Upload
vanminh
View
242
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.1. Landasan Teoritis
Pada bab ini akan diuraikan landasan teroritis yang berhubungan dengan
topik penelitian berdasarkan pada teori-teori dan bukti-bukti empiris penelitian
sebelumnya.
2.1.1. Kinerja Individual
Kinerja karyawan bisa diartikan sebagai tindakan sejauh mana para
karyawan melaksanakan tanggungjawab dan tugas kerja mereka (Dubisky dkk,
1992). Babin dan Boles (1998) serta Singh (1998) mendifinisikan kinerja
karyawan sebagai tingkat produktivitas karyawan dibandingkan rekan kerjanya
atas indikator-indikator perilaku kerja dan hasil pekerjaan. Di dalam literatur
stress, kinerja karyawan justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat stress
yang rendah, karena mereka merasa tidak tertantang untuk mencapai kinerja yang
lebih tinggi. Teori peran menegaskan bahwa stress akan mengurangi kinerja
karena stress dapat merusak perilaku seseorang (Keaveney dan Nelson, 1993).
Kinerja merupakan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam
suatu organisasi. Kinerja merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja
personil, tidak terbatas pada personil yang memangku jabatan fungsional atau
struktural, tetapi juga pada keseluruhan jajaran personil dalam organisasi.
Penilaian kinerja adalah suatu proses menilai hasil karya personil dalam suatu
organisasi melalui instrumen kinerja dan pada hakikatnya merupakan suatu
evaluasi terhadap penampilan kinerja personil dengan membandingkan pada
standar baku penampilan (Dwilita, 2008).
Kinerja karyawan dapat diukur dari beberapa indikator. Dalam penelitian
sebelumnya digunakan indikator kuantitas pekerjaan yaitu jumlah pekerjaan yang
dihasilkan oleh seorang karyawan di dalam kurun waktu tertentu berdasarkan
standar kerja yang telah ditetapkan perusahaan dan indikator kualitas yaitu
ketelitian, kerapian dan kesesuaian hasil pekerjaan karyawan dalam kurun waktu
tertentu dengan standar yang ditetapkan perusahaan serta indikator ketepatan
waktu dalam menyelesaikan tugas yang menjadi tanggungjawabnya berdasarkan
standar yang ditetapkan perusahaan. Babin dan Boles (1998) menyatakan
indikator-indikator kinerja meliputi produktivitas, kemampuan, potensi kerja,
kemampuan di dalam mengelola waktu, hubungan dengan pelanggan,
pengetahuan karyawan akan produknya dan produk pesaing serta pengetahuan
karyawan akan perusahaannya sendiri yang di dasarkan atas penilaian karyawan
bersangkutan di bandingkan dengan rekan kerjanya. Singh (1993) menyatakan
bahwa pengukuran kinerja berdasarkan penilaian karyawan sendiri (pengukuran
subjektif) sama handalnya dengan penilaian objektif.
Penilaian kinerja karyawan memiliki tujuan yang tidak hanya bermanfaat
bagi institusi tempat karyawan bekerja tetapi juga karyawan itu sendiri.
Furtwengler (2000) mengatakan bahwa tujuan penilaian kinerja karyawan untuk
memudahkan proses pemberian imbalan dan hukuman, mengidentifikasi
karyawan untuk promosi, mengidentifikasikan karyawan untuk mendapatkan
pilihan yang lebih tinggi dan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Jewel dan
March (1998) mengatakan bahwa penilaian kinerja karyawan merupakan sistem
pengendali sebagai umpan balik dan sebagai umpan maju. Penilaian kinerja
memberikan umpan balik yang penting kepada karyawan secara pribadi dalam hal
bagaimana karyawan dipandang. Proses penilaian kinerja karyawan juga
memberikan umpan balik pada pemilik perusahaan dalam hal penerimaan
karyawan, pemeriksaan, pemeliharaan dan pelatihan karyawan. Penilaian kinerja
karyawan sebagai mekanisme umpan maju memberikan informasi untuk membuat
keputusan mengenai pemberian penghargaan kepada karyawan (Dwilita, 2008).
Muchsin (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga variabel yang
mempengaruhi kinerja yaitu variabel individu yang berasal dari dalam diri,
variabel organisasi sebagai variabel lingkungan serta variabel psikologi sebagai
variabel internal dan lingkungan. Furtwengel (2000) menyatakan bahwa kinerja
dapat diukur dengan empat aspek kinerja yaitu aspek kecepatan, aspek kualitas,
aspek layanan dan aspeks nilai. Dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa
kinerja karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam diri karyawan serta
faktor-faktor dari luar perusahaan. (Dwilita, 2008).
Kinerja KAP yang berkualitas sangat ditentukan oleh kinerja auditor. Secara
ideal di dalam menjalankan profesinya, seorang auditor hendaknya
memperhatikan prinsip dasar good governance dalam KAP tersebut. Auditor juga
harus mentaati aturan etika profesi yang meliputi pengaturan tentang
independensi, integritas dan obyektivitas, standar umum dan prinsip akuntansi,
tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, serta
tanggung jawab dan praktik lainnya (Satyo, 2005). Satyo (2005) menyatakan
memahami kode etik saja tidak cukup untuk membuat perilaku karyawan dan
perusahaan menjadi lebih baik dan etis, perlu pemahaman good governance
diimplementasikan pada organisasi secara tepat, terutama untuk memperoleh
karakter organisasi yang kuat dalam menghasilkan manajemen kinerja yang
unggul.
Syafrina (2002) meneliti tentang pengaruh diskusi verbal dalam review
kertas kerja audit terhadap motivasi dan kinerja auditor. Anggraini (2002)
menganalisis pengaruh gender terhadap judgement penilaian kinerja auditor. Tjhai
(2002) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pemanfaatan teknologi
informasi terhadap kinerja akuntan publik. Basuki (2005) menganalisis faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan pengaruh
pemanfaatannya terhadap kinerja auditor pemerintah (BPKRI). Penelitian tersebut
menggunakan model penelitian yang telah dilakukan oleh Thompson dkk (1991),
untuk mengukur pengaruh dari faktor sosial, kompleksitas, kesesuaian tugas,
konsekuensi jangka panjang, dan kondisi yang memfasilitasi terhadap
pemanfaatan teknologi informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara faktor sosial dan kesesuaian tugas dengan
pemanfaatan teknologi informasi. Hasil penelitian ini berhasil mendukung TAM
(Technology Acceptance Model) yang menyatakan bahwa teknologi informasi
dapat mempengaruhi kinerja. Rizki (2007) mengemukakan pemanfatan teknologi
informasi akan meningkatkan kinerja auditor.
Hasil penelitian Widati (2008) menunjukkan bahwa faktor kesesuaian tugas-
teknologi berpengaruh terhadap auditor kantor akuntan publik yang ada di Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, hasil penelitian ini juga
membuktikan bahwa pemanfaatan teknologi informasi tidak berpengaruh positif
terhadap kinerja auditor kantor akuntan publik yang ada di Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbagai literatur menyatakan bahwa teknologi
informasi penting bagi organisasi, baik publik maupun privat karena dapat
meningkatkan kinerja organisasi dan merupakan salah satu alat potensial untuk
menciptakan daya saing. Menurut Goodhue dan Thompson (1995), penelitian
yang menganalisis hubungan antara sistem informasi dan kinerja dapat dibagi
menjadi dua aliran, yaitu penelitian yang berfokus pada kesesuaian tugas-
teknologi dan penelitian yang befokus pada pemanfaatan teknologi informasi.
Namun, berbagai penelitian yang telah dilakukan menghasilkan hasil yang tidak
konsisten.
Hanafi (2009) menunjukkan dengan analisis jalur (path analysis), penelitian
telah menujukkan hubungan dari ketiga variabel (kecerdasan spiritual, kecerdasan
emosional, dan kinerja) bahwa kecerdasan spiritual auditor berpengaruh positif
secara tidak langsung terhadap kinerja auditor melalui kecerdasan emosional
sebagai mediator. Muajiz (2009) menyimpulkan bahwa training, kecerdasan
emotional dan kecerdasan spritual berpengaruh terhadap kinerja auditor pada
Direktorat Jenderal Pajak. Yuliono (2010) menyimpulkan faktor program
reformasi birokrasi berpengaruh terhadap kinerja auditor.
2.1.2. Keinginan Berpindah
Konsep model turnover di dalam literatur psikologi pertama sekali
dikemukakan oleh Mobley (1977). Banyak penelitian mengkonsepkan turnover
sebagai respon psikologi dan meyakini bahwa turnover merupakan perilaku yang
dipilih individu. Pada level individual, kepuasan pada satu pekerjaan merupakan
studi yang paling sering untuk menentukan hubungan antara kepuasan kerja dan
turnover. Keinginan berpindah merupakan keinginan seseorang untuk mencari
pekerjaan lain dan meninggalkan pekerjaannya sekarang. Keinginan berpindah
masih tetap ada hubungannya dengan organisasi dan belum diwujudkan untuk
meninggalkan organisasi (Abelson, 1987). Variabel keinginan berpindah
merupakan faktor yang memprediksi tingkat turnover (Mynatt, 1997).
Cahyono (2008) mengemukakan bahwa turnover intention diindikasikan
sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan
hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud
dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi dan Indriantoro, 1999). Turnover
didefinisikan sebagai penarikan diri secara sukarela atau tidak sukarela dari suatu
organisasi (Robbins, 1996). Penarikan diri secara sukarela merupakan keputusan
untuk meninggalkan organisasi disebabkan oleh dua faktor yaitu seberapa menarik
pekerjaan yang ada saat ini serta tersedianya alternatif pekerjaan lain. Penarikan
diri tidak sukarela adalah keputusan pemberi pekerjaan untuk menghentikan
hubungan kerja dan bersifat tidak dikontrol karyawan yang mengalaminya.
Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku
berdasarkan hubungan timbal balik antara keyakinan, sikap dan intensi individu.
Keyakinan dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan pengetahuan,
pendapatan dan pandangan individu terhadap objek. Sikap dikategorikan sebagai
aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu obyek serta
evaluasi yang dilakukannya. Intensi seseorang untuk melakukan perilaku
didasarkan oleh sikap orang tersebt terhadap perilaku itu dan norma subyektif
tentang perilaku itu, norma subyektif terbentuk dari umpan balik yang diberikan
perilaku itu sendiri. Ancok (1985) mendifinisikan keinginan adalah niat seseorang
untuk melakukan perilaku tertentu. Niat tersebut berkaitan erat dengan
kepercayaan, sikap dan perilaku. Keinginan merupakan suatu prediktor tunggal
terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan, maka keinginan berpindah merupakan
prediktor terbaik terhadap gejala berpindah (Novliadi, 2007).
Jackofsky dan Peter (1983) memberikan batasan keinginan berpindah
sebagai perpindahan karyawan dari pekerjaannya sekarang. Cascio (1987)
mendefinisikan berpindah sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen
antara perusahaan dan pekerja. Scott (1977) menyatakan gejala turnover sebagai
perpindahan tenaga kerja dari dan ke sebuah perusahaan. Mobley (1986)
mengemukakan keinginan berpindah sebagai berhentinya individu dari anggota
organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang
bersangkutan. Robbins (1996) mengemukakan turnover menjadi dua macam
turnover yang sukarela dan tipe turnover yang dilakukan oleh organisasi. Mobley
(1986) menunjukkan adanya hubungan yang meyakinkan antara frekuensi berpikir
untuk beralih pekerjaan dengan perilaku turnover. Proses memasuki organisasi
adalah proses untuk menyesuaikan individu dan organisasi. Agar proses
penyesuaian ini efektif, individu dan organisasi harus terlibat secara aktif. Ketidak
efektifan penyesuaian ini akan mengakibatkan perilaku menarik diri individu dari
organisasi.
Berdasarkan persepsi auditor mengenai ketidakpastian lingkungan kerja,
penelitian-penelitian akuntansi membuktikan bahwa tingginya persepsi
ketidakpastian lingkungan berkorelasi dengan rendahnya kepuasan kerja,
rendahnya prestasi kerja, dan/atau tingginya niat ingin pindah (Ferris 1977;
Gregson, et al, 1994: Rebele dan Michaels, 1990). Walaupun ambiguitas peran,
konflik peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan bisa diidentifikasikan
sebagai konsep yang berbeda dan terpisah dan saling berhubungan positif satu
sama lain (Rebelle dan Michaels, 1990), namun ketiga konsep ini juga berbeda
tingkat korelasinya dengan hasil-hasil kerja.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Viator (2001) menemukan ambiguitas
peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan berkorelasi negatif dengan prestasi
kerja, hubungan negatif antara persepsi ketidakpastian lingkungan dengan prestasi
kerja tersebut berlaku untuk akuntan senior wanita dan manajer senior wanita.
Sedangkan konflik peran dengan prestasi kerja ditemukan korelasi negatif yang
hanya ditemukan dalam sub-kelompok manajer senior pria. Berkaitan dengan
pengaruh stres peran terhadap keinginan berpindah ditemukan korelasi positif
ambiguitas peran dan konflik peran dengan keinginan berpindah, untuk persepsi
ketidakpastian lingkungan dengan tidak ditemukan bukti statistiknya. Dalam
lingkungan kerja akuntan publik, konflik peran berhubungan dengan adanya dua
rangkaian tuntutan yang bertentangan. Tanpa pengetahuan tentang struktur audit
yang baku, staf akuntan mempunyai kecenderungan mengalami kesulitan dalam
menjalankan tugasnya. Kesulitan ini timbul sehubungan dengan beberapa faktor
yang terindentifikasi dalam studi Bamber, Snowball dan Tubbs (1989) seperti
koordinasi arus kerja, kecukupan wewenang, kecukupan komunikasi dan
kemampuan adaptasi.
Penelitian Warsito dan Lubis (2009) mengemukakan pengaruh komitmen
organisasional terhadap keinginan berpindah dengan kepuasan kerja sebagai
variabel intervening. Penelitian Nurhidayati dan Gunadi (2009) menyimpulkan
multimensional komitmen organisasional sebagai mediator dalam hubungan
kepuasan kerja dan keinginan berpindah. Akbar (2009) melakukan penelitian
mengenai adanya pengaruh langsung antara variabel-variabel yang terdapat pada
push effects, mooring effects dan pull effects terhadap keinginan dan perilaku
berpindah nasabah bank ritel di Jakarta. Variabel yang terdapat pada push effect
adalah kualitas, kepuasan, nilai, kepercayaan, komitmen, dan persepsi harga.
Sementara Mooring effects terdiri dari sikap terhadap perpindahan, norma
subjektif, biaya berpindah, perilaku berpindah sebelumnya, dan pencarian
alternatif. Terakhir, pull effects terdiri dari satu variabel yaitu kemenarikan
alternatif. Masing-masing variabel tersebut akan dianalisis pengaruhnya secara
langsung dalam menimbulkan keinginan dan perilaku berpindah nasabah bank
ritel di Jakarta. Hasil analisis menunjukkan terdapat korelasi antara push effects
dan mooring effects terhadap keinginan berpindah, kemudian korelasi antara tiga
variabel independen, yaitu persepsi harga, biaya berpindah dan pencarian
alternatif di dalam mempengaruhi keinginan dan perilaku berpindah nasabah bank
ritel di Jakarta.
Ringkasan penelitian yang menguji variabel keinginan berpindah yang
dilakukan oleh Ketchand dan Strawser (2001) tampak pada tabel 2.1 berikut ini
Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Variabel Keinginan Berpindah (Ketchand dan Strawser, 2001)
No Penelitian:
Profesi/ Subjek yang diuji
Objek Penelitian Hasil Penelitian
1. O’Reilly dan Chatman (1986)
Pekerja universitas,mahasiswa S1 dan mahasiswa MBA
• Keinginan untuk tetap tinggal di organisasi berkorelasi positif dengan komitmen,
• Keinginan berpindah sebenarnya berkorelasi negatif dengan komitmen.
No Penelitian:
Profesi/ Subjek yang diuji
Objek Penelitian Hasil Penelitian
2 Meyer et al.(1989)
Organisasi jasa makanan • Umur (tidak signifikan) • Masa jabatan (tidak signifikan) • Kepuasan kerja berkorelasi positif
dengan komitmen. • Kinerja berkorelasi positif affective
commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.
• Promosi berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.
3 Meyer et al. (1993)
Pelajar keperawatan, perawat yang diregister
• Umur berkorelasi positif dengan komitmen
• Masa jabatan berkorelasi positif dengan komitmen
• Kepuasan kerja berkorelsi positif dengan komitmen
• Aktivitas profesional berkorelasi negatif dengan komitmen
• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen
4 Dunham et al. (1994) .
Petugas kepolisian Pekerja paruh waktu (pelajar dengan berbagai pekerjaan) Organisasi pendidikan dan kesehatan kanker
• Karakteristik pekerjaan dan pengalaman kerja berkorelasi positif dengan komitmen
• Ketergantungan organisasi berkorelasi positif dengan komitmen
• Kepemimpinan partisipatif berkorelasi positif dengan komitmen
• Coworkers commitment berkorelasi positif dengan affective commitment dan normative commitment.
• Umur berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.
• Masa jabatan berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.
• Kepuasan karier berkorelasi positif dengan affective commitment dan normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.
• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen
No Penelitian:
Profesi/ Subjek yang diuji
Objek Penelitian Hasil Penelitian
5 Hacker et al. (1994)
Perawat yang diregister Operator bus
• Umur berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.
• Masa jabatan berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.
• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.
• Motivasi berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.
• Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.
• Kinerja berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.
6 Kalbers dan fogarty (1995)
Auditor internal • Profesionalisme (dedikasi) berkorelasi positif dengan komitmen.
• Profesionalisme (obligation) berkorelasi negatif dengan komitmen.
• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen.
7 Ko et al. (1997)
Institute penelitian korea utara, Pekerja penerbangan korea utara.
• Dukungan sosial berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.
• Karakteristik pekerjaan/pengalaman kerja berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment.
• Keinginan untuk tetap tinggal di organisasi berkorelasi positif dengan komitmen
• Perilaku mencari kerja berkorelasi negatif dengan komitmen.
8 Ketchand dan Strawser (1998)
Akuntan publik yang disertifikasi
• Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan affective commitment dan continuence commitment.
• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen.
No Penelitian:
Profesi/ Subjek yang diuji
Objek Penelitian Hasil Penelitian
9 Iverson dan Buttigieg (1999)
Pemadam kebakaran dan petugas keselamatan.
• Obligation to relative berkorelasi negatif dengan normative commitment dan berkorelasi positif dengan continuance commitment low alternative.
• Job expectation berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment.
• Job value berkorelasi positif dengan affective commitment dan continuance commitment high sacrifice.
• Enthusiasm berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment low alternative.
• Pendidikan berkorelasi negatif dengan normative commitment.
• Coworker support berkorelasi positif dengan affective commitment
• Kesempatan promosi berkorelasi positif dengan affective commitment.
• Kompensasi berkorelasi positif dengan continuance
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keinginan Berpindah
Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan berpindah sangat banyak dan
kompleks serta saling berhubungan. Meier (1971) mengemukakan pekerja muda
memiliki keinginan berpindah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja-
pekerja yang lebih tua. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara usia dan keinginan berpindah (Mobley, 1986).
Karyawan yang lebih muda akan lebih tinggi keinginan berpindahnya. Hal ini
mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindah-pindah tempat kerja
karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang menurun,
tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan ditempat kerja baru atau
karena energi yang sudah berkurang dan lebih lagi karena senioritas yang belum
tentu diperoleh ditempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih
besar (Novialdi, 2007). Gilmer (1966) juga berpendapat bahwa tingkat keinginan
berpindah lebih
Tinggi pada karyawan yang lebih muda disebabkan mereka masih
memiliki keinginan untuk mencaoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta
ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar dengan cara tersebut. Selain itu
karyawan lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk
mendapatkan kesempatan pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab keluarga
lebih kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan
serta harapan-harapan yang tidak terpenuhi (Wanous dan Mobley, 1986, Novialdi,
2007). United Satated Civil Service Commission (1977) menyatakan bahwa setiap
kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga
perempat bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama
masa bakti (Mobley, 1986).
Prihastuti (1992) menunjukkan adanya korelasi negatif antara masa kerja
dan turnover, semakin lama masa kerja semakin rendah kecendrungan
turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja
lebih singkat (parson dkk, 1985). Karyawan sering menemukan harapan mereka
terhadap pekerjaan atau perusahaan tersebut berbeda dengan kenyataan yang
didapat, pekerja baru umumnya masih muda masih punya keberanian untuk
berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan harapan (Handoyo, 1987).
Mowday dkk (1982) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh
padaa keinginan berpindah.
Steel dan ovalle (1984) dan Mowday (1982) mengemukakan bahwa
keterikatan terhadap perusahaan mempunyai hubungan yang negatif dan
signifikan terhadap keinginan berpindah. Berarti semakin tinggi keikatan
seseorang terhadap perusahaannya akan semakin kecil ia mempunyai keinginan
untuk berpindah pekerjaan. Arnold dan Fieldman (1982) menunjukkan bahwa
tingkat turnover juga dipengaruhi oleh kepusan kerja. Sementara Robbins (1998)
mengemukakan budaya perusahaan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
perilaku turnover.
Model dari dimensi keinginan berpindah (diadopsi dari Ketchand dan
Strawser, 2001) tampak pada gambar 2.1 berikut ini.
Karakteristik personal:umur, gender, status masa jabatan, perkawinan, kemampuan etika kerja personal, gaji level kerja, status pekerjaan, jumlah ketergantungan kebutuhan untuk pencapaian. Situasi peran: kekaburan/kejelasan peran, konflik peran, role overload. Karakteristik pekerjaan/Pengalaman kerja: Keanekaragaman keahlian/rutinisasi, otonomi tugas, tantangan dan kesulitan, task significance, lingkup pekerjaan, resource adequacy, work overload. Hubungan kelompok/pimpinan:Group cohesiveness, task interdependence, keperilakuan /dukungan supervisor, komunikasi pimpinan, leader consideration behavior, leader initiating structure behavior,supervisor feedback, keperilakuan/dukungan coworker, peer cohesion dan personal importance. Karakteristik organisasi:Ukuran, derajat desentralisasi,dependability, ekspected loyalty. Cost of departure: Loss of pensions benefit, perceived job alternative, time and effort in departing, transferability of skill, time investment in organization, general training provide, social support dan job choice factor.
Affective commitment • Identifikasi • Internalisasi Continuance commitment • High sacrifice • Low alternative Normative commitment Instumental commitmen
Performance • Self evaluation of job
performance • Superior evaluation of
performance • Complience with Rules
and regulation • Neglect • Extrarole Behavior • Promotability • Efficiency/use of time Turnover Behavior Withdrawal Behavior • Keinginan berpindah • Attendance • Tardiness • Job search behavior Yang lainnya • Employee suggestions for
improvement • Loyalty/sense of obligation • Professional activit
Correlates of OC Kepuasan kerja/karier Job involvement Stress Proffesional/occupation commitment Motivation Union commitment Co-workers commitment
Job security
Gambar 2.1. Model Dimensi Keinginan Berpindah
2.1.4. Empowerment
Empowerment atau pemberdayaan menurut Drake et al (2007) adalah
motivasi instrinsik yang nampak di dalam empat kognisi yang mencerminkan
orientasi dari seorang individu terhadap peran kerjanya yaitu makna (meaning),
kompetensi (competence), penentuan nasib sendiri (self determination) dan
dampak (impact). Makna adalah kecocokan antara tuntutan dari peran kerja
dengan keyakinan, nilai dan perilaku dari seseorang. Kompetensi adalah perasaan
seseorang bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu yang bersifat spesifik pada
pekerjaan. Penetuan nasib sendiri adalah perasaan memiliki kesempatan untuk
memilih di dalam mengawali dan mengatur tindakan. Dampak adalah tingkat
sejauh mana seseorang dapat mempengaruhi hasil strategis, administrasi atau
operasional di tempat kerja.
Robbins (2003) mengemukakan bahwa peremberdayaan (empowerment)
membuat karyawan menguasai apa yang mereka lakukan. Cutterbuck (1995)
menyatakan bahwa pemberdayaan berarti mendorong dan mengijinkan SDM
memikul tanggungjawab pribadi untuk meningkatkan cara kerja dan
meningkatkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Pemberdayaan adalah untuk
manusianya bukan organisasi. Alam dan Armanu (2010) mengemukakan bahwa
pemberdayaan dipahami sebagai tindakan memberikan kewenangan, ketrampilan
dan kebebasan kepada pegawai di dalam melakukan tugas mereka dan
mendeskripsikan pemberdayaan sebagai cara orang memandang diri mereka
sendiri di dalam lingkungan kerja dari tingkat sejauhmana membentuk peran kerja
(Spreitzer, 1996). Brancato (2003) mengajukan pendapat bahwa peningkatan pada
pemberdayaan dapat menurangi stres yang dialami di tempat kerja karena
pemberdayaan memungkinkan untuk memanfaatkan keterampilan, pengetahuan
dan kemampuan mereka secara aktif dan memungkinkan untuk memanfaatkan
keterampilan, pengetahuan dan kemampuan mereka secara aktif dan untuk
berpartisipasi.
Pemberdayaan juga dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensional
yang terdiri dari empat kognisi yang mencerminkan bagaimana orientasi seorang
individu terhadap pekerjaannya. Keempat kognisi itu adalah makna/mean (nilai
dari sebuah tujuan kerja bagi individu), kompetensi/competence (keyakinan
seorang individu tentang kemampuan untuk memenuhi tuntutan kerja),
menentukan nasib sendiri/self determination (otonomi atau kendali terhadap
proses-proses perilaku dalam bekerja) dan dampak/impact (tingkat sejauh mana
seorang individu dapat mempengaruhi secara aktif peran kerja dan konteks
kerjanya (Daniels dan Guppy 1994).
2.1.5. Inovasi
Radenakers (2005) menyatakan inovasi proses adalah metode baru dalam
menjalankan kegiatan bernilai tambah, sementara inovasi organisasional adalah
metode baru dalam mengelola, mengkordinasi dan mengawasi pegawai.
Pengertian inovasi akhirnya memang menjadi luas tetapi pada dasarnya inovasi
merupakan suatau proses yang tidak hanya sebatas menciptakan ide atau
pemikiran baru. Ide tersebut harus diimpelementasikan melalui sebuah proses
adopsi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan inovasi secara keseluruhan
sebagai cara tindakan yang terbaik (Rogers, 1983 di dalam Higa et al, 1997).
Proses adopsi inovasi inilah yang harus mendapat perhatian utama oleh
perusahaan.
King (2003) menjelaskan bahwa Rogers (1983) merinci 5 tahapan yang
terjadi selama proses keputusan inovasi. Tahap pertama terjadi ketika seseorang
menunjukkan perhatian awal terhadap inovasi. Kadang-kadang setelah itu,
individu tersebut membentuk sikap-sikap tertentu terhadap inovasi tersebut, baik
menguntungkan atau tidak. Hal tersebut diikuti dengan pengambilan keputusan
untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Jika individu telah memutuskan untuk
mengadopsi inovasi, maka individu melangkah ke tahap keempat yaitu secara
aktual menggunakan inovasi. Setelah menggunakan inovasi, individu melangkah
ke tahap akhir, yaitu penguatan dan institusionalisasi keputusan inovasi. Difusi
adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu pada
periode waktu tertentu di antara anggota sebuah sistem sosial. Inovasi adalah
gagasan, praktek, atau obyek yang dianggap baru oleh individu atau atau satuan
adopsi lainnya. Sedangkan komunikasi adalah proses di mana anggota membuat
dan membagikan informasi kepada anggota lainnya untuk mencapai pemahaman
yang saling menguntungkan.
2.1.6. Profesionalisme
Profesional dapat mempengaruhi cara bertindak dan perilaku.
Wahyudin dan Mardiyah (2006) mengemukana bahwa profesi dan
profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. “Profesi merupakan
jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan
profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa
melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak” (Kalbers dan
Fogarty, 1995: 72). Sebagai profesional, akuntan publik mengakui tanggung
jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan
seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini
merupakan pengorbanan pribadi.
Seorang auditor bisa dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan
mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI, antara lain: a).
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang
telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi, b). peraturan perilaku
seperti standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus
yang merupakan suatu keharusan, c). inteprestasi peraturan perilaku tidak
merupakan keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya, dan d). ketetapan
etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus tetap memegang teguh
prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor dibayar
oleh kliennya.
Menurut Tjiptohadi (1996) profesionalisme memiliki beberapa makna
profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu,
berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya atau memperoleh imbalan
karena keahliannya. Seseorang dikatakan profesional apabila telah mengikuti
pendidikan tertentu yang menyebabkan mempunyai keahlian atau kualifikasi
khusus. Profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-
prinsip moral dan etika profesi. Standar mutu pekerjaan mengharuskan akuntan
melaksanakan keahlian sedemikian rupa sehingga mencapai level tertentu.
Profesional juga berarti moral.
Menurut Hall (1968) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:
a) Pengabdian pada profesi
Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan
menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimilki. Keteguhan untuk
tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini
adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan
didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama
yang di harapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian
materi.
b) Kewajiban sosial
Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan
manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya
pekerjaan tersebut.
c) Kemandirian
Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang
profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak
lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan
dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesioanal.
d) Keyakinan terhadap peraturan profesi
Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling
berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan
orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan
pekerjaan mereka.
e) Hubungan dengan sesama profesi
Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai
acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal
sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional
membangun kesadaran profesional.
2.1.7. Cara Akuntan Publik Mewujudkan Perilaku Profesional
Wahyudin dan Mardiyah (2006) mengemukakan IAI berwenang
menetapkan standar (yang merupakan pedoman) dan aturan yang harus dipatuhi
oleh seluruh anggota termasuk setiap kantor akuntan publik lain yang beroperasi
sebagai auditor independen. Persyaratan-persyaratan ini dirumuskan oleh komite-
komite yang dibentuk oleh IAI. Ada empat bidang utama di mana IAI berwenang
menetapkan standar dan memuat aturan yang bisa meningkatkan perilaku
profesional seorang auditor.
a). Standar auditing. Komite Standar Profesional Akuntan Publik (Komite SPAP)
IAI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar auditing. Standar ini
disebut sebagai Pernyataan Standar Auditing atau PSA (sebelumnya disebut
sebagai NPA dan PNPA). Di Amerika Serikat pernyataan ini disebut sebagai
SAS (Statement on Auditing Standard) yang dikeluarkan oleh Auditing
Standard Boards (ASB). Pada tanggal 10 November 1993 dan 1 Agustus 1994
pengurus pusat IAI telah mensahkan sejumlah pernyataan standar auditing
(sebelumnya disebut sebagai norma pemeriksaan akuntan-NPA).
Penyempurnaan ini terutama sekali bersumber pada SAS dengan penyesuaian
terhadap kondisi Indonesia dan standar auditing internasional.
b). Standar kompilasi dan penelaahan laporan keuangan. Komite SPAP IAI
dan Compilation and Review Standards Committee bertanggung jawab
untuk mengeluarkan pernyataan mengenai pertanggungjawaban akuntan
publik sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan yang
tidak diaudit. Pernyataan ini di Amerika Serikat disebut Statements on
Standards for Accounting and Review Services (SSARS) dan di Indonesia
disebut Pernyataan Standard Jasa Akuntansi dan Review (PSAR). PSAR 1
disahkan pada 1 Agustus 1994 menggantikan pernyataan NPA
sebelumnya mengenai hal yang sama. Bidang ini mencakup dua jenis jasa,
pertama, untuk situasi di mana akuntan membantu kliennya menyusun
laporan keuangan tanpa memberikan jaminan mengenai isinya (jasa
kompilasi). Kedua, untuk situasi di mana akuntan melakukan prosedur-
prosedur pengajuan pertanyaan dan analitis tertentu, sehinggga dapat
memberikan suatu keyakinan terbatas bahwa tidak diperlukan perubahan
apapun terhadap laporan keuangan bersangkutan (jasa review).
c). Standar atestasi lainnya. Tahun 1986, AICPA menerbitkan Statement on
Standards for Atestation Engagements. IAI sendiri mengeluarkan beberapa
pernyataan standar atestasi pada 1 Agustus 1994 pernyataan ini mempunyai
fungsi ganda, pertama, sebagai kerangka yang harus diikuti oleh badan
penetapan standar yang ada dalam IAI untuk mengembangkan standar yang
terinci mengenai jenis jasa atestasi yang spesifik. Kedua, sebagai kerangka
pedoman bagi para praktisi bila tidak terdapat atau belum ada standar spesifik
seperti itu. Komite Kode Etik IAI di Indonesia dan Committee on Professional
Ethics di Amerika Serikat menetapkan ketentuan perilaku yang harus dipenuhi
oleh seorang akuntan publik yang meliputi standar teknis. Standar auditing,
standar atestasi, serta standar jasa akuntansi dan review dijadikan satu menjadi
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
2.1.8. Teori Peran
Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan teori,
orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan
masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi (Sarwono, 2002). Menurut
Biddle dan Thomas (1966) teori peran terbagi menjadi empat golongan, yaitu
istilah-istilah yang menyangkut (a) orang-orang yang mengambil bagian dalam
interaksi sosial (b) perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut (c) kedudukan
orang-orang dalam perilaku (d) kaitan antara orang dan perilaku. Sedangkan
orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi social terbagi menjadi 2
yaitu : (1) aktor (actor, pelaku), yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti
suatu peran tertentu (2) target (sasaran) atau orang lain (other), yaitu orang yang
mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya. Aktor maupun target bisa
berupa individu-individu ataupun kumpulan individu (kelompok). Hubungan
antara kelompok dengan kelompok misalnya terjadi antara sebuah paduan suara
(aktor) dan pendengar (target). Istilah “aktor” kadangkadang diganti dengan
person, ego, atau self. Sedangkan “target” kadang-kadang diganti dengan istilah
alter-ego, alter atau non-self. Dengan demikian, jelaslah bahwa teori peran
sebetulnya dapat diterapkan untuk menganalisis setiap hubungan antar dua orang
atau antar banyak orang. Hubungan aktor target adalah membentuk indentitas
aktor (person, self, ego) yang dalam hal ini dipengaruhi oleh penilaian atau sikap
orang-orang lain (target) yang telah digeneralisasikan oleh aktor. Aktor
menempati posisi pusat (focal position), sedangkan target menempati posisi
padanan dari posisi pusat tersebut (counter posisition). Dengan demikian, maka
target berperan sebagai pasangan (patner) bagi aktor. Hal ini terlihat misalnya
pada hubungan ibu-anak, suami istri atau pemimpin anak buah.
Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-
aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai
dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang
menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,
seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa,
orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku
sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena
dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus
mengobati pasien yang datang kepadanya dan perilaku ditentukan oleh peran
sosialnya Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975 dalam Mustofa,
2006) membantu memperluas penggunaan teori peran menggunakan pendekatan
yang dinamakan “life-course” yang artinya bahwa setiap masyarakat mempunyai
harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai
dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah
ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan
belas tahun, bekerja pada usia tujuh belas tahun, mempunyai istri/suami pada usia
dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda, usia
sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh
belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan
usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi
kedalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana
setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan psikologi
sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategori-
kategori yang ditetapkan secara sosial. Setiap peran sosial adalah serangkaian hak,
kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan
dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak
dengan cara yang dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung
pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain. Teater adalah
metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan teori peran. Meski kata
'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama beberapa abad, sebagai suatu
konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar tahun 1920-an dan 1930-an.
Tergantung sudut pandang umum terhadap tradisi teoretis, ada serangkaian "jenis"
dalam teori peran. Teori ini menempatkan persoalan-persoalan berikut mengenai
perilaku sosial: Pembagian buruh dalam masyarakat membentuk interaksi di
antara posisi khusus heterogen yang disebut peran, Peran sosial mencakup bentuk
perilaku wajar dan diizinkan, dibantu oleh norma sosial, yang umum diketahui
dan karena itu mampu menentukan harapan.
Menurut Cohen (2000) teori peran ini memberikan suatu kerangka
konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa
peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau
tindakan” Lebih lanjut, Cohen (2000 mengemukakan bahwa relevansi suatu peran
itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan
pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome
yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti
mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception. Ditinjau dari
Perilaku Organisasi, peran ini merupakan salah satu komponen dari sistem sosial
organisasi, selain norma dan budaya organisasi. Horton dkk (1993) menyebutkan
lima aspek penting dari peran, yaitu:
1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan
harapannya, bukan individunya.
2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku
yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.
3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity)
4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa
perubahan perilaku utama.
5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu
pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi
oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran
adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial
tertentu. (Farley, 1992). Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita
siapa. Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas
sosial atau politik. Peran adalah kombinasi adalah posisi dan pengaruh. Anda di
posisi mana dalam suatu strata sosial dan sejauhmana pengaruh Anda. Itulah
peran. Peran adalah kekuasaan dan bagaimana kekuasan itu bekerja, baik secara
organisasi dan organis. Peran memang benar-benar kekuasaan yang bekerja,
secara sadar dan hegemonis, meresap masuk, dalam nilai yang diserap tanpa
melihat dengan mata terbuka lagi. simbiosi yang berkaitan dengan keuntungan
dan kerugian, sebab dengan peran, ada yang dirugikan dan diuntungkan.Peran
adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh
keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah
bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu.
Peran ialah “the dynamic aspect of status” (aspek dinamis dari suatu
status). Definisi sederhana yang dibuat oleh Linton ini memberikan deskripsi
mengenai posisi dan kedudukan dari status-peran. Makna peran, menurut
Suhardono, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama penjelasan
historis. Menurut penjelasan historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan
yang memiliki hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada
zaman Yunani Kuno atau Romawi. Dalam hal ini, peran berarti katakter yang
disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon
tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial
berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi
dalam struktur sosial tertentu. Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang
dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut.Pengertian
peran dalam kelompok pertama di atas merupakan pengertian yang dikembangkan
oleh paham strukturalis di mana lebih berkaitan antara peran-peran sebagai unit
kultural yang mengacu kepada hak dan kewajiban yang secara normatif telah
dicanangkan oleh sistem budaya. Sedangkan pengertian peran dalam kelompok
dua adalah paham interaksionis, karena lebih memperlihatkan konotasi aktif
dinamis dari fenomena peran.Seseorang dikatakan menjalankan peran manakala ia
menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan bagian tidak terpisah dari status
yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peran sosial.
Menurut Horton dkk (1993), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari
seseorang yang memiliki suatu status.). Dalam kerangka besar, organisasi
masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat
(nature) dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta
distribusi sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya.
Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan memberi
imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan cara yang berbeda,
sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang berbeda pula. Bila yang
diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam
suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari
orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari
perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan. Sedangkan, Ahmadi (1982)
mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap
caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan
status dan fungsi sosialnya.Meninjau kembali penjelasan tentang peran secara
historis, Horton dkk (1993) menyatakan, peran sosial mirip dengan peran yang
dimainkan seorang actor, maksudnya orang yang memiliki posisi-posisi atau
status-status tertentu dalam masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam cara-
cara tertentu yang bisa diprediksikan, seolah-olah sejumlah "naskah" (scripts)
sudah disiapkan untuk mereka. Namun harapan-harapan yang terkait dengan
peran-peran ini tidak hanya bersifat satu-arah. Seseorang tidak hanya diharapkan
memainkan suatu peran dengan cara-cara khas tertentu, namun orang itu sendiri
juga mengharapkan orang lain untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu
terhadap dirinya. Seorang dokter dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat sangat pribadi kepada pasien dan mengharapkan pasiennya menjawab
dengan jujur. Sebaliknya si pasien mengharapkan dokter untuk merahasiakan dan
tidak menyebarkan informasi yang bersifat pribadi ini ke pihak lain. Jadi peran
sosial itu melibatkan situasi saling-mengharapkan (mutual-expectations). Peran
sosial karena itu bukanlah semata-mata cara orang berperilaku yang bisa diawasi,
tetapi juga menyangkut cara berperilaku yang dipikirkan seharusnya dilakukan
orang bersangkutan. Gagasan-gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan
orang, tentang perilaku apa yang "pantas" atau "layak", ini dinamakan
norma.Harapan-harapan terpenting yang melingkupi peran sosial bukanlah
sekadar pernyataan-pernyataan tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang apa
yang akan dilakukan seseorang, di luar kebiasaan, dan seterusnya, tapi norma-
norma yang menggaris bawahi segala sesuatu, di mana seseorang yang memiliki
status diwajibkan untuk menjalankannya. Jadi, peran-peran itu secara normatif
dirumuskan, sedangkan harapan-harapan itu adalah tentang pola perilaku ideal,
terhadap mana perilaku yang sebenarnya hanya bisa mendekati.Dalam kaitannya
dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan
peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi
kekurangberhasilan dalam menjalankan perannya. Dalam ilmu sosial,
ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan role strain.
Konflik peran setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan
kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang
bertentangan. Konflik peran sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah
peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan
yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata
lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus
melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik
antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal.
Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian
dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang
bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik
inheren. Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama
ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain
adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai
status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini
merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang
berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam
sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai
karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti
tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan
di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di
perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang
ditawari produk perusahaan tersebut).
Menurut Horton dkk (1993), seseorang mungkin tidak memandang suatu
peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat
kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran
tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya
kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya.
Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang
memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.Ada
beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan
melindungi diri dari rasa bersalah. Pertama, rasionalisasi, yakni suatu proses
defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan
istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima.
Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah
kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa "semua
manusia sederajat" tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih
bahwa budak bukanlah "manusia" tetapi "benda milik."Kedua, pengkotakan
(compartmentalization), yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari
peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang
hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya,
seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan
kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan
merugikan kepentingan rakyat.Ketiga, ajudikasi (adjudication), yakni prosedur
yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada
pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan
dosa.Terakhir, kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara
peranan dan "kedirian" (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat
muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran
yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya
menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung
mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan
dengan tindakan-tindakan mereka itu.Konflik-konflik nyata antara peran dan
kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang
dikembangkan Erving Goffman. "Jarak peran" diartikan sebagai suatu kesan yang
ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima
definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan
komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk
menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti,
pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin
bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil
jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan "jarak
peran" menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi
lain, "penyatuan diri" dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari
"jarak peran." Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang
terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang
individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang
diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.
2.1.9. Ambiguitas Peran
Alam dan Armana (2010) mengemukakan harapan-harapan personal
terbatas di suatu organisasi dan mungkin akan berbenturan dengan harapan-
harapan konsumen. Ketika atasan mengharapkan karyawan untuk melayani
konsumen sebanyak mungkin, pada saat yang sama konsumen akan menuntut
perhatian personal, ambiguitas peran terjadi ketika seseorang tidak memiliki akses
ke informasi yang cukup untuk menjalankan perannya sebagai karyawan.
Ambigutas peran mengacu pada konsekuensi kinerja yang tidak dapat diprediksi
dan defisiensi informasi mengenai perilaku peran yang diharapkan. Sebaliknya,
konflik peran mengacu pada harapan-harapan yang tidak sesuai dan ini dapat
terjadi antara beberapa peran (Schoubroeck et al, 1989). Pendapat Rizzo (1970)
ambiguitas peran sebagai situasi di mana seseorang tidak memiliki arah yang jelas
tentang pengharapan yang dibebankan kepada peran yang ia jalankan di dalam
organisasi dan konflik peran sebagai ketidakselarasan antara pengharapan yang
dikomunikasikan dengan persepsi pegawai mengenai pelaksanaan perannya.
Cahyono (2008) mengemukakan bahwa ambiguitas peran adalah tidak adanya
informasi umpan balik hasil evaluasi pengawas tentang hasil kerja seseorang,
tentang peluang-peluang kenaikan karir, cakupan tanggungjawab dan
pengharapan-pengharapan si penyampai peranv(Katz dan Kahn, 1978).
Ambiguitas peran muncul karena kurangnya informasi atau karena tidak adanya
informasi atau karena tidak adanya informasi sama sekali atau informasinya tidak
disampaikan.
2.1.10. Konflik Peran
Catharina (2001) menyatakan bahwa konflik peran muncul ketika karyawan
menerima harapan atau tuntutan dari rekan kerja, tuntutan dari atasan, tuntutan
pelanggan yang tidak cocok atau saling bertentangan dari dua orang/pihak atau
lebih yang tidak mampu dipenuhi atau dipuaskan secara simultan (Douglas, 1996,
Dubinsky et al, 1992, Keaveney dan Nelson, 1993, Siguaw et al, 1994).
Konflik peran juga muncul ketika ada permintaan dari pihak lain yang
bertentangan dengan prinsip atau pengharapan seseorang. Pihak atau orang lain
yang memberikan permintaan atau tuntutan disebut role sender. Dalam lingkup
perusahaan jasa, adanya kesenjangan pengharapan (expectations) berisiko
mendorong munculnya stress (Babin dan Boles, 1998). Konflik peran juga bisa
muncul ketika pihak manajemen memberikan tugas yang tidak bisa diselesaikan
dengan baik oleh karyawan akibat tidak tersedianya waktu dan sumber daya (dana
dan peralatan) yang mencukupi (Sumrall dan Sebastianelli, 1999). Konflik peran
juga muncul akibat penerapan peraturan atau kebijakan perusahaan yang
dirasakan terlalu ketat atau kurang fleksibel (Babin dan Boles, 1998). Konflik
peran juga bisa terjadi akibat perbedaan jenis pekerjaan (job characteristic) yang
berbeda antara departemen dalam satu perusahaan. Perbedaan jenis pekerjaan ini
mengakibatkan perbedaan persepsi antara departemen terhadap suatu tugas (job
task) yang harus dikerjakan bersama (Sign, 1998).
Baik buruknya kinerja karyawan sebagai implikasi munculnya konflik peran
atau ambiguitas peran sangat tergantung pada bagaimana dia mengatasi atau
merespon konflik peran dan ambiguitas peran yang dialami (Keaveney dan
Nelson, 1993, Watherly dan Tansik, 1993). Coping didefinisikan oleh Goolsby
(1992) sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengelola
permintaan-permintaan yang dirasakan melebihi sumber daya yang dimilikinya.
Kemampuan coping menurut Goolsby (1992) di pengaruhi oleh sumber daya yang
dimiliki seseorang meliputi usia, pengalaman kerja dan tingkat pendidikan.
Peran oleh Luthans (2001: 407) di definisikan sebagai suatu posisi yang
memiliki harapan yang berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu
seringkali memiliki peran ganda (multiple roles), karena selain sebagai guru
misalnya seseorang juga memiliki peran di keluarganya, di lingkungannya dan
lain-lain. Peran-peran ini seringkali memunculkan konflik-konflik tuntutan dan
konflik-konflik harapan. Dan di sisi lain, kepuasan kerja merupakan komponen
penting yang mempunyai pengaruh yang signifikan untuk beberapa variabel,
seperti berpengaruh positif dengan kepuasan hidup (Iris dan Barrett,1977; Judge
et. al,1994), Berpengaruh positif dengan komitmen pada organisasi
(Yousef,2002), berpengaruh positif pada kinerja pekerjaan (Babin and
Boles,1996) namun berpengaruh negatif dengan absensi (Muchinsky, 1977) dan
turnover (Locke,1984). Dan di sisi lain, kepuasan kerja merupakan komponen
penting yang mempunyai pengaruh yang signifikan untuk beberapa variabel,
seperti berpengaruh positif dengan kepuasan hidup (Iris dan Barrett,1977; Judge
et. al,1994), Berpengaruh positif dengan komitmen pada organisasi
(Yousef,2002), berpengaruh positif pada kinerja pekerjaan (Babin and
Boles,1996) namun berpengaruh negatif dengan absensi (Muchinsky, 1977) dan
turnover (Locke,1984).
Penelitian tentang hubungan antara komitmen organisasional , komitmen
profesi dan konflik peran dilakukan oleh Aranya dan Ferris (1984) yang
menemukan bahwa konflik peran yang dialami oleh akuntan yang bekerja pada
organisasi akuntan publik adalah lebih rendah dibandingkan dengan akuntan yang
bekerja pada organisasi non profesi. Andraeni (2003) menyatakan bahwa konflik
peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan
dengan satu peran. Konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan
harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara
tuntutan peran dan kebutuhan , nilai-nilai individu. Sebagai akibatnya seseorang
yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing dan
serba salah.
2.1.11. Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional adalah suatu konsep yang mencari sifat
kelekatan (attachment) yang dibentuk oleh individu terhadap pekerjaan organisasi
mereka (Ketchan dan Strawser, 2001). Kemudian Kinicki (2001) menyebutkan
bahwa komitmen organisasional menunjukkan seberapa jauh individu
mengidentifikasi organisasi dan menjalankan tujuannya.
Penelitian mengenai komitmen organisasional dimulai oleh Porter et al.
(1974), yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor apa yang mempengaruhi
formasi komitmen organisasional dan bagaimana komitmen organisasional
mempengaruhi organisasi. Dewasa ini penelitian dalam industri dan psikologi
organisasi serta keperilakuan organisasi berusaha mengidentifikasi keberadaan
berbagai dimensi komitmen organisasional dan menemukan hubungan yang
berbeda antara dimensi dan pengaruh penting terhadap organisasi. Menurut
Aranya et al. (1981) komitmen organisasional adalah sebuah kepercayaan dan
penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi atau profesi, sebuah
kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan
organisasi atau profesi, kemudian sebuah keinginan untuk memelihara
keanggotaan dalam organisasi atau profesi.
Dua definisi komitmen organisasional yang sangat populer dalam literatur
penelitian dikemukakan oleh Porter et al. (1974) yang menyatakan komitmen
adalah kekuatan identifikasi dalam organisasi. Kemudian Becker (1960)
menggambarkan komitmen sebagai perjanjian terhadap organisasi. Dalam kasus
untuk organisasi menurutnya aktivitas meliputi tetap tinggal dengan organisasi,
biaya yang dirasakan dihubungkan dengan aktivitas yang tidak dilanjutkan seperti
meninggalkan organisasi termasuk kerugian manfaat yang ada dan senioritas,
gangguan yang ada karena berpindah ke lokasi lain serta usaha untuk mencari
pekerjaan baru. Komitmen organisasional adalah suatu kekuatan relatif
identifikasi individu dan keterlibatannya dalam organisasi (Steers, 1977).
Dimensi komitmen organisasional dapat dibagi dua yaitu affective
commitment dan continuence commitment (Ketchand dan Strawser, 2001).
Individu dengan affective commitment kuat cenderung akan tetap tinggal di
organisasi karena mereka menginginkannya, sementara pekerja dengan
continuence comitment tinggi akan tetap tinggal di organisasi karena mereka
membutuhkan. Sebagai akibatnya, keperilakuan pekerja antara kedua komitmen
tersebut akan berbeda.
Williams dan Hazer (1986) membuat pemisahan antara komitmen dan
kepuasan kerja dalam bentuk affective response pada seluruh organisasi,
kemudian menunjukkan affective response pada aspek khusus pekerjaan.
Perhatian utama model dan penemuan penelitian mengidentifikasi antecedent of
commitment dari berbagai kategori. Hal tersebut termasuk karakteristik personal,
karakteristik pekerjaan, pengalaman kerja, faktor organisasional dan role related
factor.
2.2. Review Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya sebagai acuan penelitian ini adalah penelitian-
penelitian keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik yang akan dijelaskan
sebagai berikut: Penelitian Ratnawati (2000) dengan judul Hubungan kepuasan
kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan konsekuensinya dengan
keinginan berpindah pada kantor akuntan publik. Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk menguji pengaruh dari variabel personal dan organisasional
terhadap keinginan berpindah. secara spesifik penelitian ini ingin menguji
pengaruh dari job insecurity, anteseden dari job insecurity yaitu kepuasan kerja,
konflik peran, dan locus of control, serta konsekuensi dari job insecurity yaitu
komitmen organisasi, terhadap keinginan berpindah, data pada penelitian ini
diperoleh melalui respon dari 98 staf akuntan pada kantor akuntan publik terdaftar
pada directory IAI 1998 yang menjadi sampel. Kuesioner didesain sedemikian
rupa untuk memperoleh data terhadap 6 variabel pada penelitian ini yaitu
kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity, komitmen
organisasional, dan keinginan berpindah. analisis data dilakukan dengan
menggunian model persamaan struktural (structural equation modelling) dengan
aplikasi program amos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran dan
locus of control mempunyai hubungan yang signifikan dengan keinginan
berpindah. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa konflik peran dan locus of
control merupakan anteseden dari job insecurity, dan komitmen organisasional
sebagai konsekuensinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen
organisasi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap munculnya keinginan
berpindah. Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa kepuasan kerja secara
langsung rnernpengaruhi komitmen organisasi, darl komitmen organisasi dan
konflik peran secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah.
Yuyetta (2001) melakukan penelitian dengan judul pengaruh tindakan
supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan
kerja dan keinginan berpindah akuntan publik yunior di Indonesia. Penelitian
dilakukan terhadap akuntan junior dengan tujuan untuk menginvestigasi dampak
supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan
kerja dan keinginan berpindah. Hasil menunjukkan bahwa kepuasan kerja
berpengaruh terhadap keinginan berpindah.
Penelitian Pujisari (2001) dengan judul pengaruh jenis kelamin dan peran
jenis terhadap kepuasan kerja, stress kerja dan keinginan berpindah mendesain
penelitian dengan independent sample t-test dan one way ANOVA digunakan
untuk menguji hipotesis penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres
kerja, dan keinginan berpindah, Tujuan berikutnya perbedaan peran jenis
mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres kerja dan keinginan
berpindah. Menggunakan kuesioner, subjek yang diperoleh adalah 63 auditor yang
berasal dari kantor akuntan publik big five dan nasional. Hasil menunjukkan
bahwa baik perbedaan jenis kelamin maupun peran jenis tidak menyebabkan
perbedaan pada tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah
auditor.
Penelitian Maslichah (2001) dengan judul analisis hubungan mentor protégé,
fungsi mentoring dan keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik
mengembangkan model keinginan berpindah dengan menguji fungsi mentoring.
Penelitian ini meliputi 102 manajer dan staf kantor akuntan publik dengan
menggunakan mail survey. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pekerja yang
memiliki dukungan mentor protégé dan fungsi mentoring akan mengurangi
keinginan berpindah.
Penelitian Murtini (2003) dengan judul pengujian hambatan mentoring dan
keinginan berpindah pada akuntan publik. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menguji hambatan hubungan mentoring dan keinginan
berpindah pada akuntan publik. Hipotesis dikembangkan dari rerangka tersebut
yang diuji berdasar sample 90 akuntan publik yang berasal dari kantor akuntan
publik baik lokal, menengah, dan besar di Indonesia. Instrumen untuk
Pengumpulan data adalah dengan kuesioner. Hasil menunjukkan bahwa pertama,
partisipan yang mempunyai mentor menilai hambatan lebih kecil dari akses
mentor. Kedua, perbedaan gender adalah signifikan hanya dari keinginan mentor.
Ketiga, akuntan publik dengan jabatan yang lebih rendah merasakan hambatan
hubungan mentoring (dari persetujuan yang lain dan keinginan mentor) lebih
besar daripada akuntan publik dengan jabatan yang lebih tinggi. Keempat, ketika
ukuran kantor akuntan publik juga berbeda, hambatan hubungan mentoring akan
berbeda tetapi hanya dari keinginan mentor. Partisipan yang tidak berkeinginan
pindah hambatan lebih kecil dari persetujuan yang lain.
Penelitian Endah (2003) dengan judul analisis peran mentor pada role
conflict, role ambiguity, burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah
auditor. Penelitian tersebut mendesain model untuk mendapatkan pemahaman
mengenai peran mentor. Data diperoleh dengan mail survey dan dianalisis dengan
melakukan path analisis. Sampel penelitian 119 orang auditor. Tujuan penelitian
tersebut adalah (1) peran mentor pada hubungan role conflict, role ambiguity dan
burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah dari auditor, (2) hubungan
antara kinerja dan keinginan berpindah. Role Theory menyatakan, role sender
merupakan seseorang yang telah menjadi anggota dari organisasi dan telah
memiliki pengalaman dan mengetahui peran dari focal person’s dalam organisasi.
Mentor disini ditempatkan pada peran role sender sedangkan protégé sebagai
focal person.
Cahyono (2008) dengan judul persepsi ketidakpastian lingkungan,
ambiguitas peran dan konflik peran sebagai mediasi antara program mentoring
dengan kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah menambahkan
variabel persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran, konflik peran,
mentoring, kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah. Responden dalam
penelitian ini adalah para staf KAP besar di Jakarta dengan jumlah 184 kuesioner
yang dapat diolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua hipotesis
yang dibangun dapat dibuktikan. Beberapa hipotesis yang dapat dibuktikan yaitu
program mentoring berpengaruh terhadap persepsi ketidakpastian lingkungan,
konflik peran dan ambiguitas peran secara negatif dan selanjutnya konflik peran
berpengaruh negatif terhadap prestasi kerja dan berpengaruh positif terhadap niat
ingin pindah. Untuk pengaruh konflik peran terhadap terhadap prestasi kerja
ditemukan negatif sedangkan ambiguitas peran terhadap niat ingin pindah
berpengaruh secara positif. Selanjutnya hipotesis yang tidak dapat dibuktikan
adalah pengaruh persepsi ketidakpastian lingkungan terhadap prestasi kerja dan
niat ingin pindah, sedangkan pengaruh negatif konflik peran terhadap kepuasan
kerja juga tidak terbukti. Temuan ini mengindikasikan bahwa program mentoring
yang ada di KAP besar dapat menurunkan stres peran dan persepsi ketidakpastian
lingkungan tetapi secara umum tidak dapat memediasi antara program mentoring
dengan prestasi kerja, kepuasan kerja dan niat ingin pindah. Penelitian Smith dan
Hall (2008) dengan judul an empirical examination of three component model of
professional commitment among public accountants menguji variabel komitmen
professional (komitmen affective, continuance dan normative) terhadap keinginan
berpindah profesional. Sampel penelitian adalah 260 akuntan yang bekerja di
akuntan publik di Australia. Hasil penelitian terdapat profesional komitmen dan
keinginan berpindah.
Penelitian Yuresta (2011) dengan judul analisis pengaruh motivasi, stres,
reward dan rekan kerja terhadap kinerja auditor dikantor akuntan publik.
Penelitian tersebut menyimpulkan faktor motivasi, stres, reward dan rekan kerja
masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Penilaian kinerja membantu
perusahaan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sumber daya
manusia yang dimilikinya. Bagi karyawan, penilaian kinerja dapat menjadi tolak
ukur bagi dirinya untuk mengetahui prestasi yang telah dicapainya selama ini.
Penelitian ini merupakan penelitian kausal dengan menggunakan kuisioner untuk
mengukur variabel-variabel motivasi, stres, reward, rekan kerja dan kinerja.
Populasi dalam penelitian tersebut adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan
Publik di Jakarta. Kuisioner disebarkan kepada 80 orang auditor di 3 kantor
akuntan publik. Kuisioner yang kembali dan dapat diolah sebanyak 50 buah atau
63%. Data yang diperoleh kemudian diuji dengan menggunakan analisis regresi
berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor motivasi, stres, reward dan
rekan kerja masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dari keempat
variabel yang mempengaruhi kinerja hanya variabel stres yang mempengaruhi
kinerja secara negatif, artinya ketika tingkat stres auditor meningkat maka kinerja
auditor tersebut akan menurun. Diantara keempat variabel yang mempengaruhi
kinerja variabel motivasi merupakan variabel yang paling dominan dalam
mempengaruhi kinerja.
Penelitian sebelumnya sebagai review penelitian ini dapat dilihat dalam
tabel 2.2. berikut:
Tabel 2.2 Review Penelitian
No Peneliti (Tahun) Judul Variabel
Penelitian Metodologi Hasil Penelitian 1. Ratnawati
(2000) Hubungan kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan konsekuensinya dengan keinginan berpindah pada kantor akuntan publik.
Kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan keinginan berpindah
Metode kuantitatif dengan menggunakan pengaruh variable dan teknik konfirmatory dengan amos
1. Konflik peran dan locus of control mempunyai hubungan yang signifikan dengan keinginan berpindah.
2. Konflik peran dan locus of control merupakan anteseden dari job insecurity, dan komitmen organisasional sebagai konsekuensinya.
3. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap munculnya keinginan berpindah.
4. Kepuasan kerja secara langsung rnernpengaruhi komitmen organisasi, darl komitmen organisasi dan konflik peran secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah.
2. Yuyetta (2001)
Pengaruh tindakan supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah akuntan publik yunior di Indonesia.
Tindakan supervisi, persepsi kewajaran tingkat upah, promosi, kepuasan kerja dan keinginan berpindah.
Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi
1. Dampak supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah.
2. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap keinginan berpindah.
3. Pujisari (2001)
Pengaruh jenis kelamin dan peran jenis terhadap kepuasan kerja, stress kerja dan keinginan berpindah.
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah
Metode kuantitatif dengan menggunakan uji beda
Terdapat perbedaan jenis kelamin maupun peran jenis tidak menyebabkan perbedaan pada tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah auditor.
4. Maslichah (2001)
Analisis hubungan mentor protégé, fungsi
Mentoring Metode kuantitatif dengan
1. Partisipan yang mempunyai mentor
No Peneliti (Tahun) Judul Variabel
Penelitian Metodologi Hasil Penelitian mentoring dan keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik mengembangkan model keinginan berpindah dengan menguji fungsi mentoring.
menggunakan regresi
menilai hambatan lebih kecil karena akses mentor.
2. Perbedaan gender adalah signifikan hanya dari keinginan mentor.
3. Akuntan publik jabatan yang lebih rendah merasakan hambatan hubungan mentoring lebih besar daripada akuntan publik jabatan yang lebih tinggi.
4. Ketika ukuran kantor akuntan publik juga berbeda, hambatan hubungan mentoring akan berbeda tetapi hanya dari keinginan mentor. Akuntan publik yang tidak berkeinginan pindah adalah akuntan publik yang memiliki hambatan mentoring lebih kecil.
5. Endah
(2003) Analisis peran mentor pada role conflict, role ambiguity, burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah auditor.
Role conflict, role ambiguity, burnout, kinerja dan keinginan berpindah.
Metode kuantitatif dengan menggunakan korelasi
1. Peran mentor pada hubungan role conflict, role ambiguity dan burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah dari auditor,
2. Hubungan antara kinerja dan keinginan berpindah.
6. Cahyono
(2008) Persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran dan konflik peran sebagai mediasi antara program mentoring dengan kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah.
Persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran, konflik peran, mentoring, kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah.
Metode kuantitatif dengan menggunakan analisis konfirmatory dan pengaruh dengan alat lisrel
1. Program mentoring berpengaruh terhadap persepsi ketidakpastian lingkungan, konflik peran dan ambiguitas peran secara negatif.
2. Konflik peran berpengaruh negatif terhadap prestasi kerja dan berpengaruh positif terhadap niat ingin pindah.
3. Untuk pengaruh konflik peran terhadap terhadap prestasi kerja ditemukan negatif
4. Ambiguitas peran terhadap niat ingin pindah berpengaruh secara positif.
5. Tidak dapat membuktikan pengaruh persepsi ketidakpastian lingkungan terhadap prestasi kerja dan niat ingin pindah, begitu juga dengan pengaruh negatif konflik peran terhadap kepuasan kerja.
6. Temuan ini mengindikasikan
No Peneliti (Tahun) Judul Variabel
Penelitian Metodologi Hasil Penelitian bahwa program mentoring yang ada di KAP besar dapat menurunkan stres peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan tetapi secara umum tidak dapat memediasi antara program mentoring dengan prestasi kerja, kepuasan kerja dan niat ingin pindah.
7. Smith dan
Hall (2008)
An empirical examination of three component model of professional commitment among public accountants
Variabel komitmen professional (komitmen affective, continuance dan normative) terhadap keinginan berpindah professional
Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi
Terdapat pengaruh profesional komitmen dan keinginan berpindah.
8. Yuresta (2011)
Analisis pengaruh motivasi, stres, reward dan rekan kerja terhadap kinerja auditor dikantor akuntan publik.
faktor motivasi, stres, reward dan kinerja
Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi
Faktor motivasi, stres, reward dan rekan kerja masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dari keempat variabel yang mempengaruhi kinerja hanya variabel stres yang mempengaruhi kinerja secara negatif, artinya ketika tingkat stres auditor meningkat maka kinerja auditor tersebut akan menurun. Diantara keempat variabel yang mempengaruhi kinerja variabel motivasi merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi kinerja.