29
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateterisasi jantung 2.1.1 Definisi Kateterisasi jantung adalah suatu tindakan pemeriksaan diagnostik untuk menentukan diagnosa secara invasive pada kelainan jantung dan pembuluh darah. Dikatakan invasive karena tindakan ini memasukkan selang/tube kecil (kateter) ke dalam jantung, melalui pembuluh darah baik vena atau arteri. Oleh karena itu biasa disebut juga pemeriksaan kateterisasi jantung (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001). Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa dan mengetahui keadaan anatomi dan fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri koronaria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri. Angiografi koroner dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi atau sumbatan pada koroner, derajat obstruksi, adanya sirkulasi kolateral, luasnya gangguan jaringan pada area proximal hingga distal koroner yang tersumbat dan jenis morfologi lesi (Price & Wilson 2005). 2.1.2 Macam kateterisasi jantung Menurut (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001). pemeriksaan kateterisasi jantung terbagi atas: 1. Kateterisasi jantung kanan (untuk kelainan pada jantung kanan ) misalnya stenosis pulmonal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kateterisasi jantung

2.1.1 Definisi

Kateterisasi jantung adalah suatu tindakan pemeriksaan diagnostik untuk

menentukan diagnosa secara invasive pada kelainan jantung dan pembuluh darah.

Dikatakan invasive karena tindakan ini memasukkan selang/tube kecil (kateter) ke

dalam jantung, melalui pembuluh darah baik vena atau arteri. Oleh karena itu biasa

disebut juga pemeriksaan kateterisasi jantung (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe,

2001).

Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan memasukkan

kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa dan mengetahui keadaan

anatomi dan fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke

dalam arteri koronaria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk

menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri. Angiografi koroner

dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi atau sumbatan pada koroner, derajat

obstruksi, adanya sirkulasi kolateral, luasnya gangguan jaringan pada area proximal

hingga distal koroner yang tersumbat dan jenis morfologi lesi (Price & Wilson 2005).

2.1.2 Macam kateterisasi jantung

Menurut (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001). pemeriksaan kateterisasi

jantung terbagi atas:

1. Kateterisasi jantung kanan (untuk kelainan pada jantung kanan ) misalnya stenosis

pulmonal.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

8

2. Kateterisasi jantung kiri ( untuk kelainan pada jantung kiri ) misalnya penyakit

jantung koroner, Koartasio Aorta.

3. Kateterisasi jantung kanan dan kiri ( untuk kelainan jantung kanan dan kiri )

misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar.

Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001).

menyebutkan bahwa pemeriksaan kateterisasi pada intinya terbagi atas 2 tindakan

yaitu angiogram dan penyadapan.

1. Angiogram / Angiography

Yaitu memasukkan media / zat kontras kedalam suatu rongga (ruang jantung /

pembuluh darah), untuk meyakinkan suatu anatomi/ aliran darah, kemudian

merekam / mendokumentasikannya ke dalam film/ CD/Video sebagai data.

2. Penyadapan

Yaitu tindakan menyadap/merekam/mendokumentasikan tekanan, kandungan

oksigen, sisem listrik jantung, tanpa menggunakan media kontras.

2.1.3 Indikasi

Indikasi kateterisasi jantung secara umum menurut Rokhaeni, Purnamasari &

Rahayoe, (2001) dilakukan untuk beberapa kondisi yaitu

1. Penyakit jantung koroner yang jelas/didiagnosis.

2. Sakit dada (angina pektoris) yang belum jelas penyebabnya.

3. Angina pektoris yang tidak stabil/bertambah.

4. Infark miokard yang tidak berespon dengan obat-obatan.

5. Gagal jantung kongestif.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

9

6. Gambaran EKG abnormal (injuri, iskemik, infark), usia 50 tahun ke atas,

asimtomatik.

7. Treadmill test positif.

8. Evaluasi bypass koroner.

9. Abnormal irama (bradi/takhikardia).

10. Kelainan katub jantung.

11. Kelainan jantung bawaan.

12. Kelainan pembuluh perifer

2.1.4 Kontraindikasi kateterisasi jantung.

Kontraindikasi tindakan ini dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Kontraindikasi Absolut : ketidaktersediaan peralatan atau fasilitas

kateterisasi

2. Kontraindikasi relative :

a. Perdarahan saluran cerna akut

Pada pasien yang mengalami perdarahan akan dapat menjadi syok dan

akan menyebabkan ke tidakstabilan hemodinamik

b. Ketidakseimbangan elektrolit

Ketidakseimbangan elekrolit menyebabkan gangguan metabolisme

tubuh dan akan mengalami gangguan fungsi jantung

c. Infeksi dan demam.

Pasien demam dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan

perubahan hemodinamik, sehingga harus di stabilkan terlebih dahulu

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

10

d. Allergi berat terhadap zat kontras

Alergi kontras dapat mempengaruhi metabolisme dan hemodinamik,

pemilihan kontras dan profilaksis bisa di sarankan di berikan sebelum

tindakan apabila dibutuhkan

e. Kehamilan.

Paparan radiasi sangat berbahaya pada ibu dengan kondisi hamil

f. Gagal ginjal.

Penggunaan media kontras pada tindakan kateterisasi bisa

menyebabkan kondisi ginjal lebih parah

g. Hipertensi, CHF tidak terkontrol, aritmia.

Perubahan hemodinamik akan menyebabkan kesulitan tindakan

kateterisasi jantung

h. Pasien yang tidak kooperatif.

Akan mempersulit operator untuk melakukan tindakan

(Wangko, Budiono & Lefrandt, 2016)

2.1.5 Komplikasi angiography koroner

Angiografi koroner memiliki beberapa komplikasi seperti :

1. Major

a. Cerebrovascular accident

b. Death

c. Myocardial infarction

d. Ventricular tachycardia, fibrillation, or serious arrhythmia

2. Other

a. Aortic dissection

b. Cardiac perforation, tamponade

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

11

c. Congestive heart failure

d. Contrast reaction (anaphylaxis, nephrotoxicity)

e. Heart block, asystole

f. Hemorrhage (local, retroperitoneal, pelvic)

g. Infection

h. Protamine reaction

i. Supraventricular tachyarrhythmia, atrial fibrillation

j. Thrombosis, embolus, air embolus

k. Vascular injury, pseudoaneurysm

l. Vasovagal reaction

(Kern, 2011).

2.1.6 Lokasi akses.

Pemilihan arteri yang akan digunakan sebagai akses masuknya kateter ke dalam

tubuh pasien juga tidak kalah penting. Pemilihan arteri ini bergantung pada

beberapa faktor, seperti keahlian operator, kondisi fisik pasien, status antikoagulasi

dan kondisi pembuluh darah perifer. Beberapa arteri yang dapat dipilih, antara

lain:

1. Arteri femoralis

2. Arteri radialis dan brackhialis : dibandingkan dengan arteri brakialis, arteri radialis

lebih sering dipilih karena kateter lebih mudah dipasang dan dilepas.

3. Untuk pemilihan akses melalui arteri radialis sebelum dilakukan tindakan

dilakukan pemeriksaan Allen test untuk mengetahui kepatenan aliran arteri

radialis dan ulnaris.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

12

2.1.7 Persiapan Pre Tindakan

1. Persiapan fisik

a. Puasa (makanan) kurang lebih 4-6 jam sebelum tindakan.

b. Bebaskan area penusukan (cukur rambut pada area tersebut).

c. Obat-obatan dilanjutkan sesuai instruksi dokter.

d. Hasil pemeriksaan penunjang dibawakan: laboratorium (Hb, CT, BT,

Ureum, Kreatinin, HbSAg, AIDS), test treadmill, X-ray,

Echokardiogram, EKG lengkap.

e. Nilai tanda-tanda vital saat itu.

f. Allen tes (untuk kateterisasi melalui arteri radialis).

g. Cek sirkulasi darah perifer (arteri femoralis, poplitea, dorsalis pedis)

untuk kateterisasi melalaui arteri femoralis.

(Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001).

2. Persiapan Administrasi

a. Surat ijin tindakan/inform concent.

b. Surat pernyataan pembayaran (keuangan).

3. Persiapan Mental

Pemberian pendidikan kesehatan tentang prosedur kateterisasi jantung

(apa, bagaimana, tujuan, manfaat, komplikasi dan prosedur kerja).

2.1.8 Teknik anestesi

Umumnya tindakan kateterisasi menggunakan anestesi lokal, karena kita perlu

kerja sama dengan pasien saat tindakan berlangsung, tetapi pada bayi atau anak yang

tidak stabil/biru dan berpotensi terjadi kegawatan biasanya digunakan anestesi umum

(Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

13

2.1.9 Teknik memasukkan kateter

Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, (2001). menyebutkan bahwa teknik

memasukkan kateter PCA ada 2 yaitu:

1. Perkutan / Percutaneous, seperti teknik memasang infus.

2. Cutdown atau vena seksi, yaitu membuat sayatan pada otot dan mencari

pembuluh darah kemudian melokalisasinya dan membuat tusukan pada

pembuluh darah tersebut untuk memasukkan kateter.

Teknik yang sering digunakan adalah cara perkutan karena komplikasi dari

teknik ini sangat kecil dan mudah untuk mengerjakannya.

2.1.10 Teknik Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan prosedur kateterisasi jantung dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Pasien dibaringkan pada tempat tidur khusus sehingga dapat dilakukan X-Ray

selama intervensi sebagai monitoring lokasi. Alat monitor jantung dan oksigen

juga diberikan.

2. Sterilisasi area jalan masuk dilakukan serta pemberian anastesi lokal.

3. Jalan masuk menuju arteri femoralis, arteri radialis atau arteri brachealis dibuat

dengan alat yang disebut jarum introducer. Prosedur ini sering disebut dengan

jalan masuk percutaneous.

4. Setelah jalan masuk menuju arteri dibuat, sebuah sheath introducer ditempatkan

untuk menjaga arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan.

5. Melalui sheath introducer ini, sebuah kateter panjang,lentur dan lembut yang terbuat

dari plastik yang disebut diagnostik catheter dimasukkan. Ujung dari diagnostik

catheter ini ditempatkan di awal arteri koroner. diagnostik catheter ini juga dapat

digunakan untuk menyuntikan zat radiopaque ke dalam arteri koroner sehingga

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

14

besar dan lokasi sumbatan dapat segera dikaji melalui gambaran X-ray. Klien

mungkin akan merasakan sensasi panas saat kontras diinjeksikan.

Rumus pemberian kontras : 4-6 cc zat kontras x BB klien

kreatinin klien

Nichiban dipasang pada pergelangan tangan, jika prosedur dilakukan melalui

arteri radialis. 4 jam setelah tindakan nichiban dapat dilonggarkan dan diganti dengan

balutan biasa. Jika prosedur dilakukan melalui arteri brakhialis atau femoralis setelah

pencabutan sheath gunakan sarung tangan steril, cabut sheath dan lakukan

penekanan selama 10-15 menit sampai perdarahan berhenti dan tidak ada hematoma.

Perdarahan pada area pungsi ditutup dengan menggunakan verban elastik (Rokhaeni,

Purnamasari & Rahayoe, 2001).

2.2 Contrast Induced Nephropathy (CIN)

2.2.1 Definisi

Contrasst induced nephropathy adalah adanya peningkatan serum creatinine ≥ 0,5

mg/dl (≥ 44µmol/L) atau peningkatan 25% dari nilai awal creatinine yang dilihat 48

jam setelah prosedur radiological, tanpa penyebab yang lainnya (Mc Cullough, 2008).

Menurut European Society of urogenital Radiology adalah peningkatan kreatinin

serum ≥ 25% atau 0,5 mg/dL yang terjadi dalam 3 hari setelah pemberian media

kontras intravaskular tanpa ada penyebab lainnya (Thomsen, 2006).

Slocum et al (2010) melakukan studi untuk menentukan definisi CIN yang

paling baik dalam implikasi klinis apakah peningkatan serum ≥ 25% dari nilai dasar

kreatinin serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL. Dari data yang ada

peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL lebih superior dibanding peningkatan serum

≥ 25% dari nilai dasar kreatinin serum dalam menegakkan CIN.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

15

2.2 2 Epidemiologi

Insidensi terjadinya CIN sebagai komplikasi kateterisasi jantung sangat

bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, prosedur yang dilakukan, jumlah

dan tipe media kontras serta adanya faktor-faktor resiko seperti penyakit ginjal

kronik, diabetes mellitus dan penggunaan jumlah kontras yang terlalu banyak

(Gleeson et al, 2004).

CIN terjadi berkisar antara 0,6-2,3% pada populasi umum, namun pada

sebagian penderita prevalensi terjadinya CIN secara signifikan lebih tinggi (Mehran et

al, 2006). Pada studi yang dilakukan di William Beaumont Hospital, diantara 1826

penderita yang menjalani PCI, CIN terjadi pada 14,5% dari seluruh kasus dan

sebanyak 0,7% memerlukan hemodialisa (McCullough et al, 1997).

Studi yang dilakukan di Graduate Hospital mendapatkan bahwa dari 1196

penderita yang menjalani intervensi koroner 11,1% terjadi CIN, selain itu juga

disimpulkan bahwa hanya pada penderita yang dengan gangguan ginjal sebelumnya

atau disertai adanya diabetes mellitus memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi

CIN (Rudnick et al, 1997).

Studi retrospektif dengan menggunakan Mayo Clinic PCI Registry pada tahun

1996 sampai 2000 dengan mengikutsertakan 7586 pasien yang menjalani kateterisasi

jantung didapatkan insiden CIN sebanyak 254 pasien (3,3%). Studi ini juga

menunjukkan insiden terjadinya kematian selama perawatan rumah sakit, terutama

akibat infark miokard meningkat > 10 kali lipat pada penderita CIN. Dan pada

penderita CIN tersebut angka kejadian perdarahan, terbentuknya hematom,

pseudoaneurysm, stroke, emboli paru dan perdarahan saluran cerna juga lebih tinggi

dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami CIN. (Rihal et al, 2002).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

16

Studi besar lainnya yang dilakukan di Washington Hospital Center dari tahun 1994

sampai 1999 dengan 8628 pasien yang menjalani kateterisasi jantung didapatkan 1431

(16,5%) menderita CIN (Iakovou et al, 2003). Studi yang dilakukan terhadap 183

penderita dengan usia tua yaitu lebih dari 70 tahun yang menjalani intervensi koroner

didapatkan 11% menderita CIN (Rich et al, 1990).

Insidensi CIN yang dilaporkan menurut literatur – literatur yang ada sangat

bervariasi. Dengan menggunakan data tahun 2000, diperkirakan lebih dari 59.000

kasus CIN terjadi pertahunnya dan lebih dari 4600 dari pasien tersebut

membutuhkan hemodialisis (Gami et al, 2004).

Studi lainnya yang dilakukan pada sekitar 20.500 pasien yang menjalani

kateterisasi jantung menunjukkan bahwa 2% dari pasien yang mengalami CIN

memiliki resiko 15 kali lipat untuk terjadi major adverse cardiac events (MACE) selama

perawatan rumah sakit dibanding penderita yang tidak mengalami CIN.

Resiko untuk terjadinya infark miokard meningkat 6 kali lipat, terjadi reokslusi

meningkat 11 kali lipat, dan resiko kematian meningkat 22 kali lipat dibandingkan

pada pasien yang tidak mengalami CIN (Bartholomew et al, 2004).

Gambar 2.1. Insidens kematian selama masa rawatan rumah sakit yang berhubungan

dengan CIN (Brinker,2005).

Nilai kreatinin serum awal dengan angka kejadian CIN memiliki hubungan

yang signifikan yaitu bervariasi dari 2% pada pasien dengan kreatinin serum dasar

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

17

<1,5 mg/dL hingga mencapai 20% pada penderita dengan kreatinin serum dasar > 2

mg/dL, terutama apabila pasien juga menderita DM (Meschi et al, 2006; Brinker at al,

2005).

Tabel 2.1. Insidensi terjadinya CIN setelah PCI. (Brinker, 2005)

Suatu studi yang dilakukan oleh Mutjaba et al (2010) untuk menentukan

frekuensi pasien dengan adanya insufisiensi ginjal dengan nilai serum kreatinin

normal yang menjalani kateterisasi jantung. Ternyata pada studi ini didapatkan bahwa

pada pasien dengan kreatinin normal sering memiliki nilai GFR yang tidak normal.

Sehingga GFR sebaiknya selalu dinilai untuk menentukan apakah telah terjadi

insufisiensi ginjal walaupun kreatinin serum dalam batas normal.

Ribichini et al (2010) melakukan suatu studi untuk melihat apakah

peningkatan kreatinin serum yang cepat dapat memprediksi terjadinya CIN dan

kerusakan ginjal yang permanen setelah kateterisasi jantung. Dan dari penelitian ini

didapatkan hasil bahwa peningkatan kreatinin serum yang minimal pada 12 jam

pertama merupakan prediktor kuat untuk terjadinya CIN dan kerusakan ginjal dalam

30 hari setelah terpapar media kontras.

2.2.3 Patogenesis

Patogenesis pasti CIN belum dapat sepenuhnya diketahui, namun cenderung

melibatkan beberapa faktor patogen dan kombinasi beberapa mekanisme (Persson et

al, 2005). Pada CIN terjadi kombinasi yang unik dari berbagai proses patologi yang

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

18

melibatkan disfungsi endotel, adanya oksigen radikal bebas yang sitotoksik dan

toksisitas tubulus yang akhirnya dapat menimbulkan hipoksia jaringan medulla ginjal

(Heyman et al, 2007; Wong et al, 2007; McCullough, 2009 ).

Marry et al (2001) menyatakan bahwa kerusakan ginjal akibat media kontras

oleh karena perubahan hemodinamik dan efek toksisitasnya pada ginjal. Perubahan

hemodinamik ginjal ditemukan pada banyak studi yang menemukan implikasi kuat

adanya vasokontriksi ginjal dengan efek iskemi medulla, yang melibatkan nitric oxide

(NO) sebagai vasodilator protektif endogen.

Penyebab instrinsik CIN adalah peningkatan vasokonstriksi, penurunan

prostaglandin lokal dan NO sehingga menurunkan efek vasodilatasi, efek toksik

langsung pada sel-sel tubular ginjal yang rusak oleh karena radikal-radikal bebas,

meningkatkan kebutuhan oksigen dan tekanan intratubular serta viskositas urin dan

obstruksi tubular yang akan berakumulasi untuk terjadinya iskemia medulla ginjal

(Gleeson et al, 2006).

Setelah pemberian media kontras terjadi vasodilatasi renal yang cepat yang

diikuti dengan vasokonstriksi yang panjang dengan peningkatan resistensi vaskular

intrarenal, sehingga terjadi pengurangan total aliran darah ginjal dan penurunan GFR

(Detrenis et al, 2005). Serta peningkatan ekskresi enzim lisosom urine dan protein

berat molekul kecil yang menandakan adanya kerusakan tubular (Weisberg et al,

1994).

2. 2. 4. Disfungsi endotel

Gangguan hemodinamik secara langsung yang diakibatkan oleh media

kontras terhadap sintesis dan pelepasan NO dan prostaglandin belum jelas terlihat.

Produksi intrarenal terhadap mediator vasodilator tersebut bertanggung jawab

terhadap suplai dan perfusi oksigen di medulla, penurunan dalam ketersediaan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

19

mediator-mediator tersebut dapat menyebabkan terjadinya nephropathy. Penurunan

sintesis atau respon terhadap NO yang dilepaskan dari endothelium dapat menjadi

salah satu penyebab terjadinya iskemia pada ginjal (Detrenis et al, 2005; Gleeson et al,

2004).

2. 2. 5 Toksisitas tubulus

Efek toksik media kontras secara langsung terhadap sel-sel tubulus adalah

penurunan resistensi transepitel, gangguan permeabilitas substan-substan dan

gangguan polarisasi membran protein. Kerusakan pada sel-sel tubulus ini dapat

diikuti dengan penurunan yang signifikan dari konsentrasi kalium, adenosine diphosphate

dan adenosine triphosphate (Detrenis et al, 2005) serta ketidakseimbangan dari

homeostasis kalsium dan apoptosis (Wong et al, 2007). Hal ini akan menimbulkan

gangguan pada hemodinamik ginjal yang akhirnya dapat terjadi hipoksia (Wong et al,

2007).

2. 2. 6. Oksigen radikal bebas

Oksigen radikal bebas merupakan partikel-partikel endogen yang dapat

menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel pada tubulus proksimal. Adanya bukti bahwa

produksi radikal bebas ginjal meningkat setelah pemberian media kontras (Gleeson et

al, 2004). Stress oksidatif terjadi apabila jumlah oksigen radikal bebas melebihi

antioksidan. Keadaan ini biasanya meningkat pada gagal ginjal kronik dan diabetes

yang diketahui sebagai faktor resiko terjadinya CIN (Wong et al, 2007).

Oksigen radikal bebas memegang peranan terhadap efek vasokonstriksi yang

telah diketahui merupakan faktor yang penting dalam terjadinya CIN. Dengan adanya

bukti keterlibatan oksigen radikal bebas dalam terjadinya CIN maka tidak heran

apabila banyak studi-studi yang dilakukan untuk menurunkan angka kejadian CIN

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

20

dengan efek terhadap oksigen radikal bebas seperti misalnya N-acetylcysteine (Persson

et al, 2005)

Pemberian media kontras dapat menginduksi perubahan-perubahan terhadap

efek sistemik, yaitu oksigenasi pada jaringan ginjal, gangguan ventilasi-perfusi paru,

penurunan curah jantung dan perfusi ginjal, mengubah reologi darah serta

meningkatkan asosiasi oksigen-hemoglobin (Heyman et al, 2008).

Gambar 2.2. Patogenesis terjadinya CIN (Gleeson et al, 2004).

2. 2. 7. Gambaran patologi

Karakterisitik lesi pada ginjal yang mengalami CIN adalah vakuolisasi sel

tubular proksimal (osmotic nephrosis). Heyman et al (2007) melakukan 211 biopsi ginjal

setelah hari ketujuh pada pasien yang mendapat media kontras saat urography atau

arteriography, ginjal akan mengalami osmotic nephrosis pada 47 kasus. Bentuk osmotic

nephrosis yang difus lebih banyak terjadi pada penyakit ginjal berat sedangkan bentuk

yang fokal terjadi pada gangguan ginjal yang ringan atau penderita dengan fungsi

ginjal yang normal sebelumnya. Vakuola tidak dibentuk dari endositosis tetapi dari

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

21

invaginasi membran sel. Hal ini menunjukkan bahwa media kontras pada daerah

paraselular dapat menyebabkan kerusakan membran. Struktur histokima

menunjukkan vakuola ini terdiri dari aktifitas asam fospat. Vakuola tubular proksimal

merupakan petanda adanya paparan media kontras daripada terjadinya CIN.

2. 2. 8 Faktor Risiko

1. Hipotension

Penyakit darah rendah atau hipotensi adalah suatu keadaan dimana tekanan

darah seseorang turun di bawah angka normal, yaitu mencapai nilai rendah 90/60

mmhg. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa terjadi penurunan tensi

darah :

a. Kurangnya pemompaan darah dari jantung, kelainan atau kerusakan fungsi

otot jantung, berdampak pada berkurangnya pemompaan darah (curah

jantung) ke seluruh anggota tubuh

b. Volume (jumlah) darah berkurang

c. Kapasitas pembuluh darah, pelebaran pembuluh darah (dilatasi)

menyebabkan menurunnya tekanan darah, hal ini biasanya sebagai dampak

dari syok septic, obat-obat vasodilator (nitrat, penghambat ACE).

2. Penyakit ginjal kronik

Studi-studi yang ada sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik

dan peningkatan kreatinin serum merupakan faktor risiko terpenting dalam

menimbulkan CIN (Mehran et all,2006). Insiden CIN pada penderita dengan

penyakit ginjal kronik cenderung tinggi berkisar antara 14,8 sampai 55% (Ultramari et

all, 2006).

Suatu studi yang dilakukan oleh Gruberg et.all 2001 pada 439 penderita yang

menjalani intervensi koroner dengan menggunakan kontras media non-ionic dengan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

22

nilai kreatinin serum dasar ≥ 1,8% mg/dL, dan didapatkan bahwa CIN terjadi pada

sepertiga kasus. Semakin tinggi nilai awal serum kreatinin maka resiko untuk terjadi

CIN akan semakin besar, penderita dengan kreatinin serum dasar <1,5 mg/dL resiko

CIN hanya < 2% namun pada penderita dengan kreatinin serum dasar >2 mg/dL

resiko CIN dapat mencapai hingga 20%, terutama apabila penderita juga menderita

DM ( Mehran et all, 2006).

Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk mengidentifikasi

penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN, hal ini oleh karena nilai kreatinin

serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender (Mehran et all,

2006). Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 adalah

batas untuk menetukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk terjadinya

CIN, hal ini menyebabkan perhitungan GFR lebih direkomendasikan sebelum

terpapar kontras media untuk penilaian CIN (Mehran et all, 2006). Terdapat

hubungan antara nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang

menunjukkan nilai kreatinin serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan

respon dari penurunan GFR hampir 50% (Finn, 2006).

3. Diabetes mellitus (DM)

Diabetes melitus merupakan independen prediktor lainnya yang kuat untuk

terjadinya CIN setelah intervensi koroner (Gami et al, 2004). Insiden CIN pada

penderita DM berkisar antara 5,7 sampai 29,4% (Mehran et.all, 2006). Studi yang

dilakukan oleh Rihal et all (2002) menyimpulkan bahwa jika fungsi ginjal normal atau

terjadi gangguan ringan (kreatinin serum < 2 mg/dL), resiko terjadiya CIN pada

penderita DM adalah 4,1% atau dua kali dibandingkan pada non DM.

Pada suatu studi, CIN terjadi pada 27% penderita DM dengan nilai kreatinin

serum dasar 2,0-4,0 mg/dL dan 81% pada penderita dengan kreatinin serum >4,0

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

23

mg/dL (Mehran et all, 2006). Chong at al, (2009) melakukan studi pada penderita

DM dengan nilai kreatinin serum normal yang dilakukan intervensi koroner dan

didapatkan hasil bahwa pada penderita tersebut terjadi peningkatan resiko untuk

timbulnya CIN.

Walaupun resiko CIN pada penderita DM dengan fungsi ginjal normal adalah

rendah, namun apabila juga disertai dengan PGK resiko terjadinya CIN menjadi

tinggi dan sebaiknya tidakan profilaksis CIN dilakukan (Ultramari et al, 2006).

4. Usia Lanjut

Alasan yang mungkin menyebabkan terjadi insiden CIN yang tinggi pada usia

lanjut adalah perubahan-perubahan oleh usia seperti lebih dominannya vasokonstriksi

renal dibandingkan vasodilatasi, sulitnya untuk akses vasular oleh karena pembuluh

darah yang berkelok-kelok, kalsifikasi pada pembuluh darah sehingga membutuhkan

jumlah kontras yang lebih banyak dan gangguan pada sintesis prostaglandin (Toprak

et all, 2006).

Pada suatu studi prospektif terhadap 183 penderita dengan usia lanjut yaitu

>70 tahun yang menjalani intervensi koroner didapatkan 11% menderita CIN (Rich

et al, 1990). Studi lainnya menunjukkan CIN terjadi 17% pada usia >60 tahun

dibandingkan 4% pada usia yang lebih muda (Toprak et al, 2006).

5. Anemia

Pengertian anemia menurut WHO adalah merupakan suatu keadaan dimana

terjadi penurunan jumlah sel darah merah. Menurut WHO, anemia didefinisikan

sebagai Hb (hemoglobin) kurang 13g/dl untuk laki-laki dan kurang 12g/dl untuk

wanita. Definisi anemia sangat tergantung pada usia dan jenis kelamin. Definisi yang

paling sering dipakai adalah definisi anemia menurut WHO dan CDC (Center For

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

24

Disease Control and Prevnetion), (http://postkesehatan.blogspot.co.id, diperoleh

pada tahun 2012).

Studi ynag dilakukan oleh Wen-Hua-Li et al (2012) menghasilkan kejadian

CIN pada pasien anemia secara signifikan lebih tinggi daripada pasien non anemia

yaitu mengalami peningkatan dua kali lipat.

6. Faktor resiko jantung

Congestive heart failure (CHF) merupakan kegagalan jantung dalam memompa

pasokan darah yang dibutuhkan tubuh. Hal ini terjadi karena kelainan otot-otot

jantung sehingga tidak bisa bekerja secara normal. Seseorang yang mengalami gagal

jantung kongestif perlu waspada terhadap keselamatannya, resiko yang bisa terjadi

pada pasien dengan gagal jantung kongestif yaitu

a. Aritmia, salah satunya akibat terjadinyafibrilasi atriumdi mana serambi jantun

berdetak cepat dan tdak beraturan dan akan beresiko stroke

b. Kegagalan organ tubuh lain, salah satu organ yang bisa mengalami kegagalan

fungsi adalah ginjal, hal ini terjadi karena pada penderita gagal jantung kongestif

aliran darah ke ginjal akan berkurang, (http://www.alodokter.com, di peroleh

2016).

berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CIN, hal ini terutama

akibat seluruh kondisi tersebut menyebabkan penurunan perfusi ginjal (Shoukat et al,

2010).

Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa penurunan left ventricular ejection

fraction (LVEF) ≤ 49% atau CHF New York Heart Association (NYHA) III atau IV

merupakan faktor resiko untuk terjadinya CIN (Schillinger at al, 2001; Gruberg at al,

2000).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

25

Pada suatu studi yang dilakukan oleh Rihal et al (2002) menunjukkan bahwa

CHF merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya CIN dengan OR 1,53

dan p = 0,007. Selain itu pada suatu studi kohort yang dilakukan oleh Bartholomew

BA et al (2004) juga mendapatkan hasil yang sama dengan OR 2,2 dan p < 0,0001

7. Intra Aortic Ballon Pump (IABP)

Merupakan suatu alat mekanik yang memiliki fungsi meningkatkan perfusi oksigen

myocard dan pada saat yang sama juga akan meningkatkan cardiac output ini akan

meningkatkan aliran darah koroner yang membawa oksigen menuju myocard,

(http://andrillifesaver.blogspot.co.id,2017)

Karena posisi yang berada di atas arteri renalis IABP dapat menjadi emboli yang

mengakibatkan penurunan aliran darah ke renal dan jika posisi IABP terlalu rendah,

akan menutup aliran darah ke renal.

8. Volume dan waktu pemberian media kontras

Dosis besar dan pemberian media kontras yang multipel dalam 72 jam meningkatkan

risiko pasien untuk terjadinya CIN. Dosis letal, 50% (LD 50) diatrizoat, media

kontras osmolaritas tinggi (hiperosmolar contrast media/HOCM), pada tikus

diperkirakan 7.6 g l/kg, sedang dosis letal iohexol, media kontras osmolaritas rendah

(low osmolar media contrast/LOCM), adalah24.2 g l/kg. Tapi sayangnya nilai dosis letal

pada tikus tidak dapat memprediksi bagaimana media kontras akan mempengaruhi

ginjal manusia ( Ningrum, 2009).

Cigarroa et al (2010) membuat rumusan volume media kontras berdasarkan

berat badan pada pasien yang menjalani angiografi koroner. Batasannya adalah 5 ml

media kontras per kilogram berat badan dengan maksimal 300 ml, dibagi nilai

kreatinin serum (dalam mg/dl). Terjadi nefropati pada 21% pasien yang penggunaan

media kontras nya melebihi formula yang dibuat dibandingkan dengan hanya 2% saja

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

26

pasien yang menggunakan volume kontras dalam batasan Jumlah kontras yang

digunakan merupakan faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi. Dengan

meningkatnya tingkat kesulitan dari prosedur intervensi koroner maka penggunaan

jumlah kontras biasanya meningkat, hal ini berhubungan dengan kejadian CIN.

Banyak studi yang telah menunjukkan adanya hubungan antara jumlah kontras yang

digunakan dengan resiko terjadinya CIN (Shoukat et al, 2010).

Studi yang dilakukan oleh McCullough et al (1997) menyimpulkan bahwa pada

penderita yang mendapat kontras <100 ml selama prosedur intervensi koroner,

resiko untuk terjadi CIN sangat kecil. Studi yang dilakukan oleh Nikolsky et al (2004)

pada penderita DM yang menjalani intervensi koroner, didapatkan bahwa setiap 100

ml dari jumlah media kontras yang digunakan meningkatkan resiko CIN 30%.

Menurut Heyman et al (2007) dosis maksimal penggunaan media kontras (mL)

yang dapat menurunkan insiden CIN hingga 90% adalah: [5ml x berat badan (kg)] /

serum kreatinin (mg/dl).

Yoon et al (2011) melakukan suatu studi untuk menilai rasio dari dosis media

kontras (CM-dose) dengan nilai GFR dalam memprediksi terjadinya CIN dan

menentukan tingkat mana yang aman dari CM-dose/GFR terhadap prosedur

intervensi koroner. Dari studi ini disimpulkan bahwa CM-dose(gram)/GFR <1,42

merupakan metode yang simpel dan berguna sebagai indikator untuk menentukan

dosis media kontras yang aman berdasarkan GFR.

Metaanalisis yang dilakukan terhadap 31 studi untuk melihat hubungan insiden

CIN dan osmolaritas dari media kontras yang digunakan. Didapatkan hasil bahwa

insiden CIN pada penggunaan kontras media dengan osmolaritas yang tinggi

meningkat secara signifikan pada penderita dengan gangguan ginjal sebelumnya.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

27

Namun pada penderita tanpa kelainan ginjal sebelumnya tidak ada perbedaan yang

signifikan (Barret et al, 1993).

Studi lain yang dilakukan oleh Rudnick et al (1995) pada penderita DM yang juga

disertai dengan adanya gangguan ginjal yang menjalani intervensi koroner

mendukung fakta yang ada sebelumnya bahwa penggunaan media kontras dengan

osmolaritas yang lebih rendah dapat menurunkan angka kejadian CIN (Aspelin et al,

2003).

Secara umum, penggunaan media kontras iso-osmolar lebih aman dan dapat

menurunkan kejadian CIN pada penderita dengan resiko tinggi untuk terjadi

kerusakan ginjal akut setelah intervensi koroner. Sebagai tambahan, efek samping

obat terjadi lebih jarang pada penggunaan media kontras yang non-ionik, osmolaritas

rendah dibandingkan pada ionik-osmolaritas tinggi (Gami et al, 2004).

Adanya dua atau lebih faktor resiko CIN yang terjadi bersamaan akan

meningkatkan angka kejadian CIN (Mehran et al, 2006; Heyman et al, 2007). Studi

yang dilakukan oleh Rich et al (1990) menyatakan bahwa CIN terjadi 1,2% pada

penderita tanpa faktor resiko, 11,2% pada penderita dengan satu faktor resiko dan

>20% pada penderita dengan dua atau lebih faktor resiko.

2.2.9 Stratifikasi Resiko:

1. Berdasarkan gromerular filtration rate / GFR:

GFR adalah laju rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar

25% dari total curah jantung per menit,± 1,300 ml .GFR digunakan sebagai salah

satu indikator menilai fungsi ginjal. Biasanya digunakan untuk menghitung bersihan

kreatinin yang selanjutnya dimasukkan kedalam formula dibawah ini:

GFR for male: (140 – age) x wt(kg) / [72 x Serum Creatinine]

GFR for female: GFR(females) = GFR(males) x 0.85

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

28

Risiko CIN berdasarkan GFR dibagi atas :

a) Low Risk : eGFR > 60 ml/menit

b) Moderate Risk : eGFR 30 – 59 ml/menit

c) High Risk : eGFR < 30 ml/menit

(Goldfarb, 2009)

2. Berdasarkan Mehran Score

Banyak faktor-faktor resiko CIN yang telah diidentifikasi, namun resiko

kumulatif kombinasi dari faktor-faktor resiko tersebut belum diketahui. Oleh karena

itu Mehran et al (2004) melakukan suatu studi untuk membuat suatu skor resiko

terjadinya CIN yang mudah digunakan. Sampel yang diikutkan dalam penelitian ini

berjumlah 8.357 orang, secara keseluruhan angka kejadian CIN terjadi 13,1%. Pada

skor resiko yang rendah ≤( 5) CIN terjadi 7,5% sedangkan pada skor resiko yang

tinggi (≥ 16) CIN terjadi hingga 57,3%. Angka kejadian CIN meningkat dengan

meningkatnya jumlah skor resiko CIN. Skor resiko tersebut juga dikaitkan dengan

tindakan dialisis yang diperlukan.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

29

Tabel 2.2 : Scoring Mehran kategori resiko CIN, 2004

Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 adalah batas

untuk menetukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk terjadinya CIN, hal

ini menyebabkan perhitungan GFR lebih direkomendasikan sebelum terpapar

kontras media untuk penilaian CIN (Mehran et al, 2006). Terdapat hubungan antara

nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang menunjukkan nilai kreatinin

serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan respon dari penurunan GFR

hampir 50% (Finn, 2006). Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk

mengidentifikasi penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN, hal ini oleh karena

nilai kreatinin serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender

(Mehran et al, 2006). Studi yang dilakukan oleh Rich et al (1990) menyatakan bahwa

CIN terjadi 1,2% pada penderita tanpa faktor resiko, 11,2% pada penderita dengan

satu faktor resiko dan >20% pada penderita dengan dua atau lebih faktor resiko.

Resiko CIN setelah kateterisasi jantung dapat dengan mudah di nilai menggunakan

informasi yang tersedia. Skor Mehran dapat digunakan untuk tujuan klinis dan

penelitian (Mehran et al, 2004). Berdasarkan penelitian Abellas et al (2016), mehran

score masih bisa di gunakan dalam 10 tahun kedepan untuk mengidentifikasi resiko

Risk Kategori Total score

Low < 5

Moderate 6-10

High 11-15

Very High > 16

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

30

terjadinya CIN, mehran score dapt memberikan informasi yang berguna untuk

prediksi CIN dan klinis setelah tindakan kateterisasi jantung.

2.2.10. Studi kardiovaskular pada pasien CIN

Pada berbagai studi, CIN selain dihubungkan dengan peningkatan resiko

kematian, juga dihubungkan dengan peningkatan resiko kejadian yang akan datang,

termasuk kejadian kardiovaskular setelah IKP. Pada satu studi registri yang

melibatkan 5.967 pasien IKP, kejadian CIN diasosiasikan dengan peningkatan insiden

MI dan revaskularisasi ulang setelah 1 tahun (Lindsay J et al, 2003). Studi besar IKP

lainnya mendokumentasikan adanya hubungan antara CIN, CK-MB setelah prosedur,

dan resiko kejadian kardiovaskular kedepannya (Lindsay et al, 2004).

Pada studi yang melibatkan 5.397 pasien, serum kreatinin post prosedural

merupakan prediktor kematian kedepan yang lebih kuat dibandingkan dengan CK-

MB. Peningkatan kreatinin diasosiasikan dengan peningkatan rasio kematian dan

infark miokard sebesar 16% setelah 1 tahun, meningkat menjadi 26,3% jika kadar

CK-MB juga meningkat setelah prosedur (Lindsay et al, 2004).

Studi oleh Dangas et al (2005) meneliti kejadian selama perawatan, bedah

pintas arteri koroner, perdarahan yang memerlukan transfusi, dan komplikasi

vaskular lainnya, pada pasien IKP yang terkena CIN, baik yang dengan riwayat

penyakit ginjal sebelumnya dan yang tidak mempunyai riwayat. Setelah 1 tahun,

kejadian major adverse cardiac event (MACE) pasien yang terkena CIN lebih tinggi

(p<0,0001) baik pada pasien dengan atau tanpa riwayat penyakit ginjal sebelumnya.

Kejadian CIN juga dikaitkan dengan peningkatan lama perawatan rumah

sakit. Pada studi yang melibatkan 200 pasien yang menjalani IKP pada kasus

sindroma koroner akut (SKA), pasien yang terkena CIN mempunyai masa rawatan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

31

yang lebih lama, komplikasi klinis yang lebih banyak, dan peningkatan angka

kematian jika dibandingkan dengan pasien yang tanpa CIN (Lindsay et al, 2004).

2.2.11 Tindakan Pencegahan

Sebelum tindakan dengan zat kontras dilakukan sebaiknya dilakukan

pemeriksaan maupun tindakan pencegahan yang tepat terutama pada pasien dengan

gangguan ginjal sebelumnya. Pelaksanaaan strategi pencegahan sebelum tindakan

dilakukan masih menjadi pendekatan terbaik untuk mengurangi kejadian CIN paska

prosedural (Morcos, 1999)

Langkah pertama dalam mengurangi resiko gangguan pada ginjal adalah

dengan mengidentifikasi faktor resiko kejadian CIN dan memperjelas indikasi untuk

pemberian zat kontras. Sebagian besar faktor resiko umumnya dapat dideteksi dari

anamnesa dan pemeriksaan fisik. Faktor-faktor seperti dehidrasi dapat dideteksi dan

dikoreksi sebelum terjadinya paparan terhadap medium kontras. Resiko untuk

terjadinya penurunan fungsi ginjal setelah pemberian zat kontras akan semakin

meningkat sebanding dengan jumlah faktor resiko yang ditemukan (Marenzi et al,

2004; Rich et al, 1990; Gruberg et al, 2000).

The European Society of Urogenital Radiology dan the American College of Radiology

merekomendasikan penilaian terhadap faktor-faktor resiko termasuk dehidrasi, gagal

jantung, usia ≥ 70 tahun, dan penggunaan obat-obatan nefrotoksik, seiring dengan

pemeriksaan level kreatinin serum pada penderita yang memiliki resiko untuk

terjadinya CIN (Thomsen et al, 2003; ACR 2005). Dengan keberadaan faktor resiko

yang bermakna, pertimbangan untuk pemilihan teknik pencitraan alternatif,

penghentian obat-obatan nefrotoksik dalam 24-48 jam sebelum diberikan kontras

serta penggunaan zat kontras yang low-osmolar atau iso-osmolar dalam dosis yang

terbatas harus dipertimbangkan. Mempertahankan status hidrasi yang adekuat, dan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

32

pemberian cairan tambahan juga direkomendasikan, namun penjelasan tentang dosis

regimen yang digunakan tidak dijelaskan (Barret et al, 2006; JCS Guidelines 2012;

Gleeson et al, 2004)

Beberapa intervensi obat berdasarkan satu atau lebih mekanisme yang telah

dijabarkan sebelumnya telah diuji dalam beberapa studi untuk pencegahan CIN.

Beberapa telah memberikan hasil yang positif meskipn penggunaannya belum

dilakukan secara luas. Saat ini, hanya hidrasi dengan cairan intravena dan

penghindaran obat-obatan nefrotoksik yang telah digunakan secara luas untuk

mengurangi angka kejadian CIN (Gleeson et al, 2004).

a. Hidrasi

Memastikan tercapainya status hidrasi yang adekuat merupakan cara yang paling

sederhana dan efektif untuk melindungi fungsi ginjal. Pada pasien dengan resiko

tinggi, sebaiknya dilakukan hidrasi cairan dengan NaCl 0,9% sebanyak 1 ml/kg per

jam secara intravena, disesuaikan dengan status hidrasi pasien saat itu dan kondisi

penyakit jantung penyerta. Hidrasi dilakukan selama 6-12 jam sebelum tindakan,

dilanjutkan dengan 12-24 jam setelah tindakan, jika diuresis yang baik tercapai.

Meskipun studi klinis yang ada tidak secara seragam menunjukkan bahwa dehidrasi

adalah faktor resiko yang pasti, namun pemberian zat kontras akan meningkatkan

volume urin dan tingkat osmolaritas, dan efek ini akan semakin diperpanjang oleh

penurunan aliran darah ke ginjal dan GFR yang sering ditemui pada pasien-pasien

dengan kondisi dehidrasi (Katzberg et al, 1997).

Goldenberg et al (2005) melaporkan bahwa protokol pemberian hidrasi dengan

NaCl 0,9% telah terbukti mengurangi resiko terjadinya CIN dan sebaiknya digunakan

secara rutin sebelum tindakan yang menggunakan zat kontras dilakukan. Selain waktu

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

33

dan cara hidrasi, faktor lain seperti tonisitas dan komposisi cairan juga tampaknya

memegang peranan penting dalam proses hidrasi tersebut (Pannu et al, 2006).

Solomon et al (1994) melakukan studi prospektif pada 78 pasien dengan

gangguan ginjal kronik yang diberikan terapi cairan (1 mL/kg per jam selama 12 jam

sebelum dan setelah angiografi) terbukti menguntungkan dalam mengurangi kejadian

CIN setelah pemberian zat kontras.

Studi prospektif yang dilakukan Merten et al (2004) yang melibatkan 119 pasien

menunjukkan bahwa hidrasi dengan menggunakan sodium bicarbonate lebih superior

dibandingkan dengan normal saline. Tingkat kejadian CIN secara signifikan lebih

rendah pada grup sodium bicarbonate (1.7%, n = 1) dibandingkan dengan grup normal

saline (13.6%, n = 8).

Patofisiologi dari efek protektif sodium bicarbonate dalam mencegah CIN masih

belum jelas. Namun demikian, beberapa studi yang dilakukan terhadap hewan

menunjukkan bahwa bicarbonate dapat scavenge oksigen reaktif radikal bebas, sehingga

melindungi ginjal dari proses iskemia akut (Atkins et al, 1986). Studi lain

menyebutkan bahwa pembentukan radikal bebas (yang didukung oleh lingkungan

yang asam) dapat dihambat dengan meningkatkan pH dari cairan ekstraseluler tubular

ginjal dengan menggunakan bikarbonat (Lindinger et al, 2000; Merten et al, 2004).

b. N-Acetylcysteine

Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa spesies oksigen reaktif memegang

peranan pada kerusakan ginjal yang disebabkan oleh zat kontras. N-acetylcysteine

(NAC), dapat berfungsi sebagai anti oksidan dan berperan meningkatkan efek

biologis dari NO dengan mengikat NO dan membentuk S-nitrosothiol, yang lebih

stabil dan poten sebagai vasodilator (Gleeson et al, 2004).

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

34

Interaksi ini dapat membatasi produksi dari radikal peroxinitrite karena NAC

akan berkompetisi dengan radikal superoxide dalam mengikat NO. NAC juga dapat

meningkatkan ekspresi dari NO synthase dan memperbaiki aliran darah (Safirstein et

al, 2000).

Tepel et al (2006) menemukan bahwa kejadian CIN pada pasien dengan gagal

ginjal kronik yang akan dilakukan CT mengalami penurunan yang drastis setelah

pemberian NAC. Dengan dosis 1,200 mg per hari, yang diberikan secara oral dalam

dosis terbagi sehari sebelum dan saat dilakukan tindakan, NAC terbukti mencegah

terjadinya penurunan fungsi ginjal lebih lanjut pada semua pasien tersebut. Namun

demikian, studi ini memiliki keterbatasan karena jumlah sampelnya yang kecil (n =

83), kurangnya follow-up jangka panjang, dan adanya fakta bahwa beberapa pasien

memiliki nilai kreatinin serum yang normal.

Penemuan yang positif dari studi yang dilakukan oleh Tepel et al ini kemudian

didukung oleh hasil dari studi lainnya yaitu Acetylcysteine to Prevent Angiography-Related

Renal Tissue Injury (The APART trial) yang melibatkan 54 pasien dengan keseluruhan

angka kejadian CIN sebesar 28% (RR 0.18 dengan 95% CI) (Diaz-Sandoval et al,

2002).

Hasil dari beberapa studi ini, digabungkan dengan efek menguntungkan dari NAC

serta harganya yang murah, membuat NAC menjadi pilihan di banyak tempat sebagai

terapi preventif, terutama pada pasien resiko tinggi yang akan menjalani intervensi

koroner. Meskipun penurunan resiko kejadian CIN oleh NAC masih menjadi

perdebatan, namun peningkatan morbiditas, mortalitas serta pemanjangan masa

rawatan yang diakibatkan oleh CIN menjadikan penggunaan NAC menjadi lebih

dapat diterima terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi. Dosis oral 600 mg

dua kali sehari, satu hari sebelum dan saat akan dilakukan prosedur merupakan

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39887/3/BAB 2.pdf · misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)

35

regimen yang paling sering digunakan. Penggunaan NAC secara intravena dengan

dosis 150 mg/kg selama setengah jam sebelum prosedur atau 50 mg/kg yang

diberikan dalam 4 jam juga dapat digunakan terutama pada pasien-pasien yang sedang

dalam perawatan intensif ataupun bagi pasien yang tidak dapat menggunakan NAC

secara oral (Baker et al, 2003).

2.2.12 Penatalaksanaan

1. Pengobatan

Pengobatan yang telah dipercaya untuk nefropati akibat media kontras

harusnya dimulai dengan pengenalan gangguan ginjal setelah pemberiannya. Pada

pasien pasien dengan risiko tinggi, fungsi ginjal harus dimonitor lebih hati-hati

dengan mengukur nilai kreatinin serum sebelum dan tiap hari selama 5 hari setelah

pemberian media kontras atau prosedur radiografi (Bettmann, 2005).

Bila CIN teridentifikasi, penangananya sama seperti yang dilakukan terhadap

gagal ginjal akut karena sebab lainnya. Perawatan rumah sakit dan monitor berkala

elektrolit serum diperlukan untuk mencegah hiperkalemia, hiponatremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipermagnesemia dan asidosis metabolik yang

berhubungan dengan kasus gagal ginjal akut tersebut. Pemberian nutrisi yang tepat

dan sesuai serta perhatikan asupan dan keluaran cairan yang sesuai dengan

kebutuhan, sampai nilai kreatinin kembali seperti semula. Kenaikan fosfat yang tinggi

bisa diterapi menggunakan pengikat fosfat (phosphate binder) seperti kalsium

karbonat (calcium carbonate); hiperkalemia diterapi dengan restriksi diet dan resin

pengikat kalium (potassium-binding resins) atau infus dekstros-insulin jika nilai

kalium > 6.5 mmol/L. Koreksi asidosis mungkin memerlukan natrium bikarbonat

per oral. Pada kasus berat mungkin memerlukan hemodialisa sementara. Hanya

sedikit pasien yang tidak menunjukkan respon baik dengan terapi konservatif

sehingga memerlukan dialisa permanen atau transplantasi ginjal (Ningrum, 2009).