12
BAB II TELAAH PUSTAKA A. Standar Operasional Prosedur Insani (2010) menuliskan bahwa SOP merupakan instruksi tertulis yang telah dibakukan tentang berbagai macam proses penyelenggaraan administrasi. Jones (2004) menambahkan SOP mengontrol cara anggota organisasi dalam melakukan perannya dalam organisasi secara terus menerus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasi di mana hal ini dimaksudkan untuk mencapai keseragaman dari kinerja individu atau kelompok dalam organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Weske (2007) bahwa SOP merupakan Business Process Management yang berupaya untuk menggabungkan berbagai macam kegiatan yang beraneka ragam yang ada di perusahaan dan berusaha untuk meningkatkan pemahaman atas penyatuan tersebut. Dengan demikian SOP merupakan dokumen tertulis yang berisikan pedoman atau instruksi kepada anggota organisasi baik itu individu ataupun kelompok tentang apa yang harus dilakukan guna menyelesaikan pekerjaan serta mencapai keseragaman dari keragaman kegiatan yang ada dalam suatu organisasi. 1. Fungsi Standar Operasional Prosedur Keberadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) menurut Stader (2007) guna mengartikan peran, tanggung jawab, dan kewenangan setiap anggota dalam organisasi sebagai pelaku. Sisi positif memiliki SOP pada dasarnya untuk memperjelas proses mencapai tujuan dan menjaga ketetapan suatu pekerjaan dari masing- masing level di dalam organisasi (EPA, 2007). Wulandari & Silistianingsih (2013) menambahkan bahwa standar kinerja

BAB II TELAAH PUSTAKA A. Standar Operasional Prosedurrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10557/2/T2_912014013_BAB II... · Contohnya adalah instruksi atau cara untuk mengambil

  • Upload
    vanthuy

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Standar Operasional Prosedur

Insani (2010) menuliskan bahwa SOP merupakan instruksi tertulis

yang telah dibakukan tentang berbagai macam proses penyelenggaraan

administrasi. Jones (2004) menambahkan SOP mengontrol cara anggota

organisasi dalam melakukan perannya dalam organisasi secara terus

menerus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasi di mana

hal ini dimaksudkan untuk mencapai keseragaman dari kinerja individu

atau kelompok dalam organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang

disampaikan oleh Weske (2007) bahwa SOP merupakan Business Process

Management yang berupaya untuk menggabungkan berbagai macam

kegiatan yang beraneka ragam yang ada di perusahaan dan berusaha untuk

meningkatkan pemahaman atas penyatuan tersebut. Dengan demikian SOP

merupakan dokumen tertulis yang berisikan pedoman atau instruksi kepada

anggota organisasi baik itu individu ataupun kelompok tentang apa yang

harus dilakukan guna menyelesaikan pekerjaan serta mencapai

keseragaman dari keragaman kegiatan yang ada dalam suatu organisasi.

1. Fungsi Standar Operasional Prosedur

Keberadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) menurut

Stader (2007) guna mengartikan peran, tanggung jawab, dan

kewenangan setiap anggota dalam organisasi sebagai pelaku. Sisi

positif memiliki SOP pada dasarnya untuk memperjelas proses

mencapai tujuan dan menjaga ketetapan suatu pekerjaan dari masing-

masing level di dalam organisasi (EPA, 2007). Wulandari &

Silistianingsih (2013) menambahkan bahwa standar kinerja

dibutuhkan untuk menilai kinerja suatu organisasi secara internal

maupun eksternal. Hal ini berarti fungsi dari keberadaan dari SOP

membantu para pelaku kerja dalam organisasi untuk memahami

peran, tanggung jawab serta kewenangan mereka, dan juga untuk

menilai kinerja suatu organisasi.

Dengan adanya SOP menurut Weske (2007) mampu membuat

perusahaan mencapai tujuan bisnisnya secara efisien, menciptakan

kolaborasi yang formal di dalam perusahaan, mampu mempengaruhi

perilaku bisnis kepada segenap SDM agar sesuai dengan etika

perusahaan, dan juga mampu menggambarkan tingkat kewenangan

para SDM sehingga terhindar dari perilaku yang di luar batas. Di

samping manfaat positif tersebut, SOP juga berpeluang menimbulkan

potensi konflik karena menurut Waske keberadaan SOP dapat

membatasi ruang gerak untuk berkreativitas sehingga memerlukan

persetujuan dari pihak yang berwenang di perusahaan jika ingin

berkreasi di luar standar perusahaan, menciptakan konflik bagi

karyawan yang tidak menyukai peraturan dan juga perubahan akibat

penerapan SOP dan merasa penerapan SOP mengganggu

kenyamanan dalam bekerja. Selain itu penerapan SOP juga

membutuhkan waktu ketika baru diterapkan sehingga membutuhkan

pendidikan atau pelatihan serta pengawasan yang efektif dari

manajer, bahkan SOP ini membutuhkan karyawan yang mampu

memahami dan menjalankan SOP. Dengan demikian manajemen

diharuskan untuk membekali perusahaan maupun organisasi dengan

konsep-konsep perusahaan lainnya agar mampu menurunkan

risiko ketidakseimbangan yang disebabkan oleh penerapan SOP yang

tidak tepat, terlebih bagi pelaku atau pelaksana SOP itu sendiri.

2. Jenis-Jenis Standar Operasional Prosedur

Menurut EPA (United States Environmental Protection

Agency) (2007) ada dua macam SOP, yaitu Technical

SOP dane Administratif SOP. Technical SOP merupakan petunjuk

kerja yang menginstruksikan penggunanya tentang bagaimana cara

menganalisis di laboratorium atau penggunaan alat-alat tertentu di

lapangan atau tempat kerja. Contohnya adalah instruksi atau cara

untuk mengambil sampel. Namun SOP jenis ini umumnya ter-

instruksi dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis

Tipe ke dua SOP adalah Administrative SOP. SOP ini merupakan

alat manajemen kantor untuk mengakomodasi informasi,

dokumentasi dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. SOP ini dapat

dibentuk dari yang paling sederhana hingga yang kompleks untuk

mengakomodasi seluruh kegiatan manajerial dan supervisi di dalam

perusahaan.

B. Peran Standar Operasional Prosedur Dalam Organisasi Gereja

Keberadaan organisasi tidak terlepas dari kehidupan sosial kita

menurut Kreitner & Kinicki (2014). Di mana ketika ada kumpulan orang-

orang yang berinteraksi secara terus-menerus untuk mencapai sesuatu yang

lebih besar dari pada yang bisa dicapai oleh satu orang. Organisasi sendiri

menurut Robbins (2006) merupakan suatu kesatuan sosial yang

dikoordinasikan dengan batasan-batasan, di mana secara relatif dapat

diidentifikasi dan bekerja secara terus menerus untuk mencapai tujuan

bersama. Ariani (2011) menjelaskan organisasi sebagai suatu sistem yang

saling berpengaruh antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam

suatu kelompok yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Dengan

demikian dapat dikatakan sebuah organisasi jika terdiri dari sekumpulan

individu yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai sebuah

tujuan bersama bukan tujuan individu.

Jika dilihat dari pengertian organisasi maka gereja dapat dikategorikan

sebagai organisasi, seperti yang disampaikan oleh Yewango (2007) bahwa

gereja dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yakni teologi dan

sosiologi. Dari sudut pandang teologi gereja diartikan sebagai kelompok

orang yang percaya kepada Kristus. Dari sini kita mendapatkan

pemahaman bahwa kata “gereja” mengacu kepada individu maupun

kelompok yang bersekutu bersama-sama. Bahkan dimana ada dua atau tiga

orang berkumpul dalam nama Yesus, di situ Dia ada (Mat 18:20). Dari

sudut pandang kedua yakni sosiologi gereja dapat dilihat sebagai sama

dengan lembaga-lembaga yang lain, di mana gereja berada di dunia,

memiliki anggota-anggotanya, menerapkan aturan-aturan kelembagaan,

mempunyai sistem kerja, sebagai subjek hukum, dan sebagainya. Dengan

kata lain gereja dilihat sebagai suatu organisasi yang memiliki tujuan

bersama dalam bentuk visi dan misi gereja.

Sebagai sebuah organisasi, untuk mencapai visi dari gereja menurut

Prodjowijono (2008) gereja memiliki dua tugas pokok yakni memberitakan

injil, dan juga memelihara kondisi seluruh warga jemaat agar dapat

melaksanakan pekabaran Injil sesuai dengan visi dan misi utama gereja.

Adapun usaha pemeliharaan itu sendiri terdiri dari pemeliharaan dalam

bidang iman/rohani, serta pembinaan/peningkatan/pembangunan dalam

bidang sosial dan ekonominya. Pelaksanaan kedua tugas pokok gereja

tersebut merupakan proses yang tidak mudah dan cukup kompleks,

sehingga gereja sebagai suatu lembaga organisasi membutuhkan suatu

sistem manajemen guna membantu mengendalikan jalannya pelaksanaan

tugas dan wewenang dalam gereja. Seperti yang dikatakan oleh Siswanto

(2006) bahwa fungsi manajemen dari sudut pandang proses adalah

perencanaan, pengelolaan, kepemimpinan dan pengendalian. Oleh karena

itu dalam rangka melaksanakan fungsi pengendalian dalam perannya

sebagai organisasi maka gereja memerlukan SOP. Di mana dengan

memiliki SOP membantu para pelaku pelayanan agar dapat menjalankan

tanggung jawabnya dengan baik, Amare (2012).

C. Pemahaman Dan Komitmen Dalam Menjalankan Standar

Operasional Prosedur

1. Pemahaman Standar Operasional Prosedur

Untuk dapat menjalankan SOP dibutuhkan pemahaman yang

baik, hal ini untuk menghindari resistensi yang bisa saja terjadi

akibat dari ketakpahaman karyawan tentang penerapan suatu standar

prosedural dalam pekerjaan menurut Weske (2007). Kata

“pemahaman” jika diartikan menurut Sudiyono (1996) merupakan

kemampuan seseorang untuk mengerti atau dapat memahami

sesuatu hal setelah hal tersebut diketahui dan diingat. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2003) “pemahaman” merupakan proses,

cara, untuk memahami atau memahamkan. Dengan demikian

pemahaman bukan saja terbatas pada sesuatu hal yang sudah

diketahui dan diingat tetapi lebih lanjut pada tingkatan mengerti

dengan baik akan hal tersebut.

Berbicara tentang konsep pemahaman dalam kaitannya

dengan gereja ada penelitian yang berbicara tentang konsep

pemahaman pemimpin GKJ Salatiga terhadap keberadaan saksi

yehuva yang keberadaannya menurut para pemimpin GKJ Salatiga

tidak pantas jika digolongkan sebagai gereja kristen karena berbeda

dengan ajaran gereja kristen yang “historis”, Simorangkir (2012).

Penelitian lain oleh Yulianto (2012) tentang pemahaman warga

GKJTU Ngaduman terhadap providensia yang lebih mengarah pada

konsep takdir. Oleh karena itu, dengan mengetahui pemahaman akan

suatu hal dalam gereja, dapat mengarahkan kita pada suatu tujuan

mengapa gereja dalam pengambilan sikap, penetapan peraturan dan

konsep, dan lain sebagainya.

Untuk dapat memahami SOP dengan baik menurut FEMA

(Federal Emergency Management Agency United States Fire

Administration) (1999) perlu diperhatikan proses implementasi atau

penerapannya dalam sebuah organisasi. Adapun langkah-langkah

pada proses implementasi SOP ini menurut Alamudi & Prabawati

(2014) adalah pertama, tahap perencanaan atau perubahan SOP. Di

mana rencana penerapan akan memberikan kesempatan kepada

setiap anggota organisasi untuk mempelajari dan memahami semua

arahan, instruksi atau tugas, dan jadwal serta kebutuhan akan sumber

daya yang terkait. Langkah kedua adalah proses pemberitahuan

informasi atau sosialisasi tentang keberadaan dan perubahan dalam

SOP dan memahami signifikansi dari perubahan tersebut. Ketiga,

salinan SOP didistribusikan kepada semua anggota sebagai pelaku

organisasi. Beberapa cara untuk mendistribusikan salinan tersebut

yakni: didistribusikan langsung ke masing-masing departemen,

disediakan di perpustakaan dan harus mudah diakses oleh seluruh

departemen, disebarkan melalui sistem komputer, website, ataupun

dikirim melalui jaringan internet lainnya. Hal lainnya yang harus

diperhatikan ketika mendistribusikan SOP adalah lembaga harus

memiliki catatan ekspedisi yang berisikan daftar penerima, tanggal

dan tempat. Keempat adalah pelatihan kepada para pelaksana SOP.

Menurut Stup (2002) pemberian pelatihan kepada yang akan

menjalankan SOP sering diabaikan. Para pelaksana program yang

menjalankan SOP harus dilatih secara rinci mengenai langkah-

langka yang tertera dalam SOP dengan maksud menghindari

perbedaan pandangan atau pengertian terhadap SOP yang

mengakibatkan munculnya variasi.

Langkah terakhir adanya mekanisme untuk memantau

kinerja, mengidentifikasi masalah yang akan terjadi dan memberikan

dukungan pada proses implementasi. Proses di atas merupakan

langkah awal sebuah organisasi dalam menerapkan SOP yang baru

dibuat dengan tujuan agar anggota dapat menjalankan program

kegiatan sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan. Hal ini juga

menekankan pada peran anggota di mana anggota harus memiliki

keterampilan dan pengetahuan untuk menjalankan SOP, dengan

demikian, penerapan SOP diharapkan dapat memperkecil kesalahan

yang akan terjadi sebelum SOP itu diterapkan. Stup menambahkan

pengawasan ini bertujuan untuk mengukur hasil dari proses

pelaksanaannya, juga untuk menjawab dua pertanyaan tentang

“apakah semua karyawan atau pelaksana program secara akurat dan

konsisten mengikuti semua instruksi SOP?” Dan pertanyaan berikut

adalah “apakah SOP yang dirancang sudah tepat untuk mencapai

hasil yang diinginkan?”. Jika dalam pengawasan ditemukan

karyawan/pelaksana program tidak mengikuti SOP secara rinci maka

perlu kembali pada tahap pelatihan, dimana para karyawan perlu

dilatih kembali. Jika dalam pengawasan ditemukan bahwa SOP ini

tidak dirancang dengan benar maka perlu kembali ke tahap

pengembangan dengan melihat kembali dan membuat perubahan

pada SOP. SOP harus berubah dari waktu ke waktu karena berbagai

alasan. Dengan mengawasi implementasi SOP sendiri akan

mempermudah kita untuk memahami dan mengetahui perubahan apa

yang harus kita lakukan dalam SOP yang sudah ada.

2. Komitmen Menjalankan Standar Operasional Prosedur

Dalam penerapan SOP dalam sebuah organisasi tidak hanya

membutuhkan pemahaman tetapi juga dibutuhkan sebuah komitmen

dari individu yang menjalankannya, karena individu yang

berkomitmen merupakan individu yang dapat bertahan di dalam

organisasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan yang

menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi terhadap

organisasi menurut Mayer & Allen (1997). Berbicara mengenai

komitmen dalam organisasi, dalam pengertiannya komitmen

organisasi menurut Porter et.al (2004) sebagai pengenalan dengan

organisasi dan menerima tujuan dan nilai-nilai organisasi. Seseorang

atau anggota yang memiliki komitmen tinggi akan merasa bahwa ia

sedang bekerja untuk dirinya sendiri dan bukan orang lain. Robbins

& Judge (2009) mengemukakan komitmen organisasi merupakan

keadaan di mana karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-

tujuannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi

tersebut, dan menurut Kreitner & Kinicki (2014) komitmen

organisasi mencerminkan seseorang mengenali sebuah organisasi

dan terikat pada tujuan-tujuannya. Dengan demikian komitmen

terhadap organisasi artinya tidak hanya terbatas dengan menjadi

anggota organisasi saja, karena komitmen organisasi meliputi sikap

menyukai, memihak organisasi dan kesediaan untuk

memprioritaskan kepentingan organisasi untuk mencapai tujuannya.

Tiga dimensi dalam komitmen organisasi dalam Mayer dan

Allen (1997) yakni: (1) Komitmen afektif (affective commitment)

yaitu adanya keterikatan emosional pada karyawan, identifikasi, dan

keterlibatan dalam organisasi. (2) Komitmen berkelanjutan

(continuance commitment) yakni komitmen berdasarkan kerugian

dikarenakan keluarnya karyawan dari organisasi. (3) Komitmen

normatif (normative commitment) yaitu perasaan wajib untuk tetap

tinggal ataupun berada dalam organisasi karena memang harus

demikian. Setiap karyawan memiliki dasar dan tingkah laku yang

berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya.

Selain tiga dimensi dalam komitmen organisasi, ada pula

beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seperti

yang disampaikan oleh Van & Graham (1994) yakni pertama,

Personal Factors dimana terdiri dari beberapa faktor pribadi atau

personal yang mempengaruhi latar belakang pekerja, seperti usia,

latar belakang anggota, latar belakang pekerja, sikap dan nilai serta

kebutuhan intrinsik pekerja. Kedua, Situational Factor yang di bagi

dalam beberapa bagian yakni Workplace values, Subordinate-

supervisor interpersonal relationship, Job characteristics,

Organizational support, dan Positional Factors.

Workplace values yang dimaksudkan terdiri dari kualitas,

inovasi, serta kerja sama dan partisipasi yang mempermudah untuk

dibagi dan membangun relasi yang lebih dekat di antara anggota.

Jika anggota percaya pada nilai kualitas produk organisasi, mereka

akan merasa terikat untuk berperan dalam meningkatkan kualitas

organisasi tersebut. Jika anggota yakin pada nilai partisipasi

organisasi, mereka akan lebih merasakan bahwa partisipasi mereka

akan membuat suatu perbedaan bagi organisasi. Konsekuensinya,

mereka akan lebih bersedia untuk membantu mencari solusi dan

membuat saran untuk kesuksesan suatu organisasi.

Berikutnya Subordinate-supervisor interpersonal relationship

di mana sikap dari supervisor merupakan suatu hal mendasar untuk

menentukan tingkat kepercayaan interpersonal dalam unit pekerjaan.

Perilaku dari supervisor yang termasuk di dalamnya seperti berbagi

informasi-informasi penting, membuat pengaruh yang baik,

menyadari dan menghargai unjuk kerja yang baik dan tidak melukai

orang lain.

Job characteristics merupakan karakteristik dari pekerjaan

guna meningkatkan perasaan anggota terhadap keterikatan tanggung

jawabnya terhadap organisasi. Sedangkan Organizational support

memiliki hubungan yang signifikan antara komitmen pekerja dan

kepercayaan anggota terhadap keterikatan dengan organisasinya.

Faktor yang terakhir adalah Positional Factors yang dibagi

menjadi dua yakni Organizational tenure dan Hierarchical job level.

Organizational tenure merupakan hubungan antara masa jabatan

dan hubungan pekerja dengan organisasi. Sedangkan pada

Hierarchical job level berkaitan dengan status sosial ekonomi

menjadi satu-satunya prediktor yang kuat dalam komitmen

organisasi. Hal ini terjadi karena status yang tinggi akan merujuk

pada peningkatan motivasi dan kemampuan untuk terlibat secara

aktif.

Penelitian yang dilakukan oleh Suseno & Sugiyanto (2010)

menunjukkan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

komitmen organisasi adalah karakteristik pribadi yaitu kondisi

potensi, kapasitas kemampuan, dan kemauan seorang karyawan

sesuai kebutuhan dunia kerja. Hal ini menggambarkan bahwa

komitmen seorang karyawan dalam sebuah organisasi berkaitan

dengan kemampuan sumber daya manusia yang ada dalam

organisasi tersebut untuk menjalankan tanggung jawabnya.

Penelitian lain yang berkaitan dengan komitmen karyawan untuk

menjalankan tugasnya dalam organisasi dilakukan oleh Suwardi &

Utomo (2011) menunjukkan bahwa pegawai dengan komitmen

tinggi biasanya lebih tahan bekerja, produktif dan berorientasi ke

arah pencapaian tujuan organisasi, sehingga kinerja menjadi lebih

optimal. Komitmen karyawan dalam kaitannya dengan kinerja

karyawan juga dapat dikaitkan dengan komitmen untuk menjalankan

SOP dalam sebuah organisasi. Agar SOP tersebut dapat dijalankan

dengan baik maka dibutuhkan komitmen yang tinggi dari anggota

organisasi tersebut.

Dilihat dari tiga dimensi komitmen organisasi Allen & Mayer

maka karyawan yang memiliki affective commitment tinggi

menandakan bahwa karyawan tersebut memiliki motivasi dan

keinginan kuat untuk berkontribusi secara berarti terhadap

organisasi. Continuance commitment menunjukkan kesetiaan

individu terhadap organisasinya karena adanya imbal balik yang

dapat diberikan oleh organisasi terhadap dirinya bila ia tetap

bertahan, juga karena kurang tersedianya alternatif pekerjaan lain.

Karyawan yang memiliki continuance commitment yang tinggi,

sangat tidak dapat diharapkan untuk memberikan kontribusi ataupun

masukkan yang berarti bagi organisasi. Sementara karyawan dengan

normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam

organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau keharusan.

Oleh karena itu berkaitan dengan komitmen untuk menjalankan SOP

di gereja dibutuhkan affective commitment dan normative

commitment. Di mana para pelaku pelayanan dengan tanpa dipaksa,

memiliki keinginan serta kesadaran bahwa menjalankan SOP

merupakan suatu kewajiban dan keharusan.

Beberapa penelitian mengenai komitmen pada organisasi

gereja seperti yang dilakukan oleh Kristanto (2011) tentang

dinamika komitmen organisasi terhadap uninvolvement anggota

organisasi pemuda gereja protestan menunjukkan bahwa pemuda

gereja memiliki komitmen yang buruk terhadap pelayanan yang

dilakukan. Penelitian lain mengenai komitmen dalam organisasi

gereja oleh Hasugian (2013) komitmen organisasi dan kepuasan

kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada kinerja

organisasi Gereja Isa Almasih Jemaat Dr. Cipto Semarang. Dengan

demikian, untuk meningkatkan pelayanan yang baik kepada jemaat,

maka anggota organisasi gereja harus memiliki komitmen yang baik

terhadap pelayanan yang dijalankan.