Upload
vuongnguyet
View
224
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
27
BAB II
PENGATURAN POLA KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN ANTARAPERUSAHAAN PERKEBUNAN DENGAN MASYARAKAT
A. Tinjauan Umum Pola Kemitraan Perkebunan
1. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Pola Kemitraan
Kemitraan usaha merupakan salah satu upaya pemerintah untuk tercapainya
pembangunan pertanian modern yang berorientasi agribisnis dalam bidang
perkebunan khususnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satunya dengan
melakukan upaya kemitraan usaha antara usaha besar dengan usaha kecil dalam
berbagai pola hubungan. Pola hubungan kemitraan ini ditujukan agar pengusaha kecil
dapat lebih aktif berperan bersama-sama dengan pengusaha besar, hal ini juga
difaktori bahwa usaha kecil merupakan bagian yang integral dari dunia usaha
nasional dan mempunyai eksistensi, potensi, peranan yang sangat penting dan
strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi khususnya.
Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan
usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan,
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
1997 tentang Kemitraan, mendefinisikan kemitraan adalah kerjasama usaha antara
Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai
27
Universitas Sumatera Utara
28
pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 peran pemerintah
dalam mengatur pola kemitraan pengusaha besar, menengah dan kecil tertuang dalam
ketentuan umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 yang
menyebutkan tentang: 27
“Kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan
usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh
usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”.
Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas, mengandung makna
bahwa tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing dan
membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga
mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan kesejahteraan
bersama. Selanjutnya dari definisi tersebut dapat diketahui unsur-unsur penting dari
kemitraan, yaitu:28
1. Kerjasama usaha, yang didasari oleh kesejajaran kedudukan atau mempunyai
derajat yang sama bagi kedua pihak yang bermitra, tidak ada pihak yang
dirugikan dalam kemitraan dengan tujuan bersama untuk meningkatkan
27 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1Ayat 8.28 Ian Linton, Kemitraan Meraih Keuntungan Bersama, (Jakarta : Hailarang, 1997), hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
29
keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usaha tanpa saling
mengeksploitasi satu sama lain serta saling berkembangnya rasa saling
percaya diantara mereka.
2. Antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil, diharapkan
usaha besar atau menengah dapat bekerjasama saling menguntungkan dengan
pelaku ekonomi lain (usaha kecil) untuk mencapai kesejahteraan bersama.
3. Pembinaan dan pengembangan, yang dilakukan oleh usaha besar atau usaha
menengah terhadap usaha kecil, yang dapat berupa pembinaan mutu produksi,
peningkatan kemampuan SDM, pembinaan manajemen produksi, dan lain-
lain.
4. Prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan,
yang akan terjalin karena para mitra akan dan saling mengenal posisi
keunggulan dan kelemahan masing-masing yang akan berdampak pada
efisiensi dan turunya biaya produksi. Karena kemitraan didasarkan pada
prinsip win-win solution partnership, maka para mitra akan mempunyai posisi
tawar yang akan setara berdasarkan peran masing-masing. Ciri dari kemitraan
adalah kesejajaran kedudukan, tidak ada pihak yang dirugikan dan bertujuan
untuk meningkatkan keuntungan bersama melalui kerjasama tanpa saling
mengeksploitasi satu dan yang lain dan tumbuhnya rasa saling percaya
diantara mereka.
Selanjutnya Ian Linton mengartikan kemitraan sebagai sebuah cara melakukan
bisnis dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan
Universitas Sumatera Utara
30
bisnis bersama.29 Berdasarkan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan
dapat didasarkan atas saling memperkuat.
Mengenai pengertian kemitraan secara umum kemitraan secara umum
perkebunan diartikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu
pada tanah atau media lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengelola dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.30
Dalam pedoman pola hubungan kemitraan, mitra dapat bertindak sebagai
perusahaan inti atau perusahaan pembina atau perusahaan pengelola atau perusahaan
penghela, sedangkan plasma disini adalah masyarakat sebagai petani.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil memuat
pengertian tentang kemitraan yaitu:
“Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau
dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha
menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”.
Pengertian tentang kemitraan ini juga dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Dari pengertian tentang kemitraan ini ada
beberapa unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu:
29 Ibid30 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Pasal 1
Ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
31
1) Kemitraan merupakan kerjasama usaha.
2) Pihak-pihak adalah usaha skala kecil dengan usaha skala menengah dan usaha
skala besar.
3) Kemitraan tersebut harus disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh
usaha yang lebih besar.
4) Prinsip-prinsip yang digunakan dalam kemitraan adalah saling
menguntungkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Konsep kemitraan tersebut secara lebih rinci diuraikan dalam Pasal 27
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, disebutkan bahwa kemitraan dapat
dilaksanakan dengan beberapa bentuk antara lain: 31
1. Inti-plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha
menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha
kecil yang menjadi plasma dalam penyediaan lahan, penyediaan sarana
produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, produksi,
perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi
peningkatan efisiensi dan produktifitas usaha. Program inti-plasma ini,
diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pihak usaha kecil sebagai pihak
yang mendapat bantuan untuk dapat mengembangkan usahanya, maupun
pihak usaha besar yang mempunyai tanggung jawab sosial untuk
mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha dalam jangka panjang.
31 Op.cit, Pasal. 27.
Universitas Sumatera Utara
32
2. Sub kontraktor adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara
usaha besar dengan usaha kecil/menengah, di mana usaha besar sebagai
perusahaan induk (parent firm) meminta kepada usaha kecil/menengah
(selaku subkontraktor) untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan
(komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk.
3. Dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha
menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama
pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha
kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha
besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan.
4. Waralaba (franchise) adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan
antara usaha besar (franchisor) dengan usaha kecil (franchises), di mana
franchisee diberikan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri khas
usaha, dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak
franchisor dalam rangka penyediaan atau penjualan barang dan atau jasa.
5. Keagenan merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak principal
memproduksi/memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak
sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk
yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.
6. Bentuk-bentuk lain diluar pola sebagaimana yang tertulis di atas, yang saat ini
sudah berkembang tetapi belum dibakukan atau pola-pola baru yang timbul
dimasa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
33
Kemitraan sebagaimana tersebut di atas juga telah dimuat kembali dalam
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah yang menyebutkan: 32
Kemitraan dilaksanakan dengan pola:
a. Inti-plasma;
b. Subkontrak;
c. Waralaba;
d. Perdagangan umum;
e. Distribusi dan keagenan; dan
f. Bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerjasama operasional,
usaha patungan (joint venture), dan peyumberluaran (outsourching).
Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
juga menerangkan mengenai kemitraan usaha perkebunan dengan polanya dapat
berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengeolaan dan
pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham, dan jasa
pendukung lainnya.
Bentuk perjanjian kemitraan inti plasma ini adalah tertulis. Sesuai dengan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan Pasal 23 Ayat (2) sebagai syarat formal yang
32 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah, Pasal 26.
Universitas Sumatera Utara
34
mengesampingkan prinsip konsensualitas yang dianut dalam Pasal 1338 Buku ke III
KUH Perdata.
Pada dasarnya, kemitraan merupakan suatu bentuk kerjasama yang dilakukan
antara satu pihak/ lebih, dengan satu pihak/lebih lainnya dalam memenuhi kebutuhan
ataupu keperluan masing-masing pihak. Suatu pekerjaan yang dilakukan sendiri-
sendiri oleh masing-masing pihak akan sangat sulit diselesaikan jika ada beberapa
hambatan yang dihadapi. Kebutuhan saling berkerjasama dan saling melengkapi
sebagai makhluk sosial (zoon politikon) apabila dilakukan secara bersama-sama tentu
akan menghasilkan nilai maksimal. Begitu pula dalam kemitraan usaha perkebunan
antara perusahaan mitra dengan masyarakat sebagai kelompok mitra akan mempunyai
keuntungan tersendiri pada masing-masing pihak yang tentunya akan memperkuat
bidang usaha perkebunan dengan meingkatkan profit bagi perusahaan, serta akan
membentuk pondasi dasar ekonomi yang kuat bagi masyarakat dilain pihak.
2. Dasar Hukum Pola Kemitraan di bidang Perkebunan
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 melaksanakan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat
adil dan makmur yang merata. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut perlu
menyusun langkah-langkah strategis baik dalam bentuk mekanisme pembentukan
program yang akuntabel serta penyusunan perangkat regulasi yang dapat menampung
kebutuhan semua stakeholders.
Perangkat regulasi merupakan aspek terpenting sebagai dasar pelaksanaan
suatu tindakan pemerintah dalam menyusun program-program yang efektif dan
Universitas Sumatera Utara
35
efisien. Pembentukan regulasi di bidang perkebunan dalam hal kemitraan usaha
adalah salah satu upaya Pemerintah dalam menyusun langkah strategis guna
memberikan pedoman dalam pelaksanaan kemitraan dapat berjalan sesuai harapan.
Selain itu, juga sebagai perlindungan hukum secara preventif bagi para pihak yang
akan mengadakan kerja sama kemitraan.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
merupakan awal mula munculnya program pemerintah terhadap kemitraan yang
bertujuan untuk membangkitkan usaha-usaha kecil yang dimiliki masyarakat. Pada
Tahun 2004, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan yang juga memberikan pengaturan terhadap kemitraan usaha
perkebunan. Selanjutnya sebagai aturan pelaksananya diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun1997 tentang Kemitraan, yang kemudian secara lebih
rinci diatur dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97
tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 26/Permentan/OT.210/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Selanjutnya sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian
yang semakin dinasmis dan global dibentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
3. Tujuan dan Manfaat Pola Kemitraan
Dalam landasan filosofis, kebijakan pemerintah di bidang kemitraan yang
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
Universitas Sumatera Utara
36
adalah untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri
dan andal sebagai usaha bersama sebagai asas kekeluargaan.
Pada tahun 1970-an peran pemerintah terhadap pengembangan perkebunan
rakyat semakin meningkat. Dalam kurun waktu tersebut program pemerintah
diarahkan pada usaha itensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi pertanian.
Pelaksanaan program pemerintah tersebut dilaksanakan dengan dua pendekatan yaitu
pendekatan partial dan integreted. Pendekatan partial adalah bantuan yang diberikan
pada perkebunan dalam bentuk penyediaan sebagian dari faktor produksi yang
umumnya bahan tanaman dan pembinaan. Sedangkan pendekatan integreted adalah
pemberian seluruh faktor produksi sampai tahap pemasarannya. Pelaksana dengan
pendekatan integreted adalah dalam bentuk pola UPP (Unit Pelaksana Proyek) dan
pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat).33
Menurut Hafsah dalam Junaidi, pada dasarnya maksud dan tujuan kemitraan
adalah “win-win solution parnership”. Kesadaran saling menguntungkan tidak berarti
harus saling memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang dipentingkan
adalah posisi tawar menawar yang setara berdasarkan ketentuan masing-masing.
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui kemitraan adalah: 34
1. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan menengah
Untuk menunjang meningkatnya pendapatan masyarakat khusus bagi usaha
kecil dan menengah diperlukan upaya yang secara menyeluruh, optimal, dan
33 Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Edisi III (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm.243.34 Junaidi, “Kajian Pelaksanaan Kemitraan antara Petani Paprika HIdroponik dengan PT
Saung Mirwan”, (Institut Pertanian Bogor, Bogor. 2000).
Universitas Sumatera Utara
37
berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian
kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-
luasnya melalui kemitraan usaha, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran,
dan potensi usaha kecil dan menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan, lapangan kerja, dan
pengentasan kemiskinan.
2. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan
Dalam pra pelaksanaan kemitraan, pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin
diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Harapan adanya peningkatan nilai
tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal
dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non
ekonomi seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan
kepuasan tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dan alamiah dari adanya
kemitraan. Hal tersebut pula harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk
memanfaatkan keinginan tersebut dan untuk memperkuat keunggulan-keunggulan
yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku
yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar.
3. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil
Tujuan pokok setiap tahap pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf
hidup, mencerdaskan, mensejahterakan seluruh rakyat secara adil dan merata serta
meletakkan landasan yang kuat bagii pembangunan tahap berikutnya. Pembangunan
ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk
Universitas Sumatera Utara
38
meningkat dalam jangka panjang. Pembangunan pedesaan merupakan bagian dari
pembangunan nasional guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, dengan
salah satu caranya adalah mengadakan kemitraan usaha yang dapat dilakukan oleh
masyarakat dengan pengusaha besar. Disamping itu strategi pembangunan selain
untuk meningkatkan pertumbuhan juga harus memperhatikan pemerataan hasil-hasil
pembangunan, yang didalamnya termasuk pembangunan dibidang pertanian dengan
sub sektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam pemberdayaan
ekonomi rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi angka
kemiskinan.
4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari tingkat pedesaan, salah satunya
dengan cara melakukan upaya kemitraan usaha antara usaha besar dengan usaha kecil
dalam berbagai pola hubungan. Pola hubungan kemitraan ini ditujukan agar
pengusaha kecil dapat lebih aktif berperan bersama-sama dengan pengusaha besar,
oleh karenanya bagaimanapun juga usaha kecil merupakan bagian yang integral dari
dunia usaha nasional dan mempunyai eksistensi, potensi, peranan yang sangat penting
dan strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi pada khususnya.
5. Memperluas kesempatan kerja
Dalam rangka mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, pemerintah
terus berusaha untuk membuka sebesar-besarnya lapangan kerja baru. Salah satu
usaha yang ditempuh untuk memperluas lapangan kerja adalah dengan memberikan
peluang bagi pengusaha besar dan pengusaha kecil untuk melakukan kerja sama
Universitas Sumatera Utara
39
dengan bentuk kemitraan dengan prinsip saling memerlukan. Pengusaha besar yang
cenderung mempunyai permodalan dan ketersediaan sarana dan prasarana usaha yang
memadai membutuhkan tenaga sumber daya manusia untuk memproduksi usahanya.
Dengan adanya kerjasama yang demikian masyarakat yang pada dasarnya hanya
memiliki kemampuan dalam hal jasa tenaga kerja, setidaknya mampu ditampung oleh
pengusaha besar dimaksud.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dijelaskan
bahwa kemitraan usaha pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan,
kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra,
peningkatan skala usaha dalam rangka menumbuhkan dan meingkatkan kemampuan
usaha kelompok mitra yang mandiri.
Menurut Mubyarto kebijaksanaan pertanian adalah “serangkaian kegiatan
yang terus, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan
tertentu”. Adapun kebijaksanaan di Indonesia adalah untuk memajukan pertanian,
mengusahakan agar pertanian lebih produktif sehingga produksi dan efisiensi
produksi naik.35
Menurut Supeno, tujuan kemitraan dibedakan menurut pendekatan kultural
dan struktural. Berdasarkan pendekatan kultural, tujuan kemitraan adalah agar mitra
usaha dapat menerima dan mengadaptasi nilai-nilai baru dalam berusaha, seperti
perluasan wawasan, prakarsa dan kreatifitas berani mengambil resiko, etos kerja,
35 Ibid
Universitas Sumatera Utara
40
kemampuan aspek-aspek manajerial, berkerja atas dasar perencanaan, dan
berwawasan ke depan. Adapun tujuan kemitraan berdasarkan pendekatan struktural
adalah: 36
1. Saling mendukung, saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan antara usaha kecil dan usaha besar melalui ikatan kerjasama
kedepan dan kebelakang.
2. Menciptakan nilai tambah efisiensi dan produktifitas usaha bagi kedua belah
pihak yang akan memperkuat ekonomi dan industri nasional sehingga menjadi
tulang punggung pembangunan dan tatanan dunia usaha.
3. Menciptakan dan meningkatkan alih pengetahuan, keterampilan, manajemen, dan
teknologi sehingga menjadi bekal masyarakat untuk bisa turut berperan sebagai
pemain yang dominan di pasar global.
4. Mengatasi kesenjangan sosial yang selama ini merupakan masalah yang sulit.
B. Perjanjian Pola Kemitraan Usaha berdasarkan Keputusan MenteriPertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman KemitraanUsaha Pertanian.
1. Perjanjian pada Umumnya
Beberapa definisi perjanjian atau persetujuan itu sendiri menurut beberapa ahli
adalah:
Subekti, mengatakan: 37
36 Ubaidillah, “Dampak Pelaksanaan Kemitraan Pendapatan Petani Mitra”, FakultasPertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2012.
37 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1984), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
41
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal”.
Menurut Wirjono Prodjodikoro adalah: 38
“Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara
dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu”.
Sedangkan Pasal 1313 KUH Perdata memberikan rumusan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Rumusan perjanjian atau persetujuan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal
1313 KUH Perdata tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan
(perjanjian yang merupakan salah satu sumber dari perikatan, disamping sumber
lainnya yaitu undang-undang). Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 1313 KUH
Perdata tersebut di atas, maka dapat ditentukan dalam undang-undang, maka
perjanjian tersebut adalah mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang, artinya
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya, karena pada
asasnya setiap perjanjian harus ditepati.
Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yang harus ditaati bagi
mereka yang membuat perjanjian, yaitu:39
38 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Bale, 1980), hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
42
1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi), yaitu sepakat
mereka mengikatkan diri.
2. Asas konsensualisme, yaitu setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.
3. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), yaitu seseorang yang mengadakan
perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua
pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya.
4. Asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian tapi tidak
hanya terbatas pada apa yang diperjanjikannya, akan tetapi juga terhadap
kebiasaan, kepatutan dan moral.
5. Asas persamaan hukum, yaitu menempatkan para pihak di dalam persamaan
derajat, tidak ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan
lain-lain.
6. Asas keseimbangan, yaitu menghendaki kedua pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian itu.
7. Asas kepastian hukum, yaitu perjanjian sebagai suatu figur hukum harus
mengandung kepastian hukum yang dilihat dari kekuatan mengikat perjanjian
itu yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak.
39 Mariam D. Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti,2001), hlm. 82-89.
Universitas Sumatera Utara
43
8. Asas moral, yaitu seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela
(moral), yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
9. Asas kepatutan, yaitu melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan
juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
10. Asas kebiasaan, yaitu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara
tegas diatur, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim
diikuti.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata telah ditentukan untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) persyaratan, yaitu:40
1. Sepakat mereka yang mengikat diri;
Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persertujuan kehendak
antara para pihak dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya
atau kesepakatannya apabila ia memang menghendaki apa yang ia sepakati. Sepakat
sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara
pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (acceptetie).
Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi
merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian.
Disamping itu, kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, yaitu:
1. Secara lisan
40 Ibid, hlm. 79-82.
Universitas Sumatera Utara
44
2. Tertulis
3. Dengan tanda
4. Dengan symbol
5. Dengan diam-diam
Dengan demikian secara formal suatu pernyataan kesepakatan para pihak
dalam suatu perjanjian tertulis cukup dengan pembubuhan tanda tangan pada
perjanjian tersebut.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Kecakapan para pihak dalam membuat perikatan pada dasarnya adalah
sebagaimana bunyi Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu sudah dewasa (jo. Pasal 330 KUH
Perdata, umur 21 tahun ke atas), dan sedang tidak berasa di bawah pengampunan (jo.
Pasal 433 KUH Perdata). Namun selain itu juga memerlukan ketentuan-ketentuan
tertentu yaitu mengenai orang yang berhak atau memiliki kapasitas untuk membuat
perjanjian. Misalnya suatu perseroan terbatas, maka pihak yang memiliki kapasitas
untuk membuat perjanjian adalah Direksi dari Perseroan Terbatas tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
3. Suatu hal tertentu;
Suatu perjanjian harus memiliki suatu obyek tertentu. Pada Pasal 1332 KUH
Perdata menerangkan bahwa barang yang dapat dijadikan objek perjanjian saja yang
dapat diperdagangkan. Kemudian pada Pasal 1333 KUH Perdata, mempertegas apa
yang dimaksud dengan suatu hal tertentu, yakni barang yang sudah ditentukan
Universitas Sumatera Utara
45
jenisnya, termasuk juga barang yang dapat ditentukan atau dihitung kemudian,
walaupun pada saat perjanjian belum ditentukan.
4. Sebab yang halal;
Dengan istilah secara sah pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa
pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua
persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata)
adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Disini tersimpul
realisasi asas kepastian hukum. Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menunjukkan
kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuansinya perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338
Ayat (3) KUH Perdata, dimana undang-undang memberikan perlindungan kepada
debitur, sehingga kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi seimbang. Hal ini
merupakan realisasi dari asas keseimbangan.
Syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai hak dan
kewajiban bagi para pihak dan atau pihak ketiga, yang meliputi subyek dan obyek
perjanjian. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya, sedangkan syarat yang
ketiga dan keempat menyangkut obyeknya. Suatu perjanjian yang mengandung cacat
pada subyeknya, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan suatu perjanjian
yang mengandung cacat pada obyeknya, maka perjanjian tersebut adalah batal demi
hukum.
Universitas Sumatera Utara
46
Lebih jauh hubungan kemitraan antara perusahaan inti dan plasma dituangkan
dalam suatu perjanjian tertulis. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 29
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyebutkan: 41
“Hubungan kemitraan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang
sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan lingkup kegiatan usaha kemitraan,
hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pembinaan dan
pengembangan serta jangka waktu dan penyelesaian perselisihan”.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, pada
Penjelasan Pasal 18 diuraikan lebih jauh mengenai perjanjian kemitraan tersebut.
Disebutkan bahwa perjanjian tersebut berbentuk tertulis, dalam bahasa Indonesia,
atau bahasa lain, dapat dibawah tangan atau dengan akta notaris, dan sekurang-
kurangnya memuat:
1. Nama
2. Tempat kedudukan masing-masing pihak
3. Bentuk dan lingkup usaha yang dimitrakan
4. Pola kemitraan yang digunakan
5. Hak dan kewajiban masing-masing pihak
6. Jangka waktu berlakunya kemitraan
7. Cara pembayaran
8. Bentuk pembinaan yang diberikan oleh usaha besar dan usaha menengah
9. Cara penyelesaian perselisihan
41 Op.cit, Pasal 29.
Universitas Sumatera Utara
47
Kemudian Pasal 19 disebutkan bahwa menteri atau menteri teknis
memberikan bimbingan atau bantuan lain yang diperlukan usaha kecil bagi
terselenggaranya kemitraan. Dalam penjelasan Pasal 19 disebutkan bahwa bimbingan
dan bantuan tersebut meliputi antara lain penyusunan perjanjian dan persyaratannya,
tetapi dalam kenyataannya tidak ada bimbingan dalam penyusunan perjanjian dan
persyaratannya.
Pola kemitraan antara perusahaan inti dan plasma biasanya diikat dalam suatu
perjanjian standar yang dibuat dan dipersiapkan terlebih dulu oleh perusahaan inti.
Sedangkan secara prinsip suatu perjanjian terjadi berdasarkan asas kebebasan
berkontrak, tetapi dalam perkembangan selanjutnya ternyata dapat mendatangkan
ketidakadilan. Karena prinsip kebebasan berkontrak ini hanya dapat mencapai
tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin apabila para pihak
memiliki posisi tawar yang seimbang. Prinsip kebebasan berkontrak sendiri
diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu: 42
1. Kebebasan menentukan isi kontrak
2. Kebebasan menentukan bentuk kontrak
3. Kontrak mengikat sebagai undang-undang
4. Aturan memaksa (mandatory rules) sebagai perkecualian, dan
5. Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT yang harus
diperhatikan dalam penafsiran kontrak.
42 Mariam D. Barulzaman. Op. cit. hlm 160-164.
Universitas Sumatera Utara
48
Selanjutnya apakah pemberlakuan perjanjian standar tidak merupakan
pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak, untuk hal tersebut harus merujuk
kepada doktrin dan yurisprudensi yang menjabarkan kebebasan para pihak untuk
memilih hukum mana yang berlaku, tidak berarti bahwa pilihan boleh dilakukan
secara sewenang-wenang karena terdapat berbagai pembatasan, yaitu: 43
1. Sepanjang tidak melanggar kepentingan umum;
2. Tidak boleh menjadi suatu penyelundupan hukum; dan
3. Hanya boleh dilangsungkan berkenaan dengan bidang hukum perjanjian.
Asas kebebasaan berkontrak atau dikenal dengan istilah freedom of contract,
liberty of contract atau party autonomy adalah merupakan salah satu asas terpenting
di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
pancaran hak asasi manusia. Sedangkan ruang lingkup dari asas kebebasan
berkontrak adalah meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi
perjanjian yang ingin mereka buat serta adanya anggapan umum bahwa menurut
hukum seseorang adalah tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian yang
mengandung pengertian bahwa asas kebebasan berkontrak adalah memberikan
kebebasan bagai para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin membuat
perjanjian.
Ide dasar yang melandasi asas kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap
individu dapat membuat perjanjian dalam arti seluas-luasnya, tanpa campur tangan
43 BM Kunjtoro Jakti, Pengaturan Perdagangan International Pengalaman Indonesia DalamPraktek, dalam Jual Beli Barang secara International, (Jakarta: Elips), hlm. 99.
Universitas Sumatera Utara
49
dari pihak luar. Dengan demikian Hukum ataupun Negara tidak dapat campur tangan
terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Tetapi dalam perkembangannya,
kebebasan seperti tersebut di atas akhirnya bukan tanpa batas. Pengadilan juga
kemudian berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak memang tidak dapat
dibiarkan bekerja tanpa pembatasan.
Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak yang
akan melakukan perjanjian, akan tetapi perlu diawasi pemerintah sebagai pengemban
kepentingan umum yang menjaga keseimbangan kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan Hukum Perjanjian ke bidang Hukum
Publik, dengan campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan Hukum
Perjanjian.
Di Indonesia asas kebebasan berkontrak dapat ditemukan dalam KUH Perdata
pada Pasal 1338 Ayat (1), yang menyebutkan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Sedangkan asas kebebasan berkontrak diartikan, “Suatu asas, bahwa setiap
orang yang hidup dalam masyarakat boleh membuat perjanjian yang dianggap perlu
olehnya.”
Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak, menurut hukum perjanjian
Indonesia adalah sebagai berikut:44
44 Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PradnyaParamita, 1961, hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
50
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian (termasuk membuat
perjanjian dengan klausul-klausul yang direvisi dalam suatu perjanjian
standar).
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan
dibuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan,
kesusilaan dan kepentingan umum.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang, kepatutan, kesusilaan dan kepentingan umum.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian dengan memperhatikan
formalitas yang ditentukan dalam undang-undang.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang
dikeluarkan oleh pemerintah guna melindungi pihak yang posisinya lebih
lemah dalam rangka mencapai negara kesejahteraan.
Sedangkan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak dalam
KUHPerdata dijumpai dalam hal terpenuhinya tiga alasan yang dapat menyebabkan
suatu perjanjian tidak lagi mengikat pihak-pihak yang membuatnya, yaitu:
1. dikarenakan perjanjian yang disepakati dengan adanya paksaan (dwang)
2. kekhilafan (dwaling)
3. dan penipuan (bedrog)
Universitas Sumatera Utara
51
Ketentuan tersebut pada hakikatnya dimaksudkan oleh undang-undang
sebagai pembatasan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Di dalam hukum
perjanjian tersebut, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu
memelihara keseimbangan ini tetap perlu dipertahankan, yaitu “pengembangan
kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian hidup lahir dan batin
yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Di dalam
perkembangannya, asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit jika dilihat dari
beberapa segi, yaitu: 45
a. dari segi kepentingan umum
b. dari segi perjanjian baku (standard)
c. dari segi perjanjian dengan pemerintah.
2. Latar Belakang Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/KPTS/OT.210/10/97
tentang Pedoman Kemitraan Usaha Perkebunan
Indonesia sebagai negara agraris memiliki arti penting dalam bidang
perkebunan untuk pembangunan nasional. Selain mampu menciptakan lapangan kerja
yang mempunyai arah pada kesejahteraan rakyat, juga sebagai sumber perolehan
devisa negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang perkebunan sangatlah
diperlukan dalam menata lahan-lahan perkebunan agar dapat menjadi peluang
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
45 Mariam D. Barulzaman. Op.cit. hlm. 87
Universitas Sumatera Utara
52
Kemitraan adalah solusi terbaik untuk membangun harmonisasi hubungan
yang saling menguntungkan, khususnya antara perusahaan yanng bergerak di bidang
perkebunan dengan masyarakat disekitarnya. Untuk itu dibutuhkan campur tangan
pemerintah dalam upaya peningkatan produktifitas kelapa sawit dan penggunaan
teknologi yang tepat melalui pola kemitraan antara, masyarakat pemerintah dan
investor.
Sesuai dengan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan
Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan program
transmigrasi dimana dinyatakan luas lahan yang disediakan untuk masing-masing
peserta adalah :
1. Lahan kebun plasma adalah 2 Ha; dan
2. Lahan Perkarangan, termasuk tapak perumahan adalah 0,5 Ha.
Selanjutnya, pada tahun 1998 Instruksi Presiden dimaksud tidak diberlakukan
lagi dan diganti dengan pola KKPA yang didasarkan atas Keputusan Bersama
Menteri Pertanian, Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor
73/kpts/KB.510/2/1998 dan Nomor 01/SKB/M/11/98. Seiring perkembangan dunia
investasi di bidang perkebunan, diterbitkanlah Peraturan Menteri Pertanian Nomor
33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Program Revitalisasi Perkebunan.
Pada tahun 1997, sebagai aturan pelaksana Peraturan Pemerintah Tahun 1997
tentang Kemitraan, terbit Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Dalam
substansi Keputusan tersebut dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf a, menerangkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
53
pola inti-plasma merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan
perusahaan mitra, yang didalamnya perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan
kelompok mitra sebagai plasma.
3. Hubungan Hukum antara Perusahaan Inti dengan Masyarakat sebagai Petani
Plasma Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan tentang Kemitraan
Dalam hubungan pola kemitraan, pola yang paling sederhana adalah
pengembangan bisnis biasa ditingkatkan menjadi hubungan bisnis dengan adanya
ikatan tanggung jawab masing-masing pihak yang bermitra dalam mewujudkan
kemitraan usaha yang membutuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat.
Hubungan kemitraan yang dilaksanakan antara perusahaan inti dan petani adalah
dengan pola inti plasma.
Pola inti plasma ini di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil disebutkan sebagai berikut:
“Inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usahamenengah atau usaha besar yang di dalamnya usaha menengah atau usahabesar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan intimelaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbinganteknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi”.
Secara garis besarnya, perusahaan besar mempunyai tanggung jawab terhadap
pengusaha kecil mitranya dalam memberikan bantuan dan pembinaan mulai dari
sarana produksi, bimbingan teknis sampai dengan pemasaran hasil produksi. Dalam
hubungan kemitraan antara perusahaan inti dengan Petani plasma ini, perusahaan inti
menyediakan bibit, penanaman, pemeliharaan hingga berlangsungnya kegiatan
pemasaran . Sedangkan pihak petani plasma menyediakan lahan (areal), pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
54
pemeliharaan secara intensif harus diupayakan mendapat pengawasan dan pembinaan
teknis dari perusahaan inti. Perusahaan inti akan menjamin pemasaran dengan
mengambil hasil panen dengan harga dasar yang berpedoman pada satuan harga yang
telah ditentukan dalam perjanjian.
Berdasarkan kondisi yang ada maka dapat dilihat bahwa sebenarnya pola inti
plasma merupakan suatu hubungan kerja sama timbal balik yang saling
menguntungkan. Beberapa keunggulan dari pelaksanaan pola inti plasma adalah
sebagai berikut:46
1. Memberikan keuntungan timbal balik antara perusahaan inti dengan plasma
melalui pembinaan dan penyediaan sarana produksi, pengolahan serta pemasaran
hasil, sehingga tumbuh ketergantungan yang saling menguntungkan.
2. Meningkatkan keberdayaan plasma dalam hal kelembagaan, modal sehingga
pasokan bahan baku kepada perusahaan inti lebih terjamin dalam jumlah dan
kualitas.
3. Usaha skala kecil/gurem yang dibimbing inti mampu memenuhi skala ekonomi,
sehingga usaha kecil ini mampu mencapai efisiensi.
4. Perusahaan inti dapat mengembangkan komoditas, barang produksi yang
mempunyai keunggulan dan mampu bersaing dipasaran.
5. Keberhasilan pola inti-plasma dapat menjadi daya tarik bagi investor lainnya
sehingga dapat menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang baru yang
46 Lala M. Kolopaking, “Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ekonomi SkalaKecil/Gurem”, (Makalah Lokakarya Nasional Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui SinergitasPengembangan Kawasan, Jakarta, 2002).
Universitas Sumatera Utara
55
pada gilirannya membantu pemerataan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat.
Dalam pelaksanaan pola inti plasma tersebut ada beberapa catatan yang perlu
dicermati agar pelaksanaannya dapat berjalan saling menguntungkan baik itu di pihak
inti maupun di pihak plasma, yaitu:47
1. Persiapan dan tahapan awal merupakan proses yang menyita waktu, perhatian,
memerlukan kesabaran dan upaya yang terus menerus, sebelum menjadi pola
yang berhasil dan saling menguntungkan
2. Pola inti plasma ini akan berhasil baik, bila jenis usaha inti sama atau terkait
dengan apa yang dihasilkan plasma
3. Kemitraan akan berhasil baik bila dilaksanakan pada skala ekonomi layak
4. Kemitraan harus didasarkan pada perjanjian kerja yang merinci secara jelas
atas hak-hak dan kewajiban pihak-pihak yang bermitra.
C. Perjanjian Pola Kemitraan berdasarkan Peraturan Menteri PertanianNomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan UsahaPertanian
1. Prinsip-prinsip Kemitraan Usaha dalam Perjanjian Pola Kemitraan
Kemitraan usaha antara beberapa pelaku ekonomi diupayakan dapat
menciptakan sistem ekonomi yang efektif dan efisien. Namun pada kenyataannya,
hubungan kemitraan yang sering terjadi belum sepenuhnya seseuai dengan konsep-
konsep kemitraan, yaitu saling menguntungkan kedua belah pihak. pada umumnya
47 Ibid, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
56
kemitraan hanya menguntungkan pihak perusahaan yang cenderung memiliki posisi
yang kuat dalam hal permodalan, teknologi, dan manajemen yang baik dibanding
petani.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan memberikan pengertian tentang kemitraan
perkebunan, tujuan kemitraan serta asas-asas yang mendasari kemitraan perkebunan.
Kemitraan perkebunan adalah hubungan kerja yang saling menguntungkan,
menghargai, bertanggung jawab, memperkuat dan saling ketergantungan antara
perusahaan perkebunan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar
perkebunan.48
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan,
prinsip-prinsip dasar kemitraan yang terkadung didalamnya adalah sebagai berikut :
a. Prinsip saling memerlukan
Menurut John L. Mariotti, kemitraan merupakan suatu rangkai proses
yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi unggulan
dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan
menghasilkan energi yang akan berdampak pada efisiensi, turunnya biaya
produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar
dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan
menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan kecil. Sebaliknya,
48 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang PedomanPerizinan Usaha Perkebunan, Pasal 1 Ayat 16.
Universitas Sumatera Utara
57
perusahaan yang lebih kecil yang umumnya relatif lemah dalam hal
kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan
sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. 49 Dengan demikian
dalam mengisi kebutuhan dimaksud perlu adanya prinsip saling memerlukan
antara satu/lebih pihak dengan satu/lebih pihak lainnya.
b. Prinsip saling memperkuat
Dalam melaksanakan kemitraan usaha, para pihak yang bekerjasama
tentunya mempunyai suatu tujuan untuk meningkatkan nilai tambah baik
dalam bentuk nilai ekonomi maupun dalam bentuk peningkatan produktifitas
perusahaan. Adanya keinginan tersebut merupakan hal yang logis dari
kemitraan. Keinginan untuk memperkuat beberapa keunggulan yang
dimilikinya pasti akan terukur dengan kemampuan dan kekuatannya dan sulit
untuk dapat dipenuhi dengan maksimal.
Timbulnya motivasi ekonomi tersebut, perlu dibarengi dengan adanya
prinsip saling memperkuat satu dengan lainnya. Kesadaran kekurangan pada
bidang manjemen dan permodalan pada salah satu pihak yang akan bermitra
diperlukan bantuan dari pihak lain dalam melengkapinya yang dilaksanakan
dengan hubungan timbal balik. oleh karana itu, maka para pihak yang
bermitra akan saling mengisi dan saling melengkapi kekurangan yang ada.
c. Prinsip saling menguntungkan
49 John L. Marioti dalam Muhammaad Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha, (Jakarta: PustakaSinar Harapan), hlm. 51
Universitas Sumatera Utara
58
Pada kemitraan usaha, tidak mesti para pihak yang bermitra harus
mempunyai kekuatan yang sama, namun esensinya adalah pada posisi tawar
yang setara berdasarkan peran masing-masing. Berpedoman pada kesejajaran
kedudukan dalam kemitra, maka para pihak yang bermitra tidak akan ada
yang merasa dirugikan dan tereksploitasi, justru akan timbulnya rasa saling
percaya yang pada akhirnya akan meningkatkan keuntungan bagi masing-
masing pihak yang diperoleh melalui pengembangan usaha yang dilakukan.
2. Kemitraan Usaha sebagai Persyaratan Pemberian Izin Usaha Perkebunan
Dalam Pasal 15 huruf m, salah satu persyaratan perizinan usaha perkebunan
adalah membuat pernyataan kesediaan melakukan kemitraan. Beberapa
persyaratan teknik lain yang harus dipenuhi oleh perusahaan perkebunan yang
dimuat dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yaitu, mengenai perizinan yang
harus dimiliki oleh perusahaan perkebunan baik sebagai usaha perkebunan,
budidaya tanaman, dan pengolahan hasil produksi. Izin usaha perkebunan ini
wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan. Sebagai syarat administratif yang
harus dimiliki dan diperoleh dari pemerintah untuk dapat melakukan kegiatan
perkebunan.
Dalam pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan di Kabupaten Aceh Jaya,
Pemerintah Daerah belum membentuk suatu aturan yang secara khusus mengatur
tentang kemitraan usaha baik di bidang perkebunan maupun dibidang lainnya.
Selama ini, dalam pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan pihak Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
59
Daerah hanya merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan dan Peraturan/Keputusan Menteri Pertanian.
Demikian pula terkait mengenai pemberian izin perkebunan di Kabupaten
Aceh Jaya, pihak Pemerintah Daerah juga belum mempunyai regulasi yang
secara detail mengatur mengenai kewajiban untuk melakukan kemitraan usaha
perkebunan sebelum dikeluarkannya izin usaha perkebunan.
Universitas Sumatera Utara