23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Pasolong (2007), efektivitas pada dasarnya berasal dari kata “efek” dan digunakan istilah ini sebagai hubungan sebab akibat. Efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektivitas berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai karena adanya proses kegiatan. Menurut Kurniawan (2008), efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya. Sementara Effendy (2003) menyebutkan bahwa efektivitas adalah komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan. Berdasarkan pendapat di atas efektivitas adalah suatu komunikasi yang melalui proses tertentu, secara terukur yaitu tercapainya sasaran atau tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah orang yang telah ditentukan. Apabila ketentuan tersebut berjalan 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 …. BAB II.pdf · dari sudut produktivitas, ... kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat ... bukan lagi

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil

atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer

mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau

menunjang tujuan. Menurut Pasolong (2007), efektivitas pada dasarnya berasal

dari kata “efek” dan digunakan istilah ini sebagai hubungan sebab akibat.

Efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektivitas

berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau

dengan kata sasaran tercapai karena adanya proses kegiatan.

Menurut Kurniawan (2008), efektivitas adalah kemampuan melaksanakan

tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau

sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.

Sementara Effendy (2003) menyebutkan bahwa efektivitas adalah komunikasi

yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang

dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan.

Berdasarkan pendapat di atas efektivitas adalah suatu komunikasi yang

melalui proses tertentu, secara terukur yaitu tercapainya sasaran atau tujuan yang

ditentukan sebelumnya. Dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan

dan jumlah orang yang telah ditentukan. Apabila ketentuan tersebut berjalan

9

10

dengan lancar, maka tujuan yang direncanakan akan tercapai sesuai dengan yang

diinginkan.

2.1.2 Ukuran dan Pendekatan Efektivitas

Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat

sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan

tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang

dari sudut produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan

pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan

jasa. Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana

yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika

usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga

menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu

dikatakan tidak efektif.

Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau

tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Siagian (1978), yaitu : (1) Kejelasan akan

tujuan yang hendak dicapai, agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai tujuan

organisasi dan sasaran yang terarah; (2) Kejelasan strategi untuk mencapai

tujuan, dalam melakukan berbagai upaya untuk mencapai sasaran yang ditentukan

agar tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi; (3) Proses analisis dan

perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai

dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus mampu menjembatani

tujuan-tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional; (4)

Perencanaan yang matang, penyusunan program yang tepat suatu rencana yang

11

baik masih perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat

sebab apabila tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan

bekerja; (5) Tersedianya sarana dan prasarana kerja, Indikator efektivitas

organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif; (6) Pelaksanaan yang

efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu program apabila tidak

dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut tidak akan

mencapai sasarannya; dan (7) Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat

mendidik mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas

organisasi menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.

Menurut Lubis dan Huseini (1987), menyebutkan 3 (tiga) pendekatan

utama dalam pengukuran efektivitas organisasi, yaitu : (1) Pendekatan sumber

(resource approach) yakni mengukur efektivitas dari input, pendekatan

mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya,

baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi; (2)

Pendekatan proses (process approach) adalah untuk melihat sejauh mana

efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau

mekanisme organisasi; dan (3) Pendekatan sasaran (goals approach) dimana pusat

perhatian pada output mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil

(output) yang sesuai dengan rencana.

2.2 Corporate Social Responsibility

2.2.1 Pengertian Corporate Social Responsibility

Wibisono (2007) mengartikan bahwa “CSR merupakan suatu komitmen

berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi

12

kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat

luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh

keluarganya”. Darwin (2004) dalam Rimba (2010) mengartikan bahwa

“Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau CSR adalah mekanisme bagi suatu

organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan

dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang

melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum”.

Chambers dalam Rahman (2009) mengartikan bahwa “CSR merupakan

melakukan tindakan sosial (termasuk keperdulian terhadap lingkungan hidup,

lebih dari batas-batas yang dituntut peraturan Undang-Undang)”. Sedangkan

Trinidad & Tobacco Bureau of Standars dalam Rahman (2009) menyatakan

bahwa “CSR merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi

secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan

peningkatan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan

masyarakat yang lebih luas.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan

komitmen dari pelaku usaha untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraan

karyawannya dan bertindak adil terhadap berbagai pihak yang terkait dengan

aktivitasnya, serta dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari hasil usahanya untuk

membiayai dan secara langsung atau tidak langsung melakukan program-program

yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

13

2.2.2 Komponen Utama Corporate Social Responsibility

Menurut Wibisono (2007), CSR terdiri dari beberapa komponen utama

yaitu perlindungan lingkungan, perlindungan dan jaminan karyawan, interaksi dan

keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, kepemimpinan dan pemegang saham,

penanganan produk dan pelanggan, pemasok (supplier), serta komunikasi dan

laporan.

a) Perlindungan lingkungan

Perlindungan lingkungan dilakukan perusahaan sebagai wujud kontrol

sosial yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan. Lingkungan tempat usaha

harus dijaga keadaannya jangan sampai terjadi kerusakan. Sehingga, eksistensi

perusahaan juga dapat terjamin. Contohnya: pengelolaan limbah yang dihasilkan

sebagai residu dari proses produksi harus terlebih dahulu di netralisir sebelum

akhirnya dibuang.

b) Perlindungan dan jaminan karyawan

Tanpa karyawan perusahaan sudah dapat dipastikan tidak mampu

menjalankan kegiatannya. Kesejahteraan karyawan merupakan hal mutlak yang

menjadi tolak ukur bagi perusahaan dalam menghargai karyawannya. Pada saat

karyawan merasa bahwa dirinya bersinergi dengan perusahaan hal ini akan

berdampak positif bagi perusahaan. Perusahaan memberikan imbalan yang sesuai

maka karyawan akan memberikan kontribusi yang positif, dan bekerja keras demi

perusahaan yang telah berjasa baginya. Contohnya: pelatihan.

14

c) Interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat

Peran masyarakat dalam menentukan kebijakan perusahaan penting.

Sehingga perusahaan dengan masyarakat sekitarnya harus menjaga harmonisasi

agar bersinergi. Pada saat masyarakat lokal memboikot keberadaan perusahaan ini

merupakan masalah yang serius bagi keberlanjutan usaha. Contoh kegiatan yang

dapat mengakomodasi faktor ini adalah memperkerjakan native atau penduduk

lokal.

d) Kepemimpinan dan pemegang saham

Pemegang saham merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan

terhadap pencapaian keuntungan yang diperoleh perusahaan. Hal ini disebabkan

mereka telah berinvestasi dan mengharapkan hasil investasi yang paling maksimal

dari saham yang mereka miliki. Contohnya: semua informasi tentang program

yang dilakukan perusahaan dapat melibatkan pemegang saham dalam hal-hal yang

bersifat non finansial.

e) Penanganan pelanggan dan produk

Pelanggan adalah raja merupakan pepatah yang benar adanya. Pada saat

pelanggan merasa puas dengan produk yang dihasilkan maka mereka akan repeat

order. Hal ini yang membuat bisnis dapat terus bergulir dan keuntungan dapat

dinikmati. Pada saat hal-hal yang mendetail mengenai pelanggan diabaikan

mereka akan melakukan brandswitching. Hal ini yang akan membuat perusahaan

mengalami kerugian. Contoh : menanggapi keluhan pelanggan dengan

menyediakan customer service yang mudah diakses.

15

f) Pemasok (supplier)

Pemasok merupakan pihak yang menguasai jaringan distribusi. Hubungan

yang baik dengan pemasok menguntungkan perusahaan. Karena pemasok telah

mengetahui keinginan perusahaan dan memenuhinya. Contohnya : komunikasi

dengan pemasok.

g) Komunikasi dan laporan

Keterbukaan terhadap komunikasi dan pelaporan yang tercermin melalui

sistem informasi akan membantu dalam pengambilan keputusan. Diperlukan

keterbukaan informasi material dan relevan bagi stakeholder. Contohnya :

mencantumkan pengungkapan kontribusi sosial ke dalam laporan tahunan.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Corporate Social Responsibility

Menurut Chatrine (2008), pada umumnya implementasi CSR di

perusahaan dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

a) Komitmen Pemimpin Perusahaan

Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah sosial tidak

akan memperdulikan aktivitas sosial. Perusahaan secara keseluruhan sebaiknya

meyakini bahwa CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan

usaha. Dengan kata lain, CSR bukan lagi dilihat dari sentra biaya (cost center)

melainkan sentra laba (profit center) di masa mendatang. Dengan demikian, CSR

bukan lagi sekedar aktivitas sampingan atau suatu hal yang dapat dikorbankan

demi mencapai efisiensi. Namun CSR telah menjadi bagian penting dalam

perusahaan, dimana CSR jika disikapi secara strategis dapat digunakan untuk

16

memperbaiki konteks kompetitif perusahaan yang berupa kualitas lingkungan

bisnis tempat perusahaan beroperasi.

b) Ukuran dan Kematangan Perusahaan

Perusahaan besar dan mapan memiliki peran yang lebih besar untuk

memberikan kontribusi daripada perusahaan kecil dan belum mapan. CSR adalah

wujud kesadaran perusahaan yang merupakan bagian dari masyarakat, dimana

sebaiknya antara perusahaan dan masyarakat memiliki hubungan yang bersifat

simbiosis mutualisme sehingga tercipta harmonisasi hubungan bahkan

meningkatkan citra dan performa perusahaan.

c) Regulasi dan Sistem Perpajakan

Regulasi dan penataan sistem pajak yang kacau akan memperkecil

ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada

masyarakat. Peran aktif pemerintah sangat diperlukan sehingga perusahaan dapat

menjadi penolong dalam mengatasi masalah sosial yang ada di negara ini. Bisa

dipastikan pemerintah tidak akan sanggup mengatasi berbagai permasalahan

sosial secara sepihak. Untuk itu, sekecil apapun kedermawanan yang diberikan

oleh perusahaan akan sangat besar artinya bagi pemerintah maupun masyarakat.

Jika sistem regulasi kondusif dan insentif pajak semakin besar diberikan akan

lebih berpotensi dalam memberikan semangat pada perusahaan untuk

berkontribusi pada masyarakat.

2.2.4 Ukuran Efektivitas Program Corporate Social Responsibility

Menurut Wibisono (2007), untuk melihat sejauh mana efektivitas program

CSR, diperlukan parameter atau indikator untuk mengukurnya. Setidaknya, ada

17

dua indikator keberhasilan yang dapat digunakan, yaitu : 1) Indikator internal; dan

2) Indikator eksternal.

1) Indikator internal, terdiri dari :

a. Ukuran Primer, antara lain : (1) Minimize, yaitu meminimalkan

perselisihan, konflik, atau potensi konflik antara perusahaan dan

masyarakat dengan harapan terwujudnya hubungan yang harmonis dan

kondusif; (2) Asset, yaitu aset perusahaan yang terdiri dari pemilik,

pemimpin perusahaan, karyawan, pabrik, dan fasilitas pendukungnya agar

terjaga dan terpelihara dengan aman; dan (3) Operational, yaitu seluruh

kegiatan perusahaan dapat berjalan aman dan lancar.

b. Ukuran Sekunder, antara lain : (1) Tingkat penyaluran dan kolektibilitas

(umumnya untuk PKBL, BUMN); dan (2) Tingkat complience pada aturan

yang berlaku.

2) Indikator eksternal, terdiri dari :

a. Indikator Ekonomi, antara lain: (1) Tingkat pertambahan kualitas sarana

dan prasarana umum; (2) Tingkat peningkatan kemandirian masyarakat

secara ekonomis; dan (3) Tingkat peningkatan kualitas hidup bagi

masyarakat secara berkelanjutan.

b. Indikator Sosial, antara lain: (1) Frekuensi terjadinya gejolak atau konflik

sosial; (2) Tingkat kualitas hubungan sosial antara perusahaan dengan

masyarakat; dan (3) Tingkat kepuasan masyarakat.

18

2.2.5 Alternatif Program Corporate Social Responsibility Bidang

Lingkungan

Kementerian Lingkungan Hidup RI (2011), mewujudkan harmonisasi

antara perusahaan dan lingkungan sebagai komitmen dari dunia usaha untuk lebih

peduli terhadap lingkungan. Adapun CSR bidang lingkungan yang dikembangkan

terdiri dari tujuh alternatif, antara lain: 1) Produksi Bersih; 2) Kantor Ramah

Lingkungan (Eco Office); 3) Pengelolaan Sampah dengan Prinsip 3R (Reduce,

Reuse, Recycle); 4) Konservasi Sumberdaya Alam dan Energi; 5) Energi

Terbarukan (Renewable Energy); 6) Adaptasi Perubahan Iklim; dan 7) Pendidikan

Lingkungan Hidup (PLH).

1) Produksi Bersih

Produksi bersih merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang

bersifat preventif atau pencegahan dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus

menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi

risiko terhadap manusia dan lingkungan. Hal tersebut, memiliki tujuan untuk

meningkatkan produktivitas dengan memberikan tingkat efisiensi yang lebih baik

pada penggunaan bahan mentah, energi dan air, mendorong performansi

lingkungan yang lebih baik, melalui pengurangan sumber-sumber pembangkit

limbah dan emisi serta mereduksi dampak produk terhadap lingkungan. Produksi

bersih berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah, yang merupakan

salah satu indikator inefisiensi. Dengan demikian, usaha pencegahan tersebut

harus dilakukan sejak awal proses produksi dengan mengurangi terbentuknya

limbah serta pemanfaatan limbah yang terbentuk melalui daur ulang. Keberhasilan

19

upaya ini akan menghasilkan penghematan yang besar karena penurunan biaya

produksi yang signifikan sehingga pendekatan ini dapat menjadi sumber

pendapatan.

Fokus kegiatan produksi bersih adalah efisiensi penggunaan sumber daya,

seperti : (1) Penghematan dan peningkatan produktivitas; (2) Penurunan jumlah

sampah, limbah dan emisi; dan (3) Penurunan eksploitasi penggunaan

pelaksanaan produksi bersih.

Upaya produksi bersih secara garis besar terdiri dari : (1) Efisiensi

penggunaan bahan baku dan bahan pembantu; (2) Efisiensi air; (3) Efisiensi

energi; dan (4) Upaya pengelolaan limbah di dalam perusahaan.

Penerapan produksi bersih harus di tekankan pada sustainability

(keberlanjutan) sehingga tidak hanya bersifat sporadis dan sementara. Untuk itu

proses penerapan produksi bersih harus meliputi : (a) Komitmen manajemen

puncak; (b) Tersedianya sumber daya manusia; (c) Perencanaan; (d) Pelaksanaan

dan pelaporan; (d) Standarisasi atau pembakuan; dan (e) Tersedianya pelaporan

dan pemantauan secara berkala.

2) Kantor Ramah Lingkungan (Eco Office)

Dengan mengadopsi konsep Kantor Ramah Lingkungan dapat tercapai

efisiensi biaya, peningkatan produktivitas kerja dan tercipta lingkungan kantor

yang bersih, sehat, aman dan nyaman. Kantor Ramah Lingkungan memiliki tiga

ruang lingkup, yaitu: Perlengkapan dan Peralatan Kantor, Energi dan Air,

Pengolahan Sampah.

20

Beberapa kegiatan Kantor Ramah Lingkungan yang dapat dilaksanakan

oleh perusahaan dalam kegiatan CSR adalah sebagai berikut : (a)

Mengimplementasikan desain gedung green building dengan menggunakan

passive solar energy dalam lingkungan kerja; (b) Melakukan penghematan kertas;

(c) Menggunakan alat elektronik yang hemat listrik dan air; (d) Memasang dan

menggunakan toilet dengan aliran kecil; (e) Mendukung penggunaan teknologi

yang paling tepat dalam melakukan pengelolaan lingkungan; (f) Meningkatkan

estetika lingkungan (landscape); (g) Mendukung program ekolabel, pengadaan

barang dan jasa berbasis lingkungan (green procurement); (h) Menanam tanaman

yang tidak memerlukan penyiraman terlalu sering; dan (i) Memilah sampah dan

mendaur ulang kertas bekas pakai.

3) Pengelolaan Sampah dengan Prinsip 3R (Reduce, Reuse and Recycle)

Keberadaan sampah dalam jumlah yang banyak jika tidak dikelola secara

baik dan benar akan menimbulkan gangguan dan dampak terhadap lingkungan.

Salah satu solusi pengelolaan sampah, sebagaimana termaktub dalam UU No.

18/2008 tentang pengelolaan Sampah adalah penerapan sistem 3R atau reuse,

reduce and recycle (3R). Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih

dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya. Reduce berarti

mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah. Recycle berarti

mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang

bermanfaat.

Beberapa kegiatan pengelolaan sampah melalui 3R yang dapat

dilaksanakan adalah sebagai berikut : (a) Melakukan identifikasi jenis sampah

21

yang ada di sekitar usaha perusahaan yang mencakup dari sumber sampah, sifat

sampah dan bentuk sampah; (b) Melakukan identifikasi sampah yang dihasilkan;

(c) Menyusun program pengelolaan sampah yang mengadopsi jenis sampah;

eksternalitas perusahaan, prinsip 3R dan konsep tanggung jawab sosial dan

lingkungan; (d) Mengembangkan program pemberdayaan masyarakat melalui

peningkatan nilai ekonomis sampah; (e) Melaksanakan management community

based waste, seperti pemilihan sampah bersama masyarakat dan pembuatan

kompos bersama atau oleh masyarakat; dan (f) Melakukan pengembangan produk

masyarakat menggunakan konsep 3R.

4) Konservasi Sumberdaya Alam dan Energi

Konservasi SDA dan Energi adalah suatu usaha dan kegiatan mengurangi

penggunaan SDA dan energi atau terpeliharanya keanekaragaman hayati baik

yang dilakukan oleh kegiatan yang memproduksi barang maupun jasa. Konservasi

SDA dan energi dapat mengurangi proses eksplorasi dan eksploitasi SDA berupa

bahan bakar, bahan tambang mineral dan bahan kimia B3 (Bahan Berbahaya dan

Beracun) yang saat ini jumlahnya semakin terbatas. Selain itu konservasi SDA

dan energi juga dapat meningkatkan keanekaragaman hayati yang dapat memberi

pengaruh positif terhadap ekosistem sehingga dapat mencegah bencana alam.

Beberapa kegiatan SDA dan energi yang dapat dilaksanakan oleh

perusahaan dalam rangka CSR, yakni : (a) Melakukan kegiatan/upaya

penghematan dalam menggunakan energi dan bahan bakar sehingga dapat

mengurangi timbulnya Gas Rumah Kaca (GRK); (b) Melakukan kegiatan/upaya

penghematan dalam menggunakan air; (c) Melakukan kegiatan/upaya

22

pengurangan (efisiensi) bahan baku (SDA); (d) Melakukan kegiatan/upaya

mengganti bahan baku yang tidak ramah lingkungan menjadi bahan ramah

lingkungan; (e) Melakukan kegiatan/upaya dan aktivitas yang terkait dengan

keanekaragaman hayati; (f) Melakukan pendampingan masyarakat sebagai upaya

menjaga zona perlindungan hutan; (g) Melakukan pemberdayaan masyarakat desa

hutan berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan dan lingkungan; (h) Membuat

taman keanekaragaman hayati; (i) Melakukan perlindungan satwa dan puspa

bersama masyarakat, pelestarian penyu dan rehabilitasi dan konservasi terumbu

karang; (j) Melakukan pembuatan sumur resapan dan penampungan air hujan; dan

(k) Melakukan pelatihan pembibitan tanaman bersama masyarakat.

5) Energi Terbarukan (Renewable Energy)

Kegiatan Energi Terbarukan yang dapat dilaksanakan oleh perusahaan,

antara lain : (a) Menggunakan sumber energi terbarukan dalam proses produksi;

(b) Membangun dan menyediakan sarana/infrastruktur energi terbarukan bagi

masyarakat; (c) Melakukan penelitian-penelitian yang terkait dengan

pengembangan Energi Terbaru; (d) Melakukan konversi limbah biologi menjadi

sumber energi terbarukan; (e) Memelihara ketersediaan energi dan meningkatkan

kualitas dan keanekaragamannya; dan (f) Melakukan upaya pengembangan energi

alternatif bersama masyarakat.

Kegiatan CSR yang dilakukan dengan konsep Energi Terbarukan

merupakan suatu bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap alam dan

lingkungan hidup, karena kegiatan ini mengurangi proses eksplorasi dan

eksploitasi sumber energi fossil yang saat ini jumlahnya semakin terbatas. Energi

23

Terbarukan juga dapat mengurangi dan mencegah meningkatnya emisi penyebab

gas rumah kaca yang dapat mempengaruhi perubahan iklim global. Kegiatan CSR

bidang lingkungan dengan konsep energi terbarukan dimulai dari identifikasi

peluang pengembangan atau penelitian energi tersebut. Sebagai contoh suatu

perusahaan yang berada di daerah yang jauh dari penduduk. Perusahaan tersebut

memiliki konsumen yang tinggal disuatu daerah dekat dengan laut (nelayan)

dengan kondisi kekurangan energi atau belum mendapat jaringan listrik. Akan

tetapi daerah tersebut memiliki kecepatan angin cukup besar yang potensial untuk

dikembangkan sebagai tenaga listrik. Dengan demikian maka perusahaan dapat

mengembangkan energi angin di daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat akan listrik. Penggunaan energi angin juga tidak menimbulkan emisi

CO2 dan dalam jangka panjang dapat mengurangi kegiatan penambangan, karena

tidak menggunakan bahan tambang dalam operasionalnya.

6) Adaptasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan isu yang sangat erat dengan lingkungan.

Perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global, dimana dampak negatif yang

ditimbulkannya antara lain; terjadinya anomali cuaca yang berdampak pada

kekeringan, curah hujan yang sangat tinggi, perubahan musim tanam dan angin

ribut serta terjadinya kenaikan muka air laut yang berdampak pada instrusi air

laut, rob, dan banjir atau genangan air laut sehingga meningkatkan angka kejadian

penyakit menular melalui vektor nyamuk. Salah satu upaya untuk mengatasi

dampak negatif perubahan iklim adalah melalui kegiatan adaptasi perubahan iklim

yaitu upaya menyesuaikan berbagai kegiatan terhadap terjadinya perubahan iklim.

24

Upaya ini bertujuan untuk meminimalisasi dampak yang telah terjadi,

mengantisipasi resiko, sekaligus mengurangi biaya yang harus dikeluarkan akibat

perubahan iklim.

Fokus kegiatan dalam adaptasi perubahan iklim antara lain : (a)

Meningkatkan adaptive capacity dari stakeholder yang terpapar dampak

perubahan iklim; (b) Perusahaan dapat melakukan penilaian kerentanan

(vulnerability assesment) melalui bantuan biaya studi dan riset kepada masyarakat

atau pemda setempat dalam melakukan penilaian kerentanan terhadap perubahan

iklim; (c) Perusahaan dapat melakukan upaya penyuluhan dan pelatihan kepada

masyarakat terkait dengan upaya adaptasi perubahan iklim; (d) Mengurangi

severity (keseriusan) dan probability (peluang) dampak yang terjadi; (e)

Perusahaan dapat membantu pemerintah daerah dalam pembuatan tanggul

pencegah masuknya air laut kedaratan, atau dengan penanaman pohon mangrove

disepanjang pesisir pantai sebagai tanggul alami; (f) Perusahaan dapat membantu

pemerintah dan masyarakat dalam pengadaan dan pembinaan penanganan banjir

dan rob; (g) Perusahaan dapat melakukan riset tentang tata kota yang dapat

menjadi masukan bagi pemerintah dalam beradaptasi terhadap kenaikan

permukaan air laut; dan (h) Perusahaan dapat membantu masyarakat dan

Pemerintah Daerah untuk membuat bak/kolam untuk menampung hujan dan

membuat sumur resapan.

7) Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

Pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap

yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk

25

peningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran masyarakat tentang nilai-

nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat

menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan

keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan

datang. Dengan demikian, Pendidikan Lingkungan Hidup merupakan kunci dari

segala upaya membangun kesadaran dan kepedulian tentang arti penting dari

pelestarian lingkungan hidup. Sedangkan tujuan Pendidikan Lingkungan Hidup

antara lain mendorong dan memberikan kesempatan kepada masyarakat

memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang pada akhirnya dapat

menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta

memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana, turut menciptakan pola

perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika

lingkungan hidup dan untuk memperbaiki kualitas hidup. Sebagaimana tujuan

tersebut, maka kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup disusun untuk

menciptakan iklim yang mendorong semua pihak agar berperan dalam

pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk pelastarian lingkungan

hidup. Memperhatikan konsep dan tujuan Pendidikan Lingkungan Hidup maka

membangun kesadaran merupakan tahapan penting dari sebuah proses partisipasi

masyarakat untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan pelestarian lingkungan

hidup. Lebih dari sekedar diseminasi pengetahuan dan keterampilan, Pendidikan

Lingkungan Hidup juga berfungsi sebagai media penting untuk menanamkan

nilai-nilai dan norma-norma baru dalam hal interaksi antara manusia dan

lingkungan. Oleh karenanya proses pendidikan yang menekankan metode dialogis

26

akan lebih mampu mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan berkelanjutan

serta menghindarkan konflik yang bersifat destruktif. Keberhasilan pendidikan

lingkungan hidup ini secara obyektif dapat dinilai berdasarkan indikator besarnya

tingkat perubahan perilaku sasaran terkait di ketiga ranah, yaitu : kesadaran

(kognitif), sikap (afektif) dan tindakan (psikomotorik/aksi). Perubahan yang

dimaksud sepatutnya dapat berkontribusi pada tingkat katerlibatan individu/

kelompok/komunitas sasaran yang bersangkutan dalam proses kegiatan yang

bertujuan untuk memperbaiki ataupun memelihara kualitas lingkungan hidup.

Perubahan yang dimaksud sepatutnya dapat berkontribusi pada tingkat

keterlibatan individu/kelompok/komunitas sasaran dalam proses kegiatan yang

bertujuan untuk memperbaiki ataupun memelihara kualitas lingkungan hidup.

Kegiatan pendidikan tidak dapat dilakukan secara singkat, tetapi harus

berkelanjutan dan holistik. Selain itu perspektif jangka panjang dari para penggiat

kegiatan CSR perlu lebih diutamakan daripada kepentingan jangka pendek.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dijalankan ataupun dikembangkan antara

lain : (a) Menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup

bagi keluarga pejabat/staf/karyawan dari perusahaan; (b) Mendukung kegiatan

green-school, green-campus ataupun green-office; (c) Menyelenggarakan kegiatan

pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup di pesantren-pesantren; (d)

Menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup

dikalangan organisasi/masyarakat; (e) Pengembangan kurikulum lingkungan

hidup dan fasilitas sarana pendidikan lingkungan hidup; dan (f) Mendukung

kegiatan-kegiatan lingkungan di berbagai media massa.

27

2.3 Hotel

2.3.1 Pengertian Hotel

Hotel memiliki batasan, pengertian, atau definisi yang cukup banyak.

Seperti pengertian menurut Surat Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan

Telekomunikasi No: KM 37/PW 340/MPPT-86, tanggal 7 Juni 1986, seperti yang

tercantum didalam buku Istilah-Istilah Dunia Pariwisata diberikan batasan

mengenai hotel sebagai berikut : “Hotel adalah sebagai suatu jenis akomodasi

yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa

penginapan, makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola

secara komersial”. Sedangkan pengertian yang dimuat oleh Grolier Electronic

Publishing Inc (1995) yang menyebutkan bahwa : Hotel adalah usaha komersial

yang menyediakan tempat menginap, makanan, dan pelayanan-pelayanan lain

untuk umum.

2.3.2 Klasifikasi Hotel

Penggolongan jenis hotel seperti yang dijelaskan United States Lodging

Industry dalam Sulastiono (2008) dibedakan menjadi tiga golongan, yakni : (1)

Residential Hotel, adalah hotel yang bangunannya menyerupai apartemen serta

tersedianya layanan yang diperlukan bagi pengunjung; (2) Transit Hotel, atau

biasa disebut commercial hotel, biasanya terletak di dalam kota atau pusat

perdagangan yang diperuntukkan bagi pengunjung yang melakukan perjalanan

bisnis; dan (3) Resort Hotel, biasanya dekat dengan lokasi pariwisata seperti

pantai dan pegunungan, yang banyak digunakan oleh mereka yang datang untuk

berlibur.

28

Menurut Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.

KM.3/HK.001/MKP.02 tentang penggolongan kelas hotel, di Indonesia menurut

jenisnya hotel dibedakan menjadi dua, yaitu : golongan kelas hotel berbintang dan

golongan hotel kelas melati. Berdasarkan peraturan tersebut, golongan kelas hotel

dibedakan menjadi lima, yakni hotel berbintang satu sampai dengan hotel

berbintang lima. Adapun golongan kelas ini dapat ditingkatkan atau diturunkan

sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

2.3.3 Penerapan Program Corporate Social Responsibility pada Hotel di

Kawasan Pariwisata Ubud

Perkembangan pariwisata menyebabkan kesejahteraan masyarakat secara

tidak langsung meningkat melalui kinerja perekonomian dan perubahan struktur

ekonomi yang dihasilkan. Terjadinya peningkatan pembangunan akomodasi

pariwisata seperti hotel, vila dan restoran seiring dengan adanya lonjakan jumlah

wisatawan lokal dan asing yang berkunjung ke Bali. Berdasarkan hasil laporan

dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2014), jumlah wisatawan mancanegara yang

berkunjung ke Bali sampai dengan bulan November 2014 berkisar 3.418.652 jiwa.

Hal ini dikarenakan bahwa Bali merupakan salah satu tujuan pariwisata favorit

bagi para wisatawan.

Berawal dari perkembangan hunian wisata di pantai Sanur, untuk

mengendalikan perkembangan yang amat pesat, Bali menetapkan 15 Kawasan

sebagai daerah akomodasi pariwisata. Salah satu kawasan pariwisata yang sering

dikunjungi adalah Gianyar. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 16

Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Gianyar, juga telah diatur Kawasan

29

Pariwisata Ubud seluas kurang lebih 7.712 ha yang terdiri dari wilayah

administrasi desa/kelurahan : Ubud, Kedewatan, Peliatan, Mas, Petulu,

Lodtunduh, Sayan, Singakerta di Kecamatan Ubud. Desa Melinggih, Melinggih

Kelod, Puhu, Kelusa, Sebagian Buahan dan sebagian Buahan Kaja di Kecamatan

Payangan. Desa Keliki, Kenderan dan Tegallalang di Kecamatan Tegallalang.

Dengan keindahan bentang alam yang sejuk, didominasi oleh persawahan,

sungai dan bukit-bukit yang indah, sehingga didatangi oleh banyak wisatawan dan

investor yang ingin menanam modal demi meraih keuntungan. Demi memenuhi

kebutuhan para wisatawan, menyebabkan banyaknya dilakukan pembangunan

akomodasi pariwisata, terutama hotel. Berikut rincian perkembangan

pembangunan hotel berbintang dan hotel melati, terlihat pada Tabel 2.1.

Berdasarkan data pada Tabel 2.1. terlihat perkembangan jumlah hotel dan

kamar di Kabupaten Gianyar terus meningkat. Peningkatan cukup besar terjadi

1. 2009 16 592 142 2168

2. 2010 16 613 145 2157

3. 2011 16 609 142 2188

4. 2012 14 564 147 2237

5. 2013 21 589 193 2793

Tabel 2.1.

Jumlah Kamar, Hotel Berbintang dan Hotel Melati di Kabupaten Gianyar, Tahun

2009-2013

Jumlah kamar dan hotel

berbintang (buah) Jumlah kamar dan hotel

melati (buah)

Hotel Kamar Hotel Kamar

Tahun No.

Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2013).

30

pada tahun 2013. Dengan begitu, semakin meningkatnya bangunan hotel, tentu

peningkatan alih fungsi lahan semakin meluas. Hal inilah yang perlu diperhatikan

agar jasa lingkungan yang digunakan dalam pembangunan, dapat dikembalikan

serta dijaga kelestariannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan

melaksanakan kegiatan CSR bidang lingkungan.

Pelaksanaan kegiatan CSR bidang lingkungan oleh perusahaan dapat

dimulai dengan mengkomunikasikan kegiatan CSR melalui penyelarasan

kebijakan, penyusunan rencana strategis, pelaksanaan mekanisme kerja hingga

pada monitoring, evaluasi dan pendokumentasian pelaksanaan kegiatan. Dengan

demikian, perusahaan dapat mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat

dilakukan serta bagaimana rangkaian kegiatan CSR dapat secara significant

membawa perbaikan dalam pelestarian fungsi lingkungan, dimana pada akhirnya

akan menjadi keberlanjutan yang menyeluruh.

Bali Hotels Associations atau BHA merupakan salah satu asosiasi yang

kegiatannya berkaitan dengan pengembangan pariwisata, pendidikan, dan

lingkungan hidup yang berkesinambungan. BHA menerapkan pendekatan yang

mengakomodasi berbagai stakeholders serta mendukung kerjasama antara

masyarakat dan pengusaha dalam rangka tanggungjawab sosial perusahaan. BHA

sendiri mengelompokkan anggotanya sesuai dengan cakupan wilayah tertentu.

Diantaranya seperti, Nusa Dua, Kuta, Tabanan, Candidasa, Jimbaran, Tanjung

Benoa, Sanur, Legian, Tuban, dan Ubud. Dalam kaitannya dengan upaya menjaga

lingkungan, BHA telah melakukan berbagai program, seperti : mengurangi

penggunaan plastik, dukungan terhadap Program Bali Go Green, membuat

31

laporan pemakaian air dan listrik periode 2013, dan melakukan pertemuan tim

penghijauan secara rutin.

Beberapa hotel berbintang dan hotel melati di Kawasan Pariwisata Ubud,

tergabung dalam BHA, dan telah menjalankan program CSR secara berkala, baik

dilakukan berdasarkan kesadaran akan kewajiban suatu pelaksana kegiatan usaha,

bersifat sukarela, atau bahkan karena permintaan dari masyarakat sekitar. Akan

tetapi, tak pelak juga bahwa beberapa hotel belum mengetahui akan kewajiban

melaksanakan program CSR.