Upload
others
View
30
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Jahe Merah (Zingiber officinale var.
Rubrum)
Gambar 2.1 Tanaman Jahe Merah
(Sumber: dokumentasi pribadi)
Menurut Hapsoh (2008) klasifikasi jahe merah adalah sebagai berikut:
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
11
Spesies : Zingiber officinale var. Rubrum
2.1.2 Morfologi Tanaman Jahe Merah (Zingiber officinale var.
Rubrum)
Jahe merah mempunyai rimpang lebih kecil dibandingkan dengan jahe
gajah ataupun jahe kecil, berwarna merah sampai jingga muda. Seratnya
agak kasar, aromanya tajam, dan rasanya sangat pedas. Panjang akar 17,03
- 24,06 cm, diameter akar 5,36 - 5,46 mm, panjang rimpang 12,33 - 12,60
cm, tinggi rimpang 5,86 - 7,03 cm, dan berat rimpang 0,29 - 1,17 kg. Jahe
merah mempunyai batang agak keras, berbentuk bulat kecil, berwarna hijau
kemerahan, diselubungi oleh pelepah daun, dan tinggi tanaman 14,05 -
48,23 cm. Jahe merah mempunyai daun berselang-seling teratur. Warna
daun lebih hijau (gelap) dibandingkan dengan jahe gajah ataupun jahe kecil.
Permukaan daun atas berwarna hijau muda dibandingkan dengan bagian
bawah. Luas daun 32,55 - 51,18 mm, panjang daun 24,30 - 24,79 cm, lebar
daun 2,79 - 7,97 cm (Endyah, 2010).
2.1.3 Syarat Tumbuh Tanaman Jahe Merah (Zingiber officinale var.
Rubrum)
Tanaman jahe akan menghasilkan produksi secara optimal apabila
ditanam pada tempat dan lingkungan yang memenuhi persyaratan
tumbuhnya. Selain itu, varietas jahe yang secara genetik memiliki sifat
produktivitas tinggi juga dapat mempengaruhi produksi. Untuk
mendapatkan hasil yang baik, kondisi lahan juga harus diperhatikan, baik
dari tingkat kesuburan maupun topografinya.
12
Tanaman jahe dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian tempat
sekitar 200 - 600 m di atas permukaan laut. Akan tetapi, tanaman jahe juga
masih dapat tumbuh dengan baik sampai ketinggian 900 m dpl. Curah hujan
rata-rata yang dibutuhkan tanaman jahe sekitar 2.500 - 4.000 mm atau
dengan bulan basah 7 - 9 bulan. Suhu tahunan optimal untuk pertumbuhan
jahe rata-rata sekitar 25 - 30 ºC. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman jahe
adalah tanah yang subur, gembur, dan banyak mengandung bahan organik.
Jenis tanah yang cocok yaitu tanah latosol merah cokelat atau andosol.
Sementara itu, tekstur tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman jahe
adalah tanah-tanah bertekstur lempung, lempung liat berpasir, lempung
berdebu, serta lempung berliat. Untuk derajat keasaman, pH tanah yang
dibutuhkan adalah 6,8 - 7,4. Walaupun demikian, tanaman jahe masih dapat
tumbuh dengan baik dengan pH tanah minimal 4,5. Kelerengan atau
kemiringan tanah tempat tumbuhnya tanaman jahe juga harus diperhatikan.
Hal itu terkait dengan perakaran yang dangkal dari tanaman jahe tentu
berpengaruh terhadap kekuatan tanaman yang tumbuh pada lahan-lahan
berlereng. Kemiringan yang baik untuk tumbuhnya tanaman jahe adalah
tanah dengan kemiringan kurang dari 3% (Hesti, 2015).
2.1.4 Kandungan Kimia Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum)
Jahe merah mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan
jenis jahe lainnya, terutama jika ditinjau dari segi kandungan senyawa kimia
dalam rimpangnya. Menurut Lentera dalam Tri (2010), di dalam rimpang
jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) terkandung zat gingerol,
13
oleoresin, dan minyak atsiri yang tinggi, sehingga lebih banyak digunakan
sebagai bahan baku obat.
Jahe memiliki beberapa kandungan kimia yang berbeda. Beberapa
kandungan kimia pada tiga jenis jahe dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Kandungan Kimia pada Jahe Gajah, Jahe Emprit, dan Jahe
Merah
Karakteristik
Jenis Jahe
Jahe Gajah Jahe Emprit Jahe Merah
Minyak Atsiri (%) 1,62-2,29 3,05-3,48 3,90
Pati (%) 55,10 54,70 44,99
Serat (%) 6,89 6,59 8,99
Sumber: Hesti (2015).
Kandungan gingerol jahe merah lebih tinggi dibanding jahe lainnya.
Karakteristik bau dan aroma jahe berasal dari campuran senyawa zingeron,
shogaol, serta minyak atsiri dengan kisaran 1-3% dalam jahe segar.
Beberapa karakteristik jahe merah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Karakteristik Jahe Merah
Parameter Jahe Merah
Segar Simplisia
Kadar air (%) 81,83 7,85
Kadar minyak (%) 0,62 2,50
Kadar abu (%) 10,23 6,35
Kadar gingerol (%) 0,19 0,82
Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2012).
14
Jahe merah memiliki rasa pedas yang lebih tinggi, hal itu disebabkan
karena kandungan oleoresin pada jahe merah lebih tinggi dibanding jahe
gajah dan jahe emprit. Kandungan oleoresin setiap jenis jahe berbeda-beda.
Oleoresin jahe bisa mencapai sekitar 3%, tergantung jenis jahe. Oleoresin
adalah minyak damar yang merupakan campuran minyak atsiri sebagai
pembawa aroma dan sejenis damar sebagai pembawa rasa. Menurut
Ravindran dalam Hargono (2013), oleoresin jahe banyak mengandung
komponen pembentuk rasa pedas yang tidak menguap, terdiri atas gingerol,
zingiberen, shagaol, minyak jahe, dan resin. Kandungan minyak atsiri dan
oleoresin yang cukup tinggi pada rimpang jahe merah dipercaya
menyebabkan jahe merah memiliki peranan penting dalam dunia
pengobatan, baik pengobatan tradisional maupun untuk skala industri
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
2.1.5 Senyawa Antioksidan dalam Jahe Merah
Secara empiris jahe merah bisa digunakan masyarakat sebagai obat
masuk angin, gangguan pencernaan, antipiretik, anti-inflamasi, dan sebagai
analgesik. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa jahe merah
mempunyai sifat antioksidan. Menurut Zakaria dalam Junaedi (2015),
gingerol dan shagaol pada jahe merah mempunyai aktivitas antioksidan
karena mengandung cincin benzene dan gugus hidroksil.
2.1.6 Khasiat dan Manfaat Jahe Merah
Menurut Lentera dalam Tri (2010), jahe merah sebagai bahan baku
obat dengan rasanya yang panas dan pedas, telah terbukti berkhasiat dalam
15
menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti minuman penghangat
tubuh, pelega tenggorokan, pencegah mual, antimabuk, penambah nafsu
makan, penurun tekanan darah, dan manfaat lainnya.
Minyak atsiri jahe merah berisi gingerol yang berbau harum khas jahe,
berkhasiat mencegah dan mengobati mual dan muntah, misalnya karena
mabuk kendaraan atau pada wanita yang hamil muda. Rasanya yang tajam
dapat merangsang nafsu makan, memperkuat otot usus, membantu
mengeluarkan gas usus serta membantu fungsi jantung. Dalam pengobatan
tradisional Asia, jahe merah dipakai untuk mengobati salesma, batuk, diare,
dan penyakit radang sendi tulang sperti artritis. Jahe merah juga dipakai
untuk meningkatkan pembersihan tubuh melalui keringat.
Efek farmakologis jahe merah dapat memperkuat khasiat obat lain
seperti yang terlihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.3 Efek Farmakologis Zat Aktif yang Terkandung Dalam
Rimpang Jahe Merah
Jenis Zat Aktif Efek Farmakologis
Limonene
Menghambat jamur Candida
albicans, antikholinesterase, obat
flu.
1,8 cineolene
Mengatasi ejakulasi dini prematur,
anestetik antikholinesterase,
merangsang aktifitas saraf pusat,
merangsang ereksi, merangsang
keluarnya keringat, dan penguat
hepar.
10-dehydroginger-dione, 10-
ginger-dione, 6-gingerdion, 6-
gingerol
Merangsang keluarnya ASI,
menghambat kerja enzim siklo
oksidase, penekan prostaglandin.
Alpha-linolenic acid
Anti pendarahan diluar haid,
merangsang kekebalan tubuh,
merangsang produksi getah bening.
16
Arginine Mencegah kemandulan, memperkuat
daya tahan sperma.
Aspartic acid Perangsang syaraf, penyegar.
Betha-sitoserol
Perangsang hormon androgen,
menghambat hormon estrogen,
mencegah hiper-lipoprotein,
melemahkan potensi sperma, bahan
baku feroid.
Caprylic-acid Anti jamur Candida albicans.
Casaicin (seluruh bagian tanaman)
Merangsang ereksi, menghambat
keluarnya enzim 5-lipoksigenase dan
siklo-oksidase, meningkatkan
aktivitas kelenjar endokrin.
Chlorogenik acid (seluruh bagian
tanaman)
Mencegah proses penuaan,
merangsang regenerasi kulit.
Farnesol Merangsang regenerasi sel normal.
(Sumber: Lentera, 2010).
2.2 Radikal Bebas
2.2.1 Definisi Radikal Bebas
Menurut Winarsi (2007), radikal bebas (free radical) merupakan suatu
senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak
berpasangan pada orbital luarnya, sehingga senyawa tersebut sangat reaktif
mencari pasangannya.
Radikal bebas adalah atom atau gugus yang memiliki satu atom atau lebih
elektron tak berpasangan. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan
senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan. Menurut Fessenden dalam
Tina (2013), radikal bebas akan merebut elektron dari molekul lain yang ada
disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga senyawa kimia ini sering
dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan proses
penuaan.
17
Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan
oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya.
Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron.
Sebagai dampak dari kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk radikal bebas
baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk
berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua senyawa radikal
bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut
akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila
senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan
terjadi tiga kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron
yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2)
radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas,
(3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi,
2007).
2.2.2 Mekanisme Kerja
Mekanisme radikal bebas merupakan suatu deret reaksi-reaksi bertahap
yaitu permulaan suatu radikal bebas, perambatan reaksi radikal bebas, dan
pengakhiran reaksi radikal bebas. Menurut Fessenden dalam Tina (2013),
tahapan mekanisme reaksi tersebut diawali dengan pembentukan awal radikal
bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi),
dan tahap terakhir (terminasi), yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi
radikal bebas stabil dan tak reaktif.
18
2.2.3 Sumber Radikal Bebas
Winarsi (2007), menyebutkan radikal bebas dapat terbentuk melalui dua
cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia internal
maupun eksternal) dan secara eksogen (berasal dari polusi, makanan, serta
injeksi maupun absorbsi melalui injeksi).
Radikal bebas endogen dihasilkan oleh sejumlah reaksi seluler yang
dikatalisis oleh besi (Fe-2) dan reaksi enzimatik seperti lipooksigenase,
peroksidase, NADPH oksidase, dan zantin oksidase (Tuminah, 2000). Radikal
bebas eksogen merupakan radikal bebas yang berasal dari luar tubuh seperti
berbagai polutan yang berada di lingkungan yaitu emisi kendaraan bermotor
dan industri, abses, asap rokok, radiasi ionisasi, infeksi bakteri, jamur, virus,
obat nyamuk, serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat
mengoksidasi. Sumber-sumber radikal bebas yang berasal dari faktor endogen
maupun eksogen dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sumber-sumber Radikal Bebas
Sumber Endogen Sumber Eksogen
Mitokondria Rokok
Fagosit Polutan lingkungan
Xantin oksidase Radiasi
Reaksi yang melibatkan logam transisi Obat-obatan tertentu, pestisida
Jalur arakhidonat Anesti
Peroksisom Larutan industri
Olahraga Ozon
Peradangan
Iskemia/reperfusi
(Sumber: Tuminah, 2000).
19
2.2.4 Dampak Radikal Bebas terhadap Sistem Biologis
Radikal bebas dengan mudah dapat merusak berbagai makromolekul
organik yang berada di dalam tubuh seperti protein, karbohidrat, lemak, dan
nukleotida sehingga dapat terjadi kelainan metabolik maupun seluler. Menurut
Sadikin dalam Retno (2011), serangan radikal bebas terhadap molekul di
sekelilingnya akan menyebabkan reaksi berantai, kemudian menghasilkan
senyawa radikal baru. Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas bermacam-
macam, mulai dari kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit
degeneratif, hingga dapat menimbulkan kanker.
Lipid merupakan molekul yang paling sensitif terhadap serangan radikal
bebas sehingga terbentuk lipid peroksida. Terbentuknya lipid peroksida dapat
menyebabkan munculnya penyakit degeneratif (Winarsi, 2007). Radikal bebas
di dalam tubuh dapat menimbulkan terbentuknya autoimun. Autoimun
merupakan terbentuknya antibodi terhadap suatu sel di dalam tubuh, dalam
keadaan normal antibodi hanya terbentuk bila terdapat antigen yang masuk ke
dalam tubuh, maka dengan terbentuknya autoimun di dalam tubuh dalam
keadaan tidak normal menyebabkan kerusakan jaringan tubuh dan sangat
berbahaya.
2.3 Antioksidan
2.3.1 Definisi Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan.
Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi
20
berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.
Antoksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, akibatnya
kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007).
Menurut Kumalaningsih (2007), antioksidan mempunyai struktur
molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas
tanpa terganggu sama sekali fungsinya serta dapat memutus reaksi berantai dari
radikal bebas. Antioksidan merupakan suatu senyawa yang mudah sekali
teroksidasi dan dapat mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas
dalam oksidasi lipid. Apabila antioksidan bereaksi dengan radikal bebas maka
akan segera teroksidasi, sehingga jaringan atau organ tubuh yang sehat akan
terlindung dari pengaruh oksidasi dan kerusakan oleh radikal bebas.
Menurut Winarsi (2007), tubuh manusia memiliki sistem antioksidan
untuk menangkal reaktifitas radikal bebas, yang secara terus menerus dibentuk
sendiri oleh tubuh, bila jumlah senyawa oksigen reaktif ini melebihi jumlah
antioksidan dalam tubuh, maka kelebihannya akan menyerang komponen lipid,
protein, maupun DNA, sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang
disebut stress oksidatif. Reaktifitas radikal bebas dapat dihambat melalui 3 cara
sebagai berikut:
a. Mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas.
b. Menginaktivasi atau menangkap radikal dan memotong propagasi
(pemutusan rantai).
c. Memperbaiki kerusakan oleh radikal bebas.
21
2.3.2 Sumber Antioksidan
Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu
antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia)
dan antioksidan alami (antioksidan dari hasil ekstraksi bahan alam).
1. Antioksidan Sintetik
Antioksidan sintetik yang diizinkan dan umum digunakan untuk
makanan yaitu BHA (Butylated Hydroxy anisole), BHT (Butylated
Hydroxytoluene), dan profil galat. “Pada saat ini penggunaan antioksidan
sintetik mulai dibatasi karena beberapa antioksidan terbukti bersifat
karsiogenik dan beracun terhadap hewan percobaan” (Zuhra, 2008). Telah
diaporkan bahwa penggunaan antioksidan sintetik seperti BHA (Butylated
Hydroxy anisole) dan BHT (Butylated Hydroxytoluene) dapat menimbulkan
akibat buruk terhadap kesehatan manusia yaitu gangguan fungsi hati, paru,
mukosa usus, dan keracunan. Penggunaan antioksidan sintetik dapat
menimbulkan keracunan pada dosis tertentu, menurut rekomendasi Food
and Drug Administration dosis antioksidan sintetik yang diizinkan dalam
pangan adalah 0,01%-0,1% (Panagan, 2011).
2. Antioksidan Alami
Antioksidan alami merupakan jenis antioksidan yang berasal dari
tumbuhan dan hewan. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus
hidroksi dalam struktur molekulnya. Menurut Isnindar dalam Putrawan
(2014), antioksidan alami yang berasal dari tumbuhan adalah senyawa
fenolik berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin,
22
tokoferol, dan asam organik polifungsional. Senyawa fenolik tersebar di
seluruh bagian tumbuhan baik pada kayu, biji, daun, buah, akar, bunga
maupun serbuk sari. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan belakangan
ini banyak diteliti, karena flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah
atau mereduksi radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas.
2.3.3 Mekanisme Kerja Antioksidan
Menurut Winarsi (2007), berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan
digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Antioksidan primer (antioksidan endogenus), adalah suatu senyawa
dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom
hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal
antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih
stabil. Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan
senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah
terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif. Sebagai antioksidan,
enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara
memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi
produk yang lebih stabil. Antioksidan dalam kelompok ini disebut juga
chain breaking antioxidant. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida
dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase.
2. Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan non enzimatis. Kerja sistem
antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara menangkapnya, akibatnya
radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Antioksidan
23
non enzimatis dapat berupa komponen nutrisi dan komponen nutrisi dari
sayuran dan buah-buahan. Antioksidan sekunder meliputi vitamin E,
vitamin C, karoten, flavonoid bilirubin, dan albumin.
3. Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA repair dan metionin
sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan
biomolekuler yang rusak akibat reaktifitas radikal bebas. Kerusakan DNA
yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan
double strand, baik gugus non basa maupun basa.
2.4 Metode DPPH
Metode DPPH merupakan metode yang cepat, sederhana, dan tidak
membutuhkan biaya yang tinggi dalam menentukan kemampuan antioksidan
menggunakan radikal bebas 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH). Metode ini
sering digunakan untuk menguji senyawa yang berperan sebagai free radical
scavangers atau donor hidrogen dan mengevaluasi aktivitas antioksidannya, serta
mengkuantifikasi jumlah kompleks radikal antioksidan yang terbentuk. Metode
DPPH dapat digunakan untuk sampel yang berupa padatan maupun cairan
(Prakash, 2001).
DPPH biasanya digunakan sebagai substrat untuk menguji aktivitas
antioksidan beberapa senyawa antioksidan. Sumber radikal bebas dari metode ini
adalah senyawa 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil. Prinsip uji ini adalah adanya donasi
atom hidrogen dari substansi yang diajukan kepada radikal DPPH menjadi senyawa
24
non radikal difenilpikrilhidrazil yang akan ditunjukkan oleh perubahan warna
(Molyneux, 2004).
Gambar 2.2 Terjadinya reaksi antara radikal DPPH dengan antioksidan
(Windono, 2001)
Perubahan warna yang akan terjadi adalah perubahan dari larutan yang
berwarna ungu menjadi warna kuning (Pauly, 2001). Dengan uji menggunakan
radikal DPPH, penangkapan radikal DPPH oleh suatu senyawa antioksidan diikuti
dengan mengamati penurunan absorbansi pada λ 517 nm yang terjadi karena
reduksi radikal tersebut oleh antioksidan atau bereaksi dengan spesies radikal lain,
menurut reaksi:
DPPH˙ + antioksidan DPPH-H + A˙
DPPH˙ + R˙ DPPH-R
(Pokorny, 2001).
Kelebihan dari metode DPPH adalah secara teknis simpel, dapat dikerjakan
dengan cepat dan hanya membutuhkan spektrofotometer UV-Vis. Kelemahan
metode ini adalah radikal DPPH hanya dapat dilarutkan dalam media organik
(terutama media alkoholik), tidak pada media aqueous sehingga membatasi
25
kemampuannya dalam penentuan peran antioksidan hidrofolik. Penentuan aktivitas
antioksidan berdasarkan perubahan absorbansi DPPH harus diperhatikan karena
absorbansi radikal DPPH setelah bereaksi dengan antioksidan dapat berkurang oleh
cahaya, oksigen, dan tipe pelarut. Telah diketahui bahwa terjadi pengurangan
kapasitas antioksidan ketika kadar air pelarut melebihi batas tertentu dikarenakan
terkoagulasinya DPPH (Magalhaes, 2008).
Gambar 2.3 Struktur Kimia DPPH
Penggunaan DPPH untuk metode penangkapan radikal mempunyai
keuntungan yaitu mudah digunakan, mempunyai tingkat sensitivitas tinggi, dan
dapat menganalisis jumlah besar dalam jangka waktu yang singkat.
2.5 Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan adalah bentuk formulasi obat sehingga didapat suatu produk
yang siap untuk diminum atau dipakai oleh penderita supaya tercapai efek terapi
yang diinginkan (Saifullah, 2008).
Bentuk sediaan obat (BSO) diperlukan agar penggunaan senyawa obat/zat
berkhasiat dalam farmakoterapi dapat digunakan secara aman, efisien dan atau
memberikan efek yang optimal. Umumnya BSO mengandung satu atau lebih
senyawa obat/zat berkhasiat dan bahan dasar yang diperlukan untuk formulasi
tertentu. Bentuk sediaan dipilih agar:
26
a. Dapat melindungi dari kerusakan baik dari luar maupun dalam tubuh.
b. Dapat menutupi rasa pahit dan tidak enak dari bahan obat.
c. Dapat melengkapi kerja obat yang optimum (tropikal, inhalasi).
d. Dapat dikemas/dibentuk lebih menarik dan menyenangkan (Tri, 2012).
Selain itu menurut Tri (2002), dalam memilih BSO ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
a. Sifat bahan obat.
b. Sifat sediaan obat.
c. Kondisi Penderita.
d. Kondisi penyakit.
e. Harga.
Dalam produk simplisia ada dua produk yang dihasilkan, yaitu produk yang
dikonsumsi dan produk yang disimpan. Produk yang dikonsumsi ada yang bisa
secara langsung dikonsumsi, ada juga yang melalui proses. Produk yang
dikonsumsi melalui proses disebut dengan bentuk sediaan. Ada lima macam bentuk
sediaan, yaitu ekstrak, filtrat, sari, infus, dan dekok (Ariesandy, 2014).
2.5.1 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes, 2000).
27
Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi:
1. Cara Dingin
a. Maserasi, adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar).
b. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan.
2. Cara Panas
a. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin baik.
b. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
c. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-500C.
d. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
28
e. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai
titik didih air.
2.5.2 Filtrat
Filtrasi adalah metode pemisahan fisik, yang digunakan untuk
memisahkan antara cairan (larutan) dan padatan. Cairan yang telah melalui
proses filtrasi atau penyaringan disebut filtrat. Menurut Astuti (2001), filtrat
merupakan larutan jernih hasil dari penyaringan. Bentuk sediaan ini harus
segera digunakan pada saat itu juga atau tidak dapat disimpan.
2.5.3 Sari
Sari merupakan cairan hasil penyaringan dari bahan yang telah
dihancurkan. Bentuk sediaan penyarian atau sari dilakukan dengan cara
menghancurkan bahan segar dan meletakkan bahan segar yang sudah hancur
tersebut pada kain saring untuk diperas dan diambil airnya. Untuk bahan dengan
kadar air yang relatif sedikit dapat ditambahkan sedikit air. Bentuk sediaan ini
harus segera digunakan pada saat itu juga atau tidak dapat disimpan (Ariesandy,
2014).
2.5.4 Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
yaitu 96-980C selama 15-20 menit (Depkes, 2000). Infus yang mengandung
bukan bahan berkhasiat keras dibuat dengan menggunakan 10% simplisia.
Pembuatan infus merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat
sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga (BPOM. 2010). Bentuk
29
sediaan ini dapat disimpan pada suhu dingin untuk dipakai dalam jangka waktu
yang lama dengan syarat tidak terjadi kontaminasi (Ariesandy, 2014).
2.5.5 Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi herbal
dengan air pada suhu 900C selama 30 menit (BPOM, 2010). Bentuk sediaan ini
dapat disimpan pada suhu dingin untuk dipakai dalam jangka waktu yang lama
dengan syarat tidak terjadi kontaminasi (Ariesandy, 2014).
2.6 Sumber Belajar
2.6.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting
dalam pembelajaran. Sumber belajar mencakup semua hal yang dapat
memberikan suatu informasi baik manusia, benda, dan lain sebagainya. Sumber
belajar adalah segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan kegiatan belajar
yang secara fungsional dapat digunakan untuk membantu optimalisasi hasil
belajar. Optimalisasi hasil belajar ini dapat dilihat tidak hanya dari hasil belajar
namun juga dilihat dari proses interaksi siswa dengan berbagai macam sumber
belajar yang dapat merangsang pemahaman dan penguasaan terhadap materi
yang dipelajarinya (Sanjaya, 2008).
2.6.2 Manfaat Sumber Belajar
Menurut Rohani (2004) manfaat sumber belajar antara lain:
1. Memberikan pengalaman belajar secara langsung dan konkret kepada
peserta didik.
30
2. Menyajikan sesuatu yang tidak mungkin diadakan, dikunjungi, atau dilihat
secara langsung dan konkret.
3. Menambah dan memperluas cakrawala sajian yang ada di dalam kelas.
4. Memberi informasi yang akurat dan terbaru.
5. Membantu memecahkan masalah pendidikan (instruksional) baik dalam
lingkup mikro maupun makro.
6. Memberi motivasi yang positif, apabila diatur dan direncanakan
pemanfaatannya secara tepat.
7. Merangsang untuk berpikir, bersikap, dan berkembang lebih lanjut.
2.6.3 Jenis-jenis Sumber Belajar
Sumber belajar mempunyai berbagai macam jenis. Jenis sumber belajar
yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Menurut
Warsita (2008, 209-210) mengemukakan sesungguhnya sumber belajar itu
banyak jenisnya. Adapun jenis sumber belajar itu meliputi pesan (massage),
orang (people), bahan (materials/software), alat (devices/hardware), teknik
(technique), dan lingkungan (setting).
1. Pesan adalah informasi pembelajaran yang akan disampaikan yang dapat
berupa ide, fakta, ajaran, nilai, dan data.
2. Orang adalah manusia yang berperan sebagai pencari, penyimpan,
pengolah, dan penyajian pesan. Contohnya guru, dosen, dan lain
sebagainya.
3. Bahan adalah merupakan perangkat lunak (software) yang mengandung
pesan-pesan pembelajaran yang biasanya disajikan melalui peralatan
31
tertentu ataupun oleh dirinya sendiri. Contohnya buku teks, modul, dan lain
sebagainya.
4. Alat adalah perangkat keras (hardware) yang digunakan untuk menyajikan
pesan yang tersimpan dalam bahan. Contohnya OHP, proyektor slide, tape
recorder, dan lain sebagainya.
5. Teknik adalah prosedur atau langkah-langkah tertentu yang disiapkan dalam
menggunakan bahan, alat, lingkungan, dan orang untuk menyampaikan
pesan.
6. Latar atau lingkungan adalah situasi di sekitar terjadinya proses
pembelajaran tempat peserta didik menerima pesan pembelajaran.
Lingkungan dibedakan menjadi dua macam, yaitu lingkungan fisik dan
lingkungan nonfisik.
2.6.4 Pemilihan Sumber Belajar
Penggunaan sumber belajar dalam pembelajaran harus digunakan dengan
sebaik-baiknya serta harus diperhatikan dalam pemilihannya. Untuk ketepatan
penggunaan sumber belajar menurut Sitepu (2014: 55) ada pertimbangan yang
harus diperhatikan ketika memilih sumber belajar, yaitu:
1. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan waktu yang tersedia.
2. Bersifat ekonomis, dilihat dari kesesuaian antara hasil dan biaya.
3. Praktis dan sederhana, artinya mudah dalam pengaturannya.
4. Fleksibel atau luwes, dalam arti tidak kaku pelaksanaannya.
5. Sumber sesuai dengan taraf berpikir dan kemampuan pemelajar.
6. Pemelajar terampil menggunakannya.
32
2.6.5 Jurnal sebagai Sumber Belajar
Sistematika penulisan jurnal adalah sebagai berikut:
1. Judul
Setiap jurnal ilmiah harus memiliki judul yang jelas, judul akan
mempermudah pembaca mengetahui inti jurnal tanpa harus membaca
keseluruhan dari isi jurnal tersebut.
2. Abstrak
Abstrak berbeda dengan ringkasan, bagian abstrak dalam jurnal ilmiah
berfungsi untuk mencerna secara singkat isi jurnal. Abstrak disini
dimaksudkan untuk menjadi penjelas tanpa mengacu pada jurnal. Bagian
abstrak harus menyajikan sekitar 250 kata yang merangkum tujuan, metode,
hasil, dan kesimpulan.
3. Pendahuluan
Pendahuluan memuat latar belakang penelitian secara ringkas dan padat,
dan tujuan. Dukungan teori tidak perlu dimasukkan pada bagian ini, tetapi
penelitian sejenis yang sudah dilakukan dapat dinyatakan.
4. Metode Penelitian
Bagian ini menjelaskan ketika percobaan telah dilakukan. Peneliti
menjelaskan desain percobaan, peralatan, metode pengumpulan data, dan
jenis pengendalian. Jika percobaan dilakukan di alam, maka penulis
menggambarkan daerah penelitian, lokasi, dan juga menjelaskan pekerjaan
yang dilakukan. Bagian ini harus memaparkan secara rinci dan jelas
33
sehingga pembaca memiliki pengetahuan dan teknik dasar agar bisa
diduplikasikan.
5. Hasil
Peneliti menyajikan data yang ringkas dengan tinjauan menggunakan teks
naratif, tabel, atau gambar. Ingat hanya hasil yang disajikan, tidak ada
interpretasi data atau kesimpulan dari data dalam bagian ini. Data yang
dikumpulkan dalam tabel/gambar harus dilengkapi teks naratif dan
disajikan dalam bentuk yang mudah dimengerti.
6. Pembahasan
Pada bagian ini, peneliti menafsirkan data dengan pola yang diamati. Setiap
hubungan antar variabel percobaan yang penting dan setiap korelasi antara
variabel dapat dilihat jelas. Peneliti harus menyertakan penjelasan yang
berbeda dari hipotesis atau hasil yang berbeda atau serupa dengan setiap
percobaan tidak selalu harus menunjukkan perbedaan besar atau
kecenderungan untuk menjadi penting. Hasil yang negatif juga perlu
dijelaskan dan mungkin merupakan sesuatu yang penting untuk diubah
dalam penelitian.
7. Kesimpulan
Bagian ini hanya menyatakan bahwa peneliti berpikir mengenai setiap data
yang disajikan berhubungan kembali pada pertanyaan yang dinyatakan
dalam pendahuluan. Dengan mengacu pada bagian pendahuluan dan
kesimpulan, seorang pembaca harus memiliki ide yang baik dari penelitian
ini, meskipun hanya rincian spesifik.
34
8. Daftar Pustaka
Semua informasi (kutipan) yang didapat peneliti harus ditulis sesuai abjad
pada bagian ini. Hal tersebut berguna untuk pembaca yang ingin merujuk
pada literatur asli. Perhatikan bahwa referensi yang dikutip benar-benar
disebutkan pada jurnal. (Rahayu, 2012).
35
2.7 Kerangka Konsep
Radikal Bebas
Antioksidan
Alami Sintetik Bersifat
Karsiogenik
Zingiberaceae
Genus Zingiberaceae yang terbukti memiliki
Aktivitas Antioksidan: Jahe Merah (Zingiber
officinale var. Rubrum)
Sumber-sumber lingkungan:
Asap rokok
Polutan lingkungan
Obat
Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan yang digunakan:
Ekstrak
Filtrat
Sari
Infus
Dekok
Analisis Aktivitas Antioksidan pada
Berbagai Bentuk Sediaan (Ekstrak, Filtrat,
Sari, Infus, dan Dekok)
Dimanfaatkan sebagai Sumber
Belajar Biologi berupa Jurnal
36
2.8 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan studi pustaka diatas dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
1. Ada perbedaan aktivitas antioksidan pada masing-masing bentuk sediaan
(ekstrak, filtrat, sari, infus, dan dekok) pada jahe merah (Zingiber officinale var.
Rubrum).
2. Dari berbagai bentuk sediaan yang digunakan, ekstrak merupakan bentuk
sediaan yang paling efektif sebagai aktivitas antioksidan pada jahe merah
(Zingiber officinale var. Rubrum).
3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai sumber belajar biologi berbentuk
jurnal untuk SMA kelas XI pada materi sel sebagai unit terkecil kehidupan dan
bioproses pada sel.