Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN PERJANJIAN
Pada dasarnya janji itu merupakan ucapan yang menyatakan kesediaan dan
kesanggupan untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang,
bertemu). Menurut Pasal 1233 BW mendefinisikan bahwa perikatan lahir karena
suatu persetujuan atau karena undang-undang. Sedangkan persetujuan menurut
Pasal 1313 BW diartikan sebagai perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian adalah
persetujuan, pemufakatan, antara dua orang/pihak untuk melaksanakan sesuatu.
Kalau diadakan tertulis juga dinamakan kontrak.12
Perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-
masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan.13 Menurut
Van Dunne, Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.14
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah 15
“Suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dalam definisi
tersebut, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu persetujuan
antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu juga, perjanjian yang
dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan.”
12 Subekti,2005,Kamus Hukum, Pradnya Paramita,Jakarta,h.89. 13http://kbbi.web.id/janji 14 Salim,2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Sinar Grafika, Jakarta, h.161. 15 Abdul Kadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan,Citra Aditya Bakti, Bandung, h.4.
18
Menurut subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseoarang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbul suatu
hubungan perikatan.16 Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis.17 Menurut Yahya Harahap, Perjanjian adalah
hubungan hukum yang menyangkut kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih,
yang memberi hak pada satu dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi.18
Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik 7 (tujuh) premis dasar terhadap
pengertian perikatan, kontrak persetujuan dan perjanjian;
1. Istilah persetujuan dipersamakan dengan perjanjian;
2. Perjanjian atau persetujuan menimbulkan perikatan, yang kemudian
disebut dengan kontrak sehingga istilah perikatan dapat dipersamakan
dengan kontrak;
3. Perikatan atau kontrak sebagai suatu pengikatan hukum yangmengikat
orang-orang/pihak-pihak sebagai hubungan hukum yang dilindungi atau
dijamin oleh hukum atau undang-undang.
4. Oleh karena perikatan merupakan hubungan hukum antara orang-
orang/pihak-pihak (dua atau lebih), maka perikatan memiliki konsekuensi
sebagai hukum yang mengikat pula;
5. Para pihak baik dalam persetujuan/perjanjian maupun dalam
perikatan/kontrak saling sepaham untuk bertukar janji, sehingga
pertemuan janji-janji ini menjadi prestasi dimana pihak yang satu berhak
dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhinya demikian pula
sebaliknya;
6. Kontrak memiliki arti lebih sempit yang diajukan kepada perjanjian atau
persetujuan tertulis sehingga sifatnya lebih teknis dan;
7. Semua kontrak adalah persetujuan atau perjanjian, tetapi tidak semua
persetujuan atau perjanjian adalah kontrak.19
16 Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke 31, Intermasa, Jakarta, h. 5. 17 Syahmin, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.140. 18 M. Yahya Harahap,1986, Segi-Segi Hukum perjanjian, Alumni, Bandung, h. 6 19 Fajar Sugianto, 2014,Hukum Kontrak, Setara Press, Malang,h.4-5.
19
Pada dasarnya perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Artinya setiap perjanjian selalu ada
prestasi yang mana prestasi tersebut memiliki hubungan erat dengan akibat bagi
parapihak yang membuatnya. Maka sebagai akibat dari adanya perjanjian tersebut
adalah berlakunya sebagai Undang-Undang bagi mereka para pihak yang
membuat sebagaimana ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1338 BW. Lebih
lanjut lagi diterangkan bahwa perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat oleh kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian dapat dikatakan sah
menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
sebagai berikut :
1. Adanya kesepakatan
2. Kecakapan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
1. Adanya kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara Para Pihak yang membuat perjanjian tersebut. Sehingga
syarat daripada kata sepakat itu sendiri menurut Pasal 1321 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata adalah tidak adanya unsur kekhilafan, paksaan
dan penipuan kepada salah satu pihak atau para pihak yang membuat
perjanjian tersebut.
20
2. Kecakapan
Yang dimaksud dengan cakap untuk membuat suatu perjanjian
berdasarkan Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia
oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap.” Sedangkan yang
dimaksud tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal
1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh dibawah Pengampuan;
c. Orang orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa
3. Suatu Pokok Tertentu
Artinya ada objek yang di perjanjikan. Sebagai contoh seseorang menjual
sebidang tanah beserta dengan bangunan kepada pembeli, tanah dan
bangunan tersebut merupakan objek dari perjanjian maka penjual
membuat perjanjian jual beli kepada pembeli dengan objek sebidang tanah
beserta bangunannya.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan
bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Dijelaskan
lebih lanjut lagi dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
bahwa “suatu sebab adalah terlarang,apabila dilarang oleh undang-undang
21
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Sebagai contoh orang yang menjual belikan dengan objek rumah, maka
oleh undang-undang diperbolehkan, sedangkan orang yang menjual
belikan narkotika, maka oleh undang-undang dilarang.
Maka syarat-syarattersebut diatas adalah syarat-syarat mutlak adanya sebuah
perjanjian, apabila salah satu saja tidak dipenuhi maka dapat mengakibatkan cacat
dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam
bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subjektif)
maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat objektif).
2.2 PENGERTIAN AKTA OTENTIK
Pengertian Akta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “surat
tanda berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan dan sebaginya)
tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut perauran yang berlaku, disaksikan
dan disahkan oleh pejabat resmi.”20 Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Akta dapat dibagi menjadi dua yakni Akta
Otentik dan Akta dibawah tangan.
Pengertian Akta Otentik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah “akta yang dibuat oleh atau dihadapaan pejabat umum yang berwenang
membuat akta dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang” Menurut
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “suatu akta
otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang di tentukan Undang-
20http://kbbi.web.id/akta diakses pada tanggal 29 Maret 2017 pada pukul 3:48 pm
22
Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat
akta itu dibuat.
Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi syarat
sebagai berikut :
a). Akta harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang Pejabat
umum. Jika akta Notaris hanya berisikan apa yang dialami dan disaksikan
Notaris yang kedudukannya sebagai Pejabat umum, maka akta tersebut
dinamakan akta pejabat (ambtelijke akten) atau akta verbal.
b). Akta itu harus dibuat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, yaitu bentuk
dari akta tersebut terdiri dari bagian-bagian yakni kepala akta, badan akta, dan
akhir akta. Pada bagian kepala akta dan bagian akhir akta inilah merupakan
bagian dari akta yang mengandung unsur otentik, dimana apa isi yang termuat
dalam bagian kepala akta dan bagian akhir akta tersebut menunjukan dan
menentukan apakah akta tersebut telah sesuai dibentuk sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang.
c). Akta harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang Pejabat
umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta tersebut.
Didalam HIR akta otentik diatur dalam Pasal 165 yang menyatakan bahwa
“akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapana pejabat
yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para
pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya
tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang tercantum
didalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini
hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok
dari pada akta.”
23
Sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan HIR, menurut
Sudikno akta otentik adalah “akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik
dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepntingan.”21 Akta otentik
terutama memuat keterangan seorang Pejabat yang menerangkan apa yang
dilakukan dan dilihatnya dihadapannya.
Pejabat yang dimaksud dalam peraturan di atas antara lain adalah Notaris,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Panitera, Jurusita, Pegawai Pencatatan
Sipil, Hakim dan sebagainya. Maka dapat dilihat juga dalam Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut juga
dengan UU JN) menyatakan bahwa “akta notaris yang selanjutnya disebut akta
adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Sejalan dengan Pasal
tersebut, menurut Kamus Hukum, Akta Otentik adalah “Akta yang dibuat oleh
atau dihadapan pegawai umum yang berwenang membuat akta (Notaris, PPAT,
Camat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Akta ini memiliki
kekuatan pembuktian paling kuat dibandingkan alat bukti lainya dihadapan
pengadilan.”22
Akta Notaris atau yang biasa disebut akta notariil dalam Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomot 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dimaknai sebagai
21 Sudikno Mertokusumo, 1988,Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Bandung, h.119. 22 Fienso Suharsono,2010,Kamus Hukum,Vandetta,Jonggol,h.5.
24
akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dengan menurut bentuk dan
tata cara sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Maka dapat
disimpulkan dari uraian di atas bahwa akta otentik dapat dibagi lebih lanjut
sebagai berikut :
1. Akta Yang Dibuat Oleh Pejabat
Merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu
dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa
yang dilakukan.23 Artinya inisiatif bukan berasal dari pihak yang
diterangkan dalam akta itu. Sebagai contoh berita acara yang dibuat oleh
polisi.
2. Akta Yang dibuat Oleh Para Pihak
Adalah akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk itu dan juga dengan mana pejabat menerangkan juga
apa yang dilihat serta dilakukan pada akta tersebut. Artinya akta yang
dibuat berdasarkan kepentingan para pihak, sebagai contoh akta notariil
tentang jual beli, pemberian hak tanggungan, dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa “yang dianggap sebagai tulisan dibawah tangan adalah
akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah
tangga, dan tulisan - tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang Pejabatumum”.
Sedangkan pengertian lain dari akta dibawah tangan adalah akta yangdibuat dan
23 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.121
25
dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan
dihadapan Notaris atau Pejabat resmi lainnya.
2.3 Alat Bukti Dan Barang Bukti
Alat bukti merupakan sesuatu yang sangat penting dalam bidang hukum.
Keberadaan alat bukti dalam persidangan maupun diluar persidangan digunakan
sebagai pembuktian. Dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang
sah dan ia memiliki keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dijelaskan lebih lajut dalam
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang
di maksud adalah :
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa;
Diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
1. Keterangan saksi
Yang dimaksud saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang
suatuperkara pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami
26
sendiri.24Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP),
mendefinisikan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
perkara pidana dimana ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri.
Dan memiliki pengecualian secara khusus untuk mereka yang tidak dapat
bersaksi yang diatur dalam ketentuan pasal 168, 170 dan 171 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) saksi adalah orang yang melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian).25
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang disebutkan di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pertama. Pada
umumnya tidak ada proses pembuktian perkara pidana yang tidak
menggunakan keterangan saksi. Menurut M. Yahya Harahap mengatakan
bahwa hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada
pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping
pembuktian dengan alat buktiyang lain, masih diperlukan pembuktian
dengan alat bukti keterangan saksi.26
Maka yang dimaksud keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Tidak berlaku
24 Pasal 1 angka 26 KUHAP 25http://kbbi.web.id/saksi diakses pada tanggal 10 April 2017 pada pukul 22:55 26Subekti, 2000, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, h.17
27
sebagai keterangan saksi apabila keterangan itu diperoleh dari orang lain
(testimonium de auditu).
Untuk dapat menilai kebenaran keterangan yang diberikan oleh saksi,
hakim27 harus sungguh-sungguh memperhatikan
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.28
2. Keterangan Ahli
Mengenai tentang alat bukti keterangan ahli pengaturannya diatur ke
dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Yang dimaksud dengan Keterangan ahli dalam Pasal 1 angka
28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)ini adalah
keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mana orang tersebut
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dijelaskan
lebih lanjut dalam Pasal 186 adalah apa yang seorang ahli nyatakan
disidang pengadilan. Pasal 120 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa keterangan ahli adalah orang
yang memiliki keahlian khusus yang akan memberikan keterangan sesuai
dengan apa pengetahuannnya dengan sebenar-benarnya. Pasal 133 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan
27 Pasal 1 angka 8 KUHAP menyatakan bahwa hakim adalahpejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. 28 Pasal 185 angka 6 KUHAP
28
bahwa keterangan ahli adalah kedokteran, kehakiman, atau dokter dan atau
ahli lainnya, hal tersebut apabila menyangkut untuk kepentingan peradilan
seorang korban luka, keracunan, atau mati yang merupakan akibat dari
peristiwa yang diduga tindak pidana. Sedangakan pada pasal 179 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan penegasan
atas saksi ahli yang disebutkan dan dijelaskan pada pasal 1 angka 28, pasal
120 dan pasal 179 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
3. Surat
Yang dimaksud dengan surat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bnetuk resmi yang dibuat oleh
Pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atauyang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh Pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
Apabila ketentuan Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) tersebut di atas dikaitkan dengan ketentuanpadaPasal
1868 Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang menerangkan bahwa
29
“akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai/pejabat umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya.” Dari kedua pasal
tersebutdapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat adalah
tergolong akta otentik.
4. Petunjuk
Yang dimaksud dengan alatbuktipetunjuk menurut ketentuanPasal 188
ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk dimaksud hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan Saksi;
b. Surat;
c. Keterangan Terdakwa.
Dari pasal 188 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), maka dapat disimpulkan bahwa petunjuk adalah merupakan
alat bukti yang berkaitan dan penyesuaian yang tidak langsung, karena
seorang Hakim apabila dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian,
harus menghubungkan antara suatu alat bukti dengan alat bukti yang
lainnya dan jga memilih yang ada persesuaiannya antara satu dengan satu
yang sama lainnya.
5. Keterangan terdakwa
30
Sebelum menjelaskan terkait dengan keterangan Terdakwa, perlu terlebih
dahulu mengerti perbedaan arti kata Terdakwa dengan Tersangka. Dalam
Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyatakan bahwa Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya
atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana. Sedangkan pengertian Terdakwa adalah seorang Tersangka
yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang pengadilan.
Keterangan Terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang
perbuatan yang ia lakukan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.29
Keterangan tersebut hanya untuk dirinya sendiri dan tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti.30
Telah dikemukakan arti alat bukti dalam hal pidana yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Alat bukti yang di
maksud dengan KUHAP masih ada tambahan berupa alat bukti Elektronik yang
diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi dan
Elektronik.
Berbeda halnya dengan alat bukti, barang bukti tidak diatur secara tegas
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun tersirat
dalam Pasal 1 angka 16 yang menyatakan bahwa “penyitaan adalah serangkaian
tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
29Pasal 189 ayat 1 KUHAP 30 Pasal 189 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP
31
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,berwujud atau tidak berwujud
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Berikut pengertian barang bukti menurut para ahli :
1. Barang Bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk
meyakinkan hakim akan kesalahan Terdakwa terhadap perkara pidana
yang dituntutkan kepadanya.31
2. Barang Bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan
dan penggeledahan dan atau pemeriksaaan surat untuk mengambil alih
dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak ata tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan.32
3. MenurutKamusBesarBahasa Indonesia (KBBI), Barang Bukti adalah
benda yang digunakan untuk menyakinkan hakim akan kesalahan
Terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepadanya; barang
yang dapat dijadikan sebagai bukti dala suatu perkara.
Maka dari ketentuan Pasal 1 angka 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) beserta dengan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa
tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap suatu barang/benda
adalah dimaksud untuk kepentingan pembuktian. Dalam arti meskipun secara
formal yuridis bukan merupakan barang bukti yang sah (menurut Pasal 184
KUHAP). “Akan tetapi dalam praktik penegak hukum/peradilan barang bukti
tersebut ternyata dapat dikembangkan dan dapat memberikan keterangan yang
31 Sudarsono,2007,Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.47. 32 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pebuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk
Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung, h. 99-100.
32
berfungsi/bernilai sebagai alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi,
keterangan ahli (visum at repertum) dan keterangan Terdakwa.33
Dalam Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyebutkan, yang dapat dikenakan penyitaan adalah
1. “Benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruh atau
sebagaian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebgaia hasil dan tindak
pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan sevara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau mempersiapkannya;
3. Benda yang dipergunakan untuk menghalanng-halangi penyidikan tindak
pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.”
2.4 Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Istilah Notaris berasal dari kata “Notarius” dari bahasa Latin, yaitu nama
yang diberikan oleh orang-orang bangsa Romawi yang tugasnya menjalankan
pekerjaan menulis. Pendapat lain mengatakan “Notaries” berasal dari kata “nota
literia”, yang berarti tanda (letter mark atau karakter) yang menyatakan sesuatu
perkataan.34 Menurut KBBI adalah orang yang mendapat kuasa dari pemerintah
(dalam hal ini departemen kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan
berbagai surat perjanjian,surat wasiat, akta dan sebagainya.35
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN) Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya
33 HMA Kuffal, 2011, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Edisi Revisi, UMM Press,
Malang, h.113. 34 Notodisoerjo, Soegondo, R, 1928, Hukum Notarial di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Jakarta, h. 13. 35http://kbbi.web.id/notaris diakses pada tanggal 07 April 2017 pada pukul 22:45
33
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-
Undang lainnya.” Tugas Notaris selain membuat akta-akta otentik juga ditugaskan
untuk mendaftarkan dan mengesahkan (waarmerken dan legaliseren) surat-surat
atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Seain itu, Notaris juga memberikan
nasehat hukum dan penjelasan mengenai Undang-Undang kepada Para Pihak yang
bersangkutan.36
Menurut R. Soegondo Notodisoerjo, Notaris adalah Pejabat umum Openbare
anbtenaren, karena erat hubungannya dengan wewenang atau tugas dan
kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.37 Pasal 1 Peraturan
Jabatan Notaris stb. Nomor 3 merumuskan pengertian Notaris sebagai berikut :
“De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd om authentieke
aktan op te maken wegens ae handelingen, overeenkomsten en beschikkingen,
waarvan eene algemeene verordening gebedt of de belanghebbenden verlangen,
dat bij authentiiek geschrift blijken zal, daarwan de dagtekening te verzekeren, de
aktan in bewaring te houden en daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te
geven; alles voorzover het opmaken dier aktan door ene algemene verordening
niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is”.
(Notaris adalah Pejabat umum yang satu-satunya berwenang membuat akta
otentik mengenai semya perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki atau
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
36 GHS. Lumban Tobing, loc. cit. h. 37. 37 R. Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit, h. 42.
34
pembuat akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain).38
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, pengertian dari Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberikan kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Menurut A.P Parlindungan,
pengertian dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat umum yang
diangkat oleh Pemerintah dan mempunyai kekuasaan umum artinya akta-akta
yang diterbitkan merupakan akta otentik.39
Pendapat yang lain mendefinisikan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
adalah Pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan.40 Pengertian dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dipertegas
lagi pengertiannya di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas atanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang
menggantikan Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yaitu, Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai Pejabat Umum yng berwenang membuat
akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan kata-akta lain 38 G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, h.31 39A.P Parlindungan,1989,Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bandung, h. 131. 40 Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, h.3.
35
yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional(BPN) dalam melaksanakan
pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar atas
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tersebut.