Upload
lykhuong
View
253
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengrajin Ukiran
2.1.1 Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengrajin adalah seseorang
yang pekerjaannya atau profesinya membuat barang kerajinan (Departemen
Pendidikan Nasional, 2005). Sedangkan pengrajin ukiran merupakan orang yang
pekerjaan sehari-harinya menghasilkan barang-barang ukiran atau hiasan artistik
(Radiawan, 2009).
2.1.2 Posisi dan Pola Kerja
Sikap tubuh dalam beraktivitas merupakan sikap tubuh dalam keadaan
pasif tanpa melakukan aktivitas atau pekerjaan. Sikap-sikap tubuh yang
diaplikasikan pada pekerjaan disebut sikap kerja. Contoh sikap kerja yaitu sikap
berdiri, berbaring, jongkok, dan duduk. (Radiawan, 2009).
Sikap seseorang dipengaruhi oleh empat faktor yaitu (Radiawan, 2009):
a. Fisik, umur, jenis kelamin, ukuran antropometri, berat badan, kesegaran
jasmani, kemampuan gerakan sendi sistem musculoskeletal, tajam
penglihatan, masalah kegemukan, riwayat penyakit.
b. Jenis keperluan tugas, pekerjaan memerlukan ketelitian, kekuatan tangan,
ukuran tempat duduk, giliran tugas, waktu istirahat dan lain-lain.
c. Desain tempat kerja, seperti ukuran tempat duduk, ketinggian landasan
kerja, kondisi bidang pekerjaan, dan faktor-faktor lingkungan.
11
d. Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,
kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan getaran.
Berdasarkan empat faktor di atas, sikap kerja yang terjadi pada pengrajin
ukiran adalah sikap bersila di lantai dan telapak kaki mencengkram benda,
punggung agak membungkuk, dengan tangan kiri memegang pahat, dan yang
kanan memegang palu kayu (pengotok). Pekerjaan mengukir yang selalu
dilakukan di Banjar Puaya, Desa Batuan adalah sikap membungkuk dengan lutut
menekuk dengan menyentuh dada, hal ini terjadi sikap yang memaksa terjadinya
iklinasi kepala, tubuh condong ke depan. Sikap kerja paksa yang terlalu
lama dapat menimbulkan keluhan pada sistem muskuloskeletal dan terjadi
tekanan cukup besar pada diskus interverbralis sehingga menimbulkan NPB
(Radiawan, 2009).
2.1.3 Masalah Kesehatan yang Sering Terjadi pada Pengrajin Ukiran
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Depkes RI (2014) pada bulan
Desember di wilayah Jabodetabek, pengrajin yang mengaku sakit selama 1 bulan
terakhir sebanyak 43,55%. Pengrajin yang menderita gangguan saluran pernafasan
sebesar 31,40%, dan keluhan terbanyak diderita adalah pegal linu yaitu sebesar
36,77%. Kecelakaan kerja selama 1 bulan terakhir dialami oleh 16.95% pengrajin,
kebanyakan akibat terkena benda tajam 59,63%, mengenai anggota tubuh 94,49%,
menyebabkan luka terbuka 64,22%, masih dapat bekerja 79,82%, ditanggulangi
dengan pengobatan sendiri 68,81%.
Pekerjaan mengukir menimbulkan sikap paksa (membungkuk atau
mendongak) selama bekerja. Sikap paksa ini mengakibatkan adanya keluhan
12
subjektif pada sistem otot rangka (muskuloskeletal). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Soewarno (2005) pada pengrajin Kelongsong Peluru di Kabupaten
Klungkung diperoleh hasil yaitu 100%pengrajin mengalami keluhan pada leher,
keluhan pada bahu kiri 33,3%, keluhan pada bahu kanan 66,6%, keluhan pada
punggung 100%, keluhan pada pinggang 100%, dan keluhan pada pantat 66,6%.
Data tersebut menunjukkan bahwa keluhan pada leher terjadi karena
tumpuan untuk menyangga berat kepala. Keluhan pada bahu terjadi karena tangan
menahan beban pada saat bekerja, dimana tangan kanan lebih dominan digunakan
dari tangan kiri, sehingga keluhan lebih dominan diderita adalah pada bahu kanan.
Posisi duduk yang tidak ergonomis menimbulkan keluhan pada pinggang, pantat,
dan punggung (Soewarno, 2005). Berdasarkan hal tesebut maka dapat
disimpulkan bahwa sikap paksa (membungkuk) pada pengrajin ukiran sangat
berpengaruh terhadap munculnya gangguan sistem otot rangka.
2.2 Nyeri
2.2.1 Definisi
Nyeri merupakan suatu kondisi perasaan yang tidak nyaman disebabkan
oleh stimulus tertentu. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik,
maupun mental. Nyeri bersifat subjektif, sehingga respon setiap orang tidak sama
saat merasakan nyeri (Potter & Perry, 2006: 1502). Menurut Corwin (2009) nyeri
adalah sensasi subyektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dirasakan apabila reseptor nyeri
spesifik teraktivasi. Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang
terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Nyeri sering dijelaskan dalam istilah proses
13
destruktif jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, dirobek-robek
dan atau suatu reaksi badan atau emosi (perasaan takut, mual, mabuk) (Fauci, et al,
2009).
2.2.2 Pengukuran Skala Nyeri
Penilaian nyeri dapat menggunakan beberapa metode, yaitu secara subjektif
dan objektif. Penilaian secara subjektif didasari oleh jawaban pasien secara
langsung. Metode pemeriksaan ini merupakan indikator yang paling dipercaya
untuk penilaian intensitas nyeri. Metode yang biasa digunakan untuk mengukur
nyeri ada dua, yaitu unidimensi yang mempunyai satu variabel pengukur
intensitas nyeri dan multidimensi. Metode multidimensi dapat dilakukan dengan
mencatat pengalaman nyeri dan perilaku pasien, penggunaan gambar tubuh
manusia dimana pasien diminta untuk menandainya sesuai dengan nyeri yang
dialami, serta penggunaan skala wajah. Metode unidimensi meliputi pemeriksaan
nyeri dengan menggunakan Verbal Ratting Scales (VRS), Numerical Rating Scale
(NRS), Visual Analogue Scale (VAS). Metode sederhana ini biasa digunakan
secara efektif di rumah sakit, klinik dan pada saat memberikan informasi
mengenai nyeri (Wijayanti, 2014).
Skala nyeri nurmerik (Numerical Rating Scale/NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Skala tersebut paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik
(Potter & Perry, 2006: 1519). Penilaian skala nyeri dengan NRS menggunakan
skala 0 sampai 10, dimana 0 dideskripsikan sebagai tidak ada nyeri dan semakin
meningkatnya skala nyeri, semakin meningkat pula sensasi nyeri yang dirasakan.
14
Skala Nyeri Deskriptif/Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala Nyeri Analog/Visual Analog Scale (VAS)
Skala Nyeri Numerik/Numerical Rating Scale (NRS)
Gambar 2.1 Skala Pengukuran Nyeri (Tamsuri, 2007)
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Potter dan Perry (2006: 1511-1515), faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut.
1) Usia
Usia sangat mempengaruhi pemahaman tentang nyeri. Toleransi terhadap
nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, misalnya semakin
bertambahnya usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman
tentang nyeri dan usaha mengatasinya.
2) Jenis Kelamin
Umumnya, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon
terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin,
misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak
Tidak
ada
nyeri
Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
hebat
Nyeri
sangat
hebat
Nyeri
paling
hebat
Tidak ada nyeri Nyeri paling hebat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
15
harus menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang
melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri dipengaruhi
oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu,
tanpa memperhatikan jenis kelamin.
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka.
4) Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan
secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.
5) Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya pengalihan yang dilakukan dengan memfokuskan perhatian
dan konsentrasi pada stimulus lain dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun.
6) Ansietas
Individu yang sehat secara emosional biasanya lebih mampu mentoleransi
nyeri sedang hingga berat daripada individu yang memiliki status emosional
16
kurang stabil. Klien yang mengalami cedera atau menderita penyakit kronis,
seringkali mengalami kesulitan mengontrol lingkungan dan perawatan diri
dapat menimbulkan tingkat ansietas yang tinggi. Nyeri yang tidak kunjung
hilang menyebabkan gangguan psikosis dan kepribadian.
7) Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap
individu yang menderita penyakit dalam jangka waktu yang lama.
8) Pengalaman Sebelumnya
Klien yang sudah pernah mengalami nyeri cenderung mampu untuk mengatasi
nyeri yang dirasakan atau beradaptasi dengan nyeri yang dialami saat ini.
9) Gaya Koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
keseluruhan. Berbagai sumber koping yang dapat digunakan antara lain
dengan dukungan dari keluarga, melakukan latihan atau menyanyi. Koping
tersebut bermanfaat untuk mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.
10) Dukungan Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri akan bergantung pada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan.
2.2.4 Reaksi Terhadap Nyeri
Reaksi terhadap nyeri menurut Potter & Perry (2006: 1508-1510)
merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan
nyeri.
17
1) Respon Fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan
thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon
stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang
superfisial menimbulkan reaksi flight atau fight yang merupakan sindrom
adaptasi umum.
Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan
respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat, atau dalam,
dan secara tipikal melibatkan organ-organ viseral (seperti nyeri pada infark
miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf
parasimpatis menghasilkan suatu reaksi. Respon fisiologis terhadap nyeri
dapat sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri
traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami syok,
kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi yaitu tanda-tanda fisik
kembali normal. Dengan demikian klien yang mengalami nyeri tidak akan
selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.
2) Respon Perilaku
Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus yang apabila
tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat
mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Menurut Meinhart
dan McCaffery (1983) dalam Potter dan Perry (2006) mendeskripsikan 3 fase
pengalaman nyeri antara lain:
18
a. Fase Antisipasi
Fase ini terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Seorang individu
mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi biasanya akan
mempengaruhi dua fase lain. Antisipasi terhadap nyeri memungkinkan
individu untuk belajar memahami nyeri dan mengontrol ansietas sebelum
nyeri terjadi. Perawat berperan penting dalam membantu klien selama fase
antisipatori. Penjelasan yang benar membantu klien memahami dan
mengontrol ansietas yang mereka alami. Pada situasi klien merasa terlalu
takut atau terlalu cemas, maka antisipasi terhadap nyeri dapat
meningkatkan persepsi keparahan nyeri.
b. Fase Sensasi
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap
nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri
merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan untuk menerima nyeri
dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama.
Klien yang memiliki toleransi tinggi terhadap nyeri, mampu menahan
nyeri tanpa bantuan. Seringkali seorang perawat harus mendorong pasien
dengan karakteristik tersebut untuk menerima upaya-upaya mengatasi
nyeri supaya aktivitas dan asupan nutrisinya tidak menurun secara drastis.
Sebaliknya, seorang klien yang memiliki toleransi nyeri yang rendah dapat
mencari upaya untuk menghilangkan nyeri sebelum nyeri terjadi. Misalnya
seorang klien meminta aspirin dalam upaya untuk mengantisipasi nyeri
kepala.
19
Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri
meliputi menggerakkan gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri,
postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai. Seorang
klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah, atau sering memanggil
perawat.
c. Fase Akibat (Aftermath)
Fase akibat merupakan fase ketika nyeri berkurang atau berhenti. Setelah
mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala fisik,
seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi. Jika klien
mengalami serangkaian episode nyeri yang berulang, maka respon akibat
(aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
2.3.5 Penatalaksanaan Nyeri
Menurut Potter dan Perry (2006) penanganan nyeri dapat dilakukan secara
farmakologis dan dengan tindakan nonfarmakologis.
1) Terapi Nyeri Farmakologis
Analgesik merupakan metode yang paling umum digunakan untuk megatasi
nyeri. Terdapat tiga jenis analgesic yang yang digunakan untuk mengatasi nyeri
yaitu, analgesik non-narkotik dan OAINS, analgesik narkotik atau opiat, dan
koanalgesik atau obat tambahan. Analgesik non-narkotik dan OAINS umumnya
digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang
terkait dengan artritis rheumatoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah
minor, episiotomy, dan masalah pada punggung bawah. OAINS berkerja dengan
20
menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respon selular selama
inflamasi.
Analgesik opiat atau narkotik umumnya diberikan pada nyeri sedang sampai
berat, seperti nyeri pasca operasi dan nyeri maligna. Analgesik jenis ini bekerja
pada system saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan
menstimulasi. Koanalgesik atau analgesik tambahan diberikan untuk mengatasi
cemas, meningkatkan kontrol nyeri atau mengatasi gejala lain yang menyertai
nyeri, misalnya depresi dan mual. Agen koanalgesik diberikan dalam bentuk
tunggal atau disertai analgesik. Obat sedatif juga merupakan salah satu contoh
dari koanalgesik, dan digunakan untuk mengatasi nyeri kronik. Obat-obatan ini
dapat menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi, dan kewaspadaan
mental.
2) Tindakan Peredaan Nyeri Nonfarmakologis
Tindakan nonfarmakologis yang digunakan untuk mengatasi nyeri
mencakup intervensi perilaku-kognitif dan penggunaan agen-agen fisik. Tujuan
intervensi perilaku-kognitif adalah mengubah persepsi klien tentang nyeri,
mengubah perilaku nyeri, dan memberikan klien rasa pengendalian yang lebih
besar. Agen-agen fisik bertujuan memberikan rasa nyaman, memperbaiki
disfungsi fisik, mengubah respons fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang
terkait imobilisasi. Beberapa contoh teknik nonfarmakologis adalah sebagai
berikut.
21
a. Distraksi
Distraksi adalah metode untuk mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal
yang lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialami (Alfarini &
Sukmasari, 2012). Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal lain dan
dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri serta
meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Distraksi bekerja memberikan
pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang singkat, untuk mengatasi nyeri
intensif hanya berlangsung beberapa menit (Potter & Perry, 2006).
b. Biofeedback
Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan
individu informasi tentang respon fisiologis dan cara untuk melatih ontrol
volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini digunakan untuk menghasilkan
relaksasi dalam dan sangat efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan
migren (Potter & Perry, 2006).
c. Hipnosis Diri
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti
positif. Suatu pendekatan holistic, hypnosis diri menggunakan sugesti diri dan
kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Konsentrasi yang intensif
mengurangi ketakutan dan stress karena individu berkonsentrasi hanya pada
satu pikiran (Potter & Perry, 2006).
d. Stimulasi Kutaneus
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk
menghilangkan nyeri. Stimulasi ini akan menyebabkan pelepasan hormon
22
endorfin, sehingga memblok tranmisi stimulasi nyeri. Berdasarkan teori gate
control, stimulasi kutaneus mengantifkan transmisi serabut saraf sensori A-
beta yang lebih besar dan lebih cepat. Contoh dari stimulasi kutaneus yaitu
masase, kompres dingan dan panas, dan stimulasi saraf elektrik transkutaneus
(Potter & Perry, 2006).
2.3 Nyeri Punggung Bawah (NPB)
2.3.1 Definisi NPB
NPB merupakan nyeri dan ketidaknyamanan, yang terlokalisasi di bawah
sudut iga terakhir (costal margin) dan di atas lipat bokong bawah (gluteal inferior
fold), dengan atau tanpa nyeri pada tungkai (Smeltzer & Bare, 2005). NPB adalah
nyeri yang dirasakan daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal
maupun nyeri radikuler atau keduanya (Sadeli & Tjahjono, 2001 dalam
Kantana, 2010). NPB adalah suatu sindroma nyeri yang terjadi pada regio
punggung bagian bawah yang merupakan akibat dari berbagai sebab yaitu
kelainan tulang punggung sejak lahir, trauma, perubahan jaringan, pengaruh
gaya berat (Vira, 2009).
2.3.2 Faktor Risiko Terjadinya NPB
Menurut Septiawan (2013), faktor risiko terjadinya NPB dibagi menjadi tiga
yaitu sebagai berikut.
23
1) Faktor Personal
a. Usia
Pada umumnya keluhan otot sekeletal mulai dirasakan pada usia
kerja 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada usia 35 tahun
dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya
umur (Tarwaka, dkk 2004:120). Menurut Olviana, Saftarina, dan Wintoko
(2013) pada usia ≥ 30 terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan,
pergantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan.
b. Masa Kerja
Masa kerja menunjukkan lamanya seseorang terkena paparan di
tempat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang, semakin lama terkena
paparan di tempat kerja sehingga semakin tinggi resiko terjadinya penyakit
akibat kerja. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari lima tahun
memiliki tingkat resiko 7,26 kali lebih besar menderita nyeri punggung
dibanding dengan yang memilki masa kerja kurang dari lima tahun
(Septiawan, 2013: 21).
c. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarwaka, dkk
(2004) didapatkan hasil bahwa jenis kelamin menunjukkan pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat risiko keluhan otot, di mana wanita lebih
berisiko. Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai kekuatan fisik
tubuh yang lebih rendah dari laki-laki.
24
d. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok menyebabkan penurunan pasokan oksigen dan
berkurangnya oksigen dalam darah, sehingga seorang pekerja akan mudah
merasa lelah. Hal tersebut juga menyebabkan pembakaran karbohidrat
menjadi terhambat, terjadi penumpukan asam laktat, dan akhirnya
menimbulkan nyeri otot (Latif, 2007; Septiawan, 2013; Tarwaka, dkk,
2004).
e. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu faktor ekspresi dari gaya
hidup. Semakin tidak teratur gaya hidup dengan tidak mengontrol pola
makan, semakin tinggi resiko terkena obesitas. Hal ini membawa
konsekuensi akan meningkatnya resiko terkena penyakit-penyakit lain
salah satunya adalah NPB (Purnamasari, Gunarso, & Rujito, 2010: 26-
27). Kelebihan berat badan meningkatkan beban pada tulang belakang
dan tekanan pada diskus, struktur tulang belakang, serta herniasi pada
diskus lumbalis (Elders, 2007). Menurut Zamna (2007) seseorang dengan
obesitas atau dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2), memiliki
risiko mengalami NPB.
f. Kebugaran Jasmani
Pekerja dengan kebugaran jasmani yang lemah akan berisiko
mengalami cedera punggung. Menurut Jiwa (2012) dalam penelitian
prospektif terhadap 1.652 pemadam kebakaran, didapatkan hasil bahwa
frekuensi cedera yang dialami kelompok pekerja yang kurang bugar
25
sebanyak 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerja
yang sebagian masih bugar. Jadi dapat disimpulkan, kebugaran jasmani
berperan dalam mencegah terjadinya cedera punggung.
2) Faktor Pekerjaan
a. Beban Kerja
Beban kerja adalah beban pekerjaan yang ditanggung oleh pelakunya
baik fisik, mental, maupun sosial (Septiawan, 2013: 24). Penelitian yang
dilakukan oleh Lestari (2004) tentang hubungan antara beban kerja dengan
keluhan punggung bawah (NPB) pada perawat RS. Roemani Semarang
menunjukan adanya hubungan antara beban kerja dengan keluhan nyeri
punggung bawah pada perawat RS. Roemani Semarang dengan nilai p =
0,003.
b. Lama Kerja
Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya enam
sampai delapan jam. Sisanya (16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan
dalam keluarga atau masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain.
Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya
tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan
produktivitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit,
dan kecelakaan (Septiawan, 2013: 25). Menurut Kantana (2010),
pengemudi yang bekerja selama lebih dari empat jam sehari, enam
kali lebih beresiko absen dari pekerjaannya karena NPB daripada orang
yang mengemudi kurang dari dua jam.
26
c. Sikap Kerja
Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan
pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan
lain-lain. Sikap kerja yang salah, canggung, dan di luar kebiasaan akan
menambah resiko cidera pada bagian sistem muskuloskeletal (Astuti,
2007). Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu:
(1) Sikap Kerja Duduk
Posisi duduk pada otot rangka dan tulang belakang terutama pada
pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari
nyeri dan cepat lelah (Septiawan, 2013: 26). Tekanan tulang belakang
akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk
tidak benar dan akan semakin meningkat apabila saat duduk diikuti
dengan posisi tubuh membungkuk (Santoso, 2004: 26).
(2) Sikap Kerja Berdiri
Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering
dilakukan ketika melakukan sesuatu pekerjaan (Astuti, 2007). Sikap
kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang belakang
vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki.
Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus menyebabkan
penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki. Sikap kerja
berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila
27
sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk
(Septiawan, 2013: 27).
(3) Sikap Kerja Membungkuk
Membungkuk merupakan salah satu posisi yang tidak nyaman
untuk diterapkan saat bekerja. Pada saat membungkuk tulang
punggung bergerak ke sisi depan tubuh. Otot bagian perut dan sisi
depan invertebratal disk pada bagian lumbar mengalami penekanan,
sedangkan pada bagian ligamen sisi belakang dari invertebratal disk
mengalami peregangan atau pelenturan. Kondisi ini akan
menyebabkan rasa nyeri pada punggung bagian bawah (Astuti, 2007).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Samara (2005) tentang sikap
membungkuk dan memutar selama bekerja sebagai faktor resiko nyeri
punggung bawah menunjukan bahwa sikap kerja membungkuk
memperbesar resiko nyeri punggung bawah sebesar 2,68 kali
dibandingkan dengan pekerja dengan sikap badan tegak.
3) Faktor Lingkungan
a. Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai
contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan
yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan
apabila hal ini sering terjadi dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang
menetap (Tarwaka dkk, 2004:119).
28
b. Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat, dan akhirnya timbul rasa nyeri otot
(Tarwaka dkk, 2004:119).
2.3.3 Tanda dan Gejala
Pasien biasanya mengeluh nyeri punggung akut maupun nyeri punggung
kronis (berlangsung lebih dari enam bulan tanpa perbaikan) dan kelemahan. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya spasme otot paravertebralis
(peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai
hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas
tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan tengkurap, otot spinal akan
relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang
(Smeltzer & Bare, 2005).
Bila pasien menderita radikulopati (gangguan serabut saraf) atau nyeri
punggung kronik, diperlukan pemeriksaan diagnostik multipel. Kadang-kadang
dasar organik nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan stress dapat
membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa merupakan
manifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan
dan kehidupan (Smeltzer & Bare, 2005).
Menurut Tholib (2010), tanda dan gejala klinis dari NPB adalah sebagai
berikut.
29
1) Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai perasaan tidak menyenangkan dan merupakan
pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial atau dideskripsikan sebagai istilah adanya kerusakan
jaringan. Nyeri pada NPB dirasakan akan bertambah saat melakukan
aktivitas dan rasa kaku pada punggung bawah.
2) Spasme Otot
Pada pemeriksaan ditemukan kelainan yang ringan berupa spasme ringan
pada otot-otot punggung bawah dan otot-otot perut serta gangguan
pergerakan tulang belakang. Spasme otot biasanya mengenai m. erector
spine dan pada m. quadratus lumborum
3) Kelemahan Otot
Kekuatan otot-otot punggung menjadi menurun tergantung daerah nyeri dan
dikarenakan adanya nyeri yang membatasi terjadinya gerakan yang akan
dilakukan pasien, sehingga terjadi kecenderungan kelematan otot karena
pasien enggan bergerak. Biasanya otot-otot yang mengalami kelemahan
adalah m. quadratus lumborum.
4) Ganggung Fungsional
Terganggunya seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pengukuran
kemampuan fungsional bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kemungkinan terganggunya pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
30
2.3.4 Klasifikasi NPB
NPB disebabkan oleh berbagai kelainan atau perubahan patologik yang
mengenai berbagai macam organ atau jaringan tubuh. Klasifikasi NPB menurut
Harsono (2009) adalah sebagai berikut.
1) NPB Viserogenik
NPB yang disebabkan oleh adanya proses patologik di ginjal atau visera di
daerah pelvis serta tumor retroperitoneal. Nyeri viserogenik tidak bertambah berat
dengan aktivitas tubuh dan sebaliknya tidak berkurang dengan istirahat. Penderita
NPB viserogenik akan mangalami nyeri hebat dan untuk meredakan perasaan
nyeri penderita akan menggeliat.
2) NPB Vaskulogenik
Aneurisma atau penyakit vascular perifer dapat menimbulkan nyeri
punggung atau menyerupai iskalgia. Aneurisma abdominal dapat menimbulkan
NPB di bagian dalam dan tidak ada hubungannya dengan aktivitas tubuh.
3) NPB Neurogenik
Merupakan keadaan patologi pada saraf yang menyebabkan NPB, yang
terdiri dari:
a. Neoplasma
Neoplasma interkanalis spinal sering ditemukan adalah neurioma
hemangloma, ependimoma, dan meningioma. Pada umumnya gejala
pertama adalah rasa nyeri, kemudian timbul gejala neurologik yaitu
gangguan motorik, sensibilitas dan vegetatif. Nyeri akan berkurang dengan
berjalan.
31
b. Araknoditis
Pada araknoiditis terjadi perlengketan-perlengketan. Nyeri timbul bila
terjadi penjepitan terhadap radiks oleh perlengketan tersebut.
c. Stenosis Kanalis Spinalis
Menyempitnya kanalis spinalis disebabkan oleh karena proses
degenerasi diskus intervertebralis dan biasanya disertai oleh ligamentum.
Gejala klinik yang timbul ialah adanya klauikasio intermiten yang disertai
rasa kesemutan dan pada saat penderita istirahat maka rasa nyeri masih tetap
ada. Bedanya dengan klausdikasio intermiten pada penyumbatan arteri ialah
disini denyut nadi hilang dan tidak ada rasa kesemutan.
4) NPB Spondilogenik
NPB Spndilogenik ialah suatu nyeri yang disebabkan oleh berbagai proses
patologik di kolumna vertebralis yang terdiri dari unsur tulang (osteogenik),
diskus intervetebralis (diskogenik), miofasial (miogenik), dan proses patologik di
artikulasio sakroiliaka.
a. NPB Osteogenik
NPB ini sering disebabkan oleh radang atau infeksi dan trauma. Radang
atau infeksi misalnya osteomielitis vertebral dan spondilitis tuberkulosa,
yang masih sering dijumpai meskipun jarang ditemui di daerah lumbal,
karena predileksinya di daerah torakal. Trauma, yang dapat
mengakibatkan fraktur maupun spondilolistesis (bergesernya korpus
vertebra terhadap korpus vertebra dibawahnya).
32
b. NPB Diskogenik
(1) Spondilitis, disebabkan oleh proses degenarasi yang progresif pada
diskus vertebralis, yang mengakibatkan menyempitnya jarak diantara
vertebra sehingga menyebabkan terjadinya osteofit, penyempitan
kanalis spinalis dan forameninter vertebrale, serta iritasi persendian
posterior. Rasa nyeri spondilitis ini disebabkan oleh terjadinya
osteoartritis dan tertekannya radiks oleh kantong durameter yang
mengakibatkan iskemi dan radang.
(2) Hernia Neukleus Pulposus (HNP) ialah keadaan dimana nekleus
purposes keluar menonjol untuk kemudian menekan ke arah kanalis
spinal melalui annulus fibrosus yang robek. Penonjolan dapat terjadi
di bagian lateral disebut HNP lateral, dapat pula terjadi dibagian
tengah dan disebut HNP sentral. Dasar terjadinya HNP ini adalah
proses degenarasi diskus intervertebralis, maka banyak terjadi pada
usia pertengahan.
(3) Spondilitis ankilosa, proses ini biasanya mulai dari sendi sakroiliaka,
yang kemudian menjalar ke atas. Gejala permulaan berupa rasa kaku
di punggung bawah waktu bangun tidur dan hilang setelah
mengadakan gerakan. Pada foto rontgen terlihat gambaran yang
mirip dengan ruas-ruas bambu sehingga disebut bamboo spine
c. NPB miogenik, disebabkan oleh ketegangan otot, spame otot, defisiensi
otot dan hipersensitif
33
(1) Ketegangan otot, disebabkan oleh sikap tegang yang konstan atau
berulang-ulang pada posisi yang sama akan memendekkan otot, yang
akhirnya akan menimbulkan perasaan nyeri. Keadaan ini tidak akan
terlepas dari kebiasaan buruk atau sikap tubuh yang tidak atau
kurang fisiologi.
(2) Spasme otot, disebabkan oleh gerakan yang tiba-tiba dimana jaringan
otot sebelumnya dalam kondisi yang tegang atau kaku atau kurang
pemanasan. Spasme otot ini memberikan gejala khas, ialah dengan
adanya kontraksi otot yang disertai nyeri yang hebat. Setiap gerakan
akan memperberat rasa nyeri sekaligus menambah kontraksi.
(3) Defisiensi otot, dapat disebabkan oleh kurang latihan sebagai akibat
dari mekanisasi yang berlebihan, tirah baring yang terlalu lama
maupun karena imobilisasi.
(4) Otot yang hipersensitif akan menciptakan satu daerah kecil apabila
dirangsang akan menimbulkan rasa nyeri dan menjalar ke daerah
tertentu (target area). Daerah kecil ini disebut noctah picu (tirgger
point).
5) NPB Psikogenik
Nyeri jenis ini tidak jarang ditemui, tetapi biasanya ditemukan setelah
dilakukan pemeriksaan yang lengkap dan hasilnya tidak memberikan
jawaban yang pasti. Hal ini memang bersifat legeartis, dimana semua
kemungkinan faktor organik tidak dapat dibuktikan sebagai faktor etiologi
34
NPB. NPB psikogenik pada umunya disebabkan oleh ketegangan jiwa atau
kecemasan dan depresi atau campuran keduanya.
2.3.5 Patofisiologi Terjadinya NPB
Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastik yang
tersusun atas banyak unit rigid (vertebrae) dan unit fleksibel (diskus
intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset, berbagai
ligamen dan otot paravertebralis. Kontruksi punggung yang unik tersebut
memungkinkan fleksibilitas sementara di sisi lain tetap dapat memberikan
perlindungan yang maksimal terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan
tulang belakang akan menyerap goncangan vertikal pada saat berlari atau
melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot
abdominal dan toraks sangat penting pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak
pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah
postur, masalah struktur, dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang
dapat berakibat nyeri punggung (Smeltzer & Bare, 2005).
Diskus vertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah
tua., Diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus pada
orang muda, kemudian akan menjadi kartilago yang padat dan tidak teratur pada
saat lansia. Degenerasi diskus merupakan penyebab nyeri punggung yang biasa.
Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, menderita stres mekanis paling berat dan
perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus (herniasi nukleus pulposus) atau
kerusakan sendi faset dapat mengkibatkan penekanan pada saraf ketika keluar dari
35
kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf
tersebut (Smeltzer & Bare, 2005).
2.3.6 Penetapan Diagnosis NPB
Menurut Huldani (2012), penetapan diagnosis NPB dibagi dalam beberapa
tahap yaitu sebagai berikut.
A. Anamnesis
Dalam anamnesis NPB perlu diketahui:
1) Awitan
NPB yang disebabkan oleh faktor mekanis akan menimbulkan nyeri
mendadak yang terjadi setelah posisi mekanis yang tidak ergonomis. Kondisi ini
kemungkinan terjadi robekan otot, peregangan fasia atau iritasi permukaan sendi.
Keluhan karena penyebab lain timbul secara bertahap.
2) Lama dan Frekuensi Serangan
NPB akibat faktor mekanik berlangsung beberapa hari sampai beberapa
bulan, sedangkan herniasi diskus membutuhkan waktu delapan hari. Degenerasi
diskus dapat menyebabkan rasa tidak nyaman kronik yang terjadi selama dua
sampai empat minggu.
3) Lokasi dan Penyebaran
Kebanyakan NPB terjafi akibat gangguan mekanis, terutama di daerah
lumbosakral. Nyeri yang menyebar ke tungkai bawah atau hanya di tungkai
bawah mengarah ke iritasi akar saraf. Nyeri yang menyebar ke tungkai juga dapat
disebabkan peradangan sendi sakroiliaka. Nyeri psikogenik tidak mempunyai pola
penyebaran yang tetap.
36
4) Faktor yang Memperberat atau Memperingan
Pada lesi mekanis, keluhan berkurang saat istirahat dan bertambah saat
aktivitas, sedangkan pada penderita HNP duduk dengan posisi membungkuk akan
memperberat nyeri. Batuk, bersin atau manuver valsava akan memperberat nyeri.
Pada penderita tumor, nyeri lebih berat atau menetap jika berbaring.
5) Kualitas atau Intensitas
Penderita diminta untuk menggambarkan intensitas nyeri serta dapat
membandingkannya dengan berjalannya waktu. Bila nyeri punggung lebih berat
daripada nyeri tungkai, tidak menunjukkan adanya suatu kompresi radiks dan
tidak memerlukan tindakan operatif. Gejala nyeri punggung yang sudah lama dan
intermiten, diselingi oleh periode tanpa gejala merupakan gejala khas dari suatu
NPB yang terjadinya secara mekanis. Suatu tindakan atau gerakan yang
mendadak dan berat, yang berhubungan dengan pekerjaan, bisa menyebabkan
suatu NPB, namun sebagian besar episode herniasi diskus terjadi setelah suatu
gerakan yang relatif sederhana, seperti membungkuk atau memungut barang yang
ringan. Gerakan-gerakan yang dapat menyebabkan bertambahnya nyeri NPB,
yaitu duduk dan mengendarai mobil. Nyeri akan berkurang bila tiduran (bed rest)
atau berdiri, dan setiap gerakan yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdominal akan memperberat nyeri. Nyeri juga dapat disebabkan oleh faktor
nonmekanik. Nyeri pada malam hari bisa merupakan suatu peringatan, karena bisa
menunjukkan adanya suatu kondisi keganasan ataupun infeksi.
37
B. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Gerakan aktif pasien harus dinilai, diperhatikan gerakan mana yang
membuat nyeri dan juga bentuk kolumna vertebralis, berkurangnya lordosis serta
adanya skoliosis. Berkurang sampai hilangnya lordosis lumbal dapat disebabkan
oleh spasme otot paravertebral.
Gerakan-gerakan yang perlu diperhatikan pada penderita:
a. Keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah.
b. Ekstensi ke belakang (back extension) seringkali menyebabkan nyeri pada
tungkai bila ada stenosis foramen intervertebralis di lumbal dan artritis
lumbal. Gerakan ini akan menyebabkan penyempitan foramen sehingga
menyebabkan suatu kompresi pada saraf spinal fleksi ke depan (forward
flexion) yang secara khas akan menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada
HNP. Hal ini terjadi akibat ketegangan pada saraf yang terinflamasi di atas
suatu diskus protusio sehingga meningkatkan tekanan pada saraf spinal
tersebut dengan cara meningkatkan tekanan pada fragmen yang tertekan di
sebelahnya (jackhammer effect).
c. Lokasi dari HNP dapat ditentukan bila pasien disuruh membungkuk ke
depan, ke lateral kanan dan kiri. Fleksi ke depan, ke suatu sisi atau ke lateral
yang meyebabkan nyeri pada tungkai yang ipsilateral menandakan adanya
HNP pada sisi yang sama.
d. Nyeri pada ekstensi ke belakang pada seorang dewasa muda menunjukkan
kemungkinan adanya suatu spondilolisis atau spondilolistesis.
38
2) Palpasi
Adanya nyeri (tenderness) pada kulit menunjukkan adanya kemungkinan
suatu keadaan psikologis di bawahnya (psychological overlay). Pemeriksaan ini
dapat menentukan letak segmen yang menyebabkan nyeri dengan memberi
tekanan pada ruangan intervertebralis atau dengan cara menggerakkan prosesus
spinosus ke kanan ke kiri sambil melihat respons pasien. Spondilolistesis yang
berat dapat diketahui dengan cara meraba adanya ketidakrataan (step-off) di
tempat yang terkena. Penekanan dengan ibu jari pada prosesus spinosus dilakukan
untuk mencari adanya fraktur pada vertebra.
3) Pemeriksaan Motoris
Pemeriksaan ini dilakukan dengan membandingkan kedua sisi untuk
menemukan abnormalitas motoris dan memperhatikan miotom yang
mempersarafinya.
4) Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik akan sangat subjektif karena membutuhkan
perhatian dari penderita dan tak jarang keliru, tapi tetap penting arti
diagnostiknya dalam membantu menentukan lokalisasi lesi HNP sesuai
dermatom yang terkena. Gangguan sensorik lebih bermakna dalam
menunjukkan informasi lokalisasi dibanding motoris.
5) Tanda-Tanda Rangsangan Meningeal
a. Tanda Laseque
Menunjukkan adanya ketegangan pada saraf spinal khususnya L5
atau S1 (Huldani, 2012). Tes ini dilakukan dengan cara meluruskan
39
kedua kaki kemudian mengangkat satu tungkai secara lurus (straight leg
raising) dengan fleksi pada sendi panggul. Tanda Laseque bernilai
positif apabila dirasakan nyeri di sepanjang bagian belakang saat tungkai
diangkat. Tes ini positif pada penderita HNP (Muttaqin, 2008). Fleksi
sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang n. ischiadicus (Juwono, n.d).
b. Tanda Laseque Kontralateral (Contralateral Laseque Sign)
Dilakukan dengan cara yang sama, namun bila tungkai yang tidak
nyeri diangkat akan menimbulkan suatu respons yang positif pada
tungkai kontralateral yang sakit dan menunjukkan adanya suatu HNP.
C. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin, dilihat laju endap darah (LED) dan
morfologi darah tepi (mengidentifikasi infeksi atau mieloma), kalsium, fosfor,
asam urat, alkali fosfatase, asam fosfatase, antigen spesifik prostat (jika ada
kecurigaan metastasis karsinoma prostat), elektroforesis protein serum (protein
mieloma), dalam kasus khusus, dapat dilakukan tes tuberculin atau tes Brucella,
dan tes faktor rheumatoid.
2) Pemeriksaan Radiologis
Foto rontgen pada posisi anteroposterior, lateral, dan oblique dilakukan
untuk pemeriksaan rutin NPB dan sciatica. Gambaran radiologis sering
terlihat normal atau kadang-kadang dijumpai penyempitan ruang diskus
intervertebral, osteofit pada sendi faset, penumpukan kalsium pada vertebrae,
40
pergeseran korpus vertebrae (spondilolistesis), dan infiltasi tulang oleh tumor.
Penyempitan ruangan intervertebral serta dapat terlihat bersamaan dengan
suatu posisi yang tegang dan melurus dan suatu skoliosis akibat spasme otot
paravertebral.
CT scan adalah sarana diagnostik yang efektif bila vertebra dan status
neurologis telah jelas dan kemungkinan karena kelainan tulang. MRI (akurasi
73-80%) biasanya digunakan saat vertebra dan level neurologis belum jelas,
kecurigaan kelainan patologis pada medula spinalis atau jaringan lunak, untuk
menentukan kemungkinan herniasi diskus post operasi, kecurigaan karena infeksi
atau neoplasma.
Menurut Alfred (2013), gejala-gejala riwayat medis, dan hasil pemeriksaan
fisik dapat diperkirakan penyebab NPB. Pada pemeriksaan fisik, penderita dapat
diminta untuk bergerak dengan cara tertentu untuk memastikan jenis nyeri. Jika
penyebab nyeri pada NPB adalah ketegangan otot, maka tidak diperlukan
pemeriksaaan tambahan untuk mendiagnosa. Jika diduga penyebab NPB oleh
sebab lain, maka diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa nyeri.
2.3.7 Penatalaksanaan NPB
Menurut Harsono (2009), penatalaksanaan NPB dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap konservatif dan operatif.
1) Terapi Konservatif
Cara konservatif meliputi bed rest (tirah baring), medikamentosa dan
fisioterapi.
41
a. Bed Rest
Penderita harus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dengan
sikap tertentu. Tempat tidur tidak boleh memakai pegas atau peer. Tempat
tidur harus dari papan yang lurus dan ditutup dengan lembar busa tipis. Tirah
baring ini sangat bermanfaat untuk nyeri punggung mekanik akut, fraktur, dan
HNP. Pada HNP sikap terbaring paling banyak ialah dalam posisi setengah
duduk dimana tungkai dalam sikap fleksi pada sendi panggul atau lutut. Lama
tirah baring bergantung pada berat ringannya gangguan yang dirasakan
penderita.
b. Mendikamentosa
Ada dua jenis obat dalam tatalaksana NPB ini, ialah obat yang bersifat
simptomatik dan yang bersifat kausal. Obat-obat simptomatik antara lain:
salisilat, paracetamol, kortikosteroid, anti-inflamasi non steroid (AINS),
antidepresan, diazepam, dan klordiasepoksid. Obat-obatan kausal misalnya
antituberkulosis, antibiotika untuk spondilitis piogenik, nukleolisis misalnya
khimopapain, kolagenase (untuk HNP).
c. Fisioterapi
Biasanya dalam bentuk diatermi (pemanasan dengan jangkauan permukaan
yang lebih dalam) misalnya pada HNP, trauma mekanik akut, serta traksi
pelvis untuk relaksasi otot dan mengurangi lordosis.
(1) Terapi Panas
Terapi menggunakan kantong dingin-kantong panas. Dengan menaruh
sebuah kantong dingin di tempat daerah punggung yang terasa nyeri atau
42
sakit selama 5-10 menit. Jika selama dua hari atau 48 jam rasa nyeri masih
terasa gunakan heating pad (kantong hangat).
(2) Elektro Stimulus
(3) Akupuntur
(4) Traction, helaan atau tarikan pada badan (punggung) untuk kontraksi otot
(5) Ultrasound
(6) Radiofrequency Lesioning, dengan menggunakan impuls listrik untuk
merangsang saraf, seperti :
a) Spinal Endoscopy, dengan memasukkan endoskopi pada kanalis
spinalis untuk memindahkan atau menghilangkan jaringan scar.
b) Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (PENS).
c) Elektro Thermal Disc Decompression
d) Trans Cutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), menggunakan
alat dengan tegangan kecil.
(7) Alat Bantu
a) Back corsets.
Penggunaan penahan pada punggung sangat membantu untuk
mengatasi NPB yang dapat membungkus punggung dan perut.
b) Tongkat jalan.
(8) Back Exercise
Back exercise mempunyai manfaat untuk memperkuat otot-otot perut dan
otot-otot punggung sehingga tubuh dalam keadaan tegak secara fisiologis.
Back exercise yang dilakukan dengan baik dan benar dalam jangka waktu
43
yang relatif lama akan meningkatkan kekuatan otot secara aktif sehingga
disebut stabilisasi aktif. Peningkatan kekuatan otot juga mempunyai efek
peningkatan daya tahan tubuh terhadap perubahan gerakan atau
pembebanan secara statis dan dinamis. Contoh back exercise yaitu latihan
Fleksi William (latihan penguatan otot-otot fleksor) dan latihan Mc Kenzis
(latihan penguatan otot-otot ekstensor) (Dachlan, 2009).
2) Terapi Operatif
Pada dasarnya terapi operatif dikerjakan apabila dengan tindakan konservatif
selama tiga sampai minggu tidak memberikan hasil yang nyata atau terhadap
kasus fraktur yang langsung mengakibatkan defisit neurologis, ini
memerlukan tindakan segera (cito). Defisit neurologis yang dapat diketahui
adalah gangguan fungsi otonom dan paraplegia. Pada kasus HNP, tindakan
operatif perlu dikerjakan apabila terapi konservatif tidak memberi hasil atau
kambuh berulang-ulang, atau telah terjadi defisit neurologik (Harsono, 2009).
2.4 Latihan Flexi William
2.4.1 Definisi
William Flexion Exercise adalah suatu latihan yang ditujukan pada otot
fleksor pada daerah lumbosakral, khususnya m. abdominalis dan gluteus
maksimus (Fisioterapi ID, 2011). Latihan Fleksi William salah satu bentuk latihan
yang bertujuan mengurangi nyeri punggung bawah. Caranya adalah dengan
menguatkan (strengthening) otot-otot abdomen dan gluteus maksimus, serta
mengulur (stretching) otot-otot ekstensor punggung. Bentuk latihannya berupa
fleksi lumbosakral (Dachlan, 2009).
44
2.4.2 Teknik Pelaksanaan Latihan Flexi William
Latihan metode william (William Felxion) menurut Posture Committee of
the American Academy of Orthopaedic Surgery dalam Sa’adah (2013) dan
Priyambodo (2008) yaitu:
1) Gerakan Satu (Pelvic Tilting)
Posisi awal: tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki rata
pada permukaan matras.
Gerakan: ratakan pinggang dengan menekankan pinggang ke dasar lantai atau
matras dengan cara mengkontraksikan otot-otot perut dan otot pantat,
kontraksi otot dilakukan selama delapan hitungan (ulangi empat kali)
Tujuan dari gerakan ini adalah penguluran otot-otot ekstensor trunk,
mobilisasi sendi panggul, dan penguatan otot-otot perut.
2) Gerakan Dua (Partial Sit-Up)
Posisi awal: posisi tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki
rata pada permukaan matras.
Gerakan: pasien mengkontraksikan otot perut dan memfleksikan kepala
sehingga dagu menyentuh dada dan bahu terangkat dari matras. Gerakan
dilakukan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan empat kali
pengulangan.
Tujuan: penguluran otot-otot ekstensor trunk, penguatan otot-otot perut, dan
otot sternokleidomastoideus.
45
3) Gerakan Tiga (Single Knee to Chest)
Posisi awal: posisi tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki
rata pada permukaan matras.
Gerakan: memfleksikan satu lutut ke arah dada sejauh mungkin, kemudian
kedua tangan mencapai paha belakang dan menarik lutut ke dada. Pada waktu
besamaan angkat kepala hingga dagu menyentuh dada dan bahu lepas dari
matras. Latihan diulangi pada tungkai yang lain, setiap gerakan dilakukan dan
ditahan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan empat kali
pengulangan.
Tujuan: merapatkan lengkungan pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor
trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka, dan otot-otot hamstring.
4) Gerakan Empat (Double Knee to Chest)
Posisi awal: posisi tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki
rata pada permukaan matras.
Gerakan: memfleksikan kedua lutut ke arah dada sejauh mungkin, kemudian
kedua tangan mencapai paha belakang dan menarik lutunya ke dada. Pada
waktu besamaan angkat kepala hingga dagu menyentuh dada dan bahu lepas
dari matras. Gerakan ditahan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan
empat kali pengulangan.
Tujuan: merapatkan lengkungan pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor
trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka, dan otot-otot hamstring.
46
5) Gerakan Lima
Posisi awal: posisi start awal saat akan berlari
Gerakan: memfleksikan satu tungkai dalam fleksi maksimal pada sendi lutut
dan paha, sedang tungkai yang lain dalam keadaan lurus di belakang. Posisi
kepala terangkat hingga pandangan ke depan, otot-otot perut ditekan pada
paha dengan mengkontraksikan otot-otot punggung. Kemudian pada posisi
tersebut tekan badan ke depan dan ke bawah, setiap gerakan dilakukan dan
ditahan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan empat kali
pengulangan.
Tujuan: mengulur atau stretching otot-otot fleksor hip dan fascia latae.
6) Gerakan Enam (Wall Squat)
Posisi awal: berdiri menempel dan membelakangi dinding dengan tumit 10-15
cm di depan dinding, lumbal rata dengan dinding.
Gerakan: satu tungkai melangkah ke depan tanpa merubah posisi lumbal pada
dinding hingga sendi lutut membentuk sudut 90o dan dengan
mengkontraksikan otot-otot perut, tahan delapan hitungan dan ulangi
sebanyak empat kali
Tujuan: penguatan otot quadriceps, otot perut, ekstensor trunk.
2.4.3 Mekanisme Latihan Fleksi William dalam Menurunkan Nyeri
Prinsip dari latihan Fleksi William adalah untuk mengurangi nyeri punggung
bawah dan membentuk stabilitas batang tubuh bagian bawah (Wahyuni, 2012).
Latihan ini mengurangi tekanan oleh beban pada sendi faset (articular weight-
47
bearing stress), meregangkan otot dan fasia (meningkatkan ekstensibilitas
jaringan lunak) di daerah dorsolumbal, serta bermanfaat untuk mengoreksi postur
tubuh yang salah (Kurniawan, 2004).
Latihan fleksi ini juga meningkatkan stabilitas di dearah lumbal karena
secara aktif melatih otot-otot abdominal, gluteus maximus, dan hamstring. Latihan
fleksi akan meningkatkan tekanan intra abdominal yang mendorong kolumna
vertebralis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis. Secara
teoritis, latihan fleksi ini dapat membantu mengurangi nyeri dengan cara
mengurangi gaya kompresi pada sendi faset, serta meregangkan (stretching)
fleksor hip dan ekstensor lumbal. (Kurniawan, 2004)
Gerakan-gerakan pada terapi latihan Fleksi William juga dapat membuka
foramen intervertebralis, meregangkan struktur ligamen dan distraksi sendi
apophyseal. Gerakan pelvic tilt berfungsi untuk menguatkan otot-otot penyokong
di sekitar punggung bawah terutama otot-otot abdomen. Gerakan pelvic tilt juga
memberi sedikit efek massage pada punggung sehingga dapat mengurangi spasme
otot. Gerakan selanjutnya dari latihan Fleksi William adalah single and double
knee to chest berfungsi untuk meregangkan otot-otot punggung bawah. Partial sit
up bertujuan untuk mengurangi lordosis lumbal (Wahyuni, 2012).
Mekanisme pengurangan nyeri sendiri berasal dari gerakan yang disadari
yang dilakukan secara perlahan dan berirama. Gerakan tersebut dilihat dari sistem
neurofisiologis, yang akan menstimulasi afferent (serabut saraf sensoris)
berpenampang tebal untuk menghambat aktivasi reseptor nyeri (nociceptor).
48
Gerak yang dilakukan juga dapat membantu memberikan “pumping action”
sehingga aliran darah menjadi lancar dan nyeri akan berkurang.
Mekanisme latihan Fleksi William dalam peningkatan kekuatan otot
didapatkan dari gerak aktif yang dilakukan akan meningkatkan kekuatan otot
karena gerakan tubuh selalu disertai oleh kontraksi otot. Apabila tahanan
diberikan pada otot yang berkontraksi, otot akan beradaptasi dan memaksa otot
bekerja, sehingga bergerak untuk melawan gerakan tersebut dan secara tidak
langsung kekuatan otot akan meningkat. Hal ini juga didukung dengan adanya
pengurangan nyeri, maka kerja otot untuk berkontraksi semakin kuat (Safitri,
2009).
2.4.4 Dosis Latihan
Dosis latihan dinyatakan dalam jumlah repetisi dan durasi tiap sesi latihan,
intensitas (bila menggunakan tahanan atau beban), frekuensi (berapa kali dalam
seminggu) dan lamanya atau periode latihan. Untuk meningkatkan mobilitas atau
fleksibilitas lumbal pada pasien-pasien dengan NPB, tidak dibutuhkan latihan
dengan peningkatan tahanan atau dengan pemberian tahanan yang besar,
melainkan dengan latihan peningkatan ROM bertahap atau dengan latihan
stretching (meningkatkan ROM dengan mengulur struktur jaringan lunak (otot
dan tendon)). Latihan peningkatan mobilitas dapat dilakukan latihan sebanyak tiga
sampai lima repetisi setiap sesi latihan, durasi latihan selama 15-30 menit, dalam
sehari satu sampai sesi latihan, dan frekuensi latihan tiga kali dalam seminggu.
Evaluasi dapat dilakukan setelah dua sampai empat minggu menjalani progam
latihan (Kurniawan, 2004). Waktu yang efektif digunakan untuk melakukan
49
latihan adalah pada sore hari, karena otot-otot tubuh cenderung sudah hangat
akibat aktivitas sebelumnya, fleksibel, dan tidak kaku, sehingga risiko cedera
dapat diturunkan (Jiwa, 2012).
2.4.5 Kontraindikasi
Kontraindikasi dari latihan fleksi punggung ini adalah instabilitas atau
hipermobilitas segmental dari kolumna vertebralis lumbal, misalnya pada keadaan
spondilolistesis, spondilolitis, herniasi diskus, peningkatan nyata dari nyeri
punggung bawah, penjalaran nyeri ke tungkai bawah (nyeri radikuler). Karena
latihan fleksi punggung ini meningkatkan tekanan intra abdominal, maka
sebaiknya latihan fleksi dihindari oleh pasien dengan gangguan kardiovaskuler,
seperti hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat infark miokard akut, dan riwayat
stroke (Jiwa, 2012).