Upload
others
View
22
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Burnout Syndrome
2.1.1 Definisi Burnout Syndrome
Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freundenberger pada
tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga
pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freundenberger
memberi ilustrasi burnout syndrome seperti gedung yang terbakar habis yang
awalnya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya dan setelah terbakar,
gedung hanya tampak kerangka luarnya saja. Ilustrasi ini memberikan gambaran
bahwa orang yang mengalami burnout syndrome dari luar tampak seperti biasa
namun sebenarnya terjadi masalah dalam dirinya (Pangastiti, 2011). Burnout
merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara
psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dari orang lain maupun bersikap sinis
dengan mereka, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja sangat kuat
(Pangastiti, 2011).
Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa
burnout syndrome adalah suatu kumpulan gejala fisik, psikologis dan mental yang
bersifat destruktif akibat dari kelelahan kerja yang bersifat monoton dan menekan.
14
2.1.2 Dimensi Burnout Syndrome
Maslach (1993) dalam Cholily (2007) menyatakan bahwa burnout merupakan
sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu:
a. Kelelahan (Exhaustion)
Kelelahan (exhaustion) merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan
perasaan letih berkepanjangan baik secara fisik (sakit kepala, flu, insomnia), mental
(merasa tidak bahagia, tidak berharga, rasa gagal), dan emosional (bosan, sedih,
tertekan). Ketika mengalami exhaustion, mereka akan merasakan energinya seperti
terkuras habis dan ada perasaan kosong yang tidak dapat diatasi lagi.
b. Depersonalisasi (Cynicism)
Depersonalisasi adalah proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan
dengan kemampuan individu. Hal ini bisa berupa sikap sinis terhadap orang-orang
yang berada dalam lingkup pekerjaan dan kecenderungan untuk menarik diri serta
mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja. Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai
upaya melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap bahwa
dengan berperilaku seperti itu, mereka merasa aman dan terhindar dari ketidakpastian
dalam pekerjaan.
c. Rendahnya Hasrat Pencapaian Prestasi Diri (Low Personal Accomplishment)
Rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya perasaan
tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan terhadap kehidupan. Selain itu,
penderita juga merasa belum melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidupnya,
sehingga pada akhirnya memicu timbulnya penilaian rendah terhadap kompetensi diri
15
dan pencapaian keberhasilan diri. Penderita memiliki perasaan tidak berdaya, tidak
mampu melakukan tugas, dan menganggap tugas-tugas yang dibebankan terlalu
berlebihan sehingga tidak sanggup lagi menerima tugas yang baru. Mereka
menganggap dunia luar menentang upaya untuk melakukan perbaikan dan kemajuan
sehingga kondisi tersebut akhirnya membuat mereka merasa kehilangan kepercayaan
terhadap kemampuannya sendiri dan juga kehilangan kepercayaan dari orang lain
akibat perilakunya.
Cholily (2007), menggunakan istilah manifestasi dalam menggambarkan
gejala burnout syndrome, yaitu:
a. Manifestasi mental
Manifestasi mental mencakup gejala afektif, seperti perasaan hampa,
terbelenggu dan gejala-gejala yang terkait dengan depresi (tidak semangat, tidak
berdaya), mudah tersinggung dan lain sebagainya. Selain itu, dalam aspek kognitif
penderita akan kesulitan untuk berkonsentrasi dan sulit mengambil keputusan.
Sedangkan dalam aspek psikomotor, mereka memperlihatkan adanya gerakan-
gerakan pada sekelompok otot yang tidak terkendali, mudah gelisah dan sulit sekali
untuk bersikap santai.
b. Manifestasi Fisik
Manifestasi fisik menimbulkan keluhan seperti sakit kepala, gangguan tidur,
masalah seksual, kehilangan selera makan dan nafas yang pendek.
16
c. Manifestasi perilaku
Manifestasi perilaku ditandai dengan peningkatan ambang perilaku, seperti
kontrol atau kendali diri yang kurang dan mudah terprovokasi, serta peningkatan
konsumsi kopi dan alkohol.
d. Manifestasi sosial
Manifestasi sosial berhubungan dengan masalah-masalah interpersonal,
terutama dalam lingkungan pekerjaan. Penderita burnout syndrome akan tampak
menarik diri dari kontak sosial.
e. Manifestasi sikap
Penderita menunjukkan sikap negatif terhadap organisasi, misalnya dengan
kerap mengkritik kebijakan dan tidak mempercayai atasan maupun rekan kerjanya.
f. Manifestasi organisasi
Suatu studi yang bersifat cross sectional memperlihatkan bahwa burnout
terkait dengan kelambanan dalam menyelesaikan tugas, kecelakaan kerja, pencurian
dan kelalaian kerja sehingga merugikan organisasi tempat kerja.
2.1.3 Tahapan Burnout Syndrome
Goliszek (2005) membagi burnout syndrome menjadi empat tahapan. Tahap
pertama, seseorang masih memiliki harapan dan idealisme yang tinggi terhadap
pekerjaan yang dicirikan dengan antusias yang tinggi terhadap pekerjaan,
menunjukkan dedikasi dan komitmen pada pekerjaan, menunjukkan energi yang
tinggi dan berprestasi, bersikap konstruktif dan positif, serta berpandangan baik.
17
Tahap kedua, seseorang mulai pesimis dan tidak puas terhadap pekerjaannya yang
dicirikan dengan mengalami kelelahan fisik dan mental, menjadi frustasi dan
dipenuhi khayalan yang tidak baik, semangat kerja menurun, mengalami kebosanan,
serta menunjukkan gejala stres awal. Tahap ketiga, individu sudah menarik dan
mengucilkan diri yang dicirikan dengan menghindari kontak dengan rekan kerja,
merasa marah dan tidak bersahabat, berpandangan sangat negatif, mengalami depresi
dan tekanan emosi lainnya, menjadi tidak mampu berpikir atau konsentrasi,
mengalami kelelahan fisik dan mental yang ekstrim, serta menunjukkan banyak
gejala stres. Sedangkan pada taham keempat, terjadi pemisahan diri dan kehilangan
minat yang sulit dikembalikan dengan gejala memiliki harga diri yang sangat rendah,
kebiasaan bolos kerja yang kronis, muncul perasaan negatif mengenai pekerjaan,
menunjukkan sinisme yang parah, tidak mampu berinteraksi dengan orang lain,
mengalami tekanan emosi yang serius, serta menunjukkan gejala stres fisik dan emosi
yang parah.
2.1.4 Alat Ukur Burnout Syndrome pada Perawat
Maslach Burnout Inventory-Human Service Survey merupakan alat ukur
burnout yang paling baik untuk menentukan burnout syndrome pada profesi yang
berhubungan langsung dengan orang atau human service (Maslach dan Jackson,
1986). MBI-HSS terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan fisik dan emosional,
depersonalisasi, dan penurunan personal accomplishment. Dimensi kelelahan
emosional menggambarkan perasaan kelelahan, terkurasnya energinya, dan perasaan
18
kosong yang berkepanjangan. Dimensi depersonalisasi berhubungan dengan sikap
sinis dan menarik diri terhadap orang lain dalam bekerja. Sedangkan, dimensi
penurunan personal accomplishment menggambarkan perasaan tidak berdaya dan
tidak kompeten pada pekerjaannya. MBI-HSS terdiri atas 22 butir pernyataan dimana
tiap butir mengandung lima pilihan jawaban yaitu 1 (tidak pernah), 2 (jarang), 3
(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (selalu). Kuesioner yang dibagikan berisi butir-
butir pernyataan positif dan negatif. Jumlah item pernyataan positif adalah delapan
buah yaitu pada pernyataan 4, 7, 9, 12, 17, 18, 19, dan 21. Sedangkan item pernyataan
1, 2, 3, 5, 6, 8, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 20, dan 22 merupakan pernyataan negatif. Skor
untuk pernyataan positif dibalik dengan pernyataan negatif yaitu 1 (selalu), 2 (sering),
3 (kadang-kadang), 4 (jarang), dan 5 (tidak pernah). Pernyataan nomor 1, 2, 3, 6, dan
14 termasuk dalam pernyataan kelelahan fisik dan emosional. Penyataan nomor 5, 8,
9, 10, 13, 15, 16, dan 20 merupakan pernyataan depersonalisasi. Sedangkan
pernyataan nomor 4, 7, 11, 12, 14, 17, 18, 19, 21, dan 22 termasuk dalam pernyataan
low personal accomplishment.
Rentang minimum maksimum instumen ini adalah 22 x 5 = 110 sampai
dengan 22 x 1 = 22. Luas jarak sebarannya adalah 110-22 = 88. Dengan demikian
setiap satuan deviasi standarnya (σ) bernilai 88/6 = 14,67 dibulatkan ke atas menjadi
15, dengan 6 merupakan konstanta. Nilai mean teoritisnya (µ) adalah skor terendah
dikalikan tingkat kategori yaitu, 22 x 3 = 66 (Azwar, 2011).
19
Menurut Azwar (2011), apabila diinginkan penggolongan sebjek ke dalam tiga
kategori diagnosis burnout syndrome, maka satuan deviasi standar itu dibagi dalam
tiga bagian menjadi:
X < (µ-1,0σ) ringan
(µ-1,0σ) ≤ X < (µ+1,0σ) sedang
(µ+1,0σ) ≤ X berat
Sehingga dengan harga µ = 66 dan σ = 15 akan diperoleh kategori-kategori
burnout syndrome:
X < (66-1,0 (15)) ringan
(66-1,0(15)) ≤ X < (66+1,0(15)) sedang
(66+1,0 (15)) ≤ X berat
MBI-HSS merupakan kuisioner yang sudah sering digunakan untuk
mengidentifikasi burnout syndrome. Instrumen ini pernah digunakan dalam beberapa
penelitian di luar dan dalam negeri yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
Maslach dan Jackson sudah pernah melakukan uji validitas dan reliabilitas pada alat
ukur MBI-HSS. Uji validitas yang dilakukan adalah convergent validity dengan
mengkorelasikan MBI-HSS dengan skor perilaku, karakteristik pekerjaan, dan Job
Diagnostic Scale (JDS).
Hasil yang didapatkan pada skor perilaku adalah ada korelasi positif yang
signifikan antara MBI–HSS dengan skor perilaku dengan hasil nilai korelasi r = 0,50,
p<0,01 pada dimensi kelelahan emosional dan r = 0,33, p<0,05 pada dimensi
depersonalisasi, dan r = 0,20, p<0,05 pada dimensi penurunan personal
20
accomplishment. Sedangkan hasil yang didapat pada karakteristik pekerjaan adalah
ada korelasi positif yang signifikan antara MBI–HSS dengan karakteristik pekerjaan
dengan nilai korelasi r= 0,33, p<0,02 pada dimensi kelelahan emosional, r = 0,26,
p<0,05 pada dimensi depersonalisasi, r = 0,39, p<0,05 pada dimensi penurunan
personal accomplishment. Selain itu, hasil yang didapat pada JDS menunjukkan
adanya korelasi positif yang signifikan dengan MBI–HSS dengan JDS dengan nilai
korelasi r=0,38, p<0,001 pada dimensi kelelahan emosional dan dimensi
depersonalisasi, dan r=0,29, p<0,01 pada dimensi penurunan personal
accomplishment. Berdasarkan ketiga hasil korelasi di atas, memperlihatkan bahwa
MBI–HSS benar mengukur burnout. Sedangkan uji reliabilitas untuk kelelahan
emosional yaitu didapatkan nilai alpha 0,90, untuk depersonalisasi adalah 0,79, dan
untuk penurunan personal accomplishment adalah 0,71 (Maslach & Jackson, 1986).
Di Indonesia, instrumen MBI-HSS sudah pernah diterjemahkan dan digunakan
dalam tesis Fatmawati (2012) berjudul “Burnout Staf Perpustakaan Bagian Layanan
di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta”.
Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menggunakan instrumen MBI-HSS ini dalam
penelitian dan tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen ini.
2.1.5 Perbedaan Stres dan Burnout Syndrome
Pengertian yang tumpang tindih antara stres dan burnout kerap terjadi.
Keduanya dianggap memiliki konsep yang sama. Namun, pada hakekatnya keduanya
berbeda satu sama lain. Stres memiliki definisi sebagai suatu situasi atau keadaan
21
yang menekan, baik secara fisik maupun psikologis atau suatu tekanan yang sangat
kuat dan dapat dikenali serta dapat disalurkan dengan berguna, dengan kata lain saat
terjadi ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dengan kapasitas respon dari
individu, sedangkan burnout didefinisikan sebagai suatu kondisi kelelahan fisik,
emosi maupun mental yang disebabkan karena pekerjaan. Stres dapat menjadi positif
atau menjadi negatif. Secara umum, bila suatu kondisi yang menekan dapat
dikendalikan, bisa dikatakan bahwa hal tersebut merupakan stres yang baik
(eustress). Sebaliknya, bila suatu kondisi yang menekan tidak mampu dikendalikan,
maka disebut dengan stres yang buruk (distress). Tergantung pada cara individu
meresponnya, stres dapat menjadi berbahaya atau justru membantu. Stres akan
membantu apabila dapat memotivasi individu untuk meningkatkan kinerja dan
membuat perubahan-perubahan dalam hidupnya dan akan sangat merugikan jika
membuat individu jatuh ke dalam keputusasaan hingga menyebabkannya frustasi,
depresi atau bahkan burnout (Cholily, 2007). Perbedaan stres dan burnout dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1Perbedaan Stres dan Burnout
Stres Burnout
1. Emosi bersifat over reaktif
2. Menimbulkan urgensi dan hiperaktif
3. Kehilangan energi
4. Dapat menimbulkan gangguan kecemasan
5. Gangguan utama terjadi pada fisik
6. Dapat membunuh penderitanya lebih dini
1. Emosi bersifat tumpul
2. Menimbulkan ketidakberdayaan dan
keputusasaan
3. Kehilangan motivasi, cita-cita, dan harapan
4. Menimbulkan pemisahan diri dan depresi
5. Gangguan utama terjadi pada emosional
6. Dapat membuat kehidupan terkesan tidak
layak
Smith & Segal (2011)
22
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan kondisi
antara stres dan burnout. Seseorang yang berada pada kondisi stres masih bisa
menyeimbangkan emosi daripada seseorang yang mengalami burnout. Seseorang
yang berada pada kondisi stres cenderung masih bersikap aktif dan agresif secara
emosional, namun pada seseorang yang sudah berada pada kondisi burnout akan
merasa kehilangan motivasi, cita-cita, dan harapan. Seseorang yang mengalami stres
cenderung merasakan penurunan dalam kesehatannya seperti flu, sakit kepala, dan
gangguan pencernaan lainnya sedangkan seseorang yang mengalami burnout
mengalami kehilangan harapan sehingga merasa kehidupannya tidak layak untuk
dipertahankan. Seseorang yang mengalami stres atau burnout sama-sama mengalami
masalah utama dalam pekerjaan namun respon yang dihasilkan berbeda-beda. Stres
yang tidak dapat ditangani dengan baik dan berkepanjangan akan berpotensi menjadi
burnout yang akan berakibat pada masalah kesehatan dan penurunan intensitas kerja
(Fatmawati, 2012).
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Burnout Syndrome
Faktor-faktor yang mempengaruhi burnout syndrome secara garis besar dibagi
menjadi dua yaitu, faktor eksternal dan faktor internal. Lee dan Ashfort (1996) dalam
Dewanti (2010), menyebutkan bahwa ada beberapa faktor eksternal yang
mempengaruhi burnout syndrome, yaitu:
23
a. Ambiguitas Peran
Ambiguitas peran adalah keadaan yang terjadi pada saat seorang pekerja tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan, bingung serta tidak yakin karena
kurangnya hak-hak dan kewajiban yang dimiliki.
b. Konflik Peran
Konflik peran adalah konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari
satu peran yang saling bertentangan.
c. Beban Kerja
Beban kerja merupakan intensitas pekerjaan yang meliputi jam kerja, jumlah
individu yang harus dilayani, serta tanggung jawab yang harus dipikul. Beban
kerja secara kualitatif dilihat dari kesulitan pekerjaan tersebut untuk dikerjakan.
d. Dukungan
Dukungan dapat dibagi menjadi dukungan dari atasan, dukungan dari keluarga,
serta dukungan dari rekan kerja.
Faktor internal yang dapat mempengaruhi burnout syndrome menurut Farber
(1991) dalam Dewanti (2010), adalah:
a. Faktor demografi yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status
pernikahan, dan masa kerja.
b. Faktor kepribadian yang terdiri dari tipe kepribadian, harga diri, dan locus of
control.
24
Faktor-faktor yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah beban kerja, locus
of control, harga diri, dan faktor demografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status pernikahan, serta masa kerja.
2.2.1 Beban Kerja
a. Pengertian Beban Kerja
Beban kerja adalah frekuensi rata-rata masing-masing jenis pekerjaan dalam
jangka waktu tertentu dengan memperkirakan beban kerja dari organisasi dapat
dilakukan berdasarkan perhitungan atau pengalaman (Peraturan Pemerintah RI
Nomor 97 tahun 2000). Beban kerja dapat dibedakan menjadi beban kerja kuantitatif
dan kualitatif. Beban kerja kuantitatif menunjukkan adanya jumlah pekerjaan yang
besar yang harus dilakukan misalnya jam kerja yang tinggi, derajat tanggung jawab
yang besar, tekanan kerja sehari-hari dan sebagainya. Beban kerja kualitatif
menyangkut kesulitan tugas yang dihadapi. Beban kerja perawat adalah seluruh
kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu
unit pelayanan keperawatan (Marquish & Huston, 2000). Beban kerja perawat
merupakan bagian dari pengembangan tenaga perawat yang dihitung berdasarkan
jumlah waktu yang dibutuhkan untuk memberikan layanan kepada pasien per hari
(Hendianti, 2013). Beban kerja perawat dipengaruhi oleh kondisi pasien yang selalu
berubah, jumlah rata-rata jam perawatan yang dibutuhkan untuk memberikan
pelayanan langsung kepada pasien, serta banyaknya tugas tambahan yang harus
dikerjakan oleh waktu kerjanya (Kusmiati, 2003).
25
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa beban
kerja adalah aktifitas atau kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat selama
bertugas dalam suatu institusi tertentu.
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja
Gillies (1994) menyatakan bahwa untuk memperkirakan beban kerja perawat
pada unit tertentu, perlu diperhatikan:
1) Jumlah klien yang dirawat setiap hari/bulan/tahun di unit tersebut.
2) Kondisi atau tingkat ketergantungan.
3) Rata-rata hari perawatan
4) Pengukuran keperawatan langsung, perawatan tidak langsung, dan pendidikan
kesehatan.
5) Frekuensi tindakan perawatan yang dibutuhkan klien.
6) Rata-rata waktu perawatan langsung, tidak langsung dan pendidikan kesehatan.
Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi beban kerja perawat yaitu
komunitas, bencana alam, kemajuan IPTEK, pendidikan konsumen, keadaan
ekonomi, iklim atau musim, politik, dan hukum/peraturan.
c. Perhitungan Beban Kerja
Beban kerja cenderung diukur berdasarkan keluhan dari responden bahwa
mereka sangat sibuk dan menuntut diberikan waktu lembur (Ilyas, 2000). Sedangkan
untuk menghitung beban kerja responden menurut Ilyas (2000) ada tiga cara yang
dapat digunakan yaitu:
26
1) Work Sampling
Work sampling adalah pengamatan pada aktivitas atau kegiatan keperawatan
dalam menjalankan tugasnya sehari-hari di ruang kerjanya. Pada work sampling, yang
diamati adalah apa yang dilakukan oleh perawat, informasi yang dibutuhkan oleh
penelitian ini adalah kegiatannya, bukan siapanya.
Jumlah pengamatan yang didapatkan pada teknik ini dapat mencapai ribuan
pengamatan. Contoh jumlah pengamatan dapat dihitung sebagai berikut:apabila yang
diamati adalah kegiatan lima orang perawat setiap shift, pengamatan setiap lima
menit selama 24 jam (tiga shift) dalam enam hari kerja, maka jumlah pengamatan= 5
(perawat) x 60 menit/5 (menit) x 24 jam x 6 (hari kerja)= 8.640 sampel pengamatan.
Data yang dihasilkan akurat karena menggambarkan kegiatan responden secara rinci.
2). Time and Motion Study
Time and motion study adalah teknik mengamati dan mengikuti dengan
cermat kegiatan yang dilakukan oleh responden yang sedang diamati. Pada teknik ini,
peneliti mengamati satu pekerjaan sampai selesai dan terus diamati sampai selesai
jam kerja pada hari itu. Pada saat melakukan penelitian dengan teknik time and
motion study, yang diamati adalah profesi atau pekerjaan tertentu. Jadi, teknik ini
dilakukan untuk mengamati waktu yang dibutuhkan dan kualitas jenis kegiatan
tertentu.
3). Daily Log (Pencatatan Kegiatan Sendiri)
Daily log merupakan bentuk sederhana dari work sampling. Responden
menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk kegiatan tersebut.
27
Penggunaan teknik ini sangat tergantung terhadap kerjasama dan kejujuran dari
responden yang sedang diteliti. Pendekatan itu relatif sederhana dan biaya murah.
Peneliti biasanya membuat pedoman dan formulir isian yang dapat dipelajari dan diisi
sendiri oleh responden. Sebelum dilakukan penelitian, perlu dilakukan penjelasan
tentang tujuan dan cara pengisian formulir kepada responden.
d. Kategori Tindakan Keperawatan
Menurut Gillies (1989), tindakan keperawatan menjadi tindakan keperawatan
langsung, tidak langsung, dan penyuluhan kesehatan. Keperawatan langsung adalah
perawatan yang diberikan anggota staf keperawatan langsung pada pasien terkait
kebutuhan fisik dan psikologisnya.
Perawatan tidak langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
pasien tanpa kehadirannya, seperti: lingkungan pasien atau keberadaan finansial dan
kesejahteraan sosial pasien, perencanaan perawatan, penghimpunan peralatan dan
perbekalan, diskusi dengan anggota tim kesehatan lain, penulisan dan pembacaan
catatan kesehatan, pelaporan kondisi pasien kepada rekan kerja, dan menyusun
sebuah rencana bagi perawatan pasien setelah pelepasannya. Penyuluhan kesehatan
mencakup kegiatan staf keperawatan untuk memberitahu dan memotivasi pasien serta
keluarganya tentang perawatan setelah pulang dari rumah sakit. Ilyas (2000)
mengkategorikan tindakan keperawatan sebagai berikut:
1) Kegiatan langsung adalah semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh
seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien, anamnesa pasien,
28
mengukur tanda vital, menolong BAB/BAK, merawat luka, mengganti balutan,
mengangkat jahitan, kompres, memberi suntikan obat atau imunisasi, penyuluhan
kesehatan.
2) Kegiatan tak langsung adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat yang
berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung dengan pasien,
seperti: menulis rekam medis, mencari kartu rekam medis pasien, mengupdate
data rekam medis.
3) Kegiatan pribadi adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan dari
perawat yang diamati, seperti: makan, minum, pergi ke toilet.
4) Kegiatan non produktif adalah semua kegiatan perawat yang tidak produktif
untuk kepentingan pasien maupun bagian atau organisasi rumah sakit, seperti:
baca koran, mendengarkan radio, menonton TV, berbincang-bincang.
e. Alat Ukur Beban Kerja
Lembar kegiatan perawat adalah alat ukur yang digunakan untuk menilai
beban kerja perawat dengan pendekatan daily log. Perawat akan mencatat kegiatan
yang dilakukannya selama satu shift baik itu pagi, sore, atau malam kemudian peneliti
akan mengklasifikasikan kegiatan tersebut ke dalam kegiatan produktif atau tidak
produktif. Satu orang responden akan mengisi tiga buah lembar kegiatan perawat
yang diisi pada shift pagi, sore, dan malam. Setelah semua data kegiatan terkumpul,
peneliti akan melakukan perhitungan beban kerja terhadap masing-masing reponden.
29
Jumlah waktu yang dilakukan untuk kegiatan produktif pada shift pagi, sore,
dan malam akan dijumlahkan kemudian dibandingkan dengan durasi kerja responden
dalam 3 shift yaitu 24 jam. Rumus yang digunakan adalah:
Kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung tergolong dalam kegiatan
produktif. Sedangkan kegiatan non produktif dan kegiatan pribadi tergolong dalam
kegiatan non produktif karena tidak berhubungan dengan kepentingan pasien maupun
rumah sakit. Jika proporsi waktu produktif X < 60% dari jam kerja, maka
dikategorikan beban kerja ringan, jika proporsi waktu produktif X = 60%-79% dari
jam kerja, maka dikategorikan beban kerja sedang, dan jika proporsi waktu produktif
X ≥ 80% dari jam kerja, maka dikategorikan beban kerja tinggi (Ilyas, 2000).
f. Hubungan antara Beban Kerja dan Burnout Syndrome
Beban berlebih secara fisik maupun mental adalah berpotensi menjadi sumber
stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih adalah kondisi kerja, yaitu
setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat.
Penelitian yang dilakukan oleh Hariyono, dkk (2009) berjudul “Hubungan antara
Beban Kerja, Stres Kerja dan Tingkat Konflik dengan Kelelahan Kerja Perawat di
Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI Kota Yogyakarta” dengan metode penelitian
survei analitik dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara beban kerja, stres
kerja dan tingkat konflik terhadap kelelahan kerja. Penelitian ini menunjukkan hasil
yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja terhadap kelelahan kerja
X = Hasil kumulasi waktu kegiatan produktif/24 x 100%
30
dengan p value 0,000. Hariyono, dkk (2009) juga menyebutkan bahwa beban kerja
yang tinggi dapat menyebabkan perawat mengalami kejenuhan dan kelelahan. Hal ini
akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan perawat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Kiekkas (2010) yang berjudul “Level and
Correlates of Burnout Among Orthopaedic Nurses in Greece” dengan desain
penelitian deskriptif untuk mengetahui tingkatan dan faktor yang berhubungan
dengan burnout syndrome pada perawat ortopedik. Penelitian ini menunjukkan hasil
bahwa burnout syndrome memiliki hubungan yang signifikan dengan beban kerja
perawat (p value=0,005). Kiekkas (2010) juga menyebutkan beban kerja yang tinggi
secara spesifik berpengaruh pada salah satu dimensi dari burnout syndrome yaitu
physical and emotional exhaustion. Beberapa penelitian tersebut menunjukan bahwa
terdapat hubungan antara beban kerja perawat dengan burnout syndrome.
Soehartati (2005) menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi dapat
menyebabkan perawat mengalami kelelahan atau kejenuhan yang akan menimbulkan
stres kerja pada perawat yang kemudian akan berdampak pada penurunan kepuasan
kerja. Dewanti (2010) juga mengungkapkan bahwa stres kerja yang berlebihan pada
perawat cenderung akan mengarah pada burnout syndrome.
31
2.2.2 Faktor Demografi
Faktor demografi merupakan faktor yang berasal dari diri individu yang
berpengaruh terhadap burnout. Beberapa faktor demografi yang mempengaruhi
burnout meliputi: usia, jenis kelamin, status pernikahan, lama bekerja dan tingkat
pendidikan (Fatmawati, 2012).
a. Usia
Usia adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan
sekarang. Penentuan usia dilakukan dengan menggunakan hitungan tahun (Chaniago,
2002). Hasil penelitian Fatmawati (2012) menyebutkan bahwa pustakawan yang
berusia 30 tahun ke atas memiliki tingkat burnout yang lebih tinggi dibandingkan
pustakawan yang berusia 30 tahun ke bawah. Sumawidanta (2013) mengungkapkan
perawat yang lebih tua biasanya lebih menguasai pekerjaan yang mereka lakukan dan
keinginan agar mencapai kinerja lebih baik daripada perawat yang berusia lebih muda
juga lebih tinggi. Tuntutan dalam diri perawat yang berusia lebih tua cenderung
membuat stres hingga terjadinya kelelahan fisik, emosional dan psikologi.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara
biologis sejak seseorang lahir (Hungu, 2007). Laki-laki tumbuh dan dibesarkan
dengan nilai dan kemandirian khas laki-laki dan mereka diharapkan dapat bersikap
tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya perempuan diharapkan untuk
mempunyai sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan lembut.
32
Perbedaan cara dalam membesarkan laki-laki dan perempuan memberi dampak yang
berbeda pula dalam menghadapi dan mengatasi burnout. Hal ini dapat dijelaskan
dengan perbedaan tahap perkembangan antara perempuan dan laki-laki.
Perkembangan pada perempuan dipengaruhi oleh hormon esterogen dan progesteron.
Kedua hormon ini juga berperan dalam perkembangan emosional perempuan yang
membuat perempuan lebih mengutamakan perasaan dalam menghadapi
permasalahan. Sehingga, ketika perempuan dihadapkan pada suatu masalah, maka
respon emosional seperti menangis, mengadu dan menyesal akan lebih dominan
muncul (Priyono dkk., 2009). Hal ini berbeda dengan perkembangan laki-laki yang
dipengaruhi oleh hormon testosteron. Pengaruh dari hormon ini terhadap
perkembangan emosional adalah laki-laki cenderung lebih tenang, rasional dan acuh.
Oleh karena itu, ketika laki-laki menghadapi suatu masalah, maka respon yang lebih
dominan muncul adalah berusaha menyelesaikan masalah dengan cara yang praktis
dan rasional serta banyak yang cenderung diam (Priyono dkk., 2009).
c. Status Pernikahan
Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang mahaesa (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 1974). Status pernikahan berpengaruh terhadap timbulnya
burnout. Menurut Lakoy (2009) perempuan yang bekerja dan sudah menikah sering
merasa tidak bahagia. Hal ini umumnya terjadi karena merasa kewalahan dengan
33
tanggung jawab, mengalami kesulitan dalam mempertahakan hubungan yang akrab
dengan pasangan sehingga hal tersebut menimbulkan stres yang berkepanjangan.
Selain itu, perempuan yang bekerja dan sudah menikah cenderung merasa kecewa
dengan prestasi-prestasi yang ada dalam hidup mereka dan sering merasa kecil hati
tentang cara menjalani hidup, sehingga semua itu berpengaruh besar terhadap
kesejahteraan psikologis mereka.
Namun, pada penelitian Fatmawati (2012) didapatkan hasil pustakawan yang
berstatus lajang lebih banyak mengalami burnout daripada yang telah berkeluarga.
Fatmawati (2012) juga mengungkapkan alasan dari hal tersebut adalah seseorang
yang sudah berkeluarga mendapatkan kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga
dapat mengurangi tuntutan emosional dalam pekerjaan. Selain itu, keterlibatan
dengan keluarga dan anak juga dapat mempersiapkan mental seseorang dalam
menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional.
d. Masa Kerja
Masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing
pekerjaan atau jabatan. Semakin lama masa kerja individu maka pengalaman yang
diperolehnya semakin bertambah (Siagian, 2009). Walaupun dengan masa kerja yang
lama seorang perawat mendapatkan pengalaman kerja yang banyak, namun pola
pekerjaan perawat yang monoton dan bersifat human service justru menimbulkan
kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang mengarah pada burnout syndrome
(Pangastiti, 2011).
34
e. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan jenjang ilmu pengetahuan yang di dapat dari
lembaga pendidikan formal terakhir. Tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka
panjang yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir (Mangkunegara,
2003). Seseorang dengan pendidikan sarjana paling berisiko mengalami burnout
syndrome dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Profesional yang berpendidikan
tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis, sehingga ketika dihadapkan pada
kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan maka muncul kegelisahan dan kekecewaan
yang dapat menimbulkan burnout syndrome. Tingkat pendidikan perawat terdiri dari
SPK, DIII, S1, serta S2 keperawatan (Fatmawati, 2012).
f. Alat Ukur Faktor Demografi
Lembar identitas digunakan untuk mengetahui faktor-faktor demografi yang
akan diteliti, seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan, masa kerja, dan tingkat
pendidikan responden.
g. Hubungan Faktor Demografi Terhadap Burnout Syndrome
Penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty (2012) yang berjudul “Internal
Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian Study”, dengan desain
penelitian deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahui faktor internal yang
mempengaruhi burnout syndrome pada perawat psikiatrik. Penelitian ini menujukkan
hasil bahwa usia memiliki hubungan yang signifikan dengan burnout syndrome (p
35
value=0,015, p value<0,05) dan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan
dengan burnout syndrome (p value=0,285, p value>0,05). Hasil penelitian Fatmawati
(2012) menyebutkan bahwa pustakawan yang berusia 30 tahun ke atas memiliki
tingkat burnout yang lebih tinggi dibandingkan pustakawan yang berusia 30 tahun ke
bawah.
Penelitian yang dilakukan oleh Larasati dan Paramita (2013) yang berjudul
“Tingkat Burnout Ditinjau dari Karakteristik Demografis (Usia, Jenis Kelamin dan
Masa Kerja) Guru SDN Inklusi di Surabaya” yang menunjukkan hasil bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara usia (p value=0,760), jenis kelamin (p
value=0,283) dan masa kerja (p value=0,674) terhadap burnout syndrome. Namun,
hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Olanrewaju dan Chineye (2013) yang
berjudul “Gender Differences in Burnout Among Health Workers in The Ekiti State
University Teaching Hospital Ado-Ekiti” didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (t (138) = -2,70, P <0,05).
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) yang berjudul
“Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stres Kerja pada Perawat
Instalasi Rawat Inap B RS. PELNI Petamburan Jakarta” dengan pendekatan cross
sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian stres kerja pada perawat instalasi rawat inap B RS. PELNI Petamburan
Jakarta. Hasil yang didapatkan adalah terdapat hubungan yang signifikan antara status
pernikahan dan stres kerja perawat (P value=0,031, P value<0,05). Penelitian yang
36
dilakukan oleh Qord (2012) yang menyatakan bahwa pekerja yang sudah menikah
menunjukkan skor emotional exhaustion yang lebih tinggi daripada yang belum
menikah. Kelelahan emosional yang dialami oleh seorang pekerja yang sudah
menikah cenderung disebabkan karena banyaknya tanggung jawab yang harus
dilakukan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chakaborty (2012) yang berjudul
“Internal Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian study” yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja perawat dengan burnout
syndrome (p value=0,011, p value<0,05). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Suska (2011) berjudul “Hubungan Beban Kerja, Umur dan Masa Kerja dengan Stres
Kerja Perawat Shift Malam di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten” menunjukkan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara
masa kerja dan stres kerja perawat (p value=0,001, p value<0,05). Fatmawati (2012)
menyebutkan bahwa pustakawan yang bekerja lebih atau sama dengan lima tahun
memiliki tingkat burnout syndrome yang lebih tinggi dibandingkan pustakawan yang
bekerja kurang dari lima tahun.
2.2.3 Locus of Control
a. Pengertian Locus of control
Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Julian B Rotter tahun 1966,
yang didefinisikan sebagai cara pandang seseorang terhadap kemampuannya untuk
mengendalikan sebuah peristiwa yang sedang terjadi. Locus of control merupakan
37
persepsi atau keyakinan seseorang terhadap kontrol diri atas peristiwa yang
mempengaruhi kehidupannya (Greenberg, 2006). Locus of control juga dinyatakan
sebagai keyakinan atau harapan individu mengenai sumber penyebab peristiwa yang
terjadi dalam hidupnya, yaitu kecenderungan untuk merasa apakah peristiwa itu
dikendalikan dari dalam dirinya (internal) atau dari luar dirinya seperti
keberuntungan, nasib, kesempatan, kekuasaan orang lain dan kondisi yang lain yang
dapat dikuasai (eksternal) (Munandar, 2004).
Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
locus of control adalah suatu cara pandang individu terhadap kemampuannya untuk
mengontrol sesuatu yang sedang terjadi dalam kehidupannya.
b. Aspek Locus of Control
Pada mulanya Rotter melihat locus of control sebagai hal yang bersifat
unidimensional (internal dan eksternal). Namun pada tahun 1973, Levenson
mengembangkan konsep locus of control dan membaginya menjadi tiga dimensi
independen yaitu: internalisasi (internality), kekuatan orang lain (powerful other),
dan keberuntungan (chance). Menurut model Levenson, seseorang dapat
memunculkan masing-masing dimensi locus of control secara independen dalam
waktu yang sama (Zawawi, 2009).
Tektonika (2012) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi ke
arah internal locus of control yang dalam hal ini adalah internalisasi (internality),
akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua kejadian atau peristiwa yang terjadi
38
pada dirinya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Individu yang
memiliki orientasi pada locus of control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka
alami ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada disekitarnya
(powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang
mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan serta adanya kesempatan
(chance) (Teknonika, 2012).
Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam locus of
control, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Seseorang dapat
dikatakan memiliki locus of control internal bila orang tersebut memiliki keyakinan
yang kuat bahwa dirinya dapat mengontrol dan mengatur semua peristiwa yang akan
terjadi. Seseorang dapat dikatakan memiliki locus of control eksternal apabila orang
tersebut tidak memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya dapat mengontrol semua
yang akan terjadi pada dirinya, namun orang lain dan nasib yang mengontrol kejadian
yang menimpanya (Tektonika, 2012). Perbedaan karakteristik antara locus of control
internal dan eksternal dapat dilihat pada tabel 2.
39
Tabel 2 Perbedaan antara Locus of Control Internal dan Eksternal
Locus of Control Internal Locus of Control Eksternal
1. Suka bekerja keras
2. Memiliki insiatif yang tinggi
3. Selalu berusaha untuk menemukan
pemecahan masalah
4. Selalu mencoba untuk berfikir seefktif
mungkin
5. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha
harus dilakukan jika ingin berhasil.
1. Kurang memiliki inisiatif
2. Mudah menyerah, kurang suka berusaha
karena mereka percaya bahwa faktor luar
yang mengontrol
3. Kurang mencari informasi
4. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit
korelasi antara usaha dan kesuksesan
5. Lebih mudah dipengaruhi dan tergantung
pada petunjuk orang lain.
Ayudiati (2010)
c. Alat Ukur Locus of Control
Skala IPC Levenson adalah skala yang digunakan untuk mengetahui pusat
kendali seseorang. Instrumen ini dikembangkan oleh Levenson yang dalam
konsepnya mengatakan bahwa pusat kendali terbagi atas tiga arah orientasi kendali,
yaitu orientasi internal (I), orientasi powerful others (P), dan orientasi chance (C).
Ketiga skala orientasi ini dituangkan ke beberapa subskala dengan masing-masing
delapan buah item pernyataan. Tujuan pengukuran skala ini adalah untuk memilah
individu menurut arah pusat kendalinya yakni arah kendali internal dan kendali
eksternal. Arah kendali internal diungkap dalam subskala I yang berjumlah delapan
item dengan nomor 1, 4, 5, 9, 18, 21, dan 23. Sedangkan arah kendali eksternal,
diungkapkan dalam subskala P dengan nomor 3, 8, 11, 13, 15, 17, 20, dan 22 dan C
dengan nomor 2, 6, 7, 10, 12, 14, 16, dan 24 yang totalnya berjumlah 16 item
pernyataan. Jadi, jumlah seluruh item pernyataan dalam instrumen ini adalah 24 buah
(Azwar, 2011).
40
Masing-masing item pernyataan dalam instrumen ini diberi skor dalam enam
jenjang, yaitu: 1 (sangat tidak sesuai) , 2 (tidak sesuai), 3 (agak tidak sesuai), 4 (agak
sesuai), 5 (sesuai), dan 6 (sangat sesuai). Setiap subjek mendapat dua skor pusat
kendali, yaitu pada arah orientasi internal (komponen I) dan skor pada arah orientasi
eksternal (komponen P dan C). Rumus untuk menghitung skor individu pada masing-
masing arah orientasi adalah sebagai berikut:
Internal : Xint = (∑XI)/8
Eksternal : Xeks = (∑XP + ∑XC)/16
Dari distribusi kedua skor ini, dapat diperoleh rata-rata (Mint dan Meks) serta
deviasi standarnya (Sint dan Seks) masing-masing. Kemudian, skor mentah subjek
dikonversikan atau diubah menjadi skor Z, yaitu:
Zint = (Xint-Mint)/Sint
Zeks = (Xeks-Meks)/Seks
Skor Z inilah yang digunakan sebagai dasar kategorisasi pusat kendali, dengan
kriteria:
Zint ≥ 0,50 dan Zeks < 0 kendali internal
Zeks ≥ 0,50 dan Zint< 0 kendali eksternal
Instrumen ini sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada beberapa
penelitian di Indonesia. Uji validitas dilakukan oleh Agustomo dan Djatmiko
menemukan korelasi yang tidak searah antara I dan P serta I dan C. Sedangkan Hendi
dan Haryanto tidak menemukan korelasi antara I dan P serta I dan C. Temuan ini
mengindikasikan validitas diskriminan. Sedangkan antara variabel C dan P ditemukan
41
korelasi positif yang mengindikasikan validitas konvergen. Koefisien korelasi antar
faktor skala IPC dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 3 Koefisien Korelasi antar Faktor Skala IPC
rIP rIC rCP
Agustomo, n = 50 -0,497 -0,779 0,576
Hendi, n = 60 0,149 0,167 0,596
Djatmiko, n = 72 -0,75 -0,502 0,281
Haryanto, n = 55 0,059 -0,164 0,224
Azwar (2011)
Uji reliabilitas pada instrumen ini menggunakan Anava Hoyt. Agustomo
memperoleh koefisien reliabilitas rxx = 0,750, Hendi koefisien reliabilitas rxx = 0,734,
dan Haryanto koefisien reliabilitas rxx = 0,749 (Azwar, 2011).
d. Hubungan Locus of Control dengan Burnout Syndrome
Salah satu faktor individu yang berpengaruh terhadap burnout syndrome
adalah locus of control. Locus of control berpengaruh terhadap pemilihan strategi
koping individu. Selain itu, kecenderungan locus of control pada individu akan
mempengaruhi karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan dirinya (Sukarti, 2007).
Locus of control internal cenderung lebih sukses dalam karir dibandingkan dengan
locus of control eksternal. Seseorang dengan locus of control internal cenderung
mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi yang lebih cepat dan mendapatkan
penghasilan yang lebih. Selain itu, locus of control internal cenderung memiliki
42
kepuasan kerja yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu
menahan stres dibandingkan dengan locus of control eksternal (Menezes, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty (2012) yang berjudul “Internal
Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian study” yang menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara locus of control dengan burnout syndrome (p value
=0,005, p value<0,05). Responden dengan locus of control ekternal dalam penelitian
ini didapatkan lebih banyak mengalami burnout syndrome. Penelitian yang dilakukan
oleh McIntyre (2011) berjudul “The Relationship Between Locus of Control and
Teacher Burnout”, didapatkan hubungan yang signifikan antara eksternal locus of
control dan burnout syndrome. Penelitian lain yang dilakukan oleh Intam (2009)
berjudul “Hubungan Locus of Control dan Konsep Diri dengan Stres Kerja pada
Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu”, didapatkan hasil korelasi
positif antara locus of control eksternal dan stres kerja dengan koefisin korelasi 0,372,
dimana semakin tinggi locus of control eksternal perawat maka semakin tinggi stres
kerjanya. Berdasarkan dua hasil penelitian tersebut, burnout syndrome cenderung
berkorelasi positif dengan locus of control eksternal.
2.2.4 Harga Diri
a. Pengertian Harga Diri
Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian terhadap
diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki
orang lain yang menjadi pembanding. Sedangkan Chaplin (2004) memberikan
43
pengertian terhadap harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap,
interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu. Jadi harga diri
merupakan penilaian individu mengenai perasaan berharga atau berarti yang
diekspresikan dalam sikap-sikap orang lain terhadap dirinya.
b. Aspek Harga Diri
Wardhani (2009) menyebutkan bahwa harga diri individu terdiri dari tiga
aspek yaitu:
1) Perasaan Berharga
Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiki individu saat merasa dirinya
dihargai oleh orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga akan dapat
mengekspresikan dirinya dengan baik, dapat menerima kritik, dan memiliki
kemampuan untuk mengontrol prilaku.
2) Perasaan Mampu
Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki individu pada saat ia merasa
mampu untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki
harga diri positif menyukai tugas baru yang menantang, aktif, dan tidak cepat
bingung jika segala sesuatu tidak sesuai rencana. Perasaan mampu dan merasa
kompeten dalam melaksanakan tugas dapat meningkatkan harga diri seseorang.
3) Perasaan Diterima
Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika diterima
sebagai dirinya sendiri dalam suatu kelompok. Ketika individu diperlakukan
44
sebagai bagian dari kelompok, ia akan merasa dirinya diterima dan dihargai
dalam kelompok tersebut.
c. Alat Ukur Harga Diri
Skala self-esteem Rosenberg adalah alat ukur yang digunakan untuk
mengukur harga diri secara keseluruhan (global self-esteem). Instrumen ini terdiri
atas sepuluh butir pernyataan, dengan butir yang memiliki kriteria positif
(favourable) sebagai aspek kepercayaan diri (self confidence) dengan nomor item 1,
2, 4, 6, dan 7 serta butir yang memiliki kriteria negatif (unfavourable) sebagai aspek
penurunan kepercayaan diri (self depreciation) dengan nomor item 3, 5, 8, 9, dan 10.
Instrumen ini menggunakan skala likert dengan lima kategori, yaitu: 5 (sangat
setuju), 4 (setuju), 3 (antara setuju atau tidak), 2 (tidak setuju), dan 1 (sangat tidak
setuju). Dengan demikian setiap satuan deviasi standarnya (σ) bernilai 40/6 = 6,67
dibulatkan ke atas menjadi 7, 6 merupakan konstanta. Nilai mean teoritisnya (µ)
adalah skor terendah dikalikan tingkat kategori yaitu, 10 x 3 = 30 (Azwar, 2011).
Menurut Azwar (2011) bila diinginkan penggolongan sebjek ke dalam tiga
kategori diagnosis burnout syndrome, maka satuan deviasi standar itu dibagi dalam
tiga bagian menjadi:
X < (µ-1,0σ) rendah
(µ-1,0σ) ≤ X < (µ+1,0σ) sedang
(µ+1,0σ) ≤ X tinggi
45
Sehingga dengan harga µ = 30 dan σ = 0 akan diperoleh kategori-kategori
harga diri:
X < (30-1,0 (7)) rendah
(30-1,0(7)) ≤ X < (30+1,0(7)) sedang
(30+1,0 (7)) ≤ X tinggi
Instrumen ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan sudah
dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh Azwar (2011) dengan hasil koefisien
korelasi item total berada antara 0,415 sampai dengan 0,703 untuk kesepuluh item
dalam skala (n =71), sedangkan koefisien tes ulang dengan tenggang waktu satu hari
menghasilkan rxxi = 0,8587. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen ini valid dan
reliabel. Instrumen ini juga digunakan dalam penelitian Widhiarso (2012) dengan
hasil analisis korelasi butir total berkisar antara 0,2581-0,3917 dengan koefisien
alpha sebesar 0,8689.
d. Hubungan Harga Diri dengan Burnout Syndrome
Harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang mempunyai arti sebagai
suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap
positif maupun negatif (Baron dan Bryne, 2004). Harga diri yang positif akan
membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri,
rasa berguna serta yakin kehadirannya diperlukan. Individu yang memiliki harga diri
rendah cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan berharga (Tambunan,
2001). Seseorang dengan harga diri tinggi cenderung aktif, ekspresif, berhasil dalam
46
bidang akademik dan sosial, mempunyai motivasi yang kuat untuk mengutarakan
pendapatnya, tidak peka terhadap kritik, mudah menolak, jarang tergantung pada
perasaan cemas dan mempunyai pandangan positif terhadap orang lain. Seseorang
dengan harga diri sedang mempunyai kecenderungan sama dengan individu yang
mempunyai harga diri tinggi. Perbedaannya adalah individu yang mempunyai harga
diri sedang cenderung untuk bergantung pada penerimaan sosial dan sangat
mendukung sistem nilai di masyarakat. Sedangkan, individu dengan harga diri rendah
cenderung diliputi dengan kekhawatiran tentang interaksi sosial dan tidak yakin akan
keberhasilannya. Orang dengan harga diri yang rendah mempunyai sifat-sifat
depresif, terlalu lemah untuk melawan kekurangan diri, disibukkan oleh persoalan
pribadi, cenderung terisolir, tidak mampu mengekspresikan diri dan peka terhadap
kritik (Nurvia & Safitri, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Nurvia dan Safitri (2009) yang berjudul
“Hubungan antara Harga Diri dengan Burnout pada Karyawan Bidang Pemasaran”
dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
harga diri dengan burnout syndrome pada karyawan bidang pemasaran. Hasil yang
yang didapatkan adalah terdapat hubungan yang negatif antara harga diri dengan
burnout syndrome (r= -0,615 (p value=0,01, p value<0,05)). Berarti, semakin tinggi
harga diri yang dimiliki karyawan bidang pemasaran maka akan semakin rendah
burnout yang dialami karyawan tersebut dan sebaliknya. Nurvia dan Safitri (2009)
juga mengungkapkan jika seseorang mengevaluasi dirinya secara negatif, tidak
mampu dalam bekerja, kurang percaya diri, kurang dihargai rekan kerjanya, maka hal