22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Pengertian Stroke Stroke adalah gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak (Price & Wilson, 2006). Stroke juga didefinisikan sebagai kelainan fungsi otak yang timbul mendadak, disebabkan karena terjadi gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Lebih lanjut Irfan (2010) menyebutkan stroke atau cerebrovascular accident merupakan gangguan sistem saraf pusat dan merupakan penyebab utama gangguan aktivitas fungsional pada orang dewasa. 2.1.2 Etiologi Stroke Stroke biasanya diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian : (1) trombosis (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh lain), (3) iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), (4) hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berfikir, memori, bicara atau sensasi. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Pengertian …erepo.unud.ac.id/10187/3/a647e9f4030e3cde0dee74bfced59250.pdf · penderita hipertensi. Stroke hemoragik digolongkan menjadi

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke

2.1.1 Pengertian Stroke

Stroke adalah gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan

atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak (Price & Wilson,

2006). Stroke juga didefinisikan sebagai kelainan fungsi otak yang timbul

mendadak, disebabkan karena terjadi gangguan peredaran darah otak dan bisa

terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Lebih lanjut Irfan (2010)

menyebutkan stroke atau cerebrovascular accident merupakan gangguan sistem

saraf pusat dan merupakan penyebab utama gangguan aktivitas fungsional pada

orang dewasa.

2.1.2 Etiologi Stroke

Stroke biasanya diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian : (1) trombosis

(bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme serebral

(bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh lain), (3)

iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), (4) hemoragi serebral (pecahnya

pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke jaringan otak atau ruang sekitar

otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan

kehilangan sementara atau permanen gerakan, berfikir, memori, bicara atau

sensasi.

10

11

2.1.3 Faktor Resiko Stroke

National Stroke Association (2009) dalam Pudiastuti (2011) menjelaskan bahwa

setiap orang dapat menderita stroke tanpa mengenal usia, ras dan jenis kelamin.

Namun kemungkinan terserang stroke dapat diminimalisir jika seseorang

mengetahui faktor resikonya. Terdapat 2 tipe dari faktor resiko stroke yakni faktor

yang tidak dapat dikendalikan, yaitu: (a) usia, (b) jenis kelamin, (c) ras, (d)

riwayat keluarga, (e) kejadian stroke sebelumnya atau TIA (transient ischemic

attack), dan (f) fibromuscular dysplasia.

Sementara itu faktor yang dapat dikendalikan secara umum dapat dibagi menjadi

2 kategori yakni gaya hidup dan segi medis. Gaya hidup, meliputi: (a) merokok,

(b) konsumsi alkohol, (c) obesitas, (d) kurang berolahraga. Sementara dari segi

medis, meliputi: (a) tekanan darah tinggi atau hipertensi, (b) fifrilasi atrium, (c)

kolestrol tinggi, (d) diabetes, dan (e) aterosklerosis.

2.1.4 Klasifikasi Stroke

Menurut Pudiastuti (2011) stroke terbagi menjadi 2 kategori yaitu stroke

hemoragik dan stroke non hemoragik atau stroke iskemik.

a. Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga

menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu

daerah otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke hemoragik diderita oleh

penderita hipertensi.

Stroke hemoragik digolongkan menjadi 2 jenis yaitu : (1) hemoragik intraserebral

(perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak), (2) hemoragik subaraknoid

12

(perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid atau ruang sempit antara

permukaan otak dan lapisan yang menutupi otak.

b. Stroke non hemoragik atau stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya

pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau

keseluruhan terhenti. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu penumpukan

kolesterol pada dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang telah menyumbat

suatu pembuluh darah ke otak.

Stroke iskemik ini dibagi 3 jenis yaitu: (1) stroke trombotik (proses terbentuknya

thrombus hingga menjadi gumpalan), (2) stroke embolik (tertutupnya pembuluh

arteri oleh bekuan darah), (3) hipoperfusion sistemik (aliran darah ke seluruh

bagian tubuh berkurang karena adanya gangguan denyut jantung).

2.1.5 Manifestasi Klinis Stroke

Tanda dan gejala stroke yang dialami oleh setiap orang berbeda dan bervariasi,

tergantung pada daerah otak mana yang terganggu. Beberapa tanda dan gejala

stroke akut berupa:

a. Terasa semutan/seperti terbakar

b. Lumpuh/kelemahan separuh badan kanan/kiri (Hemiparesis)

c. Kesulitan menelan, sering tersedak

d. Mulut mencong dan sulit untuk bicara

e. Suara pelo, cadel (Disartia)

f. Bicara tidak lancar, kurang ucapan atau kesulitan memahami (Afasia)

g. Kepala pusing atau sakit kepala secara mendadak tanpa diketahui sebabnya

h. Gangguan penglihatan

13

i. Gerakan tidak terkontrol

j. Bingung/konfulsi, delirium, letargi, stupor atau koma

2.1.6 Komplikasi Stroke

Menurut Pudiastuti (2011) pada pasien stroke yang berbaring lama dapat terjadi

masalah fisik dan emosional diantaranya:

a. Bekuan darah (Trombosis)

Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan,

pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan embolisme paru yaitu

sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan darah ke paru.

b. Dekubitus

Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki

dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan terjadi ulkus

dekubitus dan infeksi.

c. Pneumonia

Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini

menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan

pneumoni.

d. Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)

Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi.

e. Depresi dan kecemasan

Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan reaksi emosional

dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan kehilangan fungsi

tubuh.

14

2.1.7 Penatalaksanaan Stroke

Penatalaksanaan stroke secara umum yaitu:

a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan

b. Stabilisasi hemodinamik dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid

intravena.

c. Reperfusi dan neuroproteksi, yaitu membuka sumbatan dengan pemberian obat

trombolitik dan pemberian neuroprotektor untuk melindungi bagian otak.

d. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK).

e. Pemberian nutrisi yang adekuat baik enteral maupun parenteral.

f. Pencegahan dan penanganan komplikasi

2.2 Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan

disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan dan

Saddock, 2005). Kecemasan juga didefinisikan sebagai kekhawatiran yang tidak

jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya

(Stuart, 2006). Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang

sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan.

Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak

diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman

atau bahaya yang sumbernya biasanya dari luar yang dihadapi secara sadar.

Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi sehari-hari,

pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang wajar (Maramis, 2005)

15

dalam Widosari (2010). Jadi kecemasan merupakan pengalaman subyektif dari

individu, yang merupakan suatu keadaan emosi tanpa subyek dimanifestasikan

dalam bentuk perilaku dan dapat mempengaruhi status kesehatan individu.

2.2.2 Etiologi

Ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan :

a. Teori Psikologis

Dalam teori psikologis terdapat 3 bidang utama yaitu :

1) Teori Psikoanalitik

Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego yang

memberitahukan adanya suatu dorongan yang tidak dapat diterima dan

menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam

tersebut. Idealnya penggunaan supresi sudah cukup untuk memulihkan

keseimbangan psikologis tanpa menyebabkan gejala, karena represi yang efektif

dapat menahan dorongan di bawah sadar. Namun jika represi tidak berhasil

sebagai pertahanan, mekanisme pertahanan lain (seperti konversi, pengalihan, dan

regresi) mungkin dapat menyebabkan pembentukan gejala dan menghasilkan

gambaran gangguan neurotik yang klasik (seperti histeria, fobia, neurosis obsesif-

kompulsif).

2) Teori Perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli lingkungan

spesifik. Pola berfikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif dapat

mendahului atau menyertai perilaku maladaftif dan gangguan emosianal.

16

Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dalam

situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman.

3) Teori eksistensial

Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak terdapat

stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan

kecemasan yang kronis.

b. Teori Biologis

Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga sebagai

akibat dari suatu konflik psikologis. Teori biologis meliputi :

a) Sistem Saraf Otonom

Stesor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme

sebagai berikut: ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks

serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu

ke hipotalamus dan hipopfisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan

katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom (Mudjaddid, 2006), dalam

Widosari (2010).

Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ

yang menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya:

takikardi), muskuler (contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya:

diare), pernafasan (contohnya: nafas cepat).

b) Neurotransmiter

Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah

norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Terkait dengan

17

norepinefrin, pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki

sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel sistem

noradrenergik terutama berlokasi di lokus sereleus di pons rostral dan aksonnya

keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak dan medula spinalis.

Selanjutnya terkait dengan serotonin, badan sel pada sebagian neuron

serotonergik berlokasi di nukleus raphe di batang otak rostral dan berjalan ke

korteks serebral, sistem limbik, dan hipotalamus. Beberapa laporan menyatakan

obat-obatan yang menyebabkan pelepasaan serotonin, menyebabkan peningkatan

kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan.

Selanjutnya terkait dengan gamma-aminobutyric acid (GABA), peranan GABA

dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepine sebagai

salah satu obat dari beberapa jenis gangguan kecemasan. Benzodiazepine yang

bekerja meningkatkan aktivitas GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan

kecemasan umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien gangguan kecemasan

diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal (Kaplan dan Saddock,

2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan dapat berasal dari

sumber internal atau eksternal. Faktor internal meliputi ancaman terhadap

integritas fisik, disabilitas fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan

untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang diakibatkan oleh penyakit,

trauma fisik dan pembedahan, adanya ancaman terhadap sistem diri dapat

membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada

18

individu (Stuart, 2006). Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, keadaan fisik,

sosial budaya, pendidikan dan ekonomi serta tipe kepribadian seseorang.

2.2.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis,

perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme

koping sebagai upaya untuk melawan timbulnya kecemasan. Pada orang yang

cemas akan muncul beberapa respon (Stuart, 2006), yaitu:

a. Respon Fisiologis

1) Kardiovaskuler : palpitasi, tekanan darah meningkat, tekanan darah menurun,

denyut nadi menurun/meningkat.

2) Pernafasan : Nafas cepat dan pendek, nafas dangkal dan terengah-engah.

3) Gastrointestinal : nafsu makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual dan

diare.

4) Neuromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing.

5) Traktus urinarius : sering berkemih.

6) Kulit : keringat dingin, gatal dan wajah kemerahan.

b. Respon Perilaku

Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi

terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang koordinasi, menarik diri dari

hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, dan sangat waspada.

c. Respon kognitif

Respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu

19

berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan

persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada gambaran

visual dan takut cedera atau kematian.

d. Respon afektif

Respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu, tidak sabar, gelisah,

tegang, ketakutan, waspada gugup, mati rasa, rasa bersalah dan malu.

2.2.4 Tingkat Kecemasan

Stuart (2006), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan

menggambarkan efek dari tiap tingkatan, yaitu :

a. Cemas Ringan

Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan

ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan orang menjadi

waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Seperti melihat, mendengar dan

gerakan menggenggam lebih kuat. Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi

belajar dan menumbuhkan kreatifitas.

b. Cemas Sedang

Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang

penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang mengalami

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

Kecemsan ini mempersempit lapang persepsi individu, seperti penglihatan,

pendengaran dan gerakan menggenggam berkurang.

20

c. Cemas Berat

Kecemasan dalam tingkat ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang dan

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik serta tidak dapat

berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.

Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada

suatu area lain.

d. Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Individu yang

mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

Hal ini terjadi karena individu tersebut kehilangan kendali, terjadi peningkatan

aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang

lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Individu

yang mengalami panik tidak mampu berkomunikasi secara efektif. Tingkat

kecemasan ini jika berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu

yang lama, dapat menyebabkan kelelahan yang sangat dan bahkan kematian.

2.2.5 Penatalaksanaan Kecemasan

Penatalaksanaan kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu dengan pendekatan

farmakologi dan non farmakologi.

a. Farmakologi yaitu pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-obatan

seperti benzodiazepine, bromazepam dan alprazolam yang berkhasiat untuk

memulihkan fungsi gangguan neurotrasmiter (saraf penghantar sinyal) di susunan

saraf pusat di otak (lymbic system) (Hawari, 2008).

21

b. Non farmakologi :

1) Komunikasi teraupetik, yaitu komunikasi yang disampaikan perawat pada

pasien dengan cara memberi informasi yang lengkap mulai pertama kali pasien

masuk dengan menetapkan kontrak untuk hubungan profesional, mulai dari fase

orientasi sampai dengan terminasi.

2) Psikoterapi, merupakan terapi kejiwaan degan cara memberi motivasi,

semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan

diberi keyakinan serta kepercayaan diri (Hawari, 2008).

3) Psikoreligius, yaitu dengan doa. Doa adalah mengosongkan batin dan

memohan kepada Tuhan untuk mengisinya dengan segala hal yang kita butuhkan.

Dalam doa umat mencari kekuatan yang dapat melipatgandakan energi yang

hanya terbatas dalam diri sendiri. Dan melalui doa tercipta hubungan yang dalam

antara manusia dan tuhan (Prasetyo,2007).

4) Terapi perilaku kognitif/Cognitive Behavioral Therapy(CBT) adalah suatu

pendekatan psikoterapi dengan bicara. CBT bertujuan untuk memecahkan

masalah tentang disfungsional emosi, perilaku dan kognisi melalui prosedur yang

berorientasi dan sistematis di masa sekarang, membantu pasien mengenali pikiran

yang berkontribusi pada kecemasan.

5) Terapi musik adalah sebuah aktivitas terapeutik yang menggunakan musik

sebagai media untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik

dan kesehatan emosi.

6) Terapi relaksasi nafas dalam dapat menurunkan kacemasan dengan

meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom dan meningkatkan

22

aktifitas komponen saraf parasimpatik vegetatif secara stimulan sehingga dapat

mengurangi sensasi nyeri dan stres/cemas (Cristine H, 2005) dalam Ghofur

(2007). Smeltzer & Bare (2002) dalam Ghofur A (2007) menyatakan bahwa

tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

memelihara pertukaran gas, mengurangi stres fisik maupun emosional yaitu

menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.

2.2.6 Alat Ukur Kecemasan

Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur kecemasan yang

disebut dengan HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS pertama

kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan

sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada

penelitian trial clinic. Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan

realibilitas yang cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan yaitu 0,93

dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan

menggunakan skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) akan diperoleh hasil

yang valid dan reliabel. Skala HARS merupakan skala pengukuran kecemasan

yang didasarkan pada munculnya gejala / symptom pada individu yang mengalami

kecemasan. Terdapat 14 symptom yang nampak pada individu yang mengalami

kecemasan, setiap item yang diobservasi diberi skor 5 tingkatan, skor antara 0

(tidak ada gejala sama sekali) sampai dengan 4 (gejala sangat berat) (Nursalam,

2008), yang artinya adalah :

Nilai 0 = tidak ada gejala / keluhan

23

Nilai 1 = gejala ringan / satu dari gejala yang ada

Nilai 2 = gejala sedang / separuh dari gejala yang ada

Nilai 3 = gejala berat / lebih dari separuh gejala yang ada

Nilai 4 = gejala sangat berat / semua dari gejala yang ada

Masing-masing nilai angka (skor) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan

dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang.

Total nilai (skor):

< 14 = tidak ada kecemasan

14-20 = kecemasan ringan

21-27 = kecemasan sedang

28-41 = kecemasan berat

42-56 = kecemasan sangat berat/panik

Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HARS adalah sebagai berikut :

a. Perasaan cemas, meliputi cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan

mudah tersinggung.

b. Ketegangan, meliputi merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat dengan tenang,

mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.

c. Ketakutan, meliputi ketakutan pada gelap,pada orang asing, takut ditinggal

sendiri, takut pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan

banyak orang.

d. Gangguan tidur, sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak

nyenyak, badan lesu, banyak mimpi-mimpi, mimpi buruk dan menakutkan.

24

e. Gangguan kecerdasan meliputi, sukar konsentraasi, daya ingat menurun dan

daya ingat buruk, sering bingung.

f. Perasaan depresi (murung) meliputi hilangnya minat, berkurangnya

kesenangan pada hobi, sedih dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari.

g. Gejala somatik atau fisik (otot), meliputi nyeri pada otot kaki, kedutan otot,

gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.

h. Gejala somatik atau fisik (sensorik), meliputi tinitus/telinga mendenging,

penglihatan kabur, merasa lemas dan sensasi ditusuk-tusuk.

i. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), meliputi takikardi,

berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi terasa kuat dan keras, lemas seperti

mau pingsan dan detak jantung berhenti sebentar.

j. Gejala respiratori, meliputi rasa tertekan /sempit di dada, rasa tercekik, sering

menarik nafas, nafas pendek atau sesak.

k. Gejala gastrointestinal, meliputi sulit menelan, mual muntah, berat badan

menurun, konstipasi/sulit BAB, gangguan pencernaan, nyeri lambung sebelum

dan sesudah makan, perasaan panas di perut, rasa penuh/kembung.

l. Gejala urogenital, meliputi sering buang air kecil, tidak dapat menahan

kencing, tidak datang bulan /haid, darah haid berlebihan/terlalu sedikit, masa haid

berkepanjangan/sangat pendek, frigid, ejakulasi dini, ereksi melemah dan

impotensi.

m. Gejala autonum, meliputi mulut kering, muka kering, mudah berkeringat,

kepala pusing/ kepala terasa berat, dan bulu roma berdiri.

25

n. Tingkah laku/sikap pada saat wawancara, meliputi gelisah, tidak tenang, jari

gemetar, kening berkerut, muka tegang, otot tegang/mengeras, nafas pendek dan

cepat, dan muka merah.

2.3 Terapi Musik

2.3.1 Pengertian Terapi Musik

Terapi musik adalah menggunakan musik yang sederhana, menenangkan dan

mempunyai tempo yang teratur sebagai salah satu cara untuk mengatasi stres dan

menimbulkan kondisi rileks pada seseorang (Mucci, 2004). Lebih lanjut Djohan

(2006) mendefinisikan terapi musik adalah penggunaan musik dan atau elemen

musik (suara,irama, melodi dan harmoni) yang bertujuan untuk membangun

komunikasi, meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas,

mengungkapkan ekspresi dan untuk mencapai tujuan terapi lainnya.

Musik adalah bunyi dalam suatu rangkaian yang teratur, memiliki kekuatan dan

dapat merubah perilaku, membuat tubuh rileks dan berenergi, membangkitkan

semangat, mempengaruhi perkembangan kognitif dan meningkatkan mekanisme

penyembuhan diri sendiri serta membuat janin belajar dan mengingat (Peretz,

2003), yang dikutip oleh Pusat pemeliharaan peningkatan dan penanggulangan

intelegensia kesehatan Depkes RI (2009).

2.3.2 Jenis – Jenis Musik Untuk Terapi

Menurut Mucci (2004), pemilihan jenis musik sangat penting untuk memberikan

efek terapi. Musik yang dipilih hendaknya yang sederhana, menenangkan dan

mempunyai tempo yang teratur. Jenis musik yang tidak disarankan adalah musik

26

pop, disko, rock and roll dan musik yang berirama keras. Adapun jenis musik

yang sering digunakan sebagai terapi antara lain :

a. Musik Klasik, merupakan perpaduan instrumen yang menggunakan violin,

biola, piano dan cello sebagai musiknya. Musik klasik memiliki dampak

psikofisik yang menimbulkan kesan rileks, santai, cenderung membuat detak

jantung bersifat konstan, memberi dampak menenangkan dan menurunkan stres.

Tetapi pemakaian jenis musik ini perlu mempertimbangkan tentang waktu

tampilan musik, taraf usia perkembangan dan latar belakang budaya (Fausi, 2006).

b. Musik Relaksasi, merupakan musik bernuansa lembut, monoton dan datar.

Kelembutan musiknya bisa menenangkan seseorang. Musik ini digunakan sebagai

salah satu cara untuk mengatasi stres, cemas dan menimbulkan kondisi rileks pada

seseorang. Menurut Wigram et al (2001) dalam Windari (2011) menyebutkan

elemen-elemen musik yang dapat mempengaruhi relaksasi diantaranya : 1) tempo

yang stabil, 2) stabilitas atau perubahan secara bertahap pada ,volume, irama,

timbre, pitch dan harmoni, 3) testur yang konsisten, 4) garis melodi yang

terprediksi, 5) pengulangan materi, 6) struktur dan bentuk yang tetap dan 7)

timbre yang mantap. Musik relaksasi yang terbaik adalah musik instrumental,

musik alam sekitar dan musik mediatif (Mucci, 2004).

Salah satu jenis musik instrumental yang bisa digunakan untuk terapi adalah

musik rindik. Rindik adalah salah satu alat musik tradisional yang berasal dari

Bali, terbuat dari bahan dasar bambu yang dibentuk dengan panjang dan ukuran

yang berbeda-beda, sehingga dapat menghasilkan nada-nada yang harmonis.

Rindik disusun oleh dua jenis tipe nada yaitu “lanang” (rhytm dari suatu lagu),

27

dan “wadon” (melodi dari suatu lagu). Nada yang dihasilkan rindik disusun

berdasarkan sistem nada selendro yaitu sistem nada yang dikenal di daerah Bali

dengan sebutan “salih lima”, dimana hanya terdiri dari lima garis nada: nding,

ndong, ndeng, ndung, dan nding tinggi. Rindik biasa dimainkan oleh dua orang

pemain dimana satu orang sebagai “penyangsih” yang memainkan tempo yang

berbeda dengan pemain lainnya, sehingga menghasilkan suara yang bersahut-

sahutan. Suara yang dihasilkan rindik bersifat alami daan relaksasi.

2.3.3 Manfaat Terapi Musik

Sebenarnya ada banyak sekali manfaat dari terapi musik. Menurut Pusat Riset

Terapi Musik dan Gelombang Otak beberapa manfaat utama dari terapi musik

antara lain :

a. Memicu tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri secara alami. Setiap orang

memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri berbeda-beda, dengan terapi

musik penyembuhan diri dapat ditingkatkan.

b. Meningkatkan kekebalan tubuh, menurut penelitian apabila jenis musik yang

kita dengar sesuai dan dapat diterima oleh tubuh manusia, maka tubuh akan

bereaksi dengan mengeluarkan hormon serotonin yang dapat menimbulkan rasa

nikmat dan senang sehingga tubuh akan menjadi lebih kuat (dengan meningkatkan

sistem kekebalan tubuh) dan membuat kita menjadi lebih sehat.

c. Relaksasi, mengistirahatkan tubuh dan pikiran sehingga memberikan perasaan

relaks, tubuh lebih bertenaga dan fikiran menjadi fresh.

28

d. Meningkatkan kecerdasan. Penelitian membuktikan bahwa masa dalam

kandungan dan bayi adalah adalah waktu yang paling tepat untuk menstimulasi

otak anak agar menjadi cerdas.

e. Meningkatkan motivasi, hal ini bisa dilahirkan dengan perasaan dan mood

tertentu.

f. Pengembangan diri, musik sangat berpengaruh terhadap pengembangan diri

seseorang dan musik juga bisa menentukan kualitas pribadi kita.

g. Meningkatkan kemampuan mengingat dan mencegah kepikunan. Hal ini bisa

terjadi karena bagian otak yang memproses musik berdekatan dengan sistem

memori.

h. Kesehatan jiwa, karena musik membuat rasa tenang, sebagai pendidikan moral,

mengendalikan emosi, pengembangan spiritual dan menyembuhkan gangguan

psikologis.

i. Mengurangi rasa sakit, ini terjadi karena musik bekerja pada sistem saraf

otonom yaitu bagian saraf yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah,

denyut jantung dan fungsi otak, serta mengontrol perasaan dan emosi.

j. Menyeimbangkan tubuh, dengan stimulasi musik membantu menyeimbangkan

organ keseimbangan yang terdapat di telinga dan otak.

2.3.4 Durasi Terapi Musik

Pemberian terapi musik untuk menghasilkan efek yang diinginkan belum

memiliki pedoman waktu yang baku. Menurut Kate Mucci & Ricard Mucci

(2002) dalam Dewi M.S (2013) pemberian terapi musik dengan jenis musik yang

tepat meskipun dalam waktu agak lama tidak akan membahayakan bahkan terapi

29

musik yang diberikan dalam waktu yang singkat sudah dapat menghasilkan efek

terapeutik atau efek positif bagi klien. Sedangkan menurut Bellavia Ariestia Dofi

(2010) terapi musik bagi tiap klien idealnya dilakukan tidak kurang dari 30 menit

sampai dengan satu jam setiap harinya. Penelitian di Massachusetts General

Hospital menunjukkan bahwa terapi musik dengan durasi selama 30 menit

mampu menurunkan tekanan darah, frekuensi jantung, dan stres pada klien

(Asyrofi, 2012).

2.3.5 Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Stroke.

Saat terjadi cemas respon sistem saraf adalah dengan mengaktifkan sistem saraf

simpatis menimbulkan efek peningkatan tanda-tanda vital, serta kelenjar adrenal

akan mengeluarkan epinephrine dan nor epinephrine yang menyebabkan tubuh

mengambil lebih banyak oksigen dan dapat menimbulkan efek peningkatan

kecepatan pernafasan (Videbeck, 2008) dalam Windari (2012). Musik dapat

menghasilkan efek menenangkan pada aktifitas sistem saraf yang berlebihan

akibat stres dengan cara menutup stimulus pada saat terjadinya cemas (Djohan,

2006).

Saat mendengarkan musik gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun

telinga masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani.

Oleh membrana timpani bersama rantai osikule dengan aksi hidrolik dan

mengungkit, energi bunyi diperbesar hingga 20-30 kali (rata-rata 27 kali) untuk

menggerakkan medium cair perilimf dan endolimf. Setelah itu getaran diteruskan

hingga organ korti dalam kokhlea dimana getaran akan diubah dari sistem

konduksi ke sistem saraf melalui nervus auditorius (N VIII) sebagai impuls

30

elektris. Impuls elektris musik masuk melalui serabut saraf dari ganglion spiralis

korti menuju ke nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian

atas medulla. Pada titik ini semua sinap serabut dan neuron tingkat dua diteruskan

terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus

olivarius superior. Setelah melalui nukleusolivarius superior, penjalaran impuls

pendengaran berlanjut ke atas melalui lemniskus lateralis kemudian berlanjut ke

kolikulus inferior. Selanjutnya impuls berjalan ke nukleus genikulata medial,

tempat semua serabut bersinap, dan akhirnya berlanjut melalui radiasio auditorius

ke korteks auditorius, yang terutama terletak pada girus superior lobus

temporalis. Dari korteks auditorius jaras berlanjut ke sistem limbik, melalui

cincin korteks serebral yang disebut korteks limbik. Dari korteks limbik, jaras

pendengaran dilanjutkan ke hipokampus, tempat salah satu ujung hipokampus

berbatasan dengan nuklei amigdaloid (Ganong, 2005).

Amigdala merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada tingkat bawah

sadar, menerima sinyal dari korteks limbik lalu menjalarkannya ke hipotalamus.

Hipotalamus merupakan pengaturan sebagian fungsi vegetatif dan fungsi endokrin

tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku emosional. Dari hipotalamus jaras

pendengaran diteruskan ke formatio retikularis sebagai penyalur impuls menuju

serat saraf otonom. Serat saraf tersebut mempunyai dua sistem saraf yaitu saraf

simpatis dan saraf parasimpatis. Kedua saraf ini mempengaruhi kontraksi dan

relaksasi organ-organ. Relaksasi dapat merangsang pusat rasa ganjaran sehingga

timbul ketenangan. Sebagai ejektor rasa relaks dan ketenangan yang timbul,

midbrain akan mengeluarkan gamma amino butyric acid (GABA), enkephalin dan

31

beta endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang

mengeleminasi neurotransmiter rasa nyeri maupun kecemasan sehingga

menciptakan ketenangan dan memperbaiki suasana hati pasien stroke

(Prasetyo,2005).