104
35 BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD A. Perkembangan dan pemerolehan Bahasa 1. Perkembangan Bahasa Anak Menurut pandangan mutakhir, perkembangan adalah proses yang kontinu dan kumulatif. Kontinu maksudnya adalah bahwa perkembangan sebagai suatu proses yang bersifat gradual (tahap demi tahap, berlangsung lamban dan bukan perubahan drastis di mana tahap berkutnya berbeda sama sekali dari tahap sebelumnya). Sedangkan yang dimaksud kumulatif ialah bahwa perkembangan merupakan perubahan kumulatif dari masa konsepsi sampai mati, artinya pembahan yang terjadi pada fase perkembangan yang satu mempunyai implikasi penting bagi fase perkembangan berikutnya (Kartadinata dan Dantes, 1997:47-48). Pendapat di atas, memberikan gambaran bahwa perkembangan merupakan suatu rangkaian perubahan yang bersifat progresif atau berkelanjutan dan terjadi secara teratur. Begitu pula halnya dengan perkembangan bahasa anak, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa dan para ahli pendidikan bahasa seperti berikut ini. Tarigan, (2000:1.8-1.13) mengemukakan bahwa perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan yang dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan-ucapan yang sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang memfasilitasi alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna. Uly HaBmah/PK- S3/UPI

BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

  • Upload
    hakien

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

35

BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

A . P e r k e m b a n g a n d a n p e m e r o l e h a n B a h a s a

1. Perkembangan Bahasa Anak

Menurut pandangan mutakhir, perkembangan adalah proses yang kontinu dan

kumulatif. Kontinu maksudnya adalah bahwa perkembangan sebagai suatu proses

yang bersifat gradual (tahap demi tahap, berlangsung lamban dan bukan perubahan

drastis di mana tahap berkutnya berbeda sama sekali dari tahap sebelumnya).

Sedangkan yang dimaksud kumulatif ialah bahwa perkembangan merupakan

perubahan kumulatif dari masa konsepsi sampai mati, artinya pembahan yang terjadi

pada fase perkembangan yang satu mempunyai implikasi penting bagi fase

perkembangan berikutnya (Kartadinata dan Dantes, 1997:47-48).

Pendapat di atas, memberikan gambaran bahwa perkembangan merupakan

suatu rangkaian perubahan yang bersifat progresif atau berkelanjutan dan terjadi

secara teratur. Begitu pula halnya dengan perkembangan bahasa anak,

sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa dan para ahli pendidikan bahasa

seperti berikut ini.

Tarigan, (2000:1.8-1.13) mengemukakan bahwa perkembangan bahasa anak

ditandai oleh keseimbangan yang dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang

bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih

kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan-ucapan yang sederhana tak

bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang memfasilitasi alur

perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna.

Uly HaBmah/PK- S3/UPI

Page 2: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD
Page 3: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

36

Pendapat tersebut menggambarkan bahwa perkembangan bahasa sangatibe*";

\\ I dengan kemampuan berbahasa, dan kemampuan berbahasa merupakah'-sf i4k/ ; '

potensi yang dimiliki semua anak manusia yang normal.

Sejalan dengan pendapat di atas, Logan, dkk. (1972: 7-8) mengemukakan

bahwa sebelum anak dapat mewicara secara normal, pada awalnya anak

menghasilkan signal verbal tanpa makna. Datam hal ini, Logan, dkk mengemukakan

rangkaian tahap perkembangan bahasa anak yaitu:

1) the random stage, merupakan tahap pra-linguistik yaitu anak mengoceh (babbles) dan bereksperimen dengan bunyi-bunyi,

2) the jargon stage, bunyi-bunyi yang dihasilkannya menjadi jelas, 3) the echolalia stage, anak mulai menirukan bunyi-bunyi yang dia

dengarnya, 4) the stage expansion, anak mulai belajar mewicara, seperti mengatakan

nama orang, objek, dan kegiatan yang sangat berkaitan dengannya, 5) the stage of structural awareness, anak menjadi senang bermain dengan

kata-kata dan membuat kalimat sendiri sesuai dengan yang dia dengar dari pembicaraan orang lain,

6) the stage of automatic response, anak sudah mampu berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya,

7) the creative stage, pada tahap ini keterampilan berpikirnya baik secara kritis dan secara kreatif meningkat, mereka mampu berpikir dengan bahasa kiasan dan berpikir secara abstrak, mereka senang mengekspresikan dirinya baik melalui mewicara maupun menufis. Dalam hal ini Logan, kk. (1972) menegaskan bahwa perkembangan bahasa anak sekolah dasar berada pada tahap kreatif.

Perkembangan bahasa anak bergerak dari kemampuan berbahasa iisan

menuju kemampuan berbahasa tulis. Artinya kemampuan menyimak dan mewicara

merupakan dasar untuk perkembangan kemampuan membaca dan menulis. Terkait

dengan perkembangan bahasa iisan, Ingram (Tarigan, 2000: 1.13) mengemukakan

bahwa kemampuan anak dalam memahami tuturan muncul lebih awal daripada

kemampuan mengucapkan. Hai ini halnya dengan hasil penelitian Benedict, Crystal,

dan Owens (Tarigan, 2000) terhadap delapan anak, ternyata mereka itu telah

Lefy HaltmahsTK- S3/UPI

Page 4: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

37

memahami 20-30 kata sebelum mereka dapat mengucapkan 10 kata. Dalam

pneletian ini juga dikemukakan bahwa kemampuan memahami lebih cepat satu

bulan sebelum anak dapat mengucapkan kata pertamanya. Adapun pada

perkembangan selanjurnya berkaitan dengan kemampuan menyimak pada usia

sekolah, anak sudah mengetahui bahwa inti komunikasi adalah bahwa ia harus

mampu mengerti apa yang dikatakan orang fain.

Seiring dengan berkembangnya kemampuan menyimak, maka berkembang

pula kemampuan mewicara. Perkembangan kemampuan mewicara anak usia

sekolah, sangat ditunjang oleh kondisi meluasnya cakrawala sosial anak-anak, yang

membuat mereka menemukan bahwa mewicara merupakan sarana penting untuk

memperoleh tempat dalam kelompok. Hal ini membuat dorongan yang kuat untuk

mewicara lebih baik.

Beberapa kemajuan yang mereka alami, seperti (1) penambahan kosakata

umum, rata-rata anak kelas satu mengetahui sekitar 20.000 sanpai 24.000 kata-kata

atau 5 sampai 6 persen dan kata-kata dalam kamus standar, dan pada saat duduk di

kelas enam, sebagian besar anak mengetahui sekitar 50.000 kata, (2) pengucapan,

kesalahan dalam pengucapan kata-kata lebih sedikit, sebuah kata baru mungkin

ketika pertama kali digunakan, diucapkan dengan tidak tepat, tetapi setelah

beberapa kali mendengar pengucapan yang benar anak sudah mampu

mengucapkannya dengan benar, (3) pembentukan kalimat, pada usia ini sudah

menguasai hampir semua jenis struktur kalimat, dan secara berangsur-angsur

setelah usia sembilan tahun anak mulai menggunakan kalimat lebih singkat dan

lebih padat (Huriock, 1990: 152). Lebih jelas Dale (Tangan, 1985 : 115 dan 1989 :

Uly HalimaWK- S3/UPJ

Page 5: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

38

306) menunjukkan perkembangan kosa kata anak sekolah dasar dalam bagan

sebagai berikut ini.

Bagan 2.1

Perkembangan Kosakata Anak SD Dale (Tangan, 198S;1989)

Bagan di atas menggambarkan penguasaan kosakata yang dimiliki oleh anak

sejak kelas satu sampai dengan kelas enam. Adapun yang dimaksud dengan

penguasaan kosakata adalah seluruh kekayaan kata yang mempunyai arti atau

makna tertentu yang dimiliki oleh seseorang. Perkembangan kosakata mempunyai

peranan yang sangat penting bagi perkembangan kemampuan berbahasa. Dalam

hal ini, kosakata merupakan kata atau kelompok kata yang memiliki makna tertentu,

atau seperangkat leksem termasuk di dalamnya kata tunggal, kata majemuk, dan

idiom Fries (Supranf, 2003: 10). Semakin kaya kosakata yang dimiliki anak, maka

semakin besar pula kemungkinan terampil berbahasa, bahkan kualitas keterampilan

berbahasa seseorang sangat bergantung kepada kualitas dan kuantitas kosakata

yang dimilikinya (Suhendardan Supinah, 1992:103).

Pembendaharaan kata yang dimiliki anak dapat menunjang pemahaman isi

bacaan, begitu pula sebaliknya, melalui membaca berbagai sumber bacaan akan

Ufy Hallmak/PK- S3AJPI

Page 6: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

39

menambah pembendaharaan kata pada anak. Sebagaimana kemampuan mewicara,

kemampuan awal dalam membaca mungkin diperoleh melalui interaksi sosial,

seperti melalui kegiatan membacakan yang dilakukan oleh orang tuanya. Pada saat

orang tua membacakan cerita dari buku anak-anak, mungkin dalam buku itu banyak

gambarnya dan berwarna-warni sehingga menarik perhatian anak. Pada awalnya

anak hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada pada buku cerita tersebut, hal

tersebut secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang susunan cerita.

Dalam perkembangan kemampuan membaca ini, Owens (Zuchdi dan Budiasih,

1997: 20) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap perkembangan membaca,

yaitu sebagai berikut.

Pada tahap pramembaca, yaitu anak yang berumur sebelum 6 tahun telah

dapat membedakan huruf dan angka. Kebanyakan mereka telah mengenal nama

mereka jika ditulis. Biasanya, dengan belajar melalui lingkungannya, misalnya tanda-

tanda dan nama dari benda-benda yang dilihatnya, kata-kata yang dikenalnya sedikit

demi sedikit akan lepas dari konteksnya sehingga pada akhirnya anak dapat

mengenal kata-kata tersebut dalam bentuk tulisan.

Pada tahap ke-1 , yaitu sampai dengan kira-kira kelas dua, anak memusatkan

pada kata-kata lepas dalam cerita sederhana. Bertambah umur yaitu antara 7 atau 8

tahun kebanyakan anak telah memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata

dan kata yang diperlukan untuk dapat membaca. Pada tahap ke-2, yaitu kira-kira

ketika berada di kelas tiga dan empat, anak dapat menganalisis kata-kata yang tidak

diketahuinya dengan menggunakan pola tulisan dan kesimpulan yang didasarkan

konteksnya. Pada tahap ke-3, dari kelas empat sampai dengan kelas dua SLTP

Lely HaUmakJPK- S3AJPI

Page 7: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

40

tampak ada perkembangan pesat dalam membaca yaitu tekanan membaca tidak lagi

pada pengetahuan tulisan tetapi pada pemahaman.

Adapun berkaitan dengan perkembangan menulis sebagaimana dikemukakan

Owens, terdapat kesejajaran antara perkembangan kemampuan membaca dan

menulis. Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik. demikian

juga sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal keduanya

mewakili simbol tertentu. Akan tetapi, menulis berbeda dengan menggambar, dan

hal ini diketahui oleh anak ketika berumur sekitar tiga tahun.

Dalam perkembangan kemampuan menulis ini, anak-anak mulai dengan

menggambar, kemudian menulis "cakar ayam", barulah membuat bentuk-bentuk

huruf. Mula-mula anak sekolah menulis, meskipun ia tidak mengetahui nama-nama

huruf. Kata-kata yang dikenalnya dengan baik, misalnya namanya sendiri. Langkah

selanjutnya, kemudian anak mencoba menggunakan aturan dalam menulis dengan

mencocokan bunyi dan tulisan. Bunyi-bunyi dalam nama huruf dicocokan dengan

bunyi-bunyi yang didengarnya. Pada mulanya anak hanya memperhatikan huruf

pertama pada setiap kata, huruf-huruf lain dalam setiap kata kurang mendapat

perhatian. Hal ini sama dengan tahap membaca, anak juga hanya memperhatikan

huruf pertamanya.

Berdasarkan pada hal tersebut di atas, apabila anak-anak dihadapkan pada

cerita yang ditulis dengan menggunakan huruf besar ukurannya pada setiap awal

kata pertama setiap paragraf, lebih-lebih jika menggunakan wama-wama yang

mencolok, mereka akan lebih mudah mengenal perbedaan huruf yang satu dengan

yang lainnya. Dengan kata lain kesiapan mereka membaca dan menulis akan terjadi

secara relatif cepat dengan tidak memberatkannya.

Uly HaBmak/PK- S3AJPI

Page 8: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

Kemampuan menulis pada anak-anak kelas 1 dan 2 sekolah dasar pada

umumnya belum memperhatikan pembaca, dengan kata lain masih bersifat

egosentris. Akan tetapi kira-kira ketika berada di kelas 3 atau 4 barulah terjadi

perubahan. Mereka mulai memperhatikan reaksi pembaca. Mereka mulai merevisi

dan menyunting tulisannya. Hal ini dipengaruhi oieh pengetahuan sintaktik (tata

kalimat) yang mereka kuasai. Perkembangan selanjutnya, pada umumnya pada

periode usia sekolah terjadi perkembangan kemampuan menggunakan kalimat

dengan lengkap baik secara lisan maupun tertulis. Terjadi pula peningkatan

penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang

bervariasi.

Sejalan dengan gambaran perkembangan bahasa sebagaimana dikemukakan

di atas, dalam perkembangan bahasa anak sekolah khususnya Curran (Hidayat S.,

Kosadi, 2002: 57-58) mengemukakan bahwa perkembangan atau penguasaan

berbahasa seseorang pada umumnya melalui beberapa tahap. Dalam hal ini Curran

membaginya menjadi lima bagian, yaitu (1) embryonic stage, (2) self-assertion stage,

(3) birth stage, (4) reversal stage, dan (5) independent stage.

Tahap pertama adalah embryonic sfage, merupakan tahap ketergantungan

peserta didik terhadap gurunya hampir seratus persen. Pada tahap ini tugas guru

adalah mengurangi atau menghiiangkan perasaan yang dialami peserta didik seperti

ini dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang memadai. Guru harus

memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengungkapkan pengalaman

berbahasa apa saja yang pernah dilakukannya. Dengan mengemukakan

pengalaman apa adanya, perasaan ketergantungan yang tak menentu itu

Ufy HoUmah'PK- S3/UPI

Page 9: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

42

diungkapkan untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan yang lainnya sehingga

akan timbul rasa keberanian untuk menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya.

Tahap kedua ialah self-assertion stage, pada tahap ini peserta didik

memperoleh dukungan moral dari rekan-rekan senasibnya untuk bersama-sama

menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya dan lama kelamaan mereka akan

mengembangkan dan menemukan sendiri identitas dirinya. Pada saat inilah peserta

didik sudah mulai memberanikan diri dan sedikit demi sedikit melepaskan dari

ketergantungan pada guru.

Tahap ketiga yaitu birth stage, pada tahap ini peserta didik secara bertahap

mengurangi penggunaan bahasa ibunya. Mereka mulai merasakan kebiasaan

menggunakan bahasa sasaran dalam hal ini bahasa Indonesia atau bahasa lain

yang sedang dipelajari peserta didik sehingga peristiwa semacam ini akan

membangkitkan rasa aman di antara sesama rekan-rekan yang lainnya.

Tahap keempat ialah reversal stage, pada tahap ini hubungan antara guru

dan peserta didik sudah benar-benar terjadi kontak yang memberikan rasa aman,

sudah terjalin rasa saling percaya. Dalam kondisi seperti inilah peserta didik lebih

aktif mencurahkan gagasannya dalam percakapan yang hidup dan lancar sehingga

tidak terasa ada hambatan komunikasi di anatara peserta didik dengan peserta didik

juga dengan gurunya.

Tahap terakhir adalah independent stage, pada tahap ini peserta didik sudah

mampu menguasai semua bahan. Oleh karena itu, peserta didik berusaha untuk

memperluas bahasanya, juga aspek sosial budayanya dari penutur asli atau dari

lingkungan masyarakat sekelilingnya, di tempat peserta didik berada.

hdy Holimok/PK- S3/VPI

Page 10: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

43

Uraian di atas, menggambarkan bahwa kemampuan berbahasa itu

berkembang secara bertahap dan sejalan dengan bertambahnya usia, juga seiring

dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosial. (Akhadiah, dkk.1992: 3;

Tarigan, 2000: 1.9). Dari seluruh aspek perkembangan tersebut perkembangan

bahasa selalu dikaitkan dengan perkembangan intelektual atau perkembangan

kognitif. Alasannya, karena bahasa merupakan sarana utama untuk berpikir dan

bernalar. Individu menggunakan bahasa dalam berpikir baik pada saat menyimak,

mewicara, membaca, maupun menulis. Kemampuan menggunakan bahasa tersebut,

tidak bersifat alamiah, melainkan harus dipelajah.

2. Pemerolehan Bahasa Anak

Pengertian perkembangan bahasa dan pemerolehan bahasa sulit dibedakan

secara tegas. Mengingat dalam proses perkembangan bahasa yang sifatnya alami

itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari lingkungan sosialnya. Akan

tetapi walaupun demikian, pada umumnya dapat dibedakan, yang biasanya tekanan

pemerolehan bahasa adalah pada sifat formal bimbingan yang ditenma anak. Hal ini

sebagaimana dikemukakan Pica (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 24) membedakan tiga

konteks pemerolehan bahasa, yaitu pemerolehan bahasa secara alamiah,

pemerolehan bahasa melalui konteks pembelajaran, dan campuran (antara alamiah

dan konteks pembelajaran). Sementara Krashen (Azies dan Alwasiiah, 1996: 23)

membedakan dua kondisi pemerolehan bahasa, yaitu yang dilakukan secara tidak

sadar dan yang dilakukan secara sadar.

Kedua pendapat tersebut pada dasarnya mempunyai pandangan yang sama,

bahwa pemerolehan bahasa dapat dilakukan melalui konteks yang alami atau

Lebf Halimak/PK- S3/UP1

Page 11: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

44

secara tidak sadar dan melalui konteks formal atau secara sadar. Proses

pemerolehan bahasa yang dilakukan secara alami atau tidak sadar, yaitu seperti

halnya yang terjadi pada pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) pada anak

kecil. Sedangkan pemerolehan bahasa yang dilakukan secara sadar atau dalam

konteks pembelajaran formal, yaitu seperti halnya yang dilakukan orang dewasa

mempelajari bahasa kedua pada latar formal.

Pemerolehan bahasa secara alami atau yang dilakukan secara tidak sadar,

sebagaimana dikemukakan Krashen dan Terrel (Astika, 1996: 1) pemerolehan

bahasa ialah penguasaan bahasa yang terjadi karena bahasa tersebut digunakan

dalam situasi yang komunikatif dan alami (natural). Proses pemerolehan bahasa

seperti ini dialami oleh anak-anak ketika mereka belajar bahasa pertama (bahasa

ibu). Menurut Tangan, (2000: 11.4) pemerolehan bahasa anak melibatkan dua

keterampilan yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan

kemampuan memahami tuturan orang (ain. Dalam konteks ini, yang dimaksud

dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik

berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan

pembelajaran formal. Dengan kata lain kegiatan pemerolehan bahasa ini ditandai

oleh hal-hal berikut (1) berlangsung dalam situasi informal, tanpa beban, dan di luar

sekolah, (2) pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-

lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus, (3) dilakukan tanpa sadar, dan (4)

dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna

Sedangkan pemerolehan bahasa melalui konteks pembelajaran dan

campuran yaitu antara proses alami dan konteks pembelajaran biasanya merupakan

proses pemerolehan bahasa kedua. Sebagaimana halnya, bahasa Indonesia bagi

hdy HaiimaiuPK- S3/UPI

Page 12: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

45

sebagian besar anak-anak Indonesia merupakan bahasa kedua setelah mereka

belajar bahasa ibu (bahasa daerah). Dengan demikian, pemerolehan bahasa

Indonesia bagi sebagian besar anak-anak Indonesia melalui konteks pembelajaran.

Pemerolehan bahasa akan lebih cepa t apabila dilakukan melalui konteks

pembelajaran yang mendekati pemerolehan bahasa secara alami.

Pemerolehan bahasa, baik secara alami maupun melalui proses

pembelajaran pada umumnya memiliki proses dan urutan yang sama. Dalam hal ini.

Tangan (2000: 1.29 - 1.33) mengemukakan bahwa terdapat beberapa strategi

pemerolehan bahasa anak, di antaranya yaitu melalui mengingat, meniru, mengalami

langsung, dan bermain,

a. Mengingat

Mengingat mempunyai peranan yang sangat penting dalam belajar baik

dalam belajar bahasa maupun dalam belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi

yang dilalui anak direkam dalam benaknya. Baik pasa saat mereka menyentuh,

mencerap, mencium, melihat dan mendengar sesuatu, memori anak

menyimpannya. Panca indera ini sangat penting bagi anak dalam membangun

pengetahuan tentang dunianya.

Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan

tentang kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu

yang dia alami. Ingatan itu akan semakin kuat, terutama bila penyebutan akan benda

atau peristiwa tertentu terjadi secara berulang-ulang. Dengan cara ini, anak akan

mengingat kata-kata tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara

mengucapkannya. Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat anak ketika diucapkan

tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau suku kata awal atau akhirnya

LAy HaHmak,<PK- S3/UPI

Page 13: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

46

saja. Mal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan alat ucap anak?nrasjhl (

\ -'J >;<.-, 'w s& .T '/ \ L ' _ / ' L . . * » \ ? £ ? fi

berkembang. Dia menyimpan kata yang didengarnya dalam memorinya, ^Ha-pùn?

mencoba mengatakannya. Akan tetapi tingkat r>erkembangannyate|i :^ang betòn

memungkinkan dia melafalkan tuturan sesempurna orang dewasa. Karena itu, dalam

berbahasa biasanya anak dibantu dengan ekspresi, gerak tangan, atau menunjuk

benda-benda tertentu.

b. Meniru

Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar bahasa adalah

peniruan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari strategi

mengingat. Proses peniruan ini tidak berarti anak mengulang kembali apa yang

didengarnya. Tetapi dalam proses menirunya itu terjadi perubahan yang

kemungkinan dapat berupa pengurangan, penambahan, dan penggantian kata atau

pengurutan susunan kata.

Hal tersebut terjadi, karena ada penyebabnya, di antaranya (1) berkaitan

dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta alat ucap, dengan

demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah dikuasainya, dan (2)

berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di satu sisi, secara bertahap, dia

dapat memahami dan menggunakan tuturan yang lebih kompleks. Di sisi lain secara

bersamaan, anak membangun suatu sistem bahasa yang memungkinkan dia

mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak terbatas. Keadaan ini

mendorong anak senang melakukan percobaan dalam berbahasa. Percobaan ini

terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya berpindah pada tingkat yang

lebih kompleks.

Lely Haltmak/PK- S3/UPI

Page 14: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

47

Dengan kata lain, sifat peniruan penggunaan bahasa anak cenderung bersifat

dinamis dan kreatif. Oleh karena itu, maka model (orang) yang memberikan

masukan kebahasaan kepada anak sangat mempengaruhi corak bahasa yang

dimiliki anak. Apabila modelnya baik, maka anak pun akan mempelajari versi bahasa

yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik, maka versi bahasa yang

kurang baik inilah yang akan dipelajarinya.

c. Mengalami Langsung

Strategi penting lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertama

yang dipelajarinya adalah berlatih atau praktik berbahasa secara langsung dalam

konteks bahasa yang sesungguhnya. Anak menggunakan bahasa yang dipelajarinya

baik pada waktu berkomunikasi dengan orang lain atau mewicara sendirian. Anak

mengalami langsung kegiatan berbahasa seperti menyimak dan mewicara. Dengan

demikian, berdasarkan model atau respon partner komunikasinya, dia akan dapat

merasakan kewajaran dan ketepatan berbahasanya.

Adapun parktjk berbahasa yang dilaklukan anak, pada dasarnya bukan

karena dorongan orang lain, tetapi karena ia memerlukannya. Kegiatan ini

berlangsung dalam situasi informal, tanpa disadari, dan tanpa beban. Dia pun

melakukan uji coba dalam berbahasa tanpa takut salah. Upaya ini merupakan

sarana untuk mempermantap sistem bahasa yang dipelajarinya. Secara perlahan

dan bertahap, dia mengubah, memperbaiki, dan menyimpulkan aturan bahasa itu

sampai tuturannya dirasa benar dan menyerupai ujaran orang dewasa. Karena itu

pula, kesalahan berbahasa bagi anak merupakan sesuatu yang wajar. Kesalahan itu

menunjukkan adanya proses pemantapan aturan bahasa yang dipelajarinya.

Lely Halimah/FK- S3AJPI

Page 15: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

48

d. Bermain

Kegiatan bermain merupakan faktor yang sangat penting dalam

perkembangan kemampuan berbahasa anak. Sering kali mereka bedaku sebagai

orang dewasa. Apabila kita perhatikan, misalnya beberapa anak perempuan bermain

bersama, ada yang berlaku sebagai anak, bapak, ibu, atau kakak dalam bermain

rumah-rumahan. Bahkan kadang ada yang berperan sebagai penjual dan pembeli

dafam permainan dagang-dagangan atau ada pula yang berperan sebagai guru dan

siswa dalam permainan sekolah-sekolahan.

Uraian di atas menggambarkan bahwa permainan bagi mereka seolah-olah

berdrama, tanpa disadari, mereka berlatih mewicara dan menyimak. Dengan kata

lain, bermain bagi anak berfungsi sebagai sarana untuk berlatih bahasa. Bahkan

menurut Piaget dan Vigotsky (Roffuddin dan Zuhddi, 1999:38) bermain tidak hanya

berpengaruh pada perkembangan jasmani, tetapi juga kognisi, emosi, sosial, dan

bahasa.

Secara popular bermain menurut Yacub (2000: 11) adalah kegiatan secara

alamiah pada anak, tanpa dipaksa oleh apa dan siapa serta dapat menimbulkan rasa

senang tanpa mengharapkan apa-apa. Oleh karena itu, bermain bagi anak dapat

dimanfaatkan dan diarahkan oleh pendidik ke arah yang menjadi tujuan pendidikan.

Hal ini sangat beralasan, karena banyak teori atau pendapat tentang bermain

mempunyai banyak manfaat bagi perkembangan anak, di antaranya dapat

membangun kepercayaan diri. Dengan demikian, bermain bagi anak merupakan

kebutuhan vital. Untuk itu, berikan kesempatan kepada mereka bermain dan berikan

permainan yang tepat dan baik serta benar, sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan

dan perkembangan pada tahap selanjutnya.

Uly HaUmahWK- S3/UPI

Page 16: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

49

Teori pemerolehan bahasa sebagaimana d i kemukakan di atas, tampaknya

sangat penting untuk diketahui oleh guru bahasa. Apalagi bagi guru sekolah dasar,

yang dalam hal ini sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pemerolehan bahasa

dapat melalui mengingat menim, mengalami langsung, dan bermain. Semuanya itu

dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan sesuai dengan

kebutuhan perkembangan usia sekolah dasar.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan dan Pemerolehan Bahasa

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan dan

pemerolehan bahasa, di antaranya menurut Tangan (2000: 1.21); Fisher & Terry

(1982: 69-70) adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini.

a. Faktor Biologis

Frisher & Terry mengemukakan bahwa salah satu pandangan yang

cenderung melihat faktor biologi dalam pemerolehan bahasa adalah Lenneberg,

yang menguraikan dasar-dasar biologis yang memungkinkan manusia menjadi

manusia karena bahasanya. Menurutnya bahasa merupakan proses evolusioner dan

secara genetis sebagai dasar kapasitas berbahasa pada manusia secara turun

temurun. Dengan demikian, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan

kemampuan kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi

alami itu bekerja secara otomatis, Chomsky (Tangan, 2000) menyebutnya sebagai

potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah Piranti

Pemerolehan Bahasa (Language Acquisüion Devices).

LAD adalah struktur mental yang secara internal dimiliki oleh setiap manusia,

la bersifat kodrati atau bawaan (innate) dan terdapat di benak manusia secara

Ldy HaOmok/PK- S3/UPI

Page 17: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

•'g

abstrak. Dengan LAD inilah setiap manusia normal mampu sekaligus m

bahasa apa saja berdasarkan lingkungan tempat tinggalnya atau l ingkuYig^nsoSiiS^ .

yang melingkupinya (Suryono, 1987: 233). Adapun perangkat bk>1b^ is j§^3§ :^

menentukan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa ada tiga, yaitu otak

{sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap. Ketiga hal ini memiliki peran yang

mendasar. Alasan yang sangat mendasar, karena gangguan pada salah satu dari

ketiganya akan sangat menghambat pemerolehan bahasa anak.

b. Faktor Lingkungan Sosial

Untuk memperoleh kemampuan berbahasa, seorang anak memerlukan orang

lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk

mendengarkan sesuatu atau menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi, t idak

akan memiliki kemampuan berbahasa. Alasannya, karena bahasa yang diperoleh

anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat dalam

lingkungan yang menggunakan bahasa.

Atas dasar itu, maka menurut Tangan (2000: 1.23) anak memerlukan orang

lain untuk mengirimkan dan menerima tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara

fisik. Anak memerlukan contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan, serta

teman untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang

sesungguhnya. Dengan demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan tumbuh

seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang

menentukan perkembangan dan pemerolehan bahasanya.

Haf yang perlu dibahas, berkaitan dengan proses pemerolehan bahasa dari

lingkungan atau bagaimana lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada

Ufy Halimak/PK- SJAJPI

Page 18: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

51

anak dalam proses pemerolehan bahasa, menurut Fisher & Terry; (1982: 72- 75);

Tangan (2000:1.23) di antaranya, melalui berikut ini.

1) Bahasa semang (motheresse), yaitu penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang dewasa lainnya ketika berbicara dengan anak;

2) Parafrase, yaitu penggunaan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda;

3) Menjelaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang dikatakan anak, terutama bila tuturannya tidak lengkap atau tidak sesuai dengan maksudnya;

4) Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks;

5) Menamai (labeling), yaitu mengidentifikasi nama-nama benda, dapat dalam bentuk benda yang sebenarnya atau benda tiruan, gambar, permainan kata, dan sebagainya;

6) Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak;

7) Pemodelan (modeling), yaitu memberikan contoh berbahasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa;

8) Involved and participating, yaitu melibatkan dan mengajak anak berpatisipasi dalam kegiatan berbahasa;

9) Memilih (choosing), yaitu orang tua memilih kata atau kalimat yang dapat dipahami oleh anak.

c. Faktor Inteligensi

Intelektual adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar.

Intelegensi ini bersifat abstrak dan tidak dapat diamati secara langsung. Pemahaman

tentang tingkat intelegensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.

Sesungguhnya, semua anak baik yang bernalar tinggi, sedang, ataupun rendah,

pada umumnya dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses.

Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang

berintelegensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya lebih cepat, lebih banyak, dan

lebih bervariasi khasanah bahasanya daripada anak-anak yang mempunyai

kemampuan bernalar sedang maupun rendah. Dalam hal ini Fisher & Terry

mengemukakan bahwa bahasa merupakan respon intelektual. Sebagaimana dalam

Ldy HalimaWK- S3AJPI

Page 19: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

52

pandangan Piaget, bahwa respon intelektual bukan merupakan sesuatu yang

diwariskan. Oleh karena itu, anak mewarisi suatu tendensi atau kecenderungan

untuk mengorganisasikan proses intelektual mereka dan mengadaptasikannya ke

dalam lingkungannya.

d. Faktor Motivasi

Dalam belajar bahasa, seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri.

Mereka belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar,

haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang Goodman; Tompkins & Hoskisson

(Tangan, 2000:1.27). Inilah yang disebut motivasi instrinsik yang berasal dari dalam

diri anak itu sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan komunikasi dengan sekitarnya.

Kebutuhan komunikasi itu ditujukan agar dia dapat dipahami dan memahami guna

mewujudkan kepentingan dirinya. Selain adanya dorongan dari dalam, alasan lain

untuk berbahasa dalam perkembangannya anak merasakan bahwa komunikasi

bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingga anak

pun kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini

memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik, dan inilah yang

dikenal dengan motivasi ekstrinsik.

Faktor-faktor tersebut, apabila dipadankan dengan hasil penelitian para ahli

psikologi, khusunya psikologi perkembangan sejak abad ke xx yang telah melahirkan

berbagai teori perkembangan yang sangat populer dalam dunia pendidikan. Teori

perkembangan yang dimaksud menurut Arbi dan Syahrun, 1992: 56-57) adalah

sebagai berikut ini.

Uly HaUmah/PK- S3AJPI

Page 20: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

53

1) Teori Nativisme

Menurut teori ini yang salah seorang tokohnya adalah Scnopenhouer berpendapat

bahwa seorang anak yang lahir ke dunia dilengkapi dengan pembawaan atau

warisan baik atau buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan bagi seorang anak

ditentukan oleh pembawaannya.

2) Teori Empirisme

Salah seorang pakar dari teori ini adalah John Locke, menurutnya bahwa anak

lahir ke dunia bagaikan kertas putih atau tabularasa. Lingkunganlah yang akan

mengukir/menulis kertas putih itu melalui pengalaman-pengalaman empirik. Oleh

karena itu, faktor yang menentukan perkembangan anak adalah lingkungan.

3) Teori Konvergensi

Salah seorang tokoh teori ini adalah William Stem. Menurut teori ini,

perkembangan seorang anak dipengaruhi baik oleh faktor bawaan maupun oleh

faktor lingkungan. Kedua faktor ini sama-sama mempunyai peranan penting bagi

perkembangan anak.

4) Teori Maturasi

Teori ini menekankan bahwa efek usaha belajar tergantung pada tingkat

kedewasaan (maturasi) yang telah dicapai anak. Tidak ada gunanya memaksa

individu melakukan usaha belajar yang sebenarnya jika individu yang

bersangkutan belum matang.

Faktor-faktor tersebut tentunya harus menjadi bahan pertimbangan bagi guru

selama pembelajaran bahasa. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut,

berarti guru memahami dengan baik karakteristik peserta didiknya, dan ini harus

dilakukan oleh guru karena sangat membantu perkembangan dan pemerolehan

Lefy HelimaVPK- SS/VPI

Page 21: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

54

bahasa peserta didik. Salah satunya yang sangat penting dari adanya pemahaman

tersebut, guru akan berusaha menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan

kebutuhan perkembangan peserta didiknya.

B. Landasan Teoretis Pembelajaran Bahasa

1. Hakikat Bahasa

Bahasa atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan language berasal dari

bahasa Latin yang berarti "lidah" (sebagai atat ucap). Berdasarkan pada arti kata

tersebut, maka bahasa pada dasarnya merupakan rangkaian bunyi (ujaran) yang

dihasilkan oleh alat ucap yang melambangkan pikiran, perasaan serta sikap

seseorang. Dengan demikian, maka bahasa adalah lambang atau lebih lengkapnya,

menurut Syafi'ie (1089: 73) bahasa adalah suatu sistem lambang/simbul/tanda yang

terdiri dari bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap.

Bahasa sebagai sistem lambang, dalam pemakaiannya, lambang itu

digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku, di antaranya kaidah pembentukan.

Kaidah-kaidah tersebut, di antaranya rangkaian bunyi membentuk gabungan kata,

klausa, dan kalimat. Setiap bahasa pada dasarnya mempunyai sistem kaidah yang

harus dikuasai oleh pemakainya dalam arti bahwa setiap pemakai bahasa harus

mempunyai pengetahuan kaidah-kaidah bahasanya serta mampu merealisasikannya

dalam tuturan pemakaian bahasa pada suatu peristiwa komunikasi tertentu (Safi'ie,

1989: 73; Akhadiah, dkk. 1992: 2).

Bahasa sebagai sistem lambang, menurut Roft'uddin dan Zuhdi (1999: 190)

keberadaannya disebabkan oleh dua alasan, di antaranya yaitu (1) karena manusia

sanggup berpikir secara simbolik, mereka merepresentasikan sesuatu dengan

Uty HoUmah/PK- SSAJP1

Page 22: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

55

sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem simbolik, (2) karena

manusia adalah makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana

komunikasi dalam kehidupannya. Komunikasi sosial antarmanusia memiliki peranan

yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahkan menurut Rosdiana

(2003:1.2) komunikasi atau interaksi semakin penting pada saat manusia

membutuhkan eksistensinya diakui. Kegiatan ini membutuhkan alat sarana, atau

media, yaitu bahasa. Oleh karena itu, sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana

atau media.

Bahasa sebagai sistem lambang, pada dasarnya digunakan oieh manusia

untuk kepentingan berkomunikasi atau sebagai alat komunikasi. Sebagai alat

komunikasi, bahasa pada dasarnya mempunyai dua unsur utama, yakni bentuk (arus

ujaran) dan makna (isi). Bentuk merupakan bagian yang dapat diserap oleh panca

indera (melalui mendengar dan membaca). Bagian ini terdiri atas dua unsur yaitu

unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental secara hierarkis dari

segmen yang paling besar sampai segmen yang paling kecil yaitu wacana, kalimat,

frasa, kata, morfem dan fonem.

Adapun unsur suprasegmental terdiri atas intonasi. Unsur-unsur intonasi di

antaranya tekanan (keras, lembut), nada (tinggi, rendah), durasi (panjang, pendek

waktu pengucapan), dan perhentian (yang membatasi arus ujaran). Sedangkan

makna adalah isi yang terkandung dalam bentuk-bentuk di atas. sesuai dengan

urutan bentuk dari segmen yang paling besar sampai segmen yang terkecil. Makna

pun dibagi berdasarkan hierarki itu, yaitu makna morfemis (makna imbuhan), makna

leksikal (makna kata), dan makna sintaksis (makna frasa, klausa, kalimat) serta

makna wacana yang dikenal dengan tema (Rosdiana, 2003:1.5).

Lely Halimak/PK- S3/ÜP1

Page 23: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

56

Sejalan dengan bentuk dan makna bahasa, dalam kegiatan berbahasa, kedua

bentuk tersebut dapat disampaikan secara lisan dan secara tertulis. Kegiatan

berbahasa baik lisan maupun tulisan, secara teknis meliputi dua tahap, yaitu tahap

produktif dan tahap reseptif. Kegiatan berbahasa secara produktif, yaitu ketika

individu berbicara atau menulis untuk menyampaikan ide atau pikiran, dan

perasaannya kepada orang lain. Sedangkan kegiatan berbahasa secara reseptif

yaitu ketika individu menyimak atau membaca untuk memahami ide atau pikiran

orang lain. Kedua tahap tersebut, mempunyai hubungan timbal balik yang sangat

erat atau bersifat resiprokal. Bagan berikut ini, dapat menggambarkan keterjalinan

antara kegiatan berbahasa produktif dan reseptif.

Bagan 2.2 Keterkaitan antara Kegiatan Berbahasa secara Produktif dan Reseptif

(Fisher dan Terry, 1982:12)

Dalam kegiatan berbahasa baik secara produktif maupun reseptif, individu

harus mahir atau mampu memahami dan menggunakan bahasa secara efektif.

Bahasa sebagai alat komunikasi, kapan pun komunnikasi terjadi selalu ada

pembicara atau penulis dan pendengar atau pembicara. Aktivitas manusia yang

Uly Halimak/PK- SSA/PI

Page 24: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

58

menemukan keyakinannya itu adalah komunikasi. Melalui komunikasi yang efektif

manusia dapat mewujudkan apa yang diinginkannya, akan tetapi, kemampuan

komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.

Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam

lingkungan keluarganya, kelompok sosialnya, di lingkungan kelasnya, dan

masyarakatnya, maka mereka membutuhkan berbagai kemampuan untuk

melakukan secara efektif dalam setiap peristiwa komunikasi yang dihadapinya

(Wood, 1981:5).

Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi

bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta

didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya dalam setiap

situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka

membangun berbagai strategi komunikasi yang membuat mereka dapat menghadapi

situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan

upaya-upaya untuk melatih kemampuan berkomunikasi, terutama dalam situasi

proses pembelajaran.

2. Teori Pembelajaran Bahasa

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa perkembangan dan

pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah

satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu

sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru

tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan

pengetahuan guru baik tentang konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa

Lely Hatimak/PK- S3/UPI

Page 25: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

57

disebut komunikasi merupakan fenomena yang rumit dan terus-menerus berubah.

Walaupun demikian, menurut Azies dan Atwasilah (1996:9) bila dua orang atau lebih

terlibat dalam suatu komunnikasi, tentu mereka melakukan komunikasi karena

beberapa alasan, di antaranya (a) mereka ingin mengatakan sesuatu, maksudnya

dalam sebagian besar komunikasi, orang mempunyai pilihan apakah dia akan

mewicara atau tidak, (b) mereka memiliki tujuan komunikasi, maksudnya pewicara

mengatakan sesuatu karena menginginkan sesuatu terjadi sebagai akibat dari apa

yang mereka katakana, apakah dia ingin merayu, mengajak, menolak, atau memuji

mitra wicaranya, dan (c) mereka memiliki kode dari bahasa yang dimilikinya,

maksudnya untuk mencapai tujuan komunikasinya mereka dapat memilih kata-kata

yang tepat untuk tujuan tersebut.

Dalam proses komunikasi, kata-kata atau ujaran-ujaran yang digunakan

dalam komunikasi harus mempertimbangkan beberapa faktor di antaranya, yaitu (a)

latar, maksudnya di mana kita pada saat menggunakan bahasa itu, dan pada situasi

bagaimana, (b) partisipan, maksudnya siapa yang terlibat penggunaan bahasa itu,

( c ) ^ j u a n , maksudnya apa J t i juan penutur menggunakan bahasa itu, (d) saluran,

maksudnya apakah komunikasi itu berlangsung secara tatap muka, atau melalui

telepon, atau melalui surat, buku, atau novel, dan (e) topik, maksudnya komunikasi

itu tentang apa. Semua faktor tersebut mempengaruhi penggunaan bahasa dalam

pemilihan kata dalam berkomunikasi.

Uraian di atas, memberikan gambaran bahwa bahasa mempunyai peranan

yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan bahasa manusia

dapat memahami dunianya, dirinya, dan orang laiah. Manusia selalu berusaha untuk

menemukan keyakinan tentang semuanya itu, dan alat yang sangat penting untuk

Lefy HaBmak/PK- S3AJPI

Page 26: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

58

menemukan keyakinannya itu adalah komunikasi. Melalui komunikasi yang efektif

manusia dapat mewujudkan apa yang diinginkannya, akan tetapi, kemampuan

komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.

Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam

lingkungan keluarganya, kelompok sosialnya, di lingkungan kelasnya, dan

masyarakatnya, maka mereka membutuhkan berbagai kemampuan untuk

melakukan secara efektif dalam setiap peristiwa komunikasi yang dihadapinya

(Wood, 1981:5).

Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi

bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta

didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya datam setiap

situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka

membangun berbagai strategi komunikasi yang membuat mereka dapat menghadapi

situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan

upaya-upaya untuk melatih kemampuan berkomunikasi, terutama dalam situasi

proses pembelajaran.

2. Teori Pembelajaran Bahasa

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa perkembangan dan

pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah

satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu

sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru

tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan

pengetahuan guru baik tenteng konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa

Lely HaUmah/PK- S3/UPI

Page 27: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

59

Lefy Halimah/PK- S3AJPI

akan sangat menentukan pola belajar bahasa yang dilakukan peserta^dfâik"Ûl0h

\ i à * **™J^K,..K} il

karena itu, berikut ini dikemukakan beberapa teori belajar bahasaW è r ,7

a. Teori Behaviorlsme

Ibrahim dan Syaodih (1993:11-12) dan Kaseng (1989:13-15) mengemukakan

bahwa teori belajar behaviorisme memandang kehidupan individu manusia terdiri

atas unsur-unsur. Beberapa cirinya antara lain (a) mengutamakan unsur-unsur atau

bagian-bagian kecil, (b) bersifat mekanistik, (c) menekankan peranan lingkungan, (d)

mementingkan pembentukkan reaksi atau respon, dan (e) menekankan pentingnya

latihan. Tokoh yang sangat terkenal dari teori belajar ini antara lain Thomdike, Ivan

Pavlov dan B.F Skinner.

Thomdike mengemukakan bahwa belajar pada binatang juga berlaku bagi

manusia yaitu melalui belajar coba-coba atau "trial and errof. Hasil percobaannya

melahirkan tiga prinsip atau hukum utama belajar, yaitu (a) law of readiness atau

hukum kesiapan, yang menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta

didik yang belajar telah memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut, (b)

law of exercise atau hukum latihan, yang menyatakan bahwa belajar memerlukan

banyak latihan atau ulangan-ulangan, dan (c) law ofeffect atau hukum mengetahui

hasil, dalam hal ini belajar akan lebih bersemangat apabila mengetahui dan

mendapatkan hasil yang baik.

Ivan Pavlov telah membuktikan bahwa beberapa aktivitas belajar manusia

dihasilkan oleh proses pengontrolan (conditioning), sebagaimana ia melakukan

percobaannya terhadap seekor anjing. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan

bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing, setelah diulang berkali-kali

ternyata air liur anjing kefuar bila bel berbunyi meskipun tanpa makanan. Hasil

Page 28: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

60

percobaan ini ternyata dapat diterapkan pada manusia, seperti peserta didik diminta

berbaris sebelum masuk kelas dan apabila lonceng berbunyi baru boleh masuk

kelas, hal tersebut pada akhirnya mendapat kesimpulan bahwa belajar merupakan

suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon

terhadap sesuatu, atau belajar adalah hasil serentetan stimulus-respon.

Skinner kemudian mengembangkan lebih lanjut teori belajar yang

dikemukakan Thomdike maupun Pavlov. Teori Skinner ini dikenal dengan teori

penguatan. Perbedaan dengan teori Pavlov, yang diberi kondisi adalah stimulusnya,

sedangkan pada teori Skinner yang diberi kondisi adalah adalah responnya. Seperti

seorang peserta didik yang mendapatkan hasil ulangannya sangat baik, kemudian

oleh gurunya diberikan hadiah, maka peserta didik tersebut akan belajar lebih giat

lagi agar mendapatkan hadiah kembali.

Teori psikologi belajar behaviorisme sebagaimana dikemukakan di atas,

menurut Azies dan Alwasitah (1996: 21-23) selama beberapa waktu diadopsi oleh

para metodolog pengajaran bahasa, terutama di Amerika, yang hasilnya adalah

pendekatan metode audiolingual. Metode ini ditandai dengan pemberian pelatihan

terus-menerus kepada peserta didik yang diikuti dengan pemantapan, baik positif

maupun negatif, sebagai fokus utama aktivitas kelas. Tugas guru adalah

memberikan penghargaan kepada peserta didik yang ujarannya paling mendekati

model yang diberikan oleh guru. Sementara menurut Gani (1995:11) belajar bahasa

melalui teori behaviorisme, kuncinya adalah peniruan model. Belajar bahasa

dilaksanakan dengan menguasai kaidah-kaidah bahasa secara mekanistik. Peserta

didik dilatih berbahasa selaras dengan pola yang disepakati tanpa penyimpangan.

LOy Halimak/PK- S3/UP1

Page 29: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

61

Dengan demikian, titik sentral kegiatan terletak pada proses pemantapan latihan

untuk membentuk kebiasaan berbahasa.

Dalam perkembangan teori belajar bahasa selanjutnya, Azies dan Alwastlah

(1996: 22) mengemukakan bahwa teori belajar behaviorisme ditentang di antaranya

oleh linguis Noam Chomsky. Sebagai pelopor teori belajar bahasa kognitif, Chomsky

menyerang pandangan kaum behavioris dengan mengajukan beberapa pertanyaan

berikut Bila bahasa merupakan perilaku yang dipelajari, bagaimana anak dapat

mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan sebelumnya? Bagaimana mungkin

sebuah kalimat baru yang diucapkan seorang anak usia empat tahun merupakan

hasil conditioning? Menurutnya bahasa bukanlah salah satu bentuk perilaku.

Sebaliknya, bahasa merupakan sistem yang didasarkan pada aturan dan

pemerolehan bahasa pada dasarnya merupakan pembelajaran sistem tersebut.

Dalam kaitan ini Chomsky memperkenalkan konsep kompetensi dan

performansi. Kompetensi merujuk kepada penguasaan siswa tentang aturan-aturan

gramatikal. Kemampuan menggunakan aturan-aturan ini disebut performansi.

Menurutnya, dalam pembelajaran bahasa yang penting adalah pembelajar atau

peserta didik menginternalisasikan aturan sehingga akan memungkinkan terjadinya

performansi kreatif. Dengan kata lain, tunjukkan kepada peserta didik aturan atau

struktur yang mendasari dan kemudian biarkan mereka melakukannya sendiri.

Menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru adalah tujuan pembelajaran bahasa.

Berikut ini dikemukakan pengaruh teori Behaviorisme terhadap proses

pembelajaran, di antaranya adalah sebagai berikut.

1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada tugas, ganjaran, dan disiplin;

Idy HaUmaMPK- SS/UP1

Page 30: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

62

2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat ekstrinsik melalui pembiasaan terus-menems/re/nforeemenf;

3) Metodologi: Metoda belajar dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan tertentu serta menggunakan teknologi pendidikan;

4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengetahuan dan keterampilan akademis serta tingkah laku sosial;

5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada guru, hubungan sosial adalah cara dan bukan Tujuan;

6) Usaha mengefektifkan belajar Program pengajaran disusun secara rinci dan bertingkat, mengutamakan penguasaan bahan;

7) Partisipasi peserta didik bersifat pasif; 8) Kegiatan pembelajaran: pemahiran keteraampilan melalui pembiasaan

bertahap setapak demi setapak secara terinci; 9) Tjuan umum: Pendidikan bertujuan mencapai kemampuan mengadakan

sesuatu atau kompetensi (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan IKIP Bandung, 1989: 72).

b. Teor i Kognl t iv isme

Teori kognitif merupakan teori belajar yang lebih memfokuskan pada proses

mental, terutama proses berpikir sebagai dasar belajar. Bower dan Hilgard

(Kamarga, 2000: 44) mengemukakan bahwa teori kognitif berkenaan dengan

bagaimana individu memperoleh pengetahuan dan bagaimana individu itu

menggunakan pengetahuan tersebut untuk berperilaku lebih efektif. Lebih lanjut

mereka mengemukakan bahwa teori kognitif ini cenderung mencoba untuk

memahami pikiran (mind) dan kemampuan pikiran tersebut dalam mempersepsi,

berpikir, belajar, dan berbahasa.

Prinsip utama teori ini adalah pengenalan individu terhadap lingkungannya

adalah hasil transformasi yang bukan hanya dilakukan oleh organ indra, tetapi juga

oleh struktur kompleks atau sistem yang mengolah, menterjemahkan masukan-

masukan indria. Individu dipandang sebagai partisipan aktif yang menyeleksi

stimulan yang bermakna saja dari lingkungannya (Kaseng, 1989: 15-16). Oleh

karena itu, dalam teori kognitif ini, belajar didefinisikan sebagai proses interaksi yang

Uly BaUmah/PK- S3AJPI

Page 31: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

63

menghasilkan perolehan struktur kognitif baru dengan cara mengubah struktur

kognitif lamanya menjadi struktur kognitif baru.

Pandangan teori kognitif dalam belajar bahasa, De Stepano (Gani, 1995: 12)

mengemukakan bahwa teori ini menegaskan bahwa setiap anak/peserta didik

memiliki peranan yang aktif dalam belajar bahasa. Dalam pelaksanaan peranannya

itu peserta didik terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang bergerak ke arah informasi.

Kondisi seperti ini mengundang pemekaran proses intelektual peserta didik. Jadi,

proses belajar bahasa sama dengan proses berpikir. Dengan kata lain, orang tidak

berbahasa tanpa berpikir. Itu berarti bahwa belajar bahasa merupakan penajaman

proses berpikir dan sebaliknya. Adapun tokoh-tokoh yang telah mendukung

berkembangnya teori belajar kognitif yang dihubungkan dengan bahasa di antaranya

adalah Piaget, Vygotsky dan Bnjner.

1) Teori Piaget

Bymes (1996: 18) mengemukakan bahwa salah satu teori belajar kognitif

yang dikemukakan Piaget adalah teori skema. Adapun yang dimaksud skema

menurut Hasan (1996: B4-87); Zainui dan Muiyana (2003: 3.14) adalah kapasitas

intelektual yang dimiliki oleh seseorang. Sementara Pappas (1995: 21)

mengemukakan bahwa dalam pandangan konstruktif, Piaget mengemukakan bahwa

belajar merupakan proses berpikir yang secara terus-menerus memodifikasi skemata

atau struktur kognitif. Dalam perkembangan kognitif ini, terjadi melalui tiga proses,

yang meliputi asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi atau keseimbangan. Asimilasi

adalah proses membangun pengetahuan dengan memadukannya pada skema yang

sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah proses membangun kembali pengetahuan

dengan cara memodifikasi skema yang telah ada apabila informasi yang dimilikinya

Lety H«limok/PK- SS/UPI

Page 32: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

64

tidak selaras dengan informasi baru yang diterimanya. Atau menurut Pappas, dkk

(1995: 21) "Assimilation is the process by which knowledge is structured by being

integrated into existing schemas. In contrast, accommodation is the process by which

knowledge is restructured by making modifications in existing schematas.'

Sementara dafam proses ekuilibrasi, meliputi tiga tahap: pertama individu

berada pada ekuilibrasi; kedua ketika individu menerima informasi baru dan

mengalami kegagalan untuk memahaminya, dan ia menjadi sadar akan kekurangan

yang dimilikinya; dan ketiga, struktur mentalnya menyesuaikan diri dengan informasi

baru itu dan membentuk ekuilibrasi yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian

kemampuan kognitifnya berkembang (Akhadiah, dkk. 1992: 17).

Dalam pandangan teori kognitif, peserta didik adalah sebagai pembelajar

yang konstruktif aktif memberi makna terhadap semua fenomena. Mereka secara

terus-menerus memahami dunianya berdasarkan apa yang sudah mereka pelajari

sebelumnya atau berdasarkan pada apa yang sudah dibentuk dalam benaknya

(skematanya). Menurut Piaget (Hasan, 1996: 65) apa yang sudah ada pada diri

peserta didik adalah dasar untuk menerima yang baru, dan peserta didik dapat

dikatakan belajar apabila skematanya berkembang. Jadi pembelajaran baru

bermakna kalau skemata peserta didik berubah ke arah yang lebih maju.

Perkembangan skemata setiap individu sebagaimana dikemukakan oleh

Hasan pada umumnya dipengaruhi antara lain oleh kematangan bio-psikologis.

Artinya, secara umum individu akan melalui tingkatan-tingkatan perkembangan

tertentu. Dalam hal ini, menurut Piaget tingkatan perkembangan tersebut adalah

sebagai berikut ini.

Uly HaOmok/PK- S3/UP1

Page 33: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

65

a) Tahap sensorimotor (O;0 - 2;0) Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya mencakup gejala yang diterima secara langsung melalui indera. Pada saat ini anak mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya dengan menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Anak pada tahap ini mulai memahami hubungan antara nama benda dengan benda yang diberi nama Itu.

b) Tahap praoperasional (2;0 - 7;0) Pada tahap ini perkembangan bahasa sangat cepat Lambang-lambang bahasa yang dipergunakan untuk menunjukkan benda-benda nyyata bertambah dengan cepat. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi, bukan berdasarkan analisis rasional. Anak biasanya mengambil kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar.

c) Tahap operasi konkrit (7,0 - 1 1 ;0) Kemampuan berpikir logis mulai muncul pada tahap ini. mereka dapat berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini pemecahan masalah yang dihadapinya adalah permasalahan yang konkrit. Oleh karena itu, mereka akan menemui kesulitan apabila dihadapkan kepada permasalahan yang abstrak, bahkan mungkin akan membuat anak frustrasi. Misalnya, anak seringkah menjadi frustasi apabila diminta mencari arti "tersembunyi" dari suatu kata dalam tulisan tertentu.

d) Tahap opersi formal (11,0 - 1 5 , 0 ) Tahap ini ditandai dengan pola berpikir orang dewasa. Mereka dapat mengaplikasikan cara berpikir logis terhadap permasalahan dari semua kategori, baik yang abstrak maupun yang konkrit. Pada tahap ini anak sudah dapat memikirkan buah pikirannya, dapat membentuk ide-ide, berpikir tentang masa depan secara realistik (Hasan, 1996: 86; Sumantri, 1988: 48; Fisher and Terry, 1982:19-27; Zainul dan Muiyana, 2003: 3.13).

2} Teori Bruner

Teori kognitif menurut Piaget berbeda dengan teori kognitif menurut Bruner.

Teori Bruner dikembangkan atas dasar teori kognitif Piaget, dalam hal ini Bruner

mempertaanyakan universalitas keterhubungan antara tingkat perkembangan

kognitif individu dengan usia. Oleh karena itu Bruner mengadakan penelitian baru,

yang hasilnya Bruner mengidentifikasi bahwa terdapat tiga tahapan berpikir yang

dialami individu yaitu yang dikenal dengan tahap enactive, iconic, dan symbolic.

Lely Halimak&K- S3/UPI

Page 34: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

66

Berikut ini Hasan (1996: 88); Zainul dan Mulyana (2003: 3.15) memberikan

gambaran dari ketiga tahap tersebut.

a) Tahap enactive, yang terjadi pada masa kanak-kanak, pada periode apa yang dipelajari, dikenal, atau diketahui hanya sebatas dalam ingatan, yang artinya individu berpikir masih terbatas pada ruang, waktu, dan informasi yang diterimanya sebagaimana adanya;

b) Tahap iconic, pada tahap ini individu sudah dapat mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih jauh. Mereka sudah dapat mencerna dan memahami apa-apa yang tidak ada di lingkungan geografis di sekitar mereka atau pun pada waktu sekarang. Kemampuan berpikir logis sudah dapat mereka (akukan walaupun harus dikatakan bahwa tingkat abstraksi konsep masih sangat rendah;

c) Tahap symbolic, pada tahap ini individu sudah mampu berpikir abstrak. Simbol-simbol bahasa, matematika, atau pun disiplin ilmu lainnya sudah dapat mereka pahami sebagaimana seharusnya.

Sesuai dengan tahapan berpikir individu, pada dasarnya kerangka teori

Bruner (Kamarga, 2000: 49) adalah bahwa belajar merupakan proses aktif di mana

peserta didik mengkonstruk gagasan atau konsep baru berdasarkan pengetahuan

yang telah dimilikinya. Peserta didik menyeleksi dan mengubah informasi,

mengkonstruksi hipotesis, dan membuat keputusan didasarkan kepada struktur

kognitif. Dengan kata lain bahwa individu belajar secara terkonstruksi, membangun

pengetahuan berdasarkan pada apa yang telah dimilikinya. Dalam hal ini terdapat

dua pengertian, yakni (1) peserta didik mengkonstruk pemahaman baru dengan

menggunakan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya, dan (2) belajar adalah

proses aktif, di mana peserta didik dihadapkan dengan apa yang mereka pahami dan

dipertemukan dengan situasi yang baru.

Dengan memperhatikan tahapan berpikir dan proses belajar individu, maka

menurut Bruner (Hasan, 1996: 89) tugas mengajar suatu mata pelajaran kepada

hdy MaUmuk/PK- S3AJPI

Page 35: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

67

pelajaran tersebut sesuat dengan cara peserta didik berpikir.

peserta didik pada usia mana pun adalah memperkenalkan struktur k

menggambarkan bahwa peserta didik sekolah dasar sekalipun dapat "me^i i r r ia 1

pelajaran disiplin ilmu, walaupun proses konkretisasi lebih tinggi. Adapun dalam

prosesnya dapat melalui (a) specrfc transfer of training (latihan pemindahan yang

khusus), yaitu mengembangkan kemampuan yang dapat digunakan hanya dalam

situasi-situasi khusus, dan (b) nonspeciffic tranfer (latihan pemindahan yang tidak

khusus), yaitu mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dapat digunakan di

berbagai situasi dan kondisi. Ditegaskan oleh Bruner, bahwa proses pendidikan

transfer yang tidak khusus lebih penting dan merupakan jantung dari proses

pendidikan.

3) Teori Vygotsky

Lev Semenovich Vygotsky (Gani, 1995: 9) mengemukakan salah satu

keyakinannya, bahwa dalam menguasai alam individu terlebih dahulu harus

menguasai kematangan diri melalui kematangan berpikir. Untuk itu proses

intemafisasi setiap prilaku membuat individu mampu berpikir. Terutama internalisasi

dialog eksternal seyogyanya menghadirkan ketangguhan berbahasa dalam lajur

ketangguhan berpikir. Dengan kata lain, menurut Vygotsky bahwa terdapat

internalisasi antara berpikir dan berbahasa.

Hubungan antara berpikir dan berbahasa dijelaskan oleh Vygotsky

sebagaimana dikemukakan Benson (Kamarga, 2000: 52) dapat dilihat pada anak

sebelum berusia dua tahun berpikir dan berbicara berkembang secara terpisah, baru

kemudian menyatu setelah anak berusia dua tahun, di mana berpikir menjadi verbal

Uly HoUmok/PK- S3AIPI

Page 36: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

68

dan berbicara menjadi rasional. Dalam hat ini, mewicara merupakan pengungkapan

pikiran atau pikiran yang disuarakan. Hal ini mengambarkan pandangan Vygotsky

bahwa perkembangan berpikir sangat ditentukan oleh penguasaan bahasa, atau

bahasa merupakan dasar bagi pembentukkan konsep dan pikiran. Kegiatan berpikir

tidak mungkin terjadi tanpa mengunakan kata-kata untuk mengungkapkan buah

pikiran.

Salah satu gagasan Vygotsky dalam hubungannya dengan perkembangan

anak atau peserta didik yaitu adanya tahap yang disebut "The Zona of Proximal

Development (ZPD)n, yang digambarkan melalui dua buah lingkaran yang saling

bersentuhan. Pada sisi lingkaran yang tidak bersentuhan merupakan gambaran

tingkat perkembangan nyata {the actual developmental level), dan pada sisi yang

lainnya merupakan tingkat potensial sebenarnya dapat dilakukan anak (the level of

Potential deveiopment). Sementara pada sisi atau daerah yang saling bersentuhan

itu yang merupakan ZPD. Dengan demikian ZPD ini menggambarkan adanya

kesenjangan antara apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui, pada

posisi apa yang belum diketahui merupakan tingkat tertinggi (higher level ofknowing)

yang memerlukan bimbingan orang dewasa atau melalui berkolaborasi dengan

teman sebaya yang lebih mampu (collaboration with more capable peers) Vygotsky

(Byrnes, 1996: 32; Sumantri dan Permana, 1999: 27; Phillips dalam Kamarga, 2000:

53).

Implikasi teori Vygotsky terhadap pembelajaran menurut Byrnes, antara lain

(a) guru harus bertindak sebagai perancah atau "scaffoWs* dalam memberikan

bimbingan yang tepat untuk membantu peserta didik mencapai kemajuan sesuai

kemampuannya; (b) guru harus mengajar datam area "zone' of proximal

Ldy Hatimak/PK- Sl/UPI

Page 37: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

69

developmenf peserta didik, maksudnya pembelajaran harus disesuaikan dengan

apa yang sudah diketahui dan dapat mengarah kepada apa yang belum diketahui;

dan (c) peserta didik memerlukan banyak latihan yang bergerak dari konsep saintifik

mengarah kepada kemampuan menguasai konsep secara spontan untuk menjadi

lebih akurat dan umum.

Ketiga pakar tersebut baik Piaget, Bruner, dan Vygotsky dalam

perkembangan teori kognitif selanjutnya lebih dikenal sebagai pengembang teori

konstruktif. Sesuai dengan uraian dari ketiga pakar tersebut di atas, esensi dari teori

konstruktif ini pada dasarnya bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri oleh peserta

didik melalui pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu,

dalam proses pembelajaran, guru sebaiknya berperan sebagai fasilitator, sementara

beserta didik aktif mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya melalui

pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Kaitannya dengan pembelajaran bahasa, ketiga pakar tersebut menurut Ross

dan Roe (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 5) mengetahui bahwa ada hubungan antara

pikiran dan bahasa, tetapi mereka berbeda dalam hal cara berpikir dan bahasa itu

berhubungan. Seperti, Piaget dan Vygotsky mempunyai pandangan yang sama

tentang pentingnya bahasa dalam kegiatan belajar, perbedaannya terletak pada

keyakinannya seperti Piaget yakin bahwa perkembangan kognitif anak mendahului

perkembangan bahasanya, sementara Vygotsky sebaliknya.

Berdasarkan pemikiran dari ketiga pakar tersebut pada dasarnya

menggambarkan adanya interelasi yang erat antara proses berpikir dengan proses

berbahasa. Hal ini, mengisyaratkan bahwa interelasi ini harus terjabar dengan jelas

dalam perencanaan program pembelajaran yang disusun oleh guru. Dengan kata

Uly Halimah/PK- SS/UPI

Page 38: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

70

lain bahwa setiap program pembelajaran hendaknya mencerminkan kenyataan

bahwa kecermatan berpikir senantiasa mewarnai kecermatan berbahasa seseorang.

Untuk itu perlu diupayakan agar keterampilan berbahasa yang baik dan benar selalu

diimbangi oleh proses berpikir yang jernih.

Chastain (Tangan, 1989:162) mengemukakan prinsip-prinsip dasar atau ciri-

ciri utama teori kognitif dalam pembelajaran bahasa, di antaranya (1) tujuan

pengajaran adalah mengembangkan pada diri para peserta didik tipe-tipe

kemampuan yang sama seperti yang dimiliki oleh penutur asli, (2) dalam

mengajarkan bahasa, guru harus bergerak dari yang telah diketahui menuju yang

belum diketahui, maksudnya, dasar pengetahuan peserta didik kini (struktur kognitif)

harus ditentukan sehingga prasyarat yang perlu bagi pemahaman bahan baru dapat

diberikan, (3) bahan pelajaran dan guru harus memperkenalkan para peserta didik

pada situasi-situasi yang akan meningkatkan pemakaian bahasa kreatif, (4) belajar

atau pembelajaran haruslah selalu bermakna; artinya, para peserta didik hendaknya

mengerti apa yang disuruh untuk dilakukan; begitu pula dengan bahan baru

hendaklah selalu disusun dengan baik sehingga mudah dihubungkan dengan

keberadaan struktur kognitif para peserta didik.

Berdasarkan pandangan para ahli di atas, berikut ini dikemukakan pengaruh

teori belajar kognitif terhadap proses pembelajaran, antara lain.

1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan peserta didik;.

2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat intrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki;

3) Metodologi: Mempergunakan kurikulum dan metode yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir dan juga bahan pelajaran;

4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, gerak, pendirian, bahasa, dan berpikir. Interaksi sosial sebagai alat untuk mengembangkan intelegensi;

Uly HaOmak^K- S3/UP1

Page 39: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

71

5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada peserta didik, guru berfungsi membimbing peserta didik dalam belajar bereksplorasi dan bereksperimentasi;

6) Usaha mengefektifkan mengajar Program pengajaran disusun dalam bentuk pangetahuan yang terpadu, konsep dan keterampilan disusun secara hierarkhis;

7) Partisipasi peserta didik: Partisipasi peserta didik dituntut untuk pengembangan kemampuan berpikir. Mereka belajar dengan bekerja;

8) Kegiatan belajar peserta didik: Mengutamakan pada belajar melalui tilikan dan pemahaman;

9) Tujuan umum. Pendidikan bertujuan mengembangkan fungsi-fungsi kognitif secara optimal, dan menggunakan kecerdasan secara bijaksana (Tim Pengajar Dasar-dasar kependidikan IKIP Bandung, 1989:73).

c. Teori Humanisme

Berbeda dengan teori belajar behaviorisme, juga dengan teori belajar

kognitivisme, maka teori belajar humanisme meyakini bahwa agar belajar menjadi

bermakna, harus melibatkan baik kemampuan intelektual maupun emosional peserta

didik. Hal ini beralasan mengingat, para pengikut teori belajar humanisme

memandang bahwa peserta didik sebagai "a whole person" atau orang sebagai

suatu kesatuan. Lengkapnya menurut Longstreet & Shane (1993: 138) bahwa

"Humanistik psychologists vtew people holistically 'm the complexity of their daily

lives,"

Para tokoh teori humanisme, menurut Syaodih (1997: 86) di antaranya J.J

Rousseau dan John Dewey. Rouseau mengembangkan konsep pendidikan romatik

(Romantic Education). Ibrahim dan Syaodih (1993: 10) mengemukakan bahwa

menurut Rouseau peserta didik memiliki potensi atau kekuatan yang masih

terpendam, yaitu potensi berpikir, berperasaan, berkemauan, keterampilan,

berkembang, mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukannya. Melalui

berbagai bentuk kegiatan dan usaha belajar peserta didik mengembangkan segala

Lefy Halimah/PK- S3/UPI

Page 40: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

72

potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, Rouseau menganjurkan agar peserta didik

tidak usah terlalu banyak diatur dan diberi, biarkan mereka mencari dan menemukan

dirinya sendiri, sebab anak dapat berkembang sendiri.

Adapun John Dewey dengan aliran pendidikan progresif (Progressive

Education) menurut Syaodih (1997: 10) memandang peserta didik merupakan suatu

kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan

perkembangan intelektual. Isi pembelajaran berasal dari pengalaman peserta didik

sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya, la mereflksi terhadap masalah-

masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu ia memahami dan

dapat menggunakannya bagi kehidupan.

Kedua aliran tersebut pada dasarnya tergolong pada aliran pendidikan pribadi

(Personalized Education), yaitu pendidikan yang lebih mengutamakan peranan

peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi

menciptakan lingkungan yang menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas

guru, seperti halnya seorang petani adalah mengusahakan tanah yang gembur,

pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan

perkembangan tanaman (peserta didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan

minat peserta didik (Syaodih, 1997: 10). Uraian tersebut menggambarkan bahwa

dalam aliran pendidikan pribadi menurut Lapp, dkk. (1975: 12) 'Student becomes

the center of the leaming process. Teaching begins and buSds around his interests,

expériences, and psychological growth patterns."

Lapp, dkk., (1975) lebih rinci memberikan gambaran proses pendidikan yang

dikembangkan oleh aliran pendidikan romantik dan aliran pendidikan progresif,

Ldy Hdimok/PK- S3AIPI

Page 41: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

73

terutama dilihat dari hubungan peserta didik, guru dan konten atau materi pelajaran.

Pada pendidikan romantik hubungannya dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Bagan 2. 3 Pola Interaksi Guru, Isi Pelajaran, dan Peserta dfdik

pada Pendidikan Romantik

Sesuai dengan pola interaksi tersebut dalam pendidikan humanisme ini

peserta didik lebih banyak diberikan kebebasan berinteraksi dengan lingkungannya,

agar mereka befajar dan berkembang secara alami sebagaimana mereka belajar

berjalan dan mewicara. Dalam hal ini, pengalaman merupakan isi pembelajaran yang

sekaligus guru alamiah mereka. Lingkungan diupayakan dapat memberikan

kebebasan kepada peserta didik untuk mewujudkan rasa ingin tahunya dan

pengalaman merupakan akibat aktivitasnya, sehingga mereka menemukan pola

belajarnya sendiri.

Untuk mewujudkan semuanya itu, maka peran guru bukan mengajar, tetapi

hanya mengarahkan dengan memberikan lingkungan yang dapat mendorong

peserta didik belajar, memberikan kebebasan sesuai dengan kemampuan peserta

didiknya, dan menjaga dari segala gangguan yang menghambat belajar peserta

didiknya. Guru juga berperan sebagai sumber lingkungan belajar, yang selalu siap

memberikan bantuan kepada peserta didiknya.

Sedangkan pada proses pendidikan progresif, interaksi antara peserta didik,

materi pembelajaran, dan guru, sebagaimana dikemukakan pada bagan berikut ini.

Lely Halimak/PK- S3/UPI

Page 42: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

74

Isi/Materi Pembelajaran

Bagan 2 .4 Pola Interaksi antara Guru, Konten, dan Peserta didik

pada Proses Pendidikan Progresif

Pada pendidikan progresif, peserta didik mendapat tempat yang utama dan

pertama. Untuk itu, maka peran guru hanya pendukung bagi peserta didik, guru juga

berperan sebagai bidan (midwife), sebagai psikolog, sebagai fasilitator, sebagai

nara sumber, dan akhli metodologi. Guru tidak memberikan materi pembelajaran

atau transmit content tetapi menuntun dan membantu perkembangan dan

pengalaman peserta didiknya. Adapun materi pembelajaran berasal dari pengalaman

peserta didik, materi pelajaran ini memberikan dasar bagi refleksi peserta didik,

sehingga mereka memahaminya. Dengan cara demikian, pada akhirnya diperoleh

penguasaan terhadap materi pembelajaran tersebut, sehingga berguna bagi

kehidupannya.

Tokoh humanisme lainnya yang sangat popular menurut Nasution (1991: 22)

dan Rockler (1988: 225) adalah Maslow yang memandang bahwa aktualisasi diri

peserta didik merupakan suatu kebutuhan asasi. Tiap peserta didik mempunyai "selT

masing-masing yang sering tak dikenal dan disadarinya, yang tersembunyi atau

tertekan dan karena itu perlu dibangkitkan dan dikembangkan. Maslow termasuk

salah satu tokoh humanistik yang menginginkan pendidikan yang membebaskan

peserta didik agar lebih otonom dan bersikap lebih sehat terhadap dirinya, terhadap

Lefy HoUmohfi>K- S3AJPI

Page 43: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

75

temannya, dan terhadap pelajarannya. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran

harus terdapat hubungan baik antara guru dan peserta didik dalam suasana saling

percaya, peserta didik belajar tanpa adanya paksaan dari pihak guru.

Menurut Rockler bahwa ide Abraham Maslow termasuk perspektif psikologi

humanisme. Sesuai dengan hierarki kebutuhan manusia, terutama kebutuhan

tertinggi manusia yang meliputi kebutuhan rasa aman, rasa memiliki, rasa yakin diri,

perkembangan intelektual, apresiasi estetik, dan aktualisasi diri akan berkembang

dengan baik apabila dalam pelaksanaan pembelajaran, kelas dikelola dengan

memperhatikan prinsip-prinsip di antaranya memberikan kebebasan yang masimal

kepada peserta didik dalam hal ini tidak berarti anarki atau kurang pengawasan.

Prinsip lainnya, yaitu guru lebih memaksimalkan apa yang menjadi pilihan peserta

didiknya. Dalam hal ini, tidak setiap peserta didik harus membaca buku yang sama

untuk setiap kali tugas membaca. Begitu pula dalam memilih topik yang akan

menjadi kajian peserta didik dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk

memfasilitasinya guru, tentunya dapat memberikan barbagai alternatif pilihan bagi

peserta didiknya.

Teori humanisme, selain menganut aliran-aliran pendidikan romatik, progresif,

dan hirarki kebutuhan manusia sebagaimana dikemukakan Maslow, menurut

Syaodih (1997) juga berpegang pada konsep GestaIL Dalam pandangan gestalt,

anak harus dipandang sebagai suatu keseluruhan organisme yang dinamis yang

senantiasa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya untuk mencapai tujuan

tertentu (Arbi dan Syahrun, 1992:60). Sementara, Kartadinata dan Dantes (1997: 5)

mengemukakan bahwa anak adalah makhluk unik serta berbeda dari orang dewasa

dan juga berbeda satu sama lain, berkembang secara fisik, sosial, mental, maupun

Uty HaUmah/PK- SS/UPI

Page 44: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

76

emosional; perkembangannya bersifat hotistik, dan memiliki kesiapan belajar sebagai

hasil dari kematangan dan pengalaman.

Dalam pandangan gestalist, pendidikan hendaknya diarahkan untuk membina

peserta didik yang utuh bukan saja aspek fisik dan intelektual tetapi juga aspek

sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, dan nilai). Sementara menurut Nasution

(1991: 23) para Gesta lists menginginkan adanya integrasi perasaan, pikiran, dan

perbuatan yang memberikan kebulatan pengalaman yang menyenangkan sesuai

dengan keinginan peserta didik. Untuk itu, maka sekolah atau kelas harus menjadi

tempat belajar yang menyenangkan yang membangkitkan motivasi intrinsik peserta

didik karena materi pembelajaran bermakna bagi mereka.

Sejalan dengan pandangannya terhadap anak, dalam pandangan teori

gestalt, bahasa dipandang sebagai sistem holistik yang maknanya dikomunikasikan

dan diekspresikan dalam sistem sosial sesuai dengan konteks (Harsiati. 1994:16).

Dalam hal ini Pappas dkk. (1995:7) mengemukakan bahwa :

Language is the major system by which meaning are communicated and expressed in our social world. Because language is used for various purposes, our meaning are expressed in various ways, by various language patterns. Thus, language cannot be understood, interpreted, or evaluated unless it is related to the social contexts in which it is being used.

Atas dasar padangannya baik terhadap bahasa maupun terhadap anak, maka

menurut pandangan teori gestalt belajar bahasa itu merupakan kesatuan yang utuh

selaras dengan pandangan bahwa anak atau peserta didik pada hakikatnya belajar

dalam keutuhan yang padu. Kaitannya dengan belajar bahasa, mengapa anak perlu

belajar bahasa? Ardiana (1995: 5) mengemukakan alasannya, yaitu (1) sebagai

makhluk sosial, secara naluriah manusia memerlukan hubungan dengan orang lain,

Lety Holimah/PK- S3/UPI

Page 45: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

(2) belajar bahasa diperlukan untuk memahami dunia yang m e n j a d i : ^ ^ t $ r f ^ i d j ^ £ /

manusia, dan (3) hal itu diperlukan untuk mengekspresikan diri sendiri. \ ' v f r . .<,<*?•' jj

Berdasarkan alasan tersebut bagaimana anak belajar bahasa? Menurut

Halliday (Rofiuddin dan Zuhdi, 1999:190) belajar bahasa sebagai belajar bagaimana

memaknai, karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial

bahasa yang dihadirkannya. Bahkan manusia dalam belajar bahasa dapat terjadi

secara simultan melalui tiga cara, yaitu belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan

belajar tentang bahasa Halliday (Cario, 1995:371). Ardiana (1995:5) mengemukakan

bahwa belajar bahasa merupakan kesatuan yang utuh. Artinya belajar bahasa terjadi

di tengah-tengah kehidupan yang merupakan ciri khas proses sosial. Gerakan

tangan, mewicara, menyimak, membaca, dan menulis, berakar dan tumbuh dengan

subur pada saat anak sibuk dengan kehidupan seutuhnya.

Dari uraian di atas, berikut ini dikemukakan pengaruh teori belajar

humanistime terhadap proses pembelajaran.

1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada kebutuhan dan individualitas/kepribadian peserta didik,

2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat intrinsik, berdasarkan pemuasan kebutuhan individu.

3) Metodologi: Menggunakan pendekatan proyek yang terpadu, menekankan pada mempelajari kehidupan sosial;

4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengembangan sosial, keterampilan berkomunikasi, tanggap kepada kebutuhan kelompok dan individu;

5) Bentuk pengelolaan kelas: Peserta didik diberi kebebasan memilih, sedangkan guru membantu dan bukan mengarahkan;

6) Usaha mengefektifkan mengajar. Program pengajaran disusun dalam bentuk topik-topik yang terpadu berdasarkan kebutuhan individual peserta didik;

7) Partisipasi peserta didik: Partisipasi aktif dari peserta didik diutamakan, mereka belajar dengan bekerja.

8) Kegiatan belajar peserta didik: Mengutamakan pada belajar melalui pemahaman dan pengertian dan bukan hanya memperoleh pengetahuan belaka.

Uly HaUmah/PK- SS/UP1

Page 46: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

78

9) Tujuan umum: Pendidikan bertujuan mencapai kesempurnaan diri dan pemahaman (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan, 1989:73).

Aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran bahasa menurut Azies

dan Afwastlah (1996: 22) pembelajaran bahasa tidak hanya mengajarkan bahasa,

tetapi juga membantu peserta didik mengembangkan diri mereka sebagai manusia.

Dengan demikian, yang terpenting adalah pengalaman yang mengarah kepada

perkembangan kepribadian mereka serta pertumbuhan perasaan positif dianggap

penting dalam pembelajaran bahasa. Menurut Rogers (Kaseng, 1989:18) salah satu

cara terbaik untuk membantu proses belajar adalah menciptakan hubungan

antarpribadi dengan peserta didik, guru harus menghargai dan menghormati peserta

didik secara individu sebagaimana halnya mereka dipandang sebagai klien.

Uraian dari ketiga teori psikologi belajar tersebut, baik psikologi belajar

behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme, menggambarkan bahwa proses

pembelajaran bahasa mempunyai hubungan yang erat dengan teori psikologi

belajar. Menurut Muchlisoh, dkk. (1992: 48) apabila kita perhatikan perkembangan

pembelajaran bahasa selama ini tidak lepas dari pengaruh psikologi. Seperti

perkembangan ilmu bahasa tradisional, struktural, hingga komunikatif, yang terakhir

ini juga diwarnai oleh perkembangan psikologi dalam teori belajar yang dikenal

dengan teori behaviorisme dan teori mentalisme. Seperti dikemukakan Gani (1995:

11-12) bahwa teori psikologi belajar bahasa yang paling fundamental di antaranya

adalah teori behaviorisme dan teori kognitivisme.

Adapun dalam perkembangan selanjutnya, Ardiana (1995: 2) menegaskan

bahwa pembelajaran bahasa saat ini telah bergeser dari orientasi behaviorisme ke

teori kognitivisme dan humanisme. Artinya bahwa dalam pembelajaran bahasa pada

UJy HalimaWK- SS/UPI

Page 47: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

79

hakikatnya peserta didik tidak belajar kaidah-kaidah bahasa sebagaimana

disarankan dalam teori belajar behaviorisme, tetapi belajar untuk terampil berbahasa

secara fungsional dan kontekstual.

Memperhatikan ketiga teori belajar tersebut, tentunya masing-masing

mempunyai keunggulan dan kelemahan. Biasanya teori yang muncul lebih dahulu

dipandang konvensional apabila sudah ditemukan teori yang baru. Seperti teori

belajar behaviorisme untuk saat ini, tampaknya sudah kurang relevan lagi

diterapkan, mengingat teori belajar kognitivisme dan teori belajar humanisme

dikembangkan atas dasar kritik terhadap kelemahan teori belajar behaviorisme.

Untuk itu, teori belajar kognitivisme dan humanisme pada saat ini dipandang teori

belajar yang relevan untuk dikembangkan dalam berbagai pembelajaran termasuk

dalam pembelajaran bahasa. Dengan demikian, maka melalui penelitian ini akan

mencoba merealisasikan ide-ide dari teori kognitivisme dan humanisme yang

disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan.

3. Pendekatan Pembelajaran Bahasa

Membahas tentang pembelajaran bahasa, menurut Subyakto (Muchlisoh, dkk.

1992: 48) sekurang-kurangnya melibatkan tiga kelompok disiplin ilmu, di antaranya

linguistik (ilmu bahasa), psikologi (ilmu jiwa), dan pedagogi (ilmu pendidikan).

Linguistik memberikan informasi tentang bahasa dan strukturnya secara umum.

Sedangkan psikologi memberikan arahan bagaimana seseorang belajar bahasa.

Sementara pedagogi memberikan tuntunan tentang bagaimana meramu semua

keterangan dari bahasa dan psikologi menjadi suatu metode yang sesuai untuk

menciptakan pembelajaran bahasa.

Uiy Halimak/PK- S3AJPI

Page 48: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

80

Menurut Muchlisoh, dkk. seiring dengan perkembangan ilmu bahasa dan

psikologi belajar, berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran bahasa pun

turut berkembang dan berubah. Sampai pada akhirnya dan hingga sekarang para

ahli pendidikan bahasa terus mencari cara yang paling tepat yang dapat menjawab

kebutuhan peserta didik dalam belajar bahasa. Hal ini sangat beralasan, mengingat

salah satu hal yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa banyak

ditentukan oleh pendekatan, metoda, dan teknik pembelajaran yang digunakan guru.

Istilah pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran ini menurut Zuchdi dan

Budiasih (1997: 29) sering digunakan dengan pengertian yang sama, artinya orang

menggunakan istilah pendekatan dengan pengertian yang sama dengan pengertian

metode, dan sebaliknya. Begitu pula antara pengertian metode dan teknik, artinya

penggunaan istilah metode dengan pengertian yang sama dengan pengertian teknik

dan sebaliknya. Sebenarnya, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang

berbeda, walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan.

Antrhony (Brown, 1994: 48) memberikan definisi yang secara urut

menggambarkan keterkaitan antara pendekatan, metoda, dan teknik, yang pada

umumnya digunakan dalam pembelajaran bahasa. Ketiga konsep ini merupakan

urutan yang bersifat hierarkis, maksudnya pendekatan menentukan metode dan

metode berpengaruh terhadap penentuan teknik.

Approach is a set of assumptions dealing with the nature of language, learning, and teaching. Method is an overall plan for systematic presentation of language based upon a selected approach. Technique are the specific activities manifested in the classroom that are consistent whit a method and therefore in harmony with an approach as well.

Uly Halimak/VK- S3AJPI

Page 49: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

81

Mengacu kepada definisi yang dikemukakan Anthony, yang dimaksud dengan

pendekatan dalam pembelajaran bahasa sebagai mana dikemukakan oleh para ahli

pendidikan bahasa (Syafi'ie, 1989: 73; Tangan, 1989: 12; Akhadiah, dkk., 1992: 4;

Zuchdidan Budiasih, 1997: 29; Suratinah, 2003:2.29); Sumadi, 1 9 9 3 : 5 - 1 1 ) adalah

seperangkat asumsi yang saling berkaitan tentang hakikat bahasa dan pengajaran

bahasa, serta belajar bahasa. Pendekatan itu memerikan hakikat bahasa yang akan

diajarkan, mengemukakan pandangan, filosofi dan pernyataan-pernyataan yang

dianggap benar berkaitan dengan bahasa dan pengajaran bahasa, serta belajar

bahasa. Dengan kata lain, pendekatan dalam pembelajaran bahasa, pada dasarnya

mengacu kepada teori-teori menganai (1) hakikat bahasa, dan (2) hakikat

pembelajaran bahasa (language feaming). Kedua hal ini bertindak sebagai sumber

praktik dan merupakan prinsip dalam pembelajaran bahasa.

Sedangkan yang dimaksud dengan motode dalam pembelajaran bahasa

(Zuchdi dan Budiasih, 1997: 30) ialah rencana pembelajaran bahasa, yang

mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang

akan diajarkan, serta kemungkinan pengadaan remedi dan bagaimana

pengembangannya. Pemilihan, penentuan, dan penyusunan bahan ajar secara

sistematis, dimaksudkan agar bahan ajar tersebut mudah diserap dan dikuasai oleh

peserta didik. Semuanya itu didasarkan pada pendekatan yang dianut. Dengan

demikian, jelaslah bahwa suatu metode ditentukan berdasarkan pendekatan yang

dianut. Dengan kata lain, pendekatan merupakan dasar penentuan metode yang

digunakan.

Adapun yang dimaksud dengan teknik dalam pembelajaran bahasa,

merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar yang telah disusun (dalam metode),

Ldy HaUmak/PK- S3/VPI

Page 50: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

82

dan berdasarkan pada pendekatan yang dianut. Teknik yang digunakan oleh guru

bergantung pada kemampuan guru itu mencari akal atau siasat agar proses belajar-

mengajar dapat berjalan lancar dan berhasil dengan baik. Dalam menentukan teknik

pembelajaran ini, guru perlu mempertimbangkan situasi kelas, lingkungan, kondisi

dan sifat-sifat peserta didik, dan kondisi-kondisi yang lain. Dengan demikian maka

teknik pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat bervariasi sekali. Untuk metode

yang sama, dapat digunakan teknik pembelajaran yang berbeda-beda, bergantung

pada berbagai faktor tersebut

Seperti telah dikemukakan di atas, pendekatan erat hubungannya dengan

teori dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, mengacu kepada pandangan

tentang bahasa dan psikologi belajar yang dikembangkan dalam belajar bahasa,

maka berikut ini dikemukakan beberapa pendekatan yang pada umumnya diterapkan

dalam pembelajaran bahasa, antara lain ialah pendekatan struktural, pendekatan

alamiah, pendekatan komunikatif, dan pendekatan whole language.

a. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran

bahasa, yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat

kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa

harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Oleh

sebab itu, pembelajaran bahasa perlu menitik beratkan pada pengetahuan tentang

struktur bahasa yang mencakup dalam fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dengan

kata lain, pendekatan struktural menyajikan materi pembelajaran berupa butir-butir

gramatikal (tata bahasa) yang disusun berdasarkan tahapan-tahapan. Peserta didik

belajar bahasa dimulai dari komponen bahasa yang berupa bunyi bahasa, bentuk,

Lefy Haliituk/PK- S3/UPI

Page 51: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

83

struktur, dan makna unsur-unsur tersebut (Tangan, 1989:12; Zuchdi dan Budiasih,

1997: 33; Muchlisoh, dkk. 1992:7; Akhadiah, dkk. 1992:4).

b. Pendekatan Alamlah [Naturai Approach)

Krashen dan Tarrel menurut Tangan (1989: 203-227) adalah pelopor

pendekatan alamiah. Mereka melihat komunikasi sebagai fungsi utama bahasa, dan

membedakan pengertian antara belajar tentang bahasa dan pemerolehan bahasa.

Adapun pandangan-pandangan Krashen dan Terrei! dalam mengembangkan

pendekatan alamiah dalam pembelajaran bahasa, tujuan utamanya adalah

memperoleh seperangkat kecakapan atau kemampuan tingkat menengah atau lanjut

dalam bahasa kedua (B2). Pendekatan alamiah ini lebih banyak memfokuskan diri

pada makna komunikasi-komunikasi sejati daripada kepada bentuk-bentuk ucapan,

atau pengetahuan bahasa seperti pada pendekatan tradisional. Ciri-ciri pendekatan

alamiah ini dapat dilihat pada petunjuk-petunjuk praktik pembelajaran di kelas.

1 ) Distribusi pembelajaran dan kegiatan-kegiatan pemerolehan. Kalau memang komunikasi lebih penting daripada bentuk pada tingkat-tingkat permulaan dan lanjutan dalam pembelajaran, maka semua kegiatan kelas harus direncanakan untuk membangkitkan dan mengembangkan komunikasi. Dalam hal ini Terrell menyarankan agar seluruh waktu kelas dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan komunikasi. Penjelasan dan latihan bentuk-bentuk linguistik harus dilakukan di luar kelas.

2) Koreksi kesalahan. Menurut Terrell, tidak ada fakta yang dapat memperlihatkan bahwa perbaikan atau koreksi kesalahan ujaran atau tuturan itu diperlukan atau sangat bermanfaat bagi pemerolehan bahasa. Sebenarnya, perbaikan-perbaikan serupa itu justru bersifat negatif terhadap motivasi, sikap dan juga menimbulkan rasa malu, sehingga hal itu dilakukan dalam situasi yang dianggap paling baik.

3) Responsi-responsi dalam B1 (bahasa Ibu) dan B2 (bahasa kedua), sebagaimana disarankan Terrei agar pembelajaran awal kelas melibatkan pemahaman-pemahaman menyimak secara agak ekslusif, dengan responsi-responsi dari para peserta didik.

Ldy HaUrmh/PK- S3/UPI

Page 52: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

84

Adapun dalam prakteknya, pembelajaran bahasa melalui pendekatan

alamiah ini, perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar sebagaimana dianjurkan oleh

penciptanya, di antaranya (1) tujuan pembelajaran bahasa permulaan adalah

kompetensi komunikatif langsung, bukan kesempurnaan gramatikal, (2)

pembelajaran harus diarahkan untuk modifikasi serta meningkatkan tatabahasa para

peserta didik, bukan membangun satu kaidah pada satu waktu, (3) para peserta didik

harus diberi kesempatan memperoleh bahasa, bukan memaksakan untuk

mempelajari bahasa, (4) faktor-faktor afektiflah yang terutama dipaksakan beroperasi

dalam pembelajaran, bukan faktor-faktor kognitif, (5) belajar kosakata merupakan

kunci bagi pemahaman dan produksi ujaran. Dengan kosakata yang cukup banyak,

peserta didik dapat memahami dan mewicara mengenai berbagai hal dalam B2

sekalipun pengetahuannya mengenai struktur bagi semua tujuan praktis masih

kosong.

Tangan dalam sumber yang sama mengemukakan bahwa pendekatan

alamiah ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemerolehan bahasa.

Keeratan hubungan tersebut menghasilkan empat prinsip umum pendekatan

alamiah, seperti berikut ini.

a) Komprehensi mendahului produksi: menyimak atau membaca mendahului kemampuan berbicara atau menulis. Maksudnya yang menjadi titik tolak dalam pembelajaran bahasa adalah membantu para pemeroleh memahami apa yang dikatakan kepada mereka. Beberapa dari implikasi prinsip ini adalah (1) guru selalu menggunakan bahasa sasaran, (2) focus komunikasi akan berupa topik yang menarik bagi peserta didik, (3) guru akan berupaya sekuat daya setiap saat untuk membantu peserta didik memahaminya.

b) Produksi diperbolehkan muncul secara bertahap; tahapan-tahapan ini secara khusus terdiri dari: (1) responsi dengan/oleh komunikasi nonverbal, (2) responsi dengan kata tunggal, (3) kombinasi dua atau tiga kata, (4)

Lely naUmah,TK- S3/UPI

Page 53: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

8 5 , ,

c)

frasa-frasa, (5) kalimat-kalimat, dan (6) wacana yang lapi Ketepatan atau kecermatan gramatikal sangat rendah pada tana awal dan meningkat secara pelan-pelan dengan banyaknya ke bagi interaksi dan pemerolehan komunikatif. Dalam pendekatan peserta didik tidak boleh dipaksa berbicara sebelum mereka siap, dan kesalahan-kesalahan ujaran yang tidak mengganggu komunikasi tidak perlu dikoreksi.

Silabus terdiri dari tujuan-tujuan komunikatif; ini berarti bahwa fokus setiap kegiatan kelas disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan struktur gramatikal. Dengan kata lain, praktek atau latihan-latihan struktur-struktur gramatikal khusus tidak merupakan fokus perhatian. Tetapi yang dituntut adalah agar tatabahasa diperoleh secara efektif apabila tujuan-tujuan bersifat komunikatif.

d) Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam kelas yang bertujuan demi pemerolehan itu harus membantu upaya penurunan saringan afeksi para peserta didik. Dalam hal ini kegiatan-kegiatan di dalam kelas haruslah setiap waktu berfokus pada topik-topik yang menarik hati dan relevan dengan para peserta didik serta mendorong mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan, pendapat-pendapat, keinginan-keinginan, dan perasaan-perasaan mereka.

c. Pendekatan Komunikatif

Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari suatu teori

yang berlandaskan bahwa "bahasa sebagai alat komunikasi", sedangkan teori

pembelajarannya yang melandasi pendekatan komunikatif adalah teori pemerolehan

bahasa kedua secara alamiah. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa

akan lebih efektif apabila dipelajari secara informal melalui komunikasi secara

langsung di dalam bahasa target.

Akhadiah, dkk (1992: 6-7) mengemukakan bahwa pendekatan komunikatif

dalam pembelajaran bahasa bermula dari teori tentang bahasa sebagai alat

komunikasi, sehingga pembelajaran bahasa ditujukan pada kompetensi komunikatif.

Secara umum tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui pendekatan komunikatif

menyangkut fungsi bahasa sebagai sarana ekspresi, sistem simbolik dan objek

Lely HaUmak/PK- S3/UPI

II i ' ' J

Page 54: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

86

belajar, sarana untuk menyatakan nilai-nilai dan penilaian diri dan orang lain, serta

keperluan pengajaran remedial dan pembelajaran di sekolah.

Richards (2001: 215) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan

pendekatan komunikatif, yang menjadi fokus pembelajarannya adalah "authentic

communication; extensive use is made of pair and group activities that involve

negotiation of meaning and informating sharing. Fluency is a priority". Lebih rinci

Swarbrick (1994: 43) mengemukakan bahwa yang menjadi karakter esensial dari

pembelajaran dengan pendekatan komunikatif adalah pada setiap tahapan seting

belajar bahasa, mulai dari pengembangan silabus, pengembangan materi

pembelajaran, perencanaan dan pelaksanaan aktivitas belajar, dan penilaian

kemajuan peserta didik semuanya difokuskan pada "... language as a medium of

communication".

Littlewood (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 34) mengemukakan bahwa

pendekatan komunikatif didasarkan pada pemikiran bahwa (1) pendekatan

komunikatif membuka diri bagi pandangan yang lebih luas tentang bahasa, hal ini

menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan

kosa kata, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa, (2) pendekatan komunikatif

membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa, hal ini

menimbulkan kesadaran bahwa mengajarkan bahasa tidak cukup dengan

memberikan kepada peserta didik bagaimana bentuk-bentuk bahasa, tetapi peserta

didik harus mampu mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk-bentuk itu

sesuai dengan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang

tepat.

Lely Halimah/PK- S3/UPI

Page 55: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

87

Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 57) aktivitas pembelajaran yang sesuai

dengan pendekatan komunikatif dapat dikatakan tidak terbatas, asalkan aktivitas itu

membantu peserta didik meraih tujuan-tujuan komunikasi, yang ada dalam

kurikulum, melibatkan peserta didik dalam komunikasi, dan perlu menggunakan

proses-proses komunikatif, seperti berbagi informasi, negosiasi makna, dan interaksi.

Dengan kata lain selama proses pembelajaran dengan pendekatan komunikatif,

kegiatan belajar harus memberi peluang sebanyak-banyaknya kepada peserta didik

untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi.

Berdasarkan uraian di atas, pada akhirnya dapat dikemukakan bahwa pada

dasarnya pendekatan komunikatif, merupakan salah satu pendekatan pembelajaran

bahasa yang dilandasi oleh suatu teori bahasa, yaitu teori bahasa yang menyatakan

bahwa pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna.

Teori ini, menekankan pada dimensi semantik dan komunikatif daripada ciri-ciri

gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang periu dikembangkan dalam pembelajaran

bahasa adalah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang

bahasa.

d. Pendekatan Bahasa Menyeluruh (Whole Language Approach)

Pendekatan whole language adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran

bahasa yang menyajikan pembelajaran bahasa secara menyeluruh atau utuh,

sehingga tidak terpisah-pisahkan antara aspek bahasa yang satu dengan aspek

bahasa yang lainnya. Perspektif whole language menurut Papas, dkk (1991: xiii)

dalam perspektif bahasa terpadu, para ahlinya mempunyai keyakinan bahwa

bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipiha-pisahkan. Oleh

Lely Halimak./PK- S3/UPI

Page 56: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

8S

Uly Halimok/PK- S3/UPI

karena itu, pembelajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata

bahasa dan kosa kata disajikan secara utuh bermakna dan daiam situasi nyata atau

otentik. Richards (2001:216) menyatakan bahwa "Language is tougtas a whole and

not through its separated components. Student are taught to read and write naturally,

with a focus on real communication, authentic texts, and reading and writing for

pleasure".

Sejalan dengan pendapat di atas, Longstreet & Shane (1993: 305)

mengemukakan bahwa "The whole language approach emphasizes the

simultaneous teaching of reading and writing in a total literacy context based on

activities meaningful to the young child". Dalam hal ini peserta didik dicelup

(immersed) daiam lingkungan berbagai sumber bacaan, dan perbedaan pengalaman

peserta didik dikondisi atau diatur sedemtkan rupa [orchestrated) oleh guru dengan

membantu mereka memahami secara keseluruhan pola-pola bahasanya.

Adapun menurut De Carlo (1995: 8) daiam situasi yang alami, bahasa

merupakan keseluruhan dan utuh atau "in natural situations language is whole and

intact', hal ini sesuai dengan sifat bahasa adalah terpadu. Dengan demikian, maka

pembelajaran bahasa dalam pandangan holistik ini menurut Goodman (De Carlo,

1995: 177) bahasa lebih mudah dipelajari ketika bahasa itu dipelajari secara

menyeluruh, fungsional, dan bermakna. Lebih lanjut De Carlo mengemukakan

bahwa "Whole language is a label for mutually supportive beliefs and teaching

strategies and experiences that have to do with kids learning to read, write, speak,

and listen in natural situations".

Sementara menurut, d i v a (1992: 354) yang sangat mendasar dalam

pembelajaran dengan pendekatan whole language adalah meliputi penggunaan

Page 57: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

89

materi yang "reaf atau "outhentk? untuk pembelajaran membaca dan menulis, yang

menekankan pada kebutuhan dan minat peserta didik, dan memadukan

keterampilan berbahasa dengan materi bidang studi lain. Lebih lanjut Oliva (1992:

562-565) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan whote language

mengkondisikan peserta didik untuk belajar membaca melalui kegiatan membaca,

belajar menulis melalui kegiatan menulis, begitu pula belajar mewicara melalui

kegiatan mewicara, dan belajar menyimak melalui kegiatan menyimak. Kata kunci

untuk guru whole language adalah "authenticify" dan guru yang menggunakan

pendekatan ini berusaha untuk mengembangkan konsep diri dan rasa percaya diri

peserta didiknya dengan tetap mempertimbangkan pencapaian sebagian dan

menerima kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh peserta didiknya.

Dalam praktinya, pemebelajarari dengan pendekatan whole language menurut

Routman dan Froese (Suratinah, 2.2- 2.9) meliputi delapan komponen, yaitu 'reading

aloud, joumal writing, sustained sitent reading, shared reading, guided reading,

guided writing, independent reading, dan independent writing'. Maksud dari masing-

masing komponen tersebut adalah sebagai berikut.

1) Reading aloud

Membaca nyaring yang dilakukan oleh guru untuk peserta didiknya, pada umumnya bertujuan untuk memberikan contoh membaca yang baik, selain itu manfaatnya di antaranya dapat meningkatkan kemampuan menyimak, memperkaya kosa kata, membantu meningkatkan kemampuan membaca pemahaman, dan tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan minat pada pada peserta didik. Membaca nyaring ini dapat dilakukan setiap hari saat memulai pembelajaran, dilakukan hanya beberapa menit saja (10 menit) untuk membacakan cerita. Kegiatan ini juga membantu guru untuk mengajak peserta didiknya memasuki suasana belajar.

2) Joumal writing Jurnal merupakan sarana yang aman bagi peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya, menceritakan kejadian disekitamya, membebebrkan hasil belajarnya, dan menggunakan bahasa dalam bentuk

Lefy Haiimak/PK- SSAJPI

Page 58: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

90

tulisan. Banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama bagi peserta didik dari kegiatan menulis jurnal, di antaranya meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kemampuan membaca, menumbuhkan keberanian menghadapi risiko, memberi kesempatan untuk membuat refleksi, meningkatkan kemampuan berpikir, dan sebagainya.

3) Sustained silent reading Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dalam hati, dengan bahan bacaan yang dipilihnya sendiri, mempunyai pesan bagi peserta didik bahwa membaca adalah kegiatan penting yar.g menyenangkan, membaca dapat dilakukan oleh siapa saja, membaca berarti berkomunikasi dengan pengarang buku, peserta didik dapat berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama, dan peserta didik dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan membaca.

4) Shared reading Shared reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan peserta didik, di mana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya. Terdapat beberapa cara dalam melakukan kegiatan mi, di antaranya guru membaca dan peserta didik menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku, kemudian peserta didik membaca secara bergiliran. Maksud dari kegiatan ini di anataranya sambil melihat tulisan peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model, dan memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya, juga bagi peserta didik yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar.

5) Guided reading Dalam membaca terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilitator, dengan demikian penekannya buka dalam cara membaca itu sendiri tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua peserta didik membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Setelah itu guru mengajukan pertanyaan yang meminta peserta didik menjawab dengan kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini merupakan kegiatan membaca yang penting untuk dilakukan di kelas.

6} Guided writing Menulis terbimbing, seperti halnya membaca terbimbing peran guru adalah sebagai fasilitator yaitu membantu peserta didik menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulinya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses menulis seperti memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan oleh peserta didik sendiri.

Uly Holinuth/PK- S3AJP1

Page 59: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

91

7) Independent reading fndependent reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, di mana peserta didik berkesempatan untuk menentukan sendiri materi bacaannya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole language. Dalam hal ini peserta didik bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru menjadi sebagai pengamat, fasilitator dan pemberi respon. Kegiatan ini apabila diberikan secara rutin walaupun hanya 10 menit sehari dapat meningkatkan kemampuan membaca pada peserta didik.

8) Independent writing Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Jenis menulis dalam kegiatan ini dapat berupa menulis jurnal, dan menulis respon Routman & Froese (Suratinah, 2003:2.3-2.8).

Adapun ciri-ciri pembelajaran bahasa yang menggunakan pendekatan whole

language menurut De Carlo (1995: 22-23) adalah sebagai berikut ini.

1) Dasar filosofis tentang anak dan bahasa adalah:

a) dasar filosofisnya adalah humanisme; b) peserta didik telah mengetahui bagaimana cara belajar; c) proses sangat penting; d) Bahasa tidak dapat dibagi (indivisible)

2) Bagaimana peserta didik belajar bahasa : a) mengutamakan belajar dari keseluruhan menuju kebagian-bagian; b) belajar dimulai dari hal-hal yang konkrit ke abstrak; c) pembelajaran berdasarkan pada transaksional; d) pembelajaran dikaitkan dengan teori psikologi gestal; e) belajar bahasa berdasarkan pada pengalaman dan kesesuaian

personal; f) pembelajar/peserta didik belajar bahasa untuk tujuan personal; g) kekuatan dari dalam yang memotivasi belajar; h) penghargaan dari luar tidak diberikan untuk perilaku belajar; i) bahasa dipelajari melalui pencelupan {immersion).

3) Lingkungan kelas: a) belajar di sekolah seperti di rumah; b) lingkungan dikotori {littered) atau dipenuhi dengan bahasa yang ditulis

oleh guru dan peserta didik;

c) fokus utamanya pada topik atau tema; d) pengelompokan fleksibel dan seringkali dibentuk berdasarkan minat; e) kelas mendorong terciptanya kerjasama dan kolaboratif;

Uly HaWimh/PK' S3/UPI

Page 60: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

92

4) Perilaku g u r u : a) guru sebagai fasilitator tidak memberi label atau kategori kepada

peserta didik b) pembelajaran bersifat informal dan berdasarkan pada discovery; c) guru memperikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan

pilihan; d) guru lebih menekankan pada pentingnya mencoba dan menerima

risiko/tantangan; e) guru menekankan pada pentingnya makna bahasa; f) pembelajaran diberikan dalam bentuk kalimat atau unit kebahasaan

yang lebih tinggi; g) prinsip-prinsip pembelajaran, dengan sistem phonik diajarkan dalam

rangka pengenalan dan pemahaman kata dengan menggunakan pendekatan analitik;

h) guru mengajar dengan cerita yang utuh, buku-buku atau puisi; i) brainstorming digunakan untuk membangun latar belakang

pengalaman yang diperlukan dalam pembelajaran; j) guru selalu mengajar dengan menggunakan contoh; k) guru berpartisipasi secara aktif dengan peserta didik dalam membaca

dan menulis.

5) Perilaku peserta didik: a) peserta didik sering merencanakan kegiatan belajarnya sendiri; b) peserta didik sering memilih topik/tujuan penulisan sendiri; c) peserta didik sering membantu satu sama lainnya dalam membaca dan

menulis; d) peserta didik menggunakan bahasa untuk belajar tentang bahasanya; e) peserta didik lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan diskusi.

6} Evaluasi : Evaluasi bersifat informal, seperti mengamati, merekan, dan menggunakan contoh-contoh.

Gambaran kelas whole language sebagaimana dikemukakan di atas, sejalan

dengan yang dikemukakan Brown (1994:82) bahwa whole language merupakan

suatu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk menggambarkan

tentang pembelajaran bahasa yang (1) cooperative leaming, (2) participatory

leaming, (3) student-centered learning, (4) fdcus on the community of teamers, (5)

focus on the social nature of leaming, (6) use of authentic, natural language, (7)

Lely Halimak/PK- S3/UPJ

Page 61: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

93

meaning-centered language, (8) holistic assessment techniques in testing, (8)

integration of the four skills".

Terdapatnya berbagai pendekatan pembelajaran bahasa sebagaimana

dikemukakan di atas, tentunya memperkaya pemahaman peneliti terhadap

pembelajaran bahasa. Setiap pendekatan yang dikembangkan, tentunya akan

memberikan nuansa yang berbeda dalam pembelajaran bahasa. Setelah

memperhatikan dari masing-masing pendekatan tersebut di atas, tentunya untuk

kepentingan penelitian ini, peneliti harus memilih salah satu pendekatan yang dapat

menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran bahasa yang ada.

Hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih salah satu pendekatan ini, di

antaranya (1) bagi guru, dapat memberikan kemudahan dan meningkatkan

kinerjanya dalam menjalankan tugas profesionalnya, (2) bagi peserta didik, dapat

memberikan motivasi untuk meningkatkan kemampuan komunikatifnya sebagaimana

diharapkan dalam tujuan pembelajaran bahasa, dan (3) sejalan dengan prinsip-

prinsip pengembangan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia yang saat ini

sedang dikembangkan.

C. Kurikulum 2004 Mata pelajaran Bahasa Indonesia

Pada bagian ini dikemukakan tentang (1) pengembangan kurikulum 2004, (2)

orientasi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, dan (3) kompetensi

komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD.

1. Pengembangan Kurikulum 2004

Kurikulum menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 adalah seperangkat rencana

dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang

Uly H-limok/PK- S3/UPI

Page 62: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

94

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk

mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian kurikulum tersebut lebih mengacu

kepada pengertian kurikulum sebagai suatu rancangan (design) pendidikan.

Syaodih (1997: 58) mengemukakan bahwa kurikulum sebagai suatu rancangan

pendidikan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Hal tersebut

menggambarkan bahwa kurikulum paling tidak mempunyai dua dimensi yaitu

kurikulum sebagai dokumen tertulis dari suatu rancangan atau program pendidikan

(written curriculum), dan juga kurikulum sebagai pelaksanaan dari rencana tertulis

tersebut (actual curriculum).

Sementara menurut Hasan (1988: 28) kurikulum pada dasarnya memiliki

empat dimensi yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Keempat

dimensi tersebut yaitu (1) dimensi kurikulum sebagai ide atau konsepsi, (2) kurikulum

sebagai suatu rencana tertulis, (3) kurikulum sebagai suatu proses atau kegiatan,

dan (4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar.

Kurikulum sebagai ide atau konsep pada dasarnya ada pada setiap orang

yang terlibat dalam usaha pendidikan baik terlibat langsung maupun tidak langsung,

apakah orang itu para pengambil kebijakan tentang pendidikan, guru, maupun orang

tua. Dalam proses pengembangan kurikulum, kurikulum sebagai ide atau konsep ini

terlihat jelas pada waktu proses awal penyusunan kurikulum, yaitu pada saat proses

ajang pendapat (deliberation) yang pada akhirnya membuahkan suatu keputusan

yang diwujudkan dalam dimensi kurikulum sebagai rencana atau sebagai dokumen

tertulis. Kurikulum sebagai dokumen tertulis, pengertian ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Oliva (Longstreet dan Shane, 1993: 50) 'Curriculum is the plan or

program for all experiences which the learner encounters under the direction of the

Lely Halimak/PK- S3/UPI

Page 63: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

95

schooF. Atau lebih simpel Taba dafam sumber yang sama mengemuk^

cumculumisa plan forleaming. \\ 1

Adapun kurikulum dalam dimensi proses atau kegiatan, yattb ^ r ^ a j c a j v '

realisasi dari kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai ide. Hal ini, tampak

dari adanya aktivitas guru dan peserta didik dalam interaksi belajar mengajar.

Kegiatan belajar mengajar inilah sebenarnya yang merupakan esensi kurikulum,

karena kurikulum dalam dimensi ini yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Kurikulum dalam dimensi proses, hanjs mampu memberikan pengalaman belajar

yang bermakna bagi peserta didik. Dalam dimensi ini, pengertian kurikulum sejalan

dengan yang dikemukakan Longstreet dan Shane (1993: 49) "The cumculum i$ aB

the expériences under the school's direction that lead to leaming". Atau menurut

Laberty dalam sumber yang sama, adalah 'Ail of the actrviyies that are provided for

students by the school constitutes its cumculum.'Dengan kata lain, seluruh aktivitas

belajar atau seluruh pengalaman belajar peserta didik di bawah bimbingan guru, itu

merupakan kurikulum.

Sementara kurikulum dalam dimensi hasil, yaitu berkaitan dengan hasil

belajar yang diperoleh peserta didik baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun

sikap. Kurikulum dalam dimensi ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dan

dipengaruhi oleh kurikulum sebagai proses. Kurikulm dalam dimensi sebagai hasil,

sejalan dengan pengertian kurikulum yang dikemukakan Johnson (Longstreet dan

Shane, 1993: 50) adalah "... a stnjctured séries of intended leaming outcomes.'

Dilihat dari dimensi-dimensi kurikulum sebagaimana dikemukakan di atas,

tampaknya menimbulkan pengertian kurikulum yang bervariasi, sesuai dengan

sudut pandangnya terhadap kurikulum itu sendiri. Uraian di atas, menggambarkan

Lely Halimah/PK- S3/UPI

Page 64: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

bahwa ku n kulum dapat diartikan secara fleksibel tergantung dan sudut mani

memandang kurikulum itu. Beragamnya pengertian kurikulum, menggambarkan

bahwa kurikulum merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, (bahkan

menurut Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2004: 1) ibarat suatu kehidupan,

maka kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Dengan kata lain kurikulum

merupakan salah satu komponen penting atau merupakan salah satu faktor dominan

dalam sistem pendidikan.

Kurikulum pada dasarnya merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari

beberapa komponen. Dalam konteks ini, Syaodih ( 1997: 102) mengemukakan

bahwa kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun

binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen

dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau

sistem penyampaian dan media, serta penilaian. Keempat komponen tersebut

berkaitan erat satu sama lain.

Komponen tujuan, yaitu merupakan arah atau sasaran yang ingin dicapai

dalam pelaksanaan pendidikan. Tujuan pendidikan secara hierarkis meliputi tujuan

pendidikan nasional, tujuan institusionsl, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional

atau tujuan pembelajaran. Setiap tujuan tersebut, pada dasarnya meliputi domain

pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai.

Komponen isi atau materi, pada umumnya berkenaan dengan apa yang akan

dipelajari oleh peserta didik sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Terkait dengan

isi kurikulum ini, menurut Hymen (Ansyar, 1989: 115) meliputi ilmu pengetahuan

(seperti fakta, keterangan, prinsip, dan definisi), keterampilan dan proses (seperti

membaca, menulis, berhitung, menari, berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan

UlyHaUmakJPK- S3AJPI

Page 65: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

97

tulisan), dan nilai-nilai (seperti konsep tentang hal-hal baik, buruk, betul dan salah,

indah dan jelek).

Komponen proses atau organisasi, yaitu berkaitan dengan bagaimana materi

pembelajaran disusun atau diorganisasi sehingga peserta didik memperoleh

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Organisasi materi dan

pengalaman belajar menurut Ansyar dan Nurtain (1993: 14) meliputi dua dimensi,

yaitu horizontal dan vertical. Organisasi horizontal berkenaan dengan ruang lingkup

dan keterpaduan dari keseluruhan materi atau merupakan kaitan antara satu materi

dengan materi pelajaran lainnya pada kelas yang sama. Adapun organisasi vertikal,

mencakup urutan dan kesinambungan materi pelajaran berupa hubungan

longitudinal materi/pengalaman belajar peserta didik.

Komponen penilaian , yaitu berkaitan dengan pencarian informasi dan bukti

untuk mengetahui apakah tujuan tercapai atau tidak. Komponen ini, pada dasarnya

memberikan indikasi tentang keberhasilan atau ketidakberhasilan proses

pembelajaran dalam mencapai tujuan yang direncanakan.

Terkait dengan uraian di atas, lebih lanjut Syaodih (1997: 102)

mengemukakan bahwa dalam pengembangan suatu kurikulum harus memiliki

kesesuaian. Kesesuaian yang dimaksud meliputi dua hal, yaitu (1) kesesuaian antara

kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat, dan

(2) kesesuaian antara komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan

tujuan, proses sesuat dengan isi dan tujuan, demikian juga penilaian sesuai dengan

proses, isi, dan tujuan.

Sejalan dengan pendapat di atas, berkaitan dengan pengembangan

kurikulum, menurut Richards (2001: 2) adalah :

Leiy HaUmah/PK- S3/UP1

Page 66: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

98

cumculum development focuses ort detennining what knowledge, skills, and values students feam in schools, what experiences should be provided to bring about intended leaming outcomes, and how teaching and leaming in schools or educational systems can be planned, measured, and evaluated.

Maksudnya bahwa yang menjadi focus pengembangan kurikulum pada

dasarnya berkenaan dengan penentuan pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta

pengalaman yang sebaiknya dipelajari peserta "didik di sekolah, dan bagaimana

pembelajaran direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai dalam sistem pendidikan. Apa

yang dikemukakan Richards di atas, terkait dengan apa yang dikemukakan Nasution

(1995: 10) bahwa pengembangan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan

sederhana, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan

yang dapat diajukan untuk diperhitungkan. Semua pertanyaan itu menyangkut asas-

asas atau landasan yang mendasari setiap pengembangan kurikulum,.

Asas-asas pengembangan kurikulum yang dimaksud di atas, yaitu berkenaan

dengan (1) landasan filosofis yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yang sesuai

dengan filsafat negara, (2) landasan sosiologis, yaitu berkaitan dengan keadaan

masyarakat, perkembangan dan perubahannya serta kebudayaannya, (3) landasan

psikologis yang berkaitan dengan faktor peserta didik, yang meliputi bagaimana

perkembangan peserta didik (psikologi anak), dan bagaimana peserta didik belajar

(psikologi belajar), dan (4) landasan organisatoris, yang mempertimbangkan bentuk

dan organisasi bahan pelajaran yang akan disajikan.

Keterkaitan uraian di atas, dengan Kurikulum 2004 yang sedang

dikembangkan saat ini di lapangan. Dilihat dari istilahnya Kurikulum 2004 ini lebih

dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam dunia pendidikan,

KBK bukan hal baru. Menurut Wardani (2004: 1); Hamalik (2002: 86) dalam dunia

Uly Balimah/PK- S3/UPI

Page 67: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

99

pendidikan khususnya pendidikan guru, istilah Pendidikan Guru Berdasarkan

Kompetensi (PGBK) atau Performance Based Teacher Education (PBTE) tefah

disosialisasikan pada akhir tahun tujuh-puluhan.

Secara teoretis pengembangan kurikulum berbasis kompetensi kebanyakan

merujuk pada kompetensi seseorang yang lebih berorientasi pada kemampuan-

kemampuan dalam pekerjaan. Akan tetapi, secara umum pengembangan kurikulum

berbasis kompetensi menurut Yulaelawati (2004: 17) sangat sesuai pula untuk

digunakan dalam pendidikan persekolahan. Dalam Kurikulum 2004, yang menjadi

dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi ada lah:

1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam berbagai konteks;

2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi kompeten;

3. Kompetensi merupakan hasil belajar (tearning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran;

4. Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Depdiknas, 2002).

Adapun yang dimaksud kompetensi dalam Kurikulum 2004, merupakan

pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan

berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-

menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten. Menurut Yulaelawati (2004:

17) pengertian kompetensi tersebut cenderung sederhana, tetapi mempunyai makna

yang mendalam. Dalam hal ini, menurutnya yang dimaksud dengan kebiasaan

berpikir dan bertindak itu sebagaimana dikemukakan Spancer dan Spancer (1993)

meliputi lima tipe kompetensi, yaitu (1) motif, adalah sesuatu yang dimiliki seseorang

untuk berpikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi, (2)

Uly HaUmah.VK- S3AJP1

Page 68: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

100

pembawaan, adalah karakteristik fisik yang merespon secara konsisten berbagai

situasi dan informasi, (3) konsep diri, adalah tingkah laku, nilai, atau citraan (image)

seseorang, (4) pengetahuan, adalah informasi khusus yang dimiliki seseorang, dan

(5) keterampilan, adalah kemampuan untuk melakukan tugas secara fisik atau

mental.

Dalam menggambarkan kelima -tipe kompetensi tersebut, Spenser dan

Spencer (Yulaeiawati, 2004: 15) menunjukkan melalui gambar model gunung es.

Pada gambar model gunung es ini menjelaskan bahwa terdapat kompetensi yang

berada pada permukaan gunung es, yaitu meliputi kompetensi pengetahuan dan

keterampilan. Kompetensi permukaan ini, lebih mudah dikembangkan melalui

pembelajaran dan latihan. Sementara, yang berada pada bagian dasar gunung es,

yaitu kompetensi pembawaan dan motif. Kompetensi ini merupakan inti dari

kepribadian, dan karena berada pada bagian dasar gunung es, kompetensi

pembawaan dan motif ini lebih sulit dikembangkan dan dikenali. Adapun kompetensi

konsep diri yang mencerminkan sikap dan nilai, berada di tengah-tengah gunung es,

yaitu antara bagian permukaan gunung es dan bagian dasar gunung es. Kompetensi

konsep diri, sikap, dan nilai masih dapat dilatihkan dengan pengalaman-pengalaman

belajar yang positif, produktif, dan proaktif, walaupun lebih banyak memerlukan

waktu.

Sejalan dengan pengertian kompetensi tersebut di atas, secara rinci Gordon

(Mulyasa, 2002:38) mengemukakan aspek-aspek kompetensi, yang meliputi (1)

pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman (understanding), (3) ketrampilan (skills),,

(4) nilai (value), (5) sikap (attitude), dan (6) minat (interest). Menurut Depdiknas

(2002) kompetensi-kompetensi yang dikembangkan dalam KBK merupakan

Lely HoUnoh/PK- S3AJPI

Page 69: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

101

penjabaran dari tujuan pndidikan nasional. Penjabarannya dilakukan melalui

kompetensi tamatan, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi rumpun pelajaran,

dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Adapun gambaran dari masing-masing

kompetensi adalah sebagai berikut

1) Kompetensi tamatan merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang tertentu.

2) Kompetensi lintas kurikulum adalah kompetensi yang perlu dicapai melalui seluruh rumpun pelajaran dalam kurikulum. Kompetensi lintas kurikulum merupakan pernyataan tantang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direalisasikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan keterampilan hidup yang harus dimiliki. Hasil belajar dari kompetensi lintas kurikulum ini perlu dicapai melalui pembelajaran-pembelajaran dari semua rumpun pelajaran.

3) Kompetensi rumpun pelajaran merupakan pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang seharusnya dicapai setelah siswa menyelesaikan rumpun pelajaran tertentu.

4) Kompetensi dasar merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan satu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu (Depdiknas, 2002).

Dengan orientasi pada pengembangan sejumlah kompetensi yang harus

dimiliki oleh peserta didik, maka KBK memiliki ciri-ciri yaitu (1) menekankan pada

ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal; (2)

berorientasi pada hasil belajar (leaming outcomes) dan keberagaman; (3)

penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metoda yang

bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya

yang memenuhi unsur edukatif; (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil

belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Ldy HaUmakWK- S3/UPI

Page 70: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

102

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, berkenaan dengan asas-asas

pengembangan kurikulum, apabila dikaitkan dengan penentuan kompetensi dalam

pengembangan KBK, yang menjadi landasan filosofisnya sebagaimana

dikemukakan Puskur (2003) bahwa dalam merekonseptualisasikan kurikulum ini

digunakan landasan filosofis Pancasila sebagai dasarnya. Pancasila seperti

termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila sebagai landasan filosofis pendidikan nasional, karena Pancasila

merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia serta kepribadian dan pandangan hidup

Bangsa Indonesia. Sebagai jiwa, Pancasila merupakan sumber yang memberikan

kekuatan hidup yang membimbing dalam mengejar cita-cita hidup. Sebagai

kepribadian, Pancasila merupakan pola dasar tingkah laku bangsa sebagai

kelompok, dan sebagai pandangan hidup merupakan wawasan dalam mengartikan

hidup dan kehidupan (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan IKIP Bandung,

1989). Selain itu, Pancasila sangat relevan untuk penerapan filosofis pendidikan

yang mendunia seperti empat pilar belajar (Detor, 1997), yang meliputi belajar

menjadi diri sendiri, belajar mengetahui, belajar melakukan, dan belajar hidup

bersama.

Sejalan dengan pernyataan di atas, UUSPN No.2 Tahun 2003 pasal 2

menyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Landasan filosofis tersebut, kemudian dijabarkan dalam tujuan pendidikan nasional,

Lely Hallmak/PK- S3AJPI

Page 71: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

103

f< K.J

sebagaimana dinyalakan dalam pasal 3 UUSPN No. 2 Tahun 2003 adalàp

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan menr watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Terkait dengan landasan sosiologis dalam pengembangan kurikulum. Dalam

konteks ini, pengembangan Kurikulum 2004, menurut Muhammad (2004: 2) pada

dasarnya sebagai upaya perubahan dalam menanggapi berbagai perkembangan

dalam masyarakat, baik masyarakat dunia maupun masyarakat lokal yang saat ini

berhadapan dengan berbagai pembahan yang begitu cepat. Perubahan yang terjadi

dalam sistem intorniasi dan komunikasi, bioteknologi, rekayasa genetic, teknologi

ruang angkasa, knowledge-based economy di dalam dan di luar negeri. Semuanya

itu, perlu diantisipasi ke dalam kurikulum secara bermakna dan responsif, yang

sekaligus berupaya mengantisipasi berbagai ketimpangan kehidupan yang di

antaranya menyakut moral, akhlaq, jati diri bangsa, sosial politik, ekonomi serta

terobosan peningkatan mutu pendidikan yang belum mencapai taraf yang memadai.

Menurut Hasan (2000: 3) landasan sosial dan budaya merupakan salah satu

landasan yang seharusnya menjadi kepedulian utama dalam proses pengembangan

kurikulum. Pada dasarnya, kurikulum harus mampu mengembangkan manusia

sehingga mereka memiliki karakteristik dan sifat-sifat yang diperlukan baik oleh

dirinya sebagai suatu pribadi maupun oleh masyarakat, bangsa, dan negara.

Konsekuensinya, kurikulum harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang bedaku

Lely HaUmah&K- S3/UPI

Page 72: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

104

dalam masyarakat di mana nilai positif harus dilestarikan sedangkan nilai negatif

harus dapat diubah melalui proses menjadi nilai positif.

Terkait dengan pendapat di atas, yang menjadi landasan sosiologis

pengembangan Kurikulum 2004, tidak hanya memperhatikan kebutuhan masyarakat

lokal, tetapi lebih jauh dari itu. Dalam hal ini, memandang masyarakat Indonesia

merupakan bagian dari masyarakat dunia yang dihadapkan pada tuntutan

globalisasi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan hasil pendidikan nasional yang

dapat bersaing dengan hasil pendidikan dari negara-negara maju (Puskur, 200: 5).

Adapun dilihat dari landasan psikologis pengembangan Kurikulum 2004. Pada

dasarnya Kurikulum 2004 ini sangat memperhatikan kebutuhan perkembangan

setiap peserta didik. Dilihat dari teori perkembangan, Syaodih (1997: 47-51)

mengemukakan tiga pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan

pentahapan {stage approach), pendekatan diferensial (diferential approach), dan

pendekatan ipsatif {ipsative approach).

Pendekatan pentahapan, yaitu melihat perkembangan individu melalui tahap-

tahap perkembangannya, seperti dari masa konsepsi sampai dengan masa

adolesen. Salah satu teori yang banyak dijadikan acuan dalam dunia pendidikan,

yaitu tahap-tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget. Menurutnya

perkembangan kognitif meJiputi tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap

praoperasionai (2-4 tahun), tahap konkret operasional (7-11 tahun), dan tahap formal

operasional (11-15 tahun). Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik

tertentu yang berbeda dengan tahap lainnya.

Menurut Syaodih (1997: 48} pendekatan diferensial melihat bahwa individu

memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar itu individu dikategorikan atas

Lefy Halimak/PK- SSAJPI

Page 73: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

105

kelompok-kelompok yang berbeda, seperti pengelompokkan berdasarkan jenis

kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi, dan sebagainya. Selain ftu, terdapat

pula pengelompokkan yang bersifat biporal, seperti : introvert - ekstra vert, dominan

- submisif, agresif - pasif, aktivitas tinggi - aktivitas rendah, dan sebagainya.

Adapun pendekatan ipsatif, yaitu pendekatan yang melihat karakteristik individu yang

berbeda dari individu yang lainnya.

Dalam pengembangan Kurikulum 2004 pada dasarnya mempertimbangkan

ketiga pendekatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan Depdiknas (2002)

dalam pedoman pelaksanaan KBK, pada poin 2 tentang diversifikasi kurikulum,

menyatakan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat didiversifikasi atau

diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan

kebutuhan, baik yang menyangkut kemampuan atau potensi peserta didik maupun

yang menyangkut potensi lingkungan. Menurutnya, pada dasarnya peserta didik

dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu normal, sedang, dan tinggi.

Selain itu, pada poin 11 tentang akselerasi belajar, dikemukakan bahwa akselerasi

belajar dimungkinkan untuk diterapkan sehingga peserta didik yang memiliki

kemampuan di atas rata-rata dapat menyelesaikan materi pembelajaran lebih cepat

dari masa belajar yang ditentukan.

Kaitannya dengan landasan psikologis, dalam pengembangan kurikulum tidak

hanya mempertimbangkan kebutuhan perkembangan peserta didik sebagaimana

digambarkan dalam psikologi perkembangan, tetapi juga mempertimbangkan cara-

cara peserta didik belajar yang pada umumnya dibahas dalam psikologi belajar.

Banyak teori psikologi belajar yang dapat menjadi acuan dalam proses

pembelajaran. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian teori belajar bahasa,

Uly HattmnksVK- SJ/UPI

Page 74: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

106

terdapat tiga kelompok teori psikologi belajar mulai dari teori belajar behaviorisme,

kognitivisme, dan humanisme. Ketiga teori tersebut, tentu memiliki keterbatasan-

keterbatasan di samping masing-masing mempunyai kelebihan-kelebihan. Oleh

karena itu, dalam pengembangan kurikulum biasanya tidak menganut teori belajar

tunggal.

Dalam pedoman pengelolaan KBK dikemukakan prinsip-prinsip kegiatan

pembelajaran yang harus dikembangkan oleh guru. Prinsip-prinsip yang dimaksud di

antaranya (1) berpusat pada peserta didik; (2) belajar dengan melakukan; (3)

mengembangkan kemampuan sosial; (4) mengembangkan keingintrahuan, Imajinasi,

dan fitrah Bertuhan; (5) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; (6)

mengembangkan kreatifitas peserta didik; (7) mengembangkan kemampuan

menggunakan ilmu dan tekmologi; (8) menumbuhkan kesadaran sebagai warga

negara yang baik; (9) belajar sepanjang hayat; (1) perpaduan kompetensi, kerja

sama, dan solidaritas.

Khusus tentang komponen kegiatan belajar mengajar, dalam KBK secara

eksplisit tergambar harapan bahwa pelaksanaan pembelajaran harus disesuaikan

dengan kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan perkembangannya maupun

kebutuhan peserta didik untuk masa kini dan masa yang akan datang. Hal tersebut,

sejalan dengan gagasan Crow & Crow (Nasution, 1991. 80-81) yang menyarankan

hubungan kurikulum dan anak, di antaranya:

1) kurikulum hendaknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak; 2) isi kurikulum hendaknya mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap

yang dapat digunakan anak dalam pengalamannya sekarang dan juga berguna untuk menghadapi kebutuhannya masa mendatang;

3) anak hendaknya didorong untuk belajar berkat kegiatannya sendiri dan tidak sekedar penerima pasif apa yang dilakukan guru;

Uly HaUmah/PE- S3/UPI

Page 75: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

107

4) sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak yang sesuai dengan taraf perkembangannya dan bukan menurut keputusan orang dewasa tentang apakah seharusnya minat mereka".

Prinsip-prinsip pembelajaran tersebut pada dasarnya menggambarkan

bahwa peran guru sangat strategis dalam menjembatani antara kurikulum dengan

karakteristik peserta didik. Dengan demikian, guru perlu memberikan dorongan

kepada peserta didik untuk menggunakan otoritasnya dalam belajar, karena

tanggung jawab belajar berada pada diri peserta didik itu sendiri. Dalam hal ini guru

mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa,

motivasi, dan tanggung jawab peserta didik untuk belajar dan mengarahkan

munculnya kesadaran untuk belajar sepanjang hayat Melalui Kurikulum 2004,

diharapkan mampu membekali peserta didik dengan kecakapan-kecakapan hidup

(life skills), yang meliputi kecakapan akademik, kecakapan sosial, kecakapan

berpikir, kecakapan pribadi, dan kecakapan yang mempersiapkan peserta didik

untuk dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu

Untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran sebagaimana dikemukakan di

atas, maka dalam pedoman pengelolaan KBK ini juga dikemukakan prinsip-prinsip

motivasi dalam belajar yang harus dipedomani oleh guru. Prinsip-prinsip motivasi

yang dimaksud meliputi (1) kebermaknaan; (2) pengetahuan dan keterampilan

prasyarat; (3) komunikasi terbuka; (4) menjadi model; (5) keaslian dan tugas yang

menantang; (6) layanan yang tepat dan aktif; (7) penilaian tugas; (8) kondisi dan

konsekuansi yang menyenangkan; (9) keragaman pendekatan; (10)

mengambangkan beragam kemampuan; (11) melibatkan sebanyak mungkin indera;

(12) keseimbangan pengaturan pengalaman belajar.

Uly HaUnuA/PK- S3AJPI

Page 76: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

108

Memperhatikan prinsip-prinsip di atas, menggambarkan bahwa ketiga

kelompok teori belajar, baik teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme

telah mewarnai pengembangan Kurikulum 2004. Artinya teori belajar yang dianut

oleh para pengembangan Kurikulum 2004 lebih bersifat eklektis. Maksudnya,

bersifat memilih aspek-aspek yang terbaik dari ketiga kelompok psikologi belajar

tersebut. Hal tersebut tampak dari pernyataan yang dikemukakan dalam pedoman

pelaksanaan KBK, bahwa kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan berpusat

pada peserta didik, yaitu pendekatan belajar yang aktif, kreatif, efektif,

menyenangkan, dan mencerahkan. Pendekatan lainnya seperti belajar tuntas,

konstruktivisme, pemecahan masalah, berpikir reflektif, dan multikecerdasan apabila

digunakan dapat memperkaya pendekatan belajar aktif.

Dilihat dari landasan organisasi dalam pengembangan Kurikulum 2004.

Menurut Nasution (1995: 176-226); Ibrahim dan Karyadi (1990: 16-18); Syaodih

(1997: 113-124) yang dimaksud dengan organisasi kurikulum adalah berkenaan

dengan pola atau bentuk bahan pelajaran disusun dan disampaikan kepada peserta

didik. Organisasi kurikulum ini meliputi (1) kurikulum yang berisi mata pelajaran yang

terpisah-pisah {Separated Subject Cuniculum), (2) kurikulum yang berisi sejumlah

mata pelajaran yang dihubung-hubungkan (Correlated Cuniculum), dan (3) kurikulum

terpadu, yaitu kurikulum yang meniadakan batas-batas antara berbagai mata

pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan

(Integrated Cuniculum).

Ciri-ciri setiap bentuk organisasi kurikulum, menurut Hamalik (1993: 32-35)

adalah sebagai berikut. Ciri-ciri kurikulum mata pelajaran (Subject-MatterCuniculum)

di antaranya (a) terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang terpisah satu sama lain,

Lely Hollmok/PK- S3/UPI

Page 77: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

109

(b) setiap matapelajaran seolah-olah tersimpan dalam kotak-kotak sendiri dan

diberikan pada waktu tertentu, (c) kurikulum ini bertujuan pada penguasaan sejumlah

ilmu pengetahuan, (d) tidak didasarkan atas kebutuhan, minat, dan tuntutan

masyarakat, (e) pendekatan metodologi system penuangan, (f) pelaksanaan dengan

sistem guru mata pelajaran, dan (g) peserta didik sama sekali tidak dilibatkan dalam

perencanaan kurikulum.

Adapun ciri-ciri kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang

dihubung-hubungkan (Cormlated-Cumcuium), di antaranya (a) mata pelajaran

dikorelasikan satu sama lain, (b) sudah ada usaha untuk menyesuaikan dengan

masalah kehidupan sehari-hari kendatipun tujuannya masih tetap penguasaan

pengetahuan, (c) telah ada usaha untuk menyesuaikan dengan minat dan

kemampuan peserta didik kendatipun pelayanan terhadap perbedaan individual

masih sangat terbatas, (d) metode penyampaiannya adalah menggunakan metode

korelasi kendatipun masih banyak kesulitan yang dihadapi, dan (e) guru masih

memegang peran aktif, dan aktivitas peserta didik sudah mulai dikembangkan.

Ciri-ciri bentuk organisasi kurikulum terpadu (Integrated Curricutum) di

anataranya adalah (a) berdasarkan filsafat pendidikan demokratis, (b) berdasarkan

psikologi belajar Gestalt, (c) berdasarkan landasan sosiologis dan sosio-kultural, (d)

berdasarkan kebutuhan dan tingkat perkembangan-pertumbuhan peserta didik, (e)

ditunjang oleh semua mata pelajaran atau bidang studi yang ada, (f) sistem

penyampaiannya dengan menggunakan sistem pengajaran unit, dan (g) peran guru

sama aktifnya dengan peran peserta didik. Keunggulan atau manfaat kurikulum

terpadu menurut Nasution (1995: 205) di antaranya (a) segala sesuatu yang

dipelajari dalam unit bertalian erat, (b) kurikulum ini sesuai dengan pendapat-

Lely Holimah/PK- S3AJPI

Page 78: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

pendapat modem tentang belajar, (c) memungkinkan hubungan yang erat antara

sekolah dengan masyarakat, (d) sesuai dengan paham demokratis, dan (e) mudah

disesuaikan dengan minat, kesanggupan, dan kematangan peserta didik.

Untuk melaksanakan bentuk organisasi kurikulum terpadu, Fogarty (1991)

memperkenalkan sepuluh model pembelajaran terpadu yang dikelompokkan menjadi

tiga tipe. Menurut Sumantri (2002: 17) ketiga tipe tersebut adalah (1) tipe

pembelajaran terpadu dalam satu disiplin ilmu (fragmented, connected dan nested),

(2) tipe pembelajaran terpadu antardisplin ilmu (seguenced, shared, webbed,

threaded, dan integrated), dan (3) tipe pembelajaran terpadu yang mengutamakan

keterpaduan faktor peserta didiknya (immersed, dan networked).

Dari sepuluh model pembelajaran terpadu tersebut, yang diperkenalkan dalam

program D-ll PGSD yaitu model connected, webbed, dan integrated. Pelaksanaan

pendekatan pembelajaran terpadu, menurut Joni (1996: 3) dapat dipandang sebagai

upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tingkat dasar, terutama dalam

rangka mengimbangi gejala penjejalan kurikulum yang sering terjadi dalam proses

pembelajaran di sekolah.

Bentuk organisasi kurikulum dalam pengembangan Kurikulum 2004. Dalam

bagian pertama pedoman pelaksanaannya, dikemukakan prinsip-prinsip

pengembangan kurikulum yang terdiri dari sembilan butir. Pada butir ke sembilan

dikemukakan prinsip pendekatan menyeluruh dan kemitraan. Uraiannya di antaranya

dikemukakan bahwa semua pengalaman belajar dirancang secara

berkesinambungan. Pendekatan yang digunakan dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar berfokus pada kebutuhan peserta didik yang bervariasi dan

mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu.

Lely UaUmoh/PK- S3AJPI

Page 79: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

I l l

Petunjuk tersebut, sejalan dengan uraian yang terdapat pada struktur

kurikulum, yang merupakan ketentuan untuk kelas satu dan dua, di antaranya

bahwa pendekatan tematik digunakan dalam kegiatan pembelajaran untuk

menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna. Pemilihan tema-tema untuk

kegiatan pembelajaran dilakukan secara bervariasi. Sementara dalam ketentuan

untuk kelas tiga sampai dengan kelas enam, dikemukakan bahwa mulai dari kelas

tiga menggunakan pendekatan mata pelajaran tunggal sesuai dengan jenis mata

pelajaran dalam struktur kurikulum.

Landasan-landasan kurikulum sebagaimana telah dikemukakan di atas,

tentunya harus direalisasikan dalam implementasi kurikulum. Menurut Ibrahim dan

Karyadi (1990: 19-20) pengembangan kurikulum terdiri atas pengembangan tingkat

institusional, pengembangan tingkat bidang studi/mata pelajaran, dan tingkat

operasional/kelas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Subandijah, (1993: 206)

mengemukakan bahwa secara hirarkis pengambilan keputusan dalam

pengembangan kurikulum terdapat beberapa tingkat, yaitu tingkat nasional, tingkat

propinsi, tingkat sekolah, dan tingkat kelas.

Khususnya dalam tahap perencanaan kurikulum, Oliva (1992: 56))

mengemukakan ada delapan level, yaitu "... levels of planning classroom, individual

school, school district, state, region, nation, world". Lebih lanjut, Oliva (1992: 56)

mengemukakan bahwa "If we are concerned about levels of importance, and indeed

we are, we should concede that classroom planning is far more Important than any of

the successive steps. At the classroom level, the results of curriculum planning make

their impact on the learner.'

Uly HaUmok/PK- S3/UPI

Page 80: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

112

Adapun keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum, pada dasarnya

mereka terutama yang dipandang kompeten dapat telibat dalam berbagai tingkat

sebagaimana dikemukakan di atas. Tetapi, pada umumnya tugas guru yang utama

adalah sebagai pengembang kurikulum tingkat kelas. Menurut Syaodih (1997: 150)

kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana

semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji

dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan

hidup. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan

kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan pengembang

kurikulum sesungguhnya.

2. Orientasi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar merupakan salah satu

bagian dari Kurikulum 2004 secara keseluruhan, yang mempunyai nilai strategis.

Alasannya, pada jenjang inilah pertama kalinya pembelajaran bahasa Indonesia

dilaksanakan secara terencana dan terarah. Moment ini dapat dimanfaatkan untuk

menanamkan tiga hal. Pertama, guru dapat menanamkan pengetahuan dasar

bahasa Indonesia. Kedua, guru dapat menumbuhkan rasa memiliki, mencintai, dan

bangga akan bahasa Indonesia pada diri peserta didiknya. Ketiga, guru dapat

menumbuhkan keterampilan-keterampilan berbahasa pada peserta didiknya. Mereka

yang sudah dibekali dengan landasan yang kuat mengenai pengetahuan, sikap

positif, dan keterampilan berbahasa, maka yang bersangkutan akan lebih mudah

menyelesaikan studinya.

Lefy HalimahjTK- S3/UP1

Page 81: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

113

Menurut Tangan (1995: 5-9) nilai strategis mata pelajaran bahasa Indonesia

dalam kurikulum sekolah khususnya di sekolah dasar, di antaranya (1) bahasa

sangat fungsional dalam kehidupan manusia, (2) sekolah dasar sebagai pelaksana

pertama pembelajaran bahasa Indonesia, (3) bahasa ibu sebagian besar peserta

didik bukan bahasa Indonesia, (4) pembelajaran bahasa Indonesia menumbuhkan

nasionalisme, (5) pembelajaran bahasa Indonesia menunjang keberhasilan mata

pelajaran lain, (6) pembelajaran bahasa Indonesia dapat membina budi pekerti, dan

(7) tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbahasa.

Melihat begitu strategisnya fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia dalam

menunjang keberhasilan secara menyeluruh Kurikulum 2004, maka guru bahasa

Indonesia harus memahami secara mendalam karakteristik Kurikulum 2004 pada

umumnya dan pada khususnya Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia.

Untuk itu, maka berikut ini dikemukakan karakteristik Kurikulum 2004 mata pelajaran

bahasa Indonesia.

a. Rasional Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Dalam uraian rasional Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD,

dikemukakan bahwa standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia

berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa. Maksudnya, bahwa belajar bahasa

adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia

dan niiai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Indonesia

diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkbmununikasi

dalam Bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan serta menimbulkan

penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia.

Uly HalimakTK- S3/UPI

Page 82: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

114

Standar kompetensi tersebut dimaksudkan agar peserta didik siap mengakses

situasi multiglobal lokal yang berorientasi pada keterbukaan dari kerhasadepanan.

Kurikulum ini diarahkan agar peserta didik terbuka terhadap beragam informasi yang

hadir di sekitar kita dan dapat menyaring yang berguna, belajar menjadi diri sendiri,

dan peserta didik menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak terlepas dari

lingkungannya (Puskur, 2003).

b. Fungsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam

Kurikulum 2004, bahwa dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta sastra Indonesia

sebagai hasil cipta intelektual produk budaya, maka fungsi mata pelajaran bahasa

Indonesia sebagai:

1) sarana pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;

2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya;

3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;

4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah;

5) sarana pengembangan penalaran, dan 6) sarana pemahaman beragam budaya Indonesia melalui khazanah

kesustraan Indonesia (KBK Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, 2003).

c. Tujuan Umum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Tujuan umum pembelajaran bahasa Indonesia SD dalam Kurikulum 2004

adalah:

1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dari bahasa negara;

Lely HaUmah/PK- S3/UPI

Page 83: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

115

2) siswa memahami bahasa Indonesia dan segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan;

3) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial;

4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis);

5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;

6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Dan rumusan tujuan di atas jelas, bahwa lulusan SD diharapkan mampu, (1)

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berbagai keperluan,

seperti pengembangan intelektual, dan sosial, (2) memiliki pengatahuan yang

memadai tentang kebahasaan, sehingga dapat menunjang keterampilan berbahasa

yang dapat diterapkan dalam berbagai keperluan dan kesempatan, (3) memiliki sikap

positif terhadap bahasa Indonesia, dan (4) menikmati dan memanfaatkan karya

sastra untuk mengembangkan kepribadian dan khasanah budaya/ intelektual bangsa

Indonesia Zulela (Santosa, dkk., 2003; 3.5).

d. Standar Kompetensi Bahan Kajian Pembelajaran Bahasa Indonesia

Standar kompetensi yang harus dicapai dalam pelaksanaan Kurikulum 2004

mata pelajaran bahasa Indonesia, meliputi enam aspek yang meliputi berikut ini.

1) Menyimak Berdaya tahan dalam berkonsentrasi mendengarkan sampai dengan tiga puluh menit, dan mampu menyerap gagasan pokok dan perasaan dari cerita, berita, petunjuk, pengumuman, serta perintah yang didengar dengan memberikan respon secara tepat;

2) Mewicara Mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan perasaan, bertukar pengalaman, menjelaskan suatu proses, mendeskripsikan, dan bermain peran;

Lefy Halimah/PK- S3/UPI

Page 84: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

116

3) Membaca Membaca lancar beragam teks dan mampu menjelaskan isinya, serta merespon isi dengan kata-kata sendiri;

4) Menulis Menulis karangan naratif dan non-naratif dengan tulisan rapi dan jelas dengan memperhatikan tujuan dan ragam pembaca, memakai ejaan dan tanda baca, dan kosakata yang tepat dengan menggunakan kalimat tunggal dan kalimat majemuk;

5) Kebahasaan Memahami/menggunakan kalimat lengkap, tak lengkap, dalam berbagai konteks, imbuhan, penggunaan kosakata, ejaan, pelafalan, serta intonasi bahasa Indonesia;

6) Apresiasi Bahasa dan sastra Indonesia Mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan mendengarkan, menonton, membaca dan melisankan hasil sastra berupa dongeng, puisi dan drama pendek, serta menuliskan pengalaman dalam bentuk cerita dan puisi (Puskur, 2003).

Untuk mewujudkan standar kompetensi tersebut dalam pelaksanaan

Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD, terdapat lima butir rambu-

rambu yang harus dijadikan pedoman bagi guru. Rambu-rambu yang dimaksud

adalah sebagai berikut ini.

1) Pendekatan pembelajaran, dalam hal ini dijelaskan bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, maka pembelajaran bahasa hendaknya membina peserta didik agar terampil berkomunikasi.

2) Pengorganisasian materi, memberikan arahan bahwa kompetensi dasar, hasil belajar, indikator, dan materi pokok yang tercantum dalam standar kompetensi merupakan bahan minimal yang harus dikuasai peserta didik. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya dapat dikembangkan atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam hal ini dijelaskan bahwa kompetensi dasar mencakup aspek mendengarkan, mewicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu.

3) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dalam hal ini diarahkan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hendaknya dimanfaatkan secara maksimal, demi kepentingan dalam menngembangkan kemampuan berbahasa peserta didik.

Ldy Halimah/PK- S3/UP1

Page 85: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

117

4) Diversifikasi kurikulum, ditunjukkan dengan tanda bintang (*) terutama bagi peserta didik yang memiliki kemampuan lebih. Ini artinya, bahwa pembelajaran hendaknya harus mampu memberikan layanan sesuai dengan kemampuan peserta didik.

5) Bacaan wajib sastra, sebagai upaya meningkatkan apresiasi sastra dan gemar membaca, maka setiap peserta didik pada jenjang sekolah dasar diwajibkan membaca 9 (sembilan) buku sastra.

Dari uraian di atas, tergambar bahwa Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa

Indonesia ini, mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya.

Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD dengan semua

karakteristiknya itu memerlukan pelaksanaan yang sesuai dengan karakteristiknya

itu. Sebagaimana dirumuskan dalam kurikulum tersebut bahwa kompetensi adalah

pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang terefleksikan dalam kegiatan

berpikir dan bertindak. Implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia,

mendorong adanya upaya kreatif dari guru untuk memberikan kesempatan kepada

peserta didik dalam penggunaan bahasa Indonesia secara komunikatif dalam

berbagai aktivitas.

3. Kompetensi Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa di SD

Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 26-27) kompetensi komunikatif

menunujuk kepada kemampuan kita menggunakan bahasa untuk interaksi sosial dan

komunikatif, yaitu "mengetahui kapan saat yang tepat membuka percakapan dan

bagaimana, topik apa yang sesuai untuk situasi atau peristiwa ujaran tertentu, bentuk

sebutan mana yang harus digunakan, kepada siapa dan dalam situasi apa, serta

bagaimana menyampaikan, menafsirkan, dan merespons tindak ujaran seperti

salam, pujian, permintaan maaf, undangan, dan sebagainya. Dengan kata lain,

Ufy Halimah/PK- S3/UPI

Page 86: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

118

kompetensi komunikatif adalah kemampuan menggunakan keseluruhan aspek

bahasa dalam konteks komunikasi nyata Priyanti (Nurchasanah, 1994: 31).

Pengertian kompetensi komunikatif tersebut, pada dasarnya mengacu kepada

pendapat Lamzon (Nurchasanah, 1994: 32) yang menyatakan bahwa pembelajar

dikatakan memiliki kompetensi komunikatif apabila mereka memiliki kemampuan

gramatikal yang memadai dan kepekaan kontekstual yang tinggi, sehingga mereka

mampu memilih bahasa secara bervariasi sesuai dengan konteks sosiokulturalnya

dan dapat mengungkapkan secara tepat dalam bentuk tuturan yang kongkrit

Pendapat di atas, menggambarkan bahwa kompetensi komunikatif meliputi

empat dimensi atau empat aspek. Keempat dimensi atau aspek komunikasi yang

dimaksud mencakup (1) aspek gramatikal, (2) aspek kewacanaan, (3) aspek

sosiolinguistik, dan (4) aspek strategi komunikasi Canale dan swain (Tangan, 1989:

283); Brown; Swain; Canale; Bachman; (Nurchasanah, 1994: 31).

Menurut Savignon (Azies dan Alwasilah, 1996: 26) kompetensi komunikatif

memiliki karakteristik sebagai berikut ini.

a) Kompetensi komunikatif merupakan konsep yang agak dinamis daripada statis, dan bergantung pada negoisasi makna antara dua orang atau lebih yang memiliki beberapa pengetahuan yang sama. Dalam hal ini kemampuan komunikasi dapat dikatakan bersifat interpersonal;

b) Kompetensi komunikatif meliputi pemakaian bahasa lisan maupun tulis; c) Kompetensi komunikatif bersifat kontekstual (context-specific). Artinya,

komunikasi selalu berlangsung dalam situasi atau konteks tertentu. Pengguna bahasa yang secara komunikatif kompeten akan tahu bagaimana membuat pilihan-pilihan yang tepat dalam register dan gaaya bahasa sesuai dengan situasi tempat komunikasi terjadi;

d) Perlu diingat tentang perbedaan teoretis antara kompetensi dan performansi. "kompetensi adalah apa yang orang ketahui. Performansi adalah apa yang orang lakukan. Bagaimanapun, hanya performansi yang teramati, dan hanya melalui performansi maka kompetensi dapat dikembangkan, dipertahankan, dan dievaluasi";

e) Kompetensi komunikatif bersifat relatif, bergantung pada aspek lain yang terkait, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Ldy Halimah/PK- S3/UPI

Page 87: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

119

mengembangkan kompetensi komunikatif peserta didik baik secara

Berdasarkan uraian tentang kompetensi komunikatif di a tas i

tulis, diperlukan banyak berlatih berkomunikasi dalam berbagai konteks.

Sebagaimana fungsi bahasa yang utamanya adalah sebagai alat untuk

berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa harus diarahkan agar peserta didik

terampil berkomunikasi baik lisan (menyimak, mewicara) maupun tulis (membaca.

menulis). Hal tersebut, sejalan dengan salah satu misi pendidikan dasar, khususi/nya /

di sekolah dasar adalah menumbuhkan dasar-dasar kemahiran berkomunikasi baik

lisan maupun tulis. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan, hakikat keterampilan

berkomunikasi baik lisan maupun tulis.

a. Hakikat Keterampilan Berkomunikasi Lisan

Keterampilan berbahasa lisan meliputi keterampilan menyimak dan mewicara.

Keterampilan menyimak dan mewicara sangat erat kaitannya, sehingga bersifat

resiprokal. Dalam kehidupan sehari-hari, penyimak dan pewicara dapat berganti

peran secara spontan, yaitu dari penyimak menjadi pewicara dan dari pewicara

menjadi penyimak Kedua keterampilan ini diuraikan berikut ini.

1) Hakikat Menyimak dan Tujuan Pembelajaranya

Hakikat menyimak dapat dilihat dari berbagai segi. Menurut Logan (Soegito,

2003: 6.24) menyimak dapat dipandang sebagai suatu sarana, suatu keterampilan,

seni, suatu proses, suatu respons atau sebagai suatu pengalaman kreatif.

Menyimak sebagai suatu sarana, karena adanya kegiatan yang dilakukan seseorang

pada waktu menyimak yang harus melalui tahap mendengarkan bunyi-bunyi yang

Uly HaUmah/PK- S3/ÜPI

Page 88: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

120

telah dikenalnya. Kemudian, secara bersamaan ia memaknai bunyi-bunyi itu.

Dengan cara demikian ia mampu menginterpretasikan dan memahami makna

rentetan bunyi-bunyi itu. Sebagai suatu keterampilan, menyimak bertujuan untuk

berkomunikasi karena melibatkan keterampilan yang bersifat aura! dan oral.

Menyimak dipandang sebagai seni, maksudnya kegiatan menyimak itu

memerlukan adanya kedisiplinan, konsentrasi, partisipasi aktif, pemahaman, dan

penilaian seperti halnya (orang) mempelajari seni musik, seni tari atau seni peran.

Menyimak juga dipandang sebagai suatu proses, maksudnya menyimak berkaitan

dengan proses keterampilan yang kompleks, yaitu keterampilan mendengarkan,

memahami, menilai, dan merespon. Unsur utama menyimak adalah respons, oleh

karena itu menyimak dipandang sebagai respons. Selain itu, menyimak dipandang

sebagai pengalaman kreatif, karena melibatkan pengalaman yang nikmat,

menyenangkan, dan memuaskan.

Uraian di atas, menggambarkan bahwa menyimak tidak hanya mendengarkan

dan memahami bunyi bahasa, tetapi setiap orang yang terlibat dalam proses

menyimak harus menggunakan sejumlah kemampuan. Pada saat penyimak

menangkap bunyi bahasa, yang bersangkutan harus menggunakan kemampuan

memusatkan perhatian. Bunyi yang ditangkap perlu diidentifikasi, dalam hal ini

diperlukan kemampuan linguistik untuk memahami makna.

Di samping itu, penyimak harus menggunakan kemampuan non-linguistik,

karena makna yang sudah diidentifikasi dan dipahami, maka makna itu harus

dipahami, ditelaah, dikaji, dipertimbangkan, dan dikaitkan dengan pengalaman serta

pengetahuan yang dimiliki penyimak. Pada situasi ini diperlukan kemampuan

menilai, melalui kemampuan menilai ini maka penyimak sampai pada tahap

Ldy HaUmoh/PK- S3/UPI

Page 89: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

121

mengambil keputusan apakah dia menerima, meragukan, atau menolak isi bahan

sirnakan. Kecermatan menanggapi isi bahan sirnakan membutuhkan kemampuan

mereaksi atau menanggapi Tangan (1991:15).

Memperhatikan proses menyimak sebagaimana dikemukakan di atas, maka

menyimak merupakan suatu proses yang kompleks. Alasannya, karena selama

menyimak diperlukan berbagai kemampuan di antaranya kemampuan memusatkan

perhatian, mengingat, menangkap bunyi, kemampuan linguistik dan non-tinguistik,

menilai dan menanggapi. Begitu kompleksnya kemampuan menyimak, maka

keterampilan menyimak ini harus dilatih bahkan harus diajarkan.

Adapun tujuan utama pembelajaran menyimak, adalah melatih peserta didik

memahami bahasa lisan, yang secara berkelanjutan meningkatkan kemampuan

daya simak sehingga pada akhirnya peserta didik memiliki ciri-ciri sebagai penyimak

ideal. Menurut Tangan (1991: 48-49) ciri-ciri penyimak ideal adalah siap fisik dan

mental, berkonsentrasi, bermotivasi, objektif, menyeluruh, menghargai pembicara,

selektif, sungguh-sungguh, tak mudah terganggu, cepat menyesuaikan diri, kenal

arah pembicaraan, kontak dengan pembicara, merangkum, menilai, dan merespons.

2) Hakikat Mewicara dan Tujuan Pembelajarannya

Mewicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi

bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan

secara lisan. Mewicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting

bagi kontrol sosial, karena mewicara merupakan bentuk perilaku manusia yang

memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, dan linguistik secara luas Brown dan

Yuke (Soegito, 2003: 6.26). Pengertian mewicara tersebut, menggambarkan bahwa

Ldy Haiimak&K- S3AJPI

Page 90: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

122

mewicara merupakan suatu keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa

lisan. Lebih rinci Logan, dkk. {Tangan, 1991: 149) mengemukakan bahwa mewicara

sebagai sarana berkomunikasi mencakup sembilan hal, yakni : (1) mewicara dan

menyimak adalah dua kegiatan yang resiprokal; (2) mewicara adalah proses individu

berkomunikasi; (3) mewicara adalah ekspesi kreatif; (4) mewicara adalah tingkah

laku; (5) mewicara adalah tingkah laku yang dipelajari; (6) mewicara dipengaruhi

kekayaan pengalaman; (7) mewicara sarana memperluas cakrawala; (8)

kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat; dan (9) mewicara adalah

pancaran pribadi.

Uraian di atas menggambarkan bahwa mewicara merupakan kegiatan yang

kompleks. Oleh karena itu, keterampilan mewicara harus diajarkan di sekolah, agar

siswa terampil menyatakan pikiran, gagasan, ide, informasi, dan perasaannya.

Alasannya, karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan

berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan mewicara.

Tujuan utama pembelajaran mewicara di SD adalah melatih peserta didik agar

dapat mewicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk mencapai

tujuan itu, maka guru dapat menggunakan bahan pelajaran membaca atau menulis,

kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran mewicara. Menurut Basuki

(1994: 42) aktivitas pembelajaran mewicara dapat dilakukan melalui tiga macam

teknik, seperti (1) teknik terpimpin, (2) teknik semi terpimpin, dan (3) teknik bebas.

Teknik terpimpin adalah salah satu teknik pembelajaran mewicara yang dilakukan

dengan cara meminta peserta didik mengujarkan sesuatu sama persis dengan

contoh yang telah ada. Teknik pembelajaran semi terpimpin adalah teknik

pembelajaran mewicara yang dilakukan dengan cara meminta peserta didik

Lely Halimak/PK- S3/UPI

Page 91: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

123

Lely Halimah/PK- S3/UPI

mengujarkan/memaparkan sesuatu yang secara material sudah ada. Adapun teknik

pembelajaran mewicara bebas dilakukan dengan cara meminta peserta didik

memaparkan sesuatu secara bebas, tanpa bahan yang telah ditentukan atau tanpa

bimbingan dan pancingan tertentu. Ketiga cara tersebut, menggambarkan bahwa

belajar mewicara dilakukan dengan mewicara. Hanya dengan banyak memberikan

kesempatan kepada peserta didik untuk berlatih mewicara, maka pembelajaran

dapat meningkatkan keterampilan mewicara baik bersifat individual maupun

kelompok.

b. Hakikat Keterampilan Berkomunikasi Tulis

Keterampilan berbahasa tulis terdiri dari keterampilan membaca dan menulis.

Kedua keterampilan ini merupakan keterampilan dasar yang harus diajarkan mulai

dari kelas 1 SD. Kegiatan membaca dan menulis mempunyai hubungan yang sangat

erat, karena keduanya merupakan kegiatan berbahasa tulis. Pesan yang

disampaikan penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani melalui lambang

bahasa yang dituliskan. Dengan kata lain membaca dan menulis merupakan

kegiatan yang dapat menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai

penulis.

Penulis sebagai pembaca, artinya ketika aktivitas menulis berlangsung penulis

membaca karangannya. Sedangkan pembaca sebagai penulis, artinya ketika

berlangsung kegiatan membaca, pembaca melakukan aktivitas seperti yang

dilakukan penulis. Menurut Klein, dkk. (1991: 77) konsep membaca dan menulis

mempunyai hubungan yang resiprokal. Maksudnya pengalaman peserta didik pada

Page 92: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

124

waktu melakukan kegiatan membaca maupun menulis menjadi saling melengkapi

satu sama lainnya.

Proses menulis dan membaca memiliki persamaan dan perbedaan.

Persamaan kedua proses tersebut dapat dilihat sebagai berikut, (1) proses membaca

dan menulis sama-sama menggunakan bahasa tulis sebagai media komunikasi, (2)

proses membaca dan menulis sama-sama menggunakan pola stuktur pengetahuan

(skemata), (3) membaca dan menulis sama berhubungan dengan penghubungan

tanda-tanda tertulis dengan makna, dan (4) kegiatan membaca dan menulis sama-

sama memiliki tujuan. Dengan kata (ain, dilihat dari persamaannya terdapat

hubungan antara proses membaca dan menulis.

Menurut Pappas, dkk.,(1995: 217-219) belajar membaca dapat dilakukan

melalui membaca dan belajar menulis melalui menulis, tapi kita juga dapat belajar

membaca melalui menulis dan belajar menulis melalui membaca. Oleh karena itu,

berikut ini dikemukakan hakikat kedua keterampilan tersebut dan tujuan

pembelajarannya.

1) Hakikat Membaca dan Tujuan Pembelajarannya

Membaca merupakan proses yang sangat kompleks (Dallmann, 1982: 24;

Anderson, dkk., 1969: 5), karena membaca membutuhkan coordinasi otot pada

tingkat tinggi dan konsentrasi yang terus-menerus. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan Smith (1982: 11) bahwa "reading atways invotves a combination of

visual and nonvisual infomtation. It is an interaction berween a reader and a fexT.

Maksud dari pendapat tersebut bahwa pada waktu membaca mata mengenali

kata, sementara pikiran menghubungkannya dengan maknanya. Makna kata

Lely HaUmah/PK- S3/UPI

Page 93: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

125

dihubungkan satu sama lain menjadi makna frase, klausa, kalimat, dan akhirnya

makna seluruh bacaan^. Pemahaman akan makna bacaan ini tidak mungkin terjadi

tanpa pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Sebagai proses yang kompleks,

sebagaimana Goodman (Mangieri, dkk, 1984: 6) yang mendefinisikan bahwa

membaca "as a psycholinguistic process in whfch the reader (a user of language)

reconstruct, as best be can, a message whlch has been encoded by a writer as a

graphic display".

Sekaitan dengan membaca sebagai proses yang kompleks, maka diperlukan

serangkaian keterampilan, yang secara garis besar keterampilan itu meliputi dua

aspek penting dalam membaca, yaitu (1) keterampilan yang bersifat mekanistik,

aspeknya meliputi (a) pengenalan bentuk huruf; (b) pengenalan unsur-unsur

linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klause, kalimat, dan lain-lain), (c)

pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan

menyuarakan bahan tertulis); (d) kecepatan membaca bertaraf lambat, (2)

keterampilan yang bersifat pemahaman, aspeknya yaitu (a) memahami pengertian

sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), (b) memahami signifikansi atau makna

(seperti maksud dan tujuan pengarang); (c) evaluasi (isi dan bentuk); dan (d)

kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan

Broughton (Tangan: 1979:11-13).

Kedua jenis keterampilan membaca tersebut, diajarkan di sekolah dasar

seperti membaca mekanistik yang dikenal dalam kurikulum mata pelajaran bahasa

Indonesia dengan pengajaran membaca permulaan, sedangkan membaca

pemahaman dikenal dengan membaca lanjutan. Pembelajaran membaca permulaan

diberikan di kelas 1 sampai 2, dan pembelajaran membaca pemahaman atau

Lely HaUmak/PK- S3/UPI

Page 94: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

126

lanjutan diberikan di kelas tinggi yaitu mulai dari kelas 3 sampai kelas 6. Adapun

jenis keterampilan membaca pemahaman meliputi membaca teknis, membaca

dalam hati, membaca cepat, dan membaca bahasa (Supriadi, dkk., 1991: 115;

Akhadiah, 1992:21; Mulyati, dkk., 2003:2.3-2.4).

Menurut Tangan (1979: 3 1 - 35) membaca dalam hati meliputi membaca

ekstensif, dan membaca intensif. Membaca ekstentif adalah kegiatan membaca

untuk memahami isi yang penting-penting dengan cepat dan dengan demikian

membaca secara efisien terlaksana. Dengan kata lain, membaca ekstensif

merupakan kegiatan membaca dengan maksud untuk memperoleh informasi

sebanyak-banyaknya. Yang termasuk ke dalam kegiatan membaca ekstensif di

antaranya adalah membaca survei, membaca sekilas, dan membaca dangkal.

Membaca intensif merupakan kegiatan membaca secara seksama, dalam

menelaah isi bacaan. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh sukses dalam

pemahaman penuh terhadap argumen-argumen yang logis, urutan-urutan retoris

atau pola-pola teks, pola-pola simbolisnya; nada-nada tambahan yang bersifat

emosional dan sosial, pola-pola sikap dan tujuan pengarang dan juga sarana-sarana

linguistik yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Dngan demikian, dalam

membaca intensif yang paling diutamakan adalah hasilnya, yaitu suatu pengertian,

suatu pemahaman yang mendalam serta terperinci terhadap tanda-tanda hitam atau

aksara di atas kertas. Oleh karena itu, yang termasuk ke dalam membaca intensif

adalah membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi,

meliputi membaca teliti, membaca pemahaman, dan membaca kritis.

Erat hubungannya dengan tingkat pemahaman isi bacaan adalah kecepatan

membaca atau membaca cepat. Membaca cepat menurut Harjasujana dan Mulyati

Lely HaUmak/PK- Si/UPl

Page 95: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

127

(1997:54) adalah kemampuan seseorang dalam menggerakkan mata secara cepat

dan tepat pada saat membaca sehingga diperoleh rata-rata kecepatan baca berupa

jumlah kata per menit. Tujuan pembelajaran membaca cepat adalah melatih

kemampuan peserta didik untuk secepat-cepatnya dapat bergerak pada saat

membaca sambil menjangkau sebanyak-banyaknya kata yang hendak dibacanya.

Dan berbagai macam aktivitas membaca, dalam prosesnya setiap pembaca

akan berbeda-beda, perbedaan yang dimaksud berkaitan dengan banyaknya model

membaca. Sebagaimana Harjasujana (1997: 27-47); Iswara dan Harjasujana (1997:

4-5); Ulit (Haryadi dan Zamzami, 1997: 32-33) menyimpulkan adanya tiga klasifikasi

model membaca, yaitu (1) model membaca bawah-atas (bottom-up), (2) model

membaca atas-bawah (top-down), dan (3) model membaca timbal balik (interaktif).

Dan masing-masing model tersebut maksudnya adalah sebagai berikut

1) Model membaca bawah-atas, yang menjadi faktor penting dalam model membaca ini adalah wacana atau teks. Dalam hal ini wacana itu diproses oleh pembaca tanpa pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Perhatian pembaca diarahkan pada kata-kata dan bagian-bagian kata, sedangkan makna baru timbul dari kumpulan kata-kata yang terbaca. Dengan kata lain proses membaca dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk mengidentifikasi dan mencari maknanya.

2) Model membaca atas-bawah, yang menjadi faktor penting dalam model membaca ini adalah informasi berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki oleh pembaca sekaitan dengan dunianya. Biasanya pembaca yang mahir membawa informasi yang lebih banyak ke dalam wacana bila dibandingkan dengan wacana yang dibacanya. Dalam hal ini pembaca menggunakan pengalaman yang lalu untuk memprakirakan makna isi wacana.

3) Model membaca interaktif, yaitu proses membaca yang menggabungkan kedua model di atas sehingga dinamakan model interaktif. Model membaca ini biasanya dilakukan oleh pembaca mahir, maksudnya pembaca melakukan proses membacanya merupakan proses timbal balik yang bersifat simultan antara membaca bawah-atas dan membaca atas-bawah. Pada suatu saat membaca bawah-atas berperan, dan pada saat lain proses membaca atas-bawah lebih berperan, dengan demikian

Lely Ualimah/PK- SS/UPI

Page 96: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

128

pembaca secara fleksibel mengatur proses membacanya sesuai dengan kepentingannya.

Keterampilan-keterampilan membaca yang dtkemukakan di atas, idealnya

harus menjadi tanggung jawab guru bahasa Indonesia dalam membelajarkan

peserta didik selama proses pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, guru

harus mengacu kepada tujuan pembelajaran membaca yang pada umumnya

meliputi, tiga ranah kemampuan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada

ranah kognitif pembelajaran membaca bertujuan agar peserta didik mampu

memahami, menggunakan, menganalisis, membuat sintesis, serta menilai bacaan.

Pada ranah afektif, peserta didik di ana taranya diharapkan dapat menyerap,

menerima, serta menggunakan nilai-nilai yang terdapat dalam bacaan, meningkatkan

motivasi serta minat baca, dan membentuk sikap positif terhadap isi bacaan. Adapun

pada ranah psikomotor, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan/kecepatan

membaca yang sesuai dengan pertumbuhan fisik dan mentalnya.

Pembelajaran membaca di sekolah dasar merupakan kunci untuk

pembelajaran bidang studi lainnya. Tanpa kemampuan membaca yang memadai

peserta didik tidak mungkin mampu mengikuti pembelajaran dengan baik. Begitu

pentingnya kemampuan membaca harus dimiliki oleh peserta didik, sehingga para

ahli mengemukakan bahwa membaca, sebagaimana dikemukakan McGowan &

Turner (Swarbrick, 1994: 125) "... reading is a tool for learning, ... the ability to read

well is a prerequisite to success at school.'' Di samping itu, Halford (Rosmalina, 2000:

37) mengemukakan bahwa membaca mempunyai fungsi sebagai "gateway belajar.

Lebih lanjut, Farr (Harjasujana, 2001 : 1) mengemukakan bahwa "Reading is the

heart of education.", dan Hartoonian (Harjasujana, 2001: 1) mengemukakan bahwa

Uly Holbttok/PK- S3AJPI

Page 97: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

literacy.

If we to be a super pawer we must have individuals with much higher

Pendapat para ahli di atas, tampaknya harus menjadi perhatian semua pihak.

Terutama guru-guru sekolah dasar yang mempunyai peranan yang sangat strategis,,

harus memiliki sikap positif serta penguasaan yang memadai mengenai

pembelajaran membaca. Salah satu hal yang harus disadari oleh guru adalah

sebagaimana dikemukakan oleh Mangieri, dkk (1984: 6) bahwa 'Reading is an

integral pari of the language arts cumculum; the teaching of reading cannot be

separated from the teaching of writing, speaking, and Sstening". Selain itu, Dallmann,

dkk. (1982: 23) mengemukakan bahwa pembelajaran membaca harus memberikan

dua hal, yaitu membantu peserta didik dalam memperoleh keterampilan membaca,

dan bersamaan dengan itu membantu mereka mempunyai kebiasaan membaca.

Rofi'uddin dan Zuchdi (1999: 50) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal

pokok yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran membaca, yaitu

mengarahkan pada (1) perkembangan aspek sosial peserta didik, yakni kemampuan

bekerja sama, percaya diri, pengenalan diri, kestabilan emosi, dan rasa tanggung

jawab; (2) pengembangan fisik, yaitu pengaturan gerak motorik, koordinasi gerak

mata dan tangan; (3) perkembangan kognitif, yakni membedakan bunyi, huruf,

menghubungkan kata dan makna.

2) Hakikat Menulis dan Tujuan Pembelajarannya

Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan

(komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan

adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan

Uly Holimoh/PK- SSAJPt

Page 98: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

130

sebuah symbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati

pemakaiannya. Dengan demikian, dalam komunikasi tulis paling tidak terdapat

empat unsur yang terlibat: penulis sebagai penyampai pesan (penulis), pesan atau

isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan

(Supamo dan Yusup, 2002:1.3).

Pengertian menulis sebagaimana dikemukakan di atas, menggambarkan

bahwa menulis sebagai aktivitas terpadu. Hal ini sebagaimana dikemukakan Klien,

dkk (1991:119) bahwa ketika peserta didik menulis, mereka menghubungkan semua

yang mereka ketahui atau berpikir apa yang mereka ketahui tentang bahasa seperti

secara struktur, secara ponetik, dan secara semantik. Menulis juga menyebabkan

mereka berpikir, menerapkan, menyimpulkan, menilai, menciptakan, memecahkan

masalah, bahkan memadukan semua apa yang mereka ketahui dan bagaimana

pengetahuan tersebut digunakan dalam bentuk bahasa tulis. Pada saat menulis,

peserta didik melakukan kegiatan mengkonstruk kata, kalimat, paragraph, dan cerita

dengan menggunakan model yang teiah mereka peroleh, dan mencoba

memecahkan masalah sesuai dengan pengalamannya. Pembendaharaan kata yang

telah mereka miliki, digunakan untuk mengekspresikan ide-idenya dan

membicarakan dunia dari sudut pandangan mereka.

Selain sebagai aktivitas terpadu, menulis itu juga merupakan suatu proses.

Maksdunya, menulis merupakan serangkaian aktivitas yang terjadi dan melibatkan

beberapa tahap, yaitu tahap prapenulisan (persiapan), penulisan (pengembangan isi

karangan), dan pascapenulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan).

Pada tahap prapenulisan, meliputi aktivitas memilih topik, menetapkan tujuan darv

sasaran, mengumpulkan bahan atau informasi yang diperlukan, serta

Lely Halimah/PK- S3/UPI

Page 99: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

131

mengorganisasi ide atau gagasan dalam bentuk kerangka karangan. Adapun pada

tahap penulisan, yaitu merupakan kegiatan mengembangkan butir-butir ide yang

terdapat dalam kerangka karangan, dengan memanfaatkan bahan atau informasi

yang telah dipilih dan direncanakan pada tahap prapenulisan. Kegiatan akhir

menulis, yaitu tahap pascapenulisan, yang meliputi tahap penghalusan dan

penyempurnaan buram yang telah dihasilkan. Dalam hal ini, kegiatannya meliputi

penyuntingan dan perbaikan.

Ketiga tahap tersebut, tidak selalu berurutan, dan bukan kegiatan yang

terpisah-pisah, tetapi ketiga tahap tersebut merupakan komponen yang ada dan

dilalui penulis dalam proses tulis-menulis. Urutan dan batas antartahap tersebut

sangat luwes, bahkan dapat tumpang tindih. Sewaktu menulis sangat mungkin

penulis melakukan aktivitas yang terdapat pada setiap tahap secara bersamaan.

Misalnya pada tahap pramenulis dan penulisan, penulis dapat melakukan sekaligus

kegiatan telaah dan revisi, atau ketika sedang berlangsung kegiatan pada tahap

penulisan, ternyata kerangka karangan yang telah dibuat terlalu sempit, terlalu luas,

atau kurang sistematis sehngga penulis kembali memperbaiki kerangka karangannya

(Supamo, 2002: 1.14).

Menurut Dawson, dkk (Nurchasanah, 1994: 31) kompetensi menulis hanya

dapat dicapai dengan jalan banyak berlatih menulis. Untuk memberikan banyak

kesempatan menulis kepada peserta didik dalam proses pembelajaran, guru dapat

menggunakan berbagai pendekatan, hal ini sebagaimana dikemukakan Proett dan

Gill (Supamo dan Yunus, 2002: 1.13) bahwa terdapat beberapa pendekatan yang

dapat digunakan dalam pembelajaran menulis, di antaranya adalah sebagai berikut.

Uly KaSmak/PK- S3/OPI

Page 100: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

132

1) Pendekatan frekuensi menyatakan bahwa banyaknya latihan menulis sekalipun tidak dikkoreksi (seperti buku harian atau surat), akan membantu meningkatkan keterampilan menulis seseorang;

2) Pendekatan gramatikal berpendapat bahwa pengetahuan orang mengenai struktur bahasa akan mempercepat kemahiran orang dalam menulis;

3) Pendekatan koreksi berkata bahwa seseorang menjadi penulis karena dia menerima banyak koreksi atau masukan yang diperoleh atas tulisannya;

4) Pendekatan formal mengungkapkan bahwa keterampilan menulis akan diperolervbila pengetahuan bahasa, pengalineaan, pewacanaan, serta konvensi atau aturan penulisan dikuasai dengan baik.

Sementara, Tangan (1988: 187-226), memberikan petunjuk pelaksanaan

pembelajaran menulis melalui beraneka teknik pembelajaran menulis, di anatranya

melalui proses: menyusun kalimat, memperkenalkan karangan, meniru model,

karangan bersama, mengisi, menusun kembali, menyelesaikan cerita, menjawab

pertanyaan, meringkas isi bacaan, parafrase, reka cerita gambar, memerikan,

mengembangkan kata kunci, mengembangkan kalimat topik, mengembangkan judul.

Uraian di atas, menggambarkan bahwa kompetensi menulis akan dimiliki oleh

peserta didik, hanya melalui banyak berlatih menulis. Oleh karena itu, kegiatan

menulis yang dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan, mempunyai

banyak manfaatnya, di antaranya adalah peningkatkan kecerdasan, pengembangan

daya inisiatif dan kreativitas, penumbuhan keberanian, dan pendorong kemauan dan

kemampuan mengumpulkan informasi.

c. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Menurut Depdiknas 2002) penilaian merupakan suatu proses pengumpulan,

pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik yang

diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan unjuk kena atau

prestasi peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas yang terkait. Adapun proses

Lely Hatimak/PK- S3/UPI

Page 101: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

133

penilaian mencakup pengumpulan sejumlah bukti-bukti yang menunjukkan

pencapaian hasil beijar peserta didik. Dengan demikian, penilaian adalah suatu

pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang

atau sesuatu.

Salah satu komponen Kurikulum 2004 adalah Penilaian Berbasis Kelas (PBK).

Maksudnya, bahwa PBK merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan dan

penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan

prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat dan

konsisten sebagai akuntabilitas publik. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi

dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar

yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar peserta didik

dan pelaporan.

Penilaian dalam Kurikulum 2004, menuntut dilaksanakan penilaian secara

terpadu dengan kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, disebut penilaian

berbasis kelas. PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja peserta didik (postofolio),

hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis

(paper and pencil). Guru menilai kompetensi dan hasil belajar peserta didik

berdasarkan level pencapaian prestasi peserta didik.

Penilaian pada hakikatnya merupakan alat ukur untuk mengetahui seberapa

jauh tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai setelah

peserta didik mengalami aktivitas belajar. Dalam pembelajaran bahasa, penilaian

dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui tes dan nontes. Baik teknik tes

maupun nontes dapat digunakan untuk mendapatkan informasi atau data tentang

peserta didik yang dinilai. Teknik tes biasanya digunakan untuk memperoleh

LOy Halunah/PK- S3/VP1

Page 102: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

134

informasi atau data tentang kemampuan kognitif peserta didik, sedangkan teknik

nontes digunakan untuk memperoleh informasi atau data tentang kemampuan afektif

dan psikomotor, informasi yang diperoleh melalui tes bersifat kuantitatif, sedangkan

informasi yang diperoleh dengan teknik nontes bersifat kualitatif.

Amold (1999) mengemukakan bahwa "evaluation /s never carried out in a

vacuunf. Pelaksanaan penilaian sebagai bagian dan keseluruhan setting pendidikan

dan proses belajar mengajar diperlukan untuk secara kritis meninjau kembali dan

dikembangkan terus. Untuk itu, penilaian dapat memfasilitasi peserta didik menjadi

lebih terampil, mandiri, dan individu yang bertanggung jawab karena memahami

lebih baik proses pertumbuhannya sendiri.

Informasi kemajuan peserta didik tidak hanya merupakan dasar pertimbangan

bagi guru, tetapi juga memberi keterangan yang berarti bagi para administrator,

orang tua, dan khususnya bagi peserta didik itu sendiri. Harris & Hodges (De Cario,

Julia E, 1995) mengemukakan bahwa penilaian sebagai "77» act or process of

gathering data in order to better understand some topics or area of knowtedge, as

through obcervation, testing, interviews, etc; especially, the gathering of data to

inctude strengths and weaknesse in learning."

Mengacu kepada pendapat di atas, maka penilaian harus dipandang sebagai

proses yang berkelanjutan. Hal ini termasuk mengumpulkan, menganalisis, dan

berbagi informasi. Adapun prosesnya harus dimulai dari hari pertama sekolah dan

seterusnya. Di antaranya, tujuan penilaian tersebut meliputi: untuk kepentingan

diagnosa, dan memberikan balikan bagi peserta didik; memonttoring kemajuan

individual peserta didik setiap waktu, dan memberikan laporan kepada orang tua

peserta didik.

Lely HaUmah/PK- S3/UPI

Page 103: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

135

De CarJo mengidentifikasi dua macam perbedaan dalam penilaian, yaitu

penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal biasanya yang

digambarkan melalui tes standar. Sementara penilaian internal, yang sekarang lebih

banyak diminati fokusnya lebih pada cara-cara internal. Seperti melalui penggunaan

portofolio, "dated audiotapes", catatan anekdot tindakan baca-tulis atau 'literac/,

contoh menulis, respon membaca jurnal, dan 'interest inventories', terkait dengan

semua ini guru menggunakan cara lain untuk menilai pertumbuhan peserta didik.

Penilain juga dipandang sebagai proses yang (a) kontinyu, artinya tidak

hanya mengandalkan (refying) pada akhir tahun, (b) multidimensi, artinya penialain

tidak hanya mengandalkan pada satu cara penilaian atau indeks, (c) bersifat

kolaborasi, artinya penilaian tidak hanya menggunakan pertimbangan ekslusif guru,

(d) berdasarkan pengetahuan, artinya penilaian tidak hanya semata-mata

menggunakan sumber informasi dari guru, dan (e) otentik, artinya penilaian tidak

hanya menekankan pada nilai ekstrinsik. Semuanya itu melibatkan apa yang

dilakukan guru dan peserta didik untuk menilai kemajuan. Dengan demikian,

penilaian lebih daripada hanya merupakan serangkaian tes tertulis.

Ldy Halimah/PK- S3/VPI

Page 104: BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD