Upload
buiphuc
View
222
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik
dengan konsisten di atas 140/90 mmhg. Diagnosis hipertensi tidak berdasarkan
pada peningkatan tekanan darah yang hanya sekali. Ada dua macam hipertensi,
yaitu hipertensi esensial (primer) dan skunder. Sembilan puluh persen dari semua
kasus hipertensi adalah primer. Tidak ada penyebab yang jelas tentang hipertensi
primer, sekalipun ada beberapa teori yang menunjukan adanya faktor-faktor
genetik, perubahan hormon, dan perubahan simpatis. Hipertensi sekunder adalah
akibat dari penyakit tertentu (Baredero, Dayrit, & Siswadi, 2008)
2.1.2 Klasifikasi
Menurut Cahyono (2008 : 95), tekanan darah tubuh normal adalah
120/80 (tekanan darah sistolik 120 mmHg dan tekanan darah diastolik 80
mmHg). Namun, tekanan darah tersebut tidak memiliki nilai yang baku. Hal itu
berbeda-beda tergantung pada aktivitas fisik dan emosi. Tekanan sistolik adalah
tekanan yang berhubungan dengan volume darah yang dipompa setiap kali dedak
jantung. Adapun tekanan diastolik adalah tekanan yang mengukur daya tahan dari
pembuluh darah sehingga tekanan diastolik dianggap lebih penting bagi menilai
derajat hipertensi seseorang (Susianto, Widjaja, & Mailoa, 2008).
Klasifikasi penderita hipertensi berdasarkan tekanan darah menurut di
jelaskan dalam tabel berikut:
10
Table 2.1 Klasifikasi penderita hipertensi berdasarkan tekanan darah (Cahyono, 2008 : 95)
Klasifikasi
Tekanan Darah
Tekanan Sistolik
(mmHg)
Tekanan Diastolik
(mmHg)
Keterangan
Normal <120 Dan <80 Tekanan darah normal.
teruskan pola hidup
sehat dan cek lagi dalam
2 tahun
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89 Beresiko menderita
hipertensi. Sebaiknya
mengubah pola hidup
menjadi lebih sehat dan
pengobatan yang teratur
dari dokter.
Hipertensi tahap
I
140-159 Atau 90-99 Pada tahap ini
memerlukan perbaikan
pola hidup yang lebih
sehat dan pengobatan
yang teratur dari dokter. Hipertensi tahap II ≥160 Atau ≥100
2.1.3 Menifestasi Klinis
Hipertensi sering disebut sebagai pembunuh diam-diam karena sering
tanpa gejala yang memberi peringatan akan adanya masalah. Kadang- kadang
orang menganggap sakit kepala, pusing, atau hidung berdarah sebagai gajala
peringatan meningkatnya tekanan darah. Padahal hanya sedikit orang yang
mengalami perdarahan di hidung atau pusing jika tekanan darahnya meningkat.
Pada sebagian besar kasus hipertensi tidak menimbulkan gejala apa pun, dan bisa
saja baru muncul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ lain, seperti ginjal,
mata, otak, dan jantung. Gejala seperti sakit kepala , migrain sering ditemukan
sebagai gejala klinis hipertensi primer, walaupun tidak jarang yang berlangsung
tanpa adanya gejala. Pada survei hipertensi di indonesia, tercatat berbagai keluhan
yang dikaitkan dengan hipertensi, seperti sakit kepala, mudah marah, telinga
11
berdengung, suka tidur, dan rasa berat di tengkuk (Junaedi, Yulianti & Rianata,
2013).
2.1.4 Etiologi
Banyak faktor yang menyebabkan hipertensi. Namun, faktor yang sering
menjadi penyebab penyakit ini adalah aterosklerosis(penebalan dinding arteri
yang menyababkan hilangnya elastisitas pembuluh darah), keturunan,
meningkatnya jumlah darah yang di pompa ke jantung, penyakit ginjal, dan
sistem saraf simpatis. Kelebihan berat badan, tekanan psikologis, steres dan
ketegangan yang dialami ibu hamil juga bisa memicu hipertensi. Kasus hipertensi
dipengaruhi oleh suatu zat yang dihasilkan oleh ginjal, yakni renin. Zat ini akan
berubah menjadi angiotensin( zat penyebab arteri kecil menyempit) penyempitan
inilah yang mengakibatkan hipertensi (Yulianti & Maloedyn, 2006).
2.1.5 Faktor resiko
Beberapa faktor berikut sering berperan dalam kasus-kasus hipertensi,
yaitu faktor keturunan , faktor obesitas, faktor stres, faktor pola makan.
a. Faktor keturunan
Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat
hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada
kedua orang tua, maka kemungkinan hipertensi esensial lebih besar.
Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu
telur), apabila salah satu menderita hipertensi (Situmorang, 2015).
12
b. Faktor Obesitas
Diantara semua faktor risiko yang dapat dikendalikan , berat
badan adalah salah satu yang paling erat kaitannya dengan hipertensi.
Dibandingkan dengan orang kurus, orang yang gemuk lebih besar
peluangnya terkena hipertensi. Di perkirakan sebnyak 70% kasus baru
penyakit hipertensi adalah orang dewasa yang berat badanya sedang
bertambah. Dugaannya adalah jika berat badan seseorang bertambah,
volume darah akan bertambah pula, sehingga beban jantung untuk
memompa darah juga bertambah. Sering kali kenaikan volume darah dan
beban badan pada tubuh yang bertambah berhubungan dengan
hipertensi, karena semakin besar bebannya, semakin berat juga kerja
jantung dalam memompah darah keseluruh tubuh. Kemungkinan lain
adalah dari faktor produksi insulin, yakni suatu hormon yang di produksi
oleh pankreas untuk mengatur kadar gula darah. Jika berat badan
bertambah, terdapat kecendrungan pengeluaran insulin yang bertambah.
Semakin banyak cairan termasuk darah yang ditahan, tekanan darah akan
semakin tinggi. Untuk mengetahui seseorang itu memiliki berat badan
berlebih atau tidak, yaitu dengan cara menghitung BMI (body masa
index) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus :Berat Badan
(Kilogram) dibagi tinggi badan (meter)
BMI <18 : Kurang berat badan
BMI >18,1-25,0 : Normal
BMI >25,0-27,0 : Gemuk atau Kelebihan berat badan
13
BMI >27,0 : Sangat gemuk atau obesitas
(Situmorang, 2015).
c. Faktor Stres
Di dalam dinding jantung dan beberapa pembuludarah terdapat
suatu reseptor yang selalu memantau perubahan tekanan darah dalam
arteri maupun vena. Jika mendeteksi perubahan , reseptor ini akan
mengirim sinyal ke otak agar tekanan darah kembali normal. Otak
menanggapi sinyal tersebut dengan dilepaskannya hormon dan enzim
yang mempengaruhi kerja jantung, pembuluh darah, dan ginjal.
Apabila stres terjadi , yang terlepas adalah hormon epinefrin atau
adrenalin. Aktivitas ini meningkatkan tekanan darah secara berkala. Jika
stres berkepanjangan, peningkatan tekanan darah menjadi permanen
(Marliani & Tantan, 2007).
d. Faktor Rokok
Health (2005, dalam Situmorang 2015) merokok dapat
mempermudah terjadinya penyakit jantung. Dan tekanan darah. Hal ini
disebabkan pengaruh nikotin dalam peredaran darah. Kerusakan
pembulu darah juga diakibatkan oleh pengendapan kolesterolm pada
pembulu darah, sehingga jantung bekeja lebih cepat.
e. Faktor Pola Makan Yang Salah
Health (2005, dalam Situmorang 2015)makanan yang diawetkan
dan konsumsi garam dapur serta bumbu penyedap dalam jumlah tinggi
seperti monosodium ghulamat (MSG), dapat menaikakan tekanan darah
14
karena mengandung natrium dalam jumlah yang berlebih, sehingga dapat
menahan air (retensi) sehingga meningkatkan jumlah volume darah,
akibatnya jantung harus bekerja lebih keras untuk memompanya dan
tekanan darah menjadi naik, selain itu natrium yang berlebihan akan
menggumpal pada dinding pembulu darah, dan natrium akan terkelupas
sehingga akibatnya menyumbat pembulu darah.
f. Lingkungan Dan Faktor Goegrafi
Faktor lingkungan dan geografi dapat mempengaruhi
kemungkinan tinggi rendahnya tekanan darah seseorang. Sebagai contoh,
orang yang hidup di pinggir pantai yang setiap hari minum air tanah
setempat kemungkinan menderita lebih besar karena ia cenderung
mengonsumsi kadar garam tinggi dari air yang diminumnya. (Permadi,
2011).
2.1.6 Pencegahan
Menurut Soenanto (2009), yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan
hipertensi adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan gaya hidup sehat, mengurangi atau membatasi makanan
yang mengandung lemak kolesterol tinggi, makanan berminyak, santan,
gorengan –gorengan. Mengonsumsi makanan berserat tinggi, seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran.
2. Ciptakan suasana damai, santai, rileks didalam hati, pikiran dalam setiap
keadaan dan tindakan.
15
3. Mengendalikan stres, emosi, ketegangan saraf, ketergesa-gesahan dalam
berpikir dan bertindak.
4. Menghindari produk tembakau (rokok dan alkohol).
5. Rajin melakukan olahraga secara teratur, sesuai dengan kemampuan
tubuh, meningkatkan aktivitas fisik.
6. Diet rendah garam.
7. Menurunkan berat badan bila kegemukan.
2.1.7 Pengobatan/Penatalaksanaan
1. Menurut Dalimarta, Purnama, & Sutarnia (2008 : 28-29) menjelaskan
secara garis besar pengobatan hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu
pengobatan non-obat (non-farmakologis) dan pengobatan dengan obat
medis.
Pengobatan non-farmakologis (non-obat)
a. Mengatasi obesitas atau menurunkan kelebihan berat badan.
b. Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh. Cara pengobatan itu akan
lebih baik jika digunakan sebagai pelengkap pada pengobatan
farmakologis.
c. Ciptakan keadaan rileks. Berbagai cara rileks, seperti meditasi, yoga, atau
hipnosis dapat dilakukan untuk mengotrol sistem syaraf yang akhirnya
dapat menurunkan tekanan darah.
d. Melakukan olahraga, seperti aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 3-4 kali seminggu.
2. Pengobatan Fakarmakologis (obat medis)
16
Pengobatan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip sebagai berikut.
a. Pengobatan hipertensi sekunder yang lebih mendahulukan pengobatan
penyebab hipertensi
b. Pengobatan hipertensi esensial ditunjukan untuk menurunkan tekanan
darah dan mengurangu timbulnya komplikasi
c. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
anti-hipertensi
d. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
kemungkinan seumur hidup.
2.1.8 Komplikasi
Permadi (2011) mengemukakan beberapa komplikasi yang disebabkan
oleh penyakit hipertensi antara lain:
a. Asam Urat
Kelebihan asam urat dalam darah menyebabkan perkristalan pada
persendian dan pembulu kapiler darah. Akibatnya, jika persendian digerakkan
terjadi gesekan kristal-kristal yang menimbulkan rasa nyeri. Jika bergerak,
kristal-kristal asam urat tertekan kedinding pembulu darah kapiler sehingga
ujung kristal yang runcing menusuk dinding pembuluh darah kapiler.
Akibatnya, timbul rasa nyeri. Kondisi ini diduga menghambat sirkulasi darah
yang mengakibatkan tekanan darah meningkat(Hipertensi). Penumpukan
kristal asam urat yang kronis menyebabkan persendian tidak dapat di
gerakkan (Permadi, 2011).
17
b. Stroke
Tekanan darah tinggi menekan dinding-dinding pembuluh darah
disemua jaringan tubuh, tidak terkecuali pembulu darah di otak yang sangat
halus dan rumit. Kondisi ini diperburuk oleh perapuhan pembuludarah yang
terjadi secara alamiah seiring bertambahnya umur seseorang. Jika terjadi
pecahnya pembulu darah di otak maka otak akan kekurangan oksigen.
Terganggunya suplai oksigen ke otak dikenal dengan nama stroke. Yang perlu
diketahui, jika otak tidak mendapat oksigen dalam waktu beberapa menit
maka bisa menimbulkan kematian.
Jadi, wajar jika risiko stroke meningkat 3-4 kali lipat pada penderita
hipertensi dibanding dengan orang yang tidak menderita hipertensi. Risiko ini
semakin besar pada penderita hipertensi yang merokok dan kolestrol tinggi.
Untuk pencegahan stroke , jaga agar tekanan darah selalu normal. Jika
serangan stroke sudah terjadi maka penanganan diarahkan ke perawatan
pascastroke. Jagalah tensi darah senormal mungkin (Permadi, 2011).
c. Jantung
Penyakit jantung berhubungan erat dengan penyakit hipertensi.
Tekanan darah yang tinggi menambah beban jantung dalam memompa darah
keseluruh tubuh. Dalam jangka panjang dan pada satu titiktertentu, keadaan
ini mengakibatkan kerusakan organ „jantung, bahkan kematian. Beberapa
kelainan jantung yang sudah dikenal, di antaranya jantung koroner, kejang
jantung, dan jantung berdebar (Permadi, 2011).
18
d. Kolestrol Meningkat
Jika lemak jahat (kolestrol) dalam tubuh jumlahnya berlebih akan
menimbulkan sumbatan-sumbatan pada saluran darah. Kondisi ini
menyebabkan terganggunya aliran darah, akibatnya tekanan darah meningkat
(hipertensi). Penyakit lain yang ditimbulkan adalah serangan jantung dan
stroke (Permadi, 2011).
e. Mimisan
Mimisan ditandai dengan sering keluar darah dari lubang hidung.
Penyakit ini terjadi karena adanya kelemahan pembuluh darah (terutama di
hidung) yang dialami si penderita. Dalam kondisi tersebut, pembuludarah
tidak lagi kuat menahan tekanan darah dari dalam sehingga darah keluar.
Pada penderita hipertensi, dengan tingginya tekanan darah maka besar
kemungkinan terjadinya mimisan (Permadi, 2011)
2.2 Teori Kepatuhan
2.2.1 Definisi Kepatuhan .
Prijadarminto (2003, dalam Nugroho.P, 2015 : 25) mengemukakan
kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari
serangkaian perilaku yang menunjukkan nilainilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan,
keteraturan dan ketertiban. Sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau
sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan mebebani
dirinya bila mana ia tidak dapat berbuat sebagaimana lazimnya. Menurut Bastable
(2002) kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat
diobservasi dan dengan begitu dapat langsung diukur.
19
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
a. Tingkat Pendidikan
Menurut Notoatmodjo (2010, dalam Rasajati, Raharjo & Ningrum,
2015 : 19) perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada
pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pemebelajaran. Kepatuhan
pengobatan hipertensi bisa disebabkan karena faktor lain selain tingkat
pendidikan, dapat pula disebabkan karena perbedaan pekerjaan/ kesibukan
sehingga penderita hipertensi tiak punya waktu untuk berobat kepuskesmas
b. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap pengobatannya. Tingginya
tingkat pengetahuan akan menunjukan bahwa seseorang telah mengetahui,
mengerti dan memahami maksud dari pengobatan yang mer eka janlani
(Pratama & Ariastuti 2015 : 8).
c. Motivasi
Motivasi merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan
ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya, dalam hal ini adalah
kesembuhan dari hipertensi. Tingginya motivasi seseorang menunjukan
tingginya kebutuhan maupun dorongan responden untuk mencapai sebuah
tujuan (Pratama & Ariastuti 2015 : 8).
20
d. Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan sangat dibutuhkan oleh penderita
hipertensi. Karena dari petugas kesehatanlah sebagian besar informasi
mengenai penyakit dan pengobatan diperoleh. Dukungan petugas kesehatan
selain berupa pemberian informasi, juga berupa pelayanan yang baik dan
sikap selama proses pelayanan (Pratama & Ariastuti 2015 : 8). Adanya
dukungan petugas kesehatan berupa edukasi dapat menambah pengetahuan
penderita hipertensi mengenai penyakit yang dideritanya seperti pentingnya
melakukan pengobatan secara rutin untuk menghindari terjadinya komplikasi.
Hal ini juga dapat dijadikan sebagai motivasi bagi penderita hipertensi untuk
lebih memperhatikan kesehatannya. Dengan adanya sikap dan dukungan
yang baik dari petugas kesehatan, penderita hipertensi diharapkan mampu
meningkatkan kepatuhannya untuk berobat(Annisa, Wahiduddin & Ansar
2014 : 6-7)
e. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang
yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan
jika diperlukan. Ada beberapa jenis dukungan yang dapat diberikan oleh
keluarga antaralain: dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dan dukungan emosional (Pratama & Ariastuti 2015 : 9). Satria
(2008, dalam Lestari 2011 : 4) menejelaskan dukungan informasional
mencakup pemberian nasihat-nasihat, petunjuk, saran, atau umpan balik.
21
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
sehingga responden merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. Dukungan
emosional diberikan dalam bentuk memahami, perhatian dan simpati pada
kesulitan seseorang. Keluarga atau teman dapat memberikan dukungan
informatif dengan memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan untuk
menghadapi masalah.
f. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan
Keterjangkauan pelayanan kesehatan adalah mudah atau sulitnya
seseorang untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan. Keterjangkauan yang
dimaksudkan adalah dari segi jarak, waktu tempuh dan kemudahan
transportasi untuk mencapai pelayanan kesehatan. (Annisa, Wahiduddin &
Ansar 2014 : 6). Jarak rumah yang dekat dengan pelayanan kesehatan
membuat responden lebih mudah untuk berobat sehingga lebih rutin minum
obat sesuai dengan anjuran dokter (Rasajati, Raharjo & Ningrum, 2015 : 21).
2.2.3 Jenis-jenis Kepatuhan
Menurut Cramer (2011) dalam Elen Konis (2012 : 13-14) kepatuhan
dapat dibedakan menjadi:
a. Kepatuhan penuh (total complience)
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara terartur sesuai
batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara
teratur sesuai petunjuk.
22
b. Penderita sama sekali tidak patuh (non complience)
Penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama
sekali.
2.3 Teori Ketidakpatuhan
2.3.1 Definisi Ketidakpatuhan
Menurut Becker & Green (1975, dalam Bastable, 2002)
Ketidakpatuhan menggambarkan penolakan seseorang untuk mengikuti program
yang telah ditentukan. Literatur penuh dengan penelitian yang memperlihatkan
tingginya tingkat ketidakpatuhan pasien. Yang diperkirakan sebesar 30% sampai
50%. Ketidakpatuhan merupakan penyebab kegagalan terapi, hal ini berdampak
pada memburuknya keadaan pasien karena akan terjadinya komplikasi dan
kerusakan pada organ tubuh (Pujasari, et al., 2015 : 100).
2.3.2 Faktor yang berhubungan
Becker & Green (1975, dalam Pujasari, et al., 2015) membagi faktor
ketidak patuhan menjadi 2 yaitu: Faktor Internal (predispoising factor) meliputi
faktor pasien, Faktor kondisi, penyakit dan faktor terapi.
Faktor Eksternal (enabling factor dan reinforcing factor) meliputi faktor
sistem pelayanan dan faktor sosial ekonomi.
2.4 Konsep Demografi
2.4.1 Definisi Demografi
Kependudukan atau demografi bersal dari Bahasa Yunani, demos yang
berarti rakyat dan grafein yang berarti menulis, demografi adalah tulisan-tulisan
tentang rakyat atau penduduk. Demografi mempelajari struktur dan proses
23
penduduk di suatu wilayah. Struktur penduduk meliputi jumlah, persebaran dan
komposisi penduduk. Struktur ini berubah-ubah yang disebabkan oleh proses
demografi yaitu kelahiran, kematian dan imigrasi. Ketiga faktor ini disebut
dengan komponen pertumbuhan penduduk. Selain ketiga faktor tersebut struktur
penduduk ditentukan juga oleh faktor yang lain misal perkawinan, perceraian.
Perubahan struktur yaitu perubahan dalam jumlah maupun komposisi akan
memberikan pengaruh sosial, ekonomi, dan politis terhadap penduduk yang
tinggal disuatu wilayah (Faqih, 2010 : 3).
2.4.2 Komposisi penduduk demografi
a. Usia
Mubarak, (2006, dalam Sari & Utami, 2009) Mengemukakan umur
individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.
Menurut Adioetomo (2010 : 22, dalam Yunikasari, 2015 : 32) terdapat
kesepakatan dalam studi demografi bahwa umur seseorang dihitung menurut
ulang tahunnya terakhir. Misalnya, jika seseorang anak berumur 5 tahun 3
bulan maka dalam studi demografi umurnya adalah 5 tahun. Struktur umur
penduduk yang dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu 1) Penduduk
usia muda, yaitu penduduk usia di bawah 15 tahun atau kelompok umur 0-14
tahun 2) Penduduk usia produktif, yaitu penduduk umur 15-59 tahun; 3)
Penduduk usia lanjut, yaitu penduduk umur 60 tahun ke atas.
Dalam penelitiannya Fitriana, R & Harysko. (2014)
mengemukakan bahwa seseorang yang berusia dewasa muda itu lebih patuh
dalam menjalani pengobatan dibandingkan dengan yang berusia dewasa
24
akhir. Ini dikarenakan dewasa muda lebih mempunyai keinginan yang tinggi
untuk hidup sehat.
b. Jenis Kelamin
Menurut Hunggu (2007, dalam Purnomo, 2014) jenis kelamin (seks)
adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak
seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan,
dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan
menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil
dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan
perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap
dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada dimuka bumi.
Hasil penelitian dari Parmono & Nurhidayati (2017) menyatakan
jenis kelamin perempuan lebih banyak patuh menjalankan pengobatan
hipertensi pada usia dewasa dan lansia, hal ini disebabkan karena laki-laki
cendrung kurang peduli dengan status kesehatannya. Hal ini dapat dilihat
masih ada penderita hipertensi jenis kelamin laki-laki yang merokok, tidak
mengatus istirahat dan tidurnya.
c. Tingkat Pendidikan
Suliha, (2002, dalam Sari & Utami, 2009) mengemukakan pendidikan
adalah upaya yang memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan
prilaku positif yang meningkat. Wirosuhardjo (2007 : 21, dalam Yunikasari,
2015 : 33) mengemukakan penduduk menurut tingkat pendidikan, tercemin
pada a). kepandaian membaca dan menulis (Literacy) Penduduk dikatakan
25
dapat membaca dan menulis jika mereka dapat membaca dan menilis atau
kalimat sederhana; membaca dan menulis huruf Braile; orang cacat yang
pernah bisa membaca dan menulis. Sedangkan mereka tergolong buta aksara
jika mereka tidak bisa membaca dan menulis atau bisa membaca tetapi tidak
bisa menulis. b) Tingkat pendidikan yang ditamatkan yaitu seseorang yang
meninggalkan sekolah setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi sampai
akhir dengan mendapat tanda tamat/ijasah, baik dari sekolah negeri maupun
swasta (Wirosuhardjo, 2007 : 21).
Dalam penelitiannya Fitriana, R & Harysko. (2014) juga dijelaskan
bahwa responden yang pendidikannya tinggi lebih patuh menjalani
pengobatan dibandingkan dengan responden yang berpendidikan rendah.
Dikarenakan responden yang berpendidikan tinggi memiliki pengetahuan
yang tinggi bagaimana menjaga kesehatannya.
d. Tingkat Ekonomi
Dalam kehidupan masyarakat proses terjadinya pelapisan sosial atau
penggolongan status sosial dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja
disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Penggolongan tingkat ekonomi
keluarga berbeda antara satu dengan yang lain dalam masyarakat. Menurut
pendapat seorang ahli bahwa “golongan sosial ekonomi dapat dibagi menjadi
tiga tingkatan yaitu tinggi, menengah atau sedang dan rendah. Dengan adanya
tingkatan ekonomi masyarakat itulah, maka sangat mempengaruhi gaya hidup,
tingkah laku, sikap mental seseorang di masyarakat (Zuhri, 2010). Parmono &
Nuridayati (2017) Menyatakan bahwa penderita hipertensi dengan pendapatan
26
lebih dari UMR berpeluang patuh 3,680 kali dibandingkan penderita
hipertensi dengan pendapatan kurang dari UMR.
2.5 Motivasi
2.5.1 Pengertian Motivasi
Dalam pengertian umum, motivas dikatakan sebagai kebutuhan yang
mendorong suatu perbuatan kearah suatu tujuan tertentu. Motivasi diartikan
sebagai kebutuhan psikologis yang telah memiliki corak atau arah yang ada dalam
diri individu yang harus dipenuhi agar kehidupan kejiwaannya terpelihara, yaitu
senantiasa berada dalam keadaan seimbang yang nyaman (homeostatis, equelibrium).
Kebutuhan ini berupa kekuatan dasar yang selanjutnya berubah menjadi suatu
vektor yang disebut motivasi, karena memiiki kekuatan sekaligus arah. Arah yang
menggambarkan bahwa manusia tidak hanya memiliki kebutuhan melainkan
keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya. (Tawale,
Budi, & Nurcholis, 2011) sedangkan menurut Weiner (1990, dalam Nursalam &
Efendi, 2008) yang dikutip Elliot et al (2000, dalam Nursalam & Efendi, 2008)
mengemukakan bahwa motifasi didefinisikan sebagai kondisi internal yang
membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita menuju tujuan tertentu,
dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu. Menurut Uno (2007,
dalam Nursalam & Efendi, 2008) Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan
internal dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan dengan (1) adanya
hasrat dan minat untuk melakukan kegiatan, (2) adanya dorongan dan kebutuhan
untuk melakukan kegiatan, (3) adanya harapan dan cita-cita, (4) penghargaan dan
27
penghormatan atas diri, (5) adanya lingkungan yang baik , dan (6) adanya kegiatan
yang menarik. Motivasi adalah tentang apa yang membuat seseorang bertindak.
Sargent, dikutip oleh Howard (1999, dalam Nursalam & Efendi, 2008)
2.5.2 Teori Motivasi
Menurut Swansburg (2001 dalam Nursalam & Efendi, 2008) dari
beberapa motivasi mengklasifikasikan motivasi dalam teori-teori isi dan teori-
teori proses.
2.5.2.1 Teori isi motivasi
Teori isi motivasi berfokus pada faktor-faktor atau kebutuhan dalam diri
seseorang untuk menimbulkan semangat, mengarahkan, mempertahankan, dan
menghentikan prilaku.
1. Teori motivasi Kebutuhan (Abraham A. Maslow)
Maslow menyusun suatu teori tentang kebutuhan manusia secara
hierarkial, yang sebenarnya terdiri dari dua kelompok, yakni kelompok
defisiensi dan kelompok pengembangan. Termasuk di dalam kelompok
defisiensi, secara hirarkis adalah fisiologis, rasa aman, kasih sayang dan
penerimaan, dan kebutuhan akan harga diri. Kelompok pengembang
mencakup kebutuhan aktulisasi diri Ahmadi & Supriyono (1991 dalam
Nursalam & Efendi, 2008).
Mangkunegara (2005 dalam Nursalam & Efendi, 2008)
menjabarkan hierarki Maslow sebagai berikut:
28
a. Kebutuhan fisologis, yaitu kebutuhn akan pemenuhan unsur biologis,
kebutuhan makan, minum, bernafas, seksual dan lain sebagainya.
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
b. Kebutuhan akan rasa aman, yaitu kebutuhan dari ancaman, dan bahaya
lingkungan.
c. Kebutuhan akan kasih sayang dan cinta, yaitu kebutuhan untuk
diterima dlam kelompok , berafiliasi, berinteraksi, mencintai dan
dicintai.
d. Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan
dihargai.
e. Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk menggunakan
kemampuan, skill dan potensi, berpendapat dengan mengemukakan
penilaian dan kritik terhadap sesuatu.
2. Teori ERG (Alderfer’s ERG theory)
Teori ERG (Existence, Relatedness and Growth), dikembangkan
oleh Clayton Alderfer. Menurut teori ini, komponen existence adalah
mempertahankan kebutuhan dasar dan pokok manusia. Merupakan
kebutuhansetiap manusia untuk mempertahankan eksistensinya secara
terhormat. Hampir sama dengan teori maslow, kebutuhan dasar manusia
itu selain kebutuhan fisiologis, termasuk di dalam komponen “existence”,
juga kebutuhan akan keamanan. Relatedness tercermin dari sifat manusia
sebagai insan sosial yang ingin berafiliasi, harga diri dan penerimaan oleh
lingkungan sosial. Growth lebuh menekankan kepada keinginan seseorang
29
untuk tumbuh dan berkembang, mengalami kemajuan dalam kehidupan,
pekerjaan dan kemampuan, serta mengaktualisasikan diri Siagian(2004
dalam Nursalam & Efendi, 2008).
3. Teori Motivasi dua faktor (Frederick Herzberg’s Two Factors theory)
Herzberg, seorang psikolog yang berusaha mengembangkan
kebenaran teorinya melakukan penelitian kepada sejumlah pekerja untuk
menemukan jawaban dari, “Apa yang ebenarnya diinginkan seseorang dari
pekerjaannya?” Timbulny keinginan Herzberg untuk meneliti adalah karena
adanya keyakinan bahwa terdapat hubungan yang mendasar antara
seseorang dengan pekerjaanya dan karena itu sikap seseorang terhadap
pekerjaanya akan sangat mungkin menentukan tingkat keberhasilan dan
kegagalannya Siagian(2004 dalam Nursalam & Efendi, 2008).
4. Teori Motivasi Berprestasi (n-ach, oleh David McClelland)
Seseorang mempunyai motivasi untuk bekerja karena adanya
kebutuhan untuk berprestasi. Motivasi merupakan fungsi dari tiga
variabel, yaitu (1) harapan untuk melakukan tugas dengan berhasil, (2)
persepsi tentang nilai tugas, dan (3) kebutuhan untuk sukses.
Kebutuhan berprestasi ini bersifat intrinsik dan relatif stabil.
Orang dengan n-ach yang tinggi dicirikan dengan keinginan untuk
menyelesaikan tugas dan meningkatkan penampilan mereka, menyukai
tantangan, dimana hasil kerja mereka akan dibandingkan dengan prestasi
orang lain.
30
Mereka dengan n-ach tinggi menyukai tantangan yang sedang,
realistis dan tidak untung-untungan. Mereka menyukai pekerjaan yang
mudah dan juga pekerjaan yang mereka yakini sangat sulit untuk
diselesaikan dengan baik. Keberhasilan mengerjakan tugas menjadi
aspirasi mereka untuk mengerjakan tantangan yang lebih sulit. Hal ini
berkebalikan pada orang dengan n-ach yang rendah. Tugas yang sangat
mudah akan mereka kerjakan, karena yakin benar tugas tersebut dapat
diselesaikan dengan baik . sebaliknya tugas yang sangat sulit yang gagal
dikerjakan tidak membawa arti apapun, karena sejak semula sudah
diketahui bahwa tugas tersebut akan gagal dikerjakan.
2.5.2.2 Teori Peroses Motivasi
1. Teori penguatan (Skinner‟s Reinforcement theory)
Skinner mengemukakan suatu teori proses motivasi yang disebut
operant conditing. Pembelajaran timbul sebagai akibat dari perilaku, yang juga
disebut modifikasi perilaku. Perilaku merupakan operant, yang dapat
dikendalikan dan diubah melalui penghargaan dan hukuman. Perilaku
positif yang diinginkan harus dihargai atau diperkuat, karena penguatan
akan memberikan motivasi, meningkatkan kekuatan dari suatu respons atau
menyebabkan pengulangannya.
2. Teori Penghargaan (Victor H. Vroom’s Expectancy theory)
Teori harapan dikembangkan oleh Vroom yang diperluas oleh
Porter dan Lawler. Intinya dari teori harapan terletak pada pendapatan
yang mengemukakan bahwa kuatnya kecendrungan seseorang bertindak
31
bergantung pada harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu
hasil tertentu dan terdapat daya tarik pada hasil tersebut bagi orang yang
bersangkutan. Siagian(2004 dalam Nursalam & Efendi, 2008)
3. Teori Keadilan (Adam‟s Equity theory)
Teori keadilan yang dikembangkan oleh Adam, didasarkan pada
asumsi puas atau tidaknya seseorang terhadap apa yang dikerjakan
merupakan hasil dari membandingkan antara input usaha, pengalaman,
skill, pendidikan dan jam kerjanya dengan outcome atau hasil yang
didapatkan dari pekerjaan tersebut. Mangkunegara (2005 dalam Nursalam
& Efendi, 2008).
4. Teori Penetapan Tujuan (Edwin Locke’s theory)
Dalam teori ini , Edwin Locke mengemukakan kesimpulan bahwa
penetapan suatu tujuan tidak hanya berpengaruh terhadap pekerjaan sata,
tetapi juga mempengaruhi orang tersebut untuk mencari cara yang efektif
untuk mengerjakannya. Mangkunegara (2005 dalam Nursalam & Efendi,
2008). Kejelasan tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang dalam
melaksanakan tugasnya akan menumbuhkan motivasi yang tinggi, tujuan
yang sukar sekalipun apanila ditetapkan sendiri oleh orang yang
bersangkutan ataupun ditentukan oleh organisasi yang membawahinya
tetapi dapat diterima sebagai tujuan yang pantas dan layak dicapai, akan
menyebabkan prestasu yang meningkat. Siagian (2004 dalam Nursalam &
Efendi, 2008).
32
2.5.3 Macam Motivasi
Movasi seseorang dapat timbul dan tumbuh berkembang melalui dari dalam diri
sendiri (intrinsik), dan datang dari lingkungan atau ekstrinsik Eliot et al (2000
dalam Nursalam & Efendi, 2008). Motivasi intrinsik bermakna keinginan dari diri
sendiri untuk bertindak tanpa adanya rangsangan dari luar Eliot (2000, dalam
Nursalam & Efendi, 2008). Motivasi intrinsik akan lebih menguntungkan dan
memberikan keajegan dalam belajar. Motivasi ekstrinsik dijabarkan sebagai
motivasi yang datang dari luar individu yang tidak dapat dikendalikan oleh
individu tersebut Sue Howard (1999 dalam Nursalam & Efendi, 2008) Eliot at al
(2000 dalam Nursalam & Efendi, 2008) mencontohkan dengan nilai, hadiah dan
atau penghargaan yang digunakan untuk merangsang motivasi seseorang.
2.6 Perbedaan Tingkat Kepatuhan dalam Pengobatan Hipertensi
Berdasarkan Data Demografi
Susan (2002, dalam Rostanti, Bawotong, & Onibala, 2016 : 2)
mengemukakan kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan
ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan memiliki
nada yang cenderung menipulatif atau otoriter dimana perawatan kesehatan atau
pendidik dianggap sebagai tokoh yang berwenang dan konsumen dianggap
bersikap patuh. Ketidakpatuhan merupakan penyebab utama kegagalan dalam
pengobatan hipertensi. Tujuan yang paling penting untuk mengontrol hipertensi
adalah kepatuhan harian dan kepatuhan jangka panjang untuk pengobatan.
(Khanam, et al., 2014 : 2).
33
WHO (2012 dalam Rasajati, Raharjo, & Ningrum, 2015 : 17)
mengemukakan Secara global, prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia
25 tahun dan lebih adalah sekitar 40% pada tahun 2008. Di seluruh dunia,
hipertensi diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar 12,8% dari total
seluruh kematian. Sedangkan Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan
pengukuran tekanan darah pada orang usia 18 tahun ke atas di sejumlah daerah
telah mencapai 31,7% dari total penduduk.
Dalam penelitian Suciati, (2013 : 22-23) menjelaskan bahwa demografi
dalam kepatuhan berupa umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Jenis
kelamin dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan berobat seorang pasien.
Perempuan lebih taat berobat dari pada laki-laki. Dan tinggi rendahnya
pendidikan menentukan patuh tidaknya seseorang terhadap pengobatan. Makin
tinggi pendidikan seseorang makin teratur berobatnya. Hal ini didukung oleh
penelitian Parmono & Nurhidayati (2017) yang menyatakan bahwa jenis kelamin
perempuan lebih patuh dalam menjalankan pengobatan dibanding laki-laki.
Notoatmodjo (2010), dalam Purmono & Nurhidayati (2017) menjelaskan
perempuan lebih sering berobat daripada laki-laki. Jenis kelamin dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap ancaman dan keseriusan penyakit.
Perempuan banyak mempersepsikan hipertensi sebagai penyakit yang
mengancam, dapat menyebabkan stroke dan penyakit jantung sehingga
mengancam kesehatan.
Menurut penelitian Fitrina & Harysko (2014) mengatakan bahwa usia
dewasa muda lebih patuh dalam menjalani pengobatan dibandingkan dengan usia
34
dewasa akhir. Ini dikarenakan usia dewasa muda lebih mempuyai keinginan
untuk hidup yang lebih sehat. Dan usia dewasa muda lebih memiliki hapan hidup
yang tinggi.
Hasil penelitian Ekarini (2012) bahwa dari 28 orang (37,3%) responden
yang berpendidikan tinggi ada sebanyak 82% responden patuh menjalanin
pengobtan dan 18% tidak patuh, 27 orang (36,0%) rsponden yang berpendidikan
menengah ada sebanyak 93% patuh dalam pengobatan dan 7% responden tidak
patuh, namun sebaliknya dari 20 orang (26,7%) responden yang berpendidikan
rendah hampir sama jumlahnya antara yang patuh maupun yang tidak patuh yaitu
sebanyak 55% responden patuh menjalani pengobatan sedangkan sisanya 45%
respondn tidak patuh. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi kepatuhan klien hipertensi dalam menjalani
pengobatan.meskipun belum tentu responden denagna pendidikan tinggi
mempunyai kepatuhan tinggi dalam menjalani pengobatan, akan tetapi dapat juga
responden dengan pendidikan rendah mempunyai kepatuhan yang tinggi dalam
pengobatan. Hal ini dapat terjadi memgingat bahwa individu adalah sosok yang
unik yang memiliki beranekaragam kepribadian, sifat, budaya maupun
kepercayaan.
Kepatuhan pengobatan hipertensi pada lansia di Desa Cukil Wilayah
kerja Puskesmas Tengaran Kabupaten Semarang dengan pendapatan lebih dari
UMR (65,2%) lebih besar proposinya dibandingkan dengan kelompok usia
dewasa (57,6%). Hasil analisis p value 0,000 yang berarti ada hubungan antara
sosial ekonomi dengan kepatuhan pengobatan hipertensi. Hasil anlisis diperoleh
35
nilai OR = 3,680, artinya penderita hipertensi dengan pendapatan lebih dari
UMR berpeluang patuh 3,680 kali dibandingkan penderita hipertensi dengan
pendapatan kurang dari UMR (Parmono & Nuridayati, 2017). Hal tersebut
didukung oleh pernayataan dari WHO (2001), dalam Parmono & Nuridayati
(2017) yaitu peningkatan prevalensi penderita hipertensi di negara berkembang
berkaitan dengan peningkatan status sosial ekonomi yang membaik, dan menurut
Suparyanto (2010), dalam Parmono & Nuridayati (2017) menjelaskan salah satu
faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah kemampuan finansial dalam
memenuhi kebutuhan. Motivasi adalah suatu set atau kumpulan perilaku yang
memberikan landasan bagi seseorang untuk bertindak dalam suatu cara yang
diarahkan kepada tujuan spesifik tertentu. Motivasi muncul dalam dua bentuk
dasar, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik Soeroso(2003 dalam
Mubin, Samiasih & Hermawati, 2010).