Upload
hakien
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
35
BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD
A . P e r k e m b a n g a n d a n p e m e r o l e h a n B a h a s a
1. Perkembangan Bahasa Anak
Menurut pandangan mutakhir, perkembangan adalah proses yang kontinu dan
kumulatif. Kontinu maksudnya adalah bahwa perkembangan sebagai suatu proses
yang bersifat gradual (tahap demi tahap, berlangsung lamban dan bukan perubahan
drastis di mana tahap berkutnya berbeda sama sekali dari tahap sebelumnya).
Sedangkan yang dimaksud kumulatif ialah bahwa perkembangan merupakan
perubahan kumulatif dari masa konsepsi sampai mati, artinya pembahan yang terjadi
pada fase perkembangan yang satu mempunyai implikasi penting bagi fase
perkembangan berikutnya (Kartadinata dan Dantes, 1997:47-48).
Pendapat di atas, memberikan gambaran bahwa perkembangan merupakan
suatu rangkaian perubahan yang bersifat progresif atau berkelanjutan dan terjadi
secara teratur. Begitu pula halnya dengan perkembangan bahasa anak,
sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa dan para ahli pendidikan bahasa
seperti berikut ini.
Tarigan, (2000:1.8-1.13) mengemukakan bahwa perkembangan bahasa anak
ditandai oleh keseimbangan yang dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang
bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih
kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan-ucapan yang sederhana tak
bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang memfasilitasi alur
perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna.
Uly HaBmah/PK- S3/UPI
36
Pendapat tersebut menggambarkan bahwa perkembangan bahasa sangatibe*";
\\ I dengan kemampuan berbahasa, dan kemampuan berbahasa merupakah'-sf i4k/ ; '
potensi yang dimiliki semua anak manusia yang normal.
Sejalan dengan pendapat di atas, Logan, dkk. (1972: 7-8) mengemukakan
bahwa sebelum anak dapat mewicara secara normal, pada awalnya anak
menghasilkan signal verbal tanpa makna. Datam hal ini, Logan, dkk mengemukakan
rangkaian tahap perkembangan bahasa anak yaitu:
1) the random stage, merupakan tahap pra-linguistik yaitu anak mengoceh (babbles) dan bereksperimen dengan bunyi-bunyi,
2) the jargon stage, bunyi-bunyi yang dihasilkannya menjadi jelas, 3) the echolalia stage, anak mulai menirukan bunyi-bunyi yang dia
dengarnya, 4) the stage expansion, anak mulai belajar mewicara, seperti mengatakan
nama orang, objek, dan kegiatan yang sangat berkaitan dengannya, 5) the stage of structural awareness, anak menjadi senang bermain dengan
kata-kata dan membuat kalimat sendiri sesuai dengan yang dia dengar dari pembicaraan orang lain,
6) the stage of automatic response, anak sudah mampu berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya,
7) the creative stage, pada tahap ini keterampilan berpikirnya baik secara kritis dan secara kreatif meningkat, mereka mampu berpikir dengan bahasa kiasan dan berpikir secara abstrak, mereka senang mengekspresikan dirinya baik melalui mewicara maupun menufis. Dalam hal ini Logan, kk. (1972) menegaskan bahwa perkembangan bahasa anak sekolah dasar berada pada tahap kreatif.
Perkembangan bahasa anak bergerak dari kemampuan berbahasa iisan
menuju kemampuan berbahasa tulis. Artinya kemampuan menyimak dan mewicara
merupakan dasar untuk perkembangan kemampuan membaca dan menulis. Terkait
dengan perkembangan bahasa iisan, Ingram (Tarigan, 2000: 1.13) mengemukakan
bahwa kemampuan anak dalam memahami tuturan muncul lebih awal daripada
kemampuan mengucapkan. Hai ini halnya dengan hasil penelitian Benedict, Crystal,
dan Owens (Tarigan, 2000) terhadap delapan anak, ternyata mereka itu telah
Lefy HaltmahsTK- S3/UPI
37
memahami 20-30 kata sebelum mereka dapat mengucapkan 10 kata. Dalam
pneletian ini juga dikemukakan bahwa kemampuan memahami lebih cepat satu
bulan sebelum anak dapat mengucapkan kata pertamanya. Adapun pada
perkembangan selanjurnya berkaitan dengan kemampuan menyimak pada usia
sekolah, anak sudah mengetahui bahwa inti komunikasi adalah bahwa ia harus
mampu mengerti apa yang dikatakan orang fain.
Seiring dengan berkembangnya kemampuan menyimak, maka berkembang
pula kemampuan mewicara. Perkembangan kemampuan mewicara anak usia
sekolah, sangat ditunjang oleh kondisi meluasnya cakrawala sosial anak-anak, yang
membuat mereka menemukan bahwa mewicara merupakan sarana penting untuk
memperoleh tempat dalam kelompok. Hal ini membuat dorongan yang kuat untuk
mewicara lebih baik.
Beberapa kemajuan yang mereka alami, seperti (1) penambahan kosakata
umum, rata-rata anak kelas satu mengetahui sekitar 20.000 sanpai 24.000 kata-kata
atau 5 sampai 6 persen dan kata-kata dalam kamus standar, dan pada saat duduk di
kelas enam, sebagian besar anak mengetahui sekitar 50.000 kata, (2) pengucapan,
kesalahan dalam pengucapan kata-kata lebih sedikit, sebuah kata baru mungkin
ketika pertama kali digunakan, diucapkan dengan tidak tepat, tetapi setelah
beberapa kali mendengar pengucapan yang benar anak sudah mampu
mengucapkannya dengan benar, (3) pembentukan kalimat, pada usia ini sudah
menguasai hampir semua jenis struktur kalimat, dan secara berangsur-angsur
setelah usia sembilan tahun anak mulai menggunakan kalimat lebih singkat dan
lebih padat (Huriock, 1990: 152). Lebih jelas Dale (Tangan, 1985 : 115 dan 1989 :
Uly HalimaWK- S3/UPJ
38
306) menunjukkan perkembangan kosa kata anak sekolah dasar dalam bagan
sebagai berikut ini.
Bagan 2.1
Perkembangan Kosakata Anak SD Dale (Tangan, 198S;1989)
Bagan di atas menggambarkan penguasaan kosakata yang dimiliki oleh anak
sejak kelas satu sampai dengan kelas enam. Adapun yang dimaksud dengan
penguasaan kosakata adalah seluruh kekayaan kata yang mempunyai arti atau
makna tertentu yang dimiliki oleh seseorang. Perkembangan kosakata mempunyai
peranan yang sangat penting bagi perkembangan kemampuan berbahasa. Dalam
hal ini, kosakata merupakan kata atau kelompok kata yang memiliki makna tertentu,
atau seperangkat leksem termasuk di dalamnya kata tunggal, kata majemuk, dan
idiom Fries (Supranf, 2003: 10). Semakin kaya kosakata yang dimiliki anak, maka
semakin besar pula kemungkinan terampil berbahasa, bahkan kualitas keterampilan
berbahasa seseorang sangat bergantung kepada kualitas dan kuantitas kosakata
yang dimilikinya (Suhendardan Supinah, 1992:103).
Pembendaharaan kata yang dimiliki anak dapat menunjang pemahaman isi
bacaan, begitu pula sebaliknya, melalui membaca berbagai sumber bacaan akan
Ufy Hallmak/PK- S3AJPI
39
menambah pembendaharaan kata pada anak. Sebagaimana kemampuan mewicara,
kemampuan awal dalam membaca mungkin diperoleh melalui interaksi sosial,
seperti melalui kegiatan membacakan yang dilakukan oleh orang tuanya. Pada saat
orang tua membacakan cerita dari buku anak-anak, mungkin dalam buku itu banyak
gambarnya dan berwarna-warni sehingga menarik perhatian anak. Pada awalnya
anak hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada pada buku cerita tersebut, hal
tersebut secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang susunan cerita.
Dalam perkembangan kemampuan membaca ini, Owens (Zuchdi dan Budiasih,
1997: 20) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap perkembangan membaca,
yaitu sebagai berikut.
Pada tahap pramembaca, yaitu anak yang berumur sebelum 6 tahun telah
dapat membedakan huruf dan angka. Kebanyakan mereka telah mengenal nama
mereka jika ditulis. Biasanya, dengan belajar melalui lingkungannya, misalnya tanda-
tanda dan nama dari benda-benda yang dilihatnya, kata-kata yang dikenalnya sedikit
demi sedikit akan lepas dari konteksnya sehingga pada akhirnya anak dapat
mengenal kata-kata tersebut dalam bentuk tulisan.
Pada tahap ke-1 , yaitu sampai dengan kira-kira kelas dua, anak memusatkan
pada kata-kata lepas dalam cerita sederhana. Bertambah umur yaitu antara 7 atau 8
tahun kebanyakan anak telah memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata
dan kata yang diperlukan untuk dapat membaca. Pada tahap ke-2, yaitu kira-kira
ketika berada di kelas tiga dan empat, anak dapat menganalisis kata-kata yang tidak
diketahuinya dengan menggunakan pola tulisan dan kesimpulan yang didasarkan
konteksnya. Pada tahap ke-3, dari kelas empat sampai dengan kelas dua SLTP
Lely HaUmakJPK- S3AJPI
40
tampak ada perkembangan pesat dalam membaca yaitu tekanan membaca tidak lagi
pada pengetahuan tulisan tetapi pada pemahaman.
Adapun berkaitan dengan perkembangan menulis sebagaimana dikemukakan
Owens, terdapat kesejajaran antara perkembangan kemampuan membaca dan
menulis. Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik. demikian
juga sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal keduanya
mewakili simbol tertentu. Akan tetapi, menulis berbeda dengan menggambar, dan
hal ini diketahui oleh anak ketika berumur sekitar tiga tahun.
Dalam perkembangan kemampuan menulis ini, anak-anak mulai dengan
menggambar, kemudian menulis "cakar ayam", barulah membuat bentuk-bentuk
huruf. Mula-mula anak sekolah menulis, meskipun ia tidak mengetahui nama-nama
huruf. Kata-kata yang dikenalnya dengan baik, misalnya namanya sendiri. Langkah
selanjutnya, kemudian anak mencoba menggunakan aturan dalam menulis dengan
mencocokan bunyi dan tulisan. Bunyi-bunyi dalam nama huruf dicocokan dengan
bunyi-bunyi yang didengarnya. Pada mulanya anak hanya memperhatikan huruf
pertama pada setiap kata, huruf-huruf lain dalam setiap kata kurang mendapat
perhatian. Hal ini sama dengan tahap membaca, anak juga hanya memperhatikan
huruf pertamanya.
Berdasarkan pada hal tersebut di atas, apabila anak-anak dihadapkan pada
cerita yang ditulis dengan menggunakan huruf besar ukurannya pada setiap awal
kata pertama setiap paragraf, lebih-lebih jika menggunakan wama-wama yang
mencolok, mereka akan lebih mudah mengenal perbedaan huruf yang satu dengan
yang lainnya. Dengan kata lain kesiapan mereka membaca dan menulis akan terjadi
secara relatif cepat dengan tidak memberatkannya.
Uly HaBmak/PK- S3AJPI
Kemampuan menulis pada anak-anak kelas 1 dan 2 sekolah dasar pada
umumnya belum memperhatikan pembaca, dengan kata lain masih bersifat
egosentris. Akan tetapi kira-kira ketika berada di kelas 3 atau 4 barulah terjadi
perubahan. Mereka mulai memperhatikan reaksi pembaca. Mereka mulai merevisi
dan menyunting tulisannya. Hal ini dipengaruhi oieh pengetahuan sintaktik (tata
kalimat) yang mereka kuasai. Perkembangan selanjutnya, pada umumnya pada
periode usia sekolah terjadi perkembangan kemampuan menggunakan kalimat
dengan lengkap baik secara lisan maupun tertulis. Terjadi pula peningkatan
penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang
bervariasi.
Sejalan dengan gambaran perkembangan bahasa sebagaimana dikemukakan
di atas, dalam perkembangan bahasa anak sekolah khususnya Curran (Hidayat S.,
Kosadi, 2002: 57-58) mengemukakan bahwa perkembangan atau penguasaan
berbahasa seseorang pada umumnya melalui beberapa tahap. Dalam hal ini Curran
membaginya menjadi lima bagian, yaitu (1) embryonic stage, (2) self-assertion stage,
(3) birth stage, (4) reversal stage, dan (5) independent stage.
Tahap pertama adalah embryonic sfage, merupakan tahap ketergantungan
peserta didik terhadap gurunya hampir seratus persen. Pada tahap ini tugas guru
adalah mengurangi atau menghiiangkan perasaan yang dialami peserta didik seperti
ini dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang memadai. Guru harus
memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengungkapkan pengalaman
berbahasa apa saja yang pernah dilakukannya. Dengan mengemukakan
pengalaman apa adanya, perasaan ketergantungan yang tak menentu itu
Ufy HoUmah'PK- S3/UPI
42
diungkapkan untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan yang lainnya sehingga
akan timbul rasa keberanian untuk menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya.
Tahap kedua ialah self-assertion stage, pada tahap ini peserta didik
memperoleh dukungan moral dari rekan-rekan senasibnya untuk bersama-sama
menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya dan lama kelamaan mereka akan
mengembangkan dan menemukan sendiri identitas dirinya. Pada saat inilah peserta
didik sudah mulai memberanikan diri dan sedikit demi sedikit melepaskan dari
ketergantungan pada guru.
Tahap ketiga yaitu birth stage, pada tahap ini peserta didik secara bertahap
mengurangi penggunaan bahasa ibunya. Mereka mulai merasakan kebiasaan
menggunakan bahasa sasaran dalam hal ini bahasa Indonesia atau bahasa lain
yang sedang dipelajari peserta didik sehingga peristiwa semacam ini akan
membangkitkan rasa aman di antara sesama rekan-rekan yang lainnya.
Tahap keempat ialah reversal stage, pada tahap ini hubungan antara guru
dan peserta didik sudah benar-benar terjadi kontak yang memberikan rasa aman,
sudah terjalin rasa saling percaya. Dalam kondisi seperti inilah peserta didik lebih
aktif mencurahkan gagasannya dalam percakapan yang hidup dan lancar sehingga
tidak terasa ada hambatan komunikasi di anatara peserta didik dengan peserta didik
juga dengan gurunya.
Tahap terakhir adalah independent stage, pada tahap ini peserta didik sudah
mampu menguasai semua bahan. Oleh karena itu, peserta didik berusaha untuk
memperluas bahasanya, juga aspek sosial budayanya dari penutur asli atau dari
lingkungan masyarakat sekelilingnya, di tempat peserta didik berada.
hdy Holimok/PK- S3/VPI
43
Uraian di atas, menggambarkan bahwa kemampuan berbahasa itu
berkembang secara bertahap dan sejalan dengan bertambahnya usia, juga seiring
dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosial. (Akhadiah, dkk.1992: 3;
Tarigan, 2000: 1.9). Dari seluruh aspek perkembangan tersebut perkembangan
bahasa selalu dikaitkan dengan perkembangan intelektual atau perkembangan
kognitif. Alasannya, karena bahasa merupakan sarana utama untuk berpikir dan
bernalar. Individu menggunakan bahasa dalam berpikir baik pada saat menyimak,
mewicara, membaca, maupun menulis. Kemampuan menggunakan bahasa tersebut,
tidak bersifat alamiah, melainkan harus dipelajah.
2. Pemerolehan Bahasa Anak
Pengertian perkembangan bahasa dan pemerolehan bahasa sulit dibedakan
secara tegas. Mengingat dalam proses perkembangan bahasa yang sifatnya alami
itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari lingkungan sosialnya. Akan
tetapi walaupun demikian, pada umumnya dapat dibedakan, yang biasanya tekanan
pemerolehan bahasa adalah pada sifat formal bimbingan yang ditenma anak. Hal ini
sebagaimana dikemukakan Pica (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 24) membedakan tiga
konteks pemerolehan bahasa, yaitu pemerolehan bahasa secara alamiah,
pemerolehan bahasa melalui konteks pembelajaran, dan campuran (antara alamiah
dan konteks pembelajaran). Sementara Krashen (Azies dan Alwasiiah, 1996: 23)
membedakan dua kondisi pemerolehan bahasa, yaitu yang dilakukan secara tidak
sadar dan yang dilakukan secara sadar.
Kedua pendapat tersebut pada dasarnya mempunyai pandangan yang sama,
bahwa pemerolehan bahasa dapat dilakukan melalui konteks yang alami atau
Lebf Halimak/PK- S3/UP1
44
secara tidak sadar dan melalui konteks formal atau secara sadar. Proses
pemerolehan bahasa yang dilakukan secara alami atau tidak sadar, yaitu seperti
halnya yang terjadi pada pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) pada anak
kecil. Sedangkan pemerolehan bahasa yang dilakukan secara sadar atau dalam
konteks pembelajaran formal, yaitu seperti halnya yang dilakukan orang dewasa
mempelajari bahasa kedua pada latar formal.
Pemerolehan bahasa secara alami atau yang dilakukan secara tidak sadar,
sebagaimana dikemukakan Krashen dan Terrel (Astika, 1996: 1) pemerolehan
bahasa ialah penguasaan bahasa yang terjadi karena bahasa tersebut digunakan
dalam situasi yang komunikatif dan alami (natural). Proses pemerolehan bahasa
seperti ini dialami oleh anak-anak ketika mereka belajar bahasa pertama (bahasa
ibu). Menurut Tangan, (2000: 11.4) pemerolehan bahasa anak melibatkan dua
keterampilan yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan
kemampuan memahami tuturan orang (ain. Dalam konteks ini, yang dimaksud
dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik
berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan
pembelajaran formal. Dengan kata lain kegiatan pemerolehan bahasa ini ditandai
oleh hal-hal berikut (1) berlangsung dalam situasi informal, tanpa beban, dan di luar
sekolah, (2) pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-
lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus, (3) dilakukan tanpa sadar, dan (4)
dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna
Sedangkan pemerolehan bahasa melalui konteks pembelajaran dan
campuran yaitu antara proses alami dan konteks pembelajaran biasanya merupakan
proses pemerolehan bahasa kedua. Sebagaimana halnya, bahasa Indonesia bagi
hdy HaiimaiuPK- S3/UPI
45
sebagian besar anak-anak Indonesia merupakan bahasa kedua setelah mereka
belajar bahasa ibu (bahasa daerah). Dengan demikian, pemerolehan bahasa
Indonesia bagi sebagian besar anak-anak Indonesia melalui konteks pembelajaran.
Pemerolehan bahasa akan lebih cepa t apabila dilakukan melalui konteks
pembelajaran yang mendekati pemerolehan bahasa secara alami.
Pemerolehan bahasa, baik secara alami maupun melalui proses
pembelajaran pada umumnya memiliki proses dan urutan yang sama. Dalam hal ini.
Tangan (2000: 1.29 - 1.33) mengemukakan bahwa terdapat beberapa strategi
pemerolehan bahasa anak, di antaranya yaitu melalui mengingat, meniru, mengalami
langsung, dan bermain,
a. Mengingat
Mengingat mempunyai peranan yang sangat penting dalam belajar baik
dalam belajar bahasa maupun dalam belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi
yang dilalui anak direkam dalam benaknya. Baik pasa saat mereka menyentuh,
mencerap, mencium, melihat dan mendengar sesuatu, memori anak
menyimpannya. Panca indera ini sangat penting bagi anak dalam membangun
pengetahuan tentang dunianya.
Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan
tentang kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu
yang dia alami. Ingatan itu akan semakin kuat, terutama bila penyebutan akan benda
atau peristiwa tertentu terjadi secara berulang-ulang. Dengan cara ini, anak akan
mengingat kata-kata tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara
mengucapkannya. Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat anak ketika diucapkan
tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau suku kata awal atau akhirnya
LAy HaHmak,<PK- S3/UPI
46
saja. Mal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan alat ucap anak?nrasjhl (
\ -'J >;<.-, 'w s& .T '/ \ L ' _ / ' L . . * » \ ? £ ? fi
berkembang. Dia menyimpan kata yang didengarnya dalam memorinya, ^Ha-pùn?
mencoba mengatakannya. Akan tetapi tingkat r>erkembangannyate|i :^ang betòn
memungkinkan dia melafalkan tuturan sesempurna orang dewasa. Karena itu, dalam
berbahasa biasanya anak dibantu dengan ekspresi, gerak tangan, atau menunjuk
benda-benda tertentu.
b. Meniru
Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar bahasa adalah
peniruan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari strategi
mengingat. Proses peniruan ini tidak berarti anak mengulang kembali apa yang
didengarnya. Tetapi dalam proses menirunya itu terjadi perubahan yang
kemungkinan dapat berupa pengurangan, penambahan, dan penggantian kata atau
pengurutan susunan kata.
Hal tersebut terjadi, karena ada penyebabnya, di antaranya (1) berkaitan
dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta alat ucap, dengan
demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah dikuasainya, dan (2)
berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di satu sisi, secara bertahap, dia
dapat memahami dan menggunakan tuturan yang lebih kompleks. Di sisi lain secara
bersamaan, anak membangun suatu sistem bahasa yang memungkinkan dia
mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak terbatas. Keadaan ini
mendorong anak senang melakukan percobaan dalam berbahasa. Percobaan ini
terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya berpindah pada tingkat yang
lebih kompleks.
Lely Haltmak/PK- S3/UPI
47
Dengan kata lain, sifat peniruan penggunaan bahasa anak cenderung bersifat
dinamis dan kreatif. Oleh karena itu, maka model (orang) yang memberikan
masukan kebahasaan kepada anak sangat mempengaruhi corak bahasa yang
dimiliki anak. Apabila modelnya baik, maka anak pun akan mempelajari versi bahasa
yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik, maka versi bahasa yang
kurang baik inilah yang akan dipelajarinya.
c. Mengalami Langsung
Strategi penting lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertama
yang dipelajarinya adalah berlatih atau praktik berbahasa secara langsung dalam
konteks bahasa yang sesungguhnya. Anak menggunakan bahasa yang dipelajarinya
baik pada waktu berkomunikasi dengan orang lain atau mewicara sendirian. Anak
mengalami langsung kegiatan berbahasa seperti menyimak dan mewicara. Dengan
demikian, berdasarkan model atau respon partner komunikasinya, dia akan dapat
merasakan kewajaran dan ketepatan berbahasanya.
Adapun parktjk berbahasa yang dilaklukan anak, pada dasarnya bukan
karena dorongan orang lain, tetapi karena ia memerlukannya. Kegiatan ini
berlangsung dalam situasi informal, tanpa disadari, dan tanpa beban. Dia pun
melakukan uji coba dalam berbahasa tanpa takut salah. Upaya ini merupakan
sarana untuk mempermantap sistem bahasa yang dipelajarinya. Secara perlahan
dan bertahap, dia mengubah, memperbaiki, dan menyimpulkan aturan bahasa itu
sampai tuturannya dirasa benar dan menyerupai ujaran orang dewasa. Karena itu
pula, kesalahan berbahasa bagi anak merupakan sesuatu yang wajar. Kesalahan itu
menunjukkan adanya proses pemantapan aturan bahasa yang dipelajarinya.
Lely Halimah/FK- S3AJPI
48
d. Bermain
Kegiatan bermain merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan kemampuan berbahasa anak. Sering kali mereka bedaku sebagai
orang dewasa. Apabila kita perhatikan, misalnya beberapa anak perempuan bermain
bersama, ada yang berlaku sebagai anak, bapak, ibu, atau kakak dalam bermain
rumah-rumahan. Bahkan kadang ada yang berperan sebagai penjual dan pembeli
dafam permainan dagang-dagangan atau ada pula yang berperan sebagai guru dan
siswa dalam permainan sekolah-sekolahan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa permainan bagi mereka seolah-olah
berdrama, tanpa disadari, mereka berlatih mewicara dan menyimak. Dengan kata
lain, bermain bagi anak berfungsi sebagai sarana untuk berlatih bahasa. Bahkan
menurut Piaget dan Vigotsky (Roffuddin dan Zuhddi, 1999:38) bermain tidak hanya
berpengaruh pada perkembangan jasmani, tetapi juga kognisi, emosi, sosial, dan
bahasa.
Secara popular bermain menurut Yacub (2000: 11) adalah kegiatan secara
alamiah pada anak, tanpa dipaksa oleh apa dan siapa serta dapat menimbulkan rasa
senang tanpa mengharapkan apa-apa. Oleh karena itu, bermain bagi anak dapat
dimanfaatkan dan diarahkan oleh pendidik ke arah yang menjadi tujuan pendidikan.
Hal ini sangat beralasan, karena banyak teori atau pendapat tentang bermain
mempunyai banyak manfaat bagi perkembangan anak, di antaranya dapat
membangun kepercayaan diri. Dengan demikian, bermain bagi anak merupakan
kebutuhan vital. Untuk itu, berikan kesempatan kepada mereka bermain dan berikan
permainan yang tepat dan baik serta benar, sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan
dan perkembangan pada tahap selanjutnya.
Uly HaUmahWK- S3/UPI
49
Teori pemerolehan bahasa sebagaimana d i kemukakan di atas, tampaknya
sangat penting untuk diketahui oleh guru bahasa. Apalagi bagi guru sekolah dasar,
yang dalam hal ini sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pemerolehan bahasa
dapat melalui mengingat menim, mengalami langsung, dan bermain. Semuanya itu
dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan sesuai dengan
kebutuhan perkembangan usia sekolah dasar.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan dan Pemerolehan Bahasa
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan dan
pemerolehan bahasa, di antaranya menurut Tangan (2000: 1.21); Fisher & Terry
(1982: 69-70) adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a. Faktor Biologis
Frisher & Terry mengemukakan bahwa salah satu pandangan yang
cenderung melihat faktor biologi dalam pemerolehan bahasa adalah Lenneberg,
yang menguraikan dasar-dasar biologis yang memungkinkan manusia menjadi
manusia karena bahasanya. Menurutnya bahasa merupakan proses evolusioner dan
secara genetis sebagai dasar kapasitas berbahasa pada manusia secara turun
temurun. Dengan demikian, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan
kemampuan kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi
alami itu bekerja secara otomatis, Chomsky (Tangan, 2000) menyebutnya sebagai
potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah Piranti
Pemerolehan Bahasa (Language Acquisüion Devices).
LAD adalah struktur mental yang secara internal dimiliki oleh setiap manusia,
la bersifat kodrati atau bawaan (innate) dan terdapat di benak manusia secara
Ldy HaOmok/PK- S3/UPI
•'g
abstrak. Dengan LAD inilah setiap manusia normal mampu sekaligus m
bahasa apa saja berdasarkan lingkungan tempat tinggalnya atau l ingkuYig^nsoSiiS^ .
yang melingkupinya (Suryono, 1987: 233). Adapun perangkat bk>1b^ is j§^3§ :^
menentukan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa ada tiga, yaitu otak
{sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap. Ketiga hal ini memiliki peran yang
mendasar. Alasan yang sangat mendasar, karena gangguan pada salah satu dari
ketiganya akan sangat menghambat pemerolehan bahasa anak.
b. Faktor Lingkungan Sosial
Untuk memperoleh kemampuan berbahasa, seorang anak memerlukan orang
lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk
mendengarkan sesuatu atau menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi, t idak
akan memiliki kemampuan berbahasa. Alasannya, karena bahasa yang diperoleh
anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat dalam
lingkungan yang menggunakan bahasa.
Atas dasar itu, maka menurut Tangan (2000: 1.23) anak memerlukan orang
lain untuk mengirimkan dan menerima tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara
fisik. Anak memerlukan contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan, serta
teman untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang
sesungguhnya. Dengan demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan tumbuh
seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang
menentukan perkembangan dan pemerolehan bahasanya.
Haf yang perlu dibahas, berkaitan dengan proses pemerolehan bahasa dari
lingkungan atau bagaimana lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada
Ufy Halimak/PK- SJAJPI
51
anak dalam proses pemerolehan bahasa, menurut Fisher & Terry; (1982: 72- 75);
Tangan (2000:1.23) di antaranya, melalui berikut ini.
1) Bahasa semang (motheresse), yaitu penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang dewasa lainnya ketika berbicara dengan anak;
2) Parafrase, yaitu penggunaan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda;
3) Menjelaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang dikatakan anak, terutama bila tuturannya tidak lengkap atau tidak sesuai dengan maksudnya;
4) Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks;
5) Menamai (labeling), yaitu mengidentifikasi nama-nama benda, dapat dalam bentuk benda yang sebenarnya atau benda tiruan, gambar, permainan kata, dan sebagainya;
6) Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak;
7) Pemodelan (modeling), yaitu memberikan contoh berbahasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa;
8) Involved and participating, yaitu melibatkan dan mengajak anak berpatisipasi dalam kegiatan berbahasa;
9) Memilih (choosing), yaitu orang tua memilih kata atau kalimat yang dapat dipahami oleh anak.
c. Faktor Inteligensi
Intelektual adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar.
Intelegensi ini bersifat abstrak dan tidak dapat diamati secara langsung. Pemahaman
tentang tingkat intelegensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.
Sesungguhnya, semua anak baik yang bernalar tinggi, sedang, ataupun rendah,
pada umumnya dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses.
Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang
berintelegensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya lebih cepat, lebih banyak, dan
lebih bervariasi khasanah bahasanya daripada anak-anak yang mempunyai
kemampuan bernalar sedang maupun rendah. Dalam hal ini Fisher & Terry
mengemukakan bahwa bahasa merupakan respon intelektual. Sebagaimana dalam
Ldy HalimaWK- S3AJPI
52
pandangan Piaget, bahwa respon intelektual bukan merupakan sesuatu yang
diwariskan. Oleh karena itu, anak mewarisi suatu tendensi atau kecenderungan
untuk mengorganisasikan proses intelektual mereka dan mengadaptasikannya ke
dalam lingkungannya.
d. Faktor Motivasi
Dalam belajar bahasa, seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri.
Mereka belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar,
haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang Goodman; Tompkins & Hoskisson
(Tangan, 2000:1.27). Inilah yang disebut motivasi instrinsik yang berasal dari dalam
diri anak itu sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan komunikasi dengan sekitarnya.
Kebutuhan komunikasi itu ditujukan agar dia dapat dipahami dan memahami guna
mewujudkan kepentingan dirinya. Selain adanya dorongan dari dalam, alasan lain
untuk berbahasa dalam perkembangannya anak merasakan bahwa komunikasi
bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingga anak
pun kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini
memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik, dan inilah yang
dikenal dengan motivasi ekstrinsik.
Faktor-faktor tersebut, apabila dipadankan dengan hasil penelitian para ahli
psikologi, khusunya psikologi perkembangan sejak abad ke xx yang telah melahirkan
berbagai teori perkembangan yang sangat populer dalam dunia pendidikan. Teori
perkembangan yang dimaksud menurut Arbi dan Syahrun, 1992: 56-57) adalah
sebagai berikut ini.
Uly HaUmah/PK- S3AJPI
53
1) Teori Nativisme
Menurut teori ini yang salah seorang tokohnya adalah Scnopenhouer berpendapat
bahwa seorang anak yang lahir ke dunia dilengkapi dengan pembawaan atau
warisan baik atau buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan bagi seorang anak
ditentukan oleh pembawaannya.
2) Teori Empirisme
Salah seorang pakar dari teori ini adalah John Locke, menurutnya bahwa anak
lahir ke dunia bagaikan kertas putih atau tabularasa. Lingkunganlah yang akan
mengukir/menulis kertas putih itu melalui pengalaman-pengalaman empirik. Oleh
karena itu, faktor yang menentukan perkembangan anak adalah lingkungan.
3) Teori Konvergensi
Salah seorang tokoh teori ini adalah William Stem. Menurut teori ini,
perkembangan seorang anak dipengaruhi baik oleh faktor bawaan maupun oleh
faktor lingkungan. Kedua faktor ini sama-sama mempunyai peranan penting bagi
perkembangan anak.
4) Teori Maturasi
Teori ini menekankan bahwa efek usaha belajar tergantung pada tingkat
kedewasaan (maturasi) yang telah dicapai anak. Tidak ada gunanya memaksa
individu melakukan usaha belajar yang sebenarnya jika individu yang
bersangkutan belum matang.
Faktor-faktor tersebut tentunya harus menjadi bahan pertimbangan bagi guru
selama pembelajaran bahasa. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut,
berarti guru memahami dengan baik karakteristik peserta didiknya, dan ini harus
dilakukan oleh guru karena sangat membantu perkembangan dan pemerolehan
Lefy HelimaVPK- SS/VPI
54
bahasa peserta didik. Salah satunya yang sangat penting dari adanya pemahaman
tersebut, guru akan berusaha menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan
kebutuhan perkembangan peserta didiknya.
B. Landasan Teoretis Pembelajaran Bahasa
1. Hakikat Bahasa
Bahasa atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan language berasal dari
bahasa Latin yang berarti "lidah" (sebagai atat ucap). Berdasarkan pada arti kata
tersebut, maka bahasa pada dasarnya merupakan rangkaian bunyi (ujaran) yang
dihasilkan oleh alat ucap yang melambangkan pikiran, perasaan serta sikap
seseorang. Dengan demikian, maka bahasa adalah lambang atau lebih lengkapnya,
menurut Syafi'ie (1089: 73) bahasa adalah suatu sistem lambang/simbul/tanda yang
terdiri dari bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap.
Bahasa sebagai sistem lambang, dalam pemakaiannya, lambang itu
digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku, di antaranya kaidah pembentukan.
Kaidah-kaidah tersebut, di antaranya rangkaian bunyi membentuk gabungan kata,
klausa, dan kalimat. Setiap bahasa pada dasarnya mempunyai sistem kaidah yang
harus dikuasai oleh pemakainya dalam arti bahwa setiap pemakai bahasa harus
mempunyai pengetahuan kaidah-kaidah bahasanya serta mampu merealisasikannya
dalam tuturan pemakaian bahasa pada suatu peristiwa komunikasi tertentu (Safi'ie,
1989: 73; Akhadiah, dkk. 1992: 2).
Bahasa sebagai sistem lambang, menurut Roft'uddin dan Zuhdi (1999: 190)
keberadaannya disebabkan oleh dua alasan, di antaranya yaitu (1) karena manusia
sanggup berpikir secara simbolik, mereka merepresentasikan sesuatu dengan
Uty HoUmah/PK- SSAJP1
55
sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem simbolik, (2) karena
manusia adalah makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana
komunikasi dalam kehidupannya. Komunikasi sosial antarmanusia memiliki peranan
yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahkan menurut Rosdiana
(2003:1.2) komunikasi atau interaksi semakin penting pada saat manusia
membutuhkan eksistensinya diakui. Kegiatan ini membutuhkan alat sarana, atau
media, yaitu bahasa. Oleh karena itu, sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana
atau media.
Bahasa sebagai sistem lambang, pada dasarnya digunakan oieh manusia
untuk kepentingan berkomunikasi atau sebagai alat komunikasi. Sebagai alat
komunikasi, bahasa pada dasarnya mempunyai dua unsur utama, yakni bentuk (arus
ujaran) dan makna (isi). Bentuk merupakan bagian yang dapat diserap oleh panca
indera (melalui mendengar dan membaca). Bagian ini terdiri atas dua unsur yaitu
unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental secara hierarkis dari
segmen yang paling besar sampai segmen yang paling kecil yaitu wacana, kalimat,
frasa, kata, morfem dan fonem.
Adapun unsur suprasegmental terdiri atas intonasi. Unsur-unsur intonasi di
antaranya tekanan (keras, lembut), nada (tinggi, rendah), durasi (panjang, pendek
waktu pengucapan), dan perhentian (yang membatasi arus ujaran). Sedangkan
makna adalah isi yang terkandung dalam bentuk-bentuk di atas. sesuai dengan
urutan bentuk dari segmen yang paling besar sampai segmen yang terkecil. Makna
pun dibagi berdasarkan hierarki itu, yaitu makna morfemis (makna imbuhan), makna
leksikal (makna kata), dan makna sintaksis (makna frasa, klausa, kalimat) serta
makna wacana yang dikenal dengan tema (Rosdiana, 2003:1.5).
Lely Halimak/PK- S3/ÜP1
56
Sejalan dengan bentuk dan makna bahasa, dalam kegiatan berbahasa, kedua
bentuk tersebut dapat disampaikan secara lisan dan secara tertulis. Kegiatan
berbahasa baik lisan maupun tulisan, secara teknis meliputi dua tahap, yaitu tahap
produktif dan tahap reseptif. Kegiatan berbahasa secara produktif, yaitu ketika
individu berbicara atau menulis untuk menyampaikan ide atau pikiran, dan
perasaannya kepada orang lain. Sedangkan kegiatan berbahasa secara reseptif
yaitu ketika individu menyimak atau membaca untuk memahami ide atau pikiran
orang lain. Kedua tahap tersebut, mempunyai hubungan timbal balik yang sangat
erat atau bersifat resiprokal. Bagan berikut ini, dapat menggambarkan keterjalinan
antara kegiatan berbahasa produktif dan reseptif.
Bagan 2.2 Keterkaitan antara Kegiatan Berbahasa secara Produktif dan Reseptif
(Fisher dan Terry, 1982:12)
Dalam kegiatan berbahasa baik secara produktif maupun reseptif, individu
harus mahir atau mampu memahami dan menggunakan bahasa secara efektif.
Bahasa sebagai alat komunikasi, kapan pun komunnikasi terjadi selalu ada
pembicara atau penulis dan pendengar atau pembicara. Aktivitas manusia yang
Uly Halimak/PK- SSA/PI
58
menemukan keyakinannya itu adalah komunikasi. Melalui komunikasi yang efektif
manusia dapat mewujudkan apa yang diinginkannya, akan tetapi, kemampuan
komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.
Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam
lingkungan keluarganya, kelompok sosialnya, di lingkungan kelasnya, dan
masyarakatnya, maka mereka membutuhkan berbagai kemampuan untuk
melakukan secara efektif dalam setiap peristiwa komunikasi yang dihadapinya
(Wood, 1981:5).
Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi
bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta
didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya dalam setiap
situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka
membangun berbagai strategi komunikasi yang membuat mereka dapat menghadapi
situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan
upaya-upaya untuk melatih kemampuan berkomunikasi, terutama dalam situasi
proses pembelajaran.
2. Teori Pembelajaran Bahasa
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa perkembangan dan
pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu
sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru
tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan
pengetahuan guru baik tentang konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa
Lely Hatimak/PK- S3/UPI
57
disebut komunikasi merupakan fenomena yang rumit dan terus-menerus berubah.
Walaupun demikian, menurut Azies dan Atwasilah (1996:9) bila dua orang atau lebih
terlibat dalam suatu komunnikasi, tentu mereka melakukan komunikasi karena
beberapa alasan, di antaranya (a) mereka ingin mengatakan sesuatu, maksudnya
dalam sebagian besar komunikasi, orang mempunyai pilihan apakah dia akan
mewicara atau tidak, (b) mereka memiliki tujuan komunikasi, maksudnya pewicara
mengatakan sesuatu karena menginginkan sesuatu terjadi sebagai akibat dari apa
yang mereka katakana, apakah dia ingin merayu, mengajak, menolak, atau memuji
mitra wicaranya, dan (c) mereka memiliki kode dari bahasa yang dimilikinya,
maksudnya untuk mencapai tujuan komunikasinya mereka dapat memilih kata-kata
yang tepat untuk tujuan tersebut.
Dalam proses komunikasi, kata-kata atau ujaran-ujaran yang digunakan
dalam komunikasi harus mempertimbangkan beberapa faktor di antaranya, yaitu (a)
latar, maksudnya di mana kita pada saat menggunakan bahasa itu, dan pada situasi
bagaimana, (b) partisipan, maksudnya siapa yang terlibat penggunaan bahasa itu,
( c ) ^ j u a n , maksudnya apa J t i juan penutur menggunakan bahasa itu, (d) saluran,
maksudnya apakah komunikasi itu berlangsung secara tatap muka, atau melalui
telepon, atau melalui surat, buku, atau novel, dan (e) topik, maksudnya komunikasi
itu tentang apa. Semua faktor tersebut mempengaruhi penggunaan bahasa dalam
pemilihan kata dalam berkomunikasi.
Uraian di atas, memberikan gambaran bahwa bahasa mempunyai peranan
yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan bahasa manusia
dapat memahami dunianya, dirinya, dan orang laiah. Manusia selalu berusaha untuk
menemukan keyakinan tentang semuanya itu, dan alat yang sangat penting untuk
Lefy HaBmak/PK- S3AJPI
58
menemukan keyakinannya itu adalah komunikasi. Melalui komunikasi yang efektif
manusia dapat mewujudkan apa yang diinginkannya, akan tetapi, kemampuan
komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.
Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam
lingkungan keluarganya, kelompok sosialnya, di lingkungan kelasnya, dan
masyarakatnya, maka mereka membutuhkan berbagai kemampuan untuk
melakukan secara efektif dalam setiap peristiwa komunikasi yang dihadapinya
(Wood, 1981:5).
Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi
bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta
didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya datam setiap
situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka
membangun berbagai strategi komunikasi yang membuat mereka dapat menghadapi
situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan
upaya-upaya untuk melatih kemampuan berkomunikasi, terutama dalam situasi
proses pembelajaran.
2. Teori Pembelajaran Bahasa
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa perkembangan dan
pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu
sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru
tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan
pengetahuan guru baik tenteng konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa
Lely HaUmah/PK- S3/UPI
59
Lefy Halimah/PK- S3AJPI
akan sangat menentukan pola belajar bahasa yang dilakukan peserta^dfâik"Ûl0h
\ i à * **™J^K,..K} il
karena itu, berikut ini dikemukakan beberapa teori belajar bahasaW è r ,7
a. Teori Behaviorlsme
Ibrahim dan Syaodih (1993:11-12) dan Kaseng (1989:13-15) mengemukakan
bahwa teori belajar behaviorisme memandang kehidupan individu manusia terdiri
atas unsur-unsur. Beberapa cirinya antara lain (a) mengutamakan unsur-unsur atau
bagian-bagian kecil, (b) bersifat mekanistik, (c) menekankan peranan lingkungan, (d)
mementingkan pembentukkan reaksi atau respon, dan (e) menekankan pentingnya
latihan. Tokoh yang sangat terkenal dari teori belajar ini antara lain Thomdike, Ivan
Pavlov dan B.F Skinner.
Thomdike mengemukakan bahwa belajar pada binatang juga berlaku bagi
manusia yaitu melalui belajar coba-coba atau "trial and errof. Hasil percobaannya
melahirkan tiga prinsip atau hukum utama belajar, yaitu (a) law of readiness atau
hukum kesiapan, yang menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta
didik yang belajar telah memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut, (b)
law of exercise atau hukum latihan, yang menyatakan bahwa belajar memerlukan
banyak latihan atau ulangan-ulangan, dan (c) law ofeffect atau hukum mengetahui
hasil, dalam hal ini belajar akan lebih bersemangat apabila mengetahui dan
mendapatkan hasil yang baik.
Ivan Pavlov telah membuktikan bahwa beberapa aktivitas belajar manusia
dihasilkan oleh proses pengontrolan (conditioning), sebagaimana ia melakukan
percobaannya terhadap seekor anjing. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan
bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing, setelah diulang berkali-kali
ternyata air liur anjing kefuar bila bel berbunyi meskipun tanpa makanan. Hasil
60
percobaan ini ternyata dapat diterapkan pada manusia, seperti peserta didik diminta
berbaris sebelum masuk kelas dan apabila lonceng berbunyi baru boleh masuk
kelas, hal tersebut pada akhirnya mendapat kesimpulan bahwa belajar merupakan
suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon
terhadap sesuatu, atau belajar adalah hasil serentetan stimulus-respon.
Skinner kemudian mengembangkan lebih lanjut teori belajar yang
dikemukakan Thomdike maupun Pavlov. Teori Skinner ini dikenal dengan teori
penguatan. Perbedaan dengan teori Pavlov, yang diberi kondisi adalah stimulusnya,
sedangkan pada teori Skinner yang diberi kondisi adalah adalah responnya. Seperti
seorang peserta didik yang mendapatkan hasil ulangannya sangat baik, kemudian
oleh gurunya diberikan hadiah, maka peserta didik tersebut akan belajar lebih giat
lagi agar mendapatkan hadiah kembali.
Teori psikologi belajar behaviorisme sebagaimana dikemukakan di atas,
menurut Azies dan Alwasitah (1996: 21-23) selama beberapa waktu diadopsi oleh
para metodolog pengajaran bahasa, terutama di Amerika, yang hasilnya adalah
pendekatan metode audiolingual. Metode ini ditandai dengan pemberian pelatihan
terus-menerus kepada peserta didik yang diikuti dengan pemantapan, baik positif
maupun negatif, sebagai fokus utama aktivitas kelas. Tugas guru adalah
memberikan penghargaan kepada peserta didik yang ujarannya paling mendekati
model yang diberikan oleh guru. Sementara menurut Gani (1995:11) belajar bahasa
melalui teori behaviorisme, kuncinya adalah peniruan model. Belajar bahasa
dilaksanakan dengan menguasai kaidah-kaidah bahasa secara mekanistik. Peserta
didik dilatih berbahasa selaras dengan pola yang disepakati tanpa penyimpangan.
LOy Halimak/PK- S3/UP1
61
Dengan demikian, titik sentral kegiatan terletak pada proses pemantapan latihan
untuk membentuk kebiasaan berbahasa.
Dalam perkembangan teori belajar bahasa selanjutnya, Azies dan Alwastlah
(1996: 22) mengemukakan bahwa teori belajar behaviorisme ditentang di antaranya
oleh linguis Noam Chomsky. Sebagai pelopor teori belajar bahasa kognitif, Chomsky
menyerang pandangan kaum behavioris dengan mengajukan beberapa pertanyaan
berikut Bila bahasa merupakan perilaku yang dipelajari, bagaimana anak dapat
mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan sebelumnya? Bagaimana mungkin
sebuah kalimat baru yang diucapkan seorang anak usia empat tahun merupakan
hasil conditioning? Menurutnya bahasa bukanlah salah satu bentuk perilaku.
Sebaliknya, bahasa merupakan sistem yang didasarkan pada aturan dan
pemerolehan bahasa pada dasarnya merupakan pembelajaran sistem tersebut.
Dalam kaitan ini Chomsky memperkenalkan konsep kompetensi dan
performansi. Kompetensi merujuk kepada penguasaan siswa tentang aturan-aturan
gramatikal. Kemampuan menggunakan aturan-aturan ini disebut performansi.
Menurutnya, dalam pembelajaran bahasa yang penting adalah pembelajar atau
peserta didik menginternalisasikan aturan sehingga akan memungkinkan terjadinya
performansi kreatif. Dengan kata lain, tunjukkan kepada peserta didik aturan atau
struktur yang mendasari dan kemudian biarkan mereka melakukannya sendiri.
Menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru adalah tujuan pembelajaran bahasa.
Berikut ini dikemukakan pengaruh teori Behaviorisme terhadap proses
pembelajaran, di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada tugas, ganjaran, dan disiplin;
Idy HaUmaMPK- SS/UP1
62
2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat ekstrinsik melalui pembiasaan terus-menems/re/nforeemenf;
3) Metodologi: Metoda belajar dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan tertentu serta menggunakan teknologi pendidikan;
4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengetahuan dan keterampilan akademis serta tingkah laku sosial;
5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada guru, hubungan sosial adalah cara dan bukan Tujuan;
6) Usaha mengefektifkan belajar Program pengajaran disusun secara rinci dan bertingkat, mengutamakan penguasaan bahan;
7) Partisipasi peserta didik bersifat pasif; 8) Kegiatan pembelajaran: pemahiran keteraampilan melalui pembiasaan
bertahap setapak demi setapak secara terinci; 9) Tjuan umum: Pendidikan bertujuan mencapai kemampuan mengadakan
sesuatu atau kompetensi (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan IKIP Bandung, 1989: 72).
b. Teor i Kognl t iv isme
Teori kognitif merupakan teori belajar yang lebih memfokuskan pada proses
mental, terutama proses berpikir sebagai dasar belajar. Bower dan Hilgard
(Kamarga, 2000: 44) mengemukakan bahwa teori kognitif berkenaan dengan
bagaimana individu memperoleh pengetahuan dan bagaimana individu itu
menggunakan pengetahuan tersebut untuk berperilaku lebih efektif. Lebih lanjut
mereka mengemukakan bahwa teori kognitif ini cenderung mencoba untuk
memahami pikiran (mind) dan kemampuan pikiran tersebut dalam mempersepsi,
berpikir, belajar, dan berbahasa.
Prinsip utama teori ini adalah pengenalan individu terhadap lingkungannya
adalah hasil transformasi yang bukan hanya dilakukan oleh organ indra, tetapi juga
oleh struktur kompleks atau sistem yang mengolah, menterjemahkan masukan-
masukan indria. Individu dipandang sebagai partisipan aktif yang menyeleksi
stimulan yang bermakna saja dari lingkungannya (Kaseng, 1989: 15-16). Oleh
karena itu, dalam teori kognitif ini, belajar didefinisikan sebagai proses interaksi yang
Uly BaUmah/PK- S3AJPI
63
menghasilkan perolehan struktur kognitif baru dengan cara mengubah struktur
kognitif lamanya menjadi struktur kognitif baru.
Pandangan teori kognitif dalam belajar bahasa, De Stepano (Gani, 1995: 12)
mengemukakan bahwa teori ini menegaskan bahwa setiap anak/peserta didik
memiliki peranan yang aktif dalam belajar bahasa. Dalam pelaksanaan peranannya
itu peserta didik terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang bergerak ke arah informasi.
Kondisi seperti ini mengundang pemekaran proses intelektual peserta didik. Jadi,
proses belajar bahasa sama dengan proses berpikir. Dengan kata lain, orang tidak
berbahasa tanpa berpikir. Itu berarti bahwa belajar bahasa merupakan penajaman
proses berpikir dan sebaliknya. Adapun tokoh-tokoh yang telah mendukung
berkembangnya teori belajar kognitif yang dihubungkan dengan bahasa di antaranya
adalah Piaget, Vygotsky dan Bnjner.
1) Teori Piaget
Bymes (1996: 18) mengemukakan bahwa salah satu teori belajar kognitif
yang dikemukakan Piaget adalah teori skema. Adapun yang dimaksud skema
menurut Hasan (1996: B4-87); Zainui dan Muiyana (2003: 3.14) adalah kapasitas
intelektual yang dimiliki oleh seseorang. Sementara Pappas (1995: 21)
mengemukakan bahwa dalam pandangan konstruktif, Piaget mengemukakan bahwa
belajar merupakan proses berpikir yang secara terus-menerus memodifikasi skemata
atau struktur kognitif. Dalam perkembangan kognitif ini, terjadi melalui tiga proses,
yang meliputi asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi atau keseimbangan. Asimilasi
adalah proses membangun pengetahuan dengan memadukannya pada skema yang
sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah proses membangun kembali pengetahuan
dengan cara memodifikasi skema yang telah ada apabila informasi yang dimilikinya
Lety H«limok/PK- SS/UPI
64
tidak selaras dengan informasi baru yang diterimanya. Atau menurut Pappas, dkk
(1995: 21) "Assimilation is the process by which knowledge is structured by being
integrated into existing schemas. In contrast, accommodation is the process by which
knowledge is restructured by making modifications in existing schematas.'
Sementara dafam proses ekuilibrasi, meliputi tiga tahap: pertama individu
berada pada ekuilibrasi; kedua ketika individu menerima informasi baru dan
mengalami kegagalan untuk memahaminya, dan ia menjadi sadar akan kekurangan
yang dimilikinya; dan ketiga, struktur mentalnya menyesuaikan diri dengan informasi
baru itu dan membentuk ekuilibrasi yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian
kemampuan kognitifnya berkembang (Akhadiah, dkk. 1992: 17).
Dalam pandangan teori kognitif, peserta didik adalah sebagai pembelajar
yang konstruktif aktif memberi makna terhadap semua fenomena. Mereka secara
terus-menerus memahami dunianya berdasarkan apa yang sudah mereka pelajari
sebelumnya atau berdasarkan pada apa yang sudah dibentuk dalam benaknya
(skematanya). Menurut Piaget (Hasan, 1996: 65) apa yang sudah ada pada diri
peserta didik adalah dasar untuk menerima yang baru, dan peserta didik dapat
dikatakan belajar apabila skematanya berkembang. Jadi pembelajaran baru
bermakna kalau skemata peserta didik berubah ke arah yang lebih maju.
Perkembangan skemata setiap individu sebagaimana dikemukakan oleh
Hasan pada umumnya dipengaruhi antara lain oleh kematangan bio-psikologis.
Artinya, secara umum individu akan melalui tingkatan-tingkatan perkembangan
tertentu. Dalam hal ini, menurut Piaget tingkatan perkembangan tersebut adalah
sebagai berikut ini.
Uly HaOmok/PK- S3/UP1
65
a) Tahap sensorimotor (O;0 - 2;0) Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya mencakup gejala yang diterima secara langsung melalui indera. Pada saat ini anak mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya dengan menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Anak pada tahap ini mulai memahami hubungan antara nama benda dengan benda yang diberi nama Itu.
b) Tahap praoperasional (2;0 - 7;0) Pada tahap ini perkembangan bahasa sangat cepat Lambang-lambang bahasa yang dipergunakan untuk menunjukkan benda-benda nyyata bertambah dengan cepat. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi, bukan berdasarkan analisis rasional. Anak biasanya mengambil kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar.
c) Tahap operasi konkrit (7,0 - 1 1 ;0) Kemampuan berpikir logis mulai muncul pada tahap ini. mereka dapat berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini pemecahan masalah yang dihadapinya adalah permasalahan yang konkrit. Oleh karena itu, mereka akan menemui kesulitan apabila dihadapkan kepada permasalahan yang abstrak, bahkan mungkin akan membuat anak frustrasi. Misalnya, anak seringkah menjadi frustasi apabila diminta mencari arti "tersembunyi" dari suatu kata dalam tulisan tertentu.
d) Tahap opersi formal (11,0 - 1 5 , 0 ) Tahap ini ditandai dengan pola berpikir orang dewasa. Mereka dapat mengaplikasikan cara berpikir logis terhadap permasalahan dari semua kategori, baik yang abstrak maupun yang konkrit. Pada tahap ini anak sudah dapat memikirkan buah pikirannya, dapat membentuk ide-ide, berpikir tentang masa depan secara realistik (Hasan, 1996: 86; Sumantri, 1988: 48; Fisher and Terry, 1982:19-27; Zainul dan Muiyana, 2003: 3.13).
2} Teori Bruner
Teori kognitif menurut Piaget berbeda dengan teori kognitif menurut Bruner.
Teori Bruner dikembangkan atas dasar teori kognitif Piaget, dalam hal ini Bruner
mempertaanyakan universalitas keterhubungan antara tingkat perkembangan
kognitif individu dengan usia. Oleh karena itu Bruner mengadakan penelitian baru,
yang hasilnya Bruner mengidentifikasi bahwa terdapat tiga tahapan berpikir yang
dialami individu yaitu yang dikenal dengan tahap enactive, iconic, dan symbolic.
Lely Halimak&K- S3/UPI
66
Berikut ini Hasan (1996: 88); Zainul dan Mulyana (2003: 3.15) memberikan
gambaran dari ketiga tahap tersebut.
a) Tahap enactive, yang terjadi pada masa kanak-kanak, pada periode apa yang dipelajari, dikenal, atau diketahui hanya sebatas dalam ingatan, yang artinya individu berpikir masih terbatas pada ruang, waktu, dan informasi yang diterimanya sebagaimana adanya;
b) Tahap iconic, pada tahap ini individu sudah dapat mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih jauh. Mereka sudah dapat mencerna dan memahami apa-apa yang tidak ada di lingkungan geografis di sekitar mereka atau pun pada waktu sekarang. Kemampuan berpikir logis sudah dapat mereka (akukan walaupun harus dikatakan bahwa tingkat abstraksi konsep masih sangat rendah;
c) Tahap symbolic, pada tahap ini individu sudah mampu berpikir abstrak. Simbol-simbol bahasa, matematika, atau pun disiplin ilmu lainnya sudah dapat mereka pahami sebagaimana seharusnya.
Sesuai dengan tahapan berpikir individu, pada dasarnya kerangka teori
Bruner (Kamarga, 2000: 49) adalah bahwa belajar merupakan proses aktif di mana
peserta didik mengkonstruk gagasan atau konsep baru berdasarkan pengetahuan
yang telah dimilikinya. Peserta didik menyeleksi dan mengubah informasi,
mengkonstruksi hipotesis, dan membuat keputusan didasarkan kepada struktur
kognitif. Dengan kata lain bahwa individu belajar secara terkonstruksi, membangun
pengetahuan berdasarkan pada apa yang telah dimilikinya. Dalam hal ini terdapat
dua pengertian, yakni (1) peserta didik mengkonstruk pemahaman baru dengan
menggunakan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya, dan (2) belajar adalah
proses aktif, di mana peserta didik dihadapkan dengan apa yang mereka pahami dan
dipertemukan dengan situasi yang baru.
Dengan memperhatikan tahapan berpikir dan proses belajar individu, maka
menurut Bruner (Hasan, 1996: 89) tugas mengajar suatu mata pelajaran kepada
hdy MaUmuk/PK- S3AJPI
67
pelajaran tersebut sesuat dengan cara peserta didik berpikir.
peserta didik pada usia mana pun adalah memperkenalkan struktur k
menggambarkan bahwa peserta didik sekolah dasar sekalipun dapat "me^i i r r ia 1
pelajaran disiplin ilmu, walaupun proses konkretisasi lebih tinggi. Adapun dalam
prosesnya dapat melalui (a) specrfc transfer of training (latihan pemindahan yang
khusus), yaitu mengembangkan kemampuan yang dapat digunakan hanya dalam
situasi-situasi khusus, dan (b) nonspeciffic tranfer (latihan pemindahan yang tidak
khusus), yaitu mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dapat digunakan di
berbagai situasi dan kondisi. Ditegaskan oleh Bruner, bahwa proses pendidikan
transfer yang tidak khusus lebih penting dan merupakan jantung dari proses
pendidikan.
3) Teori Vygotsky
Lev Semenovich Vygotsky (Gani, 1995: 9) mengemukakan salah satu
keyakinannya, bahwa dalam menguasai alam individu terlebih dahulu harus
menguasai kematangan diri melalui kematangan berpikir. Untuk itu proses
intemafisasi setiap prilaku membuat individu mampu berpikir. Terutama internalisasi
dialog eksternal seyogyanya menghadirkan ketangguhan berbahasa dalam lajur
ketangguhan berpikir. Dengan kata lain, menurut Vygotsky bahwa terdapat
internalisasi antara berpikir dan berbahasa.
Hubungan antara berpikir dan berbahasa dijelaskan oleh Vygotsky
sebagaimana dikemukakan Benson (Kamarga, 2000: 52) dapat dilihat pada anak
sebelum berusia dua tahun berpikir dan berbicara berkembang secara terpisah, baru
kemudian menyatu setelah anak berusia dua tahun, di mana berpikir menjadi verbal
Uly HoUmok/PK- S3AIPI
68
dan berbicara menjadi rasional. Dalam hat ini, mewicara merupakan pengungkapan
pikiran atau pikiran yang disuarakan. Hal ini mengambarkan pandangan Vygotsky
bahwa perkembangan berpikir sangat ditentukan oleh penguasaan bahasa, atau
bahasa merupakan dasar bagi pembentukkan konsep dan pikiran. Kegiatan berpikir
tidak mungkin terjadi tanpa mengunakan kata-kata untuk mengungkapkan buah
pikiran.
Salah satu gagasan Vygotsky dalam hubungannya dengan perkembangan
anak atau peserta didik yaitu adanya tahap yang disebut "The Zona of Proximal
Development (ZPD)n, yang digambarkan melalui dua buah lingkaran yang saling
bersentuhan. Pada sisi lingkaran yang tidak bersentuhan merupakan gambaran
tingkat perkembangan nyata {the actual developmental level), dan pada sisi yang
lainnya merupakan tingkat potensial sebenarnya dapat dilakukan anak (the level of
Potential deveiopment). Sementara pada sisi atau daerah yang saling bersentuhan
itu yang merupakan ZPD. Dengan demikian ZPD ini menggambarkan adanya
kesenjangan antara apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui, pada
posisi apa yang belum diketahui merupakan tingkat tertinggi (higher level ofknowing)
yang memerlukan bimbingan orang dewasa atau melalui berkolaborasi dengan
teman sebaya yang lebih mampu (collaboration with more capable peers) Vygotsky
(Byrnes, 1996: 32; Sumantri dan Permana, 1999: 27; Phillips dalam Kamarga, 2000:
53).
Implikasi teori Vygotsky terhadap pembelajaran menurut Byrnes, antara lain
(a) guru harus bertindak sebagai perancah atau "scaffoWs* dalam memberikan
bimbingan yang tepat untuk membantu peserta didik mencapai kemajuan sesuai
kemampuannya; (b) guru harus mengajar datam area "zone' of proximal
Ldy Hatimak/PK- Sl/UPI
69
developmenf peserta didik, maksudnya pembelajaran harus disesuaikan dengan
apa yang sudah diketahui dan dapat mengarah kepada apa yang belum diketahui;
dan (c) peserta didik memerlukan banyak latihan yang bergerak dari konsep saintifik
mengarah kepada kemampuan menguasai konsep secara spontan untuk menjadi
lebih akurat dan umum.
Ketiga pakar tersebut baik Piaget, Bruner, dan Vygotsky dalam
perkembangan teori kognitif selanjutnya lebih dikenal sebagai pengembang teori
konstruktif. Sesuai dengan uraian dari ketiga pakar tersebut di atas, esensi dari teori
konstruktif ini pada dasarnya bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri oleh peserta
didik melalui pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu,
dalam proses pembelajaran, guru sebaiknya berperan sebagai fasilitator, sementara
beserta didik aktif mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya melalui
pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Kaitannya dengan pembelajaran bahasa, ketiga pakar tersebut menurut Ross
dan Roe (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 5) mengetahui bahwa ada hubungan antara
pikiran dan bahasa, tetapi mereka berbeda dalam hal cara berpikir dan bahasa itu
berhubungan. Seperti, Piaget dan Vygotsky mempunyai pandangan yang sama
tentang pentingnya bahasa dalam kegiatan belajar, perbedaannya terletak pada
keyakinannya seperti Piaget yakin bahwa perkembangan kognitif anak mendahului
perkembangan bahasanya, sementara Vygotsky sebaliknya.
Berdasarkan pemikiran dari ketiga pakar tersebut pada dasarnya
menggambarkan adanya interelasi yang erat antara proses berpikir dengan proses
berbahasa. Hal ini, mengisyaratkan bahwa interelasi ini harus terjabar dengan jelas
dalam perencanaan program pembelajaran yang disusun oleh guru. Dengan kata
Uly Halimah/PK- SS/UPI
70
lain bahwa setiap program pembelajaran hendaknya mencerminkan kenyataan
bahwa kecermatan berpikir senantiasa mewarnai kecermatan berbahasa seseorang.
Untuk itu perlu diupayakan agar keterampilan berbahasa yang baik dan benar selalu
diimbangi oleh proses berpikir yang jernih.
Chastain (Tangan, 1989:162) mengemukakan prinsip-prinsip dasar atau ciri-
ciri utama teori kognitif dalam pembelajaran bahasa, di antaranya (1) tujuan
pengajaran adalah mengembangkan pada diri para peserta didik tipe-tipe
kemampuan yang sama seperti yang dimiliki oleh penutur asli, (2) dalam
mengajarkan bahasa, guru harus bergerak dari yang telah diketahui menuju yang
belum diketahui, maksudnya, dasar pengetahuan peserta didik kini (struktur kognitif)
harus ditentukan sehingga prasyarat yang perlu bagi pemahaman bahan baru dapat
diberikan, (3) bahan pelajaran dan guru harus memperkenalkan para peserta didik
pada situasi-situasi yang akan meningkatkan pemakaian bahasa kreatif, (4) belajar
atau pembelajaran haruslah selalu bermakna; artinya, para peserta didik hendaknya
mengerti apa yang disuruh untuk dilakukan; begitu pula dengan bahan baru
hendaklah selalu disusun dengan baik sehingga mudah dihubungkan dengan
keberadaan struktur kognitif para peserta didik.
Berdasarkan pandangan para ahli di atas, berikut ini dikemukakan pengaruh
teori belajar kognitif terhadap proses pembelajaran, antara lain.
1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan peserta didik;.
2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat intrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki;
3) Metodologi: Mempergunakan kurikulum dan metode yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir dan juga bahan pelajaran;
4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, gerak, pendirian, bahasa, dan berpikir. Interaksi sosial sebagai alat untuk mengembangkan intelegensi;
Uly HaOmak^K- S3/UP1
71
5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada peserta didik, guru berfungsi membimbing peserta didik dalam belajar bereksplorasi dan bereksperimentasi;
6) Usaha mengefektifkan mengajar Program pengajaran disusun dalam bentuk pangetahuan yang terpadu, konsep dan keterampilan disusun secara hierarkhis;
7) Partisipasi peserta didik: Partisipasi peserta didik dituntut untuk pengembangan kemampuan berpikir. Mereka belajar dengan bekerja;
8) Kegiatan belajar peserta didik: Mengutamakan pada belajar melalui tilikan dan pemahaman;
9) Tujuan umum. Pendidikan bertujuan mengembangkan fungsi-fungsi kognitif secara optimal, dan menggunakan kecerdasan secara bijaksana (Tim Pengajar Dasar-dasar kependidikan IKIP Bandung, 1989:73).
c. Teori Humanisme
Berbeda dengan teori belajar behaviorisme, juga dengan teori belajar
kognitivisme, maka teori belajar humanisme meyakini bahwa agar belajar menjadi
bermakna, harus melibatkan baik kemampuan intelektual maupun emosional peserta
didik. Hal ini beralasan mengingat, para pengikut teori belajar humanisme
memandang bahwa peserta didik sebagai "a whole person" atau orang sebagai
suatu kesatuan. Lengkapnya menurut Longstreet & Shane (1993: 138) bahwa
"Humanistik psychologists vtew people holistically 'm the complexity of their daily
lives,"
Para tokoh teori humanisme, menurut Syaodih (1997: 86) di antaranya J.J
Rousseau dan John Dewey. Rouseau mengembangkan konsep pendidikan romatik
(Romantic Education). Ibrahim dan Syaodih (1993: 10) mengemukakan bahwa
menurut Rouseau peserta didik memiliki potensi atau kekuatan yang masih
terpendam, yaitu potensi berpikir, berperasaan, berkemauan, keterampilan,
berkembang, mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukannya. Melalui
berbagai bentuk kegiatan dan usaha belajar peserta didik mengembangkan segala
Lefy Halimah/PK- S3/UPI
72
potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, Rouseau menganjurkan agar peserta didik
tidak usah terlalu banyak diatur dan diberi, biarkan mereka mencari dan menemukan
dirinya sendiri, sebab anak dapat berkembang sendiri.
Adapun John Dewey dengan aliran pendidikan progresif (Progressive
Education) menurut Syaodih (1997: 10) memandang peserta didik merupakan suatu
kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan
perkembangan intelektual. Isi pembelajaran berasal dari pengalaman peserta didik
sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya, la mereflksi terhadap masalah-
masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu ia memahami dan
dapat menggunakannya bagi kehidupan.
Kedua aliran tersebut pada dasarnya tergolong pada aliran pendidikan pribadi
(Personalized Education), yaitu pendidikan yang lebih mengutamakan peranan
peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi
menciptakan lingkungan yang menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas
guru, seperti halnya seorang petani adalah mengusahakan tanah yang gembur,
pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan tanaman (peserta didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan
minat peserta didik (Syaodih, 1997: 10). Uraian tersebut menggambarkan bahwa
dalam aliran pendidikan pribadi menurut Lapp, dkk. (1975: 12) 'Student becomes
the center of the leaming process. Teaching begins and buSds around his interests,
expériences, and psychological growth patterns."
Lapp, dkk., (1975) lebih rinci memberikan gambaran proses pendidikan yang
dikembangkan oleh aliran pendidikan romantik dan aliran pendidikan progresif,
Ldy Hdimok/PK- S3AIPI
73
terutama dilihat dari hubungan peserta didik, guru dan konten atau materi pelajaran.
Pada pendidikan romantik hubungannya dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Bagan 2. 3 Pola Interaksi Guru, Isi Pelajaran, dan Peserta dfdik
pada Pendidikan Romantik
Sesuai dengan pola interaksi tersebut dalam pendidikan humanisme ini
peserta didik lebih banyak diberikan kebebasan berinteraksi dengan lingkungannya,
agar mereka befajar dan berkembang secara alami sebagaimana mereka belajar
berjalan dan mewicara. Dalam hal ini, pengalaman merupakan isi pembelajaran yang
sekaligus guru alamiah mereka. Lingkungan diupayakan dapat memberikan
kebebasan kepada peserta didik untuk mewujudkan rasa ingin tahunya dan
pengalaman merupakan akibat aktivitasnya, sehingga mereka menemukan pola
belajarnya sendiri.
Untuk mewujudkan semuanya itu, maka peran guru bukan mengajar, tetapi
hanya mengarahkan dengan memberikan lingkungan yang dapat mendorong
peserta didik belajar, memberikan kebebasan sesuai dengan kemampuan peserta
didiknya, dan menjaga dari segala gangguan yang menghambat belajar peserta
didiknya. Guru juga berperan sebagai sumber lingkungan belajar, yang selalu siap
memberikan bantuan kepada peserta didiknya.
Sedangkan pada proses pendidikan progresif, interaksi antara peserta didik,
materi pembelajaran, dan guru, sebagaimana dikemukakan pada bagan berikut ini.
Lely Halimak/PK- S3/UPI
74
Isi/Materi Pembelajaran
Bagan 2 .4 Pola Interaksi antara Guru, Konten, dan Peserta didik
pada Proses Pendidikan Progresif
Pada pendidikan progresif, peserta didik mendapat tempat yang utama dan
pertama. Untuk itu, maka peran guru hanya pendukung bagi peserta didik, guru juga
berperan sebagai bidan (midwife), sebagai psikolog, sebagai fasilitator, sebagai
nara sumber, dan akhli metodologi. Guru tidak memberikan materi pembelajaran
atau transmit content tetapi menuntun dan membantu perkembangan dan
pengalaman peserta didiknya. Adapun materi pembelajaran berasal dari pengalaman
peserta didik, materi pelajaran ini memberikan dasar bagi refleksi peserta didik,
sehingga mereka memahaminya. Dengan cara demikian, pada akhirnya diperoleh
penguasaan terhadap materi pembelajaran tersebut, sehingga berguna bagi
kehidupannya.
Tokoh humanisme lainnya yang sangat popular menurut Nasution (1991: 22)
dan Rockler (1988: 225) adalah Maslow yang memandang bahwa aktualisasi diri
peserta didik merupakan suatu kebutuhan asasi. Tiap peserta didik mempunyai "selT
masing-masing yang sering tak dikenal dan disadarinya, yang tersembunyi atau
tertekan dan karena itu perlu dibangkitkan dan dikembangkan. Maslow termasuk
salah satu tokoh humanistik yang menginginkan pendidikan yang membebaskan
peserta didik agar lebih otonom dan bersikap lebih sehat terhadap dirinya, terhadap
Lefy HoUmohfi>K- S3AJPI
75
temannya, dan terhadap pelajarannya. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran
harus terdapat hubungan baik antara guru dan peserta didik dalam suasana saling
percaya, peserta didik belajar tanpa adanya paksaan dari pihak guru.
Menurut Rockler bahwa ide Abraham Maslow termasuk perspektif psikologi
humanisme. Sesuai dengan hierarki kebutuhan manusia, terutama kebutuhan
tertinggi manusia yang meliputi kebutuhan rasa aman, rasa memiliki, rasa yakin diri,
perkembangan intelektual, apresiasi estetik, dan aktualisasi diri akan berkembang
dengan baik apabila dalam pelaksanaan pembelajaran, kelas dikelola dengan
memperhatikan prinsip-prinsip di antaranya memberikan kebebasan yang masimal
kepada peserta didik dalam hal ini tidak berarti anarki atau kurang pengawasan.
Prinsip lainnya, yaitu guru lebih memaksimalkan apa yang menjadi pilihan peserta
didiknya. Dalam hal ini, tidak setiap peserta didik harus membaca buku yang sama
untuk setiap kali tugas membaca. Begitu pula dalam memilih topik yang akan
menjadi kajian peserta didik dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk
memfasilitasinya guru, tentunya dapat memberikan barbagai alternatif pilihan bagi
peserta didiknya.
Teori humanisme, selain menganut aliran-aliran pendidikan romatik, progresif,
dan hirarki kebutuhan manusia sebagaimana dikemukakan Maslow, menurut
Syaodih (1997) juga berpegang pada konsep GestaIL Dalam pandangan gestalt,
anak harus dipandang sebagai suatu keseluruhan organisme yang dinamis yang
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya untuk mencapai tujuan
tertentu (Arbi dan Syahrun, 1992:60). Sementara, Kartadinata dan Dantes (1997: 5)
mengemukakan bahwa anak adalah makhluk unik serta berbeda dari orang dewasa
dan juga berbeda satu sama lain, berkembang secara fisik, sosial, mental, maupun
Uty HaUmah/PK- SS/UPI
76
emosional; perkembangannya bersifat hotistik, dan memiliki kesiapan belajar sebagai
hasil dari kematangan dan pengalaman.
Dalam pandangan gestalist, pendidikan hendaknya diarahkan untuk membina
peserta didik yang utuh bukan saja aspek fisik dan intelektual tetapi juga aspek
sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, dan nilai). Sementara menurut Nasution
(1991: 23) para Gesta lists menginginkan adanya integrasi perasaan, pikiran, dan
perbuatan yang memberikan kebulatan pengalaman yang menyenangkan sesuai
dengan keinginan peserta didik. Untuk itu, maka sekolah atau kelas harus menjadi
tempat belajar yang menyenangkan yang membangkitkan motivasi intrinsik peserta
didik karena materi pembelajaran bermakna bagi mereka.
Sejalan dengan pandangannya terhadap anak, dalam pandangan teori
gestalt, bahasa dipandang sebagai sistem holistik yang maknanya dikomunikasikan
dan diekspresikan dalam sistem sosial sesuai dengan konteks (Harsiati. 1994:16).
Dalam hal ini Pappas dkk. (1995:7) mengemukakan bahwa :
Language is the major system by which meaning are communicated and expressed in our social world. Because language is used for various purposes, our meaning are expressed in various ways, by various language patterns. Thus, language cannot be understood, interpreted, or evaluated unless it is related to the social contexts in which it is being used.
Atas dasar padangannya baik terhadap bahasa maupun terhadap anak, maka
menurut pandangan teori gestalt belajar bahasa itu merupakan kesatuan yang utuh
selaras dengan pandangan bahwa anak atau peserta didik pada hakikatnya belajar
dalam keutuhan yang padu. Kaitannya dengan belajar bahasa, mengapa anak perlu
belajar bahasa? Ardiana (1995: 5) mengemukakan alasannya, yaitu (1) sebagai
makhluk sosial, secara naluriah manusia memerlukan hubungan dengan orang lain,
Lety Holimah/PK- S3/UPI
(2) belajar bahasa diperlukan untuk memahami dunia yang m e n j a d i : ^ ^ t $ r f ^ i d j ^ £ /
manusia, dan (3) hal itu diperlukan untuk mengekspresikan diri sendiri. \ ' v f r . .<,<*?•' jj
Berdasarkan alasan tersebut bagaimana anak belajar bahasa? Menurut
Halliday (Rofiuddin dan Zuhdi, 1999:190) belajar bahasa sebagai belajar bagaimana
memaknai, karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial
bahasa yang dihadirkannya. Bahkan manusia dalam belajar bahasa dapat terjadi
secara simultan melalui tiga cara, yaitu belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan
belajar tentang bahasa Halliday (Cario, 1995:371). Ardiana (1995:5) mengemukakan
bahwa belajar bahasa merupakan kesatuan yang utuh. Artinya belajar bahasa terjadi
di tengah-tengah kehidupan yang merupakan ciri khas proses sosial. Gerakan
tangan, mewicara, menyimak, membaca, dan menulis, berakar dan tumbuh dengan
subur pada saat anak sibuk dengan kehidupan seutuhnya.
Dari uraian di atas, berikut ini dikemukakan pengaruh teori belajar
humanistime terhadap proses pembelajaran.
1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada kebutuhan dan individualitas/kepribadian peserta didik,
2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat intrinsik, berdasarkan pemuasan kebutuhan individu.
3) Metodologi: Menggunakan pendekatan proyek yang terpadu, menekankan pada mempelajari kehidupan sosial;
4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengembangan sosial, keterampilan berkomunikasi, tanggap kepada kebutuhan kelompok dan individu;
5) Bentuk pengelolaan kelas: Peserta didik diberi kebebasan memilih, sedangkan guru membantu dan bukan mengarahkan;
6) Usaha mengefektifkan mengajar. Program pengajaran disusun dalam bentuk topik-topik yang terpadu berdasarkan kebutuhan individual peserta didik;
7) Partisipasi peserta didik: Partisipasi aktif dari peserta didik diutamakan, mereka belajar dengan bekerja.
8) Kegiatan belajar peserta didik: Mengutamakan pada belajar melalui pemahaman dan pengertian dan bukan hanya memperoleh pengetahuan belaka.
Uly HaUmah/PK- SS/UP1
78
9) Tujuan umum: Pendidikan bertujuan mencapai kesempurnaan diri dan pemahaman (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan, 1989:73).
Aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran bahasa menurut Azies
dan Afwastlah (1996: 22) pembelajaran bahasa tidak hanya mengajarkan bahasa,
tetapi juga membantu peserta didik mengembangkan diri mereka sebagai manusia.
Dengan demikian, yang terpenting adalah pengalaman yang mengarah kepada
perkembangan kepribadian mereka serta pertumbuhan perasaan positif dianggap
penting dalam pembelajaran bahasa. Menurut Rogers (Kaseng, 1989:18) salah satu
cara terbaik untuk membantu proses belajar adalah menciptakan hubungan
antarpribadi dengan peserta didik, guru harus menghargai dan menghormati peserta
didik secara individu sebagaimana halnya mereka dipandang sebagai klien.
Uraian dari ketiga teori psikologi belajar tersebut, baik psikologi belajar
behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme, menggambarkan bahwa proses
pembelajaran bahasa mempunyai hubungan yang erat dengan teori psikologi
belajar. Menurut Muchlisoh, dkk. (1992: 48) apabila kita perhatikan perkembangan
pembelajaran bahasa selama ini tidak lepas dari pengaruh psikologi. Seperti
perkembangan ilmu bahasa tradisional, struktural, hingga komunikatif, yang terakhir
ini juga diwarnai oleh perkembangan psikologi dalam teori belajar yang dikenal
dengan teori behaviorisme dan teori mentalisme. Seperti dikemukakan Gani (1995:
11-12) bahwa teori psikologi belajar bahasa yang paling fundamental di antaranya
adalah teori behaviorisme dan teori kognitivisme.
Adapun dalam perkembangan selanjutnya, Ardiana (1995: 2) menegaskan
bahwa pembelajaran bahasa saat ini telah bergeser dari orientasi behaviorisme ke
teori kognitivisme dan humanisme. Artinya bahwa dalam pembelajaran bahasa pada
UJy HalimaWK- SS/UPI
79
hakikatnya peserta didik tidak belajar kaidah-kaidah bahasa sebagaimana
disarankan dalam teori belajar behaviorisme, tetapi belajar untuk terampil berbahasa
secara fungsional dan kontekstual.
Memperhatikan ketiga teori belajar tersebut, tentunya masing-masing
mempunyai keunggulan dan kelemahan. Biasanya teori yang muncul lebih dahulu
dipandang konvensional apabila sudah ditemukan teori yang baru. Seperti teori
belajar behaviorisme untuk saat ini, tampaknya sudah kurang relevan lagi
diterapkan, mengingat teori belajar kognitivisme dan teori belajar humanisme
dikembangkan atas dasar kritik terhadap kelemahan teori belajar behaviorisme.
Untuk itu, teori belajar kognitivisme dan humanisme pada saat ini dipandang teori
belajar yang relevan untuk dikembangkan dalam berbagai pembelajaran termasuk
dalam pembelajaran bahasa. Dengan demikian, maka melalui penelitian ini akan
mencoba merealisasikan ide-ide dari teori kognitivisme dan humanisme yang
disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan.
3. Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Membahas tentang pembelajaran bahasa, menurut Subyakto (Muchlisoh, dkk.
1992: 48) sekurang-kurangnya melibatkan tiga kelompok disiplin ilmu, di antaranya
linguistik (ilmu bahasa), psikologi (ilmu jiwa), dan pedagogi (ilmu pendidikan).
Linguistik memberikan informasi tentang bahasa dan strukturnya secara umum.
Sedangkan psikologi memberikan arahan bagaimana seseorang belajar bahasa.
Sementara pedagogi memberikan tuntunan tentang bagaimana meramu semua
keterangan dari bahasa dan psikologi menjadi suatu metode yang sesuai untuk
menciptakan pembelajaran bahasa.
Uiy Halimak/PK- S3AJPI
80
Menurut Muchlisoh, dkk. seiring dengan perkembangan ilmu bahasa dan
psikologi belajar, berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran bahasa pun
turut berkembang dan berubah. Sampai pada akhirnya dan hingga sekarang para
ahli pendidikan bahasa terus mencari cara yang paling tepat yang dapat menjawab
kebutuhan peserta didik dalam belajar bahasa. Hal ini sangat beralasan, mengingat
salah satu hal yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa banyak
ditentukan oleh pendekatan, metoda, dan teknik pembelajaran yang digunakan guru.
Istilah pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran ini menurut Zuchdi dan
Budiasih (1997: 29) sering digunakan dengan pengertian yang sama, artinya orang
menggunakan istilah pendekatan dengan pengertian yang sama dengan pengertian
metode, dan sebaliknya. Begitu pula antara pengertian metode dan teknik, artinya
penggunaan istilah metode dengan pengertian yang sama dengan pengertian teknik
dan sebaliknya. Sebenarnya, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang
berbeda, walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan.
Antrhony (Brown, 1994: 48) memberikan definisi yang secara urut
menggambarkan keterkaitan antara pendekatan, metoda, dan teknik, yang pada
umumnya digunakan dalam pembelajaran bahasa. Ketiga konsep ini merupakan
urutan yang bersifat hierarkis, maksudnya pendekatan menentukan metode dan
metode berpengaruh terhadap penentuan teknik.
Approach is a set of assumptions dealing with the nature of language, learning, and teaching. Method is an overall plan for systematic presentation of language based upon a selected approach. Technique are the specific activities manifested in the classroom that are consistent whit a method and therefore in harmony with an approach as well.
Uly Halimak/VK- S3AJPI
81
Mengacu kepada definisi yang dikemukakan Anthony, yang dimaksud dengan
pendekatan dalam pembelajaran bahasa sebagai mana dikemukakan oleh para ahli
pendidikan bahasa (Syafi'ie, 1989: 73; Tangan, 1989: 12; Akhadiah, dkk., 1992: 4;
Zuchdidan Budiasih, 1997: 29; Suratinah, 2003:2.29); Sumadi, 1 9 9 3 : 5 - 1 1 ) adalah
seperangkat asumsi yang saling berkaitan tentang hakikat bahasa dan pengajaran
bahasa, serta belajar bahasa. Pendekatan itu memerikan hakikat bahasa yang akan
diajarkan, mengemukakan pandangan, filosofi dan pernyataan-pernyataan yang
dianggap benar berkaitan dengan bahasa dan pengajaran bahasa, serta belajar
bahasa. Dengan kata lain, pendekatan dalam pembelajaran bahasa, pada dasarnya
mengacu kepada teori-teori menganai (1) hakikat bahasa, dan (2) hakikat
pembelajaran bahasa (language feaming). Kedua hal ini bertindak sebagai sumber
praktik dan merupakan prinsip dalam pembelajaran bahasa.
Sedangkan yang dimaksud dengan motode dalam pembelajaran bahasa
(Zuchdi dan Budiasih, 1997: 30) ialah rencana pembelajaran bahasa, yang
mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang
akan diajarkan, serta kemungkinan pengadaan remedi dan bagaimana
pengembangannya. Pemilihan, penentuan, dan penyusunan bahan ajar secara
sistematis, dimaksudkan agar bahan ajar tersebut mudah diserap dan dikuasai oleh
peserta didik. Semuanya itu didasarkan pada pendekatan yang dianut. Dengan
demikian, jelaslah bahwa suatu metode ditentukan berdasarkan pendekatan yang
dianut. Dengan kata lain, pendekatan merupakan dasar penentuan metode yang
digunakan.
Adapun yang dimaksud dengan teknik dalam pembelajaran bahasa,
merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar yang telah disusun (dalam metode),
Ldy HaUmak/PK- S3/VPI
82
dan berdasarkan pada pendekatan yang dianut. Teknik yang digunakan oleh guru
bergantung pada kemampuan guru itu mencari akal atau siasat agar proses belajar-
mengajar dapat berjalan lancar dan berhasil dengan baik. Dalam menentukan teknik
pembelajaran ini, guru perlu mempertimbangkan situasi kelas, lingkungan, kondisi
dan sifat-sifat peserta didik, dan kondisi-kondisi yang lain. Dengan demikian maka
teknik pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat bervariasi sekali. Untuk metode
yang sama, dapat digunakan teknik pembelajaran yang berbeda-beda, bergantung
pada berbagai faktor tersebut
Seperti telah dikemukakan di atas, pendekatan erat hubungannya dengan
teori dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, mengacu kepada pandangan
tentang bahasa dan psikologi belajar yang dikembangkan dalam belajar bahasa,
maka berikut ini dikemukakan beberapa pendekatan yang pada umumnya diterapkan
dalam pembelajaran bahasa, antara lain ialah pendekatan struktural, pendekatan
alamiah, pendekatan komunikatif, dan pendekatan whole language.
a. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran
bahasa, yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat
kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa
harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Oleh
sebab itu, pembelajaran bahasa perlu menitik beratkan pada pengetahuan tentang
struktur bahasa yang mencakup dalam fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dengan
kata lain, pendekatan struktural menyajikan materi pembelajaran berupa butir-butir
gramatikal (tata bahasa) yang disusun berdasarkan tahapan-tahapan. Peserta didik
belajar bahasa dimulai dari komponen bahasa yang berupa bunyi bahasa, bentuk,
Lefy Haliituk/PK- S3/UPI
83
struktur, dan makna unsur-unsur tersebut (Tangan, 1989:12; Zuchdi dan Budiasih,
1997: 33; Muchlisoh, dkk. 1992:7; Akhadiah, dkk. 1992:4).
b. Pendekatan Alamlah [Naturai Approach)
Krashen dan Tarrel menurut Tangan (1989: 203-227) adalah pelopor
pendekatan alamiah. Mereka melihat komunikasi sebagai fungsi utama bahasa, dan
membedakan pengertian antara belajar tentang bahasa dan pemerolehan bahasa.
Adapun pandangan-pandangan Krashen dan Terrei! dalam mengembangkan
pendekatan alamiah dalam pembelajaran bahasa, tujuan utamanya adalah
memperoleh seperangkat kecakapan atau kemampuan tingkat menengah atau lanjut
dalam bahasa kedua (B2). Pendekatan alamiah ini lebih banyak memfokuskan diri
pada makna komunikasi-komunikasi sejati daripada kepada bentuk-bentuk ucapan,
atau pengetahuan bahasa seperti pada pendekatan tradisional. Ciri-ciri pendekatan
alamiah ini dapat dilihat pada petunjuk-petunjuk praktik pembelajaran di kelas.
1 ) Distribusi pembelajaran dan kegiatan-kegiatan pemerolehan. Kalau memang komunikasi lebih penting daripada bentuk pada tingkat-tingkat permulaan dan lanjutan dalam pembelajaran, maka semua kegiatan kelas harus direncanakan untuk membangkitkan dan mengembangkan komunikasi. Dalam hal ini Terrell menyarankan agar seluruh waktu kelas dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan komunikasi. Penjelasan dan latihan bentuk-bentuk linguistik harus dilakukan di luar kelas.
2) Koreksi kesalahan. Menurut Terrell, tidak ada fakta yang dapat memperlihatkan bahwa perbaikan atau koreksi kesalahan ujaran atau tuturan itu diperlukan atau sangat bermanfaat bagi pemerolehan bahasa. Sebenarnya, perbaikan-perbaikan serupa itu justru bersifat negatif terhadap motivasi, sikap dan juga menimbulkan rasa malu, sehingga hal itu dilakukan dalam situasi yang dianggap paling baik.
3) Responsi-responsi dalam B1 (bahasa Ibu) dan B2 (bahasa kedua), sebagaimana disarankan Terrei agar pembelajaran awal kelas melibatkan pemahaman-pemahaman menyimak secara agak ekslusif, dengan responsi-responsi dari para peserta didik.
Ldy HaUrmh/PK- S3/UPI
84
Adapun dalam prakteknya, pembelajaran bahasa melalui pendekatan
alamiah ini, perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar sebagaimana dianjurkan oleh
penciptanya, di antaranya (1) tujuan pembelajaran bahasa permulaan adalah
kompetensi komunikatif langsung, bukan kesempurnaan gramatikal, (2)
pembelajaran harus diarahkan untuk modifikasi serta meningkatkan tatabahasa para
peserta didik, bukan membangun satu kaidah pada satu waktu, (3) para peserta didik
harus diberi kesempatan memperoleh bahasa, bukan memaksakan untuk
mempelajari bahasa, (4) faktor-faktor afektiflah yang terutama dipaksakan beroperasi
dalam pembelajaran, bukan faktor-faktor kognitif, (5) belajar kosakata merupakan
kunci bagi pemahaman dan produksi ujaran. Dengan kosakata yang cukup banyak,
peserta didik dapat memahami dan mewicara mengenai berbagai hal dalam B2
sekalipun pengetahuannya mengenai struktur bagi semua tujuan praktis masih
kosong.
Tangan dalam sumber yang sama mengemukakan bahwa pendekatan
alamiah ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemerolehan bahasa.
Keeratan hubungan tersebut menghasilkan empat prinsip umum pendekatan
alamiah, seperti berikut ini.
a) Komprehensi mendahului produksi: menyimak atau membaca mendahului kemampuan berbicara atau menulis. Maksudnya yang menjadi titik tolak dalam pembelajaran bahasa adalah membantu para pemeroleh memahami apa yang dikatakan kepada mereka. Beberapa dari implikasi prinsip ini adalah (1) guru selalu menggunakan bahasa sasaran, (2) focus komunikasi akan berupa topik yang menarik bagi peserta didik, (3) guru akan berupaya sekuat daya setiap saat untuk membantu peserta didik memahaminya.
b) Produksi diperbolehkan muncul secara bertahap; tahapan-tahapan ini secara khusus terdiri dari: (1) responsi dengan/oleh komunikasi nonverbal, (2) responsi dengan kata tunggal, (3) kombinasi dua atau tiga kata, (4)
Lely naUmah,TK- S3/UPI
8 5 , ,
c)
frasa-frasa, (5) kalimat-kalimat, dan (6) wacana yang lapi Ketepatan atau kecermatan gramatikal sangat rendah pada tana awal dan meningkat secara pelan-pelan dengan banyaknya ke bagi interaksi dan pemerolehan komunikatif. Dalam pendekatan peserta didik tidak boleh dipaksa berbicara sebelum mereka siap, dan kesalahan-kesalahan ujaran yang tidak mengganggu komunikasi tidak perlu dikoreksi.
Silabus terdiri dari tujuan-tujuan komunikatif; ini berarti bahwa fokus setiap kegiatan kelas disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan struktur gramatikal. Dengan kata lain, praktek atau latihan-latihan struktur-struktur gramatikal khusus tidak merupakan fokus perhatian. Tetapi yang dituntut adalah agar tatabahasa diperoleh secara efektif apabila tujuan-tujuan bersifat komunikatif.
d) Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam kelas yang bertujuan demi pemerolehan itu harus membantu upaya penurunan saringan afeksi para peserta didik. Dalam hal ini kegiatan-kegiatan di dalam kelas haruslah setiap waktu berfokus pada topik-topik yang menarik hati dan relevan dengan para peserta didik serta mendorong mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan, pendapat-pendapat, keinginan-keinginan, dan perasaan-perasaan mereka.
c. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari suatu teori
yang berlandaskan bahwa "bahasa sebagai alat komunikasi", sedangkan teori
pembelajarannya yang melandasi pendekatan komunikatif adalah teori pemerolehan
bahasa kedua secara alamiah. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa
akan lebih efektif apabila dipelajari secara informal melalui komunikasi secara
langsung di dalam bahasa target.
Akhadiah, dkk (1992: 6-7) mengemukakan bahwa pendekatan komunikatif
dalam pembelajaran bahasa bermula dari teori tentang bahasa sebagai alat
komunikasi, sehingga pembelajaran bahasa ditujukan pada kompetensi komunikatif.
Secara umum tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui pendekatan komunikatif
menyangkut fungsi bahasa sebagai sarana ekspresi, sistem simbolik dan objek
Lely HaUmak/PK- S3/UPI
II i ' ' J
86
belajar, sarana untuk menyatakan nilai-nilai dan penilaian diri dan orang lain, serta
keperluan pengajaran remedial dan pembelajaran di sekolah.
Richards (2001: 215) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan
pendekatan komunikatif, yang menjadi fokus pembelajarannya adalah "authentic
communication; extensive use is made of pair and group activities that involve
negotiation of meaning and informating sharing. Fluency is a priority". Lebih rinci
Swarbrick (1994: 43) mengemukakan bahwa yang menjadi karakter esensial dari
pembelajaran dengan pendekatan komunikatif adalah pada setiap tahapan seting
belajar bahasa, mulai dari pengembangan silabus, pengembangan materi
pembelajaran, perencanaan dan pelaksanaan aktivitas belajar, dan penilaian
kemajuan peserta didik semuanya difokuskan pada "... language as a medium of
communication".
Littlewood (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 34) mengemukakan bahwa
pendekatan komunikatif didasarkan pada pemikiran bahwa (1) pendekatan
komunikatif membuka diri bagi pandangan yang lebih luas tentang bahasa, hal ini
menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan
kosa kata, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa, (2) pendekatan komunikatif
membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa, hal ini
menimbulkan kesadaran bahwa mengajarkan bahasa tidak cukup dengan
memberikan kepada peserta didik bagaimana bentuk-bentuk bahasa, tetapi peserta
didik harus mampu mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk-bentuk itu
sesuai dengan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang
tepat.
Lely Halimah/PK- S3/UPI
87
Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 57) aktivitas pembelajaran yang sesuai
dengan pendekatan komunikatif dapat dikatakan tidak terbatas, asalkan aktivitas itu
membantu peserta didik meraih tujuan-tujuan komunikasi, yang ada dalam
kurikulum, melibatkan peserta didik dalam komunikasi, dan perlu menggunakan
proses-proses komunikatif, seperti berbagi informasi, negosiasi makna, dan interaksi.
Dengan kata lain selama proses pembelajaran dengan pendekatan komunikatif,
kegiatan belajar harus memberi peluang sebanyak-banyaknya kepada peserta didik
untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi.
Berdasarkan uraian di atas, pada akhirnya dapat dikemukakan bahwa pada
dasarnya pendekatan komunikatif, merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
bahasa yang dilandasi oleh suatu teori bahasa, yaitu teori bahasa yang menyatakan
bahwa pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna.
Teori ini, menekankan pada dimensi semantik dan komunikatif daripada ciri-ciri
gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang periu dikembangkan dalam pembelajaran
bahasa adalah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang
bahasa.
d. Pendekatan Bahasa Menyeluruh (Whole Language Approach)
Pendekatan whole language adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran
bahasa yang menyajikan pembelajaran bahasa secara menyeluruh atau utuh,
sehingga tidak terpisah-pisahkan antara aspek bahasa yang satu dengan aspek
bahasa yang lainnya. Perspektif whole language menurut Papas, dkk (1991: xiii)
dalam perspektif bahasa terpadu, para ahlinya mempunyai keyakinan bahwa
bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipiha-pisahkan. Oleh
Lely Halimak./PK- S3/UPI
8S
Uly Halimok/PK- S3/UPI
karena itu, pembelajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata
bahasa dan kosa kata disajikan secara utuh bermakna dan daiam situasi nyata atau
otentik. Richards (2001:216) menyatakan bahwa "Language is tougtas a whole and
not through its separated components. Student are taught to read and write naturally,
with a focus on real communication, authentic texts, and reading and writing for
pleasure".
Sejalan dengan pendapat di atas, Longstreet & Shane (1993: 305)
mengemukakan bahwa "The whole language approach emphasizes the
simultaneous teaching of reading and writing in a total literacy context based on
activities meaningful to the young child". Dalam hal ini peserta didik dicelup
(immersed) daiam lingkungan berbagai sumber bacaan, dan perbedaan pengalaman
peserta didik dikondisi atau diatur sedemtkan rupa [orchestrated) oleh guru dengan
membantu mereka memahami secara keseluruhan pola-pola bahasanya.
Adapun menurut De Carlo (1995: 8) daiam situasi yang alami, bahasa
merupakan keseluruhan dan utuh atau "in natural situations language is whole and
intact', hal ini sesuai dengan sifat bahasa adalah terpadu. Dengan demikian, maka
pembelajaran bahasa dalam pandangan holistik ini menurut Goodman (De Carlo,
1995: 177) bahasa lebih mudah dipelajari ketika bahasa itu dipelajari secara
menyeluruh, fungsional, dan bermakna. Lebih lanjut De Carlo mengemukakan
bahwa "Whole language is a label for mutually supportive beliefs and teaching
strategies and experiences that have to do with kids learning to read, write, speak,
and listen in natural situations".
Sementara menurut, d i v a (1992: 354) yang sangat mendasar dalam
pembelajaran dengan pendekatan whole language adalah meliputi penggunaan
89
materi yang "reaf atau "outhentk? untuk pembelajaran membaca dan menulis, yang
menekankan pada kebutuhan dan minat peserta didik, dan memadukan
keterampilan berbahasa dengan materi bidang studi lain. Lebih lanjut Oliva (1992:
562-565) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan whote language
mengkondisikan peserta didik untuk belajar membaca melalui kegiatan membaca,
belajar menulis melalui kegiatan menulis, begitu pula belajar mewicara melalui
kegiatan mewicara, dan belajar menyimak melalui kegiatan menyimak. Kata kunci
untuk guru whole language adalah "authenticify" dan guru yang menggunakan
pendekatan ini berusaha untuk mengembangkan konsep diri dan rasa percaya diri
peserta didiknya dengan tetap mempertimbangkan pencapaian sebagian dan
menerima kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh peserta didiknya.
Dalam praktinya, pemebelajarari dengan pendekatan whole language menurut
Routman dan Froese (Suratinah, 2.2- 2.9) meliputi delapan komponen, yaitu 'reading
aloud, joumal writing, sustained sitent reading, shared reading, guided reading,
guided writing, independent reading, dan independent writing'. Maksud dari masing-
masing komponen tersebut adalah sebagai berikut.
1) Reading aloud
Membaca nyaring yang dilakukan oleh guru untuk peserta didiknya, pada umumnya bertujuan untuk memberikan contoh membaca yang baik, selain itu manfaatnya di antaranya dapat meningkatkan kemampuan menyimak, memperkaya kosa kata, membantu meningkatkan kemampuan membaca pemahaman, dan tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan minat pada pada peserta didik. Membaca nyaring ini dapat dilakukan setiap hari saat memulai pembelajaran, dilakukan hanya beberapa menit saja (10 menit) untuk membacakan cerita. Kegiatan ini juga membantu guru untuk mengajak peserta didiknya memasuki suasana belajar.
2) Joumal writing Jurnal merupakan sarana yang aman bagi peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya, menceritakan kejadian disekitamya, membebebrkan hasil belajarnya, dan menggunakan bahasa dalam bentuk
Lefy Haiimak/PK- SSAJPI
90
tulisan. Banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama bagi peserta didik dari kegiatan menulis jurnal, di antaranya meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kemampuan membaca, menumbuhkan keberanian menghadapi risiko, memberi kesempatan untuk membuat refleksi, meningkatkan kemampuan berpikir, dan sebagainya.
3) Sustained silent reading Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dalam hati, dengan bahan bacaan yang dipilihnya sendiri, mempunyai pesan bagi peserta didik bahwa membaca adalah kegiatan penting yar.g menyenangkan, membaca dapat dilakukan oleh siapa saja, membaca berarti berkomunikasi dengan pengarang buku, peserta didik dapat berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama, dan peserta didik dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan membaca.
4) Shared reading Shared reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan peserta didik, di mana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya. Terdapat beberapa cara dalam melakukan kegiatan mi, di antaranya guru membaca dan peserta didik menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku, kemudian peserta didik membaca secara bergiliran. Maksud dari kegiatan ini di anataranya sambil melihat tulisan peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model, dan memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya, juga bagi peserta didik yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar.
5) Guided reading Dalam membaca terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilitator, dengan demikian penekannya buka dalam cara membaca itu sendiri tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua peserta didik membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Setelah itu guru mengajukan pertanyaan yang meminta peserta didik menjawab dengan kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini merupakan kegiatan membaca yang penting untuk dilakukan di kelas.
6} Guided writing Menulis terbimbing, seperti halnya membaca terbimbing peran guru adalah sebagai fasilitator yaitu membantu peserta didik menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulinya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses menulis seperti memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan oleh peserta didik sendiri.
Uly Holinuth/PK- S3AJP1
91
7) Independent reading fndependent reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, di mana peserta didik berkesempatan untuk menentukan sendiri materi bacaannya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole language. Dalam hal ini peserta didik bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru menjadi sebagai pengamat, fasilitator dan pemberi respon. Kegiatan ini apabila diberikan secara rutin walaupun hanya 10 menit sehari dapat meningkatkan kemampuan membaca pada peserta didik.
8) Independent writing Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Jenis menulis dalam kegiatan ini dapat berupa menulis jurnal, dan menulis respon Routman & Froese (Suratinah, 2003:2.3-2.8).
Adapun ciri-ciri pembelajaran bahasa yang menggunakan pendekatan whole
language menurut De Carlo (1995: 22-23) adalah sebagai berikut ini.
1) Dasar filosofis tentang anak dan bahasa adalah:
a) dasar filosofisnya adalah humanisme; b) peserta didik telah mengetahui bagaimana cara belajar; c) proses sangat penting; d) Bahasa tidak dapat dibagi (indivisible)
2) Bagaimana peserta didik belajar bahasa : a) mengutamakan belajar dari keseluruhan menuju kebagian-bagian; b) belajar dimulai dari hal-hal yang konkrit ke abstrak; c) pembelajaran berdasarkan pada transaksional; d) pembelajaran dikaitkan dengan teori psikologi gestal; e) belajar bahasa berdasarkan pada pengalaman dan kesesuaian
personal; f) pembelajar/peserta didik belajar bahasa untuk tujuan personal; g) kekuatan dari dalam yang memotivasi belajar; h) penghargaan dari luar tidak diberikan untuk perilaku belajar; i) bahasa dipelajari melalui pencelupan {immersion).
3) Lingkungan kelas: a) belajar di sekolah seperti di rumah; b) lingkungan dikotori {littered) atau dipenuhi dengan bahasa yang ditulis
oleh guru dan peserta didik;
c) fokus utamanya pada topik atau tema; d) pengelompokan fleksibel dan seringkali dibentuk berdasarkan minat; e) kelas mendorong terciptanya kerjasama dan kolaboratif;
Uly HaWimh/PK' S3/UPI
92
4) Perilaku g u r u : a) guru sebagai fasilitator tidak memberi label atau kategori kepada
peserta didik b) pembelajaran bersifat informal dan berdasarkan pada discovery; c) guru memperikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan
pilihan; d) guru lebih menekankan pada pentingnya mencoba dan menerima
risiko/tantangan; e) guru menekankan pada pentingnya makna bahasa; f) pembelajaran diberikan dalam bentuk kalimat atau unit kebahasaan
yang lebih tinggi; g) prinsip-prinsip pembelajaran, dengan sistem phonik diajarkan dalam
rangka pengenalan dan pemahaman kata dengan menggunakan pendekatan analitik;
h) guru mengajar dengan cerita yang utuh, buku-buku atau puisi; i) brainstorming digunakan untuk membangun latar belakang
pengalaman yang diperlukan dalam pembelajaran; j) guru selalu mengajar dengan menggunakan contoh; k) guru berpartisipasi secara aktif dengan peserta didik dalam membaca
dan menulis.
5) Perilaku peserta didik: a) peserta didik sering merencanakan kegiatan belajarnya sendiri; b) peserta didik sering memilih topik/tujuan penulisan sendiri; c) peserta didik sering membantu satu sama lainnya dalam membaca dan
menulis; d) peserta didik menggunakan bahasa untuk belajar tentang bahasanya; e) peserta didik lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan diskusi.
6} Evaluasi : Evaluasi bersifat informal, seperti mengamati, merekan, dan menggunakan contoh-contoh.
Gambaran kelas whole language sebagaimana dikemukakan di atas, sejalan
dengan yang dikemukakan Brown (1994:82) bahwa whole language merupakan
suatu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk menggambarkan
tentang pembelajaran bahasa yang (1) cooperative leaming, (2) participatory
leaming, (3) student-centered learning, (4) fdcus on the community of teamers, (5)
focus on the social nature of leaming, (6) use of authentic, natural language, (7)
Lely Halimak/PK- S3/UPJ
93
meaning-centered language, (8) holistic assessment techniques in testing, (8)
integration of the four skills".
Terdapatnya berbagai pendekatan pembelajaran bahasa sebagaimana
dikemukakan di atas, tentunya memperkaya pemahaman peneliti terhadap
pembelajaran bahasa. Setiap pendekatan yang dikembangkan, tentunya akan
memberikan nuansa yang berbeda dalam pembelajaran bahasa. Setelah
memperhatikan dari masing-masing pendekatan tersebut di atas, tentunya untuk
kepentingan penelitian ini, peneliti harus memilih salah satu pendekatan yang dapat
menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran bahasa yang ada.
Hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih salah satu pendekatan ini, di
antaranya (1) bagi guru, dapat memberikan kemudahan dan meningkatkan
kinerjanya dalam menjalankan tugas profesionalnya, (2) bagi peserta didik, dapat
memberikan motivasi untuk meningkatkan kemampuan komunikatifnya sebagaimana
diharapkan dalam tujuan pembelajaran bahasa, dan (3) sejalan dengan prinsip-
prinsip pengembangan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia yang saat ini
sedang dikembangkan.
C. Kurikulum 2004 Mata pelajaran Bahasa Indonesia
Pada bagian ini dikemukakan tentang (1) pengembangan kurikulum 2004, (2)
orientasi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, dan (3) kompetensi
komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD.
1. Pengembangan Kurikulum 2004
Kurikulum menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
Uly H-limok/PK- S3/UPI
94
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian kurikulum tersebut lebih mengacu
kepada pengertian kurikulum sebagai suatu rancangan (design) pendidikan.
Syaodih (1997: 58) mengemukakan bahwa kurikulum sebagai suatu rancangan
pendidikan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Hal tersebut
menggambarkan bahwa kurikulum paling tidak mempunyai dua dimensi yaitu
kurikulum sebagai dokumen tertulis dari suatu rancangan atau program pendidikan
(written curriculum), dan juga kurikulum sebagai pelaksanaan dari rencana tertulis
tersebut (actual curriculum).
Sementara menurut Hasan (1988: 28) kurikulum pada dasarnya memiliki
empat dimensi yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Keempat
dimensi tersebut yaitu (1) dimensi kurikulum sebagai ide atau konsepsi, (2) kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis, (3) kurikulum sebagai suatu proses atau kegiatan,
dan (4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar.
Kurikulum sebagai ide atau konsep pada dasarnya ada pada setiap orang
yang terlibat dalam usaha pendidikan baik terlibat langsung maupun tidak langsung,
apakah orang itu para pengambil kebijakan tentang pendidikan, guru, maupun orang
tua. Dalam proses pengembangan kurikulum, kurikulum sebagai ide atau konsep ini
terlihat jelas pada waktu proses awal penyusunan kurikulum, yaitu pada saat proses
ajang pendapat (deliberation) yang pada akhirnya membuahkan suatu keputusan
yang diwujudkan dalam dimensi kurikulum sebagai rencana atau sebagai dokumen
tertulis. Kurikulum sebagai dokumen tertulis, pengertian ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Oliva (Longstreet dan Shane, 1993: 50) 'Curriculum is the plan or
program for all experiences which the learner encounters under the direction of the
Lely Halimak/PK- S3/UPI
95
schooF. Atau lebih simpel Taba dafam sumber yang sama mengemuk^
cumculumisa plan forleaming. \\ 1
Adapun kurikulum dalam dimensi proses atau kegiatan, yattb ^ r ^ a j c a j v '
realisasi dari kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai ide. Hal ini, tampak
dari adanya aktivitas guru dan peserta didik dalam interaksi belajar mengajar.
Kegiatan belajar mengajar inilah sebenarnya yang merupakan esensi kurikulum,
karena kurikulum dalam dimensi ini yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Kurikulum dalam dimensi proses, hanjs mampu memberikan pengalaman belajar
yang bermakna bagi peserta didik. Dalam dimensi ini, pengertian kurikulum sejalan
dengan yang dikemukakan Longstreet dan Shane (1993: 49) "The cumculum i$ aB
the expériences under the school's direction that lead to leaming". Atau menurut
Laberty dalam sumber yang sama, adalah 'Ail of the actrviyies that are provided for
students by the school constitutes its cumculum.'Dengan kata lain, seluruh aktivitas
belajar atau seluruh pengalaman belajar peserta didik di bawah bimbingan guru, itu
merupakan kurikulum.
Sementara kurikulum dalam dimensi hasil, yaitu berkaitan dengan hasil
belajar yang diperoleh peserta didik baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun
sikap. Kurikulum dalam dimensi ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dan
dipengaruhi oleh kurikulum sebagai proses. Kurikulm dalam dimensi sebagai hasil,
sejalan dengan pengertian kurikulum yang dikemukakan Johnson (Longstreet dan
Shane, 1993: 50) adalah "... a stnjctured séries of intended leaming outcomes.'
Dilihat dari dimensi-dimensi kurikulum sebagaimana dikemukakan di atas,
tampaknya menimbulkan pengertian kurikulum yang bervariasi, sesuai dengan
sudut pandangnya terhadap kurikulum itu sendiri. Uraian di atas, menggambarkan
Lely Halimah/PK- S3/UPI
bahwa ku n kulum dapat diartikan secara fleksibel tergantung dan sudut mani
memandang kurikulum itu. Beragamnya pengertian kurikulum, menggambarkan
bahwa kurikulum merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, (bahkan
menurut Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2004: 1) ibarat suatu kehidupan,
maka kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Dengan kata lain kurikulum
merupakan salah satu komponen penting atau merupakan salah satu faktor dominan
dalam sistem pendidikan.
Kurikulum pada dasarnya merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari
beberapa komponen. Dalam konteks ini, Syaodih ( 1997: 102) mengemukakan
bahwa kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun
binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen
dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau
sistem penyampaian dan media, serta penilaian. Keempat komponen tersebut
berkaitan erat satu sama lain.
Komponen tujuan, yaitu merupakan arah atau sasaran yang ingin dicapai
dalam pelaksanaan pendidikan. Tujuan pendidikan secara hierarkis meliputi tujuan
pendidikan nasional, tujuan institusionsl, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional
atau tujuan pembelajaran. Setiap tujuan tersebut, pada dasarnya meliputi domain
pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai.
Komponen isi atau materi, pada umumnya berkenaan dengan apa yang akan
dipelajari oleh peserta didik sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Terkait dengan
isi kurikulum ini, menurut Hymen (Ansyar, 1989: 115) meliputi ilmu pengetahuan
(seperti fakta, keterangan, prinsip, dan definisi), keterampilan dan proses (seperti
membaca, menulis, berhitung, menari, berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan
UlyHaUmakJPK- S3AJPI
97
tulisan), dan nilai-nilai (seperti konsep tentang hal-hal baik, buruk, betul dan salah,
indah dan jelek).
Komponen proses atau organisasi, yaitu berkaitan dengan bagaimana materi
pembelajaran disusun atau diorganisasi sehingga peserta didik memperoleh
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Organisasi materi dan
pengalaman belajar menurut Ansyar dan Nurtain (1993: 14) meliputi dua dimensi,
yaitu horizontal dan vertical. Organisasi horizontal berkenaan dengan ruang lingkup
dan keterpaduan dari keseluruhan materi atau merupakan kaitan antara satu materi
dengan materi pelajaran lainnya pada kelas yang sama. Adapun organisasi vertikal,
mencakup urutan dan kesinambungan materi pelajaran berupa hubungan
longitudinal materi/pengalaman belajar peserta didik.
Komponen penilaian , yaitu berkaitan dengan pencarian informasi dan bukti
untuk mengetahui apakah tujuan tercapai atau tidak. Komponen ini, pada dasarnya
memberikan indikasi tentang keberhasilan atau ketidakberhasilan proses
pembelajaran dalam mencapai tujuan yang direncanakan.
Terkait dengan uraian di atas, lebih lanjut Syaodih (1997: 102)
mengemukakan bahwa dalam pengembangan suatu kurikulum harus memiliki
kesesuaian. Kesesuaian yang dimaksud meliputi dua hal, yaitu (1) kesesuaian antara
kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat, dan
(2) kesesuaian antara komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan
tujuan, proses sesuat dengan isi dan tujuan, demikian juga penilaian sesuai dengan
proses, isi, dan tujuan.
Sejalan dengan pendapat di atas, berkaitan dengan pengembangan
kurikulum, menurut Richards (2001: 2) adalah :
Leiy HaUmah/PK- S3/UP1
98
cumculum development focuses ort detennining what knowledge, skills, and values students feam in schools, what experiences should be provided to bring about intended leaming outcomes, and how teaching and leaming in schools or educational systems can be planned, measured, and evaluated.
Maksudnya bahwa yang menjadi focus pengembangan kurikulum pada
dasarnya berkenaan dengan penentuan pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta
pengalaman yang sebaiknya dipelajari peserta "didik di sekolah, dan bagaimana
pembelajaran direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai dalam sistem pendidikan. Apa
yang dikemukakan Richards di atas, terkait dengan apa yang dikemukakan Nasution
(1995: 10) bahwa pengembangan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan
sederhana, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan
yang dapat diajukan untuk diperhitungkan. Semua pertanyaan itu menyangkut asas-
asas atau landasan yang mendasari setiap pengembangan kurikulum,.
Asas-asas pengembangan kurikulum yang dimaksud di atas, yaitu berkenaan
dengan (1) landasan filosofis yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yang sesuai
dengan filsafat negara, (2) landasan sosiologis, yaitu berkaitan dengan keadaan
masyarakat, perkembangan dan perubahannya serta kebudayaannya, (3) landasan
psikologis yang berkaitan dengan faktor peserta didik, yang meliputi bagaimana
perkembangan peserta didik (psikologi anak), dan bagaimana peserta didik belajar
(psikologi belajar), dan (4) landasan organisatoris, yang mempertimbangkan bentuk
dan organisasi bahan pelajaran yang akan disajikan.
Keterkaitan uraian di atas, dengan Kurikulum 2004 yang sedang
dikembangkan saat ini di lapangan. Dilihat dari istilahnya Kurikulum 2004 ini lebih
dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam dunia pendidikan,
KBK bukan hal baru. Menurut Wardani (2004: 1); Hamalik (2002: 86) dalam dunia
Uly Balimah/PK- S3/UPI
99
pendidikan khususnya pendidikan guru, istilah Pendidikan Guru Berdasarkan
Kompetensi (PGBK) atau Performance Based Teacher Education (PBTE) tefah
disosialisasikan pada akhir tahun tujuh-puluhan.
Secara teoretis pengembangan kurikulum berbasis kompetensi kebanyakan
merujuk pada kompetensi seseorang yang lebih berorientasi pada kemampuan-
kemampuan dalam pekerjaan. Akan tetapi, secara umum pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi menurut Yulaelawati (2004: 17) sangat sesuai pula untuk
digunakan dalam pendidikan persekolahan. Dalam Kurikulum 2004, yang menjadi
dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi ada lah:
1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam berbagai konteks;
2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi kompeten;
3. Kompetensi merupakan hasil belajar (tearning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran;
4. Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Depdiknas, 2002).
Adapun yang dimaksud kompetensi dalam Kurikulum 2004, merupakan
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-
menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten. Menurut Yulaelawati (2004:
17) pengertian kompetensi tersebut cenderung sederhana, tetapi mempunyai makna
yang mendalam. Dalam hal ini, menurutnya yang dimaksud dengan kebiasaan
berpikir dan bertindak itu sebagaimana dikemukakan Spancer dan Spancer (1993)
meliputi lima tipe kompetensi, yaitu (1) motif, adalah sesuatu yang dimiliki seseorang
untuk berpikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi, (2)
Uly HaUmah.VK- S3AJP1
100
pembawaan, adalah karakteristik fisik yang merespon secara konsisten berbagai
situasi dan informasi, (3) konsep diri, adalah tingkah laku, nilai, atau citraan (image)
seseorang, (4) pengetahuan, adalah informasi khusus yang dimiliki seseorang, dan
(5) keterampilan, adalah kemampuan untuk melakukan tugas secara fisik atau
mental.
Dalam menggambarkan kelima -tipe kompetensi tersebut, Spenser dan
Spencer (Yulaeiawati, 2004: 15) menunjukkan melalui gambar model gunung es.
Pada gambar model gunung es ini menjelaskan bahwa terdapat kompetensi yang
berada pada permukaan gunung es, yaitu meliputi kompetensi pengetahuan dan
keterampilan. Kompetensi permukaan ini, lebih mudah dikembangkan melalui
pembelajaran dan latihan. Sementara, yang berada pada bagian dasar gunung es,
yaitu kompetensi pembawaan dan motif. Kompetensi ini merupakan inti dari
kepribadian, dan karena berada pada bagian dasar gunung es, kompetensi
pembawaan dan motif ini lebih sulit dikembangkan dan dikenali. Adapun kompetensi
konsep diri yang mencerminkan sikap dan nilai, berada di tengah-tengah gunung es,
yaitu antara bagian permukaan gunung es dan bagian dasar gunung es. Kompetensi
konsep diri, sikap, dan nilai masih dapat dilatihkan dengan pengalaman-pengalaman
belajar yang positif, produktif, dan proaktif, walaupun lebih banyak memerlukan
waktu.
Sejalan dengan pengertian kompetensi tersebut di atas, secara rinci Gordon
(Mulyasa, 2002:38) mengemukakan aspek-aspek kompetensi, yang meliputi (1)
pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman (understanding), (3) ketrampilan (skills),,
(4) nilai (value), (5) sikap (attitude), dan (6) minat (interest). Menurut Depdiknas
(2002) kompetensi-kompetensi yang dikembangkan dalam KBK merupakan
Lely HoUnoh/PK- S3AJPI
101
penjabaran dari tujuan pndidikan nasional. Penjabarannya dilakukan melalui
kompetensi tamatan, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi rumpun pelajaran,
dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Adapun gambaran dari masing-masing
kompetensi adalah sebagai berikut
1) Kompetensi tamatan merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang tertentu.
2) Kompetensi lintas kurikulum adalah kompetensi yang perlu dicapai melalui seluruh rumpun pelajaran dalam kurikulum. Kompetensi lintas kurikulum merupakan pernyataan tantang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direalisasikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan keterampilan hidup yang harus dimiliki. Hasil belajar dari kompetensi lintas kurikulum ini perlu dicapai melalui pembelajaran-pembelajaran dari semua rumpun pelajaran.
3) Kompetensi rumpun pelajaran merupakan pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang seharusnya dicapai setelah siswa menyelesaikan rumpun pelajaran tertentu.
4) Kompetensi dasar merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan satu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu (Depdiknas, 2002).
Dengan orientasi pada pengembangan sejumlah kompetensi yang harus
dimiliki oleh peserta didik, maka KBK memiliki ciri-ciri yaitu (1) menekankan pada
ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal; (2)
berorientasi pada hasil belajar (leaming outcomes) dan keberagaman; (3)
penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metoda yang
bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya
yang memenuhi unsur edukatif; (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil
belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Ldy HaUmakWK- S3/UPI
102
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, berkenaan dengan asas-asas
pengembangan kurikulum, apabila dikaitkan dengan penentuan kompetensi dalam
pengembangan KBK, yang menjadi landasan filosofisnya sebagaimana
dikemukakan Puskur (2003) bahwa dalam merekonseptualisasikan kurikulum ini
digunakan landasan filosofis Pancasila sebagai dasarnya. Pancasila seperti
termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai landasan filosofis pendidikan nasional, karena Pancasila
merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia serta kepribadian dan pandangan hidup
Bangsa Indonesia. Sebagai jiwa, Pancasila merupakan sumber yang memberikan
kekuatan hidup yang membimbing dalam mengejar cita-cita hidup. Sebagai
kepribadian, Pancasila merupakan pola dasar tingkah laku bangsa sebagai
kelompok, dan sebagai pandangan hidup merupakan wawasan dalam mengartikan
hidup dan kehidupan (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan IKIP Bandung,
1989). Selain itu, Pancasila sangat relevan untuk penerapan filosofis pendidikan
yang mendunia seperti empat pilar belajar (Detor, 1997), yang meliputi belajar
menjadi diri sendiri, belajar mengetahui, belajar melakukan, dan belajar hidup
bersama.
Sejalan dengan pernyataan di atas, UUSPN No.2 Tahun 2003 pasal 2
menyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Landasan filosofis tersebut, kemudian dijabarkan dalam tujuan pendidikan nasional,
Lely Hallmak/PK- S3AJPI
103
f< K.J
sebagaimana dinyalakan dalam pasal 3 UUSPN No. 2 Tahun 2003 adalàp
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan menr watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Terkait dengan landasan sosiologis dalam pengembangan kurikulum. Dalam
konteks ini, pengembangan Kurikulum 2004, menurut Muhammad (2004: 2) pada
dasarnya sebagai upaya perubahan dalam menanggapi berbagai perkembangan
dalam masyarakat, baik masyarakat dunia maupun masyarakat lokal yang saat ini
berhadapan dengan berbagai pembahan yang begitu cepat. Perubahan yang terjadi
dalam sistem intorniasi dan komunikasi, bioteknologi, rekayasa genetic, teknologi
ruang angkasa, knowledge-based economy di dalam dan di luar negeri. Semuanya
itu, perlu diantisipasi ke dalam kurikulum secara bermakna dan responsif, yang
sekaligus berupaya mengantisipasi berbagai ketimpangan kehidupan yang di
antaranya menyakut moral, akhlaq, jati diri bangsa, sosial politik, ekonomi serta
terobosan peningkatan mutu pendidikan yang belum mencapai taraf yang memadai.
Menurut Hasan (2000: 3) landasan sosial dan budaya merupakan salah satu
landasan yang seharusnya menjadi kepedulian utama dalam proses pengembangan
kurikulum. Pada dasarnya, kurikulum harus mampu mengembangkan manusia
sehingga mereka memiliki karakteristik dan sifat-sifat yang diperlukan baik oleh
dirinya sebagai suatu pribadi maupun oleh masyarakat, bangsa, dan negara.
Konsekuensinya, kurikulum harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang bedaku
Lely HaUmah&K- S3/UPI
104
dalam masyarakat di mana nilai positif harus dilestarikan sedangkan nilai negatif
harus dapat diubah melalui proses menjadi nilai positif.
Terkait dengan pendapat di atas, yang menjadi landasan sosiologis
pengembangan Kurikulum 2004, tidak hanya memperhatikan kebutuhan masyarakat
lokal, tetapi lebih jauh dari itu. Dalam hal ini, memandang masyarakat Indonesia
merupakan bagian dari masyarakat dunia yang dihadapkan pada tuntutan
globalisasi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan hasil pendidikan nasional yang
dapat bersaing dengan hasil pendidikan dari negara-negara maju (Puskur, 200: 5).
Adapun dilihat dari landasan psikologis pengembangan Kurikulum 2004. Pada
dasarnya Kurikulum 2004 ini sangat memperhatikan kebutuhan perkembangan
setiap peserta didik. Dilihat dari teori perkembangan, Syaodih (1997: 47-51)
mengemukakan tiga pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan
pentahapan {stage approach), pendekatan diferensial (diferential approach), dan
pendekatan ipsatif {ipsative approach).
Pendekatan pentahapan, yaitu melihat perkembangan individu melalui tahap-
tahap perkembangannya, seperti dari masa konsepsi sampai dengan masa
adolesen. Salah satu teori yang banyak dijadikan acuan dalam dunia pendidikan,
yaitu tahap-tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget. Menurutnya
perkembangan kognitif meJiputi tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap
praoperasionai (2-4 tahun), tahap konkret operasional (7-11 tahun), dan tahap formal
operasional (11-15 tahun). Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik
tertentu yang berbeda dengan tahap lainnya.
Menurut Syaodih (1997: 48} pendekatan diferensial melihat bahwa individu
memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar itu individu dikategorikan atas
Lefy Halimak/PK- SSAJPI
105
kelompok-kelompok yang berbeda, seperti pengelompokkan berdasarkan jenis
kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi, dan sebagainya. Selain ftu, terdapat
pula pengelompokkan yang bersifat biporal, seperti : introvert - ekstra vert, dominan
- submisif, agresif - pasif, aktivitas tinggi - aktivitas rendah, dan sebagainya.
Adapun pendekatan ipsatif, yaitu pendekatan yang melihat karakteristik individu yang
berbeda dari individu yang lainnya.
Dalam pengembangan Kurikulum 2004 pada dasarnya mempertimbangkan
ketiga pendekatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan Depdiknas (2002)
dalam pedoman pelaksanaan KBK, pada poin 2 tentang diversifikasi kurikulum,
menyatakan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat didiversifikasi atau
diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan
kebutuhan, baik yang menyangkut kemampuan atau potensi peserta didik maupun
yang menyangkut potensi lingkungan. Menurutnya, pada dasarnya peserta didik
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu normal, sedang, dan tinggi.
Selain itu, pada poin 11 tentang akselerasi belajar, dikemukakan bahwa akselerasi
belajar dimungkinkan untuk diterapkan sehingga peserta didik yang memiliki
kemampuan di atas rata-rata dapat menyelesaikan materi pembelajaran lebih cepat
dari masa belajar yang ditentukan.
Kaitannya dengan landasan psikologis, dalam pengembangan kurikulum tidak
hanya mempertimbangkan kebutuhan perkembangan peserta didik sebagaimana
digambarkan dalam psikologi perkembangan, tetapi juga mempertimbangkan cara-
cara peserta didik belajar yang pada umumnya dibahas dalam psikologi belajar.
Banyak teori psikologi belajar yang dapat menjadi acuan dalam proses
pembelajaran. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian teori belajar bahasa,
Uly HattmnksVK- SJ/UPI
106
terdapat tiga kelompok teori psikologi belajar mulai dari teori belajar behaviorisme,
kognitivisme, dan humanisme. Ketiga teori tersebut, tentu memiliki keterbatasan-
keterbatasan di samping masing-masing mempunyai kelebihan-kelebihan. Oleh
karena itu, dalam pengembangan kurikulum biasanya tidak menganut teori belajar
tunggal.
Dalam pedoman pengelolaan KBK dikemukakan prinsip-prinsip kegiatan
pembelajaran yang harus dikembangkan oleh guru. Prinsip-prinsip yang dimaksud di
antaranya (1) berpusat pada peserta didik; (2) belajar dengan melakukan; (3)
mengembangkan kemampuan sosial; (4) mengembangkan keingintrahuan, Imajinasi,
dan fitrah Bertuhan; (5) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; (6)
mengembangkan kreatifitas peserta didik; (7) mengembangkan kemampuan
menggunakan ilmu dan tekmologi; (8) menumbuhkan kesadaran sebagai warga
negara yang baik; (9) belajar sepanjang hayat; (1) perpaduan kompetensi, kerja
sama, dan solidaritas.
Khusus tentang komponen kegiatan belajar mengajar, dalam KBK secara
eksplisit tergambar harapan bahwa pelaksanaan pembelajaran harus disesuaikan
dengan kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan perkembangannya maupun
kebutuhan peserta didik untuk masa kini dan masa yang akan datang. Hal tersebut,
sejalan dengan gagasan Crow & Crow (Nasution, 1991. 80-81) yang menyarankan
hubungan kurikulum dan anak, di antaranya:
1) kurikulum hendaknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak; 2) isi kurikulum hendaknya mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap
yang dapat digunakan anak dalam pengalamannya sekarang dan juga berguna untuk menghadapi kebutuhannya masa mendatang;
3) anak hendaknya didorong untuk belajar berkat kegiatannya sendiri dan tidak sekedar penerima pasif apa yang dilakukan guru;
Uly HaUmah/PE- S3/UPI
107
4) sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak yang sesuai dengan taraf perkembangannya dan bukan menurut keputusan orang dewasa tentang apakah seharusnya minat mereka".
Prinsip-prinsip pembelajaran tersebut pada dasarnya menggambarkan
bahwa peran guru sangat strategis dalam menjembatani antara kurikulum dengan
karakteristik peserta didik. Dengan demikian, guru perlu memberikan dorongan
kepada peserta didik untuk menggunakan otoritasnya dalam belajar, karena
tanggung jawab belajar berada pada diri peserta didik itu sendiri. Dalam hal ini guru
mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa,
motivasi, dan tanggung jawab peserta didik untuk belajar dan mengarahkan
munculnya kesadaran untuk belajar sepanjang hayat Melalui Kurikulum 2004,
diharapkan mampu membekali peserta didik dengan kecakapan-kecakapan hidup
(life skills), yang meliputi kecakapan akademik, kecakapan sosial, kecakapan
berpikir, kecakapan pribadi, dan kecakapan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu
Untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran sebagaimana dikemukakan di
atas, maka dalam pedoman pengelolaan KBK ini juga dikemukakan prinsip-prinsip
motivasi dalam belajar yang harus dipedomani oleh guru. Prinsip-prinsip motivasi
yang dimaksud meliputi (1) kebermaknaan; (2) pengetahuan dan keterampilan
prasyarat; (3) komunikasi terbuka; (4) menjadi model; (5) keaslian dan tugas yang
menantang; (6) layanan yang tepat dan aktif; (7) penilaian tugas; (8) kondisi dan
konsekuansi yang menyenangkan; (9) keragaman pendekatan; (10)
mengambangkan beragam kemampuan; (11) melibatkan sebanyak mungkin indera;
(12) keseimbangan pengaturan pengalaman belajar.
Uly HaUnuA/PK- S3AJPI
108
Memperhatikan prinsip-prinsip di atas, menggambarkan bahwa ketiga
kelompok teori belajar, baik teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme
telah mewarnai pengembangan Kurikulum 2004. Artinya teori belajar yang dianut
oleh para pengembangan Kurikulum 2004 lebih bersifat eklektis. Maksudnya,
bersifat memilih aspek-aspek yang terbaik dari ketiga kelompok psikologi belajar
tersebut. Hal tersebut tampak dari pernyataan yang dikemukakan dalam pedoman
pelaksanaan KBK, bahwa kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan berpusat
pada peserta didik, yaitu pendekatan belajar yang aktif, kreatif, efektif,
menyenangkan, dan mencerahkan. Pendekatan lainnya seperti belajar tuntas,
konstruktivisme, pemecahan masalah, berpikir reflektif, dan multikecerdasan apabila
digunakan dapat memperkaya pendekatan belajar aktif.
Dilihat dari landasan organisasi dalam pengembangan Kurikulum 2004.
Menurut Nasution (1995: 176-226); Ibrahim dan Karyadi (1990: 16-18); Syaodih
(1997: 113-124) yang dimaksud dengan organisasi kurikulum adalah berkenaan
dengan pola atau bentuk bahan pelajaran disusun dan disampaikan kepada peserta
didik. Organisasi kurikulum ini meliputi (1) kurikulum yang berisi mata pelajaran yang
terpisah-pisah {Separated Subject Cuniculum), (2) kurikulum yang berisi sejumlah
mata pelajaran yang dihubung-hubungkan (Correlated Cuniculum), dan (3) kurikulum
terpadu, yaitu kurikulum yang meniadakan batas-batas antara berbagai mata
pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan
(Integrated Cuniculum).
Ciri-ciri setiap bentuk organisasi kurikulum, menurut Hamalik (1993: 32-35)
adalah sebagai berikut. Ciri-ciri kurikulum mata pelajaran (Subject-MatterCuniculum)
di antaranya (a) terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang terpisah satu sama lain,
Lely Hollmok/PK- S3/UPI
109
(b) setiap matapelajaran seolah-olah tersimpan dalam kotak-kotak sendiri dan
diberikan pada waktu tertentu, (c) kurikulum ini bertujuan pada penguasaan sejumlah
ilmu pengetahuan, (d) tidak didasarkan atas kebutuhan, minat, dan tuntutan
masyarakat, (e) pendekatan metodologi system penuangan, (f) pelaksanaan dengan
sistem guru mata pelajaran, dan (g) peserta didik sama sekali tidak dilibatkan dalam
perencanaan kurikulum.
Adapun ciri-ciri kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang
dihubung-hubungkan (Cormlated-Cumcuium), di antaranya (a) mata pelajaran
dikorelasikan satu sama lain, (b) sudah ada usaha untuk menyesuaikan dengan
masalah kehidupan sehari-hari kendatipun tujuannya masih tetap penguasaan
pengetahuan, (c) telah ada usaha untuk menyesuaikan dengan minat dan
kemampuan peserta didik kendatipun pelayanan terhadap perbedaan individual
masih sangat terbatas, (d) metode penyampaiannya adalah menggunakan metode
korelasi kendatipun masih banyak kesulitan yang dihadapi, dan (e) guru masih
memegang peran aktif, dan aktivitas peserta didik sudah mulai dikembangkan.
Ciri-ciri bentuk organisasi kurikulum terpadu (Integrated Curricutum) di
anataranya adalah (a) berdasarkan filsafat pendidikan demokratis, (b) berdasarkan
psikologi belajar Gestalt, (c) berdasarkan landasan sosiologis dan sosio-kultural, (d)
berdasarkan kebutuhan dan tingkat perkembangan-pertumbuhan peserta didik, (e)
ditunjang oleh semua mata pelajaran atau bidang studi yang ada, (f) sistem
penyampaiannya dengan menggunakan sistem pengajaran unit, dan (g) peran guru
sama aktifnya dengan peran peserta didik. Keunggulan atau manfaat kurikulum
terpadu menurut Nasution (1995: 205) di antaranya (a) segala sesuatu yang
dipelajari dalam unit bertalian erat, (b) kurikulum ini sesuai dengan pendapat-
Lely Holimah/PK- S3AJPI
pendapat modem tentang belajar, (c) memungkinkan hubungan yang erat antara
sekolah dengan masyarakat, (d) sesuai dengan paham demokratis, dan (e) mudah
disesuaikan dengan minat, kesanggupan, dan kematangan peserta didik.
Untuk melaksanakan bentuk organisasi kurikulum terpadu, Fogarty (1991)
memperkenalkan sepuluh model pembelajaran terpadu yang dikelompokkan menjadi
tiga tipe. Menurut Sumantri (2002: 17) ketiga tipe tersebut adalah (1) tipe
pembelajaran terpadu dalam satu disiplin ilmu (fragmented, connected dan nested),
(2) tipe pembelajaran terpadu antardisplin ilmu (seguenced, shared, webbed,
threaded, dan integrated), dan (3) tipe pembelajaran terpadu yang mengutamakan
keterpaduan faktor peserta didiknya (immersed, dan networked).
Dari sepuluh model pembelajaran terpadu tersebut, yang diperkenalkan dalam
program D-ll PGSD yaitu model connected, webbed, dan integrated. Pelaksanaan
pendekatan pembelajaran terpadu, menurut Joni (1996: 3) dapat dipandang sebagai
upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tingkat dasar, terutama dalam
rangka mengimbangi gejala penjejalan kurikulum yang sering terjadi dalam proses
pembelajaran di sekolah.
Bentuk organisasi kurikulum dalam pengembangan Kurikulum 2004. Dalam
bagian pertama pedoman pelaksanaannya, dikemukakan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum yang terdiri dari sembilan butir. Pada butir ke sembilan
dikemukakan prinsip pendekatan menyeluruh dan kemitraan. Uraiannya di antaranya
dikemukakan bahwa semua pengalaman belajar dirancang secara
berkesinambungan. Pendekatan yang digunakan dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar berfokus pada kebutuhan peserta didik yang bervariasi dan
mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu.
Lely UaUmoh/PK- S3AJPI
I l l
Petunjuk tersebut, sejalan dengan uraian yang terdapat pada struktur
kurikulum, yang merupakan ketentuan untuk kelas satu dan dua, di antaranya
bahwa pendekatan tematik digunakan dalam kegiatan pembelajaran untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna. Pemilihan tema-tema untuk
kegiatan pembelajaran dilakukan secara bervariasi. Sementara dalam ketentuan
untuk kelas tiga sampai dengan kelas enam, dikemukakan bahwa mulai dari kelas
tiga menggunakan pendekatan mata pelajaran tunggal sesuai dengan jenis mata
pelajaran dalam struktur kurikulum.
Landasan-landasan kurikulum sebagaimana telah dikemukakan di atas,
tentunya harus direalisasikan dalam implementasi kurikulum. Menurut Ibrahim dan
Karyadi (1990: 19-20) pengembangan kurikulum terdiri atas pengembangan tingkat
institusional, pengembangan tingkat bidang studi/mata pelajaran, dan tingkat
operasional/kelas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Subandijah, (1993: 206)
mengemukakan bahwa secara hirarkis pengambilan keputusan dalam
pengembangan kurikulum terdapat beberapa tingkat, yaitu tingkat nasional, tingkat
propinsi, tingkat sekolah, dan tingkat kelas.
Khususnya dalam tahap perencanaan kurikulum, Oliva (1992: 56))
mengemukakan ada delapan level, yaitu "... levels of planning classroom, individual
school, school district, state, region, nation, world". Lebih lanjut, Oliva (1992: 56)
mengemukakan bahwa "If we are concerned about levels of importance, and indeed
we are, we should concede that classroom planning is far more Important than any of
the successive steps. At the classroom level, the results of curriculum planning make
their impact on the learner.'
Uly HaUmok/PK- S3/UPI
112
Adapun keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum, pada dasarnya
mereka terutama yang dipandang kompeten dapat telibat dalam berbagai tingkat
sebagaimana dikemukakan di atas. Tetapi, pada umumnya tugas guru yang utama
adalah sebagai pengembang kurikulum tingkat kelas. Menurut Syaodih (1997: 150)
kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana
semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji
dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan
hidup. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan
kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan pengembang
kurikulum sesungguhnya.
2. Orientasi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar merupakan salah satu
bagian dari Kurikulum 2004 secara keseluruhan, yang mempunyai nilai strategis.
Alasannya, pada jenjang inilah pertama kalinya pembelajaran bahasa Indonesia
dilaksanakan secara terencana dan terarah. Moment ini dapat dimanfaatkan untuk
menanamkan tiga hal. Pertama, guru dapat menanamkan pengetahuan dasar
bahasa Indonesia. Kedua, guru dapat menumbuhkan rasa memiliki, mencintai, dan
bangga akan bahasa Indonesia pada diri peserta didiknya. Ketiga, guru dapat
menumbuhkan keterampilan-keterampilan berbahasa pada peserta didiknya. Mereka
yang sudah dibekali dengan landasan yang kuat mengenai pengetahuan, sikap
positif, dan keterampilan berbahasa, maka yang bersangkutan akan lebih mudah
menyelesaikan studinya.
Lefy HalimahjTK- S3/UP1
113
Menurut Tangan (1995: 5-9) nilai strategis mata pelajaran bahasa Indonesia
dalam kurikulum sekolah khususnya di sekolah dasar, di antaranya (1) bahasa
sangat fungsional dalam kehidupan manusia, (2) sekolah dasar sebagai pelaksana
pertama pembelajaran bahasa Indonesia, (3) bahasa ibu sebagian besar peserta
didik bukan bahasa Indonesia, (4) pembelajaran bahasa Indonesia menumbuhkan
nasionalisme, (5) pembelajaran bahasa Indonesia menunjang keberhasilan mata
pelajaran lain, (6) pembelajaran bahasa Indonesia dapat membina budi pekerti, dan
(7) tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbahasa.
Melihat begitu strategisnya fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia dalam
menunjang keberhasilan secara menyeluruh Kurikulum 2004, maka guru bahasa
Indonesia harus memahami secara mendalam karakteristik Kurikulum 2004 pada
umumnya dan pada khususnya Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia.
Untuk itu, maka berikut ini dikemukakan karakteristik Kurikulum 2004 mata pelajaran
bahasa Indonesia.
a. Rasional Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Dalam uraian rasional Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD,
dikemukakan bahwa standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia
berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa. Maksudnya, bahwa belajar bahasa
adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia
dan niiai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Indonesia
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkbmununikasi
dalam Bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan serta menimbulkan
penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia.
Uly HalimakTK- S3/UPI
114
Standar kompetensi tersebut dimaksudkan agar peserta didik siap mengakses
situasi multiglobal lokal yang berorientasi pada keterbukaan dari kerhasadepanan.
Kurikulum ini diarahkan agar peserta didik terbuka terhadap beragam informasi yang
hadir di sekitar kita dan dapat menyaring yang berguna, belajar menjadi diri sendiri,
dan peserta didik menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak terlepas dari
lingkungannya (Puskur, 2003).
b. Fungsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam
Kurikulum 2004, bahwa dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta sastra Indonesia
sebagai hasil cipta intelektual produk budaya, maka fungsi mata pelajaran bahasa
Indonesia sebagai:
1) sarana pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya;
3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;
4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah;
5) sarana pengembangan penalaran, dan 6) sarana pemahaman beragam budaya Indonesia melalui khazanah
kesustraan Indonesia (KBK Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, 2003).
c. Tujuan Umum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Tujuan umum pembelajaran bahasa Indonesia SD dalam Kurikulum 2004
adalah:
1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dari bahasa negara;
Lely HaUmah/PK- S3/UPI
115
2) siswa memahami bahasa Indonesia dan segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan;
3) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial;
4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis);
5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Dan rumusan tujuan di atas jelas, bahwa lulusan SD diharapkan mampu, (1)
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berbagai keperluan,
seperti pengembangan intelektual, dan sosial, (2) memiliki pengatahuan yang
memadai tentang kebahasaan, sehingga dapat menunjang keterampilan berbahasa
yang dapat diterapkan dalam berbagai keperluan dan kesempatan, (3) memiliki sikap
positif terhadap bahasa Indonesia, dan (4) menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk mengembangkan kepribadian dan khasanah budaya/ intelektual bangsa
Indonesia Zulela (Santosa, dkk., 2003; 3.5).
d. Standar Kompetensi Bahan Kajian Pembelajaran Bahasa Indonesia
Standar kompetensi yang harus dicapai dalam pelaksanaan Kurikulum 2004
mata pelajaran bahasa Indonesia, meliputi enam aspek yang meliputi berikut ini.
1) Menyimak Berdaya tahan dalam berkonsentrasi mendengarkan sampai dengan tiga puluh menit, dan mampu menyerap gagasan pokok dan perasaan dari cerita, berita, petunjuk, pengumuman, serta perintah yang didengar dengan memberikan respon secara tepat;
2) Mewicara Mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan perasaan, bertukar pengalaman, menjelaskan suatu proses, mendeskripsikan, dan bermain peran;
Lefy Halimah/PK- S3/UPI
116
3) Membaca Membaca lancar beragam teks dan mampu menjelaskan isinya, serta merespon isi dengan kata-kata sendiri;
4) Menulis Menulis karangan naratif dan non-naratif dengan tulisan rapi dan jelas dengan memperhatikan tujuan dan ragam pembaca, memakai ejaan dan tanda baca, dan kosakata yang tepat dengan menggunakan kalimat tunggal dan kalimat majemuk;
5) Kebahasaan Memahami/menggunakan kalimat lengkap, tak lengkap, dalam berbagai konteks, imbuhan, penggunaan kosakata, ejaan, pelafalan, serta intonasi bahasa Indonesia;
6) Apresiasi Bahasa dan sastra Indonesia Mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan mendengarkan, menonton, membaca dan melisankan hasil sastra berupa dongeng, puisi dan drama pendek, serta menuliskan pengalaman dalam bentuk cerita dan puisi (Puskur, 2003).
Untuk mewujudkan standar kompetensi tersebut dalam pelaksanaan
Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD, terdapat lima butir rambu-
rambu yang harus dijadikan pedoman bagi guru. Rambu-rambu yang dimaksud
adalah sebagai berikut ini.
1) Pendekatan pembelajaran, dalam hal ini dijelaskan bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, maka pembelajaran bahasa hendaknya membina peserta didik agar terampil berkomunikasi.
2) Pengorganisasian materi, memberikan arahan bahwa kompetensi dasar, hasil belajar, indikator, dan materi pokok yang tercantum dalam standar kompetensi merupakan bahan minimal yang harus dikuasai peserta didik. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya dapat dikembangkan atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam hal ini dijelaskan bahwa kompetensi dasar mencakup aspek mendengarkan, mewicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu.
3) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dalam hal ini diarahkan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hendaknya dimanfaatkan secara maksimal, demi kepentingan dalam menngembangkan kemampuan berbahasa peserta didik.
Ldy Halimah/PK- S3/UP1
117
4) Diversifikasi kurikulum, ditunjukkan dengan tanda bintang (*) terutama bagi peserta didik yang memiliki kemampuan lebih. Ini artinya, bahwa pembelajaran hendaknya harus mampu memberikan layanan sesuai dengan kemampuan peserta didik.
5) Bacaan wajib sastra, sebagai upaya meningkatkan apresiasi sastra dan gemar membaca, maka setiap peserta didik pada jenjang sekolah dasar diwajibkan membaca 9 (sembilan) buku sastra.
Dari uraian di atas, tergambar bahwa Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa
Indonesia ini, mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya.
Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD dengan semua
karakteristiknya itu memerlukan pelaksanaan yang sesuai dengan karakteristiknya
itu. Sebagaimana dirumuskan dalam kurikulum tersebut bahwa kompetensi adalah
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang terefleksikan dalam kegiatan
berpikir dan bertindak. Implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia,
mendorong adanya upaya kreatif dari guru untuk memberikan kesempatan kepada
peserta didik dalam penggunaan bahasa Indonesia secara komunikatif dalam
berbagai aktivitas.
3. Kompetensi Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa di SD
Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 26-27) kompetensi komunikatif
menunujuk kepada kemampuan kita menggunakan bahasa untuk interaksi sosial dan
komunikatif, yaitu "mengetahui kapan saat yang tepat membuka percakapan dan
bagaimana, topik apa yang sesuai untuk situasi atau peristiwa ujaran tertentu, bentuk
sebutan mana yang harus digunakan, kepada siapa dan dalam situasi apa, serta
bagaimana menyampaikan, menafsirkan, dan merespons tindak ujaran seperti
salam, pujian, permintaan maaf, undangan, dan sebagainya. Dengan kata lain,
Ufy Halimah/PK- S3/UPI
118
kompetensi komunikatif adalah kemampuan menggunakan keseluruhan aspek
bahasa dalam konteks komunikasi nyata Priyanti (Nurchasanah, 1994: 31).
Pengertian kompetensi komunikatif tersebut, pada dasarnya mengacu kepada
pendapat Lamzon (Nurchasanah, 1994: 32) yang menyatakan bahwa pembelajar
dikatakan memiliki kompetensi komunikatif apabila mereka memiliki kemampuan
gramatikal yang memadai dan kepekaan kontekstual yang tinggi, sehingga mereka
mampu memilih bahasa secara bervariasi sesuai dengan konteks sosiokulturalnya
dan dapat mengungkapkan secara tepat dalam bentuk tuturan yang kongkrit
Pendapat di atas, menggambarkan bahwa kompetensi komunikatif meliputi
empat dimensi atau empat aspek. Keempat dimensi atau aspek komunikasi yang
dimaksud mencakup (1) aspek gramatikal, (2) aspek kewacanaan, (3) aspek
sosiolinguistik, dan (4) aspek strategi komunikasi Canale dan swain (Tangan, 1989:
283); Brown; Swain; Canale; Bachman; (Nurchasanah, 1994: 31).
Menurut Savignon (Azies dan Alwasilah, 1996: 26) kompetensi komunikatif
memiliki karakteristik sebagai berikut ini.
a) Kompetensi komunikatif merupakan konsep yang agak dinamis daripada statis, dan bergantung pada negoisasi makna antara dua orang atau lebih yang memiliki beberapa pengetahuan yang sama. Dalam hal ini kemampuan komunikasi dapat dikatakan bersifat interpersonal;
b) Kompetensi komunikatif meliputi pemakaian bahasa lisan maupun tulis; c) Kompetensi komunikatif bersifat kontekstual (context-specific). Artinya,
komunikasi selalu berlangsung dalam situasi atau konteks tertentu. Pengguna bahasa yang secara komunikatif kompeten akan tahu bagaimana membuat pilihan-pilihan yang tepat dalam register dan gaaya bahasa sesuai dengan situasi tempat komunikasi terjadi;
d) Perlu diingat tentang perbedaan teoretis antara kompetensi dan performansi. "kompetensi adalah apa yang orang ketahui. Performansi adalah apa yang orang lakukan. Bagaimanapun, hanya performansi yang teramati, dan hanya melalui performansi maka kompetensi dapat dikembangkan, dipertahankan, dan dievaluasi";
e) Kompetensi komunikatif bersifat relatif, bergantung pada aspek lain yang terkait, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Ldy Halimah/PK- S3/UPI
119
mengembangkan kompetensi komunikatif peserta didik baik secara
Berdasarkan uraian tentang kompetensi komunikatif di a tas i
tulis, diperlukan banyak berlatih berkomunikasi dalam berbagai konteks.
Sebagaimana fungsi bahasa yang utamanya adalah sebagai alat untuk
berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa harus diarahkan agar peserta didik
terampil berkomunikasi baik lisan (menyimak, mewicara) maupun tulis (membaca.
menulis). Hal tersebut, sejalan dengan salah satu misi pendidikan dasar, khususi/nya /
di sekolah dasar adalah menumbuhkan dasar-dasar kemahiran berkomunikasi baik
lisan maupun tulis. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan, hakikat keterampilan
berkomunikasi baik lisan maupun tulis.
a. Hakikat Keterampilan Berkomunikasi Lisan
Keterampilan berbahasa lisan meliputi keterampilan menyimak dan mewicara.
Keterampilan menyimak dan mewicara sangat erat kaitannya, sehingga bersifat
resiprokal. Dalam kehidupan sehari-hari, penyimak dan pewicara dapat berganti
peran secara spontan, yaitu dari penyimak menjadi pewicara dan dari pewicara
menjadi penyimak Kedua keterampilan ini diuraikan berikut ini.
1) Hakikat Menyimak dan Tujuan Pembelajaranya
Hakikat menyimak dapat dilihat dari berbagai segi. Menurut Logan (Soegito,
2003: 6.24) menyimak dapat dipandang sebagai suatu sarana, suatu keterampilan,
seni, suatu proses, suatu respons atau sebagai suatu pengalaman kreatif.
Menyimak sebagai suatu sarana, karena adanya kegiatan yang dilakukan seseorang
pada waktu menyimak yang harus melalui tahap mendengarkan bunyi-bunyi yang
Uly HaUmah/PK- S3/ÜPI
120
telah dikenalnya. Kemudian, secara bersamaan ia memaknai bunyi-bunyi itu.
Dengan cara demikian ia mampu menginterpretasikan dan memahami makna
rentetan bunyi-bunyi itu. Sebagai suatu keterampilan, menyimak bertujuan untuk
berkomunikasi karena melibatkan keterampilan yang bersifat aura! dan oral.
Menyimak dipandang sebagai seni, maksudnya kegiatan menyimak itu
memerlukan adanya kedisiplinan, konsentrasi, partisipasi aktif, pemahaman, dan
penilaian seperti halnya (orang) mempelajari seni musik, seni tari atau seni peran.
Menyimak juga dipandang sebagai suatu proses, maksudnya menyimak berkaitan
dengan proses keterampilan yang kompleks, yaitu keterampilan mendengarkan,
memahami, menilai, dan merespon. Unsur utama menyimak adalah respons, oleh
karena itu menyimak dipandang sebagai respons. Selain itu, menyimak dipandang
sebagai pengalaman kreatif, karena melibatkan pengalaman yang nikmat,
menyenangkan, dan memuaskan.
Uraian di atas, menggambarkan bahwa menyimak tidak hanya mendengarkan
dan memahami bunyi bahasa, tetapi setiap orang yang terlibat dalam proses
menyimak harus menggunakan sejumlah kemampuan. Pada saat penyimak
menangkap bunyi bahasa, yang bersangkutan harus menggunakan kemampuan
memusatkan perhatian. Bunyi yang ditangkap perlu diidentifikasi, dalam hal ini
diperlukan kemampuan linguistik untuk memahami makna.
Di samping itu, penyimak harus menggunakan kemampuan non-linguistik,
karena makna yang sudah diidentifikasi dan dipahami, maka makna itu harus
dipahami, ditelaah, dikaji, dipertimbangkan, dan dikaitkan dengan pengalaman serta
pengetahuan yang dimiliki penyimak. Pada situasi ini diperlukan kemampuan
menilai, melalui kemampuan menilai ini maka penyimak sampai pada tahap
Ldy HaUmoh/PK- S3/UPI
121
mengambil keputusan apakah dia menerima, meragukan, atau menolak isi bahan
sirnakan. Kecermatan menanggapi isi bahan sirnakan membutuhkan kemampuan
mereaksi atau menanggapi Tangan (1991:15).
Memperhatikan proses menyimak sebagaimana dikemukakan di atas, maka
menyimak merupakan suatu proses yang kompleks. Alasannya, karena selama
menyimak diperlukan berbagai kemampuan di antaranya kemampuan memusatkan
perhatian, mengingat, menangkap bunyi, kemampuan linguistik dan non-tinguistik,
menilai dan menanggapi. Begitu kompleksnya kemampuan menyimak, maka
keterampilan menyimak ini harus dilatih bahkan harus diajarkan.
Adapun tujuan utama pembelajaran menyimak, adalah melatih peserta didik
memahami bahasa lisan, yang secara berkelanjutan meningkatkan kemampuan
daya simak sehingga pada akhirnya peserta didik memiliki ciri-ciri sebagai penyimak
ideal. Menurut Tangan (1991: 48-49) ciri-ciri penyimak ideal adalah siap fisik dan
mental, berkonsentrasi, bermotivasi, objektif, menyeluruh, menghargai pembicara,
selektif, sungguh-sungguh, tak mudah terganggu, cepat menyesuaikan diri, kenal
arah pembicaraan, kontak dengan pembicara, merangkum, menilai, dan merespons.
2) Hakikat Mewicara dan Tujuan Pembelajarannya
Mewicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan
secara lisan. Mewicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting
bagi kontrol sosial, karena mewicara merupakan bentuk perilaku manusia yang
memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, dan linguistik secara luas Brown dan
Yuke (Soegito, 2003: 6.26). Pengertian mewicara tersebut, menggambarkan bahwa
Ldy Haiimak&K- S3AJPI
122
mewicara merupakan suatu keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa
lisan. Lebih rinci Logan, dkk. {Tangan, 1991: 149) mengemukakan bahwa mewicara
sebagai sarana berkomunikasi mencakup sembilan hal, yakni : (1) mewicara dan
menyimak adalah dua kegiatan yang resiprokal; (2) mewicara adalah proses individu
berkomunikasi; (3) mewicara adalah ekspesi kreatif; (4) mewicara adalah tingkah
laku; (5) mewicara adalah tingkah laku yang dipelajari; (6) mewicara dipengaruhi
kekayaan pengalaman; (7) mewicara sarana memperluas cakrawala; (8)
kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat; dan (9) mewicara adalah
pancaran pribadi.
Uraian di atas menggambarkan bahwa mewicara merupakan kegiatan yang
kompleks. Oleh karena itu, keterampilan mewicara harus diajarkan di sekolah, agar
siswa terampil menyatakan pikiran, gagasan, ide, informasi, dan perasaannya.
Alasannya, karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan
berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan mewicara.
Tujuan utama pembelajaran mewicara di SD adalah melatih peserta didik agar
dapat mewicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk mencapai
tujuan itu, maka guru dapat menggunakan bahan pelajaran membaca atau menulis,
kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran mewicara. Menurut Basuki
(1994: 42) aktivitas pembelajaran mewicara dapat dilakukan melalui tiga macam
teknik, seperti (1) teknik terpimpin, (2) teknik semi terpimpin, dan (3) teknik bebas.
Teknik terpimpin adalah salah satu teknik pembelajaran mewicara yang dilakukan
dengan cara meminta peserta didik mengujarkan sesuatu sama persis dengan
contoh yang telah ada. Teknik pembelajaran semi terpimpin adalah teknik
pembelajaran mewicara yang dilakukan dengan cara meminta peserta didik
Lely Halimak/PK- S3/UPI
123
Lely Halimah/PK- S3/UPI
mengujarkan/memaparkan sesuatu yang secara material sudah ada. Adapun teknik
pembelajaran mewicara bebas dilakukan dengan cara meminta peserta didik
memaparkan sesuatu secara bebas, tanpa bahan yang telah ditentukan atau tanpa
bimbingan dan pancingan tertentu. Ketiga cara tersebut, menggambarkan bahwa
belajar mewicara dilakukan dengan mewicara. Hanya dengan banyak memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berlatih mewicara, maka pembelajaran
dapat meningkatkan keterampilan mewicara baik bersifat individual maupun
kelompok.
b. Hakikat Keterampilan Berkomunikasi Tulis
Keterampilan berbahasa tulis terdiri dari keterampilan membaca dan menulis.
Kedua keterampilan ini merupakan keterampilan dasar yang harus diajarkan mulai
dari kelas 1 SD. Kegiatan membaca dan menulis mempunyai hubungan yang sangat
erat, karena keduanya merupakan kegiatan berbahasa tulis. Pesan yang
disampaikan penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani melalui lambang
bahasa yang dituliskan. Dengan kata lain membaca dan menulis merupakan
kegiatan yang dapat menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai
penulis.
Penulis sebagai pembaca, artinya ketika aktivitas menulis berlangsung penulis
membaca karangannya. Sedangkan pembaca sebagai penulis, artinya ketika
berlangsung kegiatan membaca, pembaca melakukan aktivitas seperti yang
dilakukan penulis. Menurut Klein, dkk. (1991: 77) konsep membaca dan menulis
mempunyai hubungan yang resiprokal. Maksudnya pengalaman peserta didik pada
124
waktu melakukan kegiatan membaca maupun menulis menjadi saling melengkapi
satu sama lainnya.
Proses menulis dan membaca memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaan kedua proses tersebut dapat dilihat sebagai berikut, (1) proses membaca
dan menulis sama-sama menggunakan bahasa tulis sebagai media komunikasi, (2)
proses membaca dan menulis sama-sama menggunakan pola stuktur pengetahuan
(skemata), (3) membaca dan menulis sama berhubungan dengan penghubungan
tanda-tanda tertulis dengan makna, dan (4) kegiatan membaca dan menulis sama-
sama memiliki tujuan. Dengan kata (ain, dilihat dari persamaannya terdapat
hubungan antara proses membaca dan menulis.
Menurut Pappas, dkk.,(1995: 217-219) belajar membaca dapat dilakukan
melalui membaca dan belajar menulis melalui menulis, tapi kita juga dapat belajar
membaca melalui menulis dan belajar menulis melalui membaca. Oleh karena itu,
berikut ini dikemukakan hakikat kedua keterampilan tersebut dan tujuan
pembelajarannya.
1) Hakikat Membaca dan Tujuan Pembelajarannya
Membaca merupakan proses yang sangat kompleks (Dallmann, 1982: 24;
Anderson, dkk., 1969: 5), karena membaca membutuhkan coordinasi otot pada
tingkat tinggi dan konsentrasi yang terus-menerus. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Smith (1982: 11) bahwa "reading atways invotves a combination of
visual and nonvisual infomtation. It is an interaction berween a reader and a fexT.
Maksud dari pendapat tersebut bahwa pada waktu membaca mata mengenali
kata, sementara pikiran menghubungkannya dengan maknanya. Makna kata
Lely HaUmah/PK- S3/UPI
125
dihubungkan satu sama lain menjadi makna frase, klausa, kalimat, dan akhirnya
makna seluruh bacaan^. Pemahaman akan makna bacaan ini tidak mungkin terjadi
tanpa pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Sebagai proses yang kompleks,
sebagaimana Goodman (Mangieri, dkk, 1984: 6) yang mendefinisikan bahwa
membaca "as a psycholinguistic process in whfch the reader (a user of language)
reconstruct, as best be can, a message whlch has been encoded by a writer as a
graphic display".
Sekaitan dengan membaca sebagai proses yang kompleks, maka diperlukan
serangkaian keterampilan, yang secara garis besar keterampilan itu meliputi dua
aspek penting dalam membaca, yaitu (1) keterampilan yang bersifat mekanistik,
aspeknya meliputi (a) pengenalan bentuk huruf; (b) pengenalan unsur-unsur
linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klause, kalimat, dan lain-lain), (c)
pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan
menyuarakan bahan tertulis); (d) kecepatan membaca bertaraf lambat, (2)
keterampilan yang bersifat pemahaman, aspeknya yaitu (a) memahami pengertian
sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), (b) memahami signifikansi atau makna
(seperti maksud dan tujuan pengarang); (c) evaluasi (isi dan bentuk); dan (d)
kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan
Broughton (Tangan: 1979:11-13).
Kedua jenis keterampilan membaca tersebut, diajarkan di sekolah dasar
seperti membaca mekanistik yang dikenal dalam kurikulum mata pelajaran bahasa
Indonesia dengan pengajaran membaca permulaan, sedangkan membaca
pemahaman dikenal dengan membaca lanjutan. Pembelajaran membaca permulaan
diberikan di kelas 1 sampai 2, dan pembelajaran membaca pemahaman atau
Lely HaUmak/PK- S3/UPI
126
lanjutan diberikan di kelas tinggi yaitu mulai dari kelas 3 sampai kelas 6. Adapun
jenis keterampilan membaca pemahaman meliputi membaca teknis, membaca
dalam hati, membaca cepat, dan membaca bahasa (Supriadi, dkk., 1991: 115;
Akhadiah, 1992:21; Mulyati, dkk., 2003:2.3-2.4).
Menurut Tangan (1979: 3 1 - 35) membaca dalam hati meliputi membaca
ekstensif, dan membaca intensif. Membaca ekstentif adalah kegiatan membaca
untuk memahami isi yang penting-penting dengan cepat dan dengan demikian
membaca secara efisien terlaksana. Dengan kata lain, membaca ekstensif
merupakan kegiatan membaca dengan maksud untuk memperoleh informasi
sebanyak-banyaknya. Yang termasuk ke dalam kegiatan membaca ekstensif di
antaranya adalah membaca survei, membaca sekilas, dan membaca dangkal.
Membaca intensif merupakan kegiatan membaca secara seksama, dalam
menelaah isi bacaan. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh sukses dalam
pemahaman penuh terhadap argumen-argumen yang logis, urutan-urutan retoris
atau pola-pola teks, pola-pola simbolisnya; nada-nada tambahan yang bersifat
emosional dan sosial, pola-pola sikap dan tujuan pengarang dan juga sarana-sarana
linguistik yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Dngan demikian, dalam
membaca intensif yang paling diutamakan adalah hasilnya, yaitu suatu pengertian,
suatu pemahaman yang mendalam serta terperinci terhadap tanda-tanda hitam atau
aksara di atas kertas. Oleh karena itu, yang termasuk ke dalam membaca intensif
adalah membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi,
meliputi membaca teliti, membaca pemahaman, dan membaca kritis.
Erat hubungannya dengan tingkat pemahaman isi bacaan adalah kecepatan
membaca atau membaca cepat. Membaca cepat menurut Harjasujana dan Mulyati
Lely HaUmak/PK- Si/UPl
127
(1997:54) adalah kemampuan seseorang dalam menggerakkan mata secara cepat
dan tepat pada saat membaca sehingga diperoleh rata-rata kecepatan baca berupa
jumlah kata per menit. Tujuan pembelajaran membaca cepat adalah melatih
kemampuan peserta didik untuk secepat-cepatnya dapat bergerak pada saat
membaca sambil menjangkau sebanyak-banyaknya kata yang hendak dibacanya.
Dan berbagai macam aktivitas membaca, dalam prosesnya setiap pembaca
akan berbeda-beda, perbedaan yang dimaksud berkaitan dengan banyaknya model
membaca. Sebagaimana Harjasujana (1997: 27-47); Iswara dan Harjasujana (1997:
4-5); Ulit (Haryadi dan Zamzami, 1997: 32-33) menyimpulkan adanya tiga klasifikasi
model membaca, yaitu (1) model membaca bawah-atas (bottom-up), (2) model
membaca atas-bawah (top-down), dan (3) model membaca timbal balik (interaktif).
Dan masing-masing model tersebut maksudnya adalah sebagai berikut
1) Model membaca bawah-atas, yang menjadi faktor penting dalam model membaca ini adalah wacana atau teks. Dalam hal ini wacana itu diproses oleh pembaca tanpa pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Perhatian pembaca diarahkan pada kata-kata dan bagian-bagian kata, sedangkan makna baru timbul dari kumpulan kata-kata yang terbaca. Dengan kata lain proses membaca dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk mengidentifikasi dan mencari maknanya.
2) Model membaca atas-bawah, yang menjadi faktor penting dalam model membaca ini adalah informasi berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki oleh pembaca sekaitan dengan dunianya. Biasanya pembaca yang mahir membawa informasi yang lebih banyak ke dalam wacana bila dibandingkan dengan wacana yang dibacanya. Dalam hal ini pembaca menggunakan pengalaman yang lalu untuk memprakirakan makna isi wacana.
3) Model membaca interaktif, yaitu proses membaca yang menggabungkan kedua model di atas sehingga dinamakan model interaktif. Model membaca ini biasanya dilakukan oleh pembaca mahir, maksudnya pembaca melakukan proses membacanya merupakan proses timbal balik yang bersifat simultan antara membaca bawah-atas dan membaca atas-bawah. Pada suatu saat membaca bawah-atas berperan, dan pada saat lain proses membaca atas-bawah lebih berperan, dengan demikian
Lely Ualimah/PK- SS/UPI
128
pembaca secara fleksibel mengatur proses membacanya sesuai dengan kepentingannya.
Keterampilan-keterampilan membaca yang dtkemukakan di atas, idealnya
harus menjadi tanggung jawab guru bahasa Indonesia dalam membelajarkan
peserta didik selama proses pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, guru
harus mengacu kepada tujuan pembelajaran membaca yang pada umumnya
meliputi, tiga ranah kemampuan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada
ranah kognitif pembelajaran membaca bertujuan agar peserta didik mampu
memahami, menggunakan, menganalisis, membuat sintesis, serta menilai bacaan.
Pada ranah afektif, peserta didik di ana taranya diharapkan dapat menyerap,
menerima, serta menggunakan nilai-nilai yang terdapat dalam bacaan, meningkatkan
motivasi serta minat baca, dan membentuk sikap positif terhadap isi bacaan. Adapun
pada ranah psikomotor, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan/kecepatan
membaca yang sesuai dengan pertumbuhan fisik dan mentalnya.
Pembelajaran membaca di sekolah dasar merupakan kunci untuk
pembelajaran bidang studi lainnya. Tanpa kemampuan membaca yang memadai
peserta didik tidak mungkin mampu mengikuti pembelajaran dengan baik. Begitu
pentingnya kemampuan membaca harus dimiliki oleh peserta didik, sehingga para
ahli mengemukakan bahwa membaca, sebagaimana dikemukakan McGowan &
Turner (Swarbrick, 1994: 125) "... reading is a tool for learning, ... the ability to read
well is a prerequisite to success at school.'' Di samping itu, Halford (Rosmalina, 2000:
37) mengemukakan bahwa membaca mempunyai fungsi sebagai "gateway belajar.
Lebih lanjut, Farr (Harjasujana, 2001 : 1) mengemukakan bahwa "Reading is the
heart of education.", dan Hartoonian (Harjasujana, 2001: 1) mengemukakan bahwa
Uly Holbttok/PK- S3AJPI
literacy.
If we to be a super pawer we must have individuals with much higher
Pendapat para ahli di atas, tampaknya harus menjadi perhatian semua pihak.
Terutama guru-guru sekolah dasar yang mempunyai peranan yang sangat strategis,,
harus memiliki sikap positif serta penguasaan yang memadai mengenai
pembelajaran membaca. Salah satu hal yang harus disadari oleh guru adalah
sebagaimana dikemukakan oleh Mangieri, dkk (1984: 6) bahwa 'Reading is an
integral pari of the language arts cumculum; the teaching of reading cannot be
separated from the teaching of writing, speaking, and Sstening". Selain itu, Dallmann,
dkk. (1982: 23) mengemukakan bahwa pembelajaran membaca harus memberikan
dua hal, yaitu membantu peserta didik dalam memperoleh keterampilan membaca,
dan bersamaan dengan itu membantu mereka mempunyai kebiasaan membaca.
Rofi'uddin dan Zuchdi (1999: 50) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal
pokok yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran membaca, yaitu
mengarahkan pada (1) perkembangan aspek sosial peserta didik, yakni kemampuan
bekerja sama, percaya diri, pengenalan diri, kestabilan emosi, dan rasa tanggung
jawab; (2) pengembangan fisik, yaitu pengaturan gerak motorik, koordinasi gerak
mata dan tangan; (3) perkembangan kognitif, yakni membedakan bunyi, huruf,
menghubungkan kata dan makna.
2) Hakikat Menulis dan Tujuan Pembelajarannya
Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan
(komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan
adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan
Uly Holimoh/PK- SSAJPt
130
sebuah symbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati
pemakaiannya. Dengan demikian, dalam komunikasi tulis paling tidak terdapat
empat unsur yang terlibat: penulis sebagai penyampai pesan (penulis), pesan atau
isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan
(Supamo dan Yusup, 2002:1.3).
Pengertian menulis sebagaimana dikemukakan di atas, menggambarkan
bahwa menulis sebagai aktivitas terpadu. Hal ini sebagaimana dikemukakan Klien,
dkk (1991:119) bahwa ketika peserta didik menulis, mereka menghubungkan semua
yang mereka ketahui atau berpikir apa yang mereka ketahui tentang bahasa seperti
secara struktur, secara ponetik, dan secara semantik. Menulis juga menyebabkan
mereka berpikir, menerapkan, menyimpulkan, menilai, menciptakan, memecahkan
masalah, bahkan memadukan semua apa yang mereka ketahui dan bagaimana
pengetahuan tersebut digunakan dalam bentuk bahasa tulis. Pada saat menulis,
peserta didik melakukan kegiatan mengkonstruk kata, kalimat, paragraph, dan cerita
dengan menggunakan model yang teiah mereka peroleh, dan mencoba
memecahkan masalah sesuai dengan pengalamannya. Pembendaharaan kata yang
telah mereka miliki, digunakan untuk mengekspresikan ide-idenya dan
membicarakan dunia dari sudut pandangan mereka.
Selain sebagai aktivitas terpadu, menulis itu juga merupakan suatu proses.
Maksdunya, menulis merupakan serangkaian aktivitas yang terjadi dan melibatkan
beberapa tahap, yaitu tahap prapenulisan (persiapan), penulisan (pengembangan isi
karangan), dan pascapenulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan).
Pada tahap prapenulisan, meliputi aktivitas memilih topik, menetapkan tujuan darv
sasaran, mengumpulkan bahan atau informasi yang diperlukan, serta
Lely Halimah/PK- S3/UPI
131
mengorganisasi ide atau gagasan dalam bentuk kerangka karangan. Adapun pada
tahap penulisan, yaitu merupakan kegiatan mengembangkan butir-butir ide yang
terdapat dalam kerangka karangan, dengan memanfaatkan bahan atau informasi
yang telah dipilih dan direncanakan pada tahap prapenulisan. Kegiatan akhir
menulis, yaitu tahap pascapenulisan, yang meliputi tahap penghalusan dan
penyempurnaan buram yang telah dihasilkan. Dalam hal ini, kegiatannya meliputi
penyuntingan dan perbaikan.
Ketiga tahap tersebut, tidak selalu berurutan, dan bukan kegiatan yang
terpisah-pisah, tetapi ketiga tahap tersebut merupakan komponen yang ada dan
dilalui penulis dalam proses tulis-menulis. Urutan dan batas antartahap tersebut
sangat luwes, bahkan dapat tumpang tindih. Sewaktu menulis sangat mungkin
penulis melakukan aktivitas yang terdapat pada setiap tahap secara bersamaan.
Misalnya pada tahap pramenulis dan penulisan, penulis dapat melakukan sekaligus
kegiatan telaah dan revisi, atau ketika sedang berlangsung kegiatan pada tahap
penulisan, ternyata kerangka karangan yang telah dibuat terlalu sempit, terlalu luas,
atau kurang sistematis sehngga penulis kembali memperbaiki kerangka karangannya
(Supamo, 2002: 1.14).
Menurut Dawson, dkk (Nurchasanah, 1994: 31) kompetensi menulis hanya
dapat dicapai dengan jalan banyak berlatih menulis. Untuk memberikan banyak
kesempatan menulis kepada peserta didik dalam proses pembelajaran, guru dapat
menggunakan berbagai pendekatan, hal ini sebagaimana dikemukakan Proett dan
Gill (Supamo dan Yunus, 2002: 1.13) bahwa terdapat beberapa pendekatan yang
dapat digunakan dalam pembelajaran menulis, di antaranya adalah sebagai berikut.
Uly KaSmak/PK- S3/OPI
132
1) Pendekatan frekuensi menyatakan bahwa banyaknya latihan menulis sekalipun tidak dikkoreksi (seperti buku harian atau surat), akan membantu meningkatkan keterampilan menulis seseorang;
2) Pendekatan gramatikal berpendapat bahwa pengetahuan orang mengenai struktur bahasa akan mempercepat kemahiran orang dalam menulis;
3) Pendekatan koreksi berkata bahwa seseorang menjadi penulis karena dia menerima banyak koreksi atau masukan yang diperoleh atas tulisannya;
4) Pendekatan formal mengungkapkan bahwa keterampilan menulis akan diperolervbila pengetahuan bahasa, pengalineaan, pewacanaan, serta konvensi atau aturan penulisan dikuasai dengan baik.
Sementara, Tangan (1988: 187-226), memberikan petunjuk pelaksanaan
pembelajaran menulis melalui beraneka teknik pembelajaran menulis, di anatranya
melalui proses: menyusun kalimat, memperkenalkan karangan, meniru model,
karangan bersama, mengisi, menusun kembali, menyelesaikan cerita, menjawab
pertanyaan, meringkas isi bacaan, parafrase, reka cerita gambar, memerikan,
mengembangkan kata kunci, mengembangkan kalimat topik, mengembangkan judul.
Uraian di atas, menggambarkan bahwa kompetensi menulis akan dimiliki oleh
peserta didik, hanya melalui banyak berlatih menulis. Oleh karena itu, kegiatan
menulis yang dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan, mempunyai
banyak manfaatnya, di antaranya adalah peningkatkan kecerdasan, pengembangan
daya inisiatif dan kreativitas, penumbuhan keberanian, dan pendorong kemauan dan
kemampuan mengumpulkan informasi.
c. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menurut Depdiknas 2002) penilaian merupakan suatu proses pengumpulan,
pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik yang
diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan unjuk kena atau
prestasi peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas yang terkait. Adapun proses
Lely Hatimak/PK- S3/UPI
133
penilaian mencakup pengumpulan sejumlah bukti-bukti yang menunjukkan
pencapaian hasil beijar peserta didik. Dengan demikian, penilaian adalah suatu
pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang
atau sesuatu.
Salah satu komponen Kurikulum 2004 adalah Penilaian Berbasis Kelas (PBK).
Maksudnya, bahwa PBK merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan dan
penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan
prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat dan
konsisten sebagai akuntabilitas publik. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi
dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar
yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar peserta didik
dan pelaporan.
Penilaian dalam Kurikulum 2004, menuntut dilaksanakan penilaian secara
terpadu dengan kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, disebut penilaian
berbasis kelas. PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja peserta didik (postofolio),
hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis
(paper and pencil). Guru menilai kompetensi dan hasil belajar peserta didik
berdasarkan level pencapaian prestasi peserta didik.
Penilaian pada hakikatnya merupakan alat ukur untuk mengetahui seberapa
jauh tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai setelah
peserta didik mengalami aktivitas belajar. Dalam pembelajaran bahasa, penilaian
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui tes dan nontes. Baik teknik tes
maupun nontes dapat digunakan untuk mendapatkan informasi atau data tentang
peserta didik yang dinilai. Teknik tes biasanya digunakan untuk memperoleh
LOy Halunah/PK- S3/VP1
134
informasi atau data tentang kemampuan kognitif peserta didik, sedangkan teknik
nontes digunakan untuk memperoleh informasi atau data tentang kemampuan afektif
dan psikomotor, informasi yang diperoleh melalui tes bersifat kuantitatif, sedangkan
informasi yang diperoleh dengan teknik nontes bersifat kualitatif.
Amold (1999) mengemukakan bahwa "evaluation /s never carried out in a
vacuunf. Pelaksanaan penilaian sebagai bagian dan keseluruhan setting pendidikan
dan proses belajar mengajar diperlukan untuk secara kritis meninjau kembali dan
dikembangkan terus. Untuk itu, penilaian dapat memfasilitasi peserta didik menjadi
lebih terampil, mandiri, dan individu yang bertanggung jawab karena memahami
lebih baik proses pertumbuhannya sendiri.
Informasi kemajuan peserta didik tidak hanya merupakan dasar pertimbangan
bagi guru, tetapi juga memberi keterangan yang berarti bagi para administrator,
orang tua, dan khususnya bagi peserta didik itu sendiri. Harris & Hodges (De Cario,
Julia E, 1995) mengemukakan bahwa penilaian sebagai "77» act or process of
gathering data in order to better understand some topics or area of knowtedge, as
through obcervation, testing, interviews, etc; especially, the gathering of data to
inctude strengths and weaknesse in learning."
Mengacu kepada pendapat di atas, maka penilaian harus dipandang sebagai
proses yang berkelanjutan. Hal ini termasuk mengumpulkan, menganalisis, dan
berbagi informasi. Adapun prosesnya harus dimulai dari hari pertama sekolah dan
seterusnya. Di antaranya, tujuan penilaian tersebut meliputi: untuk kepentingan
diagnosa, dan memberikan balikan bagi peserta didik; memonttoring kemajuan
individual peserta didik setiap waktu, dan memberikan laporan kepada orang tua
peserta didik.
Lely HaUmah/PK- S3/UPI
135
De CarJo mengidentifikasi dua macam perbedaan dalam penilaian, yaitu
penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal biasanya yang
digambarkan melalui tes standar. Sementara penilaian internal, yang sekarang lebih
banyak diminati fokusnya lebih pada cara-cara internal. Seperti melalui penggunaan
portofolio, "dated audiotapes", catatan anekdot tindakan baca-tulis atau 'literac/,
contoh menulis, respon membaca jurnal, dan 'interest inventories', terkait dengan
semua ini guru menggunakan cara lain untuk menilai pertumbuhan peserta didik.
Penilain juga dipandang sebagai proses yang (a) kontinyu, artinya tidak
hanya mengandalkan (refying) pada akhir tahun, (b) multidimensi, artinya penialain
tidak hanya mengandalkan pada satu cara penilaian atau indeks, (c) bersifat
kolaborasi, artinya penilaian tidak hanya menggunakan pertimbangan ekslusif guru,
(d) berdasarkan pengetahuan, artinya penilaian tidak hanya semata-mata
menggunakan sumber informasi dari guru, dan (e) otentik, artinya penilaian tidak
hanya menekankan pada nilai ekstrinsik. Semuanya itu melibatkan apa yang
dilakukan guru dan peserta didik untuk menilai kemajuan. Dengan demikian,
penilaian lebih daripada hanya merupakan serangkaian tes tertulis.
Ldy Halimah/PK- S3/VPI