Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepar Tikus
2.1.1 Anatomi dan histologi hepar tikus
Manusia mempunyai banyak kemiripan dengan tikus (Rattus norvegicus L.).
Jenis tikus yang sering digunakan yaitu albino galur Sprague Dawley dan Wistar
(Wolfensohn & Lloyd, 2013). Tikus galur wistar memiliki tingkat kemiripan genetis
sebesar 98% meskipun sudah berkembang biak lebih dari 20 generasi (Krinke, 2006).
hepar tikus memiliki berat sekitar 2 g dan terletak di wilayah subdiafragma dan
memiliki 4 lobus. Struktur hepar tikus mirip dengan manusia meskipun hepatosit
manusia lebih tebal dan terdefini dengan baik dibandingkan hepatosit tikus, serta
memiliki trias porta berupa v. porta, a. Hepatica dan duktusbiliaris yang mirip dengan
manusia (Rogers, et al., 2012).
2.1.2 Perbedaan Anatomi Hepar Tikus Dan Manusia
Tabel 2. 1 perbedaan anatomi dan histologi hepar tikus dan manusia
Karakteristik Tikus Manusia Gross Lokasi Subdiaphragma Abdomen Kuadran kanan atas
Lobus 4: Medial, sinistra (terbesar), dextra (terbelah dua), caudatus
4: dextra (terbesar), sinistra, caudatus, quadratus
Gallbladder Menonjol dari isthmus sentral lobus medial
Di bawah lobus dextra
Ligamen Tidak jelas Terlihat jelas (Rogers, Arlin dan Renee, 2012)
6
(Rogers, et.al., 2012)
Gambar 2. 1 Perbedaan anatomi hepar tikus dan hepar manusia
(A) Hepar tikus terdiri dari empat lobus: kiri yang terbesar, kanan, medial, dan kaudatus. Fundus kandung empedu menonjol di ismus sentral dari lobus medial jika hepar dilihat dari ventral (B) Hati manusia juga terdiri dari empat lobus: kanan yang terbesar, kiri, kaudatus, dan kuadratus. Ada juga beberapa ligamen di permukaan yang menonjol (Rogers, Arlin & Renee, 2012).
2.1.3 Perbedaan Histologi Hepar Tikus Dan Manusia
Tabel 2. 2 perbedaan histologi hepar tikus
Karakteristik Tikus Manusia Sel hepatosit Bi- dan
multinuclear (lebih dari 1 inti),
sering, terutama dengan usia lanjut
Dapat mencakup 25% sel
klirens sitoplasma contohnya degenerasi hidropik, cloudy swelling
Sering terjadi setelah makan; paling jelas terlihat pada hepatosit centrilobular
Tidak sering
Sel Ito stellate Tampak di dalam sinusoid Tampak di dalam sinusoid (Rogers, et.al., 2012)
A B
7
(Rogers, et.al., 2012)
Gambar 2. 2 Perbedaan histologi hepar tikus dan manusia
Perbandingan histologi hepar tikus dilihat dari daerah midzonal. (A) Korda hepatika tikus kurang terdefinisi dengan baik dibandingkan korda hepatika manusia; pewarnaan hepatosit pada zona 3 lebih pucat daripada di zona 1 dikarenakan adanya akumulasi glikogen postprandial sentrilobular. Sell binukleat atau multinuleat sering terjadi pada tikus (panah). (B) hepar manusia menunjukkan korda hepatik yang terdefinisi dengan baik, pewarnaan sel yang relatif seragam, dan hepatosit binukleat juga sering terjadi (panah) (Rogers, et.al., 2012).
2.1.4 Fisiologi hepar
Hepar merupakan organ vital dengan laju metabolisme yang tinggi, saling
memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke metabolisme yang
lain, mengolah serta menyintesis berbagai zat untuk diangkut ke daerah tubuh lain,
serta menyelenggarakan fungsi metabolisme terbesar pada tubuh. Salah satu fungsi
metabolisme hepar yaitu metabolisme lemak. Metabolisme lemak yang terjadi di hepar,
terdiri dari:
a. oksidasi asam lemak dalam menyuplai energi bagi fungsi tubuh.
b. sintesis kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein
c. sintesis lemak dari protein ataupun karbohidrat (Hall, 2015)
A B
8
Sebagian besar lemak makanan yang ditelan berada dalam bentuk
trigliserida(TG) rantai Panjang. TG mengandung asam lemak tidak jenuh dan asam
lemak jenuh. Masuknya lemak ke dalam duodenum, ditambah dengan asam lambung,
menyebabkan pelepasan sekretin dan kolesitositokinin yang menimbulkan stimulasi
keluarnya cairan empedu dan pancreas. Hidrolisis TG melibatkan 3 enzim yaitu lipase,
kolipase dan garam empedu. Garam empedu membersihkan perbatasan minyak-air
pada lemak makanan dari protein yang berasal dari luar (eksogen) dan dari dalam
(endogen), sehingga membuatnya siap mengalami lipolysis oleh lipase pancreas.
Kolipase berfungsi dalam melabuhkan lipase dekat permukaan droplet TG. Adanya
kolipase dan lipase tetap berasa pada perbatasan dan membentuk monogliserida-2 dan
asam lemak.
Garam empedu mempunyai komponen polar dan nonpolar berkelompok
membentuk misel. Asam lemak dan monogliserida memasuki misel dan diserap oleh
usus halus dan memasuki vena porta dan masuk ke siklus enterohepatik. Selanjutnya
asam lemak dan monogliserida dan direestrifikasi menjadi trigliserida oleh enzim
retikulo endoplasma. Selanjutnya TG akan berinteraksi dengan apolipoprotein spesifik
ditambah kolesterol dan fospolipid untuk membentuk kilomikron dan lipoprotein yang
berdensitas rendah (VLDL) yang akan berakumulasi di Golgi pada sel dan disekresikan
menjadi dalam pembuluh lakteal dan limfe usus (Isselbacher, et al., 2015).
2.2 Dislipidemia
Keadaan dislipidemia ditemukan 56% pada pasie NAFLD di Indonesia ,
dislipidemia ditandai dengan peningkatan kadar Trigliserida (TG) dan Low Density
9
Lipoprotein (LDL) serta penurunan konsentrasi kolesterol dalam darah.pada pasien
NAFLD terjadi akumulasi dislipidemia aterogenik yang mengakibatkan sumbatan pada
pembuluh darah sehingga secara independen terkait dengan morbiditas dan mortalitas
pada penyakit jantung koroner (PJK). (Katsiki, et al., 2016).
2.3 NAFLD
2.3.1 Terminologi Dan Definisi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) adalah suatu penyakit penumpukan
lemak dalam hepatosit. Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak
di hati (sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat hati.
Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis dibuat
berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu ditemukannya minimal 5-10%
sel lemak dari keseluruhan hepatosit (Setiati, et al., 2014).
NAFLD dibedakan dalam dua tipe yaitu tipe pertama yaitu dihubungkan dengan
peningkatan konsentrasi FFA di plasma sebagai hasil dari mobilisasi lemak dari
jaringan adiposa atau dari hidrolilis lipoprotein triacylglycerol (TG) oleh lipoprotein
lipase di jaringan ekstrahepatik. Produksi VLDL tidak dapat mengimbangi influx dan
esterifikasi dari FFA sehingga memungkinkan akumulasi dari triacylglycerol di
hepatosit yang mengakibatkan perlemakan hati. Tipe kedua yaitu blok senyawa
metabolik pada produksi lipoprotein plasma yang mengakibatkan penurunan konversi
ke VLDL sehingga terjadi akumulasi dari TG (Murray, et al., 2009).
10
2.3.2 Epidemiologi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
Dari banyak penelitian terbukti bahwa abnormalitas fungsi hati akibat
perlemakan hati maupun steatohepatis non alkoholik merupakan kelainan yang sangat
sering ditemukan di masyarakat. Angka yang dilaporkan sangat bervariasi karena
metodologi survei yang berbeda-beda (Setiati, et al., 2014).
2.3.3 Patogenesis Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
Teori kejadian NAFLD disebut two hit hipotesis. 'First hit' berupa akumulasi
trigliserida di hepatik disebut dengan steatosis, sedangkan peningkatan kerentanan hati
untuk mengalami cedera dimediasi oleh 'second hit' seperti sitokin inflamasi atau
adipokin, disfungsi dari mitokondria dan stres oksidatif yang menyebabkan
steatohepatitis atau fibrosis. Namun, peningkatan asam lemak bebas juga berperan
secara langsung terhadap kejadian cedera hati, menyebabkan modifikasi teori ini.
(Dowman, et al., 2010)
Peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati. Asam lemak bebas ini
mengalami β-oksidasi atau esterifikasi dengan gliserol membentuk trigliserida yang
mengakibatkan penumpukan lemak di hati. Namun sekarang telah dibuktikan bahwa
substansi dari asam lemak bebas secara langsung dapat menyebabkan efek toksik
dengan cara meningkatkan stres oksidatif dan aktivasi jalur inflamasi. Oleh karena itu
akumulasi trigliserida di hati dianggap sebagai mekanisme perlindungan terhadap efek
toksik dari asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi.Kejadian steatosis erat
kaitannya dengan peradangan hati kronis, yang dimediasi oleh aktivasi jalur sinyal Ikk-
b/NF-kB. Pada steatosis diet tinggi lemak, terjadi melalui aktivitas NF-kB yang
11
berkaitan degan peningkatan ekspresi sitokin inflamasi di hati seperti TNF-a,
interleukin- 6 (IL-6), interleukin 1-beta (IL-1b), dan aktivasi sel kuppfer (Dowman, et
al., 2010).
Stres oksidatif dan disfungsi mitokondria memiliki peran cukup jelas, derajat
lebih besar dari stres oksidatif mengakibatkan pula keparahan lebih lanjut dari
penyakit. β-oksidasi dalam hati yang normal terjadi di dalam mitokondria, tetapi dalam
konteks perlemakan hati proses ini dapat menjadi akibat peningkatan beban asam
lemak bebas, sehingga menimbulkan reactive oxidative species (ROS). ROS
menginduksi stres oksidatif dengan mengaktivasi jalur inflamasi dan kerusakan
mitokondria (Dowman, et al., 2010).
2.3.4 Gambaran histopatologi NAFLD
Gambaran histopatologi NAFLD terdiri dari steatosis, hepatocelular ballooning,
inflamasi intralobuler. Steatosis adalah gambaran histologi yang umum terjadi pada
berbagai penyakit hati. Namun pada NAFLD setidaknya terdapat 5% dari hepatosit
yang mengalami steatosis. Steatosis pada NAFLD biasanya berupa steatosis
makrovesikuler yang terlihat menonjol di zona 3 pada awal perjalanan penyakit dan
dapat menyebar sampai panacinar jika tingat keparahan sudah tinggi atau severe.
(Brown & Kleiner, 2016)
Hepatoseluler steatosis diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu makrovesikuler dan
mikrovesikuler. Pada makrovesikuler steatosis terdapat lipid droplet tunggal yang
besar atau beberapa lipid droplet kecil yang terdefinisi dengan baik di sitoplasma
hepatosit dan mendorong inti ke perifer sel hepatosit. Pada steatosis mikrovesikuler ,
12
sitoplasma terisi droplet lemak kecil yang tidak mendorong inti sehingga inti tetap
berasa di sentral (Takahashi & Fukusato, 2014).
(Takahashi & Fukusato, 2014)
Gambar 2. 3 Steatosis makrovesikuler di zona 3 pada pasien NAFLD
Terdapat droplet lemak tunggal yang besar yang mendorong inti ke perifer sel
2.4 Hubungan NAFLD dengan aterosklerosis
Mekanisme patofisiologis yang menghubungkan NAFLD dengan penyakit
jantung koroner (PJK), disfungsi miokard / hipertrofi, sklerosis katup aorta (SKA) dan
aritmia jantung tidak sepenuhnya dipahami. Interaksi yang kompleks terjadi karena
resistensi insulin dan obesitas viseral mengakibatkan sulit untuk memisahkan
hubungan sebab akibat yang tepat untuk peningkatan risiko jantung koroner pada
pasien dengan NAFLD. Konsepnya yaitu pada pasien dengan Non-Alcoholic Steato
Hepatis, ada peningkatan resistensi insulin secara sistemik sehingga menyebabkan
akumulasi dislipidemia aterogenik(tinggi TG, rendah HDL dan tinggi VLDL.) dan
peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti asam urat dan protein C-reaktif
(CRP), IL-6, TNF-α serta penanda pro fibrogenik dapat menyebabkan jantung coroner
(Than & Newsome, 2015).
13
Dislipidemia pada NAFLD cenderung bersifat pro-aterogenik. Temuan khas
yaitu adanya peningkatan konsentrasi VLDL, TG plasma dan penurunan kolesterol
HDL, ditemukan hingga 80% dari kasus NAFLD. Lipoprotein adalah bagian penting
dari mekanisme yang mendasari pada dislipidemia yang berhubungan dengan NAFLD.
Lipoprotein membantu pengiriman kolesterol dan TG dari hati dan usus ke jaringan
otot dan lemak dan tindakan itu dimediasi baik oleh partikel chylomicron dan VLDL
yang mengandung apolipoprotein (apo) B48 dan apoB100 atau dalam kasus kolesterol,
secara tidak langsung dengan konversi dari lipoprotein densitas menengah (IDL) ke
LDL. Fungsi kedua lipoprotein adalah pengangkutan kolesterol berlebih dari jaringan
ekstra-hati ke hati untuk eliminasi melalui empedu, yang dimediasi terutama oleh
partikel HDL. Kedua fungsi diubah dalam NAFLD. Individu dengan NAFLD telah
mengurangi sensitivitas insulin hati dan pembersihan glukosa meskipun memiliki
kadar insulin sirkulasi tinggi yang dapat berkontribusi terhadap dislipidemia (Than &
Newsome, 2015).
Apolipoprotein adalah protein yang mengangkut lipid dalam sirkulasi darah.
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa rasio Apo B / Apo A1 terkait dengan
prevalensi NAFLD dan tidak tergantung pada obesitas dan komponen metabolisme
lainnya dan oleh karena itu, rasio ini mungkin berguna sebagai penanda predikatif
untuk risiko kardiovaskular pada NAFLD (Than & Newsome, 2015).
14
2.5 Labu siam
2.5.1 Labu siam
Labu siam merupakan tanaman semusim yang bersifat menjalar atau
memanjat dengan perantara alat pemegang berbentuk pilin atau spiral, berambut
kasar, berbatang basah dengan panjang 5-25 meter. Perbanyakan tanaman ini dapat
dilakukan dengan biji. Tanaman labu siam mempunyai sulur dahan berbentuk
spiral yang keluar di sisi tangkai daun. Berdaun tunggal, berwarna hijau, dengan
letak berselang-seling, dan bertangkai panjang (Soedarya, 2009).
Tanaman labu siam tergolong satu famili dengan melon dan semangka.
Tanaman labu siam dibudidayakan di ladang, halaman rumah, kebun, atau rumah
kaca. Tanaman labu siam tidak tahan terhadap hujan yang terus-menerus.
Pertumbuhannya memerlukan kelembapan udara yang tinggi, tanah yang gembur,
dan mendapat sinar matahari penuh dengan drainase yang baik. Tanaman ini lebih
baik dirambatkan (Soedarya, 2009).
(Soedarya, 2009) Gambar 2. 4 buah labu siam
15
2.5.2 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdiviso : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae
Suku : Cucurbitaceae
Marga : Sechium
Jenis : Sechium edule (Husada, 2001)
2.5.3 Kandungan ekstrak etanol buah labu siam
Ekstrak etanol labu siam memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan 6
buah famili Cucurbitaceae yaitu baligo, labu, labu air, gambas, peria, dan pare. Ekstrak
etanol labu siam mengandung gallic acid, luteolin dan caffeic acid dengan kandungan
gallic acid sebagai kandungan senyawa tertinggi (Sulaiman, et al., 2013). Labu siam
juga mengandung flavonoid tipe C-glycosile flavonoid. (Neeraja, et al., 2015). Dalam
penelitian (Flores, et al., 2017) kandungan dari ekstrak etanol labu memiliki kandungan
flavonoid yang tinggi sebesar 8mg/ 100gr ekstrak kering.
16
2.5.4 Pengaruh Ekstrak Etanol Labu Siam Terhadap Perlemakan Hati Tikus
Beberapa kandungan buah labu siam dapat berfungsi sebagai berikut : Ekstrak
etanol labu siam memiliki potensi antioksidan yang besar. Flavonoid mampu
menurunkan kadar kolesterol total dengan cara menghambat absorbsi kolesterol dalam
usus dan dapat meningkatkan reaksi pembentukan asam empedu dari kolesterol untuk
diekskresikan melalui feses.
Senyawa C-glycosyl flavonoid memiliki efek hepatoprotective yang berfungsi
mencegah kerusakan yang mengakibatkan perubahan histologi pada hepatosit juga
berfungsi sebagai anti inflamasi karena dapat menghambat pembentukan TNF-a yang
menginduksi kematian sel hepatosit tikus (Xiao, et al., 2015). Gallic acid yang
terdapat dalam ekstrak etanol labu siam bersifat hepatoprotektor dan antiinflamasi
dengan cara menghambat pengeluaran mediator inflamasi yang dapat mengakibatkan
kerusakan mitokondria sehingga proses esterifikasi kolesterol dapat terjadi dan
menurunkan simpanan TG dalam hepatosit (Chao, et al., 2014).
Luteolin yang terdapat di dalam ekstrak etanol labu siam dapat menghambat
perlemakan hati dengan cara mengaktivasi sinyal AMPK yang dapat meningkatkan
proses β-oksidasi dan menghambat lipogenesis (Salomone, et al., 2016). Caffeic acid
dapat menghambat akumulasi lipid dengan cara mengaktivasi sinyal AMPK dan
menurunkan lipogenic enzim SREBP yang secara cepat meningkatkan proses β-
oksidasi dan menurunkan lipogenesis (Antonucci, et al., 2017).
HASIL PENELITIANLEMBAR PENGESAHANLEMBAR PERNYATAAN ORISINALITASLEMBAR PENGUJIANKATA PENGANTARUCAPAN TERIMAKASIHABSTRAKABSTRACTDAFTAR ISIDAFTAR TABELDAFTAR GAMBARDAFTAR SINGKATANDAFTAR LAMPIRANBAB IPENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANG1.2 RUMUSAN MASALAH1.3 TUJUAN PENELITIAN1.3.1 TUJUAN UMUM1.3.2 TUJUAN KHUSUS
1.4 MANFAAT PENELITIAN1.4.1 Manfaat Akademis1.4.2 Manfaat untuk Masyarakat
BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Hepar Tikus2.1.1 Anatomi dan histologi hepar tikus2.1.2 Perbedaan Anatomi Hepar Tikus Dan Manusia2.1.3 Perbedaan Histologi Hepar Tikus Dan Manusia2.1.32.1.4 Fisiologi hepar
2.2 Dislipidemia2.3 NAFLD2.3.1 Terminologi Dan Definisi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease2.3.2 Epidemiologi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease2.3.3 Patogenesis Non-Alcoholic Fatty Liver Disease2.3.4 Gambaran histopatologi NAFLD2.4 Hubungan NAFLD dengan aterosklerosis2.5 Labu siam2.5.1 Labu siam2.5.2 Taksonomi2.5.3 Kandungan ekstrak etanol buah labu siam2.5.4 Pengaruh Ekstrak Etanol Labu Siam Terhadap Perlemakan Hati Tikus
BAB IIIKERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN3.1 KERANGKA KONSEPTUAL3.2 HIPOTESIS PENELITIAN
BAB IVMETODE PENELITIAN4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian4.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian4.3 Populasi dan Sampel4.3.1 Populasi4.3.2 Sampel4.3.3 Besar Sampel4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel4.3.5 Karakteristik Sampel Penelitian4.3.6 Variabel Penelitian4.3.7 Definisi Operasional
4.4 Alat dan Bahan Penelitian4.4.1 Alat4.4.1.1 Alat Pemeliharaan Tikus4.4.1.2 Alat Pembedahan Tikus4.4.1.3 Alat Lain
4.4.2 Bahan
4.5 Prosedur Penelitian4.5.1 Pembagian Kelompok Tikus4.5.2 Adaptasi Hewan Percobaan4.5.3 Pemberian Dosis Pakan Aterogenik4.5.4 Pemberian Dosis Ekstrak Etanol Labu Siam4.5.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Labu Siam4.5.5.1 Bahan dan Alat4.5.5.2 Cara Pembuatan Ekstrak Etanol Labu Siam
4.5.6 Proses Anestesi dan Pembedahan Hewan Coba4.5.6.1 Proses Anestesi4.5.6.2 Proses Pembedahan
4.5.7 Proses Pembuatan sediaan Histologi Hepar Tikus4.5.8 Pengamatan Hasil
4.6 Alur Penelitian4.7 Analisis Data
BAB VHASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA5.1 Hasil Penelitian5.2 Analisis data5.2.1 Analisis uji t independent5.2.2 Analisis One Way Anova5.2.3 Analisis Post Hoc Bonferroni5.2.4 Analisis Regresi Linier
BAB VIPEMBAHASANBAB VIIKESIMPULAN DAN SARAN7.1 Kesimpulan7.2 Saran
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN