44
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini akan diuraikan landasan teroritis yang berhubungan dengan topik penelitian berdasarkan pada teori-teori dan bukti-bukti empiris penelitian sebelumnya. 2.1.1. Kinerja Individual Kinerja karyawan bisa diartikan sebagai tindakan sejauh mana para karyawan melaksanakan tanggungjawab dan tugas kerja mereka (Dubisky dkk, 1992). Babin dan Boles (1998) serta Singh (1998) mendifinisikan kinerja karyawan sebagai tingkat produktivitas karyawan dibandingkan rekan kerjanya atas indikator-indikator perilaku kerja dan hasil pekerjaan. Di dalam literatur stress, kinerja karyawan justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat stress yang rendah, karena mereka merasa tidak tertantang untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Teori peran menegaskan bahwa stress akan mengurangi kinerja karena stress dapat merusak perilaku seseorang (Keaveney dan Nelson, 1993). Kinerja merupakan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil, tidak terbatas pada personil yang memangku jabatan fungsional atau struktural, tetapi juga pada keseluruhan jajaran personil dalam organisasi. Penilaian kinerja adalah suatu proses menilai hasil karya personil dalam suatu organisasi melalui instrumen kinerja dan pada hakikatnya merupakan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

  • Upload
    vanminh

  • View
    242

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

.1. Landasan Teoritis

Pada bab ini akan diuraikan landasan teroritis yang berhubungan dengan

topik penelitian berdasarkan pada teori-teori dan bukti-bukti empiris penelitian

sebelumnya.

2.1.1. Kinerja Individual

Kinerja karyawan bisa diartikan sebagai tindakan sejauh mana para

karyawan melaksanakan tanggungjawab dan tugas kerja mereka (Dubisky dkk,

1992). Babin dan Boles (1998) serta Singh (1998) mendifinisikan kinerja

karyawan sebagai tingkat produktivitas karyawan dibandingkan rekan kerjanya

atas indikator-indikator perilaku kerja dan hasil pekerjaan. Di dalam literatur

stress, kinerja karyawan justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat stress

yang rendah, karena mereka merasa tidak tertantang untuk mencapai kinerja yang

lebih tinggi. Teori peran menegaskan bahwa stress akan mengurangi kinerja

karena stress dapat merusak perilaku seseorang (Keaveney dan Nelson, 1993).

Kinerja merupakan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam

suatu organisasi. Kinerja merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja

personil, tidak terbatas pada personil yang memangku jabatan fungsional atau

struktural, tetapi juga pada keseluruhan jajaran personil dalam organisasi.

Penilaian kinerja adalah suatu proses menilai hasil karya personil dalam suatu

organisasi melalui instrumen kinerja dan pada hakikatnya merupakan suatu

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

evaluasi terhadap penampilan kinerja personil dengan membandingkan pada

standar baku penampilan (Dwilita, 2008).

Kinerja karyawan dapat diukur dari beberapa indikator. Dalam penelitian

sebelumnya digunakan indikator kuantitas pekerjaan yaitu jumlah pekerjaan yang

dihasilkan oleh seorang karyawan di dalam kurun waktu tertentu berdasarkan

standar kerja yang telah ditetapkan perusahaan dan indikator kualitas yaitu

ketelitian, kerapian dan kesesuaian hasil pekerjaan karyawan dalam kurun waktu

tertentu dengan standar yang ditetapkan perusahaan serta indikator ketepatan

waktu dalam menyelesaikan tugas yang menjadi tanggungjawabnya berdasarkan

standar yang ditetapkan perusahaan. Babin dan Boles (1998) menyatakan

indikator-indikator kinerja meliputi produktivitas, kemampuan, potensi kerja,

kemampuan di dalam mengelola waktu, hubungan dengan pelanggan,

pengetahuan karyawan akan produknya dan produk pesaing serta pengetahuan

karyawan akan perusahaannya sendiri yang di dasarkan atas penilaian karyawan

bersangkutan di bandingkan dengan rekan kerjanya. Singh (1993) menyatakan

bahwa pengukuran kinerja berdasarkan penilaian karyawan sendiri (pengukuran

subjektif) sama handalnya dengan penilaian objektif.

Penilaian kinerja karyawan memiliki tujuan yang tidak hanya bermanfaat

bagi institusi tempat karyawan bekerja tetapi juga karyawan itu sendiri.

Furtwengler (2000) mengatakan bahwa tujuan penilaian kinerja karyawan untuk

memudahkan proses pemberian imbalan dan hukuman, mengidentifikasi

karyawan untuk promosi, mengidentifikasikan karyawan untuk mendapatkan

pilihan yang lebih tinggi dan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Jewel dan

March (1998) mengatakan bahwa penilaian kinerja karyawan merupakan sistem

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

pengendali sebagai umpan balik dan sebagai umpan maju. Penilaian kinerja

memberikan umpan balik yang penting kepada karyawan secara pribadi dalam hal

bagaimana karyawan dipandang. Proses penilaian kinerja karyawan juga

memberikan umpan balik pada pemilik perusahaan dalam hal penerimaan

karyawan, pemeriksaan, pemeliharaan dan pelatihan karyawan. Penilaian kinerja

karyawan sebagai mekanisme umpan maju memberikan informasi untuk membuat

keputusan mengenai pemberian penghargaan kepada karyawan (Dwilita, 2008).

Muchsin (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga variabel yang

mempengaruhi kinerja yaitu variabel individu yang berasal dari dalam diri,

variabel organisasi sebagai variabel lingkungan serta variabel psikologi sebagai

variabel internal dan lingkungan. Furtwengel (2000) menyatakan bahwa kinerja

dapat diukur dengan empat aspek kinerja yaitu aspek kecepatan, aspek kualitas,

aspek layanan dan aspeks nilai. Dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa

kinerja karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam diri karyawan serta

faktor-faktor dari luar perusahaan. (Dwilita, 2008).

Kinerja KAP yang berkualitas sangat ditentukan oleh kinerja auditor. Secara

ideal di dalam menjalankan profesinya, seorang auditor hendaknya

memperhatikan prinsip dasar good governance dalam KAP tersebut. Auditor juga

harus mentaati aturan etika profesi yang meliputi pengaturan tentang

independensi, integritas dan obyektivitas, standar umum dan prinsip akuntansi,

tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, serta

tanggung jawab dan praktik lainnya (Satyo, 2005). Satyo (2005) menyatakan

memahami kode etik saja tidak cukup untuk membuat perilaku karyawan dan

perusahaan menjadi lebih baik dan etis, perlu pemahaman good governance

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

diimplementasikan pada organisasi secara tepat, terutama untuk memperoleh

karakter organisasi yang kuat dalam menghasilkan manajemen kinerja yang

unggul.

Syafrina (2002) meneliti tentang pengaruh diskusi verbal dalam review

kertas kerja audit terhadap motivasi dan kinerja auditor. Anggraini (2002)

menganalisis pengaruh gender terhadap judgement penilaian kinerja auditor. Tjhai

(2002) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pemanfaatan teknologi

informasi terhadap kinerja akuntan publik. Basuki (2005) menganalisis faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan pengaruh

pemanfaatannya terhadap kinerja auditor pemerintah (BPKRI). Penelitian tersebut

menggunakan model penelitian yang telah dilakukan oleh Thompson dkk (1991),

untuk mengukur pengaruh dari faktor sosial, kompleksitas, kesesuaian tugas,

konsekuensi jangka panjang, dan kondisi yang memfasilitasi terhadap

pemanfaatan teknologi informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan antara faktor sosial dan kesesuaian tugas dengan

pemanfaatan teknologi informasi. Hasil penelitian ini berhasil mendukung TAM

(Technology Acceptance Model) yang menyatakan bahwa teknologi informasi

dapat mempengaruhi kinerja. Rizki (2007) mengemukakan pemanfatan teknologi

informasi akan meningkatkan kinerja auditor.

Hasil penelitian Widati (2008) menunjukkan bahwa faktor kesesuaian tugas-

teknologi berpengaruh terhadap auditor kantor akuntan publik yang ada di Jawa

Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, hasil penelitian ini juga

membuktikan bahwa pemanfaatan teknologi informasi tidak berpengaruh positif

terhadap kinerja auditor kantor akuntan publik yang ada di Jawa Tengah dan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbagai literatur menyatakan bahwa teknologi

informasi penting bagi organisasi, baik publik maupun privat karena dapat

meningkatkan kinerja organisasi dan merupakan salah satu alat potensial untuk

menciptakan daya saing. Menurut Goodhue dan Thompson (1995), penelitian

yang menganalisis hubungan antara sistem informasi dan kinerja dapat dibagi

menjadi dua aliran, yaitu penelitian yang berfokus pada kesesuaian tugas-

teknologi dan penelitian yang befokus pada pemanfaatan teknologi informasi.

Namun, berbagai penelitian yang telah dilakukan menghasilkan hasil yang tidak

konsisten.

Hanafi (2009) menunjukkan dengan analisis jalur (path analysis), penelitian

telah menujukkan hubungan dari ketiga variabel (kecerdasan spiritual, kecerdasan

emosional, dan kinerja) bahwa kecerdasan spiritual auditor berpengaruh positif

secara tidak langsung terhadap kinerja auditor melalui kecerdasan emosional

sebagai mediator. Muajiz (2009) menyimpulkan bahwa training, kecerdasan

emotional dan kecerdasan spritual berpengaruh terhadap kinerja auditor pada

Direktorat Jenderal Pajak. Yuliono (2010) menyimpulkan faktor program

reformasi birokrasi berpengaruh terhadap kinerja auditor.

2.1.2. Keinginan Berpindah

Konsep model turnover di dalam literatur psikologi pertama sekali

dikemukakan oleh Mobley (1977). Banyak penelitian mengkonsepkan turnover

sebagai respon psikologi dan meyakini bahwa turnover merupakan perilaku yang

dipilih individu. Pada level individual, kepuasan pada satu pekerjaan merupakan

studi yang paling sering untuk menentukan hubungan antara kepuasan kerja dan

turnover. Keinginan berpindah merupakan keinginan seseorang untuk mencari

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

pekerjaan lain dan meninggalkan pekerjaannya sekarang. Keinginan berpindah

masih tetap ada hubungannya dengan organisasi dan belum diwujudkan untuk

meninggalkan organisasi (Abelson, 1987). Variabel keinginan berpindah

merupakan faktor yang memprediksi tingkat turnover (Mynatt, 1997).

Cahyono (2008) mengemukakan bahwa turnover intention diindikasikan

sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan

hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud

dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi dan Indriantoro, 1999). Turnover

didefinisikan sebagai penarikan diri secara sukarela atau tidak sukarela dari suatu

organisasi (Robbins, 1996). Penarikan diri secara sukarela merupakan keputusan

untuk meninggalkan organisasi disebabkan oleh dua faktor yaitu seberapa menarik

pekerjaan yang ada saat ini serta tersedianya alternatif pekerjaan lain. Penarikan

diri tidak sukarela adalah keputusan pemberi pekerjaan untuk menghentikan

hubungan kerja dan bersifat tidak dikontrol karyawan yang mengalaminya.

Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku

berdasarkan hubungan timbal balik antara keyakinan, sikap dan intensi individu.

Keyakinan dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan pengetahuan,

pendapatan dan pandangan individu terhadap objek. Sikap dikategorikan sebagai

aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu obyek serta

evaluasi yang dilakukannya. Intensi seseorang untuk melakukan perilaku

didasarkan oleh sikap orang tersebt terhadap perilaku itu dan norma subyektif

tentang perilaku itu, norma subyektif terbentuk dari umpan balik yang diberikan

perilaku itu sendiri. Ancok (1985) mendifinisikan keinginan adalah niat seseorang

untuk melakukan perilaku tertentu. Niat tersebut berkaitan erat dengan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

kepercayaan, sikap dan perilaku. Keinginan merupakan suatu prediktor tunggal

terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan, maka keinginan berpindah merupakan

prediktor terbaik terhadap gejala berpindah (Novliadi, 2007).

Jackofsky dan Peter (1983) memberikan batasan keinginan berpindah

sebagai perpindahan karyawan dari pekerjaannya sekarang. Cascio (1987)

mendefinisikan berpindah sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen

antara perusahaan dan pekerja. Scott (1977) menyatakan gejala turnover sebagai

perpindahan tenaga kerja dari dan ke sebuah perusahaan. Mobley (1986)

mengemukakan keinginan berpindah sebagai berhentinya individu dari anggota

organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang

bersangkutan. Robbins (1996) mengemukakan turnover menjadi dua macam

turnover yang sukarela dan tipe turnover yang dilakukan oleh organisasi. Mobley

(1986) menunjukkan adanya hubungan yang meyakinkan antara frekuensi berpikir

untuk beralih pekerjaan dengan perilaku turnover. Proses memasuki organisasi

adalah proses untuk menyesuaikan individu dan organisasi. Agar proses

penyesuaian ini efektif, individu dan organisasi harus terlibat secara aktif. Ketidak

efektifan penyesuaian ini akan mengakibatkan perilaku menarik diri individu dari

organisasi.

Berdasarkan persepsi auditor mengenai ketidakpastian lingkungan kerja,

penelitian-penelitian akuntansi membuktikan bahwa tingginya persepsi

ketidakpastian lingkungan berkorelasi dengan rendahnya kepuasan kerja,

rendahnya prestasi kerja, dan/atau tingginya niat ingin pindah (Ferris 1977;

Gregson, et al, 1994: Rebele dan Michaels, 1990). Walaupun ambiguitas peran,

konflik peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan bisa diidentifikasikan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

sebagai konsep yang berbeda dan terpisah dan saling berhubungan positif satu

sama lain (Rebelle dan Michaels, 1990), namun ketiga konsep ini juga berbeda

tingkat korelasinya dengan hasil-hasil kerja.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Viator (2001) menemukan ambiguitas

peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan berkorelasi negatif dengan prestasi

kerja, hubungan negatif antara persepsi ketidakpastian lingkungan dengan prestasi

kerja tersebut berlaku untuk akuntan senior wanita dan manajer senior wanita.

Sedangkan konflik peran dengan prestasi kerja ditemukan korelasi negatif yang

hanya ditemukan dalam sub-kelompok manajer senior pria. Berkaitan dengan

pengaruh stres peran terhadap keinginan berpindah ditemukan korelasi positif

ambiguitas peran dan konflik peran dengan keinginan berpindah, untuk persepsi

ketidakpastian lingkungan dengan tidak ditemukan bukti statistiknya. Dalam

lingkungan kerja akuntan publik, konflik peran berhubungan dengan adanya dua

rangkaian tuntutan yang bertentangan. Tanpa pengetahuan tentang struktur audit

yang baku, staf akuntan mempunyai kecenderungan mengalami kesulitan dalam

menjalankan tugasnya. Kesulitan ini timbul sehubungan dengan beberapa faktor

yang terindentifikasi dalam studi Bamber, Snowball dan Tubbs (1989) seperti

koordinasi arus kerja, kecukupan wewenang, kecukupan komunikasi dan

kemampuan adaptasi.

Penelitian Warsito dan Lubis (2009) mengemukakan pengaruh komitmen

organisasional terhadap keinginan berpindah dengan kepuasan kerja sebagai

variabel intervening. Penelitian Nurhidayati dan Gunadi (2009) menyimpulkan

multimensional komitmen organisasional sebagai mediator dalam hubungan

kepuasan kerja dan keinginan berpindah. Akbar (2009) melakukan penelitian

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

mengenai adanya pengaruh langsung antara variabel-variabel yang terdapat pada

push effects, mooring effects dan pull effects terhadap keinginan dan perilaku

berpindah nasabah bank ritel di Jakarta. Variabel yang terdapat pada push effect

adalah kualitas, kepuasan, nilai, kepercayaan, komitmen, dan persepsi harga.

Sementara Mooring effects terdiri dari sikap terhadap perpindahan, norma

subjektif, biaya berpindah, perilaku berpindah sebelumnya, dan pencarian

alternatif. Terakhir, pull effects terdiri dari satu variabel yaitu kemenarikan

alternatif. Masing-masing variabel tersebut akan dianalisis pengaruhnya secara

langsung dalam menimbulkan keinginan dan perilaku berpindah nasabah bank

ritel di Jakarta. Hasil analisis menunjukkan terdapat korelasi antara push effects

dan mooring effects terhadap keinginan berpindah, kemudian korelasi antara tiga

variabel independen, yaitu persepsi harga, biaya berpindah dan pencarian

alternatif di dalam mempengaruhi keinginan dan perilaku berpindah nasabah bank

ritel di Jakarta.

Ringkasan penelitian yang menguji variabel keinginan berpindah yang

dilakukan oleh Ketchand dan Strawser (2001) tampak pada tabel 2.1 berikut ini

Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Variabel Keinginan Berpindah (Ketchand dan Strawser, 2001)

No Penelitian:

Profesi/ Subjek yang diuji

Objek Penelitian Hasil Penelitian

1. O’Reilly dan Chatman (1986)

Pekerja universitas,mahasiswa S1 dan mahasiswa MBA

• Keinginan untuk tetap tinggal di organisasi berkorelasi positif dengan komitmen,

• Keinginan berpindah sebenarnya berkorelasi negatif dengan komitmen.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

No Penelitian:

Profesi/ Subjek yang diuji

Objek Penelitian Hasil Penelitian

2 Meyer et al.(1989)

Organisasi jasa makanan • Umur (tidak signifikan) • Masa jabatan (tidak signifikan) • Kepuasan kerja berkorelasi positif

dengan komitmen. • Kinerja berkorelasi positif affective

commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.

• Promosi berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.

3 Meyer et al. (1993)

Pelajar keperawatan, perawat yang diregister

• Umur berkorelasi positif dengan komitmen

• Masa jabatan berkorelasi positif dengan komitmen

• Kepuasan kerja berkorelsi positif dengan komitmen

• Aktivitas profesional berkorelasi negatif dengan komitmen

• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen

4 Dunham et al. (1994) .

Petugas kepolisian Pekerja paruh waktu (pelajar dengan berbagai pekerjaan) Organisasi pendidikan dan kesehatan kanker

• Karakteristik pekerjaan dan pengalaman kerja berkorelasi positif dengan komitmen

• Ketergantungan organisasi berkorelasi positif dengan komitmen

• Kepemimpinan partisipatif berkorelasi positif dengan komitmen

• Coworkers commitment berkorelasi positif dengan affective commitment dan normative commitment.

• Umur berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.

• Masa jabatan berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.

• Kepuasan karier berkorelasi positif dengan affective commitment dan normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.

• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

No Penelitian:

Profesi/ Subjek yang diuji

Objek Penelitian Hasil Penelitian

5 Hacker et al. (1994)

Perawat yang diregister Operator bus

• Umur berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.

• Masa jabatan berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.

• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.

• Motivasi berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.

• Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.

• Kinerja berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.

6 Kalbers dan fogarty (1995)

Auditor internal • Profesionalisme (dedikasi) berkorelasi positif dengan komitmen.

• Profesionalisme (obligation) berkorelasi negatif dengan komitmen.

• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen.

7 Ko et al. (1997)

Institute penelitian korea utara, Pekerja penerbangan korea utara.

• Dukungan sosial berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment.

• Karakteristik pekerjaan/pengalaman kerja berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment.

• Keinginan untuk tetap tinggal di organisasi berkorelasi positif dengan komitmen

• Perilaku mencari kerja berkorelasi negatif dengan komitmen.

8 Ketchand dan Strawser (1998)

Akuntan publik yang disertifikasi

• Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan affective commitment dan continuence commitment.

• Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

No Penelitian:

Profesi/ Subjek yang diuji

Objek Penelitian Hasil Penelitian

9 Iverson dan Buttigieg (1999)

Pemadam kebakaran dan petugas keselamatan.

• Obligation to relative berkorelasi negatif dengan normative commitment dan berkorelasi positif dengan continuance commitment low alternative.

• Job expectation berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment.

• Job value berkorelasi positif dengan affective commitment dan continuance commitment high sacrifice.

• Enthusiasm berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment low alternative.

• Pendidikan berkorelasi negatif dengan normative commitment.

• Coworker support berkorelasi positif dengan affective commitment

• Kesempatan promosi berkorelasi positif dengan affective commitment.

• Kompensasi berkorelasi positif dengan continuance

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keinginan Berpindah

Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan berpindah sangat banyak dan

kompleks serta saling berhubungan. Meier (1971) mengemukakan pekerja muda

memiliki keinginan berpindah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja-

pekerja yang lebih tua. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan antara usia dan keinginan berpindah (Mobley, 1986).

Karyawan yang lebih muda akan lebih tinggi keinginan berpindahnya. Hal ini

mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindah-pindah tempat kerja

karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang menurun,

tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan ditempat kerja baru atau

karena energi yang sudah berkurang dan lebih lagi karena senioritas yang belum

tentu diperoleh ditempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

besar (Novialdi, 2007). Gilmer (1966) juga berpendapat bahwa tingkat keinginan

berpindah lebih

Tinggi pada karyawan yang lebih muda disebabkan mereka masih

memiliki keinginan untuk mencaoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta

ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar dengan cara tersebut. Selain itu

karyawan lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk

mendapatkan kesempatan pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab keluarga

lebih kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan

serta harapan-harapan yang tidak terpenuhi (Wanous dan Mobley, 1986, Novialdi,

2007). United Satated Civil Service Commission (1977) menyatakan bahwa setiap

kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga

perempat bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama

masa bakti (Mobley, 1986).

Prihastuti (1992) menunjukkan adanya korelasi negatif antara masa kerja

dan turnover, semakin lama masa kerja semakin rendah kecendrungan

turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja

lebih singkat (parson dkk, 1985). Karyawan sering menemukan harapan mereka

terhadap pekerjaan atau perusahaan tersebut berbeda dengan kenyataan yang

didapat, pekerja baru umumnya masih muda masih punya keberanian untuk

berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan harapan (Handoyo, 1987).

Mowday dkk (1982) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh

padaa keinginan berpindah.

Steel dan ovalle (1984) dan Mowday (1982) mengemukakan bahwa

keterikatan terhadap perusahaan mempunyai hubungan yang negatif dan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

signifikan terhadap keinginan berpindah. Berarti semakin tinggi keikatan

seseorang terhadap perusahaannya akan semakin kecil ia mempunyai keinginan

untuk berpindah pekerjaan. Arnold dan Fieldman (1982) menunjukkan bahwa

tingkat turnover juga dipengaruhi oleh kepusan kerja. Sementara Robbins (1998)

mengemukakan budaya perusahaan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap

perilaku turnover.

Model dari dimensi keinginan berpindah (diadopsi dari Ketchand dan

Strawser, 2001) tampak pada gambar 2.1 berikut ini.

Karakteristik personal:umur, gender, status masa jabatan, perkawinan, kemampuan etika kerja personal, gaji level kerja, status pekerjaan, jumlah ketergantungan kebutuhan untuk pencapaian. Situasi peran: kekaburan/kejelasan peran, konflik peran, role overload. Karakteristik pekerjaan/Pengalaman kerja: Keanekaragaman keahlian/rutinisasi, otonomi tugas, tantangan dan kesulitan, task significance, lingkup pekerjaan, resource adequacy, work overload. Hubungan kelompok/pimpinan:Group cohesiveness, task interdependence, keperilakuan /dukungan supervisor, komunikasi pimpinan, leader consideration behavior, leader initiating structure behavior,supervisor feedback, keperilakuan/dukungan coworker, peer cohesion dan personal importance. Karakteristik organisasi:Ukuran, derajat desentralisasi,dependability, ekspected loyalty. Cost of departure: Loss of pensions benefit, perceived job alternative, time and effort in departing, transferability of skill, time investment in organization, general training provide, social support dan job choice factor.

Affective commitment • Identifikasi • Internalisasi Continuance commitment • High sacrifice • Low alternative Normative commitment Instumental commitmen

Performance • Self evaluation of job

performance • Superior evaluation of

performance • Complience with Rules

and regulation • Neglect • Extrarole Behavior • Promotability • Efficiency/use of time Turnover Behavior Withdrawal Behavior • Keinginan berpindah • Attendance • Tardiness • Job search behavior Yang lainnya • Employee suggestions for

improvement • Loyalty/sense of obligation • Professional activit

Correlates of OC Kepuasan kerja/karier Job involvement Stress Proffesional/occupation commitment Motivation Union commitment Co-workers commitment

Job security

Gambar 2.1. Model Dimensi Keinginan Berpindah

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

2.1.4. Empowerment

Empowerment atau pemberdayaan menurut Drake et al (2007) adalah

motivasi instrinsik yang nampak di dalam empat kognisi yang mencerminkan

orientasi dari seorang individu terhadap peran kerjanya yaitu makna (meaning),

kompetensi (competence), penentuan nasib sendiri (self determination) dan

dampak (impact). Makna adalah kecocokan antara tuntutan dari peran kerja

dengan keyakinan, nilai dan perilaku dari seseorang. Kompetensi adalah perasaan

seseorang bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu yang bersifat spesifik pada

pekerjaan. Penetuan nasib sendiri adalah perasaan memiliki kesempatan untuk

memilih di dalam mengawali dan mengatur tindakan. Dampak adalah tingkat

sejauh mana seseorang dapat mempengaruhi hasil strategis, administrasi atau

operasional di tempat kerja.

Robbins (2003) mengemukakan bahwa peremberdayaan (empowerment)

membuat karyawan menguasai apa yang mereka lakukan. Cutterbuck (1995)

menyatakan bahwa pemberdayaan berarti mendorong dan mengijinkan SDM

memikul tanggungjawab pribadi untuk meningkatkan cara kerja dan

meningkatkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Pemberdayaan adalah untuk

manusianya bukan organisasi. Alam dan Armanu (2010) mengemukakan bahwa

pemberdayaan dipahami sebagai tindakan memberikan kewenangan, ketrampilan

dan kebebasan kepada pegawai di dalam melakukan tugas mereka dan

mendeskripsikan pemberdayaan sebagai cara orang memandang diri mereka

sendiri di dalam lingkungan kerja dari tingkat sejauhmana membentuk peran kerja

(Spreitzer, 1996). Brancato (2003) mengajukan pendapat bahwa peningkatan pada

pemberdayaan dapat menurangi stres yang dialami di tempat kerja karena

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

pemberdayaan memungkinkan untuk memanfaatkan keterampilan, pengetahuan

dan kemampuan mereka secara aktif dan memungkinkan untuk memanfaatkan

keterampilan, pengetahuan dan kemampuan mereka secara aktif dan untuk

berpartisipasi.

Pemberdayaan juga dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensional

yang terdiri dari empat kognisi yang mencerminkan bagaimana orientasi seorang

individu terhadap pekerjaannya. Keempat kognisi itu adalah makna/mean (nilai

dari sebuah tujuan kerja bagi individu), kompetensi/competence (keyakinan

seorang individu tentang kemampuan untuk memenuhi tuntutan kerja),

menentukan nasib sendiri/self determination (otonomi atau kendali terhadap

proses-proses perilaku dalam bekerja) dan dampak/impact (tingkat sejauh mana

seorang individu dapat mempengaruhi secara aktif peran kerja dan konteks

kerjanya (Daniels dan Guppy 1994).

2.1.5. Inovasi

Radenakers (2005) menyatakan inovasi proses adalah metode baru dalam

menjalankan kegiatan bernilai tambah, sementara inovasi organisasional adalah

metode baru dalam mengelola, mengkordinasi dan mengawasi pegawai.

Pengertian inovasi akhirnya memang menjadi luas tetapi pada dasarnya inovasi

merupakan suatau proses yang tidak hanya sebatas menciptakan ide atau

pemikiran baru. Ide tersebut harus diimpelementasikan melalui sebuah proses

adopsi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan inovasi secara keseluruhan

sebagai cara tindakan yang terbaik (Rogers, 1983 di dalam Higa et al, 1997).

Proses adopsi inovasi inilah yang harus mendapat perhatian utama oleh

perusahaan.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

King (2003) menjelaskan bahwa Rogers (1983) merinci 5 tahapan yang

terjadi selama proses keputusan inovasi. Tahap pertama terjadi ketika seseorang

menunjukkan perhatian awal terhadap inovasi. Kadang-kadang setelah itu,

individu tersebut membentuk sikap-sikap tertentu terhadap inovasi tersebut, baik

menguntungkan atau tidak. Hal tersebut diikuti dengan pengambilan keputusan

untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Jika individu telah memutuskan untuk

mengadopsi inovasi, maka individu melangkah ke tahap keempat yaitu secara

aktual menggunakan inovasi. Setelah menggunakan inovasi, individu melangkah

ke tahap akhir, yaitu penguatan dan institusionalisasi keputusan inovasi. Difusi

adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu pada

periode waktu tertentu di antara anggota sebuah sistem sosial. Inovasi adalah

gagasan, praktek, atau obyek yang dianggap baru oleh individu atau atau satuan

adopsi lainnya. Sedangkan komunikasi adalah proses di mana anggota membuat

dan membagikan informasi kepada anggota lainnya untuk mencapai pemahaman

yang saling menguntungkan.

2.1.6. Profesionalisme

Profesional dapat mempengaruhi cara bertindak dan perilaku.

Wahyudin dan Mardiyah (2006) mengemukana bahwa profesi dan

profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. “Profesi merupakan

jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan

profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa

melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak” (Kalbers dan

Fogarty, 1995: 72). Sebagai profesional, akuntan publik mengakui tanggung

jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini

merupakan pengorbanan pribadi.

Seorang auditor bisa dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan

mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI, antara lain: a).

prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang

telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi, b). peraturan perilaku

seperti standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus

yang merupakan suatu keharusan, c). inteprestasi peraturan perilaku tidak

merupakan keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya, dan d). ketetapan

etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus tetap memegang teguh

prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor dibayar

oleh kliennya.

Menurut Tjiptohadi (1996) profesionalisme memiliki beberapa makna

profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu,

berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya atau memperoleh imbalan

karena keahliannya. Seseorang dikatakan profesional apabila telah mengikuti

pendidikan tertentu yang menyebabkan mempunyai keahlian atau kualifikasi

khusus. Profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-

prinsip moral dan etika profesi. Standar mutu pekerjaan mengharuskan akuntan

melaksanakan keahlian sedemikian rupa sehingga mencapai level tertentu.

Profesional juga berarti moral.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

Menurut Hall (1968) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:

a) Pengabdian pada profesi

Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan

menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimilki. Keteguhan untuk

tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini

adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan

didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama

yang di harapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian

materi.

b) Kewajiban sosial

Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan

manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya

pekerjaan tersebut.

c) Kemandirian

Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang

profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak

lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan

dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesioanal.

d) Keyakinan terhadap peraturan profesi

Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling

berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan

orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan

pekerjaan mereka.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

e) Hubungan dengan sesama profesi

Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai

acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal

sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional

membangun kesadaran profesional.

2.1.7. Cara Akuntan Publik Mewujudkan Perilaku Profesional

Wahyudin dan Mardiyah (2006) mengemukakan IAI berwenang

menetapkan standar (yang merupakan pedoman) dan aturan yang harus dipatuhi

oleh seluruh anggota termasuk setiap kantor akuntan publik lain yang beroperasi

sebagai auditor independen. Persyaratan-persyaratan ini dirumuskan oleh komite-

komite yang dibentuk oleh IAI. Ada empat bidang utama di mana IAI berwenang

menetapkan standar dan memuat aturan yang bisa meningkatkan perilaku

profesional seorang auditor.

a). Standar auditing. Komite Standar Profesional Akuntan Publik (Komite SPAP)

IAI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar auditing. Standar ini

disebut sebagai Pernyataan Standar Auditing atau PSA (sebelumnya disebut

sebagai NPA dan PNPA). Di Amerika Serikat pernyataan ini disebut sebagai

SAS (Statement on Auditing Standard) yang dikeluarkan oleh Auditing

Standard Boards (ASB). Pada tanggal 10 November 1993 dan 1 Agustus 1994

pengurus pusat IAI telah mensahkan sejumlah pernyataan standar auditing

(sebelumnya disebut sebagai norma pemeriksaan akuntan-NPA).

Penyempurnaan ini terutama sekali bersumber pada SAS dengan penyesuaian

terhadap kondisi Indonesia dan standar auditing internasional.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

b). Standar kompilasi dan penelaahan laporan keuangan. Komite SPAP IAI

dan Compilation and Review Standards Committee bertanggung jawab

untuk mengeluarkan pernyataan mengenai pertanggungjawaban akuntan

publik sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan yang

tidak diaudit. Pernyataan ini di Amerika Serikat disebut Statements on

Standards for Accounting and Review Services (SSARS) dan di Indonesia

disebut Pernyataan Standard Jasa Akuntansi dan Review (PSAR). PSAR 1

disahkan pada 1 Agustus 1994 menggantikan pernyataan NPA

sebelumnya mengenai hal yang sama. Bidang ini mencakup dua jenis jasa,

pertama, untuk situasi di mana akuntan membantu kliennya menyusun

laporan keuangan tanpa memberikan jaminan mengenai isinya (jasa

kompilasi). Kedua, untuk situasi di mana akuntan melakukan prosedur-

prosedur pengajuan pertanyaan dan analitis tertentu, sehinggga dapat

memberikan suatu keyakinan terbatas bahwa tidak diperlukan perubahan

apapun terhadap laporan keuangan bersangkutan (jasa review).

c). Standar atestasi lainnya. Tahun 1986, AICPA menerbitkan Statement on

Standards for Atestation Engagements. IAI sendiri mengeluarkan beberapa

pernyataan standar atestasi pada 1 Agustus 1994 pernyataan ini mempunyai

fungsi ganda, pertama, sebagai kerangka yang harus diikuti oleh badan

penetapan standar yang ada dalam IAI untuk mengembangkan standar yang

terinci mengenai jenis jasa atestasi yang spesifik. Kedua, sebagai kerangka

pedoman bagi para praktisi bila tidak terdapat atau belum ada standar spesifik

seperti itu. Komite Kode Etik IAI di Indonesia dan Committee on Professional

Ethics di Amerika Serikat menetapkan ketentuan perilaku yang harus dipenuhi

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

oleh seorang akuntan publik yang meliputi standar teknis. Standar auditing,

standar atestasi, serta standar jasa akuntansi dan review dijadikan satu menjadi

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).

2.1.8. Teori Peran

Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan teori,

orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan

masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi (Sarwono, 2002). Menurut

Biddle dan Thomas (1966) teori peran terbagi menjadi empat golongan, yaitu

istilah-istilah yang menyangkut (a) orang-orang yang mengambil bagian dalam

interaksi sosial (b) perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut (c) kedudukan

orang-orang dalam perilaku (d) kaitan antara orang dan perilaku. Sedangkan

orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi social terbagi menjadi 2

yaitu : (1) aktor (actor, pelaku), yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti

suatu peran tertentu (2) target (sasaran) atau orang lain (other), yaitu orang yang

mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya. Aktor maupun target bisa

berupa individu-individu ataupun kumpulan individu (kelompok). Hubungan

antara kelompok dengan kelompok misalnya terjadi antara sebuah paduan suara

(aktor) dan pendengar (target). Istilah “aktor” kadangkadang diganti dengan

person, ego, atau self. Sedangkan “target” kadang-kadang diganti dengan istilah

alter-ego, alter atau non-self. Dengan demikian, jelaslah bahwa teori peran

sebetulnya dapat diterapkan untuk menganalisis setiap hubungan antar dua orang

atau antar banyak orang. Hubungan aktor target adalah membentuk indentitas

aktor (person, self, ego) yang dalam hal ini dipengaruhi oleh penilaian atau sikap

orang-orang lain (target) yang telah digeneralisasikan oleh aktor. Aktor

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

menempati posisi pusat (focal position), sedangkan target menempati posisi

padanan dari posisi pusat tersebut (counter posisition). Dengan demikian, maka

target berperan sebagai pasangan (patner) bagi aktor. Hal ini terlihat misalnya

pada hubungan ibu-anak, suami istri atau pemimpin anak buah.

Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-

aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai

dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang

menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,

seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa,

orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku

sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena

dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus

mengobati pasien yang datang kepadanya dan perilaku ditentukan oleh peran

sosialnya Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975 dalam Mustofa,

2006) membantu memperluas penggunaan teori peran menggunakan pendekatan

yang dinamakan “life-course” yang artinya bahwa setiap masyarakat mempunyai

harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai

dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah

ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan

belas tahun, bekerja pada usia tujuh belas tahun, mempunyai istri/suami pada usia

dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda, usia

sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh

belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi

kedalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana

setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan psikologi

sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategori-

kategori yang ditetapkan secara sosial. Setiap peran sosial adalah serangkaian hak,

kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan

dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak

dengan cara yang dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung

pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain. Teater adalah

metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan teori peran. Meski kata

'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama beberapa abad, sebagai suatu

konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar tahun 1920-an dan 1930-an.

Tergantung sudut pandang umum terhadap tradisi teoretis, ada serangkaian "jenis"

dalam teori peran. Teori ini menempatkan persoalan-persoalan berikut mengenai

perilaku sosial: Pembagian buruh dalam masyarakat membentuk interaksi di

antara posisi khusus heterogen yang disebut peran, Peran sosial mencakup bentuk

perilaku wajar dan diizinkan, dibantu oleh norma sosial, yang umum diketahui

dan karena itu mampu menentukan harapan.

Menurut Cohen (2000) teori peran ini memberikan suatu kerangka

konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa

peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau

tindakan” Lebih lanjut, Cohen (2000 mengemukakan bahwa relevansi suatu peran

itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome

yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti

mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception. Ditinjau dari

Perilaku Organisasi, peran ini merupakan salah satu komponen dari sistem sosial

organisasi, selain norma dan budaya organisasi. Horton dkk (1993) menyebutkan

lima aspek penting dari peran, yaitu:

1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan

harapannya, bukan individunya.

2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku

yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.

3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity)

4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa

perubahan perilaku utama.

5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu

pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain

terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi

oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran

adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial

tertentu. (Farley, 1992). Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita

siapa. Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas

sosial atau politik. Peran adalah kombinasi adalah posisi dan pengaruh. Anda di

posisi mana dalam suatu strata sosial dan sejauhmana pengaruh Anda. Itulah

peran. Peran adalah kekuasaan dan bagaimana kekuasan itu bekerja, baik secara

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

organisasi dan organis. Peran memang benar-benar kekuasaan yang bekerja,

secara sadar dan hegemonis, meresap masuk, dalam nilai yang diserap tanpa

melihat dengan mata terbuka lagi. simbiosi yang berkaitan dengan keuntungan

dan kerugian, sebab dengan peran, ada yang dirugikan dan diuntungkan.Peran

adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap

seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh

keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah

bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu.

Peran ialah “the dynamic aspect of status” (aspek dinamis dari suatu

status). Definisi sederhana yang dibuat oleh Linton ini memberikan deskripsi

mengenai posisi dan kedudukan dari status-peran. Makna peran, menurut

Suhardono, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama penjelasan

historis. Menurut penjelasan historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan

yang memiliki hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada

zaman Yunani Kuno atau Romawi. Dalam hal ini, peran berarti katakter yang

disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon

tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial

berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi

dalam struktur sosial tertentu. Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang

dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut.Pengertian

peran dalam kelompok pertama di atas merupakan pengertian yang dikembangkan

oleh paham strukturalis di mana lebih berkaitan antara peran-peran sebagai unit

kultural yang mengacu kepada hak dan kewajiban yang secara normatif telah

dicanangkan oleh sistem budaya. Sedangkan pengertian peran dalam kelompok

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

dua adalah paham interaksionis, karena lebih memperlihatkan konotasi aktif

dinamis dari fenomena peran.Seseorang dikatakan menjalankan peran manakala ia

menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan bagian tidak terpisah dari status

yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peran sosial.

Menurut Horton dkk (1993), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari

seseorang yang memiliki suatu status.). Dalam kerangka besar, organisasi

masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat

(nature) dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta

distribusi sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya.

Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan memberi

imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan cara yang berbeda,

sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang berbeda pula. Bila yang

diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam

suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari

orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari

perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan. Sedangkan, Ahmadi (1982)

mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap

caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan

status dan fungsi sosialnya.Meninjau kembali penjelasan tentang peran secara

historis, Horton dkk (1993) menyatakan, peran sosial mirip dengan peran yang

dimainkan seorang actor, maksudnya orang yang memiliki posisi-posisi atau

status-status tertentu dalam masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam cara-

cara tertentu yang bisa diprediksikan, seolah-olah sejumlah "naskah" (scripts)

sudah disiapkan untuk mereka. Namun harapan-harapan yang terkait dengan

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

peran-peran ini tidak hanya bersifat satu-arah. Seseorang tidak hanya diharapkan

memainkan suatu peran dengan cara-cara khas tertentu, namun orang itu sendiri

juga mengharapkan orang lain untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu

terhadap dirinya. Seorang dokter dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang

bersifat sangat pribadi kepada pasien dan mengharapkan pasiennya menjawab

dengan jujur. Sebaliknya si pasien mengharapkan dokter untuk merahasiakan dan

tidak menyebarkan informasi yang bersifat pribadi ini ke pihak lain. Jadi peran

sosial itu melibatkan situasi saling-mengharapkan (mutual-expectations). Peran

sosial karena itu bukanlah semata-mata cara orang berperilaku yang bisa diawasi,

tetapi juga menyangkut cara berperilaku yang dipikirkan seharusnya dilakukan

orang bersangkutan. Gagasan-gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan

orang, tentang perilaku apa yang "pantas" atau "layak", ini dinamakan

norma.Harapan-harapan terpenting yang melingkupi peran sosial bukanlah

sekadar pernyataan-pernyataan tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang apa

yang akan dilakukan seseorang, di luar kebiasaan, dan seterusnya, tapi norma-

norma yang menggaris bawahi segala sesuatu, di mana seseorang yang memiliki

status diwajibkan untuk menjalankannya. Jadi, peran-peran itu secara normatif

dirumuskan, sedangkan harapan-harapan itu adalah tentang pola perilaku ideal,

terhadap mana perilaku yang sebenarnya hanya bisa mendekati.Dalam kaitannya

dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan

peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi

kekurangberhasilan dalam menjalankan perannya. Dalam ilmu sosial,

ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan role strain.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

Konflik peran setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan

kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang

bertentangan. Konflik peran sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah

peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan

yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata

lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus

melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik

antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal.

Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian

dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang

bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik

inheren. Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama

ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain

adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai

status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini

merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang

berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam

sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai

karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti

tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan

di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di

perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang

ditawari produk perusahaan tersebut).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

Menurut Horton dkk (1993), seseorang mungkin tidak memandang suatu

peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat

kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran

tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya

kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya.

Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang

memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.Ada

beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan

melindungi diri dari rasa bersalah. Pertama, rasionalisasi, yakni suatu proses

defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan

istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima.

Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah

kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa "semua

manusia sederajat" tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih

bahwa budak bukanlah "manusia" tetapi "benda milik."Kedua, pengkotakan

(compartmentalization), yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari

peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang

hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya,

seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan

kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan

merugikan kepentingan rakyat.Ketiga, ajudikasi (adjudication), yakni prosedur

yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada

pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan

dosa.Terakhir, kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

peranan dan "kedirian" (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat

muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran

yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya

menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung

mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan

dengan tindakan-tindakan mereka itu.Konflik-konflik nyata antara peran dan

kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang

dikembangkan Erving Goffman. "Jarak peran" diartikan sebagai suatu kesan yang

ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima

definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan

komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk

menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti,

pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin

bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil

jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan "jarak

peran" menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi

lain, "penyatuan diri" dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari

"jarak peran." Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang

terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang

individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang

diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.

2.1.9. Ambiguitas Peran

Alam dan Armana (2010) mengemukakan harapan-harapan personal

terbatas di suatu organisasi dan mungkin akan berbenturan dengan harapan-

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

harapan konsumen. Ketika atasan mengharapkan karyawan untuk melayani

konsumen sebanyak mungkin, pada saat yang sama konsumen akan menuntut

perhatian personal, ambiguitas peran terjadi ketika seseorang tidak memiliki akses

ke informasi yang cukup untuk menjalankan perannya sebagai karyawan.

Ambigutas peran mengacu pada konsekuensi kinerja yang tidak dapat diprediksi

dan defisiensi informasi mengenai perilaku peran yang diharapkan. Sebaliknya,

konflik peran mengacu pada harapan-harapan yang tidak sesuai dan ini dapat

terjadi antara beberapa peran (Schoubroeck et al, 1989). Pendapat Rizzo (1970)

ambiguitas peran sebagai situasi di mana seseorang tidak memiliki arah yang jelas

tentang pengharapan yang dibebankan kepada peran yang ia jalankan di dalam

organisasi dan konflik peran sebagai ketidakselarasan antara pengharapan yang

dikomunikasikan dengan persepsi pegawai mengenai pelaksanaan perannya.

Cahyono (2008) mengemukakan bahwa ambiguitas peran adalah tidak adanya

informasi umpan balik hasil evaluasi pengawas tentang hasil kerja seseorang,

tentang peluang-peluang kenaikan karir, cakupan tanggungjawab dan

pengharapan-pengharapan si penyampai peranv(Katz dan Kahn, 1978).

Ambiguitas peran muncul karena kurangnya informasi atau karena tidak adanya

informasi atau karena tidak adanya informasi sama sekali atau informasinya tidak

disampaikan.

2.1.10. Konflik Peran

Catharina (2001) menyatakan bahwa konflik peran muncul ketika karyawan

menerima harapan atau tuntutan dari rekan kerja, tuntutan dari atasan, tuntutan

pelanggan yang tidak cocok atau saling bertentangan dari dua orang/pihak atau

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

lebih yang tidak mampu dipenuhi atau dipuaskan secara simultan (Douglas, 1996,

Dubinsky et al, 1992, Keaveney dan Nelson, 1993, Siguaw et al, 1994).

Konflik peran juga muncul ketika ada permintaan dari pihak lain yang

bertentangan dengan prinsip atau pengharapan seseorang. Pihak atau orang lain

yang memberikan permintaan atau tuntutan disebut role sender. Dalam lingkup

perusahaan jasa, adanya kesenjangan pengharapan (expectations) berisiko

mendorong munculnya stress (Babin dan Boles, 1998). Konflik peran juga bisa

muncul ketika pihak manajemen memberikan tugas yang tidak bisa diselesaikan

dengan baik oleh karyawan akibat tidak tersedianya waktu dan sumber daya (dana

dan peralatan) yang mencukupi (Sumrall dan Sebastianelli, 1999). Konflik peran

juga muncul akibat penerapan peraturan atau kebijakan perusahaan yang

dirasakan terlalu ketat atau kurang fleksibel (Babin dan Boles, 1998). Konflik

peran juga bisa terjadi akibat perbedaan jenis pekerjaan (job characteristic) yang

berbeda antara departemen dalam satu perusahaan. Perbedaan jenis pekerjaan ini

mengakibatkan perbedaan persepsi antara departemen terhadap suatu tugas (job

task) yang harus dikerjakan bersama (Sign, 1998).

Baik buruknya kinerja karyawan sebagai implikasi munculnya konflik peran

atau ambiguitas peran sangat tergantung pada bagaimana dia mengatasi atau

merespon konflik peran dan ambiguitas peran yang dialami (Keaveney dan

Nelson, 1993, Watherly dan Tansik, 1993). Coping didefinisikan oleh Goolsby

(1992) sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengelola

permintaan-permintaan yang dirasakan melebihi sumber daya yang dimilikinya.

Kemampuan coping menurut Goolsby (1992) di pengaruhi oleh sumber daya yang

dimiliki seseorang meliputi usia, pengalaman kerja dan tingkat pendidikan.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

Peran oleh Luthans (2001: 407) di definisikan sebagai suatu posisi yang

memiliki harapan yang berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu

seringkali memiliki peran ganda (multiple roles), karena selain sebagai guru

misalnya seseorang juga memiliki peran di keluarganya, di lingkungannya dan

lain-lain. Peran-peran ini seringkali memunculkan konflik-konflik tuntutan dan

konflik-konflik harapan. Dan di sisi lain, kepuasan kerja merupakan komponen

penting yang mempunyai pengaruh yang signifikan untuk beberapa variabel,

seperti berpengaruh positif dengan kepuasan hidup (Iris dan Barrett,1977; Judge

et. al,1994), Berpengaruh positif dengan komitmen pada organisasi

(Yousef,2002), berpengaruh positif pada kinerja pekerjaan (Babin and

Boles,1996) namun berpengaruh negatif dengan absensi (Muchinsky, 1977) dan

turnover (Locke,1984). Dan di sisi lain, kepuasan kerja merupakan komponen

penting yang mempunyai pengaruh yang signifikan untuk beberapa variabel,

seperti berpengaruh positif dengan kepuasan hidup (Iris dan Barrett,1977; Judge

et. al,1994), Berpengaruh positif dengan komitmen pada organisasi

(Yousef,2002), berpengaruh positif pada kinerja pekerjaan (Babin and

Boles,1996) namun berpengaruh negatif dengan absensi (Muchinsky, 1977) dan

turnover (Locke,1984).

Penelitian tentang hubungan antara komitmen organisasional , komitmen

profesi dan konflik peran dilakukan oleh Aranya dan Ferris (1984) yang

menemukan bahwa konflik peran yang dialami oleh akuntan yang bekerja pada

organisasi akuntan publik adalah lebih rendah dibandingkan dengan akuntan yang

bekerja pada organisasi non profesi. Andraeni (2003) menyatakan bahwa konflik

peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

dengan satu peran. Konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan

harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara

tuntutan peran dan kebutuhan , nilai-nilai individu. Sebagai akibatnya seseorang

yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing dan

serba salah.

2.1.11. Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional adalah suatu konsep yang mencari sifat

kelekatan (attachment) yang dibentuk oleh individu terhadap pekerjaan organisasi

mereka (Ketchan dan Strawser, 2001). Kemudian Kinicki (2001) menyebutkan

bahwa komitmen organisasional menunjukkan seberapa jauh individu

mengidentifikasi organisasi dan menjalankan tujuannya.

Penelitian mengenai komitmen organisasional dimulai oleh Porter et al.

(1974), yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor apa yang mempengaruhi

formasi komitmen organisasional dan bagaimana komitmen organisasional

mempengaruhi organisasi. Dewasa ini penelitian dalam industri dan psikologi

organisasi serta keperilakuan organisasi berusaha mengidentifikasi keberadaan

berbagai dimensi komitmen organisasional dan menemukan hubungan yang

berbeda antara dimensi dan pengaruh penting terhadap organisasi. Menurut

Aranya et al. (1981) komitmen organisasional adalah sebuah kepercayaan dan

penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi atau profesi, sebuah

kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan

organisasi atau profesi, kemudian sebuah keinginan untuk memelihara

keanggotaan dalam organisasi atau profesi.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

Dua definisi komitmen organisasional yang sangat populer dalam literatur

penelitian dikemukakan oleh Porter et al. (1974) yang menyatakan komitmen

adalah kekuatan identifikasi dalam organisasi. Kemudian Becker (1960)

menggambarkan komitmen sebagai perjanjian terhadap organisasi. Dalam kasus

untuk organisasi menurutnya aktivitas meliputi tetap tinggal dengan organisasi,

biaya yang dirasakan dihubungkan dengan aktivitas yang tidak dilanjutkan seperti

meninggalkan organisasi termasuk kerugian manfaat yang ada dan senioritas,

gangguan yang ada karena berpindah ke lokasi lain serta usaha untuk mencari

pekerjaan baru. Komitmen organisasional adalah suatu kekuatan relatif

identifikasi individu dan keterlibatannya dalam organisasi (Steers, 1977).

Dimensi komitmen organisasional dapat dibagi dua yaitu affective

commitment dan continuence commitment (Ketchand dan Strawser, 2001).

Individu dengan affective commitment kuat cenderung akan tetap tinggal di

organisasi karena mereka menginginkannya, sementara pekerja dengan

continuence comitment tinggi akan tetap tinggal di organisasi karena mereka

membutuhkan. Sebagai akibatnya, keperilakuan pekerja antara kedua komitmen

tersebut akan berbeda.

Williams dan Hazer (1986) membuat pemisahan antara komitmen dan

kepuasan kerja dalam bentuk affective response pada seluruh organisasi,

kemudian menunjukkan affective response pada aspek khusus pekerjaan.

Perhatian utama model dan penemuan penelitian mengidentifikasi antecedent of

commitment dari berbagai kategori. Hal tersebut termasuk karakteristik personal,

karakteristik pekerjaan, pengalaman kerja, faktor organisasional dan role related

factor.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

2.2. Review Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya sebagai acuan penelitian ini adalah penelitian-

penelitian keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik yang akan dijelaskan

sebagai berikut: Penelitian Ratnawati (2000) dengan judul Hubungan kepuasan

kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan konsekuensinya dengan

keinginan berpindah pada kantor akuntan publik. Secara umum penelitian ini

bertujuan untuk menguji pengaruh dari variabel personal dan organisasional

terhadap keinginan berpindah. secara spesifik penelitian ini ingin menguji

pengaruh dari job insecurity, anteseden dari job insecurity yaitu kepuasan kerja,

konflik peran, dan locus of control, serta konsekuensi dari job insecurity yaitu

komitmen organisasi, terhadap keinginan berpindah, data pada penelitian ini

diperoleh melalui respon dari 98 staf akuntan pada kantor akuntan publik terdaftar

pada directory IAI 1998 yang menjadi sampel. Kuesioner didesain sedemikian

rupa untuk memperoleh data terhadap 6 variabel pada penelitian ini yaitu

kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity, komitmen

organisasional, dan keinginan berpindah. analisis data dilakukan dengan

menggunian model persamaan struktural (structural equation modelling) dengan

aplikasi program amos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran dan

locus of control mempunyai hubungan yang signifikan dengan keinginan

berpindah. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa konflik peran dan locus of

control merupakan anteseden dari job insecurity, dan komitmen organisasional

sebagai konsekuensinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen

organisasi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap munculnya keinginan

berpindah. Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa kepuasan kerja secara

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

langsung rnernpengaruhi komitmen organisasi, darl komitmen organisasi dan

konflik peran secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah.

Yuyetta (2001) melakukan penelitian dengan judul pengaruh tindakan

supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan

kerja dan keinginan berpindah akuntan publik yunior di Indonesia. Penelitian

dilakukan terhadap akuntan junior dengan tujuan untuk menginvestigasi dampak

supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan

kerja dan keinginan berpindah. Hasil menunjukkan bahwa kepuasan kerja

berpengaruh terhadap keinginan berpindah.

Penelitian Pujisari (2001) dengan judul pengaruh jenis kelamin dan peran

jenis terhadap kepuasan kerja, stress kerja dan keinginan berpindah mendesain

penelitian dengan independent sample t-test dan one way ANOVA digunakan

untuk menguji hipotesis penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji

perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres

kerja, dan keinginan berpindah, Tujuan berikutnya perbedaan peran jenis

mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres kerja dan keinginan

berpindah. Menggunakan kuesioner, subjek yang diperoleh adalah 63 auditor yang

berasal dari kantor akuntan publik big five dan nasional. Hasil menunjukkan

bahwa baik perbedaan jenis kelamin maupun peran jenis tidak menyebabkan

perbedaan pada tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah

auditor.

Penelitian Maslichah (2001) dengan judul analisis hubungan mentor protégé,

fungsi mentoring dan keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik

mengembangkan model keinginan berpindah dengan menguji fungsi mentoring.

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

Penelitian ini meliputi 102 manajer dan staf kantor akuntan publik dengan

menggunakan mail survey. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pekerja yang

memiliki dukungan mentor protégé dan fungsi mentoring akan mengurangi

keinginan berpindah.

Penelitian Murtini (2003) dengan judul pengujian hambatan mentoring dan

keinginan berpindah pada akuntan publik. Penelitian tersebut bertujuan untuk

mengidentifikasi dan menguji hambatan hubungan mentoring dan keinginan

berpindah pada akuntan publik. Hipotesis dikembangkan dari rerangka tersebut

yang diuji berdasar sample 90 akuntan publik yang berasal dari kantor akuntan

publik baik lokal, menengah, dan besar di Indonesia. Instrumen untuk

Pengumpulan data adalah dengan kuesioner. Hasil menunjukkan bahwa pertama,

partisipan yang mempunyai mentor menilai hambatan lebih kecil dari akses

mentor. Kedua, perbedaan gender adalah signifikan hanya dari keinginan mentor.

Ketiga, akuntan publik dengan jabatan yang lebih rendah merasakan hambatan

hubungan mentoring (dari persetujuan yang lain dan keinginan mentor) lebih

besar daripada akuntan publik dengan jabatan yang lebih tinggi. Keempat, ketika

ukuran kantor akuntan publik juga berbeda, hambatan hubungan mentoring akan

berbeda tetapi hanya dari keinginan mentor. Partisipan yang tidak berkeinginan

pindah hambatan lebih kecil dari persetujuan yang lain.

Penelitian Endah (2003) dengan judul analisis peran mentor pada role

conflict, role ambiguity, burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah

auditor. Penelitian tersebut mendesain model untuk mendapatkan pemahaman

mengenai peran mentor. Data diperoleh dengan mail survey dan dianalisis dengan

melakukan path analisis. Sampel penelitian 119 orang auditor. Tujuan penelitian

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

tersebut adalah (1) peran mentor pada hubungan role conflict, role ambiguity dan

burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah dari auditor, (2) hubungan

antara kinerja dan keinginan berpindah. Role Theory menyatakan, role sender

merupakan seseorang yang telah menjadi anggota dari organisasi dan telah

memiliki pengalaman dan mengetahui peran dari focal person’s dalam organisasi.

Mentor disini ditempatkan pada peran role sender sedangkan protégé sebagai

focal person.

Cahyono (2008) dengan judul persepsi ketidakpastian lingkungan,

ambiguitas peran dan konflik peran sebagai mediasi antara program mentoring

dengan kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah menambahkan

variabel persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran, konflik peran,

mentoring, kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah. Responden dalam

penelitian ini adalah para staf KAP besar di Jakarta dengan jumlah 184 kuesioner

yang dapat diolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua hipotesis

yang dibangun dapat dibuktikan. Beberapa hipotesis yang dapat dibuktikan yaitu

program mentoring berpengaruh terhadap persepsi ketidakpastian lingkungan,

konflik peran dan ambiguitas peran secara negatif dan selanjutnya konflik peran

berpengaruh negatif terhadap prestasi kerja dan berpengaruh positif terhadap niat

ingin pindah. Untuk pengaruh konflik peran terhadap terhadap prestasi kerja

ditemukan negatif sedangkan ambiguitas peran terhadap niat ingin pindah

berpengaruh secara positif. Selanjutnya hipotesis yang tidak dapat dibuktikan

adalah pengaruh persepsi ketidakpastian lingkungan terhadap prestasi kerja dan

niat ingin pindah, sedangkan pengaruh negatif konflik peran terhadap kepuasan

kerja juga tidak terbukti. Temuan ini mengindikasikan bahwa program mentoring

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

yang ada di KAP besar dapat menurunkan stres peran dan persepsi ketidakpastian

lingkungan tetapi secara umum tidak dapat memediasi antara program mentoring

dengan prestasi kerja, kepuasan kerja dan niat ingin pindah. Penelitian Smith dan

Hall (2008) dengan judul an empirical examination of three component model of

professional commitment among public accountants menguji variabel komitmen

professional (komitmen affective, continuance dan normative) terhadap keinginan

berpindah profesional. Sampel penelitian adalah 260 akuntan yang bekerja di

akuntan publik di Australia. Hasil penelitian terdapat profesional komitmen dan

keinginan berpindah.

Penelitian Yuresta (2011) dengan judul analisis pengaruh motivasi, stres,

reward dan rekan kerja terhadap kinerja auditor dikantor akuntan publik.

Penelitian tersebut menyimpulkan faktor motivasi, stres, reward dan rekan kerja

masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Penilaian kinerja membantu

perusahaan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sumber daya

manusia yang dimilikinya. Bagi karyawan, penilaian kinerja dapat menjadi tolak

ukur bagi dirinya untuk mengetahui prestasi yang telah dicapainya selama ini.

Penelitian ini merupakan penelitian kausal dengan menggunakan kuisioner untuk

mengukur variabel-variabel motivasi, stres, reward, rekan kerja dan kinerja.

Populasi dalam penelitian tersebut adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan

Publik di Jakarta. Kuisioner disebarkan kepada 80 orang auditor di 3 kantor

akuntan publik. Kuisioner yang kembali dan dapat diolah sebanyak 50 buah atau

63%. Data yang diperoleh kemudian diuji dengan menggunakan analisis regresi

berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor motivasi, stres, reward dan

rekan kerja masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dari keempat

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

variabel yang mempengaruhi kinerja hanya variabel stres yang mempengaruhi

kinerja secara negatif, artinya ketika tingkat stres auditor meningkat maka kinerja

auditor tersebut akan menurun. Diantara keempat variabel yang mempengaruhi

kinerja variabel motivasi merupakan variabel yang paling dominan dalam

mempengaruhi kinerja.

Penelitian sebelumnya sebagai review penelitian ini dapat dilihat dalam

tabel 2.2. berikut:

Tabel 2.2 Review Penelitian

No Peneliti (Tahun) Judul Variabel

Penelitian Metodologi Hasil Penelitian 1. Ratnawati

(2000) Hubungan kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan konsekuensinya dengan keinginan berpindah pada kantor akuntan publik.

Kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan keinginan berpindah

Metode kuantitatif dengan menggunakan pengaruh variable dan teknik konfirmatory dengan amos

1. Konflik peran dan locus of control mempunyai hubungan yang signifikan dengan keinginan berpindah.

2. Konflik peran dan locus of control merupakan anteseden dari job insecurity, dan komitmen organisasional sebagai konsekuensinya.

3. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap munculnya keinginan berpindah.

4. Kepuasan kerja secara langsung rnernpengaruhi komitmen organisasi, darl komitmen organisasi dan konflik peran secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah.

2. Yuyetta (2001)

Pengaruh tindakan supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah akuntan publik yunior di Indonesia.

Tindakan supervisi, persepsi kewajaran tingkat upah, promosi, kepuasan kerja dan keinginan berpindah.

Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi

1. Dampak supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah.

2. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap keinginan berpindah.

3. Pujisari (2001)

Pengaruh jenis kelamin dan peran jenis terhadap kepuasan kerja, stress kerja dan keinginan berpindah.

Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah

Metode kuantitatif dengan menggunakan uji beda

Terdapat perbedaan jenis kelamin maupun peran jenis tidak menyebabkan perbedaan pada tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah auditor.

4. Maslichah (2001)

Analisis hubungan mentor protégé, fungsi

Mentoring Metode kuantitatif dengan

1. Partisipan yang mempunyai mentor

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

No Peneliti (Tahun) Judul Variabel

Penelitian Metodologi Hasil Penelitian mentoring dan keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik mengembangkan model keinginan berpindah dengan menguji fungsi mentoring.

menggunakan regresi

menilai hambatan lebih kecil karena akses mentor.

2. Perbedaan gender adalah signifikan hanya dari keinginan mentor.

3. Akuntan publik jabatan yang lebih rendah merasakan hambatan hubungan mentoring lebih besar daripada akuntan publik jabatan yang lebih tinggi.

4. Ketika ukuran kantor akuntan publik juga berbeda, hambatan hubungan mentoring akan berbeda tetapi hanya dari keinginan mentor. Akuntan publik yang tidak berkeinginan pindah adalah akuntan publik yang memiliki hambatan mentoring lebih kecil.

5. Endah

(2003) Analisis peran mentor pada role conflict, role ambiguity, burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah auditor.

Role conflict, role ambiguity, burnout, kinerja dan keinginan berpindah.

Metode kuantitatif dengan menggunakan korelasi

1. Peran mentor pada hubungan role conflict, role ambiguity dan burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah dari auditor,

2. Hubungan antara kinerja dan keinginan berpindah.

6. Cahyono

(2008) Persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran dan konflik peran sebagai mediasi antara program mentoring dengan kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah.

Persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran, konflik peran, mentoring, kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah.

Metode kuantitatif dengan menggunakan analisis konfirmatory dan pengaruh dengan alat lisrel

1. Program mentoring berpengaruh terhadap persepsi ketidakpastian lingkungan, konflik peran dan ambiguitas peran secara negatif.

2. Konflik peran berpengaruh negatif terhadap prestasi kerja dan berpengaruh positif terhadap niat ingin pindah.

3. Untuk pengaruh konflik peran terhadap terhadap prestasi kerja ditemukan negatif

4. Ambiguitas peran terhadap niat ingin pindah berpengaruh secara positif.

5. Tidak dapat membuktikan pengaruh persepsi ketidakpastian lingkungan terhadap prestasi kerja dan niat ingin pindah, begitu juga dengan pengaruh negatif konflik peran terhadap kepuasan kerja.

6. Temuan ini mengindikasikan

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA .1. Landasan Teoritis Pada bab ini

No Peneliti (Tahun) Judul Variabel

Penelitian Metodologi Hasil Penelitian bahwa program mentoring yang ada di KAP besar dapat menurunkan stres peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan tetapi secara umum tidak dapat memediasi antara program mentoring dengan prestasi kerja, kepuasan kerja dan niat ingin pindah.

7. Smith dan

Hall (2008)

An empirical examination of three component model of professional commitment among public accountants

Variabel komitmen professional (komitmen affective, continuance dan normative) terhadap keinginan berpindah professional

Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi

Terdapat pengaruh profesional komitmen dan keinginan berpindah.

8. Yuresta (2011)

Analisis pengaruh motivasi, stres, reward dan rekan kerja terhadap kinerja auditor dikantor akuntan publik.

faktor motivasi, stres, reward dan kinerja

Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi

Faktor motivasi, stres, reward dan rekan kerja masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dari keempat variabel yang mempengaruhi kinerja hanya variabel stres yang mempengaruhi kinerja secara negatif, artinya ketika tingkat stres auditor meningkat maka kinerja auditor tersebut akan menurun. Diantara keempat variabel yang mempengaruhi kinerja variabel motivasi merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi kinerja.