,95

2/2 UD

Atau

jalan

satu arah

VL

L

M

H

VH

0,94

0,92

0,89

0,82

0,73

0,96

0,94

0,92

0,86

0,79

0,99

0,97

0,95

0,90

0,85

1,01

1,00

0,98

0,95

0,91 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

2. Jalan dengan kereb

Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping( FCSF) dari Tabel 2.14

dibawah ini adalah berdasarkan jarak antara kereb dan penghalang pada trotoar

(Wk) dan kelas hambatan samping (SFC).

30

Tabel 2.14 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan

jarak kereb - penghalang (FCSF) untuk jalan perkotaan

Tipe

jalan

Kelas

hambatan

samping

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan jarak

kereb - penghalang (FCSF)

jarak kereb - penghalang Wk

≤ 0,5 1,0 1,5 ≤ 2,0

4/2 D

VL

L

M

H

VH

0,96

0,94

0,91

0,86

0,81

0,97

0,96

0,93

0,89

0,85

0,99

0,98

0,95

0,92

0,88

1,01

1,00

0,98

0,95

0,92

4/2 UD

VL

L

M

H

VH

0,95

0,93

0,90

0,84

0,77

0,97

0,95

0,92

0,87

0,81

0,99

0,97

0,95

0,90

0,85

1,01

1,00

0,97

0,93

0,90

2/2 UD

Atau

jalan

satu arah

VL

L

M

H

VH

0,93

0,90

0,86

0,78

0,68

0,95

0,92

0,88

0,81

0,72

0,97

0,95

0,91

0,84

0,77

0,99

0,97

0,94

0,88

0,82 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum,1997

2.10.5 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCCS)

Faktor penyesuaian untuk ukuran kota disesuaikan dengan jumlah penduduk

(juta).

Tabel 2.15 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCCS)

Ukuran kota

(juta penduduk)

Faktor penyesuaian

ukuran kota (FCCS)

CS < 0.1 0,86

0,1 ≤ CS < 0,5 0,90

0,5 ≤ CS < 1,0 0,94

1,0 ≤ CS < 3,0 1,00

3,0 ≤ CS 1,04 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

2.11 Volume Lalu Lintas

Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati garis

pengamatan pada suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu. Biasanya jumlah

kendaraan ini dikelompokan berdasarkan masing-masing jenis kendaraan yaitu

kendaraan ringan, kendaraan berat, sepeda motor, dan kendaraan tak bermotor.

31

2.12 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas

dan digunakan sebagai faktor utama penentuan tingkat kinerja segmen jalan. Nilai

derajat kejenuhan menunjukan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah

kapasitas atau tidak.

Persamaan dasar derajat kejenuhan adalah:

C

QDS (2.6)

Dimana:

DS = Derajat kejenuhan

Q = Arus lalu lintas (smp/jam)

C = Kapasitas ruas jalan

Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas yang

dinyatakan dengan smp/jam. Derajat kejenuhan digunakan untuk analisis prilaku

lalu lintas berupa kecepatan.

2.13 Kecepatan

Kecepatan adalah jarak yang ditempuh dalam satuan waktu, atau nilai

perubahan jarak terhadap waktu. Kecepatan dari suatu kendaraan dipengaruhi oleh

faktor-faktor manusia, kendaraan, dan prasarana, serta dipengaruhi pula oleh

kondisi arus lalu lintas, kondisi cuaca dan kondisi lingkungan di sekitarnya.

Kecepatan dipakai sebagai pengukur kualitas perjalanan bagi pengemudi.

2.13.1 Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas (PV) dapat didefinisikan sebagai kecepatan pada

tingkat nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai

kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan.

Kecepatan arus bebas kendaraan ringan dapat digunakan sebagai ukuran utama

kinerja segmen jalan pada saat arus sama dengan nol. Kecepatan arus bebas untuk

mobil penumpang biasanya 10-15% lebih tinggi dari pada tipe kendaraan lainnya.

Persamaan untuk menentukan kecepatan arus bebas mempunyai bentuk

sebagai berikut (MKJI, 1997):

32

FV = ( FVO + FVW ) x FFVSF x FFVCS (2.7)

Dimana:

FV = kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)

FVO = kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)

FVW = penyesuaian lebar jalur lalulintas efektif (km/jam) (penjumlahan)

FFVSF = Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping (perkalian)

FFVCS = faktor penyesuaian ukuran kota.

a. Kecepatan Arus Bebas Dasar

Penentuan kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan untuk jalan delapan

lajur di anggap sama seperti jalan enam lajurseperti terdapat di dalam Tabel 2.16

seperti berikut ini:

Tabel 2.16 Kecepatan arus bebas dasar (FVo) (km/jam)

Tipe Jalan

Kecepatan arus bebas dasar (FVo) (km/jam)

Kendaraan

ringan

LV

Kendaraan

berat

HV

Sepeda

Motor

MC

Semua

kendaraan

(rata-rata)

Enam-lajur terbagi (6/2 D)

atau

Tiga-lajur satu-arah(3/1)

61 52 48 57

Empat-lajur terbagi (4/2 D)

Atau

Dua-lajur satu-arah

57 50 47 55

Empat-lajur tak terbagi

(4/2 UD)

53 46 43 31

Dua-lajur tak terbagi

(2/2 UD)

44 40 40 42

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

b. Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Lebar Jalur Lalu Lintas (FVW)

Untuk jalan lebar dari empat lajur dari penyesuaian pada Tabel 2.17 untuk

jalan empat-lajur terbagi dapat digunakan.

33

Tabel 2.17 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas FVW

pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan, jalan perkotaan

Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu Lintas

Evektif (Wc) (meter) VCW

Enam-jalur terbagi atau

Jalan satu-arah

Per lajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

-4

-2

0

2

4

Empat-lajur tak terbagi Per lajue

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

-4

-2

0

2

4

Dua-lajur tak terbagi Total dua arah

5

6

7

8

9

10

11

-9,5

-3

0

3

4

6

7 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

c. Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Hambatan Samping

(FFVSF)

a. Jalan dengan bahu

Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan lebar

bahu efektif yang sesungguhnya dan tingkat hambatan samping yang dapat

dilihat pada tabel 2.18

34

Tabel 2.18 faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan lebar

bahu (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk

jalan perkotaan dengan bahu

Tipe Jalan

Kelas

hambatan

samping (SFC)

Faktor penyesuaian untuk hambatan

samping dan lebar bahu

Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)

0,5 1,0 1,5 2,0

Empat-lajur

terbagi 4/2 D

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

1,02

0,98

0,94

0,89

0,84

1,03

1,00

0,97

0,93

0,88

1,03

1,02

1,00

0,96

0,92

1,04

1,03

1,02

0,99

0,96

Empat-lajur

terbagi 4/2 U D

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

1,02

0,98

0,93

0,87

0,80

1,03

1,00

0,96

0,91

0,86

1,03

1,02

0,99

0,94

0,90

1,04

1,03

1,02

0,98

0,95

Dua-lajur tak

terbagi 2/2 UD

atau

Jalan satu-arah

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

1,00

0,96

0,90

0,82

0,37

1,01

0,98

0,93

0,86

0,79

1,01

0,99

0,96

0,90

0,85

1,01

1,00

0,99

0,95

0,91 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

b. Jalan dengan kereb

Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan jarak

antara kereb dan penghalang pada trotoar dan tingkat hambatan samping dapat

di lihat pada tabel 2.19 berikut ini:

35

Tabel 2.19 faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan jarak

kereb penghalang (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan

ringan untuk jalan perkotaan dengan kereb

Tipe Jalan

Kelas

hambatan

samping

(SFC)

Faktor penyesuaian untuk hambatan

samping dan lebar bahu

Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)

0,5 1,0 1,5 2,0

Empat-lajur

terbagi 4/2 D

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

1,00

0,97

0,93

0,87

0,81

1,00

0,98

0,95

0,90

0,85

1,01

0,99

0,97

0,93

0,88

1,02

1,00

0,99

0,96

0,92

Empat-lajur

terbagi 4/2 U D

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

1,00

0,96

0,91

0,84

0,77

1,01

0,98

0,93

0,87

0,81

1,01

0,99

0,96

0,90

0,85

1,02

1,00

0,98

0,94

0,90

Dua-lajur tak

terbagi 2/2 UD

atau

Jalan satu-arah

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0,98

0,93

0,87

0,78

0,68

0,99

0,95

0,89

0,81

0,72

0,99

0,96

0,92

0,84

0,77

1,00

0,98

0,95

0,88

0,82 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

d. Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (FFVcs)

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (juta

penduduk) ditentukan berdasarkan Tabel 2.20 berikut ini:

Tabel 2.20 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota pada kecepatan

arus bebas kendaraan ringan (FFVcs), jalan perkotaan

Ukuran kota

(juta penduduk)

Faktor penyesuaian

ukuran kota (FCCS)

CS < 0.1 0,90

0,1 ≤ CS < 0,5 0,93

0,5 ≤ CS < 1,0 0,95

1,0 ≤ CS < 3,0 1,00

3,0 ≤ CS 1,03

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997

36

2.13.2 Kecepatan Rata-rata Ruang/Kecepatan Tempuh

Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari

kendaraan ringan (LV) di sepanjang segmen jalan. Persamaan untuk penentuan

kecepatan ruang mempunyai bentuk sebagai berikut (Departemen Pekerjaan

Umum, 1997):

TT

LV (2.8)

Dimana:

V = Kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam)

L = Panjang segmen (km)

TT = Waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang segmen (jam)

2.14 Tingkat Pelayanan Jalan

Tingkat pelayanan jalan merupakan suatu indikator yang mencerminkan

tingkat kenyamanan suatu ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas

yang ada terhadap kapasitas jalan tersebut.

Apabila volume lalu lintas meningkat, maka tingkat pelayanan jalan

menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat interaksi dari faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan jalan.

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan jalan

adalah:

a. Kecepatan

b. Hambatan atau halangan lalu lintas

c. Kebebasan untuk manuver

d. Keamanan dan kenyamanan

e. Karakteristik pengemudi

Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), tidak dengan tegas menyatakan

tingkat pelayanan jalan, secara implisit kinerja jalan diukur dari Q/C rasio, akan

tetapi tidak dengan jelas mengklasifikasikan tingkat pelayanan setiap kategori

Q/C rasio. MKJI (1997) hanya merekomendasikan Q/C rasio yang masih dapat

37

diterima adalah < 0,8. Adapun tingkat pelayanan jalan dan rasio nilai Q/C

berdasarkan TRB (1985) dapat dilihat pada Tabel 2.21.

Tabel 2.21 Hubungan Q/C rasio dengan tingkat pelayanan jalan

Tingkat pelayanan Kondisi lapangan Q/C rasio

A Arus bebas dengan kecepatan tinggi,

pengemudi dapat memilih kecepatan yang

diinginkan tanpa tundaan. 0,00 – 0,20

B Arus stabil, kecepatan mulai dibatasi oleh

kondisi lalu lintas, pengemudi memiliki

kebebasan yang cukup untuk memilih

kecepatan.

0,20 – 0,45

C Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak

kendaraan dibatasi oleh kondisi lalu lintas,

pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. 0,45 – 0,754

D Volume lalu lintas mendekati tidak stabil,

kecepatan masih dikendalikan oleh kondisi

lalu lintas, rasio Q/C masih bisa ditoleransi. 0,75 – 0,85

E Volume lalu lintas mendekati kapasitas, arus

tidak stabil, kecepatan terkadang terhenti. 0,85 – 1,00

F Arus lalu lintas macet, kecepatan rendah,

antrian panjang serta hambatan/ tundaan

besar. -

Sumber: Depaartemen Perhubungan, 1996

Gambar 2.9 Kecepatan sebagai fungsi dari (Q/C) untuk jalan banyak-lajur dan

satu-arah

38

Gambar 2.9 di atas menggambarkan hubungan antara kecepatan rata-rata

dengan derajat kejenuhan.

Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio

Q/C, namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas

jalan. Kecepatan operasi dapat di ketahui dari survei langsung di lapangan.

Apabila kecepatan operasi telah di dapat, maka akan dapat dibandingkan dengan

kecepatan optimum ( kecepatan yang di pilih pengemudi saat kondisi tertentu).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar

Gambar 2.10 Tingkat pelayanana berdasarkan volume dengan kapasitas

Yang dibandingkan dengan kecepatan operasi