30
BAB II PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES , HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES Pengertian Pengupahan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Manusia adalah mahkluk sosial, diamana manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat berjalan sebagaimana yang di harapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak sesuai dan menghambat tercapainya tujuan dari interaksi soasial itu sendiri. Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, terlebih di era modern seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Hal ini adalah interaksi yang dialami hampir semua umat manusia. Upah jika kita bisa lihat bersama terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti beras,gula,dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk

BAB II PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES , …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11608/2/T1_312012058_BAB II... · -Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES ,

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES

Pengertian Pengupahan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan

Manusia adalah mahkluk sosial, diamana manusia tidak dapat hidup sendiri dan

membutuhkan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya,

baik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat

berjalan sebagaimana yang di harapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau

berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak sesuai dan menghambat tercapainya tujuan

dari interaksi soasial itu sendiri.

Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, terlebih di era modern

seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat di pisahkan dari kehidupan

manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam

memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Hal ini

adalah interaksi yang dialami hampir semua umat manusia.

Upah jika kita bisa lihat bersama terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu gaji, tunjangan

dalam bentuk natura (seperti beras,gula,dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk

dana yang disisihkan pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan, dan

kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya

mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja.1 Di

dalam upah sendiri juga ada kebijakan pengupahan yang mengatur guna melindungi

pekerja/buruh yang apabila hak dan kewajibannya sebagai pekerja/buruh tidak

dipenuhi. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 88 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan meliputi:

1. Upah minimum;

2. Upah kerja Lembur;

3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

6. Bentuk dan cara pembayaran upah;

7. Denda dan potongan upah;

8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah

9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

10. Upah untuk membayar pesangon; dan

11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.2

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa prinsip kebijkan pengupahan harus sesuai

dengan kebutuhan hidup yang layak yang diperoleh sehingga pekerja/buruh memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maksud dari penghidupan yang layak, di

mana jumlah pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya mampu untuk

1 R Joni Bambang,Hukum Ketenagakerjaan. Bandung. Penerbit Pustaka setia Bandung. 2013. Hal 15 2 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Bab X-Bagian Kedua Pengupahan Pasal 88

memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, meliputi

makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan

jaminan hari tua.3

Pekerja/buruh selain berbicara tentang pengertian umum dan upah yang harus

diberikan, penulis juga melihat bahwa pekerja/buruh harus ada pengertian-pengertian

tentang Hubungan Kerja. Salah satu bidang di antara banyak bidang Hukum

Ketenagakerjaan yang sangat penting jika dikaitkan dengan perlindungan

pekerja/buruh.

B. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja

Setelah mengetahui pengertian hubungan kerja dan perjanjian kerja sebagaimana

diterangkan di atas, maka hal pokok lain yang wajib diketahui agar sebuah perjanjian

yang dibuat mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pihak yang melakukan

perjanjian, adalah syarat sahnya sebuah perjanjian. Apabila syarat perjanjian tidak

terpenuhi, maka perjanjian dapat menjadi batal atau bahkan batal demi hukum. Aturan

mengenai syarat sahnya suatu perjanjian kerja diatur dalam Pasal 52 ayat (1)

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan

bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar, yakni :

a. Kesepakatan kedua belah pihak

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang

mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja

harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang akan diperjanjikan. Apa yang

3 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan indonesia. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti.2014. Hal 122

dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima

pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk

dipekerjakan. Dengan kata lain tidak adanya unsur terjadinya penipuan (dwang),

paksaan (dwaling), dan kekhilafan (bedrog) dalam kesepakatan kedua belah pihak.

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian

maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.

Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan

telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberi batasan

umur minimal 18 Tahun bagi seseorang dianggap cakap membuat

perjanjian kerja, sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (26)

Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 69

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi

pengecualian bagi anak yang berumur 13 Tahun sampai dengan umur 15

Tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu

perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. Selain itu juga

seseorang dikatakan akan cakap membuat suatu perjanjian kerja jika

seseorang tersebut tidak dibawah pengampuanyaitu tidak terganggu

jiwanya/sehat.

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, artinya bahwa adanya hal tertentu

yang diperjanjikan. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari

perjanjian kerja antara pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh,

yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajibanpara pihak.

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pada dasarnya obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yang artinya bahwa tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang,ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pekerjaan

yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan

secara jelas.

Keempat syarat kerja tersebut bersifat kumulatif yang artinya bahwa harus dipenuhi

semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas

kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat

perjanjian lebih bersifat syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang

membuat perjanjian. Syarat sahnya adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan

yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut

obyek perjanjian. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal

demi hukum artinya bahwa dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

Jika yang tidak dipenuhi merupakan syarat subyektif, pihak-pihak yang tidak

memberikan persetujuan secara tidak bebas, atau orang tua/wali atau pengampu bagi

yang tidak cakap membuat perjanjiandapat meminta pembatalan perjanjian kepada

hakim. Dengan demikian,perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama

belum dibatalkanoleh hakim.4

4Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi ke-12, PT.

Rajagrafindo Persada, Depok, hlm 64.

Unsur perintah pada perjanjian bisa ditemukan pada kewajiban dalam

perjanjian.Namun tidak semua kewajiban mempunyai unsur perintah. Hal prinsip

inilah yang membedakan antara hubungan kerja dan hubungan tentang kerja.

Berdasarkan perbedaan ciri di atas dapat ditarik beberapa unsur-unsurdari hubungan

kerja kerja.5

a. Adanya unsur Pekerjaan (work)

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek

perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan

hanya seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hak ini

dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1630a yang berbunyi: “Buruh wajib

melakukan sendiri pekerjaanya;hanya dengan seizin majikan ia dapat

menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.” Sifat pekerjaan yang

dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan

keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jiika pekerja meninggal

dunia, perjanjian kerja batal demi hukum.

b. Adanya unsur Perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan pekerja oleh perusahaan adalah

pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk

melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan

kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan

pasien dan pengacara dengan klienya. Hubungan tersebut bukan

merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada

perintah dan pasien.

5Lalu Husni, Op.Cit, hlm 56.

c. Adanya upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja.

Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seseorang pekerja bekerja pada

pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur

upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja.

C. Upah Proses

1. Pengertian tentang Upah Proses

Sesuai Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dihubungkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, upah proses seharusnya dibayar

sampai putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkuatan hukum tetap (inkracht van

gewijde). sebagaimana yang telah dikatakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

pasalnya 155 ayat 2 mengatakan bahwa selama belum ada putusan hakim yang

berkekuatan hukum tetap maka baik pekerja maupun pengusaha sama-sama melakukan

kewajibannya. Upah proses bisa batal demi hukum apabila memang baik pekerja dan

pengusaha dalam keadaan sama-sama tidak ada tekanan memang tidak melakukan

kewajibannya lagi maka upah proses itu pun tidak bisa ditetapkan. Dalam praktik

peradilan, hakim PHI tidak memiliki sikap yang sama mengadili batas upah

proses. Sikap pertama, memutus upah proses paling lama enam bulan. Argumennya

merujuk pada Pasal 191 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kelompok ini

menjelaskan, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tidak pernah mencabut

Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000. Sikap kedua menegaskan, ketentuan upah proses

di dalam Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi berlaku. Alasannya,

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 memiliki kedudukan lebih tinggi dari

Kepmenaker. Selain itu, Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 telah

mengatur upah proses Pemutusan Hubungan Kerja tanpa batas waktu. Dalam kaitan

upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan Pengadilan

Hubungan Industrial. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah

proses selama enam bulan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar

upah proses lebih dari enam bulan. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha

membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Putusan menghukum

enam bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000. Putusan

hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap

merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Dan, yang memutus upah

proses sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), murni berkiblat pada

Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tiga macam putusan di

atas sekaligus sebagai petunjuk bahwa di dalam PHI terdapat tiga aliran hakim

mengenai upah proses.6

Dalam praktik, waktu yang dibutuhkan menyelesaikan perselisihan PHK tidak

sama. PHI tingkat pertama relatif mampu menyelesaikan pemeriksaan perkara dalam

waktu 50 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004. Pencari

keadilan mulai mengeluhkan masalah waktu khususnya di tingkat kasasi. Penyebab

utama adalah UU No 2 Tahun 2004 tidak secara baku mengatur tahapan waktu

berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat

pertama.

6 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ef3dcaacf2c6/putusan-mk-dan-ragam-tafsir-tentang-upah-proses-phk-broleh--juanda-pangaribuan-

Pengusaha tidak semua menyelesaikan kasus PHK menurut hukum. Pengusaha ada

yang melakukan PHK tetapi tidak menyelesaikan PHK pada lembaga yang berwenang

sesuai Pasal 151 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003. Di seluruh PHI, buruh lebih banyak

mengambil inisiatif mengajukan gugatan PHK. Waktu mengajukan gugatan oleh buruh

dilakukan dalam waktu beragam. Dalam praktik, buruh yang mengalami PHK tidak

serta merta mengajukan gugatan. Gugatan diajukan beberapa bulan setelah PHK

terjadi. Karena itu, bila pengusaha mendiamkan kasus PHK sama artinya pengusaha

berinvestasi dengan masalah. Jika gugatan PHK diajukan pada bulan ke sepuluh dan

PHI memutus pada bulan ke tiga belas maka, bila PHI memutus upah proses selama 13

bulan, keadaan itu timbul karena kelalaian pengusaha.

2. Ketentuan-Ketentuan tentang Upah Proses

a. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (2)

dan Ayat (3) berbunyi :

2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun

pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

3. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan

skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses

pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah

beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat

dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh

pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila

pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (3), Dalam

hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan

persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan

pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.

b. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Nomor

Kep-150/Men/2000 pasalnya yang ke 17 berbunyi :

1. Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia

Daerah atau Panitia Pusat sedangkan pengusaha tidak melakukan

skorsing terhadap pekerja maka pengusaha dan pekerja harus tetap

memenuhi segala kewajibannya;

2. Dalam hal pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh

pengusah dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka

pengusaha wajib

membayar upah pekerja selama dalam proses sebesar

100%(seratus perseratus);

3. Dalam hal pekerja tidak memenuhi segala kewajibannya

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas kemauan pekerja

sendiri, maka pengusaha tidak wajib memberikan upah pekerja

selama dalam proses;

4. Dalam hal pegusaha dan pekerja tidak dapat memenuhi segala

kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan

karena pekerja dilarang bekerja oleh pengusaha atau bukan atas

kemauan pekerja sendiri, maka pengusaha wajib membayar upah

pekerja selama dalam proses sebesar 75% (tujuh puluh lima per

seratus).

c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 antara Pemohon drg.

Ugan Gandar, Ir. Eko Wahyu, dan Ir. Rommel Antonius Ginting, hakim

menyatakan di Amar Putusan :

1. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

(Lembaran Negara Republik Undonesia Tahun 2003 Nomor 39,

Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia nomor 4279)

adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum

berkekuatan hukum tetap;

2. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,

tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279)

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak

dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian selama putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan

hukum tetap, pekerja/buruh dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya,

atau pengusaha juga bisa melakukan skorsing kepada pekerja/buruh.

B. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor

01/G/2013/PHI.Yk, yang akan diuraikan sebagai berikut :

1. Para Pihak dalam Kasus

Kasus yang terjadi adalah antara penggugat Abdul Jalil, pekerjaan : Karyawan

Hotel Ogh Doni Jogja sebagai Staf Engineering yang beralamat di jalan tribata No.

1A, Yogyakarta, 55222. Alamat tempat tinggal Abdul Jalil : Karang Elak, RT/RW

009/004, Desa Pereng, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa

Tengah, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang masing-masing bernama

: Mahendra Handoko, S.H.I., Advocate & Legal Consultant pada Law Firm

Mahendra&Partner yang beralamat di kompleks perkantoran Theater Msataram

Blok B-3, Jalan Dr. Sutomo No.57- Daerah Istimewa Yogyakarta, baik

sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal

28 November 2012 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Yogyakarta pada tanggal

10 Januari 2013 di bawah register No: W.13-U1/1/SK/PHI/2013, untuk selanjutnya

disebut sebagai Penggugat. Sedangkan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa),

beralamat di jalan Tribata No. 1A Yogyakarta, 55222, dalam hal ini diwakili oleh :

Afiq Anysyori CH, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 18 Februari

2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 2013 di bawah register

Nomor : W13-U1/8/SK/PHI/2013 untuk selanjutnya sebagai tergugat.

2. Kasus Posisi

Bahwa Penggugat/Pemohon adalah karyawan hotel Tergugat/Termohon yang

ditugaskan pada bagian staf Engineering, mulai bekerja menjadi karyawan hotel

pada bulan Januari 1998, Penggugat/Pemohon telah bekerja di hotel selama 14

Tahun, selama 14 Tahun bekerja Penggugat/Pemohon hanya mendapatkan upah

sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah) setiap bulannya, yang mana

besaran upah tersebut tidak sesuai dengan nilai Upah Minimum Propinsi D.I.

Yogyakarta dan bertentangan dengan isi Surat Keputusan Gurbernur D.I.

Yogyakarta Nomor 298/KEP/2011 tentang Upah Minimum Propinsi yakni sebesar

Rp. 892.660 (Delapan Ratus Sembilan Puluh Dua Ribu Enam Ratus Enam Puluh

Rupiah). Tergugat/Termohon melaksanakan jam kerja 3 shift : a. Pukul 07.00 WIB

s/d 15.00 WIB; b. Pukul 15.00 WIB s/d 23.00 WIB; c. Pukul 23.00 WIB s/d 07.00

WIB dan Penggugat/Pemohon bekerja di hotel Tergugat/ Termohon selama 8 jam

sehari serta Penggugat/Pemohon kerap kali bekerja atau mendapatkan giliran kerja

over time/lembur pada saat hari libur (tanggal merah) dan hari libur nasional,

kemudian selama Penggugat/Pemohon kerja over time/lembur, Tergugat/

Termohon tidak pernah memberikan upah atas kerja over time/lembur tersebut dan

Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan upah lembur atas waktu kerja lembur yang

telah dijalaninya selama 14 tahun dan Penggugat/ Pemohon hanya mendapatkan

gaji sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah). Seharusnya upah lembur wajib

diberikan oleh Tergugat/ Termohon kepada karyawannya sebagaimana sesuai

dengan pasal 77 dan 78 UU No. 13 Tahun 2003 jo. Kepmenakertrans No.

102/MEN/VI/2004, selama Penggugat/Pemohon menjadi karyawan

Tergugat/Termohon, Penggugat/Pemohon tidak dimasukkan dan atau

diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sehingga

kemudian Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja

yang telah diberikan dan atau pemerintah telah memberikan jaminan hak-hak

pekerja yakni berupa : Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan

Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana kemudian diatur

dalam UU No. 3 Tahun 1992 dan PP No. 14 Tahun 1993. Selama

Penggugat/Pemohon menjadi karyawan Tergugat/Termohon, Tergugat/Termohon

tidak pernah memberikan uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang sesuai dengan

ketentuan Permenakertrans No. 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya kepada

Penggugat/Pemohon.

Bahwa awal mula terjadinya permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial

adalah pada saat Penggugat/Pemohon mendapatkan Surat Peringatan dari pihak

Tergugat/Termohon tertanggal 11 Oktober 2011 dengan alasan

Penggugat/Pemohon datang terlambat, pulang awal tanpa ada pemberitahuan

kepada atasan/security, lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan pada

saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga untuk

menyalakan genzet, atas kejadian tersebut pada tanggal 31 Januari 2012 Pihak

Tergugat/Termohon melakukan pemanggilan kepada Penggugat/Pemohon dan

sekaligus memberikan surat yang beriisi “Penggugat/Pemohon diminta untuk

mengundurkan diri dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang

engineering” dan di dalam surat tersebut sekaligus menerangkan perihal hak-hak

dari pengunduran diri dan Penggugat/Pemohon diminta agar berkoordinasi dengan

pihak personalia dan Security koordinator. setelah hal tersebut dikordinasikan

dengan pihak personalia, alhasil didapati nilai yang ditawarkan pihak

Tergugat/Termohon adalah sebesar Rp. 1.000.000 (Satu Juta Rupiah) atau 2 (dua)

kali gaji dan kemudian tawaran uang tersebut ditolak oleh Penggugat/Pemohon

dengan alasan dan pertimbangan lamanya waktu Penggugat/Pemohon bekerja,

kemudian Penggugat/Pemohon mengupayakan untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut dengan Tergugat/Termohon, namun tidak ada titik temu, dan akhirnya

Penggugat/Pemohon mencatatkan permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial

tersebut ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sekitar

awal bulan April tahun 2012. Menindaklanjuti pencatatan Perselisihan Hubungan

Industrial tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta

telah melakukan klarifikasi dengan memanggil Penggugat/Pemohon dan

Tergugat/Termohon ke kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota

Yogyakarta dan kemudian beberapa kali diadakan pertemuan/pemanggilan untuk

mediasi/sidang, PERTAMA pada tanggal 09 Mei 2012, KEDUA tanggal 11 Juni

2012, KETIGA tanggal 15 Juni 2012, KEEMPAT tanggal 28 Juni 2012), KELIMA

10 Juli 2012, KEENAM 11 Juli 2012, dan dibuat Perjanjian Bersama pada hari

Kamis 19 Juli 2012 bertempat di ruang Pertemuan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, namun pertemuan atau mediasi yang telah diupayakan tetap tidak

membuahkan hasil, atas permasalahan tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kota Yogyakarta telah mengeluarkan Surat Anjuran Nomor :

565/7321 tertanggal 07 November 2012 dan ditandatangani oleh Kepala Dinas

Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta dan Mediator yang

ditujukan kepada Tergugat/Termohon dan Penggugat/Pemohon yang berisi anjuran

agar Pihak Tergugat/Termohon membayarkan hak-hak Penggugat/Pemohon

sebesar Rp. 33.215.143,15 (Tiga Puluh Tiga Juta Dua Ratus Lima Belas Ribu

Seratus Empat Puluh Tiga Rupiah Lima Belas Sen) dan Tergugat/Termohon hanya

menawarkan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah),

kemudian diadakan beberapa kali pertemuan/mediasi/sidang, Pertemuan

PERTAMA tanggal 27 Juni 2012, KEDUA tanggal 04 Juli, KETIGA tanggal 19

Juli dan KEEMPAT tanggal 25 Juli 2012, Penggugat/Pemohon tetap pada sikapnya

yakni meminta hak-hak pekerja sesuai dengan Peraturan Perundang-udangan.

Sementara sikap Tergugat/Termohon-pun tetap yakni hanya memberi uang

kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) kepada Penggugat/Pemohon

yang mana hal tersebut sesuai dengan Surat Risalah Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial tertanggal 30 November 2012 terlampir yang ditandatangani

oleh Mediator Hubungan Industrial Bpk. R. Irwantono, SH.

Upaya hukum verzet, banding maupun kasasi dari Tergugat/Termohon. Berdasarkan

pasal 155 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal

19 September 2011, Penggugat/Pemohon mohon kepada Pengadilan Perselisihan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk berkenan memberikan

putusan sela berupa perintah kepada Tergugat/Termohon untuk membayar Upah

Proses yang belum dibayarkan dan hak–hak lainnya yang biasa diterima

Penggugat/Pemohon sebagai pekerja, selama proses penyelesaian terhitung dari Bulan

Januari- Desember 2012, secara tunai dan sekaligus, yaitu sebesar : 12 Bulan x Upah

Minimum Propinsi : 12 x Rp. 892.660 = Rp. 10.711.920 Uang Tunjangan Hari Raya

tahun 2012 = Rp. 892.660

= Rp. 11.604.580

(Sebelas Juta Enam Ratus Empat Ribu Lima Ratus Delapan Puluh Rupiah).

oleh karena mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil

menggugat pengusaha Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan

upah proses di posita gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.

Atas gugatan tersebut Tergugat telah mengajukan jawabannya tertanggal 26

Februari 2013, sebagai berikut:

EKSEPSI

Gugatan Penggugat/Pemohon Prematur

Bahwa gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada pasal 156 Ayat (2) dan

Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang No:13 tahun 2003 untuk menuntut pesangon

maupun uang penghargaan sebagai pekerja/buruh yang telah di PHK adalah

keliru/salah, karena pada pokoknya dalam pasal telah jelas dinyatakan bahwa: “uang

pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya

diterima pekerja/buruh diberikan oleh pengusaha apabila telah terjadi pemutusan

hubungan kerja”.

Bahwa pada saat ini Penggugat/Pemohon masih berstatus sebagai pekerja/buruh di

Hotel OGH DONI JOGJA (Yogya Plassa), sehingga dengan demikian dirinya belum

berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja maupun uang penggantian

hak lainnya, maka dengan demikian gugatan Penggugat/Pemohon haruslah dinyatakan

premature.

Gugatan Penggugat/Pemohon Kabur (Obscuur Libel)

Bahwa gugatan penggugat/Pemohon sangat tidak jelas dan kabur, karena perihal

gugatan yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon adalah: Gugatan Perselisihan

Hubungan Industrial, namun di dalam petitum Penggugat/Pemohon mengajukan

permohonan Pemutusan Hubungan Kerja beserta hak-haknya. Bahwa berdasarkan

hal-hal tersebut di atas jelaskah bahwa gugatan Penggugat/Pemohon PREMATUR dan

kabur (obscuur libel), sehingga oleh karenanya haruslah ditolak atau setidak-tidaknya

dinyatakan tidak dapat diterima.

JAWABAN (Pokok Perkara):

1. Bahwa Tergugat/Termohon menolak seluruh dalil-dalil gugatan

Penggugat/pemohon untuk seluruhnya, terkecuali yang nyata-nyata diakui

kebenarannya oleh Tergugat/Termohon.

2. Bahwa tidak benar apabila Penggugat/Pemohon mendalilkan bahwa dirinya selama

14 (empat belas) tahun hanya mendapatkan upah sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu

rupiah).

3 Bahwa Tergugat/Termohon telah memberikan upah kepada Penggugat/Pemohon

sesuai dengan Upah Minimum Propinsi dan juga Tunjangan Hari Raya (THR)

sebagaimana mestinya.

4 Bahwa walaupun Tergugat/Termohon tidak mengikutsertakan program Jamsostek

para pekerja/buruh, namun Tergugat/Termohon telah menjamin kesehatan dan

keselamatan para pekerja/buruh, hal ini telah dibuktikan oleh Tergugat/Termohon

dengan memberikan bantuan atau santunan yang sangat layak kepada para

pekerja/buruh ketika ada pekerja/buruh yang mengalami halhal sebagaimana tercantum

dalam Jamsostek.

5 Bahwa Penggugat/Pemohon bukanlah pekerja yang baik karena sering melakukan

kesalahan yang sama dan seakan-akan memang disengaja agar kemudian dilakukan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan maksud agar mendapatkan pesangon dan

hak-hak lainnya sebagaimana layaknya pekerja yang telah di PHK oleh suatu

perusahaan.

6. Bahwa kesalahan besaryang diulang-ulang oleh Penggugat/Pemohon antara lain:

• Sering mangkir/tidak masuk kerja tanpa alasan maupun pemberitahuan terlebih

dahulu.

• Membiarkan enginering kosong pada saat listrik padam/mati padahal sedang ada

event (kegiatan tamu hotel).

• Bekerja seenaknya (tidak melakukan perintah atasannnya) sehingga membuat

rekan-rekan pekerja lainnnya menghindari jangan sampai bekerja satu shift dengan

Penggugat/Pemohon.

7. Bahwa dengan kesalahan tersebut di atas maka sangat wajarapabila kemudian

Tergugat/Termohon memberikan surat peringatan I dan kemudian dilanjutkan dengan

Surat Peringatan II pada tanggal 11 Oktober 2011.

8. Bahwa walaupun Penggugat/Pemohon telah melakukan kesalahan-kesalahan besar

(fatal), namun tergugat/Termohon tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)

dan tetap akan memperkerjakan Penggugat/Pemohon dengan cara memberikan suatu

pekerjaan lain yang layak.

9. Bahwa namun demikianpada kenyataannya, semenjak disampaikan Surat Peringatan

II (11 Oktober 2011), Penggugat/Pemohon malah tidak pernah lagi masuk kerja

(mangkir) sehingga hal ini membuat kacaunya bagian enginering dan tentu saja hal ini

sangat merugikan perusahaan (hotel), dan kemudian mengajukan gugatan.

10. Bahwa oleh karena Penggugat/Pemohon telah mangkir selama 5 (lima) hari kerja

atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan buktibukti

yang sah, maka hal tersebut dikualifikasikan mengundurkan diri (sesuai Pasal 168 Ayat

(1), maka oleh karenanya gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada Pasal

156 Ayat (2) jo. Pasal 164 Ayat (3) haruslah ditolak.

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan

Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk.

Menimbang, bahwa Gugatan Penggugat telah pula dilampiri Risalah Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial yang diterbitkan serta ditandatangani Mediator Dinas

Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kota Yogyakarta tertanggal 30

Nopember 2012, dengan demikian Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Yogyakarta berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas

perkara ini bahwa atas Gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah menyampaikan

bantahannya melalui Eksepsi, Jawaban Pokok Perkara, sekaligus mengajukan Gugatan

Rekonvensi, mengingat ketentuan Pasal 163 HIR yang menyatakan : “Barang siapa

yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian

untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu

harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Dengan demikian baik

Penggugat maupun Tergugat dibebani beban pembuktian yang seimbang, yang harus

dibuktikan kebenarannya, hanyalah apa yang disankal saja oleh yang digugat baik

dalam Konvensi maupun rekonvensi. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Majelis

Hakim.

Sebelum perkara ini masuk ke dalam pengadilan antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh

Doni Jogja, telah diadakan mediasi untuk kedua belah pihak namun oleh karena

mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil menggugat pengusaha

Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan upah proses di posita

gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.

Selanjutnya, dalam Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.YK, hakim

mempertimbangkan permintaan upah proses pada bagian pertimbangan hukumnya

yang isinya tidak mengabulkan permintaan upah proses oleh Abdul Jalil.

C. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan

Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk yang menyatakan hubungan

hukum antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa)

Dikualifasikan Sebagai Hubungan Kerja

Das sollen Upah Proses terdapat didalam Pasal 155 Ayat (2) dan (3)

Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi Ayat (2)

“Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum

ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala

kewajibannya”, dan Ayat (3) “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada

pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib

membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”.

Kemudian terdapat juga didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

37/PUU-IX/2011 Amar putusannya yang ke 2 berbunyi, Frasa “belum ditetapkan”

dalam Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,

Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang

tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap, atau apabila diperjelas kalimatnya

menjadi “Selama Putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan hukum tetap

pekerja dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya. Kemudian das sein

dalam putusan ini adalah, pekerja tidak bekerja maka pengusaha tidah memberikan

upah (prinsip no work no pay) sehingga kemudian pertimbangan hakim tidak

mengabulkan permintaan upah proses.

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan

kerja ada setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam

suatu perjanjian kerja. Pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja

yang telah melakukan pekerjaan, baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam

hubungan kerja atau di bawah perintah pemberi kerja dan atas jasanya dalam bekerja

yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Sebelum penulis menganalisis lebih jauh mengenai pelaksanaan perjanjian kerja

antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja ada baiknya dilihat kembali duduk

permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu mengenai perbedaan pertimbangan

hukum Majelis Hakim tentang status hubungan hukum yang terjadi.

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio

decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai pada

putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan

memerhatikan fakta materiel. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan

segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiel

tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan

hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.7 Maka setelah

dipaparkan mengenai fakta materiel, selanjutnya pembahasan berfokus kepada

7 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cet. 9, Kencana

Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal. 158.

kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam mengadili perkara berdasar pada

fakta-fakta materielnya.

a. Objek dan Subjek Perselisihan

Sebagaimana telah dinyatakan dalam kasus posisi pada sub-bab sebelumnya, maka

penulis akan mengerucutkan lebih khusus kepada objek dan subjek dalam perkara yang

sedang diteliti. Objek yang dimaksudkan ialah hal yang dipertentangkan atau yang

menjadi isu hukum dalam perkara antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh Jogja.

Sementara subjek yang dimaksud ialah para pihak dalam perkara tersebut.

Jika membicarakan hubungan antara Penggugat dengan Tergugat adalah tidak lepas

dari titik awal terjadinya suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tidak memberikan

suatu rumusan dari perikatan, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut

rumus bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih,

yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas

prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut.8

Objek dalam perkara aquo ialah permasalahan akibat penggugat yang sebagai

pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis

yang dilengkapi dengan bukti-bukti yang sah sebagaimana telah juga disebutkan dalam

kasus posisi. Karena Penggugat telah lalai dalam kewajibannya sebagai karyawan

engineering yang disebabkan lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan

pada saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga

untuk menyalakan genzet serta mangkir 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa

8 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan I, 1996, hal. 1.

keterangan tertulis. Juga kelelaian Tergugat terhadap kewajibannya terkait gaji dan

hak-hak Penggugat.

Dengan demikian pada hakikatnya setiap hubungan kerja yang dibuat oleh para pihak

didasari dengan perjanjian kerja. Seperti pelaksanaan hubungan kerja yang dibuat

antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja didasari dengan perjanjian kerja karena

perjanjian kerjasama tersebut sebenarnya merupakan perjanjian kerja. Syarat sah

perjanjian kerja diatur berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan :

a. kesepakatan kedua belah pihak;

Bahwa sesuai fakta yang ada dalam pembuatan perjanjian kerja tersebut antara

Pemberi kerja yaitu Hotel Ogh Doni Jogja dengan pihak pekerja/buruh yaitu Abdul

Jalil telah sepakat melakukan perjanjian kerja.

b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

Kedua belah pihak telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan

hubungan kerja.

c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

Abdul jalil sebagai Pekerja/buruh di Hotel Ogh Doni Jogja. Penggugat mulai bekerja

sebagai karyawan hotel yang ditugaskan menjadi staf engineering di Hotel Ogh

Doni Jogja sejak bulan januari tahun 1998 telah bekerja di hotel selama 14 tahun

lamanya.

d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pekerjaan sebagai Karyawan Hotel merupakan pekerjaan yang halal, tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Obyek

dalam perjanjian ini sudah disebutkan secara jelas.

Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga semua syarat tersebut harus

terpenuhi agar perjanjian tersebut sah. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat

subyektif, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi berakibat dibatalkannya perjanjian.

Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif apabila tidak terpenuhi batal

demi hukum perjanjian tersebut.

Setelah penulis membahas mengenai perjanjian kerja dan hubungan kerja seperti yang

telah diuraikan di atas, selanjutnya akan dijelaskan pihak dalam perjanjian kerja ialah

pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Dalam perjanjian kerja dan

hubungan kerja sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 UU

Ketenagakerjaan subjeknya ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3 dan angka 5 UU Ketenagakerjaan

menyatakan:

Pasal 1 angka 3 “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima

upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Pasal 1 angka 4 “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,

atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah

atau imbalan dalam bentuk lain”.

Pasal di atas membuktikan bahwa Hotel Ogh Doni Jogja (Tergugat) merupakan

subjek hukum dalam hukum ketenagakerjaan. Karena Hotel Ogh Doni Jogja

merupakan suatu bentuk usaha yang berbadan hukum yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan Abdul Jalil dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b UU Ketenagakerjaan. Dengan

demikian penyelesaian terhadap perselisihan antara para pihak dalam perkara antara

Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja ialah sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undangt Penyelesaian Pengadilan

Hubungan Industrial.

Pendapat peneliti berkenaan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

Hubungan Imdustrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta yang menyatakan bahwa

Abdul Jalil berhak atas uang pesangon dan penggantian hak sebagai pekerja setelah di

PHK sudah tepat. Berdasarkan bukti dipersidangan bahwa hubungan kerja antara

Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja telah berlangsung selama 14 tahun

berturut-turut. Sesuai ketentuan pasal 57 ayat (2) UUK jo pasal 10 ayat (3) Kepmen No.

100/Men/VI/2004 yang menyatakan bahwa, “ Perjanjian kerja untuk waktu tertentu

yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak

tertentu”. Hakim pun tidak mempertimbangkan upah proses karena di petitum

dimintakan lagi tentang upah proses, seharusnya bila di posita ada sekalipun tidak

dicantumkan dalam petitum, hakim akan mempertimbangkan upah proses tersebut.

Penulis tidak sependapat dengan eksepsi tergugat yang menyatakan Gugatan

penggugat/pemohon prematur dan gugatan penggugat/pemohon kabur, padahal sudah

sangat jelas apa yang sudah dipaparkan oleh penggugat benar adanya dan sesuai

dengan bukti-bukti yang jelas, peneliti juga tidak sependapat dengan Tergugat yang

menyatakan hubungan antara para Penggugat dengan Tergugat bukan merupakan

hubungan kerja seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tetapi

merupakan hubungan perdata berdasarkan adanya Perjanjian Kerjasama sebagaimana

diatur dalam KUHPerdata. Jika dikatakan sebagai perjanjian kerjasama antara pihak

yang membuat perjanjian mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang, yang

akhirnya menciptakan kedudukan yang sederajat. Tetapi dalam kasus yang terjadi

antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja, perjanjian yang dibuat tidak

menunjukan kedudukan yang sama dan seimbang.

Berdasarkan analisis di atas mengenai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

Hubungan Industrial Yogyakarta yang menyatakan Menimbang, bahwa berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa

tidak benar Tergugat telah memberikan upah kepada Penggugat telah sesuai dengan

Upah Minimum Propinsi D.I. Yogyakarta, yang benar bahwa Tergugat telah

memberikan Upah kepada Penggugat berdasarkan bukti P-8 sebesar Rp 625.000,-

terdiri dari Gaji Pokok Rp 500.000,- + Uang makan Rp 125.000,- berarti masih

dibawah Upah Minimum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tahun 2011 yang

ditetapkan sebesar Rp 808.000,- per-bulan, bahwa mengingat Peraturan Menteri

Tenaga Kerja Nomor :

PER-04/MEN/1994 Tanggal 16 September 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya

Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan; Pasal 3 ayat (1) menyatakan : “Besarnya THR

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih

sebesar 1 (satu) bulan upah;

b. dst; Pasal 3 ayat (2) menyatakan : “ Upah satu bulan sebagaiman dimaksud dalam

ayat (1) adalah Upah Pokok ditambah Tunjangan Tetap”. Di kasus ini penulis juga

melihat bahwa penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk kerja

sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan

November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji

kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan

demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat

sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.

Berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim berkesimpulan karena Tergugat

tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana dipersyaratkan Pasal 161 dan pasal 168

Undang undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka untuk keadilan

dan kemanfaatan bagi Pekerja dan keluarganya yang membutuhkan perlindungan,

maka konsekuensinya Tergugat sebagai pengusaha berkewajiban memberikan

kompensasi pesangon 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2) dan Uang penghargaan masa

kerja 1 x berdasarkan ketentua pasal 156 ayat (3) dan uang Penggantian hak

berdasarkan pasal 156 ayat (4). Hal demikian sudah tentu pertimbangan hukum dari

Majelis Hakim tingkat I sudah tepat dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Majelis

Hakim juga memberikan tanggapan untuk tidak menanggapi posita penggugat tentang

upah proses karena penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk

kerja sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan

November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji

kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan

demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat

sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.

Sehingga penulis setuju bahwa atas pertimbangan hakim diputusan ini tidak perlu

ada upah proses karena sudah jelas penggugat tidak pernah lagi bekerja di hotel ogh

doni Jogja selaku tergugat dan Penggugat dan tergugat sama-sama sudah tidak

melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.