80
18 BAB II TEORI KEADILAN JENDER 2.1. Pendahuluan Keadilan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat diganggu gugat. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat dan dimiliki oleh setiap manusia dari sejak lahir. Sebagai HAM, keadilan seyogyanya diperuntukkan secara universal kepada seluruh umat manusia tanpa melihat adanya faktor pembeda, seperti: suku, bahasa, kasta, ras, bangsa, agama, kepercayaan, warna kulit, dan khususnya jenis kelamin. Begitu pentingnya arti keadilan bagi kehidupan umat manusia, sehingga Tuhan telah menetapkan keadilan sebagai bagian dari ajaran agama bagi umatNya. Seiring gencarnya tuntutan akan emansipasi/kesetaraan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki oleh para feminis di berbagai belahan dunia, keadilan jender kini menjadi konsep yang terus dibahas dan dikaji dalam studi jender. Keadilan jender menjadi topik yang sangat menarik, terlebih ketika dikaitkan dengan sebuah tafsir keagamaan. 1 Sebagai hasil pemikiran atau ijtihad manusia, tafsir keagamaan, khususnya dalam hal ini adalah tafsir terhadap sebuah ayat dalam kitab suci agama, terkadang mendapat pemahaman yang keliru, dan bahkan dirasa bias jender. Ketika hal ini terjadi, maka pada gilirannya tidak mustahil apabila sebuah agama kemudian mendapat tudingan sebagai penyebab bagi lahirnya ketidakadilan jender tersebut. 1 Tafsir keagamaan yang dimaksud pada tesis ini adalah tafsir Alquran.

BAB II TEORI KEADILAN JENDER - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10510/2/T2_752012020_BAB II... · Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan;

  • Upload
    votram

  • View
    231

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

18

BAB II

TEORI KEADILAN JENDER

2.1. Pendahuluan

Keadilan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak

dapat diganggu gugat. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat dan dimiliki oleh

setiap manusia dari sejak lahir. Sebagai HAM, keadilan seyogyanya

diperuntukkan secara universal kepada seluruh umat manusia tanpa melihat

adanya faktor pembeda, seperti: suku, bahasa, kasta, ras, bangsa, agama,

kepercayaan, warna kulit, dan khususnya jenis kelamin. Begitu pentingnya arti

keadilan bagi kehidupan umat manusia, sehingga Tuhan telah menetapkan

keadilan sebagai bagian dari ajaran agama bagi umatNya.

Seiring gencarnya tuntutan akan emansipasi/kesetaraan kaum perempuan

terhadap kaum laki-laki oleh para feminis di berbagai belahan dunia, keadilan

jender kini menjadi konsep yang terus dibahas dan dikaji dalam studi jender.

Keadilan jender menjadi topik yang sangat menarik, terlebih ketika dikaitkan

dengan sebuah tafsir keagamaan.1 Sebagai hasil pemikiran atau ijtihad manusia,

tafsir keagamaan, khususnya dalam hal ini adalah tafsir terhadap sebuah ayat

dalam kitab suci agama, terkadang mendapat pemahaman yang keliru, dan bahkan

dirasa bias jender. Ketika hal ini terjadi, maka pada gilirannya tidak mustahil

apabila sebuah agama kemudian mendapat tudingan sebagai penyebab bagi

lahirnya ketidakadilan jender tersebut.

1 Tafsir keagamaan yang dimaksud pada tesis ini adalah tafsir Alquran.

19

Pada bab ini, dipaparkan tentang: Studi Jender; Keadilan dalam Studi

Jender; Konsep Keadilan dalam Alquran; Jender dalam Perspektif Alquran;

Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan; Keadilan dalam

Masyarakat Patriarkat; dan Teori Keadilan Humanis Berbasis Jender Susan

Moller Okin.

2.2. Studi Jender.

Istilah „jender‟ secara etimologis berasal dari bahasa Inggris „gender‟ yang

berati „jenis kelamin‟.2 Konsep jender baru dapat dipahami dengan benar, ketika

kata jender dan kata seks (jenis kelamin) dibedakan.3 Dalam Ensiklopedia

Feminisme, jender diartikan sebagai kelompok karakter yang melekat pada laki-

laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi budaya masyarakat, sedangkan seks

(jenis kelamin) lebih menunjuk kepada kondisi biologis seseorang dimana laki-

laki dan perempuan dibedakan secara anatomi.4

Menurut Mansour Fakih, konsep jender menunjuk pada pensifatan kepada

laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Disini,

perempuan diasumsikan sebagai sosok yang cantik, lembut, emosional, dan

keibuan. Adapun laki-laki adalah sosok yang kuat, jantan, rasional, dan perkasa.

Sedangkan konsep seks (jenis kelamin) menunjuk pada pensifatan yang secara

biologis melekat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki memiliki penis,

2 Lihat Hendra Prijana dalam Modul Studi Gender, (Program Studi Pendidikan Ilmu

Pengetahuan sosial, UNIBBA, 2012), 3. dan Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-

Qur‟an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42. Dalam hal ini, baik

Prijana maupun Yunahar merujuk pada John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Inggris-

Indonesia.

3 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), 7.

4 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj. Mundi Rahayu), (Yogyakarta: Fajar

Pustaka Baru, 2007), 177, 421.

20

jakala dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki rahim, vagina, alat

menyusui (payudara) dan memproduksi telur. Sebagai hasil konstruksi sosial dan

budaya, konsep jender memiliki sifat yang dapat dipertukarkan, sedangkan konsep

jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan, dan karenanya tidak dapat dipertukarkan.5

Sejalan dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa secara

umum, jender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan

perempuan dilihat dari segi sosial-budaya, sedangkan seks (jenis kelamin) dilihat

dari segi anatomi biologi.6

Dari beberapa pengertian mengenai konsep jender dan seks di atas, maka

penulis menyimpulkan bahwa jender dan jenis kelamin (seks) adalah dua hal yang

berbeda. Jender membedakan manusia melalui pensifatan yang dikonstruksikan

oleh masyarakat dan budaya kepada laki-laki dan perempuan dalam hal: peran,

sikap, sifat, tanggungjawab, dan kesemuanya itu masih dapat dipertukarkan.

Adapun jenis kelamin (seks) membedakan manusia secara biologis kepada dua

jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Misalnya, bahwa laki-laki memiliki penis,

jakala dan memproduksi sperma, adapun perempuan memiliki vagina, rahim,

memproduksi sel telur dan memiliki payudara untuk menyusui, dan kesemuanya

itu bersifat kodrati dan tidak dapat dipertukarkan.

Saat ini, studi jender telah menjadi kajian pada berbagai bidang ilmu

pengetahuan, seperti: sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, politik, dan

bahkan keagamaan. Studi jender menjadi kian marak seiring dengan munculnya

5 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 7-9. Mansour Fakih adalah salah seorang

aktivis penegakan HAM di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Selanjutnya dalam penulisan

ini akan disebut Fakih.

6 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Dian

Rakyat, 2010), 31.

21

kesadaran manusia akan arti pentingnya kesetaraan/keadilan jender. Kesadaran ini

berawal dari banyaknya ketimpangan/ketidakadilan jender yang dirasakan dan

dialami, khususnya oleh kaum perempuan. Bagi kaum feminis, ketidakadilan

jender terlahir sebagai akibat dari adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan

konsep gender yang disamakan dengan konsep seks.7

Terkait hal tersebut, Fakih berpendapat bahwa perbedaan jender (gender

differences) pada gilirannya telah melahirkan ketidakadilan jender (gender

inequalities) baik pada laki-laki, dan lebih khususnya lagi pada perempuan.

Bentuk ketidakadilan jender tersebut dapat berupa: marginalisasi, subordinasi,

pelabelan negatif (stereotipe), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda pada

perempuan.8 Sementara itu, Yunahar Ilyas berpendapat bahwa dalam lingkungan

umat Islam, pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama

ajaran Islam yakni Kitab Suci Alquran merupakan akar dari diskriminasi dan

segala macam bentuk ketidakadilan jender, dan salah satu cara untuk mengatasi

hal tersebut adalah melalui sebuah dekonstruksi pemikiran teologis tentang

perempuan.9

Sebagai bahan kajian dalam studi jender, pandangan atau pemikiran kaum

feminis memiliki kedudukan yang sangat penting. Feminisme merupakan sebuah

istilah pendefinisian tentang advokasi/pembelaan terhadap kesetaraan perempuan

7 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 42.

8 Fakih, Analisis Gender & Transformasi social, 12-13, 72-76.

9 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 58. Terkait

pentingnya dilakukan dekonstruksi terhadap Hukum Islam, juga disampaikan oleh Dr. A. Qodri

Azizy, M.A. dalam pengantar buku Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Menurutnya,

untuk mendobrak stagnasi berfikir terkait adanya kejumudan perkembangan hukum Islam, maka

diperlukan sebuah langkah radikal, yakni hukum Islam harus dibongkar (didekonstruksi) untuk

selanjutnya diperbaiki kembali (direkonstruksi). Lihat, Ilyas Supena & M. Fauzi, Dekonstruksi dan

Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), v.

22

dan laki-laki dengan tujuan untuk meningkatkan posisi perempuan di dalam

masyarakat. Dalam pandangan feminisme, kondisi yang tidak sederajat antara

perempuan dan laki-laki dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

dominasi laki-laki, patriarki, ketimpangan jender atau efek sosial dari perbedaan

jenis kelamin.10

Feminisme merupakan wadah perjuangan bagi terwujudnya

persamaan hak antara kaum perempuan dengan hak kaum laki-laki.11

Menurut

Yunahar Ilyas, yang menjadi pusat perhatian feminisme adalah “kesadaran akan

ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga

maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk

mengubah keadaan tersebut.”12

Dari beberapa pengertian mengenai feminisme di atas, penulis dapat

menyimpulkan bahwa feminisme adalah sebuah paham dan gerakan yang

bertujuan untuk membangkitkan kesadaran terhadap arti pentingnya kesetaraan

antara perempuan dengan laki-laki, sehingga nantinya dapat terwujud posisi yang

sederajat diantara kedua jenis kelamin tersebut baik dalam kehidupan keluarga,

masyarakat, bangsa dan negara. Feminisme bertujuan untuk menghapus atau

paling tidak, meminimalisir ketimpangan/ketidakadilan jender sebagai efek dari

kesalahpahaman dalam memaknai konsep jender dan jenis kelamin yang telah di

kontruksi sedemikian rupa oleh budaya dan masyarakat.

Pandangan atau pemikiran kaum feminis sangatlah beragam. Terkait hal

tersebut, Lapian menyatakan bahwa pada dasarnya studi feminis itu berangkat

10 William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta:

Kencana, 2008), 313. 11

Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 997.

12 Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan kontemporer, 42.

23

dari pengalaman perempuan yang bersifat partikular. Hal ini karena pada

hakikatnya tidak semua perempuan itu sama.13

Adapun, Tong berpendapat bahwa

feminisme bukanlah ideologi monolitik karena didalamnya terdapat pemikiran

dan ruang waktu yang berbeda di kalangan feminis. Pemikiran feminis sangat

beragam dengan berbagai pelabelannya, seperti: “liberal”, “radikal”, “Marxis-

sosialis”, dan sebagainya. Menurut Tong, label tersebut telah sangat membantu

para feminis di dalam menjelaskan tentang opresi14

perempuan dengan

menawarkan pemecahannya melalui berbagai cakupan pendekatan, perspektif dan

bingkai kerja yang berbeda. Meski demikian, pelabelan tersebut suatu saat harus

diganti dengan penamaan yang lebih mengedepankan komitmen intelektual dan

politis terhadap kaum perempuan.15

Adapun Fakih, ia telah membagi aliran feminisme ke dalam dua aliran

besar di dalam ilmu sosial, yakni aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran

konflik.

1. Aliran Fungsionalisme struktural atau aliran fungsionalisme.

Aliran ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Meski

teori Fungsionalisme tidak secara langsung menyinggung masalah perempuan,

tetapi dengan keyakinan mereka bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang

terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik

13 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan

Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), 226. 14

Opresi dalam bahasa Inggris “oppression” berarti penindasan. Humm menyatakan

bahwa penindasan merupakan pengalaman seksisme sebagai sebuah sistem dominasi. Lihat

Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 322.

15 Rosemarie Putnam Tong, dalam prakata Feminist Thought: Pengantar Paling

Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro),

(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 2.

24

sampai keluarga) dimana masing-masing bagian secara terus menerus mencari

keseimbangan (equilibrium) dan harmoni, maka secara tidak langsung telah dapat

menjelaskan tentang bagaimana kedudukan/posisi kaum perempuan dalam

masyarakat. Bagi penganut teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner.

Perubahan hanya boleh terjadi melalui sebuah “reformasi” yang terkontrol tanpa

boleh mengganggu stabilitas sosial yang ada. Konflik dalam masyarakat harus

dihindarkan, sedangkan harmoni dan integrasi sebagai fungsional harus

ditegakkan. Status quo harus dipertahankan. Pengaruh fungsionalisme tersebut

menurut Fakih terdapat dalam pemikiran Feminis Liberal.

2. Aliran Konflik.

Aliran ini berkeyakinan bahwa setiap hubungan sosial yang terjadi dalam

kelompok masyarakat, pasti memiliki kepentingan (interes) dan kekuasaan

(power) yang berbeda-beda. Untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak

terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan, maka gagasan dan nilai-nilai

akan digunakan sebagai senjata. Dalam aliran ini, konflik memiliki peran penting

dalam sebuah perubahan. Perubahan posisi dan hubungan antar laki-laki dan

perempuan, dengan demikian dapat terjadi melalui sebuah konflik kepentingan

antar kedua jenis kelamin tersebut. Aliran konflik dalam feminisme terdapat

dalam pemikiran feminisme radikal, feminisme Marxis, feminisme sosialis.16

Untuk lebih mengenal aliran-aliran dalam feminisme, berikut diuraikan

tentang: Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme

Sosialis, Feminisme Muslim dan Feminis Kristen.

16

Fakih, Analisis Gender, 79-98.

25

1. Feminisme Liberal

Megawangi menyebutkan bahwa feminisme liberal berkembang dengan

pesat di Barat pada abad ke-18, yakni bersamaan dengan arus pemikiran baru

“zaman pencerahan” (enlightment atau age of reason). Dasar asumsi yang dipakai

Feminis Liberal adalah doktrin John Lock tentang natural rights (hak asasi

manusia), yakni meliputi: hak hidup, hak mendapatkan kebebasan dan hak

mencari kebahagiaan.17

Pernyataan mengenai “Feminisme Liberal”, pertama kali dikemukakan

oleh Mary Wollstonecraft.18

Dalam buku tersebut dikatakan bahwa pendidikan

yang rendah telah menjadikan perempuan sebagai agen rasional yang inferior.

Akar penindasan bagi perempuan adalah perbedaan hak sipil antara kaum

perempuan dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Dalam hal seksualitas,

dikotomi publik-domestik dianggap sebagai hal yang wajar. Kehidupan pribadi

seseorang bagi mereka tidak semestinya menjadi objek peraturan masyarakat.

Dengan kata lain, bahwa feminis Liberal berupaya memperbaiki status perempuan

di dalam sistem, namun mereka tidak mempermasalahkan opresi sistem tersebut

atau legitimasinya.

Sependapat dengan hal tersebut, Nasaruddin Umar juga menyatakan

bahwa Feminisme Liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki

dan perempuan. Khususnya, dalam hal ini adalah terkait dengan fungsi

17

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi

Gender, (Bandung: Mizan, 1999), 118-119. Mengenai hal ini Megawangi merujuk pada

pernyataan L.M. Clarck dan L. Lange. 18

Istilah “Feminis Liberal” pertama kali ditemukan di dalam sebuah karya Mary

Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of the Right of Women yang diterbitkan pada tahun

1789. Lihat, Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 250.

26

reproduksi. Menurutnya, fungsi reproduksi pada perempuan diyakini akan

membawa konsekuensi logis dalam kehidupan masyarakat.19

Lebih lanjut

dikatakan, bahwa kelompok Feminisme Liberal adalah kelompok yang paling

moderat dikalangan feminisme. Kelompok ini beranggapan bahwa perubahan

struktural tidak mesti dilakukan secara menyeluruh. Disini, perempuan cukup

dilibatkan dalam berbagai peran, misalnya: peran sosial, ekonomi dan politik.

Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.20

Berbeda dengan pendapat diatas, Megawangi justeru menyatakan

sebaliknya, bahwa dalam perjuangannya mewujudkan persamaan hak antara pria

dan wanita, feminis Liberal sangat memerlukan dukungan dasar hukum yang kuat.

Oleh karena itu, fokus perjuangan feminis liberal adalah pada perubahan segala

undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga

yang patriarkat.21

Tokoh feminis Liberal yang cukup terkenal diantaranya adalah Elizabeth

Cady Stanton dan Betty Friedan.22

Feminis Liberal banyak mendapat kritikan

antara lain: Jean Berthke Elshtain dan Shulamith Firestone. Elshtain menyatakan

bahwa feminisme liberal mereduksi nilai motivasi manusia sebatas utilitarian

19

Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 57-58. 20

Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 58. Dalam hal ini Nasaruddin mengutip Bryson. 21

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 120-121. 22

Mengenai hal ini, dapat dibaca di dalam Tong, Feminist Thought. Elizabeth Cady

Stanton adalah penganjur Seneca Falls dan merupakan tokoh feminis Amerika yang paling

berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian, hak-hak kekayaan perempuan

yang sudah menikah, dan hak bersuara. Lihat, Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami

Feminisme dan Postfeminisme, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Jalasutra, (Yogyakarta:

Jalasutra, 2010), 29. Adapun Betty Friedan adalah pengarang buku The Feminine Mystique (1963),

pendiri dan sekaligus presiden pertama dari sebuah organisasi perempuan “National Organization

for Woman” atau NOW di tahun 1966. The Feminine Mystique (1963) disebut sebagai penanda

bagi munculnya feminis gelombang kedua. Lihat, Asmaeny Azis, Feminisme Profetik,

(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. dan Tong, Feminist Thought, 36.

27

terhadap kepentingan diri, sedangkan Firestone menggambarkan dan menuding

feminis Liberal itu sebagaimana National Organization of Women (NOW) yang

hanya berkonsentrasi pada indikator seksisme yang lebih dangkal.23

2. Feminisme Radikal

Teori Feminisme Radikal berkembang pesat di AS pada era 1960-an dan

1970-an. Feminisme Radikal berpandangan bahwa sumber ketidakadilan jender

adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita. Menurut mereka, dalam institusi

keluarga, peran kehamilan dan keibuan (sifatnya biologis) harus selalu diperankan

oleh perempuan. Keluarga, dengan demikian dianggap sebagai institusi yang

melahirkan dominasi pria sehingga perempuan menjadi tertindas. Alasan inilah

yang dijadikan dasar oleh feminis Radikal untuk menyerang keberadaan institusi

keluarga dan sistem patriarkat.24

Jones menyatakan bahwa, sebuah kebebasan

mungkin baru akan diperoleh perempuan apabila secara teknologi telah

dimungkinkan adanya pembuahan hingga mengandung di luar rahim. Jika

keadaan tersebut tercapai maka perbedaan gender tidak lagi relevan dan peranan

biologis perempuan dalam keluarga akan hilang.25

Sementara itu, Humm, dalam hal ini menyitir Zillah R. Eisenstein,

menyatakan bahwa bagi feminisme Radikal, akar dominasi dan penindasan laki-

laki terhadap perempuan adalah patriarki. Penindasan perempuan menurut mereka

berasal dari penempatan perempuan ke dalam kelas yang lebih rendah dibanding

23

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 251. Mengenai NOW, dapat dilihat pada teori

keadilan jender, tepatnya pada bahasan tentang konteks lahirnya pemikiran Susan Moller Okin. 24

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178. 25

Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-

modernisme, (Alih bahasa: Achmad Fedyani Saifuddin), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2010), 129.

28

kelas laki-laki. Oleh karena itu, mereka bertujuan menghancurkan sistem kelas

jenis kelamin tersebut.26

Perintis Feminis Radikal antara lain; Charlotte Perkins Gilman, Emma

Goldman dan Margaret Sanger. Adapun teori utama Feminisme Radikal

kontemporer dikembangkan oleh Ti-Grace-Atkinson dan Anne Koedt. Atkinson

menyatakan bahwa sistem peran laki-laki dan perempuan yang secara politik

menindas merupakan model asli dari semua penindasan. Sementara itu Koedt

menyatakan bahwa penindasan perempuan terutama terjadi secara psiologis dan

bukan ekonomis.27

3. Feminisme Marxis

Dalam pemahaman materialisme Marx, konflik dalam masyarakat

bersumber dari aktivitas ekonomi masyarakat dimana pola relasi materialistis dan

ekonomi dianggap sebagai pondasi masyarakat yang mendasari segala hukum,

moral, agama, dan institusi politik kemasyarakatan. Hukum, moral, agama dan

sistem politik tersebut oleh Marx disebut sebagai superstructure atau

superstruktural yang kesemuanya merupakan produk sosial yang bersifat relatif

sehingga tidak ada esensi kebenaran absolut dari sistem tersebut.28

Kedudukan agama sebagai superstruktur dalam masyarakat kapitalis oleh

Marx disebut sebagai opium (candu) bagi masyarakat. Menurutnya, agama yang

berisikan segala peraturan dan norma telah dipakai oleh pemilik modal untuk

mengajarkan kepada kaum proletar (penulis disini mengartikan: kaum yang

tertindas, seperti halnya juga dengan kaum perempuan), untuk senantiasa sabar,

26

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 383-384. 27

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 384. 28

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 78-79.

29

karena hidup yang sebenarnya adalah di akhirat. Agama disini berfungsi sebagai

bius terhadap masyarakat untuk dapat menerima begitu saja keadaan yang kurang

menguntungkan. Agama telah membuat kaum tertindas lupa bahwa mereka

sesungguhnya dapat mengubah keadaan di dunia menjadi lebih baik. Salah satu

bentuk penyadaran bagi kaum yang tertindas tersebut adalah dengan cara

menghilangkan pengaruh opium (agama). Atau dengan kata lain, menuntut

seorang untuk mengabaikan ajaran agama tersebut atau menjadi seorang yang

atheis.29

Mengenai “agama sebagai candu” juga dijelaskan oleh Ramly yang

menyatakan bahwa fungsi agama oleh Marx telah diubah citranya menjadi alat

yang “meninabobokan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan

penderitaan. Lembaga-lembaga agama dan pemimpin agama tidak lagi berperan

sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama hanya

dijadikan sebagai alat pelegalisasi kekuasaan negara yang memihak segelintir elit,

yang kemudian melahirkan istilah agama sebagai pendukung status quo.30

Dalam pola relasi materialistis dan ekonomi pada masyarakat kapitalis

yang memiliki struktur produksi industri, Marx telah membagi mayarakat ke

dalam dua kelas; yakni kaum borjuis dan proletar, kelas tuan-tuan dan kelas

budak, kelas penguasa dan rakyat, serta kelas feodal dan kelas hamba.31

Dalam hal

ini, kaum laki-laki dapat dikatakan telah mewakili kelas borjuis, tuan-tuan,

penguasa dan feodal sedangkan perempuan sebagai kelas proletar, budak, rakyat

dan hamba.

29

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80. 30

Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan

Materialisme Historis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), 164-165. 31

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 80.

30

Terkait kelas di dalam masyarakat, filsafat Feminisme Marxis

menganggap bahwa segala pemilikan pribadi, termasuk disini pria memiliki

wanita (peneliti mengartikan: keluarga, yakni pria memiliki wanita melalui sebuah

perkawinan) adalah sumber penindasan. Pria sebagai “pemilik sumber daya” yang

telah dilegitimasi oleh budaya dan nilai-nilai patriarkat, telah menempatkan

perempuan sebagai “abdi” atau kelas yang lebih rendah yang terus bergantung

pada suami.32

Menurut Tong, Feminis Marxis lebih cenderung mengidentifikasi

kelasisme (classism) dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap

perempuan.33

Bagi Marx, jalan terbaik untuk menghilangkan kelas-kelas dalam

masyarakat adalah melalui sebuah revolusi sosial.34

4. Feminis Sosialis

Pandangan dasar Feminisme Sosialis adalah bahwa masalah ekonomi dan

struktur sosial telah melahirkan subordinasi wanita.35

Pandangan Feminisme

Sosialis tidak jauh beda dari Feminisme Marxis karena Feminisme Sosialis ini

bersumber dari formulasi teori dan ideologi Karl Marx dan Frederich Engels,

bahwa kedudukan kaum perempuan itu identik dengan kaum proletar pada

masyarakat kapitalis Barat. Mereka mempermasalahkan konsep kepemilikan

pribadi dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasikan

pria memiliki istri secara pribadi. Seorang istri yang dimiliki suami merupakan

bentuk penindasan pada perempuan. Perempuan hanya dapat terbebaskan dari

penindasan tersebut, manakala sistem ekonomi kapitalis diganti dengan

32

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 87. 33

Tong, Feminist Thought, 139. 34

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 81. 35

Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 178.

31

masyarakat sosialis, yakni masyarakat egaliter tanpa kelas.36

Karena adanya

kesamaan antara Feminisme Marxis dan Feminis Sosialis tersebut, maka tidak

jarang keduanya disebut sebagai Feminisme Maxis-sosialis.

Bagi Feminisme Sosialis, perempuan adalah penduduk kelas dua dalam

masyarakat kapitalis patriarkis yang menggantungkan hidupnya pada eksploitasi

orang-orang yang bekerja (khususnya perempuan). Dalam pandangan mereka,

yang menjadi akar penindasan terhadap perempuan adalah sistem ekonomi

kapitalisme. Disini, laki-laki mempunyai kepentingan material khusus dalam

mendominasi perempuan, dan bahwa laki-laki mengkonstruksikan berbagai

tatanan institusional untuk melanggengkan dominasi tersebut.37

Menurut Feminis

Sosialis, penyebab fundamental opresi terhadap perempuan adalah lebih kepada

kapitalisme dan patriarki, bukan “kelasisme” atau “seksisme”.38

Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

membedakan antara Feminis Marxis dan feminis Sosialis adalah penyebab utama

terjadinya opresi (penindasan) bagi kaum perempuan. Menurut Feminis Marxis,

penyebab opresi adalah kelasisme (classism) dan bukan seksisme, sedangkan

menurut feminis sosialis, bukan “kelasisme” atau “seksisme” tetapi lebih kepada

kapitalisme dan patriarki.

5. Feminisme Muslim

Di kalangan umat Islam, gerakan feminis dikenal dengan gerakan Feminis

Muslim. Dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, disebutkan bahwa yang

36

Dalam hal ini, Megawangi mengutip Josephine Donovan (1994). Megawangi,

Membiarkan Berbeda?, 128-129. 37

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 447-448. 38

Tong, Feminist Thought, 139.

32

menjadi tuntutan bagi perjuangan kaum Feminis Muslim adalah emansipasi

perempuan sebagai warga negara di bidang publik, dan menerima

komplementaritas peran di bidang keluarga.39

Adapun dalam wacana sekular yang

mengakomodasi Islam, feminis Muslim mengupayakan masyarakat nonseksis dan

pascapatriarkal, yakni, bahwa perempuan mempunyai hak serta peluang dalam

pengembangan potensi diri baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.40

Tokoh feminis muslim tidak hadir dari kalangan perempuan saja, tetapi

juga dari kalangan laki-laki.41

Terkait dengan hal tersebut, Yunahar Ilyas tidak

sependapat dengan Margot Badran, yang menyatakan bahwa syarat seseorang

untuk dapat disebut sebagai feminis (feminis Muslim), maka orang tersebut harus

memenuhi tiga kriteria, yakni;

1) Mereka memiliki kesadaran jender dan memperjuangkan penghapusan

ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan.

2) Beragama Islam atau datang dari lingkungan dunia Islam dan

mempersoalkan ajaran Islam, baik dari sisi normativitas maupun

historisitasnya.

3) Berjenis kelamin perempuan.

Disini, Yunahar Ilyas tidak setuju dengan kriteria yang ketiga. Menurutnya

seorang laki-laki juga dapat disebut sebagai Feminis Muslim. Dalam hal ini, ia

mencontohkan Asghar Ali Engineer dari India. Selain itu, Yunahar juga

39

John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001),

57. 40

Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 61. 41

Tokoh feminis Muslim laki-laki diantaranya adalah Qosim Amin (Mesir), dan Asghar

Ali Engineer (India). http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses pada Rabu, 22 Juni

2016.

33

berpendapat bahwa tidak semua feminis yang beragama Islam itu dapat

dikategorikan sebagi feminis Muslim. Mereka yang dimaksud adalah feminis

yang beragama Islam, yang meskipun mereka tetap mendasarkan pada perspektif

feminisme (liberal, radikal, marxis, sosialis dan lainnya) tapi tidak

mempersoalkan ajaran Islam (baik normativitas maupun historisitas).42

Di kalangan Islam banyak dikenal feminis perempuan, antara lain: Riffat

Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Maroko), Nawal El Saadawi (Mesir), Amina

Wadud Muchsin (Amerika Serikat).43

Adapun dalam lingkup Indonesia, antara

lain; Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, Siti Musdah Mulia, Budi

Munawar Rachman, dan Nasaruddin Umar. 44

42

Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, 55-56. 43

Budhy Munawar Rachman, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan

Feminisme di Indonesia” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana

Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 34. Pemikiran Fatima

Mernissi yang cukup terkenal adalah mengenai “Islam dan Demokrasi”. Baca, Fatima Mernissi,

Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, (terj. Amirudin Ar-Rany), (Yogyakarta: LKis, 2007).

Adapun pemikiran yang terkenal dari Nawal El-Saadawi adalah mengenai “Perempuan dalam

Budaya Patriarki”. Baca, Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.

Zulhilmiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Pemikiran terkenal dari Amina Wadud

Muhsin adalah “Perempuan dalam Islam” yang terdapat dalam bukunya Qur‟an and Woman.

Adapun pemikiran Riffat Hasan yang terkenal adalah mengenai pentingnya dekonstruksi

pemikiran teologis. http://digilib.uinsby.ac.id/882/6/Bab%202.pdf, diakses, Rabu, 22 Juni 2016. 44

Andik Wahyun Muqoyyidin, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam

Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal studi-studi Islam) IAIN

Gorontalo, Vol. 13 No. 2 (Desember 2013), 503-504. Pemikiran yang cukup terkenal dari Siti

Ruhaini Dzuhayatin adalah “Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di Indonesia”;

Budi Munawar Rachman: “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme”;

Nasaruddin Umar: “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender”. Baca, Siti Ruhaini Dzuhayatin,

dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002). Selanjutnya, pemikiran yang sangat terkenal dari Siti Musdah Mulia adalah “Islam

Menggugat Poligami”. Baca, Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2007) dan “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”. Lihat,

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara & Demokrasi, 302. Adapun

pemikiran dari Ratna Megawangi adalah “Membiarkan Berbeda”. Baca, Membiarkan Berbeda?:

Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999).

34

6. Feminis Kristen

Selain lima jenis aliran feminis yang telah dipaparkan diatas, masih ada

banyak jenis aliran feminis lainnya, satu diantaranya adalah feminis Kristen.

Humm menyatakan bahwa teori feminis tentang kekristenan terbagi kedalam tiga

kategori: mereka yang meragukan pandangan teologis tentang perempuan dan

androsentrisitas teologi tradisional; mereka yang meragukan hukum teologis yang

menghalangi perempuan dari pentahbisan; dan mereka yang mengevaluasi gereja

sebagai institusi yang bertujuan untuk peningkatan status profesional perempuan

dalam gereja.45

Selanjutnya, dengan merujuk pada Daly, Humm menyatakan

bahwa, dalam teolog feminis, hanya ada dua citra perempuan dalam gereja dan

dalam sejarah Kristen, yaitu sebagai pendosa (Eva) dan sebagai perawan suci

(Mary), yang dalam hal ini mewakili sikap “keibuan” dan ketaatan.46

Dalam

beberapa tahun terakhir, feminis dari gereja Kristen dalam konteks non-kulit putih

dan dunia ketiga membuat kajian mendalam untuk membaca tradisi Kristen dari

perspektif-perspektif yang berbeda.47

Hingga saat ini, ada sederet nama terkenal dari feminis Kristen,

diantaranya adalah: Jacquelyn Grant (dari lingkungan Afrika-Amerika), Maria

Isasi-Diaz (Amerika-Hispanik), Mercy Amba Oduyoye (Nigeria) Kwok Puilan

(Cina), dan Chung Hyun Kyung (Korea).48

Dari pembahasan mengenai berbagai aliran feminisme di atas, terlihat

bahwa keluarga sebagai institusi yang dibentuk melalui lembaga perkawinan

45

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. 46 Humm, Ensiklopedia Feminisme, 59. 47

Sarah Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (terj. Tim

Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 261. 48

Gamble (ed.), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 261.

35

merupakan hal yang paling disorot dalam perjuangan para feminis. Menurut

Humm, alasan mengapa feminis begitu peduli terhadap keluarga adalah bahwa

selain diasumsikan sebagai sumber utama bagi penindasan perempuan, keluarga

juga merupakan pewaris utama dan fokus kerja bagi perempuan serta sumber

identitas perempuan yang paling mendasar, yakni sebagai ibu. Capaian paling

berharga dari teori feminis tentang keluarga adalah bahwa keluarga sebagai unit

alamiah telah direkonstruksi menjadi sebuah ideologi, sebagai nexus institusional

yang memiliki makna sosial dan kultural serta relasi.49

Selanjutnya, Humm

mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkis yang memperantarai struktural

dan individual.50

Sedangkan menurut Esposito, salah satu kecenderungan dari

gerakan feminisme abad ke-20 adalah memperbaharui hukum keluarga.51

Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa, selama ini, keluarga telah

menjadi fokus kajian yang sangat penting di dalam gerakan feminisme. Hal ini

karena keluarga telah dianggap sebagai unit patriarkis yang menjadi sumber

utama bagi penindasan kaum perempuan. Untuk dapat mewujudkan keadilan

jender di dalam keluarga, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah

diadakannya perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat

melestarikan institusi keluarga yang patriarkat tersebut.

49

Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, 2007), 143. Dalam hal ini Maggie Humm

mengutip Thorne dan Yalom (1982). 50

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 143.

51 Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 58.

36

2.3. Keadilan dalam Studi Jender.

2.3.1. Pengertian Keadilan

Keadilan berasal dari kata dasar “adil”. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), adil diartikan tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar

dan tidak sewenang-wenang. Keadilan berarti sifat (perbuatan, perlakuan) yang

adil di dalam mempertahankan hak bagi masyarakat.52

Konsep keadilan secara

umum diartikan “memberikan sesuatu sesuai dengan haknya.” Keadilan dapat

dibedakan menjadi dua macam yakni keadilan formal (keadilan hukum) dan

keadilan material (keadilan substantif). Keadilan formal melibatkan standar

keadilan prosedural yang diarahkan kepada fairness dan akurasi dalam penerapan

aturan-aturan tersebut. Intinya, bahwa setiap orang harus diperlakukan

berdasarkan aturan yang sama secara setara. Sementara itu, keadilan material

sangat terkait dengan identifikasi kriteria distribusi (misalnya: hak, kewajiban,

kebutuhan, atau pilihan), sebagai konsepsi keadilan yang saling bersaing.

Keadilan material sering dikaitkan dengan keadilan sosial.53

John Rawls berpendapat bahwa “keadilan adalah kebajikan utama dalam

institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.54

Adapun

Faturochman, menyatakan bahwa keadilan merupakan suatu situasi sosial ketika

norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi.55

Selanjutnya, Messakh,

menyatakan bahwa keadilan merupakan fenomena sosiologis. Keadilan sebagai

52

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 6-7 53

William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, 417. 54

John Rawls, Teori Keadilan: Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan

Sosial dalam Negara, (terj.Uzair Fauzan & Heru Prasetyo), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),

3. 55

Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologis, (Yogyakarta: Unit Publikasi Fak.

Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar, 2012), 20.

37

nilai moralitas sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan

berfungsi sebagai nilai yang mengatur relasi antar individu dalam masyarakat agar

kerja sama yang terjalin dapat bermanfaat secara maksimal bagi kepentingan

individual dan sekaligus bagi kepentingan bersama. Nilai keadilan diwujudkan

dalam hak dan kewajiban yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh setiap

anggota masyarakat.56

Berbicara mengenai konsep “keadilan”, tentu tidak terlepas dari konsep

“keadilan sosial”. Keadilan sosial dalam KBBI diartikan sebagai “kerjasama

untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organik sehingga setiap

anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh

dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.”57

Sedangkan dalam Ensiklopedi

Indonesia, keadilan sosial memiliki makna sebagai dasar tata kehidupan

bermasyarakat yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencapai

keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Keadilan sosial mencakup semua segi

keadilan, yakni komutatif (keadilan dalam perjanjian/tukar-menukar), distributif

(keadilan dalam pembagian jasa, sumbangan, tugas dan pengorbanan), dan

keadilan legal (keadilan dalam tuntutan ketaatan maupun perlakuan yang sama di

depan undang-undang/hukum). Untuk dapat mewujudkan suatu keadilan sosial,

masyarakat diwajibkan mempunyai atau membentuk tata cara, proses kehidupan

56

Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana

University Press, 2007), 9-10. 57

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), 6-7.

38

atau mekanisme-mekanisme sosial, yang memungkinkan hak-hak dasar warga

negara terjamin dan terlaksana secara wajar.58

Dari beberapa pengertian tentang konsep keadilan diatas, dapat

disimpulkan bahwa keadilan merupakan norma/nilai moral tentang pengaturan

pembagian hak dan kewajiban yang layak diterima dan dilaksanakan secara

seimbang baik oleh individu/kelompok sebagai anggota institusi/masyarakat

dalam suatu sistem. Adapun ketidakadilan merupakan sebuah fenomena yang

ditimbulkan akibat sistem pembagian yang timpang.

Keadilan merupakan hal yang paling disorot dalam studi jender. Terkait

hal tersebut, Lapian menyatakan bahwa studi feminis lahir dalam rangka

memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas.59

Adapun Stevi

Jackson dan Jackie Jones menyatakan bahwa teori feminis berusaha menganalisis

pelbagai kondisi termasuk didalamnya budaya yang telah membentuk kehidupan

kaum perempuan. Pentingnya mempertanyakan ketidaksetaraan antara laki-laki

dan perempuan, berawal dari pandangan kaum feminis yang menolak anggapan

bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tak

terelakkan.60

Pembahasan mengenai keadilan di dalam studi jender, dikemas dengan

istilah “kesetaraan/keadilan jender”. Keadilan jender adalah perlakuan adil yang

diberikan baik kepada perempuan maupun laki-laki. Adapun ketidakadilan jender

adalah proses marginalisasi dan pemiskinan khususnya bagi kaum perempuan.

58

Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, tt), 1701.

59 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan

Gender, 226. 60

Stevi Jackson dan Jackie Jones, (ed.), Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer,

(terj. Tim Penerjemah Jalasutra), (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2009), 1.

39

Ketidakadilan jender dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; kebijakan

pemerintah, keyakinan tradisi, tafsir agama, kebiasaan dan asumsi ilmu

pengetahuan.61

Ketidakadilan jender termanifestasi dalam beberapa bentuk, yakni;

marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipe, dan beban kerja.62

Ketidakadilan jender dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam

kehidupan bermasyarakat, yakni:

1) Pada tingkat negara. Adanya kebijakan dan hukum negara, perundang-

undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari

wujud ketidakadilan jender.

2) Pada tempat kerja, organisasi, dan dunia pendidikan. Banyak aturan kerja,

manajemen, kebijakan keorganisasian, dan kurikulum pendidikan yang

masih melanggengkan ketidakadilan jender.

3) Dalam adat istiadat, kultur dan penafsiran keagamaan juga banyak

melahirkan ketidakadilan jender.

4) Dalam Lingkungan rumahtangga. Hal ini dapat dilihat dari proses

pengambilan keputusan, pembagian kerja, hingga interaksi antar anggota

keluarga.

5) Ideologi yang berisikan ketidakadilan jender yang telah mengakar dalam

masyarakat.63

61

Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 1-2. 62

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 12-13, 72-76. Lihat juga Riant

Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), 17-18, Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer,

41-42. 63

Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011), 17-18.

40

2.3.2. Prinsip-prinsip Keadilan

Untuk menetapkan standar keadilan, bukanlah hal yang mudah. Ini

disebabkan karena standar keadilan selalu terkait erat dengan pemahaman dan

ekspektasi yang berlaku pada masyarakat tertentu. Dengan merujuk pada teori

“komunitarian”, Walzer berpendapat bahwa kriteria keadilan akan tergantung

pada “ruang” distribusi, sehingga antara keadilan politik dan ekonomi juga akan

berbeda pula.64

Meski bukan hal yang mudah, namun teori keadilan kontemporer

John Rawls telah berupaya mengkombinasikan sejumlah kriteria keadilan material

menjadi dua prinsip keadilan yang sangat terkenal, yakni: Pertama, setiap orang

punya hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan mendasar dengan sistem

kebebasan yang serupa. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti ditata

sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) memberi manfaat terbesar bagi yang

paling kurang diuntungkan; dan (b) dikaitkan dengan posisi yang terbuka untuk

semua orang di dalam kondisi kesempatan yang setara.65

Prinsip keadilan Rawls

ini, kemudian dikenal dengan istilah “justice as fairness”.

2.4. Konsep Keadilan Dalam Alquran

2.4.1. Keadilan dalam Alquran.

Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, dinyatakan bahwa keadilan berasal dari

kata dasar “adil” yang diserap dari kata berbahasa Arab „adl. Secara literal, kata

„adl adalah bentuk masdar (kata jadian) dari kata kerja „adala – ya‟dilu – adlan –

wa „udulan – wa „adalatan. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf „ain, dal, dan

lam, yang makna pokoknya adalah al-istiwa‟ (posisi lurus) dan al-i‟wijaj (posisi

64

Mengenai kriteria keadilan ini, lihat William Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran

Sosial Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), 418. 65

Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 418.

41

bengkok). Rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak

belakang, yakni “lurus” atau “sama,” dan “bengkok” atau “berbeda.” Makna

pertama dari kata „adl adalah “menetapkan hukum dengan benar.” Orang yang

„adl adalah dia yang berjalan lurus, dan sikapnya selalu menggunakan standar

yang sama. Orang yang „adl selalu berpihak pada kebenaran dan tidak berbuat

sewenang-wenang. Dalam makna „adl, pihak yang benar dan yang salah sama-

sama harus memperoleh haknya.66

Kata „adl dan derivatnya di dalam Alquran terulang sebanyak 28 kali. Kata

„adl dalam bentuk aslinya disebutkan sebanyak 13 kali, yakni pada surah al-

Baqarah/2: 48, 123, dan 282 (dua kali), an-Nisa‟/4: 58, al-Ma‟idah/5: 95 (dua kali)

dan 106, al-An‟am/6: 70, an-Nahl/16: 76 dan 90, al-Hujurat/49: 9, serta at-

Talaq/65: 2.67

Kata „adl, memiliki beberapa definisi, diantaranya; “memberi pembagian

yang sama (al-Asfahani); “sikap proporsional yang tidak berlebihan (ifrat) dan

tidak kekurangan (tafrit) (al-Jurjani); “menyampaikan hak kepada pemiliknya

secara efektif (al-Maraghi).68

2.4.2. Aspek, Objek dan Subjek Keadilan dalam Alquran

Keadilan didalam Alquran, selain disebut dengan terma „adl, juga disebut

dengan terma al-qist dan al-mizan. Ketiga terma tersebut, selanjutnya

mengarahkan keadilan kepada aspek, objek dan subjek yang cukup beragam.

Dalam Tafsir Al-Qur‟an Tematik, tepatnya dalam hal ini didasarkan pada

66

Muchlis M. Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak

Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Departemen RI, 2010), 2-3. 67

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3 68

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3.

42

penelitian M. Quraish Shihab, disebutkan bahwa sedikitnya ada empat makna

berbeda dari kata „adl, sebagai berikut;

1) „adl berarti “sama.” „adl dalam pengertian ini terdapat pada beberapa

surah di dalam Alquran, antara lain: an-Nisa‟/4: 3, 58, 129; asy-Syura/42:

15; al-Ma‟idah/5: 8, an-Nahl/16: 76, 90 dan al-Hujurat/49: 9. Makna kata

„adl pada ayat-ayat tersebut menunjuk pada persamaan dalam persoalan

hak, termasuk didalamnya mencakup sikap dan perlakuan hakim ketika

proses pengambilan keputusan berjalan.

2) „adl berarti “seimbang”. Arti ini ditemukan dalam surah al-Maidah/5:95

dan al-Infitar/82:7. Keadilan dalam pengertian “keseimbangan” ini

mengarah pada sebuah keyakinan bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan

Maha Mengetahui. Allah telah menciptakan serta mengelola segala

sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu. Keyakinan ini

selanjutnya mengantarkan kepada pengertian keadilan Ilahi.

3) „adl berarti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu

kepada setiap pemiliknya.” Pengertian ini kemudian didefinisikan dengan

“menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya

melalui jalan yang terdekat.” Pengertian ini pada tahap selanjutnya

melahirkan konsep mengenai “keadilan sosial”.

4) „adl dalam arti “yang dinisbahkan kepada Allah”. Makna ini sebagaimana

terdapat pada kandungan surah Ali Imran/3:18, yang menunjukkan Allah

swt sebagai qa‟iman bil-qist (Yang menegakkan keadilan).69

69

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 3-5.

43

Selanjutnya beralih pada terma al-qist dan al-mizan. Kata al-qist

mengandung arti “bagian” yang wajar dan patut. Disini, pengertian sama, tidak

harus persis sama, tetapi dapat berbeda bentuk asal substansinya sama. Sedangkan

kata al-mizan mengandung arti seimbang atau timbangan, merujuk pengertian

bahwa keadilan itu mendatangkan harmoni karena segala sesuatu diperlakukan

atau ditempatkan sesuai dengan semestinya. Sebagai contoh disini adalah alam

tata surya, diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan (ar-Rahman/55: 7).70

Kata al-qist beserta derivatnya disebutkan dalam Alquran sebanyak 25

kali. Ada yang mengikuti pola fa‟ala, seperti al-qist dan al-qistun; dan ada pula

yang mengikuti pola af„ala, seperti aqsata, aqsatu, al-muqsitun, atau al-muqsitin.

Semua berarti “adil, berlaku adil, atau orang-orang yang adil,” kecuali bentuk al-

qasitun (al-Jin/72: 14-15) yang berarti “menyimpang dari kebenaran.”71

Menurut Al-Qur‟an Tematik, dalam hal ini menyitir Ibnu „Asyur, bahwa

kata al-qist, sebenarnya berasal dari kata non-Arab yang mengalami proses

arabisasi untuk menunjukkan arti adil dalam putusan (qada‟) dan hukum.72

Sementara itu, term al-mizan digunakan untuk menunjukkan sikap adil, namun

penekanannya lebih pada keseimbangan, tidak berlebihan, tidak memihak pada

salah satu pihak. Hal yang menarik disini adalah bahwa kesimbangan sebagai

refleksi sikap keadilan dikaitkan dengan alam raya.73

Dari bahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, aspek adil dalam Alquran

meliputi: Persamaan kedudukan di dalam hukum; Keseimbangan alam; dan Hak

70

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 6. 71

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 166. 72

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 167. 73

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 175.

44

individu dalam keadilan sosial. Objek keadilan meliputi: Keadilan Hukum,

Keadilan Ilahi, dan Keadilan Sosial. Adapun, subjek/pelaku dari keadilan adalah

Allah swt (sebagai pelaku keadilan yang sempurna) dan manusia selaku umatNya

yang merupakan khalifah di muka bumi.

2.4.3. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Alquran.

Sebagaimana teori-teori keadilan pada umumnya, prinsip-prinsip keadilan

juga disebutkan dengan jelas di dalam Alquran. Tafsir Al-Qur‟an Tematik

menyatakan bahwa keadilan dalam Alquran memiliki dua prinsip utama, yakni:

1) al-Musawah dan at-Taswiyah (Prinsip Persamaan Hak).

Prinsip al-musawah berarti memperlakukan semua pihak secara sejajar

didepan hukum atau peradilan. Adapun prinsip at-taswiyah, yaitu upaya

menyamakan antara hak satu dengan hak yang lain. Itu hanya bisa ditempuh

dengan mengambil sesuatu dari tangan orang yang tidak berhak, dan

mengembalikannya kepada yang berhak.74

Q.S. An-Nisa‟/4:1 adalah landasan

ideal bagi prinsip taswiyah. Bahwa setiap manusia, apapun latar belakangnya,

berasal dari asal yang satu. Karena itu, tidak boleh seorang merasa berhak

diprioritaskan mengalahkan yang lain. Persamaan hak sebagai salah satu prinsip

keadilan terkait dengan banyak hal, sebagian di antaranya dianggap paling

mendasar, seperti hak setiap orang untuk mendapat perlakuan wajar dalam

pergaulan sosial, posisi yang setara di depan hukum dan peradilan, pendidikan

74

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 176-177.

45

yang baik, pelayanan kesehatan yang memadai, kesempatan bekerja secara wajar

dan bermartabat untuk memperoleh kehidupan yang layak.75

2) Proporsional.

Proporsional berarti meletakkan sesuatu pada posisi yang sesuai dengan

proporsinya atau memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Dengan demikian, yang menjadi titik tekan pada kata adil adalah unsur

proporsionalnya, bukan unsur kesamaan. Dalam hal ini, adil merupakan antonim

dari zalim, yang didefinisikan sebagai “meletakkan sesuatu pada posisi yang tidak

sesuai dengan proporsinya.”76

2.5. Jender dalam Perspektif Alquran

Kata “jender” berbeda dari kata jenis kelamin (sex). Jender diartikan

sebagai kelompok karakter yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai

hasil konstruksi budaya masyarakat. Sedangkan jenis kelamin menunjuk kepada

kondisi biologis seseorang dimana laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari

anatominya.77

Adapun perspektif, diartikan sebagai: pandangan, sudut pandang.78

Dengan mengacu pada kedua pengertian tersebut, jender dalam perspektif

Alquran yang dimaksud disini adalah perbedaan laki-laki dan perempuan ditinjau

dari sudut pandang Alquran.

Kata yang sepadan dengan istilah “jender” tidak ditemukan di dalam

Alquran. Namun demikian, bukan berarti bahwa Alquran tidak membahas

masalah jender didalamnya. Sejumlah istilah yang terkait dengan konsep jender,

75

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 178. 76

Hanafi, et. al. (ed), Tafsir Al-Qur‟an Tematik, 182. 77

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 177, 421. 78

http://kbbi.web.id/perspektif, diakses pada Rabu tanggal 30 Maret 2016 pukul 14.45

WIB.

46

seperti misalanya: perbedaan fungsi, peran, dan relasi antara laki-laki dan

perempuan, dapat ditemukan dalam Alquran. Istilah-istilah yang digunakan

terhadap laki-laki dan perempuan, seperti: al-rajul/al-rijal dan al-mar‟ah/al-nisa‟

serta al-dzakar dan al-untsa dapat dijadikan sebagai obyek penelusuran terkait

jender di dalam Alquran. 79

Senada dengan hal tersebut, Umar berpendapat bahwa identitas jender

dapat dipahami melalui simbol dan bentuk jender yang digunakan di dalam

Alquran. Istilah-istilah jender dapat diidentifikasi dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan. Misalnya al-rijal

(bentuk jamak dari kata al-rajul yang berarti laki-laki) dan al-nisa (bentuk

jamak dari kata al-mar‟ah yang berarti perempuan dewasa).

2. Gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin. Misal: Suami (al-

zawj) dan isteri (al-zawjah); Ayah (al-„Ab) dan Ibu (al-„Umm); Anak laki-

laki (al-Ibn) dan anak perempuan (al-Bint).

3. Kata ganti (pronoun/dlamir) yang berhubungan dengan jenis kelamin.

Misal: Kata ganti orang pertama: saya (ana) dan kami (nahnu); Kata ganti

orang kedua: seorang laki-laki disebut dengan anta, dua orang laki-laki

disebut dengan antum; Kata ganti orang ketiga tunggal laki-laki (huwa)

dan kata ganti untuk orang ketiga untuk orang lebih dari satu (huma).

4. Kata sifat disandarkan kepada bentuk mudzakkar dan mu‟annats.

Misalnya: orang muslim laki-laki (muslimun) dan orang muslim

79

Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer,

(Malang: UIN Malang Press, 2006), 50.

47

perempuan (muslimat); orang mukmin laki-laki (mu‟minun) dan orang

mukmin perempuan (mu‟minat).80

Prinsip-prinsip mengenai kesetaraan jender juga dapat ditemukan di dalam

sejumlah ayat di dalam Alquran. Terkait hal ini, Nasaruddin Umar telah mengkaji

ayat-ayat yang berisi tentang kesetaraan jender di dalam penelitiannya. Dalam hal

ini, Umar menggunakan variabel-variabel persamaan laki-laki dan perempuan

dalam hal: sebagai Hamba Allah; sebagai Khalifah di bumi; potensi meraih

prestasi; serta Keterlibatan Adam dan Hawa (sebagai simbol laki-laki dan

perempuan) dalam Drama Kosmis. Kesimpulan dari penelitian tersebut, adalah

bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan variabel-variabel tersebut telah

mengisyaratkan adanya konsep kesetaraan jender yang ideal, dimana prestasi

individual baik dalam urusan spiritual maupun urusan karier profesional tidak

dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Kedua jenis kelamin memperoleh

kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal. Meski terdapat konsep

yang ideal tersebut, namun pada kenyataannya akan terlihat berbeda di

masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya kendala budaya yang ada pada

masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu konsep ideal kesetaraan jender dalam

Alquran masih harus melalui tahapan dan sosialisasi.81

2.6. Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan.

Dalam pandangan Fakih, pada dasarnya inti ajaran setiap agama adalah

penegakkan prinsip keadilan. Dalam Islam, Alquran berisikan prinsip-prinsip

80

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Dian

Rakyat, 2010), 127-183. 81

Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, 229-246.

48

dasar yang menganjurkan penegakkan keadilan, baik di bidang ekonomi, politik,

kultural termasuk didalamnya adalah keadilan jender.

Untuk dapat memahami dan menganalisis tentang apa yang dianggap adil

dan tidak adil serta untuk mengetahui bagaimana mekanisme ketidakadilan yang

menjadi prinsip dasar agama, maka dibutuhkan sebuah pisau analisis dengan

meminjam analisis ilmu lain seperti ilmu-ilmu sosial maupun politik-ekonomi.82

Terkait hal tersebut, Fakih juga menjelaskan, bahwa di dalam Alquran

terdapat dalil qoth‟iy dan dalil dhanny. Dalil qoth‟iy (qoth‟iyul dalalah) adalah

dalil yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditafsirkan dari satu pengertian. Adapun

dalil dhanny (dhanniyul dalalah) adalah dalil yang berisi ayat-ayat Alquran yang

dapat menimbulkan penafsiran. Untuk mendapatkan pemahaman pada dalil

dhanny inilah, pisau analisis seperti analisis jender bisa digunakan. Dengan

meminjam pisau analisis jender, maka pemahaman atau tafsiran terhadap ajaran

keadilan akan sesuai dengan realitas sosial yang ada. Dengan demikian, prinsip

keadilan yang menjadi inti dasar ajaran Islam akan tetap bisa relevan sepanjang

zaman.83

Pemahaman terhadap paradigma di balik gerakan dan teori feminisme

juga menjadi sangat diperlukan ketika sebuah analisis jender hendak dilakukan.84

Dari pandangan Fakih tersebut, dapat disimpulkan, bahwa prinsip keadilan

adalah inti dasar dari ajaran Islam. Agar sesuai dengan realitas sosial yang ada,

maka penafsiran terhadap ajaran keadilan harus dilakukan dengan meminjam

analisis ilmu lain. Untuk dapat menganalisis sebuah tafsir agama tentang keadilan

jender, maka analisis jender menjadi sangat diperlukan sebagai pisau analisisnya.

82 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 135.

83

Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 136.

84 Fakih, Analisis Gender & Transformasi sosial, 78.

49

2.7. Keadilan dalam Masyarakat Patriarkat

Patriarki adalah sistem sosial dimana kaum perempuan mengalami

dominasi, penindasan dan eksploitasi dari kaum laki-laki.85

Patriarki merupakan

suatu sistem otoritas laki-laki dimana didalamnya perempuan mengalami

penindasan melalui berbagai institusi, baik sosial, politik maupun ekonomi.86

Dalam bentuk historis masyarakat patriarkis, baik feodal, kapitalis maupun

sosialis, sebuah sistem berdasarkan jender dan jenis kelamin beserta diskriminasi

ekonomi beroperasi secara simultan. Pada sistem patriarki, akses laki-laki

memiliki kekuatan lebih besar dibanding perempuan terhadap, bahkan menjadi

mediasi dari, sumber daya yang ada dan ganjaran.87

Penindasan perempuan,

eksploitasi dan tekanan sosial merupakan bagian integral dari sistem politik,

ekonomi dan budaya yang terjadi baik pada masyarakat feodal yang terbelakang,

maupun masyarakat industri modern di hampir seluruh dunia.88

Bagi feminisme kontemporer, konsep patriarki sangat diperlukan sebagai

istilah untuk mengekspresikan totalitas relasi yang menindas dan mengeksploitasi

kaum perempuan. Setiap teori feminis menemukan bahwa patriarki memunculkan

gaya yang beragam dalam melakukan subordinasi terhadap perempuan. Humm,

menyatakan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan akibat dari

sistem jender-seks. Humm mendefinisikan patriarki sebagai bentuk kontrol laki-

laki terhadap reproduksi perempuan.89

Bagi feminis Sosialis atau Marxis, patriarki

85

Outhwaite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, 602. 86

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 87

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332. 88

Lihat Pengantar Penulis Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki,

(terj. Zulhimiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), v. 89

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 332-333.

50

ditempatkan dalam konteks materialis. Menurut mereka, model produksi kapitalis

dibentuk oleh pembagian kerja secara seksual yang patriarkis. Sementara itu,

feminis Radikal menyamakan patriarki dengan dominasi laki-laki. Mereka

beranggapan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas kelas perempuan karena

perempuan secara seksual lebih rendah nilainya daripada laki-laki.90

Sementara itu, terkait dengan nilai-nilai patriarki dalam hukum agama,

Engineer menyatakan bahwa, masyarakat tradisional adalah patriarkis, dan

masyarakat modern telah mewarisi nilai-nilai patriarkis tersebut. Patriarki adalah

penghalang terbesar bagi terwujudnya keadilan jender. Dalam perihal hukum

agama, tidak jarang nilai-nilai patriarkis dibentuk dan dilegitimasi dengan

menggunakan kitab-kitab keagamaan sehingga terbentuk anggapan bahwa hukum

agama tersebut bersifat ilahiah, suci dan tidak dapat diubah.91

Terkait dengan

dominasi kaum laki-laki dalam hal penafsiran teks kitab suci, Hasan menyatakan,

bahwa sejumlah faktor historis menunjukkan bahwa dominasi kaum laki-laki

dalam penafsiran teks-teks suci agama Islam telah terjadi sejak periode klasik

Islam. Hal tersebut selanjutnya berdampak pada peminggiran pengalaman

perempuan dalam penafsiran teologi.92

Untuk terciptanya kemerdekaan sejati bagi perempuan di seluruh dunia,

maka salah satu cara yang harus ditempuh adalah dihapuskannya sistem patriarkat

beserta nilai-nilainya. Berikut kutipan lengkap dari Nawal el-Saadawi:

“Kemerdekaan wanita yang sejati dan utuh, baik di negara-negara Arab, di Barat atau di

Timur Jauh, hanya terwujud bila kemanusiaan mengenyahkan masyarakat kelas dan

90

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 333-334. 91

Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKis, 2007), 4. 92

Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,

(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 218.

51

eksploitasi selama-lamanya, dan bila sistem patriarkat berikut nilai-nilainya, struktur dan

bekas-bekasnya dihapus dari kehidupan dan pikiran masyarakat. dengan kata lain, wanita

hanya bisa benar-benar merdeka dibawah sistem masyarakat sosialis bila kelas-kelas

sosial dihapuskan dan, lebih jauh lagi, bila sistem, konsep dan hukum patriarkalisme

benar-benar dihapus.”93

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan jender

merupakan perihal yang sangat sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat

patriarkat. Hal ini karena perempuan masih saja ditempatkan sebagai kelas yang

lebih rendah dibanding laki-laki. Perempuan terus mengalami penindasan melalui

berbagai institusi, baik: sosial, politik, hukum, ekonomi, dan bahkan juga agama.

2.8. Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin

Pada sub bab ini, akan dibahas mengenai Teori Keadilan Humanis

Berbasis Jender yang dikembangkan oleh Susan Moller Okin (1946-2004).94

Pembahasan diawali dengan biografi Okin, dilanjutkan dengan konteks yang

melatarbelakangi pemikiran Okin tentang teori keadilan jender. Setelah itu

dilanjutkan dengan mengulas beberapa bagian penting dari buku Justice, Gender

and The Family, sebuah buku karangan Okin yang didalamnya memuat teori

keadilan jender tersebut. Ada beberapa sub topik yang dibahas di sini,

diantaranya: Keadilan dan Gender; Keluarga: Di Luar Jangkauan Keadilan;

Tradisi dan Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin; Pandangan Okin

terkait Justice as Fairness; Ruang Lingkup Keadilan: Menentang Dikotomik

Publik/Domestik; Kerentanan oleh Pernikahan; dan Menuju Keadilan Humanis.

93

Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriark, (terj. Zulhimiyasri),

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 365. 94

Susan Moller Okin adalah seorang ahli filsuf Barat dan sekaligus seorang feminis

Liberal yang mengembangkan sebuah teori keadilan humanis berbasis jender. Untuk selanjutnya di

dalam tesis ini disebut dengan nama Okin. Adapun untuk teori keadilan humanis berbasis jender,

selanjutnya dipersingkat menjadi teori keadilan jender.

52

Pembahasan berikutnya adalah Inti Kritik Susan Moller Okin, Kelebihan dan

Kekurangan Teori Keadilan Jender Okin, dan diakhiri dengan Kesimpulan.

2.8.1. Biografi Susan Moller Okin (1946-2004)

Susan Moller Okin atau lebih dikenal dengan sebutan Okin, lahir pada

tanggal 19 Juli 1946.95

Okin lahir di Aucklan, Selandia Baru. Dia adalah seorang

ahli filsuf politik ternama yang juga berkonsentrasi pada masalah jender dan

keluarga. Terkait pendidikannya, Okin berhasil menyelesaikan gelar sarjana pada

University of Aucklan (1967), gelar master filsafat pada Oxford (1970), dan gelar

doktor pada Harvard (1975). Sebelum bergabung dengan fakultas di Stanford,

Okin telah mengajar di berbagai universitas seperti: Universitas Auckland,

Vassar, Brandeis, dan Harvard. Selain kesibukannya mengajar, Okin juga

dipercaya menjadi direktur Program Etika Masyarakat (1993-1996).

Selama karirnya, Okin menerima banyak penghargaan, diantaranya: “The

American Political Science Association‟s Victoria Schuck Prize” untuk buku

terbaik tentang perempuan dan politik Justice, Gender and The Family (1989),

dan “Allan V. Cox Medal” untuk keunggulan fakultas dalam pembinaan

penelitian tingkat sarjana pada tahun 2002.96

Pada tahun 2000 Okin juga

memperoleh penghargaan Radcliffe “Graduate Society Medal” sebagai alumni

Harvard yang membuat kontribusi luar biasa di dalam bidangnya.97

95

http://www.theguardian.com/news/2004/mar/26/guardianobituaries.highereducation,

diakses pada Kamis, 10 Maret 2016. 96 http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2

Maret 2016. 97

http://oasis.lib.harvard.edu/oasis/deliver/~sch01405, diakses pada Senin, 29 Pebruari

2016.

53

Okin meninggal pada tanggal 3 Maret 2004 dalam usia 57 tahun. Hingga

saat ini, penyebab kematian Okin masih belum dapat dipastikan. Okin

meninggalkan seorang puteri bernama Laura Moller Okin (Boston) dan seorang

putera bernama Justin Moller Okin (New York) serta dua saudara perempuannya:

Catherine Pitt (Notingham, Inggris) dan Janice Mei (Aucklan, Selandia Baru).

Pernikahannya dengan Bob Okin dari Los Altos berakhir dengan perceraian.98

2.8.2. Konteks yang melatarbelakangi Pemikiran Susan Moller Okin

Teori keadilan jender Okin yang diangkat dalam tesis ini, terdapat dalam

buku karangan Okin yang berjudul Justice, Gender and The Family (1989).

Terkait dengan konteks yang melatarbelakangi pemikirannya, Okin di dalam

pengantar bukunya menyebutkan, bahwa ada tiga faktor utama yang telah

mendorongnya untuk menulis karya tersebut, yakni: pertama, beberapa teori

feminis telah terjatuh ke dalam perangkap akademik sehingga kemudian menjadi

sulit untuk dipahami, bahkan sekalipun oleh sebagian besar kaum yang

berpendidikan. Kedua, iklim politik Amerika Serikat tahun 1980-an telah

berdampak pada lemahnya perjuangan menuju kesetaraan perempuan. Ketiga,

pengalaman kehidupan pribadi Susan Moller Okin, baik sebagai ahli teori politik

maupun sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya.99

Terkait dengan ketiga faktor tersebut, disini peneliti hanya membahas

faktor yang pertama dan kedua, yakni mengenai kejatuhan teori feminis ke dalam

perangkap akademik dan situasi politik Amerika yang mendorong Okin dalam

menulis karyanya tersebut. Kedua faktor tersebut dibahas peneliti dalam satu

98

http://news.stanford.edu/news/2004/march10/obitokin-310.html, diakses pada Rabu, 2

Maret 2016. 99

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, (USA: Chicago Press, 1989), vii.

54

rangkaian yang tak terpisahkan karena keduanya memang saling bersangkutan

satu dengan lainnya.

Valerie Sanders dalam Gamble (ed.,) menyatakan bahwa aktivisme

feminis Amerika telah dimulai pada saat menjelang diadakannya konvensi Seneca

Falls tahun 1848, yakni sebuah pertemuan yang memiliki agenda untuk menuntut

penghentian seluruh diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Pertemuan tersebut

dihadiri oleh 300 orang, termasuk didalamnya adalah 40 laki-laki. Penganjur

utama dari Seneca Falls adalah Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dan Lucretia

Mott. Dalam perjuangan tersebut, mereka menggunakan Deklarasi Kemerdekaan

(Declaration of Independence) tahun 1776 sebagai model untuk Declaration of

Sentiment, yakni sebuah Deklarasi Pernyataan Sikap yang dihasilkan pada

konvensi tersebut.100

Selain Deklarasi Pernyataan Sikap (Declaration of

Sentiments), dalam Seneca Falls, New York, juga dihasilkan dua belas resolusi.

Deklarasi Pernyataan Sikap menekankan isu yang telah dicanangkan oleh Mill

dan Tylor di Inggris, terutama kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan,

perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak. Adapun dua belas resolusi

menekankan hak-hak perempuan untuk mengutarakan pendapatnya didepan

umum. Satu-satunya dari resolusi Seneca Falls yang tidak didukung secara penuh

adalah resolusi dari Susan B. Anthony mengenai resolusi atas hak pilih.101

100

Valerie Sanders, “Gerakan Feminis Gelombang Pertama”, dalam Pengantar

memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Sarah Gamble ed., terj. Tim Penerjemah Jalasutra),

(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 29. Di sini, Elizabeth Cady Stanton disebut Sander sebagai tokoh

feminis Amerika yang paling berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian,

hak-hak kekayaan perempuan yang sudah menikah, dan hak bersuara. 101

Tong, Feminist Thought, 31.

55

Mengingat begitu mendesaknya hak-hak perempuan untuk diperjuangkan,

maka pada tahun 1886, Konvensi hak-hak Perempuan Nasional memutuskan

untuk membentuk Equal Right Association (Asosiasi Kesetaraan hak). Dibawah

kepemimpinan Frederick Douglass dan Elizabeth Cady Stanton, asosiasi ini

mengumumkan tujuan organisasinya, yakni penyatuan perjuangan (laki-laki) kulit

hitam dan perempuan dalam memperoleh hak pilih. Namun dalam perkembangan

selanjutnya, muncullah tanda-tanda, bahwa asosiasi ini akan mendukung bagian

dari Amandemen Kelima Belas, yakni memberikan hak pilih bagi laki-laki kulit

hitam, tetapi tidak bagi perempuan. Karena hal tersebut, Anthony dan Stanton

mengajukan pendapat bagi pembubaran Equal Right Association.

Setelah keluar dari Equal Right Association, Anthony dan Stanton

membentuk National Woman Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih

Perempuan Nasional). Adapun, Lucy Stone, seseorang yang memiliki perbedaan

filosofis dengan Stanton, dan terutama dengan Anthony mengenai peran agama

yang terorganisir dalam opesi terhadap perempuan, mendirikan American Woman

Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika). Sejak

saat itu, gerakan hak-hak perempuan di Amerika Serikat terpecah menjadi dua.

National Woman Suffrage Association memiliki agenda feminis yang revolusioner

dan radikal, sementara itu American Woman Suffrage Association mengusung

agenda feminis yang reformis dan liberal.

Pada tahun 1890, kedua asosiasi tersebut melebur menjadi satu dengan

nama National American Woman Suffrage Association dan bertransformasi

menjadi gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih yang relatif jinak, dan

56

hanya berfokus pada satu isu saja. Dari tahun 1890 hingga tahun 1920, tepatnya

ketika Amandemen Kesembilan Belas diloloskan, National American Woman

Suffrage Association membatasi seluruh kegiatannya untuk mencapai hak pilih

bagi perempuan.102

Dalam Garis Besar Sejarah Amerika, disebutkan bahwa

pemilihan presiden tahun 1920 merupakan pertama kalinya perempuan di seluruh

negeri dapat menggunakan hak pilihnya.103

Menurut Humm, pada tahun 1960-an, muncul sebuah gerakan sosial yang

diorganisir untuk melawan segregasi di Amerika Serikat. Gerakan tersebut dikenal

dengan Gerakan Hak Sipil (Civil Right Movement). Feminis gelombang kedua

muncul dari gagasan para anggota perempuan gerakan hak sipil tersebut. Mereka

adalah para aktivis perempuan yang mengalami penindasan dari anggota laki-laki

gerakan tersebut.104

Sementara itu, Sara Evans dalam Humm, menyebutkan bahwa

penyebab terbentukya liberasi perempuan di Amerika adalah kekecewaan

terhadap politik Civil Rights, gerakan anti-perang, dan gerakan mahasiswa untuk

masyarakat demokratis.105

Humm menyatakan bahwa istilah gelombang kedua dirangkai oleh Marsha

Weinman Lear untuk menunjuk pada pembentukkan kelompok liberasi

perempuan di Amerika, Inggris dan Jerman di akhir tahun 1960-an. Istilah

“gelombang kedua” berarti bahwa feminisme “gelombang pertama” telah berakhir

di tahun 1920.106

102

Tong, Feminist Thought, 31-34. 103

Garis Besar Sejarah Amerika, 279. 104

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 60. 105

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415-416. 106

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 415.

57

Terkait hal tersebut, Humm juga menyatakan bahwa pergeseran dari

gerakan hak-hak sipil ke pembebasan perempuan telah menjadi penanda bagi

dimulainya gelombang feminis kedua, dan ini merupakan pengulangan sejarah

feminisme gelombang pertama. Tercatat dua kali dalam sejarah Amerika Serikat,

perjuangan persamaan rasial telah menjadi bidan yang membantu lahirnya

gerakan feminisme, yakni gerakan abolisi tahun 1830-an dan Civil Right

Movement di tahun 1960-an.107

Menurut Humm, pembebasan perempuan (Woman Liberation) adalah

nama dari gerakan perempuan kontemporer yang telah didopsi oleh para feminis

di tahun 1960-an. Penamaan ini merupakan suatu upaya sadar untuk menghindari

konotasi awal mengenai permasalahan perempuan.108

Sementara itu menurut

Deckard, masih dalam Humm, menyatakan bahwa pembebasan perempuan

muncul dari pengalaman kelompok perempuan dalam kelompok penyadaran dan

diperluas ke dalam studi teoritis yang lebih khusus mengenai relasi sosial

patriarkhi kapitalis. Liberasi perempuan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya:

persamaan upah, pendidikan dan peluang kerja, bebas dari kontrasepsi dan aborsi

atas dasar permintaan, bebas dari perawatan anak 24 jam, mengakhiri diskriminasi

terhadap lesbian.109

Dengan adanya liberasi perempuan, maka kemudian muncul sebuah debat

mengenai sampai di mana teori feminis bisa seiring dengan tujuan-tujuan gerakan

liberasi perempuan tersebut. Beberapa feminis melihat adanya kontradiksi yang

mendasar antara metode ilmiah sosial dalam teori tersebut dan prinsip-prinsip

107

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 1. 108

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 509. 109

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510.

58

gerakan. Sementara itu, feminis lainnya menyatakan bahwa teori tersebut hanya

mempunyai tujuan jika seiring dengan politik liberasi perempuan. Intinya, bahwa

keberhasilan utama liberasi perempuan telah menjadikan debat mengenai

perbedaan jender sebagai kritik menyeluruh terhadap peradaban yang ada, dan

telah membawa pada proses perubahan yang tidak terelakkan.110

Pada tahun 1961, Presiden John F. Kennedy mendirikan Commission on

The Status of Women (Komisi mengenai Status Perempuan), yang diantaranya

menghasilkan diberlakukannya Equal Pay Act (Kebijakan Kesetaraan

Pengupahan) dan Civil Right Act (Kebijakan Hak-hak Sipil) yang pada tahun 1964

diloloskan dalam kongres.111

Gelombang feminisme di Amerika Serikat semakin meningkat di era

reformasi. Hal tersebut ditandai dengan diterbitkannya sebuah buku The Feminine

Mystique karya Betty Friedan pada tahun 1963, yang kemudian disusul dengan

dibentuknya sebuah organisasi perempuan “National Organization for Woman”

atau NOW di tahun 1966 oleh Betty Friedan.112

Menurut Sue Thornham dalam

Gamble (ed.,), NOW dibentuk sebagai reaksi atas kegagalan America‟s Equal

Employment Opportunity Commission (Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja

AS) dalam menanggapi isu diskriminasi seks.113

Betty Friedan dipilih menjadi

presiden pertama NOW oleh 300 anggota pengurus yang terdiri dari laki-laki dan

110

Humm, Ensiklopedia Feminisme, 510-512. 111

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada

Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro), (Yogyakarta: Jalasutra,

2006), 35-36. 112

Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 62. 113

Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36.

59

perempuan.114

Tujuan dibentuknya Undang-undang Hak Perempuan dalam

konferensi nasional pertama NOW di tahun 1967 adalah untuk memastikan bahwa

perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tuntutan NOW bagi

perempuan, antara lain: agar segera diloloskannya Amandemen Hak-hak yang

Setara oleh Kongres Amerika Serikat; adanya jaminan bagi kesetaraan perempuan

dengan laki-laki dalam hal kesempatan kerja; adanya perlindungan hukum bagi

perempuan yang melahirkan, termasuk didalamnya untuk mendapat cuti

melahirkan; adanya ketentuan hukum yang mengatur fasilitas bagi pengasuhan

anak; hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan; hak perempuan untuk

menguasai kehidupan reproduktifnya.115

Pada tahun-tahun berikutnya, gerakan perempuan mulai mengalami

pergeseran, yakni mulai terbentuknya kelompok-kelompok pembebasan

perempuan non-hierarkis lokal. Berbeda dengan NOW, kelompok-kelompok baru

tersebut tidak memiliki organisasi nasional. Untuk mencapai tujuannya,

kelompok-kelompok tersebut melakukan berbagai aksi seperti: pendekatan

terhadap infrastruktur komunitas radikal, gerakan bawah tanah, dan universitas-

universitas terbuka.116

Pada bulan Februari tahun 1968, Anne Koedt menyampaikan sebuah

pidato di Universitas Terbuka di Kota New York terkait dengan perkembangan

yang terjadi pada gerakan perempuan tersebut. Koedt menyebutnya sebagai proses

“Conciousness Raising” (peningkatan kesadaran) yang selanjutnya melahirkan

114

Tong, Feminist Thought, 36. 115

Tong, Feminist Thought, 36-38. 116

Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36.

60

asumsi bahwa “masalah pribadi adalah masalah politik”, artinya bahwa, kekuatan

laki-laki dilatih dan dikuatkan melalui institusi personal seperti pernikahan,

membesarkan anak dan kegiatan seksual. Proses peningkatan kesadaran menjadi

ciri khusus kelompok-kelompok pembebasan perempuan.117

Pada tahun 1969,

Cellestine Ware bersama Shulamith Firestone dan Anne Koedth mendirikan

feminis Radikal New York.118

Pada awal tahun 1970-an, feminisme, atau kegiatan terorganisir atas nama

hak dan kepentingan kaum perempuan mencapai titik puncaknya. Jurnalis Gloria

Steinem dan beberapa orang wanita lain mendirikan majalah baru, Ms., yang terbit

pertama kali tahun 1972. Selain itu, juga ada Our Bodies, Ourselves, buku

pedoman kesehatan wanita. Akan tetapi, pada pertengahan hingga akhir tahun

1970-an, gerakan kaum perempuan mengalami kemandekan. Saat itu terjadi

perpecahan antara feminis moderat dengan feminis radikal. Kaum konservatif

yang menjadi lawan mereka melakukan kampanye menentang Amandemen Hak

yang Setara (Equal Rights Amandement, ERA). Pada tahun 1982 ERA mati tanpa

memperoleh persetujuan dari 38 negara bagian yang dibutuhkan untuk

ratifikasi.119

Dengan melihat runtutan sejarah di atas, maka dapat dipahami bahwa Okin

merupakan sosok filosof perempuan Barat dan juga feminis Liberal yang hidup di

tengah masa peralihan dari feminis Gelombang Pertama ke feminis Gelombang

Kedua, dan sekaligus hidup di tengah suasana kelesuan politik kenegaraan. Dalam

117

Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 36-37. 118

Sue Thornham, "Gerakan Feminisme Gelombang Kedua” dalam Sarah Gamble, (ed.),

Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, 38-39. 119

Garis Besar Sejarah Amerika, 369-370.

61

kehidupan politik kenegaraan, bahwa gerakan perempuan di Amerika telah

berhasil memperjuangkan hak pilih bagi perempuan, yakni dengan diloloskannya

Amandemen Kesembilas Belas di parlemen tahun 1920. Setelah hak pilih

perempuan diraih, gerakan perempuan justeru mengalami kelesuan dalam

perjuangannya hingga tahun 1960-an. Sementara itu, jika dilihat dari gerakan

feminis yang ada, maka NOW yang dibentuk tahun 1966 telah menjadi salah satu

penyebab bagi terjadinya perpecahan dikalangan feminis, dan kemudian

memunculkan sebuah gerakan feminis Radikal. Feminis Liberal yang pada

dasarnya menerima keluarga dalam dikotomi publik-privat, selanjutnya justeru

diserang oleh feminis Radikal yang beranggapan bahwa keluarga telah menjadi

sumber ketidakadilan bagi kaum perempuan, dan oleh karenanya, keluarga harus

dihancurkan karena telah dianggap sebagai sebuah institusi yang telah melahirkan

dominasi laki-laki terhadap perempuan. Selain terjadi perpecahan di tubuh

feminis, kaum feminis juga diperhadapkan pada munculnya gerakan pembebasan

perempuan. Berbagai kejadian tersebut telah menjadi penyebab kegelisahan di

kalangan akademisi. Teori feminis yang berkembang pun terjebak pada perubahan

yang diusung oleh feminis Radikal dan gerakan pembebasan perempuan.

Dalam situasi yang demikian, Okin sebagai seorang filsuf politik dan

feminis Liberal yang begitu peduli terhadap masalah jender dan keluarga merasa

terpanggil dan tergerak hatinya untuk membuat sebuah karya yang berisikan kritik

terhadap situasi yang ada. Terlebih lagi, Okin juga melihat bahwa keluarga

(khususnya dalam hal ini perempuan dan anak-anak), juga belum menjadi subyek

yang pasti di dalam teori keadilan yang berkembang saat itu. Dari berbagai

62

kejadian inilah kegelisahan Okin bermuara, dan selanjutnya ia tuangkan ke dalam

sebuah karya besar yang berjudul Justice, Gender and The Family. Justice,

Gender and The Family adalah sebuah karya yang memuat tentang teori keadilan

humanis, dan untuk selanjutnya dikenal dengan teori keadilan jender.

2.8.3. Keadilan, Jender dan Keluarga

2.8.3.1.Keadilan dan Jender

a. Pengantar: Keadilan dan Jender

Terwujudnya keadilan dan kesejahteraan umum adalah tujuan dari setiap

negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Adalah hal yang sangat tidak

diinginkan, ketika perbedaan bawaan (jenis kelamin) telah menyebabkan

terjadinya ketidaksetaraan dalam masyarakat. Bahwa, dalam kenyataannya, masih

saja terdapat kesenjangan besar yang terjadi antara kedua jenis kelamin laki-laki

dan perempuan, adalah disebabkan karena adanya ketidaksetaraan dalam

distribusi kerja yang tidak diupah di dalam keluarga. Terlebih yang berkaitan

dengan tanggungjawab keluarga, khususnya dalam hal pengasuhan anak, Okin

dengan meminjam istilah Shirley Williams, menyebutnya sebagai “revolusi besar

yang belum terjadi”. Perempuan tetap menjadi sosok yang dianggap paling

bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Pembagian kerja secara seksual

adalah sumber ketidakadilan bagi perempuan. Meskipun terkadang perempuan

bekerja di ranah publik, namun mereka tidak dapat lepas dari pekerjaan domestik

rumahtangganya, sehingga ada istilah “keberhasilan palsu”. Bagi Okin, selama

belum terwujud keadilan di dalam keluarga, maka perempuan belum akan

63

memperoleh kesetaraan di bidang politik, di tempat kerja dan pada bidang

lainnya.120

Pernikahan jender terstruktur adalah lembaga yang membuat wanita rentan

secara ekonomi dan sosial.121

Menurut Okin, siklus ketidaksetaraan antara

perempuan dan laki-laki telah diabadikan oleh keluarga melalui sebuah

pernikahan jender terstruktur. Bahwa sebuah pernikahan secara tidak disadari

telah menyembunyikan ketimpangan sosial yang dibangun perempuan melalui

pernikahannya.

Terkait hal ini, Okin mencontohkan beberapa hal, diantaranya; Dalam hal

perempuan bekerja: bahwa diskriminasi ditempat kerja telah menyebabkan

perbedaan upah antara laki-laki dengan perempuan, selain itu, istri maju lebih

lambat dari suami dalam senioritas kerja; Dalam hal pengambilan keputusan di

dalam keluarga: bahwa suami adalah pengambil utama keputusan dalam keluarga.

Di sini laki-laki dianggap lebih rasional dari pada istri.122

Intinya, menurut Okin, bahwa selama ini pembagian kerja secara seksual

sudah menjadi bagian fundamental dari kontrak pernikahan. Adapun “jender”,

hingga saat ini masih diresapi sebagai pelembagaan yang tertanam kuat atas

perbedaan seksual.123

b. Pembangunan Jender

Jender merupakan arti baru dari apa yang secara tradisional dianggap

sebagai sesuatu yang kodrati, yang disebabkan karena adanya perbedaan jenis

120

Okin, Justice, Gender, and The Family, 3-4. 121

Okin, Justice, Gender, and The Family, 24. 122

Okin, Justice, Gender, and The Family, 5. 123

Okin, Justice, Gender, and The Family, 6.

64

kelamin. Kemudian dengan berhutang pada feminisme dan teori feminis, jender

kemudian datang dan diakui sebagai faktor sosial yang sangat penting. Jender

banyak dikaji dari berbagai spektrum dan disiplin ilmu seperti psikologi, sejarah

dan antropologi, sehingga tidak mengherankan jika kemudian muncul beragam

pemikiran terkait jender. Ada pandangan yang menyatakan bahwa subordinasi

perempuan itu bukan hanya disebabkan karena pebedaan biologis semata, tetapi

akibat kontruksi sosial. Bukan hal yang aneh, ketika para feminis harus menuai

banyak kritikan yang disebabkan karena mereka telah mengembangkan teori-teori

jender yang tidak memperhitungkan perbedaan perempuan yang didasarkan pada

ras, kelas, agama dan etnis. Intinya bahwa, banyak ketidakadilan yang dialami

perempuan karena terlahir sebagai perempuan, apapun perbedaan diantara

mereka, mereka tetap menderita dalam apa pun bentuk ketidakadilannya.124

c. Keluarga sebagai Jender Terstruktur yang tersembunyi.

Pada masa lalu para ahli teori politik telah mengembangkan istilah

“privat” dan “publik” untuk dua bidang operasional dengan prinsip yang berbeda.

“privat” menunjuk pada kehidupan rumahtangga dan “publik” untuk kehidupan

politik dan pasar. Beralih pada teori keadilan kontemporer, keluarga masih

terabaikan dimana terdapat penghakiman bahwa keluarga sebagai ranah

“nonpolitik”, adapun “individu” yang menjadi subjek dari dasar teori mereka

adalah laki-laki kepala rumahtangga.125

Jika demikian adanya, maka dimanakah

kedudukan perempuan sebagai subjek teori? Intinya bahwa, keluarga (khususnya

dalam hal ini perempuan) tidak pernah dipertimbangkan dalam pandangan standar

124

Okin, Justice, Gender, and The Family, 6-7. 125

Okin, Justice, Gender, and The Family, 8-9.

65

apapun mengenai keadilan dari para ahli teori yang ada.126

Keluarga, dengan

demikian telah menjadi “jender terstruktur yang tersembunyi” dari sebuah teori

keadilan.

d. Jender sebagai sebuah Isu Keadilan

Jender sebagai sebuah isu keadilan, adalah sebuah keadaan yang tidak

dapat diterima. Hal ini karena ada tiga alasan utama; Pertama, titik jelas bahwa

perempuan harus sepenuhnya dimasukkan dalam teori keadilan yang memuaskan.

Kedua, bahwa kesetaraan kesempatan, tidak hanya untuk wanita tetapi untuk

anak-anak dari kedua jenis kelamin, serius dirusak oleh ketidakadilan jender saat

ini di masyarakat kita. Dan ketiga, bahwa, seperti yang telah disarankan, keluarga

-saat ini yang terpenting dari struktur jenis kelamin- harus adil jika kita memiliki

masyarakat yang adil, karena keluarga merupakan sekolah pertama bagi

perkembangan moral.127

e. Keluarga Sebagai Sekolah Keadilan128

Hampir setiap orang di masyarakat kita hidup di mulai dalam keluarga.

Keluarga menjadi sebuah lembaga yang sangat dibutuhkan bagi awal kehidupan

seseorang. Meski bentuknya bervariasi, keluarga, dimana anak tumbuh

dibesarkan, terutama pada tahun-tahun awal, jelas keluarga menjadi sangat

penting bagi perkembangan moral awal anak dan untuk pembentukan sikap dasar

terhadap orang lain, khususnya dalam hal ini adalah sikap adil. Mengenai

pentingnya keluarga bagi perkembangan moral individu, telah dimulai dari para

126

Okin, Justice, Gender, and The Family, 10. 127

Okin, Justice, Gender, and The Family, 14. 128

Okin, Justice, Gender, and The Family, 17.

66

ahli teori politik masa lalu seperti Hegel, Rousseau, Tocqueville, Mill, dan

Dewey.129

Bahwa keluarga itu harus adil. Hal ini karena pengaruh besarnya terhadap

pengembangan moral anak-anak. Anak-anak akan belajar mengembangkan rasa

keadilan mereka dari keluarga yang dimilikinya sehingga nantinya mereka

diharapkan dapat menjadi warga masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan.

Terkait dengan peran keluarga sebagai sekolah keadilan, Okin berpendapat

bahwa, peningkatan keadilan dengan menghapus peran jender di dalam keluarga

akan menjadikan keluarga sebagai sekolah keadilan pertama yang terbaik bagi

anak-anak dalam mengembangkan rasa keadilan.130

2.8.3.2.Keluarga: “Di Luar Jangkauan” Keadilan

Kesenjangan substansial yang terus ada di antara jenis kelamin dalam

masyarakat kita telah memiliki efek serius pada kehidupan di hampir semua

wanita dan jumlah yang semakin besar pada anak-anak. Mendasari semua

ketidaksetaraan ini adalah distribusi yang tidak merata dari kerja yang tidak

dibayar dalam keluarga.131

Menurut Okin, keluarga harus mendapat perhatian

yang cukup serius terkait dengan pembahasan tentang keadilan, hal ini bukan

untuk kepentingan perempuan semata, tapi lebih jauh dari semua itu adalah bagi

terwujudnya keadilan sosial secara menyeluruh.

Keluarga berada “diluar jangkauan” keadilan. Istilah tersebut mengandung

makna, bahwa, ketika membahas masalah keadilan, keluarga belum menjadi

subjek dari keadilan tersebut. Terkait hal ini, ada dua pendapat terkenal yang

129

Okin, Justice, Gender, and The Family, 18. 130

Okin, Justice, Gender, and The Family, 185. 131

Okin, Justice, Gender, and The Family, 25.

67

mengarah pada kesimpulan bahwa “keluarga secara internal adil adalah sesat”.

Kedua pendapat tersebut berasal dari Michael Sandel dalam Liberalism and the

Limits of Justice dan Allan Bloom‟s dalam The Closing of the American Mind.

Bagi Sandel yang dimaksud dengan keluarga “di luar jangkauan” keadilan

mengandung makna, bahwa, keluarga tidak ditandai oleh keadaan keadilan.

Keadilan akan beroperasi hanya ketika terdapat perbedaan kepentingan dan

barang yang didistribusikan langka. Bagi Sandel, keluarga adalah sebuah

kelompok yang akrab, yang diselenggarakan bersama oleh cinta dan identitas

kepentingan, keluarga ditandai dengan kebajikan yang lebih mulia. Sementara itu

menurut Bloom, keluarga dianggap sebagai “diluar jangkauan” keadilan dalam

arti bahwa “alam” telah mendikte struktur hirarki. Bloom mengakui terus terang

bahwa pembagian kerja yang ditemukan dalam keluarga jender terstruktur adalah

tidak adil, setidaknya menurut standar keadilan yang berlaku, tetapi menurutnya,

memegang pendapat kedua tersebut adalah alami dan diperlukan.132

a. Keadilan dan Keluarga Ideal

“Keadilan bukan merupakan kebajikan yang tepat bagi keluarga”

merupakan gagasan dari Rousseau dan Hume. Rousseau berpendapat bahwa

kehidupan keluarga tidak seperti masyarakat politik, tidak perlu bertanggung

jawab kepada anggotanya atau diatur oleh prinsip-prinsip keadilan, hal ini karena

kehidupan keluarga didirikan atas dasar cinta. Lebih lanjut, Rosseau

menyimpulkan bahwa, tanpa bermaksud mengurangi kesejahteraannya,

132

Okin, Justice, Gender, and The Family, 25-26.

68

perempuan, akan lebih baik mengatur keluarga dan ditolak haknya untuk

berpartisipasi pada ranah politik karena suami mereka telah mewakilinya.133

Sementara itu, Hume berpendapat bahwa, keadilan bukan merupakan

standar yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan keluarga. Hal ini karena

keluarga merupakan tempat memperluas kasih sayang yang besar dan karena

eratnya persahabatan menjadikan terhapusnya pembagian harta diantara mereka.

Intinya bahwa, standar keadilan tidak relevan untuk diterapkan di dalam institusi

keluarga.134

Pendapat Hume tersebut telah dijadikan sebagai landasan alat kritik

bagi Michael Sandel terhadap teori keadilan liberal John Rawls, khususnya

tentang “keadilan sebagai kebajikan moral yang utama”. Gagasan Rawls tersebut

terdapat dalam A Theory of Justice, bahwa keluarga sebagai bagian dari “struktur

dasar masyarakat”, adalah tempat dimana seharusnya keadilan berawal. Namun

dalam teorinya tersebut, Rawls ternyata tidak mempertimbangkan keluarga untuk

dijadikan sebagai subyek keadilan, keluarga berada diluar keadilan.135

Dalam kritikannya tersebut, Sandel berpendapat bahwa klaim Rawls untuk

keutamaan keadilan telah dirusak dengan adanya berbagai kelompok sosial di

mana keadaan keadilan tidak mendominasi. Di antara kelompok tersebut, ditandai

dengan mereka “kurang lebih jelas didefinisikan identitas umum dan tujuan

bersama,” di sini, keluarga “dapat mewakili kasus ekstrim.” Dia berpendapat

bahwa keberadaan asosiasi tersebut membantah dalam dua klaim Rawls bahwa

keadilan adalah kebajikan pertama atau utama lembaga-lembaga sosial.

133

Okin, Justice, Gender, and The Family, 26-27. 134

Okin, Justice, Gender, and The Family, 27. 135

Okin, Justice, Gender, and The Family, 27.

69

Di sini Okin mempertanyakan kritik Sandel terhadap Rawls tersebut,

sebagai berikut;

“keadilan entah bagaimana telah mengambil dari keintiman, harmoni dan cinta, tetapi

apakah itu kemudian berarti bahwa kasih sayang yang harmonis dan cinta yang

mendalam tidak dapat dipersandingkan dengan standar keadilan secara terus menerus?

Mengapa kita harus dipaksa untuk memilih dan dengan demikian untuk mencela dasar

dan penting kebajikan, keadilan, memainkannya dimulai dengan melawan apa yang

diklaim sebagai kebajikan yang lebih tinggi? Kami pasti tidak dihadapkan dengan pilihan

seperti jika, melihat pengelompokan manusia seperti keluarga realistis, kita bersikeras

bahwa mereka dibangun di atas dasar keadilan.”136

Untuk menengahi dua pendapat yang berseberangan tersebut, Okin

mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa keadilan diperlukan sebagai

hal primer, yang paling mendasar, adapun kebajikan moral ditempatkan sebagai

tujuan umum dalam kelompok sosial dimana kasih sayang sering berlaku.137

Selanjutnya, bagi Okin, keluarga yang ideal adalah keluarga yang menjadikan

keadilan sebagai sebuah kebajikan yang penting.138

b. Ketidakadilan Keluarga sebagai kepentingan Sosial dan Alam

Rousseau dalam karyanya, idealized menyatakan bahwa alam telah

mengharuskan perempuan untuk tunduk kepada laki-laki. Ketidaksempurnaan

yang dimiliki kaum laki-laki telah memaksa perempuan untuk mengalami

ketidakadilan dan subordinasi melalui adanya pembagian kerja yang kaku antara

jenis kelamin (pembagian kerja secara seksual) yang telah dikonstruksi oleh

masyarakat (masyarakat patriarki). Intinya bahwa, “kecenderungan perempuan

mengalami ketidakadilan adalah disebabkan karena alam telah mengharuskan

perempuan untuk tunduk dengan laki-laki”.139

136

Okin, Justice, Gender, and The Family, 32. 137

Okin, Justice, Gender, and The Family, 29. 138

Okin, Justice, Gender, and The Family, 32. 139

Okin, Justice, Gender, and The Family, 33.

70

Kesimpulan yang dapat penulis tarik dari pendapat Rousseau adalah meski

pada dasarnya pembagian kerja secara seksual di dalam keluarga telah menjadi

penyebab terjadinya ketidakadilan dan subordinasi bagi kaum perempuan (istri),

namun hal tersebut tetap harus dipahami sebagai sesuatu yang kodrati yang

diakibatkan dari adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki.

Selanjutnya beralih pada karya Bloom, The Closing of the American Mind.

Karya tersebut menceritakan tentang kehancuran demokrasi liberal Amerika yang

disebabkan karena universitas telah gagal mendidik elit mudanya. Tanpa memiliki

pendidikan dengan pemikiran rasional yang memadai, hanya dengan belajar serius

dari literatur dan buku-buku besar tentang filsafat Barat, para elit muda tanpa

memiliki tujuan pasti telah berkeliaran di dalam kekacauan relativisme, sebuah

“toleransi tidak terkontrol” yang mengancam kehidupan masyarakat. Feminisme

merupakan musuh utama Bloom. Hal ini karena menurutnya, feminisme “tidak

didirikan pada alam”, seperti menentang pada takdir biologis alami perempuan.

Feminisme telah banyak menyalahkan dan merusak prestise dari buku-buku besar

dan untuk mempercepat kemerosotan keluarga yang sudah terkepung.140

Menurut

Bloom, feminisme telah mengikis keluarga dengan menentang terhadap peran

seks tradisional, seperti yang dilakukan banyak gerakan modern lainnya yang

mencari keadilan abstrak, feminism telah melupakan alam dan menggunakan

kekuatan untuk mengamankan keadilan itu.141

Alam, telah menjadikan ibu sama

sekali berbeda dari ayah. Pria tidak memiliki keinginan alami atau butuh anak-

anak. Tapi wanita tentu ingin anak-anak, dan karena itu harus merawat mereka.

140

Okin, Justice, Gender, and The Family, 34. 141

Okin, Justice, Gender, and The Family, 35.

71

Dan perempuan harus menerima kenyataan bahwa tidak ada yang secara efektif

dapat membuat kebanyakan pria berbagi sama rata dalam tanggung jawabnya

terhadap peran melahirkan dan membesarkan anak.142

Seperti banyak antifeminis

lainnya, Bloom sangat bergantung pada “alam” dan terutama pada biologi

reproduksi untuk mendebat perihal rasionalitas dan perlunya peran seks

tradisional. Selanjutnya, menurut Bloom, upaya feminis untuk menciptakan

pembagian peran dan tanggung jawab yang adil antara laki-laki dan perempuan

dalam keluarga adalah merusak maskulinitas.143

Bloom tetap dalam keyakinan

bahwa membesarkan anak secara keseluruhan adalah tanggungjawab “alami”

perempuan.144

2.8.3.3.Tradisi dan Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin.

a. Rasionalitas dan Keadilan dalam Konteks Tradisi

MacIntyre membuat klaim bahwa untuk dapat memahami keadilan secara

menyeluruh, maka kita harus kembali dan membenamkan diri pada pengetahuan

tentang tradisi, khususnya tradisi yang membentuk latar belakang budaya Barat.

Dengan membenamkan diri pada tradisi dan mempelajari narasi sejarah, maka

akan diperoleh jawaban rasional yang kita perlukan ketika dalam berbagai situasi

kehidupan, kita harus menjawab sebuah pertanyaan tentang “apa yang harus saya

lakukan?.”145

MacIntyre mengajak kepada semua orang, bahwa, jika ingin mencapai

pemahaman menyeluruh tentang keadilan, maka kita harus berbalik dan

142

Okin, Justice, Gender, and The Family, 35. 143

Okin, Justice, Gender, and The Family, 36. 144

Okin, Justice, Gender, and The Family, 38. 145

Okin, Justice, Gender, and The Family, 43.

72

membenamkan diri pada pengetahuan tentang tradisi, khususnya, yang

membentuk latar belakang budaya Barat.146

Lebih tepatnya adalah sebuah “tradisi

klasik” tentang etika, yang berbicara seputar “konsep kebajikan.147

Ciri dari etika

tradisi MacIntyre berpusat pada gagasan Aristoteles, bahwa, peran sosial tertentu

merupakan asumsi yang paling mendasar dimana tradisi dibangun, dan pusat etika

mereka pada kebajikan yang diperlukan untuk menunjukkan peran sosial

tersebut.148

Melalui karyanya yang kedua, MacIntyre mencoba memberikan

penjelasan terhadap pertanyaan yang belum terjawab tuntas pada buku

terdahulunya After Virtue, yakni mengenai apa itu rasionalitas, memberi evaluasi

mengenai siapa saingan dan argumen yang tidak serasi dalam After Virtue, agar

menjadi lebih memadai.149

Secara umum, buku Whose Justice? Which

Rationality? membahas tentang beberapa etika tradisi.150

Pada akhir buku,

MacIntyre berpendapat bahwa sintesis Thomas Aquinas mengenai Aristotelian

dan tradisi Kristen Augustinian adalah yang terbaik untuk mencontohkan tentang

rasionalitas dan keadilan.151

Menurut Okin, meskipun dalam penggunaan istilah-

istilahnya terkadang begitu absurd namun karya kedua MacIntyre tersebut telah

menggunakan bahasa netral jender.152

146

Pernyataan ini terdapat dalam buku MacIntyre yang berjudul After Virtue (1981).

Okin, Justice, Gender, and The Family, 43. 147

Okin, Justice, Gender, and The Family, 43. 148

Okin, Justice, Gender, and The Family, 43-44. 149

Karya MacIntyre yang kedua berjudul Whose Justice? Which Rationality? (1988). 150

Etika tradisi yang dibahas MacIntyre mencakup: tradisi Aristotelian, yakni dari awal

Homer sampai puncaknya Aquinas; tradisi kekristenan Augustinian; dan tradisi campuran antara

Calvinis Augustinianisme dengan Renaissance Aristotelianisme yang menjadi tradisi Pencerahan

Skotlandia (akhirnya ditumbangkan oleh Hume). Okin, Justice, Gender, and The Family, 46. 151

Okin, Justice, Gender, and The Family, 43. 152

Okin, Justice, Gender, and The Family, 44-45.

73

Bagi Okin, karya kedua MacIntyre tersebut telah gagal di dalam tujuan

utamanya untuk memberikan penjelasan tentang rasionalitas tradisi. Hal ini

disebabkan karena telah terjadi adanya satu “krisis epistemologis” yang ditandai

dengan “dissolution of historically founded certitudes”, yang kemudian, penulis

maknai sebagai “pembubaran sejarah, sebagai hal yang secara pasti ditemukan”.

Hal tersebut dapat terjadi karena adanya suatu perubahan sosial dalam

masyarakat. 153

b. Feminisme Sebagai Sebuah Tradisi

Terkait dengan apa yang dimaksud dengan tradisi oleh MacIntyre, Okin

menyatakan bahwa feminisme bukan tradisi dalam pengertiannya sebagai

pendefinisian konteks, yang didalamnya menekankan sifat otoritatif dari “teks”.

Hal ini disebabkan karena kebanyakan feminis tidak memiliki teks otoritatif

sebagaimana dimaksud. Ahli teori feminis banyak yang tidak setuju satu dengan

lainnya dalam banyak hal. Mereka berdebat baik dengan para pendahulunya

maupun yang sezaman, tapi isu paling utama dari mereka, bahwa perempuan

adalah manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang berhak mendapat tempat yang

sama dengan laki-laki dalam teori politik atau moral.154

Feminisme adalah tradisi dalam arti sebagai “argumen yang hidup”. Di

sini banyak ahli teori feminis besar yang berbeda pendapat mengenai penyebab,

jenis dan solusi dari penindasan perempuan. Meski berbeda pendapat, namun

mereka sependapat bahwa ketika sebuah tradisi tidak bisa menjawab pertanyaan

153

Okin, Justice, Gender, and The Family, 46. 154

Okin, Justice, Gender, and The Family, 61.

74

dan tidak bisa mengatasi tentang apa itu “manusia baik” maka ia tidak bisa lagi

dianggap sebagai adil atau rasional.155

Dari semua pembahasan MacIntyre tentang tradisi, menurut Okin hanya

tradisi liberal yang isinya dapat menjawab pertanyaan para feminis. Banyak teori

feminis yang mengakui sejumlah prinsip dasar liberalisme seperti tentang

penggantian keyakinan dalam hirarki alam dengan keyakinan dalam kesetaraan

dasar manusia dan menempatkan kebebasan individu, prinsip yang juga pernah

dikembangkan oleh feminis. Menurut Okin, feminisme telah berhutang besar

terhadap liberalisme. Tanpa liberalisme, feminis akan sulit untuk muncul ke

permukaan.156

c. Pemahaman Bersama yang dipertanyakan Okin

Berbeda dengan kepatuhan MacIntyre terhadap tradisi, Walzer dalam

karyanya berpendapat bahwa prinsip-prinsip keadilan itu harus berdasarkan pada

“pemahaman bersama” atas masing-masing kebudayaan. Hal ini karena

menurutnya, untuk menjawab atas pertanyaan kontemporer tentang keadilan, tidak

ditemukan dalam tradisi-tradisi masa lalu, dan dia percaya bahwa pemahaman

bersama dari budaya adalah sesuatu yang secara fundamental egaliter.157

Walzer,

disini menafsirkan makna “pemahaman bersama” dengan cara yang mengarah

pada sebuah kesimpulan yang jauh lebih egaliter. Walzer berpendapat bahwa

pemahaman bersama yang dimiliki oleh masyarakat biasa, meskipun bersifat laten

155

Okin, Justice, Gender, and The Family, 61. 156

Okin, Justice, Gender, and The Family, 61. 157

Okin, Justice, Gender, and The Family, 62.

75

tetapi itu harus dibawa sepenuhnya kepada kesadaran. Dan makna laten tersebut

merupakan tugas kritikus sosial.158

Dengan pendapatnya tentang “pemahaman bersama” tersebut, Walzer

dikatakan telah jatuh kepada sebuah relativisme. Namun, masalah relativisme

tersebut, kemudian mendapat terang ketika Walzer menyatakan tentang adanya

dominasi terhadap distribusi keadilan yang disebabkan karena nilai (kelahiran dan

darah) yang terjadi dalam sistem fundamental hirarkis seperti dalam masyarakat

feodal dan kasta. Walzer, disini mengakui, bahwa dalam sistem kasta, dimana

makna sosial yang terintegrasi dan hierarkis, telah menjadikan “keadilan datang

kepada sebuah ketidaksetaraan.”159

Berbeda dengan masyarakat kasta

sebagaimana dicontohkan Walzer, patriarki ternyata juga memiliki ideologi yang

mengabadikan legitimasi hirarki.160

Menurut Okin, meski teori Walzer tentang “pemahaman bersama” tidak

dapat memberikan kriteria yang tepat untuk mengadili perbedaan antar sudut

pandang yang berbeda mengenai keadilan, namun disini dapat ditemukan sebuah

pemahaman laten, yakni: “sudah menjadi sebuah keharusan, bahwa segala sesuatu

itu akan terus berada dibawah perbedaan pendapat.”161

2.8.3.4. Pandangan Okin terhadap Justice As Fairness

Menurut Okin, Rawls dalam A Theory of Justice, sebagaimana hampir

semua ahli teori politik, telah menempatkan laki-laki menjadi acuan umum.162

Meski dalam teorinya Rawls telah menempatkan struktur dasar, dalam hal ini,

158

Okin, Justice, Gender, and The Family, 42. 159

Okin, Justice, Gender, and The Family, 63. 160

Okin, Justice, Gender, and The Family, 65-66. 161

Okin, Justice, Gender, and The Family, 68. 162

Okin, Justice, Gender, and The Family, 90.

76

keluarga sebagai subyek utama dimana prinsip-prinsip keadilan harus diterapkan

tetapi keluarga sebagian besar diabaikan, meski diasumsikan di akhir teorinya.163

“Apakah teori keadilan ini berlaku untuk wanita?”164

, adalah sebuah

pertanyaan yang ditujukan feminis terhadap teori Keadilan Liberal Rawls.

Jawaban dari pertanyaan tersebut ternyata tidak ditemukan pada istilah “selubung

ketidaktahuan” dalam A Teory of Justice karya Rawls, yakni sederetan daftar dari

hal-hal yang tidak diketahui oleh seseorang dalam posisi asli, sebagaimana

tempatnya di masyarakat, status sosialnya, kekayaannya, kecerdasan dan

kekuatan, dan sejenisnya,…. Bahwa, jenis kelamin tidak termasuk didalamnya.165

Menurut Okin, kalimat “dan sejenisnya,” selain merupakan hal yang

disengaja Rawls untuk mengaburkan perihal jender terstruktur sebagai fakta yang

ada dalam masyarakat, juga ada kemungkinan Rawls tidak menganggap hal itu

penting.166

Ambiguitas menjadi kian melebar ketika Rawls menyebutkan bahwa

individu yang dimaksud dalam posisi asli adalah bukan sebagai “individu

tunggal”, tetapi sebagai “kepala keluarga” atau “perwakilan dari keluarga”. Hal

ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang dalam posisi semula peduli

tentang kesejahteraan beberapa orang pada generasi berikutnya.167

Ia membuat asumsi “kepala keluarga” dengan tujuan untuk mengatasi

masalah keadilan antar generasi, namun tanpa Rawls sadari, ia telah terjebak

sendiri ke dalam dikotomi publik/domestik, dimana “kepala keluarga” secara

otomatis menunjuk pada kaum pria, bukan perempuan. Hal ini karena di Amerika

163

Okin, Justice, Gender, and The Family, 93. 164

Okin, Justice, Gender, and The Family, 91. 165

Okin, Justice, Gender, and The Family, 91. 166

Okin, Justice, Gender, and The Family, 91. 167

Okin, Justice, Gender, and The Family, 91-92.

77

Serikat jika disebut sebagai “perempuan-kepala keluarga”, maka itu menunjuk

pada referensi rumahtangga tanpa adanya laki-laki dewasa didalamnya.168

Dengan demikian, Okin menyimpulkan bahwa kehidupan dalam keluarga dan

hubungan antar jenis kelamin adalah tidak dianggap sebagai bagian dari subyek

dari teori keadilan sosial.169

Dalam pembahasannya tentang “Keluarga yang hampir tak terlihat” Okin

menyatakan bahwa ada tiga konteks keluarga dalam teori keadilan Rawls, yakni ;

pertama, sebagai penghubung antara generasi yang diperlukan untuk

penghematan prinsip keadilan; kedua, sebagai hambatan untuk persamaan

kesempatan yang adil (karena ketidaksetaraan antara keluarga); dan ketiga,

sebagai sekolah pertama perkembangan moral. Terkait keluarga sebagai lembaga

yang adil, Rawls tidak menjelaskan bentuk keluarga yang mana, apakah keluarga

“dalam beberapa bentuk” itu merupakan lembaga yang adil?170

Meski demikian, namun menurut Okin, dengan mengesampingkan asumsi

liberal tradisional tentang publik-domestik, dan politik-nonpolitik, teori Rawls

dapat digunakan sebagai alat untuk berpikir tentang bagaimana untuk mencapai

keadilan antara jenis kelamin baik di dalam keluarga dan di masyarakat pada

umumnya.171

2.8.3.5.Ruang Lingkup Keadilan: Menentang Dikotomi Publik/Domestik.

Teori-teori keadilan di masa lalu banyak bergantung pada asumsi-asumsi

patriarkal, baik itu tersembunyi dengan baik di balik penggunaan bahasa palsu

168

Okin, Justice, Gender, and The Family, 92. 169

Okin, Justice, Gender, and The Family, 92. 170

Okin, Justice, Gender, and The Family, 94. 171

Okin, Justice, Gender, and The Family, 109.

78

netral jender maupun yang tidak tersembunyi dengan baik. Teori-teori yang

mengandalkan “pemahaman bersama” juga mengungkapkan kecenderungan

mereka untuk memperkuat patriarki dengan mengabaikan untuk

mempertimbangkan efek dari dominasi masa lalu dan sekarang.172

Menurut Okin, melalui teori justice as fairness, kita dapat menemukan

sebuah cara berpikir, bahwa dengan menghapus premis “kepala keluarga”,

memiliki potensi nyata untuk mempertanyakan jender. Namun sebelum

mempertanyakan lebih dalam, sebaiknya terlebih dahulu dipahami perihal

dikotomi publik/domestik, sebuah istilah yang sejauh ini telah diterima sebagai

dasar untuk pemikiran liberal, yakni “publik” menunjuk pada kehidupan politik

dan pasar, adapun “privat” menunjuk pada kehidupan keluarga dan hubungan

pribadi.173

Bagi Okin, teori keadilan humanis sepenuhnya tidak dapat dicapai tanpa

pemeriksaan yang cermat dan kritis dari dikotomi publik/domestik. Michael

Walzer dan Roberto Unger- telah berkontribusi terhadap kritik tersebut. Meski

tidak satupun dari argumen keduanya berimplikasi terhadap feminis, namun

keduanya telah menjadi point awal yang baik untuk mengkritik dikotomi

publik/domestik dan gagasan tentang keluarga sebagai ranah “non-politik”.174

Salah satu pendapat Walzer adalah bahwa pekerjaan rumah tangga harus dibagi

tanpa memandang jenis kelamin, sementara untuk pengasuhan anak adalah hal

yang berbeda, karena tidak memenuhi definisi negatif tentang kerja keras

172

Okin, Justice, Gender, and The Family, 110. 173

Okin, Justice, Gender, and The Family, 110-111. 174

Okin, Justice, Gender, and The Family, 111.

79

(setidaknya, bagi mereka yang keadaannya beruntung).175

Adapun Unger,

memandang bahwa penerapan hukum kontrak untuk hubungan dalam keluarga

adalah tidak sepantasnya dilakukan. Hal ini karena dua alasan; Pertama,

kepercayaan, bukan negosiasi dan kesepakatan, seharusnya menjadi dasar

kehidupan keluarga, dan “bahasa hak resmi” akan membahayakan kesatuan.

Kedua, yang, seperti katanya, biasanya dibiarkan implisit, adalah ketimpangan

kekuasaan dalam keluarga. Keluarga merupakan struktur kekuasaan tertentu.

Pemeliharaan keluarga diadakan tergantung pada otoritas kepalanya.176

a. Keadilan dalam pemisahan ruang lingkupnya.

Menurut Okin, berbeda dengan teori keadilan kontemporer lainnya,

Michael Walzer dalam Spheres of Justice telah memberi perhatian lebih terhadap

perempuan dan jender. Dalam teorinya tersebut, sebagian besar bahasa nonseksis

digunakan Walzer untuk mendesak bahwa keluarga merupakan sebuah “lingkup

keadilan” yang penting dan referensi yang spesifik untuk ketidakseimbangan

kekuasaan antara jenis kelamin dan diskriminasi.177

Sebagai sebuah teori, Okin melihat adanya kelemahan dan kelebihan dari

teori Walzer. Kelemahannya adalah bahwa istilah “pemahaman bersama” yang

dimunculkan dalam teori, lebih menunjuk pada makna hasil dari dominasi

beberapa kelompok atas orang lain, yang kemudian dibungkam atau diberikan

“koheren” oleh yang lebih kuat. Adapun kelebihan dari teori Walzer ada pada

kerangka teoritisnya yakni, bahwa, -terpisahnya lingkup keadilan harus

memungkinkan kesenjangan yang berbeda untuk hidup berdampingan hanya

175

Okin, Justice, Gender, and The Family, 115. 176

Okin, Justice, Gender, and The Family, 121. 177

Okin, Justice, Gender, and The Family, 111.

80

sejauh situasi yang dia sebut “dominasi” tidak tercipta- kelebihan ini memiliki

kekuatan besar sebagai alat sosial, dan terutama untuk kritik feminis. Walzer

berpendapat bahwa keadilan tidak menuntut pemerataan pada setiap barang sosial

dalam masing-masing lingkupnya. Selanjutnya dalam bahasan Walzer tentang

“kesetaraan kompleks”, dijelaskan bahwa lingkup keadilan harus ditempatkan

secara otonom dimana ketimpangan yang ada dalam masing-masing lingkup tidak

harus diterjemahkan sebagai kesenjangan terhadap orang lain.178

Bagi Walzer,

distribusi adalah hal yang sangat penting dalam pembahasan keadilan.

Menurutnya, di mana ada distribusi, apakah itu; tanggung jawab, hak, nikmat,

barang, atau kekuasaan, maka disana akan ada potensi untuk keadilan dan

ketidakadilan.179

Dengan mengingat sejarah jender, Okin berpendapat bahwa kesetaraan

antara jenis kelamin, apakah itu di dalam keluarga atau di mana pun, tidak

mungkin terjadi selama tidak ada perubahan hukum, politik, dan sosial.180

b. Personal sebagai Politik.

“Pribadi adalah politik” merupakan pesan utama dari kritik feminis

terhadap dikotomi publik/domestik. Klaim awal “pribadi adalah politik” berasal

dari feminis radikal 1960-an dan 1970-an yang berpendapat bahwa institusi

keluarga harus “dihancurkan”, karena keluarga adalah akar dari penindasan

perempuan. Anti-keluarga dari feminis radikal tersebut kemudian mendapat

serangan balik dari anti-feminis dan feminis konservatif. Mereka telah fokus

untuk menyerang semuanya melalui versi masing-masing. Tetapi banyak feminis

178

Okin, Justice, Gender, and The Family, 112. 179

Okin, Justice, Gender, and The Family, 114. 180

Okin, Justice, Gender, and The Family, 117.

81

kontemporer, yang ketika mengkritisi keluarga jender terstruktur, tidak

menyerang semua jenis keluarga. Hal ini disebabkan karena banyak advokat yang

mendefinisikan bahwa “keluarga” itu mencakup kelompok yang memiliki

komitmen dan berhubungan secara akrab, khususnya menyetujui pernikahan

homoseksual. Kebanyakan dari mereka menolak kedua hal tersebut, yakni

menolak untuk menyerah pada institusi keluarga, dan menolak untuk menerima

pembagian kerja antara jenis kelamin sebagai kodrat yang tidak dapat diubah.181

Sementara itu, sehubungan dengan pembahasan feminis mengenai sifat

dasar politik kehidupan pribadi dan keluarga, Okin berpendapat bahwa kehidupan

rumah tangga adalah harus adil, dan keadilan harus diperkuat oleh negara dan

sistem hukumnya.182

Adapun kaitannya dengan “pribadi adalah politik”, Okin

menyebutkan ada empat kelemahan utama dari dikotomi publik/domestik;

1) Apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan pribadi tidak kebal

dari dinamika kekuasaan, sebagai ciri khusus dari politik. Kekuasaan

dalam keluarga, apakah itu suami atas istri atau orang tua atas anak, sering

tidak diakui seperti itu, baik karena telah dianggap sebagai alami atau

karena diasumsikan bahwa, dalam keluarga, altruisme dan harmoni dari

kepentingan menjadikan kekuasaan sebagai faktor yang penting.

2) Dengan dikotomi publik/domestik, bahwa sebagai feminis ahli sejarah dan

pengacara telah menunjukkan, sejauh yang lebih pribadi, wilayah

domestik tidak ada. Keberadaannya, batas-batas yang mendefinisikan, dan

jenis perilaku yang diterima dan tidak dapat diterima di dalamnya semua

181

Okin, Justice, Gender, and The Family, 124-125. 182

Okin, Justice, Gender, and The Family, 126.

82

hasil dari keputusan politik. Namun pada kenyataannya, negara tidak adil

“dijauhkan dari” kehidupan keluarga. Dalam banyak cara, negara

menentukan dan memberlakukan persyaratan pernikahan. Selama ratusan

tahun, hukum umum kehilangan wanita dari kepribadian hukum pada saat

mereka menikah.

3) Tidak berlaku untuk menganggap dikotomi yang jelas antara ruang “non-

politik” dari kehidupan keluarga dan ruang publik/politik, bahwa

kehidupan domestik adalah tempat di mana sebagian dari kita, sosialisasi

awal berlangsung.

4) Pembagian kerja dalam kebanyakan keluarga telah menimbulkan

hambatan psikologis serta praktis terhadap perempuan di semua bidang.183

2.8.3.6.Kerentanan oleh Pernikahan

a. Kerentanan dalam Pernikahan.

Menurut Okin, berpikir mengenai keadilan dalam hal pernikahan dan

keluarga bukanlah hal yang mudah. Satu penyebabnya adalah karena tidak mudah

mengasosiasikan keadilan dengan keintiman, yang merupakan salah satu alasan

beberapa teori mengidealkan keluarga. Menurut Okin, pernikahan dan keluarga

yang selama ini dipraktekkan dalam masyarakat kita adalah lembaga yang tidak

adil. Padahal keduanya merupakan poros dari sistem sosial jender yang membuat

perempuan rentan terhadap ketergantungan, eksploitasi, dan kekerasan. Hal ini

dapat terlihat pada konstruksi sosial ketidaksetaraan diantara suami-istri, misalnya

183

Okin, Justice, Gender, and The Family, 128-132.

83

pekerjaan (dibayar dan belum dibayar), kekuasaan, prestise, harga diri, peluang

untuk pengembangan diri.184

Filsuf moral Robert Goodin dan ekonom Albert O. Hirschman telah

memperlihatkan tentang ketidakadilan jender terstruktur yang didalamnya

membahas tentang kekuatan dan kerentanan yang akan sangat berguna saat

melihat data tentang pernikahan kontemporer. Dalam salah satu kesimpulannya,

Goodin menyatakan bahwa, kerentanan itu diciptakan, dibentuk, atau ditopang

oleh pengaturan sosial saat ini. Kita harus selalu berusaha untuk melindungi yang

rentan, kami juga harus berusaha untuk mengurangi semacam kedua kerentanan

sejauh mereka menyebabkan kerentanan terhadap eksploitasi.185

Sementara itu terkait dengan teorinya, Hirschman menyiratkan bahwa

sebuah pernikahan, sebagaimana sebuah hubungan internasional, memiliki

dinamika khusus yang menghasilkan fakta bahwa keluar dari satu pasangan tidak

hanya akan melemahkan institusi, melainkan dapat membubarkannya. Bahwa

dalam perjalanan hubungan sebuah pernikahan, tidak menutup kemungkinan akan

terjadinya ketergantungan asimetris yang disebabkan karena adanya satu pihak

yang memiliki kekuasaan lebih besar dibanding lainnya. Disini, pihak yang

berkuasa akan menjadikan pihak lainnya (dalam hal ini istri) untuk terus memiliki

ketergantungan pada pihak yang berkuasa (suami).186

Bagi Okin, pembagian kerja dalam sebagian besar perkawinan telah

membuat istri jauh lebih mungkin mengalami eksploitasi dibandingkan suami di

dalam hubungan suami istri dan di dunia kerja di luar rumah. Untuk sebagian

184

Okin, Justice, Gender, and The Family, 135. 185

Okin, Justice, Gender, and The Family, 137. 186

Okin, Justice, Gender, and The Family, 138.

84

besar dan dalam berbagai cara, perempuan kontemporer dalam masyarakat kita

dibuat rentan oleh pernikahan itu sendiri.187

Ada banyak teori sosial nonfeminis

gagal mengenali pola kerentanan perempuan dalam pernikahan. Hal ini karena

menurut mereka secara kodrati, pengasuhan anak-anak adalah tugas

perempuan.188

b. Kekuasaan dalam Keluarga

Dalam tulisan Okin disebutkan bahwa, selama ini hanya ada sedikit

penelitian tentang kekuasaan dalam perkawinan. Penelitian dari Robert O. Blood,

Jr., dan Donald M. Wolfe 1960 Husbands and wives -adalah salah satu hasil

penelitian yang seringkali dijadikan sebagai rujukan banyak orang. Meskipun

cukup informatif, namun sekarang telah usang dan tidak dapat diandalkan dalam

cara menafsirkan temuannya sendiri. Temuan Blood dan Wolfe adalah tentang

variabel yang mempengaruhi kekuasaan dalam keluarga. Dari kesimpulannya,

mereka telah gagal karena mereka hanya melihat distribusi kekuasaan sebagai

satu-satunya sumberdaya yang mempengaruhi kekuatan sebuah perkawinan,

sementara itu sumberdaya lain seperti pendapatan, keberhasilan, dan prestasi

dihargai diluar perkawinan. Bahkan sumberdaya lainnya seperti layanan domestik

dari istri, seperti halnya melahirkan, membesarkan anak, dan tenaga kerja

berkorelasi negatif terhadap kekuatan perkawinan.189

Sementara itu Blumstein dan Schwartz dalam American Couple telah

memberikan pemahaman baru mengenai pengambilan keputusan oleh pasangan

dalam sebuah perkawinan. Pertama, meskipun jumlah pernikahan di mana

187

Okin, Justice, Gender, and The Family, 138. 188

Okin, Justice, Gender, and The Family, 139. 189

Okin, Justice, Gender, and The Family, 156-157.

85

pasangan menganggap bahwa mereka berbagi kekuasaan relatif sama telah

meningkat pesat, kecenderungan pada orang lain masih jelas ke arah dominan

laki-laki daripada perempuan. Kedua, masih jelas kasus yang kepemilikan

pengambilan keputusan oleh masing-masing pasangan dari sumber dihargai oleh

dunia luar, khususnya pendapatan dan status pekerjaan, daripada sumber daya

berharga terutama dalam keluarga, memiliki efek signifikan pada distribusi

kekuasaan dalam hubungan.190

c. Kerentanan karena Perpisahan atau Perceraian

Gangguan perkawinan yang disebabkan karena kematian pasangan,

perceraian, atau perpisahan, secara konsisten dinilai sebagai peristiwa kehidupan

yang paling menekan secara psikologis baik untuk pria maupun wanita. Namun

bagi perempuan, gangguan pribadi yang disebabkan oleh peristiwa ini sering

diperburuk oleh dislokasi sosial dan ekonomi yang serius yang menyertai mereka.

Perceraian dan efek ekonomi memberikan kontribusi yang signifikan pada fakta

bahwa pada hampir satu per empat dari semua anak, sekarang hidup dalam rumah

tangga orang tua tunggal, dan lebih dari setengahnya berada di bawah tingkat

kemiskinan. 191

Perbedaan situasi ekonomi antara laki-laki dan perempuan pasca

perceraian dapat diketahui melalui sebuah hasil penelitian. Banyak penelitian

menunjukkan, bahwa sementara status ekonomi rata-rata laki-laki meningkat

setelah perceraian, perempuan dan anak-anak justru memburuk. Studi Lenore

Weitzman dalam The Divorce Revolution, dalam satu kesimpulannya menyatakan,

190

Okin, Justice, Gender, and The Family, 158. 191

Okin, Justice, Gender, and The Family, 160.

86

bahwa situasi ekonomi laki-laki dan perempuan dan anak-anak biasanya berbeda

setelah terjadinya perceraian.192

Ada berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan pasca terjadinya

perceraian. Bentuk ketidakadilan tersebut dapat terlihat dalam beberapa hal;

pertama, setelah terjadinya perceraian maka pengasuhan anak seolah menjadi

tanggung jawab istri. Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah

terjadi perceraian, sekitar 90 persen kasus, anak-anak hidup dengan ibu daripada

ayah. Kedua, bahwa tidak ada hukum perceraian yang cacat, dengan mencabut

perempuan dari kekuasaan, mereka sering dinyatakan sebagai sosok “tidak

bersalah” dan kurang bersedia pihak perceraian, telah sangat mengurangi

kapasitas mereka untuk mencapai divisi yang adil dari aset nyata pasangan.193

Selain hak asuh anak, ada hal yang secara sosial menghambat perempuan

yang sudah bercerai untuk menikah lagi, terlebih lagi untuk menikah dengan pria

yang lebih muda usianya. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksetujuan sosial yang

melekat pada seorang perempuan, bahwa perempuan itu tidak pantas untuk

menikah lagi, apalagi dengan pria yang lebih muda usianya. Hal ini berbeda

dengan pria. Seorang pria yang bercerai akan dengan cepat mencari istri kembali

dan biasanya dengan perempuan yang lebih muda usianya. Dengan kata lain,

bahwa bertambahnya usia pada laki-laki, tidak menjadi halangan baginya untuk

menikah lagi pasca perceraian. Adapun bagi seorang perempuan, mereka akan

192

Okin, Justice, Gender, and The Family, 161. 193

Okin, Justice, Gender, and The Family, 162.

87

lebih memilih untuk mengasuh anak yang dimilikinya daripada harus menikah

kembali.194

Bahasan tentang ketidakadilan yang dialami perempuan pasca perceraian

diakhiri Okin dengan sebuah kesimpulan, bahwa, ketika terjadi sebuah perceraian,

maka perempuan akan menanggung beban lebih banyak dibanding laki-laki,

terlebih pada perempuan yang anak-anaknya ada dalam pengasuhannya.195

2.8.3.7.Menuju Keadilan Humanis

Menurut Okin, teori-teori keadilan kontemporer yang ada selama ini telah

mengabaikan perempuan dan jender. Perempuan mengalami kerentanan dalam hal

keadilan. Adapun keluarga, yang dalam hal ini sebagai pengikat jenis kelamin

yang mereproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya, kurang mendapat

perhatian dari teori-teori yang ada. Berawal dari hal tersebut, Okin selanjutnya

berupaya menempatkan keluarga (termasuk didalamnya perempuan dan anak-

anak) sebagai subyek dalam teori keadilan. Menurutnya, keluarga harus menjadi

sebuah lembaga yang berkeadilan jender.

Lebih lanjut, Okin mengatakan, bahwa pada kenyataannya kita tumbuh

dalam masyarakat jender terstruktur, dimana perbedaan jenis kelamin telah

menyebabkan peranan yang berbeda antara dua jenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Fakta jender di masa lalu telah menjadi struktur yang sangat

mempengaruhi psikologis kehidupan masyarakat saat ini. Perubahan kebijakan

194

Okin, Justice, Gender, and The Family, 166. 195

Okin, Justice, Gender, and The Family, 166.

88

publik dan reformasi hukum keluarga adalah solusi yang ditawarkan Okin untuk

mengatasi ketidakadilan jender.196

Okin menginginkan suatu konsep keadilan yang humanistis (humanist

justice). Menurut Okin, konsep keadilan yang sungguh-sungguh mengatasi

ketidak-adilan yang dialami perempuan dan anak-anak, adalah keadilan yang

menjamin adanya ekualitas kewajiban/tanggungjawab laki-laki dan perempuan

dalam menanggung beban pekerjaan publik (yang diupah) dan pekerjaan

rumahtangga (yang tak diupah), pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan

produksi dan reproduksi. Dalam perkembangannya, ekualitas kewajiban/

tanggung-jawab laki-laki dan perempuan ini harus menjadi pola kehidupan laki-

laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Struktur

kehidupan dan asumsi-asumsi gender sungguh-sungguh harus ditinggalkan.

Untuk mencapai pola hidup masyarakat yang bebas gender dan dikotomi

publik-domestik, membutuhkan proses yang panjang. Sebab dalam masyarakat

Amerika Serikat belum terbentuk kesepemahaman tentang perbedaan peran laki-

laki dan perempuan, tentang peran laki-laki dan perempuan yang seharusnya,

tentang bentuk rumah-tangga dan pembagian kerja yang paling bermanfaat bagi

laki-laki dan perempuan sebagai individu dan sebagai ayah-ibu. Namun demikian,

menurut Okin, jender harus ditinggalkan dalam pola hidup masyarakat yang

demokratis. Sebab jender bertentangan dengan asas demokrasi. Dalam paham

liberalism, setiap orang memiliki hak kebebasan untuk berpendapat dan memilih

apa yang menurutnya baik untuk hidupnya. Akan tetapi seharusnya, tidak boleh

196

Okin, Justice, Gender, and The Family, 170-172.

89

memilih sesuatu yang mengakibatkan ketidak-adilan bagi perempuan dan anak-

anak.

Okin mengusulkan reformasi sosial, antara lain melalui perubahan di

bidang kebijakan publik dan reformasi hukum. Kebijakan publik dan hukum harus

didasarkan pada prinsip tidak ada perbedaan sosial antara laki-laki dan

perempuan. Ekualitas sosial ini harus berlaku dalam public sphere dan family

sphere. Pekerjaan rumah-tangga harus dilaksanakan bersama-sama oleh laki-laki

dan perempuan, agar perempuan mempunyai waktu untuk dapat

mengaktualisasikan potensinya di luar pekerjaan rumahtangga, tanpa harus

menelantarkan pekerjaan rumahtangga. Laki-laki dan perempuan, sama-sama,

adalah insan publik dan domestik. Harus ada undang-undang perlindungan anak

yang sungguh-sungguh melindungi kepentingan anak dan ibu yang tidak

berpenghasilan, bila terjadi perceraian. Pendidikan seks dan pendidikan rumah-

tangga (membangun rumah-tangga bebas gender) diberikan kepada anak muda

sejak dini, sehingga mereka dapat dicegah dari melakukan perilaku seks yang

merusak masa depan mereka sebagai individu dan calon ayah-ibu bagi anak-anak

mereka.

Menurut Okin, hanya dalam masyarakat yang bebas gender dan dikotomi

publik-domestik, perempuan dapat memperoleh perlakuan yang adil. Dalam

masyarakat yang demikian, semua institusi sosial harus dirancang dengan

memperhatikan prinsip ekualitas laki-laki dan perempuan, sama-sama, adalah

insan publik dan domestik. Konsep keadilan humanis adalah konsep keadilan

yang menghargai laki-laki, perempuan, anak-anak, sebagai manusia. Martabat

90

mereka sebagai manusia inilah yang menjadi standar acuan keadilan dalam

masyarakat. Kemanusiaan yang menjadi acuan bukan kelaki-lakian,

keperempuanan, atau keanakan. Mereka semua adalah sama manusia, dan karena

itu mereka memiliki hak yang sama untuk dilindungi oleh keadilan

masyarakatnya.197

2.8.4. Inti Kritik Susan Moller Okin

Teori keadilan jender Susan Moller Okin merupakan sebuah kritikan

terhadap teori-teori keadilan yang telah ada sebelumnya. Menurut Okin, teori-teori

keadilan, baik teori klasik maupun kontemporer, telah mengabaikan perempuan

dan jender. Keluarga sebagai pengikat jenis kelamin yang mereproduksi dari satu

generasi ke generasi berikutnya masih kurang mendapat perhatian dari teori-teori

yang ada. Keluarga masih dianggap sebagai ranah “nonpolitik”, adapun

“individu” yang menjadi subjek dari dasar teori mereka adalah laki-laki sebagai

kepala rumahtangga.198

Okin tidak sependapat dengan gagasan Rosseau dan

Hume, yang menyatakan bahwa keadilan bukan merupakan kebajikan yang tepat

untuk diterapkan pada institusi keluarga. Dalam hal ini, Rosseau berpendapat

bahwa, tidak seperti pemerintahan pada masyarakat yang lebih luas yang

didasarkan atas kepentingan politik, institusi keluarga itu lebih didirikan karena

cinta. Oleh karena itu, maka pemerintahan dalam keluarga tidak harus

bertanggungjawab kepada anggotanya atau pun diatur oleh prinsip-prinsip

keadilan. Adapun hak berpartisipasi dalam ranah politik, kepentingan keluarga

197

Maesak, Konsep Keadilan dalam Pancasila, 80-81 198

Okin, Justice, Gender, and The Family, 8-9.

91

hanya diwakili oleh suami selaku kepala keluarga.199

Sementara itu, menurut

Hume, keadilan bukan merupakan standar yang sesuai untuk diterapkan pada

institusi keluarga. Keluarga merupakan bentuk “perluasan kasih sayang” dan

kesatuan kepentingan, sehingga standar keadilan menjadi tidak relevan untuk

diterapkan didalamnya.200

Visi Hume tentang kehidupan keluarga tersebut

digunakan Sandel dalam kritiknya terhadap klaim Rawls bahwa keadilan

merupakan kebajikan pertama dan utama lembaga-lembaga sosial. Kritik Sandel

lainnya bahwa meski keluarga telah dianggap sebagai bagian dari “struktur dasar

masyarakat” (dalam Theory of Justice), tetapi Rawls tidak mempertimbangkan

bahwa dalam teorinya, keluarga berada di luar jangkauan keadilan.201

Bagi Okin,

keadilan dibutuhkan karena keutamaannya sebagai hal yang penting, bukan

karena dianggap sebagai kebajikan moral yang tertinggi. Atau dengan kata lain,

bahwa, keadilan diperlukan sebagai hal primer, yang paling mendasar, adapun

kebajikan moral ditempatkan sebagai tujuan umum dalam kelompok sosial

dimana kasih sayang sering berlaku. Keadilan tidak dapat disejajarkan dengan

sentimen-sentimen lain seperti: belas kasihan, kemurahan hati, kepahlawanan dan

pengorbanan diri, yang dianggap Rawls sebagai kebajikan utama yang biasa

terjadi dalam kehidupan keluarga.202

2.8.5. Kelebihan dan Kekurangan Teori Keadilan Jender Okin

Sebagaimana teori keadilan lain pada umumnya, Teori Keadilan Jender

Susan Moller Okin juga tentu tidak lepas dari adanya kelebihan dan kekurangan.

199

Okin, Justice, Gender, and The Family, 26-27. 200

Okin, Justice, Gender, and The Family, 27. 201

Okin, Justice, Gender, and The Family, 27-28. 202

Okin, Justice, Gender, and The Family, 28-29.

92

Menurut peneliti, kelebihan teori Okin terletak pada kemampuannya sebagai

seorang feminis, ia mampu melihat kekurangan pada teori keadilan yang telah ada

sebelumnya dari sudut pandang perempuan. Bahwa, selama ini, subjek dari teori

keadilan hanya bertumpu pada laki-laki sebagai pengaruh umum budaya

patriarkat, sementara perempuan dan anak-anak terabaikan. Padahal menurut

Okin, keadilan itu seyogyanya diperuntukkan bagi semua manusia tanpa

terkecuali perempuan dan anak-anak. Adapun keluarga, sebagai unit terkecil di

dalam masyarakat, dimana seharusnya menjadi pusat pengembangan moral bagi

generasi penerus terkait keadilan, meski selama ini telah dijadikan sebagai subjek

teori namun hal tersebut tidaklah proporsional karena didalamnya bukan makna

keluarga yang sesungguhnya, melainkan lebih memihak kepada laki-laki sebagai

kepala keluarga. Keluarga dalam arti sesungguhnya dimana selain suami, isteri

dan anak merupakan bagian didalamnya, ternyata masih belum mendapat

sentuhan perhatian yang memadai.

Adapun kekurangan dari teori Okin adalah bahwa Okin seolah hanya

memandang penting fungsi keluarga dalam penanaman moral keadilan bagi anak,

sementara itu keberadaan institusi agama sebagai bagian yang tidak kalah penting

dalam pembentukan moral keadilan di dalam kehidupan masyarakat ia abaikan.

Menurut peneliti, moral sebuah masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah moral

tentang keadilan, sedikit banyak akan sangat bergantung pada kondisi

keberagamaan pada masyarakatnya.

93

2.8.6. Kesimpulan

Dari pembahasan tentang teori keadilan jender, dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Jender dan jenis kelamin adalah dua hal yang berbeda. Jender

membedakan manusia melalui pensifatan yang dikonstruksikan oleh

masyarakat dan budaya kepada laki-laki dan perempuan dalam hal: peran,

sikap, sifat, tanggungjawab. Adapun jenis kelamin (seks) membedakan

manusia secara biologis kepada dua jenis kelamin laki-laki dan

perempuan.

2. Dalam studi jender, dikenal berbagai aliran feminis, diantaranya: Feminis

Liberal, Feminis Radikal, Feminis Marxis, Feminis Sosialis, Feminis

Muslim, dan Feminis Kristen.

3. Dalam pandangan kaum feminis, ketidakadilan jender terlahir sebagai

akibat dari kesalahpahaman di dalam menafsirkan konsep gender yang

disamakan dengan konsep seks, sementara itu, bagi kalangan umat Islam,

yang menjadi penyebab dari diskriminasi dan segala macam bentuk

ketidakadilan jender adalah pemahaman yang keliru dan bias laki-laki

terhadap sumber utama ajaran Islam yakni Kitab Suci Alquran. Salah satu

cara untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui dekonstruksi pemikiran

teologis tentang perempuan.

4. Pembahasan tentang keadilan di dalam studi jender dikemas dengan istilah

“kesetaraan/keadilan jender”. Keadilan jender adalah sebuah perlakuan

adil yang diberikan, baik kepada perempuan maupun laki-laki. Adapun

94

ketidakadilan jender adalah proses marginalisasi dan pemiskinan,

khususnya bagi kaum perempuan.

5. Dalam pandangan studi jender, perbedaan jender adalah penyebab utama

bagi terjadinya ketidakadilan jender di dalam masyarakat.

6. Ketidakadilan jender di dalam masyarakat, termanifestasi ke dalam

beberapa bentuk, yakni: marginalisasi, subordinasi, pelabelan negatif

(stereotipe), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda.

7. Ketidakadilan jender dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya:

kebijakan pemerintah/hukum negara, keyakinan tradisi, tafsir agama,

kebiasaan dan asumsi ilmu pengetahuan.

8. Ketidakadilan jender dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam

kehidupan bermasyarakat, yakni: pada tingkat negara; pada tempat kerja,

organisasi dan tempat pendidikan; dalam adat istiadat, kultur dan

penafsiran keagamaan; dalam lingkungan Rumah tangga; dan ideologi.

9. Ketidakadilan jender memiliki kaitan erat dengan ideologi patriarki.

Patriarki merupakan sistem otoritas laki-laki dimana didalamnya

perempuan mengalami penindasan melalui berbagai institusi, baik sosial,

politik, maupun ekonomi. Pada sistem patriarki, penindasan perempuan,

eksploitasi dan tekanan sosial merupakan bagian integral dari sistem

politik, ekonomi, dan budaya.

10. Susan Moller Okin adalah seorang filsuf Politik Barat dan feminis Liberal

yang memiliki perhatian sangat besar terhadap masalah jender dan

keluarga. Salah satu karya terbesar Okin adalah sebuah teori keadilan

95

humanis berbasis jender atau lebih di kenal dengan teori keadilan jender

yang tertuang di dalam bukunya Justice, Gender and the Family. Ada

beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dari karya Okin tersebut,

diantaranya adalah:

a) Bahwa, teori-teori keadilan masa lalu sangat bergantung pada asumsi-

asumsi patriarki, baik itu tersembunyi dibalik penggunaan bahasa palsu

netral jender maupun tidak. Selain itu, teori juga bertumpu pada

pemahaman bersama.

b) Teori-teori keadilan terdahulu dirasa Okin belum memihak pada kaum

perempuan dan anak-anak. Kuatnya pengaruh budaya patriarkat yang

menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dibawah laki-laki, telah

begitu mempengaruhi teori-teori besar pendahulunya sehingga perempuan

dan anak-anak telah terabaikan dari subjek teori keadilan. Terkait hal ini,

bahasa yang digunakan Okin adalah “keluarga berada di luar jangkauan

keadilan”.

c) Okin menawarkan sebuah teori keadilan humanis yang menempatkan

perempuan dan anak-anak menjadi bagian dari keluarga sebagai subjek

teorinya. Konsep keadilan humanis adalah konsep keadilan yang

menghargai laki-laki, perempuan, anak-anak, sebagai manusia.

d) Keluarga adalah pusat perhatian utama teori Okin. Disini, Okin

menempatkan keluarga sebagai “sekolah moral pertama bagi

pengembangan nilai-nilai keadilan”. Menurut Okin, Keluarga harus adil

karena perannya sebagai sekolah keadilan pertama yang terbaik bagi anak-

96

anak. Keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap

pengembangan moral anak. Sebagai generasi penerus bangsa, anak-anak

pertama kali akan belajar tentang nilai-nilai keadilan dari keluarga yang

dimilikinya. Dengan tertanamnya nilai-nilai keadilan pada anak-anak sejak

dini, diharapkan nantinya mereka dapat tumbuh menjadi warga

masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, yang pada gilirannya akan

mengarah pada terwujudnya sebuah negara demokratis yang berkeadilan

sosial. Terkait peran keluarga sebagai sekolah keadilan, maka hal yang

pertama kali harus dilakukan adalah peningkatan keadilan dengan

menghapus peran jender di dalam keluarga. Selanjutnya, struktur dan

praktik dari keluarga juga harus dapat memberikan perempuan kesempatan

yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas mereka,

untuk berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan pengaruh pilihan sosial,

dan menjadi aman secara ekonomi.

e) Untuk terciptanya keadilan dalam masyarakat, Okin mengusulkan

diadakannya sebuah reformasi sosial, antara lain melalui perubahan di

bidang kebijakan publik dan reformasi hukum.

f) Keluarga merupakan institusi/lembaga yang tidak adil. Hal ini disebabkan

karena adanya pembagian kerja secara seksual, sebagai akibat dari

“dikotomik publik/domestik” yang telah menjadi bagian fundamental dari

kontrak pernikahan. Pernikahan dan keluarga telah menjadi poros dari

sistem sosial jender yang membuat perempuan rentan terhadap eksploitasi

dan kekerasan.

97

g) Keluarga itu harus adil. Keadilan harus diperkuat oleh negara dan sistem

hukumnya. Ketika perempuan dan anak-anak mengalami ketidakadilan di

dalam keluarga, maka hal yang harus dilakukan adalah hukum keluarga

yang bersifat patriarkat yang ada selama ini, harus dirombak untuk

menjadi lebih berkeadilan jender, sehingga dengan demikian, cita-cita

negara demokrasi yang berkeadilan sosial akan dapat terwujud nyata.

h) Secara keseluruhan, pesan inti yang dapat ditarik dari teori Okin adalah,

bahwa untuk terwujud keadilan yang sesungguhnya di dalam keluarga,

maka sumber ketidakadilan bagi laki-laki dan perempuan yang diakibatkan

oleh perbedaan jender, perkawinan jender terstruktur, bahasa palsu

netralitas jender, kerentanan karena perceraian, dan dikotomik

publik/domestik harus dihapuskan.