28
22 BAB II PURWOREJO PADA PERTENGAHAN ABAD XIX SAMPAI AWAL ABAD XX (TAHUN 1830-1920AN) Protes buruh yang terjadi pada awal abad XX dilatarbelakangi oleh keadaan di mana berkurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan memburuknya keadaan ekonomi masyarakat Purworejo yang pada saat itu sebagian besar bekerja sebagai buruh. Ketersediaan lapangan pekerjaan tentu saja di pengaruhi oleh pekerja dan daerah penyedia lapangan kerja. Oleh karena itu untuk melihat latar belakang terjadinya protes buruh, perlu untuk mengetahui bagaimana kondisi geografis, kondisi demografis hingga perubahan sistem ekonomi yang menciptakan perburuhan, yang akan dijelaskan sebagai berikut: A. Kondisi Geografis dan Demografis Kota Purworejo 1. Potret Kota Purworejo Purworejo merupakan wilayah di bawah kepemimpinan Kasunanan Surakarta, hingga kemudian dilepaskan paksa dan dimasukkan dalam wilayah administrasi pemerintah Belanda setelah terjadinya perang Jawa. Pelepasan paksa daerah Bagelen dan Banyumas dari Surakarta membuat Kasunanan Surakarta seperti kehilangan tangan dan kaki. Alasan dari pelepasan daerah itu sendiri dikarenakan Sunan dianggap melanggar kontrak dan akan merencanakan perlawanan terhadap Belanda

BAB II PURWOREJO PADA PERTENGAHAN ABAD XIX SAMPAI …Bagelen seperti yang dijabarkan oleh Sartono Kartodirdjo dalam buku Memori Serah Jabatan 1921-1930 (J awa Tengah) adalah sebagai

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 22

    BAB II

    PURWOREJO PADA PERTENGAHAN ABAD XIX SAMPAI

    AWAL ABAD XX (TAHUN 1830-1920AN)

    Protes buruh yang terjadi pada awal abad XX dilatarbelakangi oleh keadaan di

    mana berkurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan memburuknya keadaan

    ekonomi masyarakat Purworejo yang pada saat itu sebagian besar bekerja sebagai

    buruh. Ketersediaan lapangan pekerjaan tentu saja di pengaruhi oleh pekerja dan

    daerah penyedia lapangan kerja. Oleh karena itu untuk melihat latar belakang

    terjadinya protes buruh, perlu untuk mengetahui bagaimana kondisi geografis,

    kondisi demografis hingga perubahan sistem ekonomi yang menciptakan perburuhan,

    yang akan dijelaskan sebagai berikut:

    A. Kondisi Geografis dan Demografis Kota Purworejo

    1. Potret Kota Purworejo

    Purworejo merupakan wilayah di bawah kepemimpinan Kasunanan Surakarta,

    hingga kemudian dilepaskan paksa dan dimasukkan dalam wilayah administrasi

    pemerintah Belanda setelah terjadinya perang Jawa. Pelepasan paksa daerah Bagelen

    dan Banyumas dari Surakarta membuat Kasunanan Surakarta seperti kehilangan

    tangan dan kaki. Alasan dari pelepasan daerah itu sendiri dikarenakan Sunan

    dianggap melanggar kontrak dan akan merencanakan perlawanan terhadap Belanda

  • 23

    setelah terjadinya perang Jawa.17 Menurut catatan resmi yang dibuat oleh pemerintah

    Belanda perang Jawa menimbulkan setidaknya 8000 korban prajurit Belanda dan

    7000 orang Indonesia yang bekerja di pihak Belanda dengan total kerugian sebesar 20

    juta gulden, sedangkan rakyat Jawa yang terbunuh dalam perang Jawa sekitar

    200.000 orang.18

    Perang yang berlangsung tahun 1825-1830 itu membuahkan kekalahan di

    pihak Pangeran Diponegoro, kekalahan di pihak pangeran Diponegoro kemudian juga

    mempengaruhi kedudukan Karesidenan Bagelen. Daerah yang termasuk dalam

    wilayah Bagelen kemudian dipecah karena dianggap terlalu besar. Tanah Bagelen

    pada waktu itu meliputi Kebumen, Purworejo dan Wonosobo.19 Sejak saat itulah ada

    daerah yang bernama Purworejo dengan arti (daerah yang subur), nama yang

    diberikan atas usulan Bupati Resodiwiryo ( masa jabatan 1838-1856), atau menurut

    buku memori DPRD Tingkat II adalah (masa jabatan1831-1836).

    Setelah pemecahan wilayah Karesidenan Bagelen maka masing-masing daerah

    yang dahulu di bawah Karesidenan Bagelen, sekarang bernaung di bawah

    kepemimpinan Bupati daerah masing-masing, begitu pula dengan Purworejo

    (Brengkelan) yang dahulunya merupakan ibukota Karesidenan Bagelen.

    17 Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di TanahBagelen Abad XIX, (Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembagan Sosial Budaya,2000), hlm.66.

    18 Ibid., hlm.12.

    19 Ibid.

  • 24

    Pembangunan kota Purworejo disesuaikan dengan perkembangan yang

    direncanakan dalam bidang ekonomi, mengingat pada waktu itu kondisi kas

    pemerintah Belanda dan Hindia Belanda sedang mengalami kekosongan akibat

    Perang Jawa. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis keuangan maka ditetapkan

    Cultuurstelsel atau politik tanam paksa yang konsepnya berasal dari Letnan Jendral

    Van den Bosch yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda.20

    Demi melaksanakan rencana pemulihan kas pemerintahan yang terkuras habis

    karena perang, maka dilaksanakanlah Cultuurstelsel (tanam paksa). Perkebunan

    merupakan satu aspek yang berperan penting dalam memulihkan kas negara. Tujuan

    utamanya adalah untuk kepentingan negeri Belanda. Cara pemeliharaan kepentingan

    tersebut dengan mempertahankan surplus ekspor. Produksi hasil tanaman yang

    berorientasi ekspor secara besar-besaran menjadi pokok perhatian utama

    pemerintah.21

    2. Kondisi Geografis Kota Purworejo

    Bagelen merupakan wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang sekarang

    lebih dikenal sebagai Purworejo. Nama Purworejo sendiri merupakan nama pengganti

    dari Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen. Karesidenan Bagelen terletak diantara

    109o 21’-110o 11’ Bujur Timur dan di 7o - 7o 57’ Lintang Selatan. Karesiden Bagelen

    utara berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan

    20 Ibid., hlm.90.

    21 Ibid., hlm.101-103.

  • 25

    Karesidenan Banyumas dam Tegal, sebelah timur berbatasan dengan Karesidenan

    Kedu dan Yogyakarta. Luas wilayahnya 3831 km2 dan jumlah penduduk 238.764

    jiwa, Bagelen pada tahun 1830 termasuk dalam wilayah yang tingkat penduduknya

    sedang.

    Bagelen memiliki dataran tinggi yang terdiri dari pegunungan Kendeng yang

    memanjang dari timur ke barat pada perbatasan utara Karesidenan Bagelen. Dataran

    rendahnya terdiri atas rawa-rawa dan deretan desa di sepanjang pantai. Deretan desa

    dimulai dari Kadilangu di tepi sungai Bogowonto memanjang ke barat sampai sungai

    Cincingguling di Perbukitan Karangbolong yang dikenal dengan nama Urut Sewu.22

    Letak Bagelen yang merupakan pintu gerbang sebelum memasuki Kasultanan

    Yogyakarta dari arah barat menjadikan wilayah ini sangat strategis. Letak daerah

    Purworejo sangat menguntungkan terutama di bidang ekonomi, yaitu sebagai lalu

    lintas perdagangan. Daerah pegunungan di sebelah utara dan dataran rendah di

    sebelah selatan menjadikan wilayah Purworejo sebagai daerah agraris. Produksi di

    bidang pertanian masih menjadi komoditas utama. Kondisi agraris ini didukung

    dengan adanya 4 sungai besar di daerah Bagelen yaitu sungai Jali, Bendono, Lebang

    dan yang paling terkenal adalah sungai Bogowonto.23

    22 P.M. Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan danPedesaan: Alih –Ubah Model Berpikir Jawa, (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 1985), hlm.64.

    23 http: //eprints.uny.ac.id/8646/3/bab%202%20-20%2008406241020.pdf//(diakses tanggal 21 Juni 2016).

  • 26

    Terdorong oleh kepentingan ekonomi dan perdagangan diperlukan berbagai

    sarana, maka di daerah Karesidenan Bagelen pun dibangun pasar-pasar, toko, gudang,

    tempat penjualan garam, jalan-jalan umum dan saluran irigasi. Pembangunan sarana

    angkutan kereta api dilakukan pada tahun 1885 ketika jalur kereta api Yogyakarta

    Purwokerto dikerjakan. Pembangunan itu dilanjutkan tahun 1890 antara Kutoarjo dan

    Purworejo.24

    Gambar.1. Stasiun Purworejo Tahun 1910

    Sumber: Tropenmuseum

    Pembangunan sarana transportasi menjadi hal yang sangat penting untuk

    memudahkan pengangkutan dan pengiriman hasil tanaman komoditas ekspor, yang

    kemudian akan diekspor melalui jalur laut. Hasil tanaman ekspor sebagian besar

    masih berupa bahan mentah, oleh karena itu untuk menjaga kualitas dan harganya,

    24 Radix Penadi., loc.cit.

    26

    Terdorong oleh kepentingan ekonomi dan perdagangan diperlukan berbagai

    sarana, maka di daerah Karesidenan Bagelen pun dibangun pasar-pasar, toko, gudang,

    tempat penjualan garam, jalan-jalan umum dan saluran irigasi. Pembangunan sarana

    angkutan kereta api dilakukan pada tahun 1885 ketika jalur kereta api Yogyakarta

    Purwokerto dikerjakan. Pembangunan itu dilanjutkan tahun 1890 antara Kutoarjo dan

    Purworejo.24

    Gambar.1. Stasiun Purworejo Tahun 1910

    Sumber: Tropenmuseum

    Pembangunan sarana transportasi menjadi hal yang sangat penting untuk

    memudahkan pengangkutan dan pengiriman hasil tanaman komoditas ekspor, yang

    kemudian akan diekspor melalui jalur laut. Hasil tanaman ekspor sebagian besar

    masih berupa bahan mentah, oleh karena itu untuk menjaga kualitas dan harganya,

    24 Radix Penadi., loc.cit.

    26

    Terdorong oleh kepentingan ekonomi dan perdagangan diperlukan berbagai

    sarana, maka di daerah Karesidenan Bagelen pun dibangun pasar-pasar, toko, gudang,

    tempat penjualan garam, jalan-jalan umum dan saluran irigasi. Pembangunan sarana

    angkutan kereta api dilakukan pada tahun 1885 ketika jalur kereta api Yogyakarta

    Purwokerto dikerjakan. Pembangunan itu dilanjutkan tahun 1890 antara Kutoarjo dan

    Purworejo.24

    Gambar.1. Stasiun Purworejo Tahun 1910

    Sumber: Tropenmuseum

    Pembangunan sarana transportasi menjadi hal yang sangat penting untuk

    memudahkan pengangkutan dan pengiriman hasil tanaman komoditas ekspor, yang

    kemudian akan diekspor melalui jalur laut. Hasil tanaman ekspor sebagian besar

    masih berupa bahan mentah, oleh karena itu untuk menjaga kualitas dan harganya,

    24 Radix Penadi., loc.cit.

  • 27

    pengiriman harus dilakukan dengan cepat supaya dapat segera diolah. Maka

    tersedianya sarana transportasi seperti kereta api sangatlah penting.

    Gambar.2. Stasiun Jenar

    Sumber: Tropenmuseum

    Stasiun Jenar merupakan stasiun penghubung antara Purworejo dan

    Yogyakarta. Wilayah Jenar yang berada di antara Purworejo dan Yogyakarta

    membuat wilayah ini menjadi wilayah yang cukup strategis, bukan hanya di bidang

    ekonomi namun juga di bidang transportasi.

    3. Kondisi Demografis Kota Purworejo Awal Abad XX

    a. Kondisi Kependudukan

    Kondisi kependudukan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat

    Purworejo pada saat itu. Kepadatan penduduk akan sangat mempengaruhi pendapatan

    masyarakatnya. Meskipun di Purworejo termasuk dalam daerah yang kepadatan

  • 28

    penduduknya sedang akibat dari pelaksanaan kebijakan emigrasi dan transmigrasi.

    Namun persaingan berat dalam mendapatkan pekerjaan ditambah dengan datangnya

    pekerja dari luar daerah menyebabkan munculnya permasalahan tentang

    pengangguran.25 Setelah dikeluarkannya UU 1870, kehidupan masyarakat menjadi

    bertambah sulit, petani kehilangan lahan sebagai sektor pendapatan dan penghidupan

    masyarakat Purworejo yang utama akibat disewakan kepada pemodal Eropa.

    Kemudian sebagian besar masyarakat Purworejo menggantungkan hidupnya dari

    upah menjadi buruh, baik itu sebagai buruh upahan maupun buruh harian.

    Sebuah wilayah dengan penduduk yang padat akan meyebabkan terjadinya

    persaingan ketat untuk mendapatkan pekerjaan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan

    menyebabkan tingginya angka pengangguran. Kondisi ini menyebabkan

    bertambahnya keresahan di kalangan masyarakat maupun buruh di Purworejo.

    Jumlah Penduduk daerah Purworejo tahun 1920 akan ditunjukkan melalui tabel.1

    sebagai berikut:

    25 Sartono Kartodirdjo, Memori Serah Jabatan tahun 1921-1930 (JawaTengah), (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977), hlm.CXVI.

  • 29

    Tabel. 1

    Jumlah Penduduk Purworejo Tahun 1920

    ADMINISTRA-TIVE

    INDEELING

    Europa-Nen Inlanders Arabieren

    ChineeZen

    AndereVreemde

    Ooterlingen

    DE DRIEBEVOLKINGSGROEPENTEZAM

    ENPurworedjo 707 27.654 14 1.401 1 29.777Bajan - 27.859 - 5 - 27.864Banjoeoerip - 22.470 - - - 22.470Kledoeng 9 25.579 - 3 - 25.591Loano 2 19.564 - 11 - 19.577Bener - 30.383 - - - 30.383Banjoeasin - 19.958 - - - 19.958Gebang - 21.722 - - - 21.722Tjangkrep - 17.242 - - - 17.242Koewadja - 16.887 - 3 - 16.890Kaligesing - 18.283 - - - 18.283Soko - 19.271 - - - 19.271Koetoardjo 94 26.994 29 1.806 3 28.206Doekoehdoengoes

    - 17.480 - 4 - 17.484

    Grabag - 22.767 - 1 - 22.768Ketawang - 21.576 - - - 21.576

    Sumber: Uitkomsten Der In de Maand November 1920 Gehounden Volksteeling deelI, Koleksi Perpustakaan Pusat Kependudukan UGM.

    Tabel.1. menunjukkan penduduk di afdeeling Purworejo memiliki jumlah

    penduduk yang cukup padat. Jumlah pendatang yang tinggal di Purworejo cukup

    banyak, misalnya pendatang dari bangsa Eropa dan Cina, ada pula orang-orang

    Jepang meskipun jumlahnya tidak sebanyak orang-orang dari bangsa Eropa maupun

    Cina, serta ada pula bangsa lainnya. Orang Cina menjadi penyumbang sebagian besar

    pendatang yang tinggal di Purworejo.

  • 30

    Penduduk Purworejo sebagian besar menggantungkan hidupnya terhadap

    tanah sawah. Dataran rendah Bagelen tanahnya subur, salah satunya adalah daerah

    Purworejo. Purworejo memiliki persediaan air yang melimpah dan penduduk yang

    padat, oleh karena itu tanah pertanian di Purworejo kemudian diusahakan secara

    intensif. Pengairan untuk persawahan di daerah ini memang tidak teratur, pembagian

    air dari sungai induk ke saluran-saluran selanjutnya diatur oleh petugas dari Dinas

    Pengairan, dan pembagian hanya berdasarkan kebijakan yang dirundingkan dengan

    pangrehpraja setempat. Pertentangan akan terjadi antara petani dengan perusahaan

    perkebunan (pabrik gula) pada musim kemarau yang sangat panjang.26 Penghasilan

    penduduk pribumi Bagelen sebagian besar diperoleh dari usaha pertanian di sawah,

    di kebun kelapa dan pabrik gula dan sebagainya. Karesidenan Bagelen tanahnya

    produktif dan dapat diusahan secara intensif dan dapat membuka lapangan kerja

    sebagai buruh harian.

    Purworejo, Kutoarjo dan Kebumen terkenal akan kebun kelapanya. Pada

    tahun 1917 afdeeling Purworejo jumlah pohon kelapa tiap kilometernya tergolong

    yang paling banyak di Jawa. Kemudian menyusul daerah Kebumen. Pendapatan

    lainnya berasal dari sewa tanah, upah dari pekerjaannya di pabrik-pabrik gula di

    Bagelen ± f 3.961.000,- setiap tahun. Pabrik gula Purworejo pada musim tanam dan

    panen tebu biasanya kekurangan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pekerja di daerah

    Bagelen seringkali merantau ke Karesidenan di sekitar Bagelen dan menjadi buruh

    26 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXIII.

  • 31

    harian. Kemudian untuk menutup kekurangan didatangkanlah pekerja dari daerah

    Wates.27 Pekerjaan para buruh dan petani yang menggarap sawah sehari-hari tidak

    dapat mencukupi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan merupakan fakor pendorong

    yang paling dominan bagi petani atau buruh untuk mencari pekerjaan lain hingga

    kemudian bersedia menjadi buruh upahan.

    b. Pemerintahan Desa

    Desa-desa mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

    Pemeliharaan dan pembangunan jembatan, saluran dan sarana pengairan, gardu dan

    sebagainya dibiayai terutama oleh kas desa. Hanya pada keadaan luar biasa penduduk

    dimintai sumbangan berupa tenaga, uang ataupun bahan bangunan. Kas desa berasal

    dari pungutan masyarakat, sumbangan pemerintah atau berasal dari hasil sewa tanah-

    tanah milik desa yang tidak digunakan.

    Hasil dari sewa tanah juga menjadi sumber untuk menambah kas desa.

    Beberapa desa di tanah Bagelen mempunyai tanah yang tidak dipergunakan untuk

    tanah jabatan. Tanah ini dinamakan tanah gantungan. Tanah gantungan ini disewakan

    tahunan dan hasil sewanya dimasukkan ke kas desa. Nama jabatan dalam

    pemerintahan desa di Bagelen adalah sebagai berikut: lurah atau bekel, carik,

    bekelburi, kamituwo, kebayan, kepetengan atau tamping, kaum dan ili-ili.

    27 Ibid., hlm.CXVIII.

  • 32

    Gaji untuk pejabat daerah berupa tanah untuk digarap, hasil dari penanaman

    itu yang kemudian menjadi gaji atau biasa disebut dengan tanah bengkok.28 Ili-ili

    merupakan lembaga baru bentukan pemerintah desa. Daerah Purworejo dan Kebumen

    jabatan ili-ili sedang dalam tahap perkembangan sedangkan di Kutoarjo baru dimulai

    ± 4 tahun. Semula urusan pengairan desa tidak ada yang menangani secara khusus.

    Urusan pengairan desa diserahkan kepada anggota pemerintahan yang ada atau

    kepada pekerja wajib.29 Kas desa menjadi bagian penting dalam operasional desa.

    Berikut merupakan kas desa di Karesidenan Bagelen awal abad XX yang akan

    dijelaskan dalam tabel. 2.

    28 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXIX.

    29 Ibid., hlm.CXX.

  • 33

    Tabel. 2

    Kas desa di Karesidenan Bagelen per distrik

    Distrik Jumlah Kas

    Purworedjo f 33.300

    Tjangkrep f 4.400

    Loano f 6.600

    f 44.300

    Koetoardjo f 17.200

    Kemiri f 10.200

    Pitoeroeh f 17.500

    Poerwodadi f 41.900

    f 86.800

    Keboemen f 19.500

    Alian f 5.000

    Koetowinangoen f 8.000

    Premboen f 27.300

    f 59.800

    Sumber: M.v.O Residen Bagelen tahun 1921-1930, Koleksi Perpustakaan NasionalRepublik Indonesia.

    Selain kas desa, pungutan juga berlaku di dearah-daerah Karesidenan

    Bagelen. Beban dan pungutan desa yang biasanya berlaku di desa-desa Karesidenan

    Bagelen seperti yang dijabarkan oleh Sartono Kartodirdjo dalam buku Memori Serah

    Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah) adalah sebagai berikut:30

    1. Pancen: kerja wajib pada kepala desa. Kerja wajib ini dijalankan tiap 6

    atau 100 hari sekali. Lamanya bekerja satu hari atau sebagai gantinya

    membayar antara f 1,- sampai f 2,- setahun atau 2 gedeng.

    30 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXX-CXXII.

  • 34

    2. Gondal: kerja wajib pada lurah dan carik pada waktu pejabat

    pemerintahan desa itu berkeliling (tourne) atau menghadap pembesar.

    3. Gamel: kerja wajib pada lurah itu mempunyai kuda. Tiap hari tersisa

    pekerja wajib yang mengurusi kuda.

    4. Pologoro atau Totodeso: pungutan pada waktu ada perkawinan salah

    seorang penduduk desa. Pungutan ini diberikan kepada lurah, berupa uang

    sebesar f 1,-, seekor ayam jantan (bopongan) atau diganti uang sebanyak

    50 sen dan 2 beruk (takaran beras). Selain kepada lurah, pungutan itu juga

    diberikan kepada carik berupa uang sebanyak 50 sen, bekelburi,

    kamituwo, kebayan dan kepeteng, berupa uang masing-masing 0,165.

    5. Pekiyek: ayam atau uang f 0,25 yang harus diberikan pengantin laki-laki

    kepada kepala dukuh.

    6. Berkat Suci: seperangkat nasi beserta lauk pauknya (ambeng) yang harus

    diberikan kepada lurah dan pejabat-pejabat pemerintahan desa lainnya

    pada hari raya Maulud, Ruwah, Selikuran dan Rejepan.

    7. Punjungan: seperangkat nasi beserta lauk-pauknya (ambeng) yang harus

    diberikan kepada lurah dan anggota pemerintahan lainnya pada waktu

    adanya pesta (harga tiap ambeng sampai f 1,50).

    8. Kuduran: kewajiban kerja pada lurah sebanyak-banyaknya 4 kali setahun.

    Mereka dipekerjakan di sawah jabatan lurah tanpa dibayar tetapi mendapat

    makan pagi dan siang. Pekerja yang memiliki lembu diharuskan membawa

    lembu, dengan membawa lembu mereka mendapatkan tambahan upah

  • 35

    sebanyak f 0,25. Selain bekerja kepada lurah, dibeberapa desa pekerja

    wajib juga bekerja di tempat prabot desa.

    9. Prepot: pungutan untuk lurah, terkadang juga carik untuk mendapatkan

    ijin mengadakan pesta. Pungutannya sebesar f 0,50.

    10. Rapak: pungutan untuk seorang istri yang meminta cerai, untuk kaum

    sebesar f 0,25 dan untuk kaum sebesar f 0,50.

    Pungutan-pungutan tersebut dapat memberatkan rakyat dengan upah yang

    tidak banyak yang diterimanya dari pekerjaan sebagai buruh, maupun untuk yang

    menggarap lahan sawah karena juga memiliki beban membayar pajak. Besarnya

    pungutan dan jenisnya ditentukan melalui rapat desa yang diadakan setaip 35 hari

    sekali.

    c. Kesehatan

    Masih penjelasan Sartono Kartodirdjo dalam Memori Serah Jabatan 1921-

    1930 (Jawa Tengah) mengenai daerah Bagelen, sebagian besar wilayah di daerah

    Bagelen memiliki iklim yang cukup baik dan kondisi lingkungan yang sehat, hanya

    saja di daerah Bagelen Selatan yaitu daerah dekat pantai keadannya masih kurang

    baik untuk kesehatan karena masih berupa rawa-rawa. Keberadaan rawa-rawa ini

    yang menimbulkan permasalahan kesehatan yaitu penyakit Malaria yang disebabkan

    oleh nyamuk.

    Pemerintah mengatasi permasalahan kesehatan ini dengan menempatkan

    beberapa dokter dan menyediakan beberapa rumah sakit. Terdapat Rumah Sakit yang

    tersedia di setiap distrik. Purworejo memiliki 2 Rumah Sakit yaitu Rumah Sakit

  • 36

    Militer dengan seorang dokter dan milik Zending yang memiliki 2 dokter.31 Setiap

    Ibukota Kabupaten ditempatkan seorang dokter pemerintah.Poliklinik terdapat di

    berbagai tempat dan dipegang oleh dokter Zending. Gedung poliklinik di daerah

    Bagelen banyak yang sudah baik tetapi beberapa ada yang masih berupa gedung semi

    permanen. Daerah Bruno memiliki gedung poliklinik bekas gudang garam. Berikut

    merupakan tabel.3 yaitu Poliklinik yang berada di daerah Purworejo:

    Tabel. 3

    Poliklinik yang ditempatkan di Purworejo

    Dokter Zending Balai PengobatanPemerintah Hindia

    Mantri PemerintahDaerah

    Purworejo 1 1 1Kaligesing 1Koetoardjo 1 1 1Ketawang 1Pitoeroeh 1 1Broeno 1Boeboetan 1Poerwodadi 1 1

    Sumber: M.v.O Residen Bagelen tahun 1921-1930, Koleksi Arsip Nasional RepublikIndonesia.

    B. Industri Perkebunan dan Pabrik di Purworejo

    1. Perekonomian Masa Cultuurstelsel

    Sistem tanam paksa yang diterapkan di Indonesia oleh pemerintah Kolonial

    berupa penanaman komoditas ekspor. Usaha dilakukan oleh pemerintah Belanda

    untuk menjamin kerja sama yang baik antara Belanda dan Penguasa Jawa yaitu

    31 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXXV.

  • 37

    dengan cara memberikan cultuur procenten, yang merupakan prosentase hasil-hasil

    ekspor tadi kepada Bupati dan Lurah.32 Usaha penanaman komoditas ekspor

    ditunjang dengan membangun dan memperkeras jalan-jalan, serta membuka jalan-

    jalan baru, mula-mula dari Kedung Kebo ke Gombong untuk sampai ke Cilacap, kota

    pelabuhan untuk mengekspor komoditi pertanian dan perkebunan untuk pasar Eropa.

    Tabel. 4

    Hasil Tanaman Wajib (per-pikul/ 1 pikul = 61,76kg) antara tahun 1839-184233

    HASIL 1839 1840 1841 1842

    Teh 800 330 281 656

    Kopi 46.812 24.188 48.045 47.664

    Indigo 3.536 5.661 8.420 4.800

    Kayumanis 40 120 140 240

    Sumber: Radix Penadi (2000) Riawayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha diTanah Bagelen Abad XIX. Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembagan SosialBudaya.

    Pertengahan abad XIX, Purworejo pernah menjadi salah satu daerah yang

    menghasilkan tanaman komoditas ekspor terbesar di Indonesia. Keadaan geografis

    Purworejo sangat strategis untuk dijadikan lahan penanaman komoditas ekspor, teh

    dapat ditanam di daerah dataran tinggi seperti daerah Bener dan Loano, sedangkan

    32 Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,(Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm.87.

    33 Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di TanahBagelen Abad XIX, (Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembagan Sosial Budaya,2000), hlm.112.

  • 38

    untuk kopi, nila dan kayumanis dapat ditanam di daerah dataran rendah. Wilayah

    Purworejo yang luas dan subur sangat potensial untuk dijadikan lahan penanaman

    komoditas ekspor. Hasil dari penanaman kopi merupakan yang terbanyak

    dibandingkan komoditas lainnya, seperti: nila, teh dan kayumanis, kemudian mulai

    diperkenalkan penanaman gula sebagai salah satu komoditas ekspor. Hasil panen

    tanaman teh dari tahun 1839-1842 kurang stabil namun pada tahun 1842 mengalami

    kenaikan, untuk tanaman kopi cukup mengalami peningkatan, tanaman indigo pada

    awalnya mengalami peningkatan namun pada tahun 1842 mengalami penurunan

    cukup drastis, hasil panen kayu manis dari tahun 1839-1842 selalu mengalami

    peningkatan yang cukup signifikan. Masa tanam paksa ini berakhir setelah

    dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang mengatur tentang politik

    ekonomi liberal.

    Sejak penerapan Agrarische Wet tahun 1870, Undang-undang Gula (21 Juli, S

    136) menyatakan pula berakhirnya politik tanam paksa (Cultuurstelsel), sedangkan

    Undang-undang Agraria (9 April 1870, S 55) dan Dekrit Agraria (KB 20 Juli 1870, S

    118) memudahkan hibah tanah jangka panjang bagi perusahaan Eropa yang akan

    menanamkan modal di Indonesia, dan isinya merupakan sebuah ketentuan tentang

    kepemilikan tanah pribumi yang lebih sesuai dengan hak atas tanah pra-1800.34

    Undang-undang baru ini kemudian mengubah wajah baru perekonomian masa

    kolonial di Indonesia. Masuknya modal asing dan penyewaan tanah milik penduduk

    34 Peter Boomgard, Anak Jajahan Belanda Sejarah Sosial Ekonomi JawaTahun 1795-1880, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm.61.

  • 39

    ini kemudian memunculkan banyak perkebunan dan pabrik di Jawa. Di Purworejo

    misalnya, didirikan Suikerfabriken atau pabrik gula. Suikerfabriken sendiri dibangun

    pada tahun 1909 oleh N.V. Suikeronderneming “Purworedjo” yaitu sebuah PT

    (Perusahaan Terbuka) yang dibentuk di Ansterdam pada tahun 1908. Berdirinya

    pabrik gula tersebut menghabiskan dana sebanyak 5 juta gulden. Pertumbuhan pabrik

    gula di Jawa berkembang pesat hingga mencapai jumlah 180 pabrik pada akhir tahun

    1920. Saat itu Indonesia menjadi salah satu pengekspor gula terbesar di dunia

    bersanding dengan Kuba.35

    Perusahaan dan pabrik-pabrik yang telah berdiri ini tentu saja membutuhkan

    tenaga kerja, dan untuk mendapatkannya peran pemimpin-pemimpin lokal sangat

    dibutuhkan. Tenaga kerja sendiri terdiri dari dua jenis yaitu tenaga kerja wajib dan

    tenaga kerja lepas. Pada tahun 1880, tenaga kerja wajib perlahan-lahan dihapuskan

    dan bersamaan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan

    meningkatnya persediaan tenaga kerja upahan “lepas”.36 Tenaga kerja lepas ini yang

    kemudian memunculkan istilah buruh. Namun sejak digunakannya mesin uap dalam

    produksi, menyebabkan pengurangan terhadap tenaga kerja, yang artinya jumlah

    pengangguran juga meningkat. Jumlah pengangguran yang meningkat, itu berarti

    menciptakan masalah perekonomian baru di Jawa pada awal abad XX.

    35 http://belovedhometown.wordpress.com/2011/07/09/pabrik-gula-jenar-era-kolonial-belanda.html (diakses tanggal 4 Maret 2016 ).

    36 Peter Boogard., op.cit., hlm.67.

  • 40

    2. Perekonomian di Masa Liberal

    Di Kedu Selatan (Bagelen) ada dua pabrik gula besar yaitu pabrik gula

    “Purworedjo” dan pabrik gula “Rembun”. Luas areal tebunya hampir 2.500 bau.

    Kedua pabrik tersebut tidak dapat bekerja dengan kapasitas penuh karena tidak

    mampu meluaskan areal perkebunan tebunya sampai 4.000 bau seperti yang telah

    ditetapkan oleh Departemen Urusan Negara, karena hal-hal sebagai berikut37:

    a. Harga sewa tanah yang tinggi. Harga sewa yang tinggi ini dikarenakan

    tanahnya yang subur yang dan produktivitasnya tinggi. Selain tanah yang

    subur, sawah di daerah ini juga mendapat pengairan yang cukup.

    b. Kekurangan tenaga kerja. Kekurangan ini dikarenakan tenaga di pabrik

    gula itu 60% berasal dari daerah Yogyakarta.

    Semula harga sewa tanah ditetapkan atas dasar harga minimum padi yaitu f 4,-

    harga itu kemudian ditetapkan menurut harga padi seperti yang ditetapkan oleh pajak

    tanah. Upah tenaga kerja kebun dan pegawai pabrik-pabrik gula dinaikkan ketika

    terjadi kemahalan umum namun terjadi keresahan setelah masa malaise. Harga-harga

    barang yang semakin menurun, upah pun ikut diturunkan.38

    Pabrik gula Purworejo berada di daerah Jenar. Pada awal berdiri luas pabrik

    gula di Purworejo dan Rembun di Prembun mencapai 2.500 bau. Pada tahun 1926

    pabrik gula Purworejo luas areal kebun tebunya 4.049 bau, luas maksimum adalah

    37 Sartono Kartodirdjo, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah),(Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977), hlm. CXLIV.

    38 Ibid., hlm.CXLV.

  • 41

    4.700 bau sesuai dengan ijin peraturan Departemen Urusan Negara tertanggal 23

    Maret 1912 no.36. Pabrik gula di Karesidenan Kedu sudah menggarap sawah dengan

    menggunakan traktor sehingga dapat mengatasi masalah tenaga kerja.39

    Pabrik gula Purworejo terdapat di Jenar, distrik Purwodadi. Distrik Purwodadi

    memiliki areal tanah seluas 476 bau (1 bau = 0,7096 Ha) hanya boleh dipakai apabila

    pabrik bersedia untuk memompa air sendiri dari kali Bogowonto. Areal tanah yang

    dapat disewa oleh pabrik untuk dijadikan lahan penanaman tebu telah diatur dan

    dijelaskan dalam tabel. 5 sebagai berikut:

    Tabel. 5

    Ketentuan Maksimum Tanah Sewa Perdistrik

    Jumlah Maksimal Tanah Wilayah

    1.800 bau di distrik Poerworedjo Regentschap Poerworedjo

    600 bau di distrik Tjangkrep Regentschap Poerworedjo

    500 bau di distrik Loano Regentschap Poerworedjo

    1.400 bau di distrik Poerwodadi Regentschap Koetoardjo

    400 bau di distrik Koetoardjo Regentschap Koetoardjo

    Sumber: M.v.O Afdeeling Purworejo Tahun 1921-1930, Koleksi Arsip NasionalRepublik Indonesia.

    39 Ibid., hlm. CLIII.

  • 42

    a. Profil Pabrik Gula Purworejo (N.V. Suikeronderneming “Purworedjo”)

    Pabrik gula “Purworedjo” dibangun pada tahun 1909 oleh N.V.

    Suikeronderneming “Purworedjo” yaitu sebuah PT (Perusahaan Terbuka) yang

    dibentuk di Amsterdam pada tahun 1908. Berdirinya pabrik gula tersebut

    menghabiskan dana sebanyak 5 juta gulden. Pabrik gula Purworejo terdapat di halte

    Jenar, distrik Purwodadi. Distrik Purwodadi memiliki areal tanah seluas 476 bau

    (1 bau = 0,7096 Ha) hanya boleh dipakai kalau pabrik bersedia untuk memompa air

    sendiri dari kali Bogowonto. Areal bruto tanaman tebu yang dimiliki seluruhnya

    adalah 4.700 bau, sesuai ijin yang diberikan oleh Departemen Urusan Negara pada

    tanggal 23 Maret 1912 No. 336.

    Gambar.3. Pabrik Gula “Purworedjo”

    Sumber: Tropenmuseum

    Berdirinya pabrik gula tentu saja didukung dengan jalur pengangkutan dari

    perkebunan yang memadai. Menurut ketentuan Residen, tebu dari kebun ke pabrik

    harus diangkut dengan menggunakan lori. Jalan beserta bangunan-bangunan yang

  • 43

    dipergunakan untuk rel lori harus dilebarkan agar tidak mengganggu lalulintas dan

    biaya pelebaran ditanggung oleh pabrik. Ketentuan ini juga berlaku rel lori yang

    bersifat sementara (hanya dipasang pada saat panen tebu). Pabrik gula Purworejo dan

    Purwodadi areal tanaman tebunya luasnya ± ¼ dari seluruh areal tanaman tebunya.40

    Berikut ini merupakan gambar lori yang berada pada jalur pengangkutan tebu ke

    pabrik gula Purworejo.

    Gambar.4. Gambar Lori di Jalur Pengangkutan Tebu

    Sumber: Tropenmuseum

    Pada tahun 1922 pabrik gula Purworejo mengikuti cara pabrik gula rembun

    yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa tanah berjangka panjang. Harga sewa

    tanah ditentukan oleh harga padi, seperti yang ditentukan oleh pajak tanah terakhir

    dan disesuaikan dengan harga tanah yang sebenarnya. Pabrik gula Purworejo

    berencana untuk melakukan penggarapan tanah secara mekanis, hal ini bertujuan

    untuk mengatasi permasalahan kekurangan pekerja saat musim panen sekaligus

    40 Ibid., hlm.CXXVIII.

  • 44

    menghemat pengeluaran untuk upah buruh. Selain itu perusahaan juga menyediakan

    laboratorium untuk meneliti serta menjaga kualitas bahan yang akan diolah menjadi

    gula.

    Gambar.5. Laboratorium Penelitian milik Pabrik Gula Purworejo

    Sumber: Tropenmuseum

    Laboratorium milik pabrik gula Purworejo berguna untuk meneliti kualitas

    bahan yang akan diolah menjadi gula. Hal ini menjadi penting karena sasaran dari

    pemasaran gula hasil produksi adalah pasar dunia. Persaingan ketat di bidang industri

    dan perdagangan mengharuskan para pengusaha memastikan kualitas barang yang

    dijual agar tidak jatuh di pasaran dunia. Namun akibat memburuknya harga gula di

    pasaran dunia, maka perusahaan gula “Purworejo” mengalami kerugian.41

    41 Ibid., hlm.CXLIV

  • 45

    C. Terbentuknya Kelas Buruh dan Latar Belakang Terjadinya Protes

    Semenjak Undang-undang Agraria 1870 dan Undang-undang gula

    diberlakukan maka politik tanam paksa diberhentikan dan digantikan dengan politik

    pasar terbuka. Politik liberal ini menarik banyak investor asing menanam modal di

    Indonesia. Penyewaan lahan/tanah oleh pribumi kepada investor mulai gencar

    dilakukan, lahan yang disewa akan dijadikan sebagai pabrik dan perkebunan.

    Industri-industri baru bermunculan di dunia Barat yang didukung oleh

    mekanisme pengangkutan, baik itu melalui jalur darat, laut maupun udara.

    Industrialisasi ini merupakan salah satu penyebab timbulnya imperialisme modern.

    Negara-negara Barat itu membutuhkan daerah-daerah yang dapat menjual bahan

    mentah dan membeli barang-barang jadi. Politik liberal kemudian dijadikan sebagai

    cara untuk memperlancar pemasaran sekaligus membuka peluang yang menghasilkan

    banyak keuntungan bagi pemerintah Kolonial. Pemerintah Belanda kemudian

    memberi kesempatan bagi orang-orang asing untuk menyewa tanah di Indonesia.

    Kesempatan yang baik itu kemudian diambil oleh perusahaan-perusahaan Belanda

    untuk mengambil lahan dan dijadikan areal penanaman tebu dan usaha lainnya.42

    Ekspansi besar-besaran dari perusahaan-perusahaan perkebunan dan

    pengusaha tanaman perdagangan antara 1870-1920, terutama gula dan tembakau di

    Jawa (juga teh dan kopi dan sedikit untuk karet) dan kemudian karet dan kelapa sawit

    42 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Perlawanan TerhadapImperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Tumaritis,1990), hlm.118-119.

  • 46

    di Sumatera. Dalam kurun waktu itu, industri petanian/perkebunan mengalami

    perkembangan pesat. Perkembangan tersebut terus belangsung sampai dengan

    pecahnya Perang Dunia Pertama, tetapi sejak 1915-1919, produksi tembakau

    menurun karena kesulitan dalam pengapalan komoditas ke pasar dunia.43

    Penyediaan modal perkebunan oleh Bank Perkebunan (cultuur banken) serta

    permintaan akan komoditas di pasar dunia menyebabkan semakin banyaknya

    perusahaan menanamkan modal di berbagai industri di Indonesia pada waktu itu.

    Kurun waktu 1890-1910 membawa dampak ketatnya persaingan antar perusahaan.

    Suasana di pasar Intenasional diwarnai dengan persaingan yang ketat, semua

    perusahaan swasta di Belanda memerlukan suatu sistem ekonomi murah dan buruh

    dengan upah yang rendah, hingga pada akhirnya pemerintah Kolonial mengeluarkan

    kebijakan yang mengatur mengenai hal ini.44

    Uang yang berasal dari sewa tanah dan upah dari pabrik-pabrik gula di

    Bagelen ± 3.961.000,- setiap tahun. Banyak penduduk di Karesidenan Bagelen yang

    merantau ke Karesidenan sekitar Bagelen untuk menjadi buruh harian, misalnya

    buruh di daerah Alian yang bekerja di Semarang, Yogyakarta dan Solo. Penduduk

    Kutowinangun yang bekerja di daerah Kutoarjo dan Purworejo menjadi buruh harian

    di kebun-kebun tebu pada musim tanam dan musim panen. Pabrik gula Purworejo

    43 Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,(Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm.87.

    44 Ibid.

  • 47

    biasanya seringkali mendatangkan pekerja dari daerah lain seperti daerah Wates atau

    Banyumas pada saat panen tiba. Penduduk Purworejo sendiri sebagian besar lebih

    memilih untuk menjadi buruh di daerah lain, buruh penggarap sawah dan ada pula

    yang menjadi buruh di perkebunan. Apabila kurang mencukupi maka penduduk lebih

    memilih beremigrasi dan menjadi buruh di Deli.45 Buruh harian merupakan jalan

    keluar untuk mendapatkan buruh murah.

    Sistem tanam paksa gula sebenarnya telah menandai awal perkembangan pola

    baru perusahaan perkebunan dengan skala besar, karena perusahaan tersebut

    merupakan skala produksi yang luas, dengan mesin besar dan mahal dengan

    melibatkan penguasaan tanah dan tenaga kerja yang besar oleh pabrik gula. Setelah

    tahun 1870, ciri serupa bisa dijumpai pada perusahaan swasta Belanda dan

    perusahaan yang menghasilnya karet tembakau dan teh, dan dalam derajat tertentu

    kopi.46

    Sehubungan dengan membesarnya jumlah pemilik perkebunan dan

    perusahaan maka terciptalah pula sebuah undang-undang yang mengatur mengenai

    tenaga kerja atau buruh. Mekanisme agar buruh murah tersedia dalam jangka panjang

    juga diciptakan, antara lain undang-undang oleh pemerintah yang berupa ancaman

    45 Sartono Kartodirdjo, Memori Serah Jabatan tahun 1921-1930 (JawaTengah), (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977), hlm.CXIII-CXIX.

    46 Soegijanto Padmo., op.cit., hlm.107.

  • 48

    bagi kuli atau kerja yang melarikan diri dari perkebunan. Kondisi perkebunan

    terkendali dengan sistem kontrak dan pengawasan yang ketat.47

    Pemanfaatan priyayi seperti demang atau lurah dilakukan oleh pemerintah

    Belanda untuk bertanggung jawab dalam menyediakan tenaga kerja bagi perkebunan

    maupun pabrik-pabrik yang mulai banyak dibangun di Indonesia setelah munculnya

    sistem ekonomi liberal. Hal tersebut dikarenakan mereka yang dianggap sebagai

    pemimpin tradisional lebih mudah mengkoordinasi pekerja. Semua urusan mengenai

    tenaga kerja, mencari bahan bakar untuk produksi di pabrik, pengangkutan tebu dari

    ladang ke pabrik dan penanaman tebu, perusahaan tidak ikut campur karena semua

    itu adalah tanggung jawab pejabat pemerintah dari tingkat atas ke tingkat yang paling

    bawah yaitu dari bupati sampai ke kepala desa.48

    Pendirian pabrik-pabrik gula di Jawa sebenarnya memberikan peluang ekonomi

    kepada masyarakat pada saat itu, namun karena peraturan-peraturan yang ada tidak

    sesuai dengan kenyataan dalam praktek dan di sana-sini terdapat penyalahgunaan

    serta kecurangan-kecurangan dalam memberikan apa yang menjadi hak dan

    wewenang masyarakat, khususnya para buruh tani dan pekerja pabrik, maka yang

    terjadi adalah semakin rendahnya ekonomi petani dan buruh. Rakyat tetap menderita

    47 Ibid., hlm.112.

    48 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Perlawanan TerhadapImperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Tumaritis,1990), hlm.119.

  • 49

    karena tekanan dan paksaan dari aparat, baik itu dari pemerintah Kolonial maupun

    para priyayi.49

    Seiring berkembangnya Purworejo menjadi afdeeling yang diperhitungkan

    karena letaknya yang strategis, perburuhan bukan hanya berkembang di perkebunan

    maupun pabrik gula. Perkembangan masa dan kemajuan di bidang transportasi kereta

    api, muncullah buruh perkereta apian dan buruh pegadaian.

    49 Ibid., hlm.124.