Upload
lykhuong
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 State Of The Art
Penelitian pipa kalor sebagai salah satu dari sistem pendingin prosesor
(CPU) dimulai pada tahun 2003 sampai 2014 yaitu menurut (Kim et.al.,
2003) melakukan penelitian bahwa kinerja sistem pendingin PC CPU Pentiun
IV yang menggunakan heatsink aluminium dengan bantuan kipas sangat
buruk yaitu memiliki kelemahan diantaranya bentuknya besar, suara yang
ditimbulkan dari kipas menimbulkan kebisingan dan perpindahan panasnya
tidak efektif, sehingga dirancang sistem pendinginan dengan pipa kalor (heat
pipe) yang bentuknya lebih kecil dari heatsink dan tidak menggunakan kipas
sebagai alat bantu pendinginan serta perpindahan panasnya lebih bagus.
Menurut (Vladimir et.al., 2006) melakukan penelitian tentang sistem
pendinginan prosesor (CPU) dengan pipa kalor melingkar yang heatsink-nya
adalah radiator eksternal yang didinginkan oleh udara lingkungan secara
konveksi. Dari penelitian ini menyatakan hasil pengembangan dan pengujian
dengan beberapa variasi dari sistem tersebut, mampu mempertahankan
temperatur operasi dari 72ºC - 78ºC pada permukaan sumber panas yang
menghilang 100 W dengan temperatur udara lingkungan 22ºC. Hal ini juga
menunjukkan penggunaan alat tambahan pendingin aktif dari pipa kalor
melingkar memungkinkan untuk meningkatkan perpindahan panas sampai
180 W dan menurukan hambatan thermal sampai 0,29ºC/W. Menurut (Wang
et.al., 2010) melakukan penelitian tentang desain, model dan pengujian pipa
kalor berbentuk L yang dikombinasi/tertanam didalam heatsink. Kombinasi
ini sangat cocok untuk pendinginan komponen electronik sepeerti
mikroprosesor, yang proses pendinginan secara paksa atau dibantu oleh
kipas. Erlangga, 2013 juga melakukan penilitian tentang efek dari struktur
wick dan karakteristik fluida kerja dari pipa kalor berbentuk-U, yaitu
menganalisa perubahan temperatur dan tekanan yang terjadi didalam pipa
kalor. Sumbu kapiler yang digunakan adalah copper powder wick dan screen
mesh wick serta fluida kerjanya air murni dan methanol. Dari hasil penelitian
6
didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan copper powder wick
mengakibatkan perbedaan temperatur yang kecil antara evaporator dan
kondensor, terjadi tekanan tinggi yang tidak menguntungkan karena
mengakibatkan perpindahan panas yang rendah pada liquid wick-region.
Penggunaan screen mesh wick dan air murni sebagai fluida kerja,
mengakibatkan mengurangi penurunan tekanan pada liquid wick-region
sedangkan penggunaan methanol sebagai fluida kerja mengakibatkan
meningkatkan penurun tekanan dan perbedaan temperatur pada liquid wick-
rigion. Menurut (Putra dan Septiadi, 2014) melakukan penelitian terhadap
penggunaan nano fluida sebagai fluida kerja serta pengintegrasian terumbu
karang untuk material wick atau sumbu kapiler pada desain pipa kalor lurus.
Disampaikan bahwa pengintegrasian fluida nano dan terumbu karang mampu
meningkatkan kinerja pipa kalor dengan menurunkan hambatan termal pipa
kalor sampai dengan 0.09 ºC/Watt pada pemakaian fluida nano CuO dengan
temperatur bagian kondensor mencapai ± 53ºC.
Adapun beberapa tahapan yang dilakukan oleh Putra dan Septiadi
didalam penelitian pipa kalor lurus adalah sebagai berikut :
1. Pengukuran temperatur permukaan CPU
Pengukuran temperatur prosesor (CPU) bertujuan untuk menentukan
temperatur pelat yang akan digunakan mensimulasikan prosesor sehingga
temperatur pada prosesor bisa dianalogikan. Hal ini juga bertujuan untuk
mendapatkan dasar acuan dari batasan pembebanan yang akan dilakukan .
Pada pengukuran temperatur prosesor dilakukan dengan menjalankan atau
mengoperasionalkan prosesor tanpa alat pendingin. Hal ini untuk
mendapatkan temperatur yang maksimal yang dihasilkan oleh prosesor pada
permukaan bagian atas. Pengujian dilakukan pada prosesor Intel pentium 4
2.4 GHz, Intel Dual Core 925 3.0 GHz, Intel Core i5 3.30 GHz dan Intel
Core i7 3.40 GHz. Temperatur permukaan diukur dengan menggunakan satu
termokopel tipe K yang dihubungkan dengan C-DAQ – NI 9213.
7
Tabel 2.1 Pengukuran temperatur permukaan prosesor/CPU (Sumber : Putra dan
Septiadi, 2014)
Prosesor
(CPU)
Kondisi idle Kondisi Maksimal
Fluks
kalor
pada
kondisi
idle
Fluks
kalor pada
kondisi
idle
Beban
(Watt)
Temperatur
(oC)
Beban
(Watt)
Temperatur
(oC) W/m2 W/m2
Pentium 4
2.4 GHz 13,80 75,00 48,80 93,80 8625,00 30500,00
Dual Core
925 3.0
GHz
13,80 77,53 57,40 99,98 8625,00 35875,00
Core i5
3.30 GHz 13,80 78,27 60,00 110,39 8625,00 37500,00
Core i7
3.40 GHz 13,90 78,40 67,00 113,86 8687,50 41875,00
2. Karakterisasi pelat pemanas
Karakterisasi pelat pemanas bertujuan untuk mengkarakterisasi pelat
pemanas yang akan digunakan sebagai sumber kalor bagi pelat simulator.
Temperatur pelat pemanas diharapkan mampu memenuhi kebutuhan
temperatur pada permukaan pelat simulator bagian atas, sehingga dapat
mewakili batas temperatur prosesor.
Tabel 2.2 Karakterisasi pelat pemanas (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)
No Voltage (Volt) Arus (Ampere) Daya (Watt) Temperatur (oC)
1 5 0,143 0,72 36,12
2 10 0,244 2,44 45,20
3 15 0,345 5,18 60,60
4 20 0,462 9,24 85,20
5 25 0,588 14,70 105,32
6 30 0,716 21,48 131,33
7 35 0,811 28,39 145,00
8 40 0,922 36,88 176,21
8
Tabel 2.2 Lanjutan
No Voltage (Volt) Arus (Ampere) Daya (Watt) Temperatur (oC)
9 45 1,027 46,22 232,42
10 50 1,233 61,65 299,10
3. Karakterisasi pelat simulator
Pelat simulator dibuat dari besi dengan ukuran 40 mm x 40 mm dengan
variasi ketebalan 20 mm. 30 mm dan 40 mm. Tiga pelat simulator yang
dikarakterisasikan nanti akan dipilih yang memberikan temperatur
permukaan dan Q yang paling mendekati dengan kondisi temperatur
permukaan dan Q prosesor. Pembebanan diberikan pada pelat pemanas
dengan pengaturan tegangan listrik (voltage regulator). Data temperatur di
proses dengan mengggunakan data akusisi NI 9213 dan software labview 8.5.
Tabel 2.3 Karakterisasi pelat simulator tebal 20 mm (Sumber : Putra dan Septiadi,
2014)
Volt Arus
(A)
Daya
(W)
T. permukaan
heater
(oC)
T. pelat
bawah
(oC)
T. pelat
atas
(oC)
Delta T.
(oC)
20 0,46 9,24 97,21 93,40 91,34 2,06
25 0,58 14,70 102,41 97,50 95,87 1,63
30 0,72 21,48 152,42 141,13 128,13 13,00
35 0,81 28,38 160,23 156,50 142,43 14,07
40 0,92 36,88 199,11 183,43 158,31 25,12
45 1,03 46,22 239,02 208,53 166,11 42,42
Tabel 2.4 Karakterisasi pelat simulator tebal 30 mm
Volt Arus
(A)
Daya
(W)
T. permukaan
heater
(oC)
T. pelat
bawah
(oC)
T. pelat
atas
(oC)
Delta T.
(oC)
20 0,46 9,24 99,12 86,11 66,20 19,91
25 0,58 14,70 122,00 111,94 77,00 34,94
9
Tabel 2.4 Lanjutan
Volt Arus
(A)
Daya
(W)
T. permukaan
heater
(oC)
T. pelat
bawah
(oC)
T. pelat
atas
(oC)
Delta T.
(oC)
30 0,72 21,48 154,20 146,26 96,70 49,56
35 0,81 28,38 172,31 167,23 101,50 65,73
40 0,92 36,88 191,32 186,83 116,13 70,70
45 1,03 46,22 234,40 228,56 153,34 75,22
Tabel 2.5 Karakterisasi pelat simulator tebal 40 mm (Sumber : Putra dan Septiadi,
2014)
Volt Arus
(A)
Daya
(W)
T. permukaan
heater
(oC)
T. pelat
bawah
(oC)
T. pelat
atas
(oC)
Delta T.
(oC)
20 0,46 9,24 105,26 92,73 60,12 32,61
25 0,58 14,70 145,20 106,18 66,48 39,70
30 0,72 21,48 153,21 135,17 93,11 42,06
35 0,81 28,38 190,03 169,40 98,28 71,12
40 0,92 36,88 245,35 212,40 101,20 111,20
45 1,03 46,22 253,35 244,08 129,14 114,94
Tabel 2.6 Beban kalor yang mengalir ke arah permukaan pelat simulator (Sumber :
Putra dan Septiadi, 2014)
Q (Watt)
Heater Pelat simulator 20 mm Pelat simulator 30 mm Pelat simulator 40 mm
9,24 1,30 8,35 12,14
14,70 1,02 12,72 15,63
21,48 8,17 19,52 17,31
28,38 8,85 25,46 25,19
36,88 15,80 29,64 39,05
46,22 26,67 31,53 40,22
10
Dilihat dari rentang temperatur operasional prosesor yaitu 77oC dan
116oC maka pelat simulator 30 mm dan 40 mm yang memenuhi untuk
digunakan sebagai pelat simulator, akan tetapi yang paling mendekati adalah
pelat simulator tebal 30 mm.
Tabel 2.7 Beban dan fluks kalor prosesor dan pelat simulator pada kondisi idle dan
maksimal (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)
Prosesor
(CPU)
Beban pada
kondisi idle
(Watt)
Beban pada
kondisi
maksimal
(Watt)
Fluks kalor
kondosi idle
(Watt/m2)
Fluks kalor
kondosi
maksimal
(Watt/m2)
Pentium 4 2.4
GHz 13,80 48,80 8625,00 30500,00
Dual core 925
3.0 GHz 13,80 57,40 8625,00 35875,00
Core i5 3.30
GHz 13,80 60,00 8625,00 37500,00
Core i7 3.40
GHz 13,90 67,00 8687,50 41875,00
Pelat simulator
30 mm 14,70 36,88 9187,50 23050,00
4. Distribusi temperatur permukaan pelat simulator
Fluks kalor yang dihasilkan oleh CPU semakin meningkat sehingga
pendingin konvensional kurang optimal untuk mengatasi permasalahan fluks
kalor yang dihasilkan oleh CPU. Temperatur operasional kurang dari 85oC
merupakan hal yang dianjurkan supaya kinerja CPU lebih optimal.
11
Gambar 2.1 Distribusi temperatur pelat simulator pada beban 15,63 Watt dan 39,05
Watt dengan pendingin heatsink, heatsink-fan dan pipa kalor (Sumber : Putra dan
Septiadi, 2014)
Gambar 2.2 Hambatan termal heatsink, heatsink-fan dan pipa kalor (Sumber : Putra
dan Septiadi, 2014)
12
2.2 Sistem Pendingin Komputer
Sistem pendingin komputer merupakan suatu sistem pendingin yang
berfungsi untuk menurunkan dan menjaga temperatur prosesor (CPU) pada
temperatur kerja, sehingga kinerja dan umur pakai dari prosesor (CPU) dapat
maksimal. Berikut beberapa sistem pendingin yang umum digunakan adalah
sebagai berikut :
1. Sistem Kipas
Sistem kipas merupakan sistem pendingin komputer dengan hembusan
angin yang dihasilkan oleh kipas, untuk mendingikan prosesor komputer
dan mensirkulasikan udara di CPU komputer. Pada umumnya sistem kipas
ini terpasang di chasing CPU, prosesor atau VGA. Kelemahan dari sistem
ini adalah suara yang ditimbulkan oleh kipasnya berisik dan proses
pendingin yang terjadi kurang maksimal.
Gambar 2.3 Pendingin komputer sistem kipas (Sumber : Moss et.al., 1996)
2. Sistem Heatsink
Sistem heatsink merupakan sistem pendingin komputer yang terbuat
dari lempengan logam, umumnya dari aluminium, tembaga atau
campuran aluminium dengan tembaga. Lempengan logam tersebut
berfungsi menyerap panas dan mendinginkan prosesor komputer,
dimana proses pendingin terjadi sangat tergantung dari aliran dan
temperatur udara di sekitar heatsink itu sendiri, sehingga proses
pendingin yang terjadi kurang maksimal. Kelemahan dari sistem ini
adalah disamping proses pedingin yang terjadi kurang maksimal,
13
dimensi heatsink yang sangat besar sehingga membutuhkan tempat
yang luas untuk memasangnya. Untuk memaksimalkan sistem
pendingin ini biasanya ditambahkan kipas di heatsink-nya, gunanya
untuk mempercepat panas disekitar heatsink.
Gambar 2.4 Pendingin komputer sistem heatsink (Sumber : Charles et. al.,
1997)
3. Sistem Liquid Cooler
Gambar 2.5 Pendingin komputer sistem liquid cooler (Sumber :
www.jalantikus.com. 26/09/2014)
Sistem liquid cooler merupakan sistem pendingin komputer yang
mengunakan fluida atau air sebagai penyerap panas heatsink, dengan
bantuan mini pompa, prinsip kerjanya mirip sistem pendingin (radiator)
14
pada mobil. Pada prosesor dipasang blok air yang berisi banyak bilah
tembaga/aluminium yang berfungsi seperti heatsink yaitu menyerap panas
prosesor. Penyerapan panas sistem ini sangat baik, tetapi kelemahannya
menggunakan tambahan pompa mini dan sangat berbahaya kalau terjadi
kebocoran di konektor antara blok air dengan selangnya, yang
mengakibatkan kerusakan perangkat komputer itu sendiri.
4. Sistem Dry Ice & Nitrogen Cair
Sistem dry ice & nitrogen cair merupakan sistem pendingin komputer
dengan menggunakan tabung tembaga/aluminium yang diisikan dry ice (es
kering) dengan nitrogen cair. Untuk menghindari pengembunan dari hasil
pendinginan maka seluruh komponen harus dilapisi pasta dan sekeliling
tabung diberikan isolator panas. Pendinginan sistem ini sangat baik, tetapi
kalau terjadi kebocoran dari lapisan pasta atau isolator panasnya
bermasalah, akan terjadi pengembunan sehingga akan merusak perangkat
komputer.
Gambar 2.6 Pendingin komputer sistem dry ice cooler dan nitrogen cair
(Sumber : www.jalantikus.com. 26/09/2014)
5. Sistem Thermoelectric Cooler
Sistem thermoelectric cooler merupakan sistem pendingin komputer dengan
mengalirkan arus listrik ke salah satu sisi logam sehingga akan dihasilkan
sisi yang dingin dan panas. Proses pendinginan dari sistem ini sangat baik,
tetapi resikonya sangat berbahaya, kalau kipas heatsink-nya tidak beroperasi
15
mengakibatkan kebakaran yang terjadi di prosesor dan harus mengguanakan
tamabahan daya listrik (80 sampai 130 watt) yang besar untuk
mengoperasikan sistem ini.
Gambar 2.7 Pendingin komputer sistem TEC (Thermoelectric cooler) (Sumber:
www.jalantikus.com. 26/09/2014)
6. Sistem Pipa Kalor
Gambar 2.8 Pendingin komputer sistem pipa kalor (Sumber:
www.kipasprosesor.blogspot.com, 01/11/2014)
Sistem pipa kalor merupakan salah satu sistem pendingin komputer dengan
menggunakan pipa aluminium, tembaga, nikel dan sebagainya yang
berukuran tertentu, berisi cairan khusus sebagai penghantar kalor dari ujung
panas atau disebut sebagai evaporator ke ujung lain sebagai pendingin atau
16
disebut sebagai kondensor (Vasiliev, 2005). Proses pendingin ini terjadi
dengan pasif sehingga tidak alat tambahan yang digunakan, deminsinya
sangat kecil dibandingkan dengan sistem pedinggin komputer yang alainnya
dan hampir tidak ada suara pada sangat sistem ini bekerja.
2.3 Pipa Kalor
Pipa kalor (heat pipe) merupakan sebuah teknologi penghantar kalor
dengan menggunakan pipa berukuran tertentu, biasanya terbuat dari bahan
aluminium, tembaga, atau tembaga terlapis nikel dan didalamnya berisi
cairan khusus sebagai penghantar ujung sisi panas atau disebut sebagai
evaporator ke ujung sisi lain sebagai pendingin atau disebut sebagai
kondensor (Vasiliev, 2005). Pada dinding pipa kalor biasanya diisi sumbu
kapiler (wick) yang berfungsi sebagai lintasan dan pompa kapiler dari cairan
kondesat untuk kembali dari kondesor ke bagian evaporator. Cairan
kondensat bergerak atas prinsip kerja kapiler. Setelah Fluida menguap di
bagian evaporator, lalu uap tersebut mengalir menuju bagian kondensor dan
setelah mengalami kondensasi di bagian kondensor maka uap akan mencair,
cairan atau kondensat tersebut akan mengalir kembali ke sisi panas
(evaporator) dari pipa kalor dan begitu seterusnya.
Gambar 2.9 Pipa kalor (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)
17
Pada gambar 2.9 dapat dilihat komponen utama pipa kalor. Cara kerja
pendinginan pipa kalor adalah dengan mengalirkan panas dari bagian
evaporator ke bagian kondensor dengan metode penguapan dan
pengembunan fluida kerja. Pipa kalor ini bergantung pada selisih temperatur
antara kedua ujung pipa (Putra dan Septiadi, 2014). Jika salah satu ujung
kalor pipa menyerap kalor dan apabila temperatur tersebut mencapai
temperatur penguapan, maka fluida kerja yang terdapat pada bagian
evaporator akan menguap, akibatnya tekanan didalam rongga tersebut naik
yang menyebabkan uap mengalir ke sisi kondensor dan kemudian pada sisi
kondensor kalor yang di bawa oleh fluida kerja dilepaskan hingga mencapai
temperatur pengembunan sehingga fluida mengalami kondensasi berubah dari
fasa uap menjadi fasa cair atau kondensat.
Selanjutnya kondensat akan berubah menjadi cair kembali dan mengalir
menuju sumber panas untuk mendinginkan sisi tersebut (evaporator). Proses
ini secara terus menerus dan berulang–ulang sebagai asas kerja pipa kalor
dalam mendinginkan sumber kalor tersebut. Jika cairan pendingin yang
digunakan oleh pipa kalor adalah air, maka air tersebut akan mulai bekerja
saat temperatur pada sisi evaporator mencapai 100°C dimana air akan
mendidih dan berubah menjadi uap pada tekanan atmosfer. Titik didih air
tergantung pada tekanan kerja di dalam pipa kalor, dan hal terpenting adalah
pemilihan fluida kerja dan proses vakum untuk menurukan suhu didih dari
fluida kerja.
Adanya sumbu kapiler pada dinding bagian dalam pipa kalor juga
memberikan lintasan tersendiri antara uap yang mengalir dari bagian
evaporator menuju bagian kondensor dengan kondensat yang mengalir dari
bagian kondensor menuju bagian evaporator. Hal ini dapat menghindarikan
terjadinya hambatan terhadap kondensat oleh aliran uap yang dapat
mengakibatkan kondensat tidak mampu mencapai bagaian evaporator
sehingga evaporator akan mengalami kekeringan. Keberadaan sumbu kapiler
juga mampu mengatasi permasalahan saat terjadi banjir cairan di bagian
kondensor atau yang dikenal dengan isitilah floading condensastion.
Penggunaan pipa kalor telah banyak digunakan, antara lain pada industri dan
18
teknologi elektronik, pemanfaat panas buang, pemanas udara, sistem tata
udara, dan pemanfaat panas buang pada boiler (Vasiliev, 2005).
2.3.1 Tipe Pipa Kalor
Terdapat beberapa tipe pipa kalor yang umum digunakan sebagai alat
pemindah kalor khususnya pendingin, baik untuk temperatur tinggi maupun
rendah. Secara umum pipa kalor digolongkan menjadi 3 tipe yaitu :
1. Pipa Kalor Konvensional
Pipa kalor konvensional atau pipa kalor lurus terdiri dari komponen
utama dinding berupa pipa, sumbu kapiler berupa sintered powder, screen
mesh atau groove dan fluida kerja (Putra, dan Septiadi, 2014).
Gambar 2.10 Skema pipa kalor konvensional (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)
Dari gambar 2.10 merupakan skema pipa kalor konvensional dimana
kalor diserap pada bagian evaporator sehingga fluida kerja yang terdapat
pada bagian evaporator terpanaskan dan mengalami perubahan fasa menjadi
uap. Uap mengalir kembali melalui lintasan uap pipa kalor menuju bagian
kondensor dan mengalami kondensasi. Fluida kondensat mengalir ke bagian
evaporator melalui struktur sumbu kapiler yang cukup untuk proses ini akan
berlanjut selama ada tekanan kapiler yang cukup untuk membawa cairan
19
kembali ke daerah evaporator (Udell, 1985). Pipa kalor konvensional
merupakan tipe pipa kalor yang paling banyak diaplikasikan pada piranti
elektronika khususnya sebagai pendingin pada notebook (Putra dan Septiadi,
2014), bahkan saat ini notebook banyak diproduksi dengan menggunakan
pendingin pipa kalor.
2. Pipa Kalor Melingkar
Pipa kalor melingkar merupakan suatu perangkat pipa kalor yang terdiri
dari bagian evaporator sebagai penyerap kalor dan bagian kondensor sebagai
pelepas kalor, dimana anatara bagian evaporator dengan bagian kondensor
dihubungkan dengan suatu saluran fluida kerja yang terpisah antara f luida
uap dan fluida cair (Vasiliev, 2005). Pada gambar 2.11 dapat dilihat skema
aliran fluida kerja pada pipa kalor melingkar.
Gambar 2.11 Skema aliran kerja pipa kalor melingkar (Sumber : Putra dan Septiadi,
2014)
Sumbu kapiler pada pipa kalor melingkar biasa terdapat pada bagian
evaporator, pada bagian lintasan cairan dan pada bagian antara evaporator
dengan ruang kompensasi. Bagian evaporator menyerap kalor sehingga
20
fluida kerja menguap dan menuju ruang uap untuk dialirkan ke saluran atau
lintasan uap menuju ke kondensor. Di bagian kondensor, uap mengalami
kondensasi dan kembali ke bentuk cairan karena tekanan kapilaritas dari
sumbu berpori sehinggga cairan mengalir ke bagian ruang konvensasi
melalui lintasan cairan. Pipa kalor melingkar dengan mempunyai dua bagian
lintasan fluida uap dan cair yang memberikan suatu kinerja yang lebih besar
dan pengaruh gaya gravitasi pada aliran relatif kecil, dimana dengan lintasan
fluida kerja yang sangat kecil menjadi pipa kalor lebih fleksibel (Putra dan
Septiadi, 2014).
3. Pipa Kalor Datar
Vapor chamber adalah pipa kalor pelat datar dengan kemampuan
disipasi panas yang baik terkait keseragaman distribusi temperatur dan area
kondensasi yang besar. Penggunaannya dengan heatsink fan menghasilkan
keseragaman temperatur fin yang lebih baik, dan berujung pada pendingin
yang lebih efektif. Bentuk vapor chamber yang datar juga membuat alat ini
siap digunakan langsung pada pendingin CPU (Putra dan Septiadi, 2014).
Gambar 2.12 Skema kerja vapor chamber (Sumber : www.qats.com, 03/11/2014)
2.3.2 Prinsip Kerja Pipa Kalor
Pada umumnya prinsip dari pipa kalor semua tipe adalah sama, yaitu
proses penyerapan kalor terjadi di sisi evaporator dan pelepasan kalor terjadi
21
sisi kondensor, tetapi yang membedakan prinsip kerja pipa kalor dari masing-
masing tipe adalah bentuk pipa kalor, proses penyerapan dan pelepasan kalor
yang terjadi di pipa kalor tersebut. Dibawah ini beberapa prinsip pipa kalor
sesuai tipenya.
1. Prinsip Kerja Kipa Kalor Konvensional
Prinsip fisika tekanan, termodinamika dan fluida menjadi dasar pipa
kalor dimana pada tekanan tertentu, cairan akan menguap sementara uap
akan mencair pada temperatur tertentu (temperatur jenuh), sehingga akan
terjadi pengaturan tekanan di dalam pipa kalor yang akan mengatur
temperatur kerja dan terjadi perubahan fase dari cair ke uap dan uap ke cair.
Gambar 2.13 Prinsip pipa kalor konvensional (Sumber: Putra dan Septiadi, 2014)
Pada gambar 2.13 merupakan gambar prinsip pipa kalor konvensional,
dimana perpindahan kalor yang berlangsung dari bagian evaporator menuju
ke bagian kondensor. Panas diserap pada sisi evaporator dan panas dilepas
keluar sistem pada sisi kondensor. Setelah kalor maka uap yang tadinya
membawa kalor dari bagian evaporator ke bagian kondensor tersebut akan
berubah fase menjadi cairan. Cairan hasil kondensasi ini akan mengalir lagi
ke bagian evaporator melalui sumbu kapiler (wick) yang terdapat pada
dinding bagian dalam (Putra dan Septiadi, 2014).
22
Secara umum tahapan perpindahan kalor papa pipa kalor konvensional
adalah antara lain :
1. Konduksi dari sumber panas ke bagian dinding evaporator dan sumbu
kapiler (wick). Pada bagian ini konduktivitas termal dari dinding memegang
peran penting dimana kebanyakan pipa kalor terbuat dari bahan tembaga
yang mememiliki konduktivitas termal cukup tinggi adalah 394 W/mK.
(Incopera, 1996)
(Watt) ........................................... (2.1)
Dimana :
k = Konduktivitas thermal (W/mK)
A = Luas perpindahan massa konduksi (m²)
= Perbedaan temperatur (ºC) atau (K)
= Jarak perpindahan massa (m)
2. Konveksi alami dari dinding dan permukaan sumbu kapiler pipa kalor ke
fluida kerja. Konveksi alami terjadi pada kondisi awal dimana suhu dan
tekanan belum mencapai kondisi terjadinya nuklesiasi dan pendidihan.
(Holman, 1984)
(Watt) jika ...................... (2.2)
(Watt) jika ...................... (2.3)
Dimana :
h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m²K)
A = Luas permukaan perpindahan panas (m²)
= Temperatur permukaan material (ºC) atau (K)
= Temperatur fluida yang mengalir (ºC) atau (K)
3. Proses pendidihan yang terjadi adalah dimana gelembung – gelembung
mulai terbentuk pada permukaan sumbu kapiler. Dengan meningkatnya
temperatur dan tekanan pada bagian evaporator, gelembung – gelembung
yang terbentuk terlepas ke permukaan bagian atas fluida kerja.
Sumbu kapiler pada pipa kalor berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan
gelembung dapat terjadi secara lebih cepat. Dimana pada delta temperatur
antara dinding atau permukaan sumbu kapiler dengan temperatur saturasi
23
fluida yang tidak terlalu tinggi dapat menghasilkan fluks kalor yang lebih
besar. Terjadinya proses perpindahan kalor melalui pendidihan dapat
memepercepat terjadinya perpindahan kalor dari permukaan evaporator
ke bagian permukaan cairan yang kemudian disalurkan ke bagian
kondensor melalui penguapan.
4. Perpindahan kalor secara evaporasi pada kondisi saturasi di bagian
permukaan fluida kerja dari pipa kalor. Laju perpindahan kalor dari bagian
evaporator ke bagian kondensor sangat dipengaruhi oleh panas laten dari
fluida kerja.
............................................................................... (2.4)
Adanya keterlibatan panas laten pada perpindahan kalor di dalam pipa
kalor memungkinkan pipa kalor mengangkut lebih banyak kalor dengan
dimensi yang cukup kecil dan ini merupakan sustu keunggulan pipa kalor
dari logam pejal.
5. Konveksi dari fluida uap pada bagian kondensor ke bagian permukaan
dinding pipa kalor, dimana terjadi penyerapan kalor dari uap sehingga uap
mengalami perubahan fase (kondensasi). Hasil kondensasi (kondensat)
akan dialirkan ke bagian evaporator melalui gaya kapilaritas sumbu
kapiler. Kondensat akan mengalir pada celah-celah atau pori-pori dari
sumbu kapiler.
2. Prinsip Kerja Pipa Kalor Melingkar
Pada dasarnya pipa kalor melingkar memiliki prinsip kerja yang sama
dengan pipa konvensional, yaitu proses perpindahan kalor dari bagian
evaporator menuju bagian kondensor. Tetapi yang menjadikan perbedaannya
adalah aliran antara uap dengan fluida kondesat tidak terjadi secara bolak
balik namum secara melingkar atau melingkari. Prinsip perpindahan kalor
melalui konsep tekanan, perubahan fase serta adanya kondensasi juga berlaku
pada pipa kalor tipe melingkar. Pada pipa kalor melingkar, ada dua bagian
yang disebut dengan lintsan uap dan lintsan cairan. Pada lintsan uap tidak
terdapat sumbu kapiler, sedangkan pada lintasan cairan di dalam pipa
tersebut terisi penuh oleh sumbu kapiler. Hal ini bertujuan untuk memberikan
pengaruh perbedaan tekanan, sehingga uap yang telah terkondensasi pada
24
bagian kondensor dapat mengalir ke bagian lintasan cairan akibat adanya
pengaruh tekanan kapilaritas dari sumbu kapiler (Putra dan Septiadi, 2014).
3. Prinsip Kerja Pipa Kalor Datar
Prinsip kerja pipa kalor datar menggunakan prinsip perubahan fase
fluida serta kapilaritas. Prinsip kerja vapor chamber adalah proses
penyerapan kalor terjadi pada bagian evaporator, mengevaporasikan fluida
kerja pada ruang dalam vapor chamber. Fluida kerja dalam fase uap ini
kemudian bergerak menuju kondensor, akibat terjadinya perbedaan tekanan
yang kecil. Kemudian, uap fluida kerja melepaskan kalor dan mengembun
pada bagian kondensor. Fluida kerja akan berubah fase menjadi fase cair,
kemudian cairan ini akan kembali ke bagian evaporator melalui struktur
kapiler pada sumbu kapiler. Proses ini kemudian kembali terulang dari awal
(Putra dan Septiadi, 2014).
2.3.3 Hambatan Termal Pipa Kalor
Hambatan termal pipa kalor adalah rasio antara selisih temperatur pada
bagian evaporator dan bagian kondensor dengan besar beban kalor yang
diserap oleh pipa kalor tersebut. Dapat dilihat pada gambar 2.14 Jaringan
thermal dari blok pemanas sampai dengan bagian evaporator.
Gambar 2.14 Jaringan hambatan thermal evaporator pipa kalor (Sumber : Putra dan
Septiadi, 2014)
25
Sebuah pelat logam ditaruh diatas pelat pemanas (heater), sehingga
hambatan thermal pada bagian evaporator pipa kalor merupakan total
hambatan thermal dari pelat pemanas (heater) sampai dengan permukaan
bagian dalam dari evaporator. Dimana secara matematis dapat ditulis dengan
persamaan.
....................................................... (2.5)
Dimana masing-masing merupakan hambatan thermal
pada kontak anatara pelat pemanas dengan pelat logam bagian bawah,
hambatan thermal spreading, hambatan thermal konduksi, dan hambatan
thermal antara permukaan luar dan bagian dalam evaporator (°C/W). Dengan
masing-masing dapat ditulis secara matematis seperti persamaan
............................................................................ (2.6)
............................................................................ (2.7)
Jika dilihat dari bagian antara permukaan atas pelat logam dan sisi luar
evaporator maka jaringan hambatan thermal pipa kalor ditunjukkan pada
gambar 2.15
Gambar 2.15 Jaringan hambatan thermal pipa kalor (Sumber : Putra dan Septiadi,
2014)
26
Sehingga hambatan thermal total pipa kalor dapat dirumuskan seperti pada
persamaan
................................................................................. (2.8)
2.3.4 Batasan Kerja Pipa Kalor
Batasan kerja pipa kalor adalah batasan dimana pipa kalor dapat
beroperasi atau dapat berfungsi dalam mengangkut atau memindahkan kalor.
Agar pipa kalor dapat beroperasi dengan kapilaritas yang maksimal, maka
harus lebih besar daripada penurunan tekanan total di dalam pipa
kalor tersebut. Batasan operasional dari sumbu kapiler pada pipa kalo r dapat
dilihat pada gambar 2.16 Grafik batas operasional untuk setipa sumbu kapiler
yang berbeda tentunya akan memiliki nilai batasan operasional yang berbeda.
Hal ini perlu diperhatikan agar pipa kalor tidak mengalami kekeringan atau
tidak berfungsi dengan baik (Putra dan Septiadi, 2014).
Gambar 2.16 Batasan operasional pipa kalor (Sumber : Putra dan Septiadi, 2014)
27
2.4 Air
Air mineral merupakan pelarut universal dan paling dekat dengan
kehidupan kehidupan kita. Oleh karena itu air dengan mudah meyerap atau
melarutkan berbagai partikel yang ditemuinya dan dengan mudah menjadi
tercemar. Dalam siklusnya didalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan
berbagai mineral anorganik, logam berat dan mikro organisme. Jadi air
mineral bukan air suling karena mengandung banyak mineral. Air
suling adalah air hasil destilasi/penyulingan atau disebut air murni ,
karena air murni hampir tidak mengandung mineral.
Tabel 2.8 Tekanan dan titik didih air murni (Sumber : www.engineeringtoolbox.com,
2014)
Tekanan Titik Didih
psi kPa bar ºF ºC
0,5 3,45 0,034 79,6 26,4
1 6,90 0,069 102 38,7
2 13,79 0,138 126 52,2
3 20,69 0,207 141 60,8
4 27,58 0,276 153 67,2
5 34,48 0,345 162 72,3
6 41,37 0,414 170 76,7
7 48,27 0,483 177 80,4
8 55,16 0,552 183 83,8
9 62,06 0,621 188 86,8
10 68,95 0,689 193 89,6
11 75,85 0,758 198 92,1
12 82,74 0,827 202 94,4
13 89,64 0,896 206 96,6
14 96,53 0,965 210 98,7
14,69 101,3 1,01 212 100
15 103,4 1,03 213 101
16 110,3 1,10 216 102