57
15 BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN PUSTAKA 1. MEKANISME PENETAPAN TERSANGKA Penyidikan berasal dari kata selidik artinya teliti, cermat atau diperiksa, sedangkan penyelidikan berarti usaha untuk memperoleh informasi melalui pengumpulan data atau proses. Latar belakang, motivasi dan urgensi introdusirnya fungsi dilakukannya penyelidikan adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada Hak Asasi manusia itu sendiri yang mengacu pada asas legalitas. Dalam melaksanakan fungsi “Penyelidikan” dan “Penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil-memeriksa- menangkap-menahan-menggeledah-menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tidak pidana. Hak dan kewenangan tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip : the right of due process. 1 Dalam prinsip : the right of due process tersebut menjelaskan setiap tersangka berhak disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Bahwa konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”, dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above the law), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip “perlakukan” dan dengan “cara yang jujur”. Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa tersangka adalah “seseorang yang telah disangka melakukan sesuatu tindak pidana dan ini masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa di persidangan. 2 Menurut Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa pengertian tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga 1 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Cet ke-14,2012,hlm 95. 2 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Pen. Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm 178

BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

  • Upload
    dothuy

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

15

BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. MEKANISME PENETAPAN TERSANGKA

Penyidikan berasal dari kata selidik artinya teliti, cermat atau diperiksa, sedangkan

penyelidikan berarti usaha untuk memperoleh informasi melalui pengumpulan data

atau proses. Latar belakang, motivasi dan urgensi introdusirnya fungsi dilakukannya

penyelidikan adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada Hak Asasi

manusia itu sendiri yang mengacu pada asas legalitas.

Dalam melaksanakan fungsi “Penyelidikan” dan “Penyidikan”, konstitusi memberi

“hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil-memeriksa-

menangkap-menahan-menggeledah-menyita terhadap tersangka dan barang yang

dianggap berkaitan dengan tidak pidana. Hak dan kewenangan tersebut, harus taat dan

tunduk kepada prinsip : the right of due process.1

Dalam prinsip : the right of due process tersebut menjelaskan setiap tersangka

berhak disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Bahwa konsep due

process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”, dalam

menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas

hukum (no one is above the law), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun

berdasarkan prinsip “perlakukan” dan dengan “cara yang jujur”.

Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa tersangka adalah “seseorang yang telah

disangka melakukan sesuatu tindak pidana dan ini masih dalam taraf pemeriksaan

pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar

untuk diperiksa di persidangan.2

Menurut Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa pengertian tersangka adalah seorang

yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga

1 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Cet ke-14,2012,hlm 95. 2 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Pen. Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm 178

Page 2: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

16

sebagai pelaku tindak pidana. ” Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 14

KUHAP tidak secara spesifik diatur di dalam KUHAP. Definisi itu justru diatur dalam Pasal 1

angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan adalah alat bukti

berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa

seseorang telah melakukan tindak pidana”.

Sedangkan Rapat Kerja MAKEHJAPOL 1 (Mahkamah agung-Kehakiman-

Kejaksaan-Polisi, tanggal 21 maret 1984, menyimpulkan bahwa bukti permulaan yang

cukup seyogianya minimal: laporan polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya.

Menurut P.A.F. Lamintang, mengatakan bahwa “barang bukti permulaan yang

cukup“ dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti-bukti

minimal”, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat 4 KUHAP,

yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan

penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah

terhadap seorang tersebut dilakukan penangkapan.3 KUHAP memang tidak menjelaskan

lebih lanjut tentang definisi ‘bukti permulaan’, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang

alat bukti yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi: (1) keterangan saksi,

(2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa.

Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti yang sah

berupa keterangan saksi,keterangan ahli, surat dan keterangan tersangka, Sementara, alat bukti

berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim setelah melakukan pemeriksaan di dalam

persidangan, dan alat bukti berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di

dalam persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3)

KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.

Apabila di dalam suatu proses penyidikan sudah terdapat laporan polisi dan satu alat bukti

yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dan alat bukti yang sah yang

dimaksud tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Selain itu, perlu

ditekankan jika ‘keterangan saksi’ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak terlepas

dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menjelaskan bahwa keterangan seorang saksi

saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang di dakwakan

3 P.A.F. Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Pen. Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm 117

Page 3: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

17

kepadanya kemudian dalam ayat (3) menambahkah bahwa sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut apabila telah terdapat laporan polisi dan adanya keterangan

seorang saksi saja maka tidak serta merta dapat menjadi satu alat bukti yang sah, karena harus

disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, maka secara hukum seseorang dapat ditetapkan

sebagai tersangka. Kemudian setelah adanyan penetapan tersangka tersebut,

mengakibatkan adanya upaya paksa lainnya yang dapat diterapkan kepadanya. Upaya

paksa tersebut antara lain yaitu dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain

sebagainya. Ketika tersangka merasa haknya dilanggar atas upaya paksa tersebut, maka

tersangka mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum yaitu Praperadilan.

2. PRAPERADILAN

Praperadilan merupakan lembaga peradilan yang tidak berdiri sendiri. Dalam hal ini

bahwa pra peradilan merupakan salah satu lembaga yang mempunyai wewenang untuk

tidak memberikan putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Bahwa praperadilan

sendiri hanya suatu lembaga yang mempunyai ciri eksistensi yaitu sebagai berikut.

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan

sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri

sebagai satuan tugas yang tak terpisah dari Pengadilan Negeri.

b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun

sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya devisi dari Pengadilan Negeri.

c. Administrasi yudisial, personil, peralatan, dan financia bersatu dengan

Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan

pembinaan ketua pengadilan

d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial

Pengadilan Negeri itu sendiri.4

Dalam pelaksanaan prapreadilan undang-undang memberikan wewenang kepada

Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Pasal 77 KUHAP

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

4 M. Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 1

Page 4: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

18

Dengan kata lain, praperadilan memiliki obyek penting didalamnya yakni, pertama,

memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa yang meliputi penangkapan dan

penahanan. Kedua, memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan yang dapat dilakukan karena empat hal yaitu nebis in idem atau karena ternyata

apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah

dituntut dan diadili, dan putusannya sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,

perkara yang disangkakan padanya merupakan perkara yang kadaluwarsa, dan abbuse of

authority. Ketiga, berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. Keempat, memeriksa

permintaan rehabilitasi. Kelima, Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.5

Sedangkan dalam pelaksanaannya praperadilan diatur lebih lanjut dalam Pasal 82-83

KUHAP. Dalam proses permeriksaan di pengadilan praperadilan dipimpin oleh hakim

tunggal yang di tunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri yang di bantu oleh seorang panitra

dalam memeriksa atau memutus mengenai praperadilan. Pelaksanaan praperadilan tersebut

timbul atas permintaan atau pengajuan yang di ajukan oleh tersangka, keluarga tersangka

ataupun kuasa hukum tersangka kepada Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasan

yang menjadi dasar praperadilan. Bahwa dalam hal ini permintaan yang diminta adalah

ganti kerugian atas proses peradilan di tingkat penyidikan ataupun penuntutan.

Kewenangan pelaksanaan praperadilan mutlak menjadi wewenang Pengadilan Negeri

dalam memeriksa ataupun memutus perkara praperadilan. Putusan mengenai praperadilan

tidak dapat dimintakan banding kecuali dalam beberpa hal yang yaitu penetapan sah

tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan

putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

3. PEMERIKSAAN PERSINDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Pemeriksaan Pendahuluan

5 Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 4-6

Page 5: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

19

Pemeriksaan pendahuluan adalah satu pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim

(panel) dan dihadiri pemohon untuk mempersiapkan permohonan tersebut secara

lengkap sebelum diadakan persidangan baik untuk mendengar keterangan dari

pemerintah, DPR maupun pihak terkait dengan cara yang efektif, efisien dan

lancar.6 Sifat pemeriksaan pendahuluan adalah informatif, dalam arti pemeriksaan

pendahuluan dimaksudkan untuk memberi penjelasan dan memperoleh informasi

sehingga masalah yang diajukan dapat dipahami secara baik dan benar oleh hakim

maupun oleh pemohon sendiri.

Dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan

pendahuluan ini diatur tersendiri dalam Bagian Kelima Bab V tentang Hukum

Acara. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 39 yaitu:

(1) Sebelum mulai pemeriksaan pokok perkara, Mahkamah Konstitusi

mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi

permohonan;

(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal (1),

Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk

melengkapi dan/ atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu

paling lambat 14 hari.

Pemeriksaan pendahuluan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum

mengadakan pemeriksaan terhadap pokok perkara (substansi permohonan). Dalam

pemeriksaan pendahuluan tersebut bertujuan untuk:

(1) Memastikan kelengkapan berkas permohonan perkara pengujian

undang-undang yang diajukan oleh pemohon sesuai dengan ketentuan

UU dan PMK

(2) Memastikan kejelasan materi permohonana yang diajukan oleh

pemohon, baik posita-nya, amar yang diminta, dan apa saja alat bukti

yang sudah dan akan diajukan untuk mendukung dalil-dalil yang

diajukan.

(3) Memastikan bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon

memang termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa dan mengadili, termasuk mengenai kejelasaan apakah

6 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia, cet pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 101

Page 6: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

20

perkara tersebut berkenaan dengan pengujian undang-undang secara

materil atau secara formil.

(4) Memastikan kualiatas kedudukan hukum atau legal standing

permohonan yang mengajukan permohonan memang menentukan

syarat menurut ketentuan Undang-undang.

(5) Memastikan bahwa permohonan perkara pengujian undang-undang

yang diajkan oleh pemohon itu memang sudah sesuai dengan ketentuan

UU No. 24 Tahun 2003 dan Peratuan Mahkamah Konstitusi No.

06/PMK/2005.7

Selain kelima hal tersebut, dalam pemeriksaan pendahuluan juga dilakukan

pemeriksaan terhadap alat bukti yang diajukan oleh pemohon dalam pemeriksaan

pada tahap-tahap selanjutnya. Jika pemohon mengajuka alat-alat bukti surat, perlu

dipastikan bahwa cara pemohon memperoleh alat bukti surat tersebut tidak

melanggar hukum dan diambil dari sumber yang resmi. Berkaitan dengan

pembukian tersebut Mahkamah Kosntitusi menganut prinsip adanya disclosure

(keterbukaan) dari pemohon, yang diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU MK tentang beracara,

baik keterbukaan tentang alat bukti yang dipunyainya dan keterbukaan buktinya kepada

Pemerintah, DPR maupun hakim MK sendiri.

Selanjutnya, apabila permohon bermaksud mengajukan saksi dan ahli dalam

rangka pembuktian atas dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan, maka panel

hakim perlu memastikan mengenai siapa, apa relevansinya dengan perkara, dan

berapa saksi dan/atau ahli yang diajukan. Pada pokoknya tidak semua saksi atau

ahli yang diajukan oleh pemohon dapat diterima untuk dihadirkan dalam

peridangan Mahkamah Konstitusi.

Setelah semua permasalahan yang diuraikan diatas telah dapat ditata maka perbaikan

permohonan yang disarankan hakim atau yang diinginkan pemohon serta kelengkapan

bukti-bukti lain telah dapat diajukan tanpa harus menunggu jangka waktu selambat-

lambatnya 14 hari seperti diatur dalam UU MK. Seusai pemeriksaan pendahuluan

mempersiapkan segala sesuatu untuk berlangsungnya sidang yang baik dan fair, panel

melaporkan seluruh persiapan yang telah dilakukan pada pleno sesuai dengan checking

list yang diuraikan diatas dan disertai dengan pendapat bahwa permohonan tersebut telah

siap untuk diperiksa dalam persidangan pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut akan

7 Jimly assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 106

Page 7: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

21

diuji oleh pleno dan jika ternyata masih terdapat kekurangan maka pemeriksaan

pendahuluan dapat dilakukan lagi.

Sidang pleno yang menjadi lanjutan pemeriksaan pendahuluan adalah satu sidang

yang harus ditentukan setelah pemeriksaan pendahuluan secara pasti menentukan bahwa

permohonan pemohon layak dan memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada pemeriksaan

persidangan dengan menghadirkan pemerintah dan DPR, dan kalau dipandang perlu juga

DPD.

2. Pemeriksaan persidangan

Dengan selesainya pemeriksaan pendahuluan, akan dilanjutkan dengan

pemeriksaan persidangan. Dalam hal ini pemeriksaan persidangan diatur dalam

Pasal 11 sampai dengan Pasal 15 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.

06/PMK/2009 yaitu sebagai berikut :

Dalam Pasal 11 menjelaskan

(1) Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan

dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan

Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok

permohonan.

(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Hakim wajib

memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk

melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu

paling lambat 14 (empat belas) hari.

(3) Nasihat sebagaimana dimaksud ayat (2) juga mencakup hal-hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.

(4) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan

jelas, dan/atau telah diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang

panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud

kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

(5) Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel

Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan

Page 8: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

22

memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan

Hakim untuk proses selanjutnya.

(6) Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat (5) termasuk pula

usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa

perkara dalam hal:

a. memiliki kesamaan pokok permohonan;

b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau;

c. pertimbangan atas permintaan Pemohon;

(7) Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah

mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah;

Dalam Pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) tersebut menjelaskan bahwa hakim

memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dan apabila pemohon

belum lengkap atau ada yang perlu diperbaiki, maka pemohon diberikan waktu 14

hari untuk melengkapi atau memprbaiki. Namun apabila permohonan telah lengkap

dan jelas, maka panitera menyampaikan salinan permohonan kepada Presiden,

DPR, dan Mahmamah Agung.

Bunyi Pasal 12 bahwa pemeriksaan persidangan tersebut dilakukan secara

terbuka untuk umum dan pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel

Hakim dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan

Hakim. Dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahmamah Konstitusi No

06/PMK/2005 menjelaskan bahwa pemeriksaan persidangan yang dimaksud dalam

pasal 12 adalah

1. pemeriksaan pokok permohonan;

2. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;

3. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;

4. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;

5. mendengarkan keterangan saksi;

6. mendengarkan keterangan ahli;

7. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;

Page 9: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

23

8. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau

peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan

petunjuk.

Dalam hal ini pemeriksaan alat bukti lain yang dimaksud yaitu berupa

informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik

dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Bahwa atas permintaan Hakim,

keterangan yang terkait dengan permohonan wajib disampaikan baik berupa

keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara elektronik, dalam jangka

waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan

dimaksud.

Berdasarkan pemeriksan tersebut diatas bahwa pemeriksaan persidangan dapat

dilakukan dengan persidangan jarak jauh (teleconference).Setelah pemeriksaan

persidangan dinyatakan selesai, pihak-pihak diberikan kesempatan menyampaikan

kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.

Dalam pemeriksaan persidangan dijelaskan mengenai mendengarkan

keterangan pihak terkait, bahwa pihak terkait tersebut adalah pihak yang

berkepentingan langsung (pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh

oleh pokok permohonan)atau tidak langsung dengan pokok permohonan.Pihak

Terkait dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan

dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam

keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau

DPD. Pihak terkait tersebut mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui

Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua

Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan diatas apabila dipandang perlu, pemeriksaan

persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh

Hakim Konstitusi yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera

Pengganti serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden/ Pemerintah, DPR, DPD,

dan Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan.

Page 10: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

24

4. HAL-HAL YANG HARUS DIPERTIMBANGAN DALAM MEMUTUS

PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

1. Pembuktian

Peradilan di Mahkamah Konstitusi adalah peradilan konstitusional tingkat

terakhir, artinya, tidak ada lagi upaya hukum diatasnya atau upaya hukum lain yang

dapat menganulir atau mengubah putusan final dan mengikat mahkamah konstitusi

tersebut.

Perselisihan yang menjadi perkara permohonan di depan Mahkamah Konstitusi

yang diajukan oleh pemohon dan di sangkal oleh termohon atau pemerintah dan DPR

maupun pihak terkait adalah merupakan rangkaian dalil dari pihak-pihak yang

berlawanan dan hal tersebut harus didukung oleh alat-alat bukti bukan sekedar

argumentasi.

Membuktikan adalah kewajiban pihak-pihak melalui alat-alat bukti yang

menimbulkan suatu tingkat kepercayaan atau keyakinan dalam pikiran hakim tentang

kebenaran suatu dalil mengenai fakta, kejadian, hak atas hukumnya.8 Prof. Subekti

menyatakan secara singkat bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang

kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persidangan.9 Bahwa

dalam hal ini para pihak berkewajiban untuk menyakinkan hakim terhadap dalil yang

dikemukankan dalam persidangan.

Meskipun tujuan hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah untuk memberi

kepastian akan kebenaran secara materiil adanya fakta, peristiwa dan hukum

sebagaimana didalilkan pemohon kebenaran materiil demikian pun tidak dapat

dikatakan mutlak. Yang diperoleh memang masih kebenaran yang ada dalam

kemungkinan paling besar karena sifat keyakinan hakim tetap subjektif.10 Akan tetapi,

dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi maka pembuktian

sepenuhnya berada pada hakim untuk menguji.

8 Op.cit.,maruarar siahaan, Hukum Acara Konstitusi Republik Indonesia, hlm 119 9 Subekti, 10 Op.cit.,maruarar siahaan, Hukum Acara Konstitusi Republik Indonesia, hlm 122

Page 11: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

25

Sehingga dari proses membuktikan itulah hakim dapat memperoleh keyakinan

tentang kebenaran fakta yang harus dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan

yang seadil-adilnya. Proses peradilan konstitusional jelas berbeda dari peradilan

pidana ataupun perdata. Baik proses peradilan perdata berkenaan tentang keperdataan

kepentingan orang-perorang atau satu badan hukum sedangkan pidana berkenaan

dengan kepidanaan yang berkaitan antara orang dengan Negara.

Adapun dalam perkara pengujian undang-undang, kedudukan hukum (legal

standing) menjadi bagian yang sangat penting dalam suatu perkara yang diperiksa oleh

Mahkahah Konstusi. Kedudukan hukum itu pula yang menjadi pintu masuk (entry-

point) suatu perkara konstitusi untuk dapat memasuki pokok permohonan, tetapi

substansi perkara yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah menyangkut undang-

undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and

abstract norms). Proses peradilan yang dilakukan dalam perkara pengujian undang-

undang berkaitan erat dengan kepentingan umum (public interst). Maka mau tidak

mau hakim konstitusi haruslah membuat keputusan berdasarkan pembuktian yang

benar-benar sangat mendalam.

Bahwa dalam pembuktian tersebut dikenal adanya beberapa prinsip teoritis

mengenai metode pembuktian, yaitu sebagai berikut:

a. Positive Wettelijk Bewijstheorie

Diaman pembuktian ini bersifat sangat formal, yaitu semata-mata

mengandalkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undan-undang. Diaman

dalam hal ini hakim cukup mengandalkan apa yang secara normatif telah

ditentukan sebagai alat bukti, dan tidak lagi memerlukan keyakinan para

hakim

b. Vrije Bewijstheorie Rasionee

Dalam metode ini proses pembuktian sangat mengandalkan keyakinan para

hakim, dimana hakim bebas untuk menilai dan mempertimbangkan alasan-

alasan dibalik keyakianan yang dianutnya dalam mengambil kesimpulan

Vrije bewijs. Hakim bebas menemukan sendiri kebenaran di balik alat-alat

bukti yang tersedia

c. La Concentive Rasionee

Dalam metode ini para hakim tetap mempertahankan pembuktian yang

bersifat positif berdasarkan undang-undang, akan tetapi keyakinan-

keyakinan bebas para hakim juga dianggap menentukan sampai kepada

batas tertentu. Alasan yang dimaksud adalah alasan yang logis sebagai

kriteria pembatas atas kebebasan para hakim menerapkan keyakinannya

sendiri.

d. Negative Wettelijk Bewijstheorie

Page 12: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

26

Dalam pembuktian menggunakan keyakinan hakim namum dalam

keyakinan tersebut didasarkan kepada norma-norma undang-undang yang

mengatur secara limitatif mengenai pembuktian tersebut yang diikuti

dengan keyakinan untuk menarik konklusi dan keputusan yang dianggap

adil atas pembuktian perkara yang bersangkutan.11

Berkaitan dengan metode diatas, dalam proses pembuktian yang dilakukan oleh

hakim Konstitusi lebih condong kepada metode Negative Wettelijk Bewijstheorie yang

di dalam proses pembuktian tersebut, hakim memutus perkara berdasarkan keyakinan

hakim yang disertai dengan adanya alat bukti, sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 45

ayat (1) menjelaskan bawah Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat

bukti dan keyakinan hakim, yang kemudian dipertegas dalam ayat (2) bahwa Putusan

Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

2. Alat bukti

Berdasarkan dalam prinsip pembuktian yang dijelaskan diatas yaitu digunakan

untuk keyakinan hakim , maka Alat bukti yang digunakan untuk keyakinan hakim

mahkamah konstitusi sesuai 36 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi dalam persidangan yaitu terdapat enam alat bukti yang sah yang dapat

dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa

dan memutuskan setiap perkara kosntitusi yang dimohonkan kepadanya, alat bukti

yang disebut dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

a. Surat atau tulian;

Yang dimaksud dengan alat bukti surat atau tulisan adalah dokumen

yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang tertuang di

atas kertas, ataupun bahan-bahan lainya yang bukan kertas.12 Salah satu

bentuk bukti tertulis tersebut adalah dokumen resmi yang berkaitan dengan

pengujian tersebut. Sifat resminya suatu dokumen peraturan perundang-

11 Op.cit., Jimly assiddiqie, hlm 146-147 12 Ibid, hlm 151

Page 13: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

27

undangan sebagai alat bukti terletak pada sumber referensinya dan pada

cara penyajian dalam persidangan.

Dalam huruf (f) ketentuan pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003

menyebutkan pula bahwa jenis alat bukti lain yang berupa informasi yang

diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan

alat optik atau yang serupa dengan itu. Sekiranya informasi yang dimaksud

berupa tulisan yang tersimpan di dunia maya internet, maka hal itu pula

disebut sebagai bukti surat yang sewaktu-waktu dapat di-printout ke dalam

kertas. Dari segi bentuknya tidak dapat dihindari bahwa dokumen dimaksu

adalah juga dokumen tuilisan, hanya saja medianya berbeda.

b. Keterangan saksi

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan

tersebut ia alami, didengar, dan dilihat sendiri. Dugaan, pendapat,

anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak disebut

debgai keterangan saksi. Dalam Pasal 38 UU Mahkamah Konstitusi

dinyatakan bahwa para pihak, saksi dan ahli wajib hadir memenuhi

panggilan Mahkamah Konstitusi. Panggilan tersebut harus sudah diterima

dalam jangka waktu paling lambat 3 hari sebelum masa persidangan.

Pada Pasal 38 ayat 1 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menerangkan bahwa para pihak, saksi dan ahli wajib hadir

memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya pada ayat 4

ditegaskan pula bahwa jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipu

dan telah dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi

dapat meminta bantuan kepada kepolisan untuk menghadirkan saksi

tersebut secara paksa.

Dalam hal permohonan pengujian Undang-Undang, dalam praktiknya

saksi dan ahli di hadirkan oleh pemohon, namun dalam acara Konstitusi,

Mahkamah Konstitusilah yang memiliki peran untuk menghadirkan saksi

dan ahli sebagai konsekuensi asa hukum acara Mahkamah Konstitusi

dimana hakim menacari kebenaran materiil dan bersifat aktif.

Page 14: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

28

Dalam peridangan Mahkamah Konstitusi saksi wajib memberikan

kesaksiannya berkaitan dengan perkara yang dimohonkan oleh pemohon.

Sehingga jika saksi menolak memberikan keterangan setelah ia dipanggil

dan dimintai keteragan dengan patut, maka yang bersangkutan dapat

diniali telah melakukan penghianaan terhadap pengadialan (contempt of

court).

c. Keterangan ahli

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, keterangan ahli adalah

keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu

hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.13

Yang dalam pemberian kesaksian diperlukan, jika pengetahuan

ilmiah,teknis, atau pengetahuan khusus lainnya dapat membantu

pengadilan menilai bukti atau fakta yang sedang diperiksa, seorang saksi

yang mempunyai kualifikasi sebagai ahli karena pengetahuan,

keterampilan, pengalaman, pelatihan, atau pendidikan, dapat diminta

untuk menilai hal itu. Penilaian itu dapat berupa pendapat atau bentuk

lainnya, sepanjang kesaksian itu:

1. Didaftarkan atas fakta atau data yang cukup;

2. Meruapakan hasil dari perinsip-perinsip dan metode yang

terpercaya;

3. Saksi yang bersangkutan telah menerapkan prinsip-prinsip dan

metode yang memang terpercaya terhadap fakta-fakta yang

terkait dengan perkara yang bersangkutan.14

Dalam praktik pihak yang mengajukan keterangan ahli untuk di

dengar keterangannya di depan persidangan, terlebih dahulu diminta

mengajukan daftar calon ahli dimaksud disertai curriculum vitae-nya yang

akan digunakan Mahkamah Konstitusi untuk menilai bidang keahlian yang

13Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet.pertama, edisi keenam, liberty, hlm. 188 14 Op. cit.,Jimly assiddiqie, hlm 162

Page 15: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

29

dimiliki serta menurut Mahkamah Konstitusi wajar untuk didengar

keterangannya.15

Pendapat ahli ini ditentukan haruslah didasarkan atas fakta atau data

mengenai sesuatu hal tertentu. Atas dasar fakta-fakta atau data itulah

(inferensi) atau pandangannya (opinion), mengenai suatu fakata yang telah

di ketahuinya, baik sejak sebelum persidangan ataupun sesuatu yang baru

diberitahukan kepadanya dalam persidangan. Dalam praktik persidangan

di Mahkamah Konstitusi, para saksi fakta kadang-kadang memang sulit

menghindar untuk tidak menyampaikan pendapat aau opini yang berisi

persepsi saksi sendiri mengenai sesuatu peristiwa atau sesuatu fakta.

Sehingga diberbagai Negara, keteragan ahli juga di golongkan sebagai sah

satu kesaksian, yaitu saksi ahli (expert witness). Di Negara-negara yang megikuti

tradisi hukum common law, sebenarnya, bukti pendapat ini pada dasarnya tidaklah

dapat diterima. Seorang saksi juga tidak diperkenankan menyampaikan pendapat

mengenai sessuatu yang menjadi kewenangan hakim untuk memutusnya. Inilah

yang biasa disebut dengan ultimate issue, yaitu mengenai persoalan yang memang

harus diputuskan oleh pengadilan (the question that the court had to deside). UU

No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jelas membedakan antara

keterangan saksi dan keterangan ahli. Ahli adalah ahli, bukan saksi ahli.

Oleh karena itu, dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi, ahli tidak boleh

disebut sebagai saksi ahli, melainkan ahli saja, yaitu orang yang diperlukan

keterangannnya dalam persidangan untuk memberikan informasi menurut bidang

keahlian yang diketahuinya. Keterangannya itu diperlukan dalam rangka proses

pembuktian perkara pengujian undang-undang yangs sedang diperiksa oleh

mahkamah konstitusi.

15PMK No. 01/PMK/2005 memberikan definisi mengenai keterangan ahli yang lebh rinci, yaitu “keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang karena pendidikan dan/atau pengalamannya memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam yang berkaitan dengan permohonan,berupa pendapat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu alat bukti atau fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan permohonan”. Lihat Mahkamah Konstitusi (a) Pasal 1 angka 13.

Page 16: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

30

d. Keterangan yang diperlukan

Dalam praktik dipersidangan Mahkamah Konstitusi, biasanya pihak-pihak

mengajukan ahli dalam berbagai bidang untuk didengar dalam persindangan.

Mereka dapat diajukan oleh pemohon, oleh pemerintah,atau oleh pihak terkait

yang kepentingannya lngsung terkait dengan materi perkara. Jika undang-undang

yang diuji berkenaan dengan materi yang komplek dan menuntut pengetahuan

yang multi atau lintas disiplin, kadang-kadang oleh pihak-pihak diajukan para

ahli dari masing-masing bidang yang diperlukan. Biasanya ahli yang diajukan

untuk memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi meliputi:

1. Ahli di bidang ilmu hukum, di bidang hukum HTN

2. Ahli di bidang hukum selain darii hukum selain dari hukum tata Negara

yang beritan dengan meteri undang-undang yang diuji

3. Ahli diluar bidang hukum yang berkaitan dengan substansi undang-

undang yang sedang diuji.

4. Ahli lainnya dari bidang-bidang yang bersifat menunjang dalam proses

pembuktian terhadap substansi yang sedang diuji.16

Seperti halnya untuk saksi, dalam pengujian undang undang, pihak-pihak

yang dapat mempunyai kepentingan untuk mengajukan ahlli dalam rangka

pembutian adalah:

1. Pihak Pemohon

2. Pihak Pemerintah yang bertindak sebagai lembaga co-pembentuk

undang-undang (co-legisltor) bersama dengan DPR dan DPD

3. Pihak lembaga Negara teraik yang mempunyai kepentingan langsung

sebagai pelaksana undang-undang yang diuji

4. Pihak terkait lainnya yang mempunyai kepentingan yang langsung

terkait dengan pokok permohonan pengujian yang dajukan oleh

pemohon

5. Majelis hakim sendiri juga memanggil ahli untuk didengar

keterangannya dalam persidangan.

e. Keterangan Para Pihak

Pihak yang terlibat langsung dalam perkara pengujian undang-undang adalah;

1. Pemohon;

2. Pemerintah;

3. Dewan Perwakilan Ratkyat;

4. Dewan Perwakilan Daerah (Fakultatif);

16 Op. cit., Jimly assiddiqie, hlm 165

Page 17: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

31

5. Lembaga Negara yang terkait langsung sebagai pelaksana undang-

undang yang bersangkutan;

6. Pihak-pihak lain di luar orga Negara yang mempunyai kepentingan yang

terkait langsung ataupun tidak langsung denan undang-undang

bersangkutan.17

Apabila diperlukan, Mahkamah Konstitusi juga dapat memanggil pihak lain,

baik lembaga Negara ataupun bukan, untuk didengar keterangannya mengenai

materi perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan. Bahkan, bila

diperlukan, Mahkamah Konstitusi juga dapat memanggil MPR untuk

dimintakan keterangan berkaitan dengan Undang-Undang Dasar.

f. Petunjuk;18

Dalam Ned. Rv di negeri Belanda, alat bukti petunjuk diubah menjadi alat

bukti pengamatan yang oleh hakim di Indonesia kemudian ditiru juga dalam

rangka Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung,19 yang di

maksud dengan pengamatan oleh hakim ini (eigen waarneming van de rechter)

adalah pengamatan yang terbuka untuk umum. Artinya, pengamatan oleh hakim

sebelum pemeriksaan persidangan tidak boleh di jadikan dasar untuk membuat

kesimpulan dan keputusan, kecuali jika hal-hal yang dimaksud memang telah

menjadi pengetahuan umum atau mengenai hal-hal ang memang sudah diketahui

oleh umum.

Akan tetapi, Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP tetap

menganut pandangan bahwa petunjuk dpat dijadikan alat bukti. Dalam Pasal 188

ayat (1) menerangan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,

yang karena persesuaiannya, baik atara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak

pidana dan siapa pelakunya. Hal tersebut diikuti pula oleh UU No.24 Tahun

2003 tentang Mahkmah Konstitusi yang mencantumkan petunjuk sebagai alat

17 Ibid, hlm 168 18Dalam penjelasan ayat (1) huruf e UU No. 24 Tahun 2003, dinyatakan bahwa petunjuk yang dimaksud dalam

ketentuan ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan barang bukti. Lihat TLN RI Nomor 4316 19Undang-undang tentang susunan kekuasaan dan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Undang-undang No.1

Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, LN NO.30

Page 18: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

32

bukti yang kelima dalam pasal 36 ayat (1) huruf e. dimana bukti peunjuk tersebut

mau tidak mau harus dianggap berlaku dengan proses pembuktian dalam perkara

pengujian undang-undang.

g. Bukti elektronik

Alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan

secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Sebagaimana

dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf f UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkmah Konstitusi. Alat bukti elektronik merupakan sesuatu yang masih

tergolong baru, namun demikian sebenarnya semua isi media elektronik ini sama

saja dengan alat bukti surat maupun dokumen yang berisi tulisan atau hal-hal

yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang tertuang diatas

kertas, ataupun bahan-bahan lainnya yang bukan kertas. Oleh karena itu, bukti

elektronik tersebut sebenarnya memang dapat saja disebut tersendiri, tetapi dapat

pula dianggap bagian atau salah satu bentuk media dari alat bukti surat.

3. Hal yang perlu dipertimbangkan oleh Hakim

Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua aspek undang-undang yang

dipersoalkan, yaitu mengenai materi undang-undang dan/atau mengenai pembentukan

dan hal-hal selain soal materi undang-undang. Yaitu mengenai materi undang-undang

dan/atau mengenai pembentukan dan hal-hal selain soal materi undang-undang.

Persoalan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum

pemohon (legal standing),20dan mengenai keberwenangan Mahkamah Konstitusi

sendiri dalam memeriksa dan mengadili permohonan yang diajukan. Dimana

persoalan tersebut dapat dirinci sebagai berikut;21

a. Berkewenangan Mahkamah Konstitusi

Pembuktian pertama yang perlu dilakukan melalui persidangan

panel Mahkamah Kosntitusi adalah persoalan kewenangan Mahkamah

Kosntitusi sendiri untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian

undang-undang yang diajukan oleh pemohon.

20Jimly assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 143 21Ibid, hlm 143

Page 19: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

33

b. Kedudukan Hukum Pemohon

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan

permohonan untuk beracara di Mahkamah Konstitusi untuk pengujian

undang-undang terhadap UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1)

Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang bunyinya sebagai berikut

“pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

1) Perorangan warga Negara Indonesia;

2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjan masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-

undang;

3) Badan hukum publik atau prifat; atau

4) Lembaga Negara.”

c. Konstitusionalitas materiil

Untuk membuktikan sifat kosntitusionalitas atau

inkonstitusionalitas materi suatu undang-undang perlu diuji pembuktian

mengenai ayat, pasal tertentu dan/atau bagian undang-undang saja dengan

konsekuensi hanya bagian, ayat dan pasal tertentu saja yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak mempunyai

kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal

dan bagian tertentu dari undang-undang yang bersangkutan.

d. Konstitusionalitas Formil

Untuk membuktikan konstitusionalitas undang-undang secara

formil, perlu dihimpun bukti-bukti mengenai proses pembentukan undang-

undang yang bersangkutan, dan hal-hal lain soal meteri undang-undang.

Disamping itu pula ada hal-hal tersebut yang tidak perlu dibuktikan atau

yang biasa dikenal sebagai pengetahuan umum atau notoire feiten22,

diamana hal tersebut telah menjadi pengetahuan hakim sendiri atau hal

yang memang hakim sendiri tau hukumnya.

22Ibid, hlm 146

Page 20: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

34

B. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

1.HASIL PENELIAN

a. GAMBARAN KASUS PERMOHONAN PRAPERADILAN OLEH PEMOHON

BACHTIAR ABDUL FATAH

Bachtiar abdul fatah adalah tersangka dalam kasus korupsi bioremidiasi PT

Chevron Pasific Indonesia. Ia di tetapkan sebagai tersangka pada tanggal 12 maret 2012

atas kerugikan Negara sebesar US$ 270 juta di Kejaksaan Agung. Atas penetapannya

tersebut sebagai tersangka, ia mengajukan gugatan praperadilan di pengadilan Jakarta

selatan yang kemudian oleh hakim Suko Harsono pada tanggal 27 november 2012

dengan keluarnya putusan praperadilan Jakarta Selatan No:38/Pid.Prap/2012/PN.JKT-

Selatan tersebut memutuskan bahwa penetapan tersangka Bachtiar Abdul Fatah tidak

sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, dalam pertimbangannya hakim

Harsono memberi pertimbangan bahwa penahanan yang dilakukan termohon tidak

berdasarkan alat bukti yang cukup. Seluruh bukti termohon dinilai tidak dapat

membuktikan tentang adanya minimal dua alat bukti yang dapat dijadikan dasar untuk

menetapkan pemohon sebagai tersangka dan kemudian menahannya. Dan juga meminta

Kejaksaan Agung untuk memulihkan harkat martabat Bachtiar Abdul Fatah selaku

pemohon.

Terkait diterimanya permohonan praperadilan yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah,

Kejaksaan Agung mengajukan banding ke Pengladilan Tinggi, namun memori banding

tersebut ditolak karena setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-

IX/2011, sehingga ketentuan banding dalam praperadilan sudah tidak dikenal lagi.

Kemudian Jampidsus Andhi Nirwanton melayangkan surat permohonan ke

Mahkamah Agung. Kemudian pada tanggal 21 Maret 2013 Badan Pengawas Mahkamah

Agung mengeluarkan Surat Nomor:316/BP/Eks/03/2013 yang membatalkan putusan

hakim Suko Harsono. Mahkamah Agung menilai bahwa Suko Harsono melanggar batas

kewenangan dengan memutuskan soal penetapan tersangka. Bahwa penetapan

tersangka bukanlah obyek dari praperadilan, dan juga tak mungkin praperadilan mampu

Page 21: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

35

membuktikan seorang sah sebagai tersangka atau tidak. Pembuktian tersangka haruslah

melalui proses yang Panjang dengan pemeriksaan seluruh saksi dan bukti. Dan tahap

tersebut hanya mungkin dilakukan dan memang menjadi kewenangan pengadilan

namun bukan praperadilan.

Atas pembatalan putusan praperadilan oleh Mahkamah Agung tersebut pada

tanggal 17 februari 2014 Bachtiar Abdul Fatah melakukan uji materi mengenai

praperadilan berkaitan dengan Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan mengenai obyek

praperadilan yaitu tentang :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

b. penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan;

c. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan

b. PERMOHONAN PENGUJIAN TERHADAP PERKARA PRAPERADILAN

1.1 PERMOHONAN

Permohonan pengujian terhadap Pasal 1 angka 14, 17 dan Pasal 21 ayat (1) dan

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Yang

dalam kasus tersebut selaku pemohon pengajuan uji materi tersebut adalah:

Nama : Bahctiar Abdul Fatah

Pekerjaan : Karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia

Alamat : Komplek Merapi Nomor 85, RT. 01, RW. 03, Desa Pematang Pudu,

Kecamatan Mandau, Bengkalis, Riau

1.2 DUDUK PERKARA

Dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana pemohonnya adalah Bahtiar

Abdul Fatah berkewarganegaraan Indonesia yang mengajukan permohonan tentang

pengujian Pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana atau biasa disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Page 22: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

36

(KUHAP) berkaitan dengan obyek praperadilan. Dimana pokok-pokok dari

permohonan tersebut adalah:

1. Bahwa frasa dan guna menentukan tersangkanya dalam Pasal 1 ayat (2)

KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karna

menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip

due process of law serta melanggar hak atas kepastian hukum yang adil;

2. Bahwa frasa “bukti permulaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka

14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana disebut dalam pasal

17 KUHAP yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidak

pastian hukum, khusus berkenaan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi

oleh penyidik sebelum menyatakan seseorang menjadi tersangka atau sebelum

menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang;

3. Bahwa frasa “melakukan tindak pidana” dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP

adalah multi tafsir dan menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidak adilan

karna jumlah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih

sangat banyak jumlahnya. Dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang

menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” dalam Pasal 21

ayat (1) KUHAP, ukuran, standar, atau parameternya tidak ditemukan

jawabannya dalam ketentuan norma Pasal 21 ayat (1) KUHAP maupun dalam

penjelasan atas pasal tersebut. Pemaknaan sepenuhnya diserahkan kepada

penyidik. Oleh karena itu, frasa tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat

(3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;

4. Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang

terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidak sahnya

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan,

jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi tersangka

sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, oleh

karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal

28I ayat (5) UUD 1945;

5. Bahwa frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterimanya atau hakim berpendapat

hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang

Page 23: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

37

dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian

bagi terdakwa yang melakukan banding atas putusan sela yang menolak

eksepsi terdakwa karna berdasara pasal 156 ayat (2) KUHAP maka hakim

yang memeriksa perkara tersebut dapat tetap melanjutkan pemeriksaan

terhadap pokok perkara walaupun terdakwa melakukan banding ke

Pengadilan Tinggi. Hal itu tidak sesuai dengan perinsip due process of law

yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5)

UUD 1945.

Bahwa permasalahan utama pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 1

angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156

ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya disebut KUHAP) yang

menyatakan;

Pasal 1 Angka 2 KUHAP

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya”

Pasal 1 angka 14 KUHAP “Tersangka adalah seorang yang karna perbuatannya

atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak

pidana”

Pasal 17 KUHAP“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga

keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”

Pasal 21 ayat (1) KUHAP “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan

Page 24: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

38

kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”

Pasal 77 Huruf a KUHAP “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan

memutus,sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah

atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan”

Pasal 156 ayat (2) KUHAP “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima,

maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau

hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka

sidang dilanjutkan”

Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

Hukum”

Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi

manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yag demokratis, maka pelaksanaan hak

asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap

orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis”

1.3 PERMOHONAN

Page 25: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

39

Berdasarkan permohonan yang telah disampaikan oleh Bachtiar Abdul Fatah,

pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk

memeberikan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya

2. Menyatakan frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2

KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally

unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

tidak dimaknai “tidak berdasarkan hasil penyelidikan tersebut untuk kemudian

dapat menemukan tersangkanya”

3. Menyatakan frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP

bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally

unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”

4. Menyatakan frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP

bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally

unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”

5. Menyatakan frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa ‘dalam hal adanya

keadaan yang kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” dalam Pasal 21

ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

6. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara

bersyarat secara bersyarat conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau

tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.

7. Menyatakan frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat

hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan maka sidang

dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Acara Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Page 26: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

40

c. PUTUSAN

Atas pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan

pemohon untuk sebagian yaitu:

1. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran

Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”,

“bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti

yang termuat dalam pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana.

2. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran

Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,

dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

3. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan

tersangaka, penggeledahan, dan penyitaan.

4. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum

Page 27: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

41

mengikat tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan

penyitaan

d. PERTIMBANGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Dari permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan

sebagai berikut:

1. Bahwa terhadap pengujian frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam

Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I Pasal 1 tentang

Ketentuan Umum yang mengatur tentang pengertian Penyidikan yang

menyatakan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang daitur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan tersangkanya" Adapun frasa "dan guna

menemukan tersangkanya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan

oleh Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah dipenuhi oleh pasal

tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu

proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik

menemukan tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta merta

penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti

sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur

bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal tersebut sudah jelas

dan tidak perlu ditafsirkan.

Menurut Mahkamah, norma tersebut sudah tepat karena memberikan

kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan

ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu, harus melalui proses atau

rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang dengan

bukti tersebut penyidik menemukan tersangkanya, bukan secara subjektif

Page 28: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

42

penyidik menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti. Dengan demikian,

menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

2. Bahwa terhadap pengujian frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang

cukup", dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka

14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat

(3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, Mahkamah

mempertimbangkan sebagai berikut:

a. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah

negara hukum. Gagasan negara hukum sebagai prinsip umum yang dianut

dalam penyelenggaraan negara yang antara lain, bercirikan prinsip due

process of law yang dijamin secara konstitusional. Sejalan dengan hal

tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum.

b. Bahwa asas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak

asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus

dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga

penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana

dengan memberikan posisi yang sama, termasuk dalam proses peradilan

pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam

mempertahankan hak-haknya secara seimbang.

c. Negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu

prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan

demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk

menghormatinya. Bahkan secara konstitusional, ketentuan konstitusional

tentang HAM tersebut dalam perspektif historis-filosofis dalam

pembentukan negara dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab (vide

Pembukaan UUD 1945), Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk

memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan

Page 29: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

43

terhadap HAM (vide Pasal 281 ayat (4) UUD 1945). Prinsip sebagaimana

diuraikan di atas, melahirkan suatu prinsip yang lain, yaitu bahwa proses

peradilan dalam perkara pidana harus sampai pada kebenaran materiil,

suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Dari

prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan pidana,

yaitu, lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada

menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah. Di dalam

ungkapan tersebut terdapat makna yang dalam, bahwa ketika pengadilan

menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan karena itu

dijatuhi pidana haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta hukum

yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Kalau tidak demikian maka akan

terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar HAM,

padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru harus

melindungi HAM (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945);

d. Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai

prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM

dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan

(vide Pasal 281 ayat (5) UUD 1945). Hukum acara pidana merupakan

salah satu implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai

ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula

dengan salah satu prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due

process of law;

e. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di

Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai

pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun

demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan

agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum

dalam hukum pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-

wenang penyelidik maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”,

“bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)

Page 30: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

44

KUHAP. Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai

batasan jumlah dari frasa “bukti permulaan", "bukti permulaan yang

cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yaitu

minimal dua alat bukti, seperti ditentukan dalam Pasal 44 ayat (2) yang

menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila

telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, ... dst”. Satu-

satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal

183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti... dst;

Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,

menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta

memenuhi asas lex ceria dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka

frasa "bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang

cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan

Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan

pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang

penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in

absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya

dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan

pemeriksaan calon tersangka.

Bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon

tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk

tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum

seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan

yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh

penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang

Page 31: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

45

penyidik di dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang

cukup”, dan “bukti yang cukup" sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1

angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya

tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan

yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di

dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Dengan uraian pertimbangan

tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo beralasan menurut

hukum;

3. Bahwa terhadap pengujian frasa "melakukan tindak pidana" dan frasa “dalam

hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau

terdakwa” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat

(3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, frasa tersebut pernah

diuji dan diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 018/PUU- lV/2006,

bertanggal 19 Desember 2006, yang amarnya menyatakan menolak permohonan

Pemohon.

Menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor

018/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, telah mempertimbangkan

maksud dan tujuan dari Pasal 21 KUHAP, antara lain:

"... bahwa dalam hukum acara pidana tercerminkan penggunaan kekuasaan

negara pada proses penyelidikan, penyidikan, di mana penggunaan kewenangan

tersebut akan berakibat langsung kepada hak-hak warga negara. Penahanan

merupakan tindakan yang diperlukan dalam proses penegakan hukum meskipun

dalam penahanan itu sendiri terdapat pembatasan tehadap hak asasi manusia.

Oleh karena itu, penahanan haruslah diatur dengan undang-undang yang di

dalamnya ditentukan tata cara serta syarat-syarat yang jelas. Hal demikian

dilakukan untuk seminimal mungkin menghindari pelanggaran hak asasi

manusia. Perubahan Hukum Acara Pidana dari HIR kepada KUHAP,

dimaksudkan untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi

manusia. Sebagaimana halnya dengan hukum acara pidana di negara lain,

penahanan adalah hal yang tetap diperlukan dalam acara pidana. Oleh karena itu

Page 32: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

46

tidaklah mungkin dikeluarkannya penahanan dari ketentuan hukum acara

pidana. Keberadaan penahanan dalam hukum acara pidana merupakan suatu hal

menyakitkan tetapi diperlukan (a necessary evil). Usaha untuk meminimalisasi

pelanggaran hak asasi manusia dalam penahanan dilakukan dengan banyak cara

di antaranya dengan menetapkan syarat-syarat penahanan serta menetapkan

alasan penahanan dan dengan memberikan upaya hukum kepada seseorang yang

terhadapnya dikenai penahanan...;

.... dengan adanya Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP, hal tersebut

haruslah dimaknai sebagai usaha untuk memberi dasar hukum bagi penahanan

sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi penggunaan kewenangan yang

berlebihan dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penahanan ...;

... penahanan oleh penyidik atau penuntut umum harus didasarkan atas

pertimbangan yang cukup rasional dan tidak dengan serta merta saja dilakukan

penahanan yang hanya didasari keinginan subjektif semata dari penyidik atau

penuntut umum ...;

... keberadaan Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak dapat dilepaskan dengan

adanya Pasal 77 KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP dari aspek norma cukup

untuk mempertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan umum untuk

menegakkan ketertiban, serta kepentingan individu yang harus dilindungi hak

asasinya, hal demikian diperkuat lagi dengan adanya pranata praperadilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP...

Oleh karena itu, pertimbangan putusan tersebut mutatis mutandis berlaku

pula untuk permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah

dalil Pemohon dalam permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum;

4. Bahwa terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan

dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945

apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka,

penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat, Mahkamah berpendapat:

4.1 Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai

berikut:

a. Sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraf 2 bahwa

Page 33: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

47

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu

perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana

menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi

lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut

terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah

hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana,

khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam

mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara

terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM (vide Pasal 281

ayat (4) UUD 1945). KUHAP sebagai hukum formil dalam proses

peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak

tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan

pelanggaran hak asasi manusia;

b. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi

terciptanya tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang

dirumuskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, yaitu, membentuk suatu

pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan

perdamaian abadi dan keadilan sosial. Rakyat Indonesia harus merasa

aman dari berbagai ancaman dan bahaya yang datang, rasa aman yang

diberikan oleh negara kepada rakyat tidak hanya ditujukan bagi mereka

yang benar saja, akan tetapi bagi mereka yang melakukan kesalahan

ataupun bagi mereka yang diduga melakukan kesalahan juga berhak

memperoleh jaminan rasa aman terhadap diri mereka.

Page 34: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

48

c. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau

terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat,

martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam rangka

melindungi hak tersangka atau terdakwa, KUHAP memberikan

mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang

penyidik atau penuntut umum melalui pranata praperadilan.

d. Berkenaan dengan kebebasan seseorang dari tindakan penyidik,

International Covenant on Civil and Political Rights yang telah

diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights

(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) menyatakan

dalam Article 9:

1. “Everyone has the right to liberty and security of person. No one

shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be

deprived of his liberty except on such grounds and in accordance

with such procedure as are established by law.

2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of

the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any

charges against him.

3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be

brought promptly before a judge or other officer authorized by law

to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a

reasonable time or to release. It shall not be the general rule that

persons awaiting trial shall be detained in custody, but release

may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage

of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for

execution of the judgment

4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall

be entitled to take proceedings before a court, in order that that

court may decide without delay on the lawfulness of his detention

Page 35: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

49

and order his release if the detention is not lawful.

5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention

shall have an enforceable right to compensation”.

Terjemah:

1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak

ada yang harus mengalami penangkapan sewenang-wenang atau

penahanan. Tidak seorang pun dapat dirampas nya kebebasan

kecuali atas dasar tersebut dan sesuai dengan prosedur seperti

yang ditetapkan oleh hukum.

2. Siapa pun yang ditangkap harus diberitahu, pada saat

penangkapan, dari alasan penangkapan dan harus segera

diberitahu tentang biaya apapun terhadap dirinya.

3. Siapa pun yang ditangkap atau ditahan atas tuduhan pidana harus

dibawa segera sebelum seorang hakim atau pejabat lain yang

berwenang oleh hukum untuk berolahraga kekuasaan kehakiman

dan berhak ke pengadilan dalam waktu yang wajar atau

melepaskan. Ini tidak akan menjadi aturan umum bahwa orang

yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat

diberikan atas dasar jaminan untuk tampil untuk sidang, pada

setiap tahap dari proses peradilan, dan, harus kesempatan

muncul, untuk eksekusi putusan.

4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara

penangkapan atau penahanan harus berhak untuk disidangkan di

depan pengadilan, agar pengadilan dapat memutuskan tanpa

penundaan tentang keabsahan penahanan dan perintahnya nya

melepaskan bila penahanan tidak sah.

5. Siapapun yang telah menjadi korban dari penangkapan yang

tidak sah atau penahanan harus memiliki hak untuk mendapatkan

kompensasi

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, pertanyaan yang harus dijawab

oleh Mahkamah adalah apakah selain yang ditetapkan dalam Pasal 77

Page 36: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

50

huruf a KUHAP seperti penetapan tersangka dapat dijadikan objek

praperadilan?

f. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa

praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus:

1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang

berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;

2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya

hukum dan keadilan dan;

3) permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan

g. KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan

penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal

mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak

menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang

diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat. Contoh mekanisme

pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti dapat dilihat dalam

kasus Dominique Straus Kahn yang dituduh melakukan perkosaan

terhadap Nafissatou Diailo di Hotel Manhattan New York pada tahun

2011. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada Agustus 2011 di

Magistrates Court New York, setelah adanya keraguan terhadap

kredibilitas saksi korban, termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten

tentang apa yang terjadi.

Hal yang melatarbelakangi alat bukti harus diuji keabsahan

perolehannya. Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga

prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan

perolehan alat bukti, yaitu: Pertama, rights protection by the state. Hak

tersebut lahir karena terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik

dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan melanggar hak asasi

Page 37: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

51

calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan atau

mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu

mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan

memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara

sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau

pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah,

akan mencegah/menghalangi para penyidik maupun penuntut umum

mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang.

Apabila hakim secara rutin mengecualikan/mengesampingkan alat

bukti yang didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan

yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada

manfaat yang bisa diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi

dari aparat untuk melanggar hukum akan menurun drastis. Ketiga, the

legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu

sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem

hukum atau sistem peradilannya.

Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan

penuntut umum dalam menyajikan alat bukti yang didapat secara tidak

sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan

masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya. [Paul Roberts and

Adrian Zuckerman, Criminal Evidence. (New York: Oxford University

Press Inc, reprinted 2008), hal. 149-159]. Dengan demikian, terlihat

bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due

process of law secara utuh, oleh karena tindakan aparat penegak hukum

dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan

pengujian keabsahan perolehannya.

h. Bahwa hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk

pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan

hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia,

sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai

Page 38: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

52

bagian dari mahakarya KUHAP. Namun demikian, dalam perjalanannya

ternyata lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal

karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses

pra-ajudikasi. Fungsi pengawasan yang diperankan pranata praperadilan

hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan

pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif,

sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal itu justru

menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat

formal dan sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat

keberadaan pranata praperadilan.

i. Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan

tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan

masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional

dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan

penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah

mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu

bentuknya adalah "penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan

oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada

seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang

tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa

tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk

menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka

tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan

kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin

kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan

menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna (Shidarta, 2013:

207-214). Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang

teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi

tersangka.

j. Bahwa untuk memenuhi maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan

dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan

Page 39: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

53

perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam

pemeriksaan penyidikan dan penuntutan (vide pertimbangan hukum

Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei

2012, juncto putusan Mahkamah Nomor 78/PUU-XI/2013, bertanggal

20 Februari 2014), serta dengan memperhatikan nilai-nilai hak asasi

manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang

termaktub dalam Bab XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik

yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah

melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada

pranata praperadilan, meskipun hal tersebut dibatasi secara limitatif oleh

ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal,

penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di

dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari

penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Bahwa

Pasal 77 huruf a KUHAP salah satunya mengatur tentang sah atau tidak

sahnya penghentian penyidikan. Sementara itu, penyidikan itu sendiri

menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.

k. Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan

benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun

permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal

dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka

memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah

dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD

1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah

bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak

Page 40: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

54

asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik

merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar

hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi

seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan

besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka,

padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata

lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.

Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian

diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak

menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat

dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku

secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka

sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap

seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai

manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama

di hadapan hukum.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil

Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili

oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum;

4.2 Sepanjang menyangkut penggeledahan dan penyitaan, Mahkamah dalam

Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, yang mengadili

dalam kaitannya dengan Pasal 83 ayat (2) KUHAP, antara lain,

mempertimbangkan, "... Salah satu pengaturan kedudukan yang sama di

hadapan hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut adalah adanya sistem

praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan

tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam

melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan,

penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik yang

disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau pun

tidak. Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi

dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak

Page 41: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

55

asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan

dan penuntutan. Dengan demikian dibuatnya sistem praperadilan yang diatur

dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah untuk kepentingan

pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam

pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Kehadiran

KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan

masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan

penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan

terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela

kepentingannya di dalam proses hukum...”

Dengan pertimbangan di atas, secara implisit Mahkamah

sesungguhnya sudah menyatakan pendapatnya bahwa penggeledahan dan

penyitaan merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap

kemungkinan tindakan sewenang- wenang dari penyidik atau penuntut

umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan. Oleh

karena itu, permohonan Pemohon mengenai penggeledahan dan penyitaan

beralasan menurut hukum;

4.3 Adapun mengenai pemeriksaan surat seperti yang didalilkan Pemohon agar

masuk dalam ruang lingkup kewenangan pranata praperadilan, menurut

Mahkamah, pemeriksaan surat tersebut merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari tindakan penggeledahan dan penyitaan, sehingga

pertimbangan Mahkamah pada angka 2 di atas berlaku pula terhadap dalil

Pemohon a quo.

5. bahwa terhadap frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim

berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka

sidang dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945,

Mahkamah berpendapat bahwa membaca Pasal 156 ayat (2) khususnya frasa

“sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru

Page 42: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

56

dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan" tidak dapat

dilepaskan dari ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menyatakan,

“Dalam hai terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa

pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat

diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan

kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim

mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.

Dari ketentuan tersebut maka yang diputus oleh hakim adalah mengenai:

a. kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara,

b. dakwaan tidak dapat diterima,

c. surat dakwaan harus dibatalkan.

Apabila keberatan tersebut diterima oleh hakim maka perkara tidak

dilanjutkan namun apabila keberatan tersebut tidak diterima oleh hakim maka

perkara tersebut dilanjutkan untuk diperiksa. Dengan demikian, tidak ada yang

salah dengan frasa dimaksud.

Adapun yang didalilkan oleh Pemohon bahwa frasa tersebut menimbulkan

ketidakadilan bagi terdakwa, menurut Mahkamah, ketentuan tersebut

merupakan hal yang wajar dan tidak ada keterkaitan dengan ketidakadilan,

karena pengajuan banding tidak menghentikan pemeriksaan terhadap pokok

perkara melainkan hanya banding terhadap putusan sela yang berkaitan dengan

proses pemeriksaan kecuali eksepsi mengenai kompetensi absolut. Dalam hal

eksepsi mengenai kompetensi absolut dikabulkan, apabila ada permohonan

pemeriksaan banding maka berkas perkaranya dikirim terlebih dahulu ke tingkat

banding. Apalagi yang dimohonkan banding bukan mengenai pokok perkara

tentang seseorang bersalah atau tidak bersalah.

Perkara pidana berkait erat dengan hak asasi manusia, sehingga makin cepat

seseorang disidangkan maka makin cepat pula seseorang tersebut diputuskan

bersalah atau tidak bersalah. Jika frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan

UUD 1945 justru tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil yang

dijamin oleh UUD 1945 karena proses hukum terhadap terdakwa menjadi

Page 43: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

57

tertunda. Hal tersebut menurut Mahkamah tidak sesuai dengan asas peradilan

yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana termuat dalam Pasal 4 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sehingga, berdasarkan pertimbangan diatas, menurut Mahkamah Kostitusi dalil

pemohon a quo tidak beralasan secara hukum.

2.ANALISIS

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan, Mahkamah Konstitusi

adalah satu kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia, merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang

memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, serta mengadili pada tingkat

pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final, yang artinya tidak adanya upaya

hukum yang dapat dilakukan karena putusan tersebut akan mengikat para pihak secara

umum dimana para pihak tersebut harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut.

Oleh karena putusan tersebut bersifat final maka jelaslah hakim Mahkamah

Konstitusi haruslah mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya segala yang menyangkut

perkara yang diajukan oleh pemohon sebagai salah satu kinerja konstitusi dalam rangka

mewujudkan cita-cita Negara hukum dan demokrasi.

Secara keseluruhan jika sudah berada pada penganalisaan suatu pertimbangan

Mahkamah Konstitusi maka secara tidak langsung hal tersebut telah menunjukkan pada

hal-hal yang menjadi bahan pertibangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus suatu

perkara yang sedang diujinya Maka untuk selanjutnya Penulis akan mencoba menjelaskan

dan menguraikan satu per satu dari hal-hal yang perlu untuk disoroti lebih jauh lagi terkait

penganalisaan terhadap pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Kewenangan Mahkamah Kosntitusi tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal

10 ayat (1) UU MK tentang mahkamah konstitusi sebagaimana telah diubah

Undang-undang No 8 tahun 2011. Berdasarkan hal tersebut maka salah satu

kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili dalam tingkat pertama dan

tingkat terakhir uji materiil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Page 44: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

58

Dalam pertimbangannya, apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk

mengadili tersebut, mahkamah konstitusi melakukan pemeriksaan pendahuluan

yang bertujuan memastikan bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon

memang termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan

mengadili, termasuk mengenai kejelasaan apakah perkara tersebut berkenaan

dengan pengujian undang-undang secara materil atau secara formil.

Terkait permohonan yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah lebih

merupakan constitutional complaint atas judicial review atau constitutional review.

Namun permasalahan tersebut diajukan sebagai permohonan pengujian Undang-

Undang terhadap UUD 1945 dengan dalil bahwa ketentuan dalam KUHAP yang

dimohonkan pengujian bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. Berkaitan

dengan hal tersebut dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah konstitusi yang salah satu kewenangannya menjelaskan bahwa

Mahkamah Konstitusi berwenang atas permohonan yang terkait pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Sehingga sesuai dalam pasal tersebut Mahkamah Konstitusi memiliki

kewenangan terhadap permohonan Bachtiar Abdul Fatah terkait penerapan norma

(implementasi) suatu Undang-Undang yaitu Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal

17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang No 8

tahun 1981 tetang KUHAP yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Kedudukan Hukum (legal standing)

Dalam mempertimbangkan terkait kekududukan hukum pemohon (legal

standing) Mahkamah Konstitusi melakakan pemeriksaan pendahuluan terkait

permohonan tersebut. Hal tersebut dimaksudkan apakah permohonan tersebut

memenuhi syarat baik dari segi legal standing maupun kewenangan Mahkamah

Konstitusi. terkait kedudukan hukum tersebut Mahkamah Kontitusi berdasarkan

Pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pemohon yang dapat mengajukan

permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya

Undang-undang, yaitu:

Page 45: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

59

1. Perseorangan warga Negara Indonesia

2. Ketentuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perlembangan masyarakat dan prisip NKRI yang diatur

dalam Undang-Undang.

3. Badan Hukum publik atau privat

4. Lembaga negara

Terkait hal diatas Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan

konstitusinya dirugikan oleh Undang-undang adalah sebagaimana yang diatur lebih

lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/25 tanggal 31 Mei

2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor II/PUU-V/2007 tanggal 20

September 2007 adalah bahwasanya kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus

memenuhi lima syarat, yaitu:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan

oleh UUD 1945;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujiannya;

c. Kerugian hak dan /atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat

spesifik dan actual atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang

wajar dapat dipastikan terjadi;

d. Adaya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang

yang dimohonkan pengujiannya;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian hak dan/atau keweangan konstutisional seperti yang didalilkan

tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Atas hal tersebut dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa pemohon dalam permohonananya merupakan perseorangan

warga Negara Indonesia, dan pemohon memiliki hak konstitusional atas

Page 46: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

60

“pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak

konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945. Menurut pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan

oleh berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal

77 huruf a, dan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tetang

KUHAP.

Karena terhadap diri pemohon telah diberlakukan proses pidana yaitu

penetapan pemohon sebagai tersangka, penangkapan dan penahanan pememohon

dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angka 2,

Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1); sedangkan Pasal 77 huruf a

diberlakukan dalam perkara praperadilan yang diajukan pemohon (bukti P-4 berupa

Putusan Pra Pradilan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel), dan Pasal 56 ayat (2)

KUHAP diberlakukan atas eksepsi yang diajukan pemohon dalam persidangan

perkara pidana atas diri pemohon (bukti P-5 berupa Putusan Sela Nomor

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel). Sehingga dalam pengajuan permohonan pengujian

Undang-Undang oleh Bachtiar Abdul Fatah sebagai Pihak Pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkaranya ke Peradilan

Mahkamah Konstitusi.

3. Konstitusionalitas Materiel

Untuk membuktikan sifat konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas materiil

suatu Undang-Undang Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terkait ayat,

pasal tertentu dan/atau bagian Undang-Undang saja, apakah suatu peraturan

perundang-undangan tersebut sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi derajatnya (lex superior derogate lex inferior). Dalam pengujian tersebut

dengan konsekuansi hanya bagian ayat dan pasal tertetu saja yang dianggap

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam pengujian Untuk membuktikan sifat konstitusionalitas atau

inkonstitusionalitas materiil tersebut sesuai Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahmamah

Konstitusi No 06/PMK/2005 Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan

1. pemeriksaan pokok permohonan;

Page 47: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

61

2. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;

3. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;

4. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;

5. mendengarkan keterangan saksi;

6. mendengarkan keterangan ahli;

7. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;

8. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau

peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat

dijadikan petunjuk.

Berkaitan dengan hal tersebut terkait permohonan dalam perkara Nomor

21/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Pasal Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14,

Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 56 ayat (2) terkait penetapan

tersangka sebagai obyek praperadilan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981

tetang KUHAP. Terkait permohonan yang diajukan pemohon Mahkamah

Kosntitusi mempertimbangkan, dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP termasuk dalam

Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum yang mengatur tentang pengertian

Penyidikan menjelaskan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang ditur dalam undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya" Adapun frasa "dan guna

menemukan tersangkanya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan oleh

Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah dipenuhi oleh pasal tersebut,

yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu proses

pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik menemukan

tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta merta penyidik

menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti.

Dalam menentukan tersangka tersebut penyidik memerlukan “bukti

permulaan”, “bukti permulaan yang cukup", dan “bukti yang cukup” sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Lamintang, menjelaskan bahwa “bukti permulaan yang cukup“ dalam rumusan

Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti-bukti minimal”, berupa alat-

Page 48: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

62

alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat 4 KUHAP, yang dapat menjamin

bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya

terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap

seorang tersebut dilakukan penangkapan. KUHAP memang tidak menjelaskan

lebih lanjut tentang definisi ‘bukti permulaan’, namun KUHAP secara jelas

mengatur tentang alat bukti yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu

meliputi: (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5)

keterangan terdakwa.

KUHAP tak memberikan tolak ukur atas “bukti permulaan”, “bukti

permulaan yang cukup", dan “bukti yang cukup”. Sehingga dalam penetapan

tersebut seorang yang dipersangkakan tidak mendapatkan hak sebagaimana

mestinya. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah

negara hukum. Gagasan negara hukum sebagai prinsip umum yang dianut dalam

penyelenggaraan negara yang antara lain bercirikan prinsip due process of law

yang dijamin secara konstitusional. Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum. Kewajiban negara untuk menegakkan dan

melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan

pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-

undangan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Hukum acara pidana merupakan salah satu

implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan

konstitusional dalam UUD 1945.

Sehingga Mahkhamah memberikan pertimbangan, agar memenuhi asas

kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD

1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka

frasa "bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup"

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)

KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam

Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali

terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan

tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan

Page 49: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

63

tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak

diperlukan pemeriksaan calon tersangka.

Kemudian Dalam hal pengujian frasa "melakukan tindak pidana" dan frasa

“dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka

atau terdakwa” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat

(3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, frasa tersebut pernah

diuji dan diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 018/PUU- lV/2006,

bertanggal 19 Desember 2006, yang amarnya menyatakan menolak permohonan

Pemohon.

Berkaitan dengan hal tersebut Mahkamah memberikan pertimbangan hukum

dalam Putusan Nomor 018/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, telah

mempertimbangkan maksud dan tujuan dari Pasal 21 KUHAP, antara lain:

"... bahwa dalam hukum acara pidana tercerminkan penggunaan kekuasaan

negara pada proses penyelidikan, penyidikan, di mana penggunaan kewenangan

tersebut akan berakibat langsung kepada hak-hak warga negara. Penahanan

merupakan tindakan yang diperlukan dalam proses penegakan hukum meskipun

dalam penahanan itu sendiri terdapat pembatasan tehadap hak asasi manusia. Oleh

karena itu, penahanan haruslah diatur dengan undang-undang yang di dalamnya

ditentukan tata cara serta syarat-syarat yang jelas. Hal demikian dilakukan untuk

seminimal mungkin menghindari pelanggaran hak asasi manusia. Perubahan

Hukum Acara Pidana dari HIR kepada KUHAP, dimaksudkan untuk lebih

meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana halnya

dengan hukum acara pidana di negara lain, penahanan adalah hal yang tetap

diperlukan dalam acara pidana. Oleh karena itu tidaklah mungkin dikeluarkannya

penahanan dari ketentuan hukum acara pidana. Keberadaan penahanan dalam

hukum acara pidana merupakan suatu hal menyakitkan tetapi diperlukan (a

necessary evil). Usaha untuk meminimalisasi pelanggaran hak asasi manusia dalam

penahanan dilakukan dengan banyak cara di antaranya dengan menetapkan syarat-

syarat penahanan serta menetapkan alasan penahanan dan dengan memberikan

upaya hukum kepada seseorang yang terhadapnya dikenai penahanan...;23

Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP, hal tersebut haruslah dimaknai

sebagai usaha untuk memberi dasar hukum bagi penahanan sekaligus sebagai usaha

untuk mengurangi penggunaan kewenangan yang berlebihan dari penyidik atau

penuntut umum dalam melakukan penahanan. Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak

dapat dilepaskan dengan adanya Pasal 11 KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP dari

23 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 kutip Putusan Nomor 018/PUU-IV/2006

Page 50: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

64

aspek norma cukup untuk mempertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan

umum untuk menegakkan ketertiban, serta kepentingan individu yang harus

dilindungi hak asasinya, hal demikian diperkuat lagi dengan adanya pranata

praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 KUHAP

Oleh karena itu, pertimbangan putusan tersebut mutatis mutandis berlaku pula

untuk permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil

Pemohon dalam permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum.

Kemudian dalam hal praperadilan, bahwa dalam Pasal 77 huruf a KUHAP

bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5)

UUD 1945.

Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 KUHAP menjelakan bahwa praperadilan

memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus:

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang

berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan

keadilan dan;

c. permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya

atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke

pengadilan

Dengan kata lain, praperadilan memiliki obyek penting didalamnya yakni,

pertama, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa yang meliputi

penangkapan dan penahanan. Kedua, memeriksa sah atau tidaknya penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat dilakukan karena empat hal

yaitu nebis in idem atau karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka

merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusannya

sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, perkara yang disangkakan padanya

merupakan perkara yang kadaluwarsa, dan abbuse of authority. Ketiga, berwenang

Page 51: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

65

memeriksa tuntutan ganti rugi. Keempat, memeriksa permintaan rehabilitasi.

Kelima, Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.24

Hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan

dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat

dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada zamannya aturan

tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya KUHAP. Namun

demikian, dalam perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat

berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada

dalam proses pra-ajudikasi.

Namun demikian KUHAP tidak memiliki check and balance system atas

tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal

mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan

prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah

seperti di Amerika Serikat. Sedangkan, penetapan tersangka adalah bagian dari

proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-

wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.

Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP salah satunya mengatur tentang sah atau tidak

sahnya penghentian penyidikan. Sementara itu, penyidikan itu sendiri menurut

Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sedangkan dalam penjelasannya UUD 1945, setiap orang dijamin haknya

untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena penetapan

tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan

terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik

merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum

pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari

tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika

seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

24 Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 4-6

Page 52: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

66

Kemudian dalam hal frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim

berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka

sidang dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal

1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945. Bahwa dalam

membaca Pasal 156 ayat (2) khususnya frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima

atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan,

maka sidang dilanjutkan" tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 156 ayat (1)

KUHAP yang menyatakan, “Dalam hai terdakwa atau penasihat hukum

mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya

atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka

setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya,

hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil

keputusan. Dari ketentuan tersebut maka yang diputus oleh hakim adalah

mengenai:

a. kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara,

b. dakwaan tidak dapat diterima,

c. surat dakwaan harus dibatalkan.

Apabila keberatan tersebut diterima oleh hakim maka perkara tidak

dilanjutkan namun apabila keberatan tersebut tidak diterima oleh hakim maka

perkara tersebut dilanjutkan untuk diperiksa. Dengan demikian, tidak ada yang

salah dengan frasa dimaksud.

Jika frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 justru tidak

sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh UUD 1945

karena proses hukum terhadap terdakwa menjadi tertunda. Dimana hal tersebut

tidak sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan

sebagaimana termuat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sehingga dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatkan bahwa

permohonan yang dimohonkan oleh pemohon bersifat kosntitusionalitas materiel

sebagian karena terkait pasal dalam permohonan yang diajukan dinyatakan

Page 53: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

67

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atasa dasar pertimbangan sesuai

dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahmamah Konstitusi No 06/PMK/2005.

4. Konstitusionalitas Formil

Pengujian konstitusional merupakan wewenang untuk menilai suatu produk

legislatif seperti Undang-Undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara

sebagaimana telah diatur /ditentukan dalam perturan perundang-undangan yang

berlaku atau tidak. Dalam pengujian formal tersebut terkait dengan masalah

prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.

Terkait hal yang menjadi pertimbangan hakim, Mahkamah konstitusi juga

mempertibangkan permohonan tersebut apakah bersifat konstitusionaltas formil

atau tidak. Sehingga kehadiran serta keterangan DPR dan pemerintah atau yang

diwakili kuasanya untuk memberi keterangan sebagai lembaga atau institusi-lah

yang menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam

memepertimbangkan permohonan Bachtiar Abdul Fatah terkait permohonan yang

diajukannya.

Terkait hal yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah, Mahkamah Konstitusi juga

petimbangannya riwayat proses pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan,

Mahkamah Konstituis lebih banyak mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD

atas dasar dokumen penting yang menjadi risalah pembentukan Undang-Undang

tersebut dalam tiap tahap pembicaraan DPR, yang di mana dalam pertimbangan

tersebut Pemerintah dan/atau DPR memberikan penjelasan bahwa ketentuan umum

dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian,

definisi, singkatan, atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu

kata atau istilah memang harus di rumuskan sedemikan rupa sehingga tidak

menimbulkan pengertian yang ganda.

Sehingga menurut pemerintah dan/atau DPR dalil pemohon a quo sangtalah

tidak beralasan dan tidak tepat karena ketentuan a quo sangatlah tidak berkaitan

dengan masalah kosntitusionalitas norma. Selain itu, permasalahan bukan pada

definisi istilah pasal a quo, tetapi berada dalam level intepretasi oleh aparat penegak

hukum dan hakim dalam praktek penegakan hukum. Oleh karena itu, praktik

Page 54: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

68

penegak hukum dan intepretasi definisi atau pembahasan istilah, bukan wewenang

Mahkamah Konstitusi, tetapi lebih tepatnya menjadi kompetensi hakim pada semua

tingkatan pengadilan dan Mahkamah Agung.

Terkat hal yang menjadi pertimbangan pemerintah dan/atau DPR,

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa Bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHAP

termasuk dalam Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum yang mengatur tentang

pengertian Penyidikan yang menyatakan, “Penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya" Adapun frasa "dan

guna menemukan tersangkanya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan

oleh Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah dipenuhi oleh pasal

tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu

proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik

menemukan tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta merta

penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti

sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur

bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal tersebut sudah jelas dan

tidak perlu ditafsirkan.

Menurut Mahkamah, norma tersebut sudah tepat karena memberikan

kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan ditetapkan

menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu, harus melalui proses atau rangkaian

tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut

penyidik menemukan tersangkanya, bukan secara subjektif penyidik menemukan

tersangka tanpa mengumpulkan bukti.

Kemudian dalam hal yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang

diakaitkan dengan asa-asas hukum kepidanaan bahwa KUHAP menganut asas legalitas dan

asas praduga tak bersalah dalam penetapannya menjadi tersangka yaitu Bachtiar Abdul

Fatah. Asas legalitas pada dasarnya yang di dalam Pasal 3 KUHAP menjelaskan bahwa

peradilan dilakukan menurut cara yang diatur oleh Undang-Undang, yang ditegaskan

Page 55: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

69

dalam Pasal 1 KUHP sebagai perumusan asas legalitas dalam hukum pidana subtantif.

Yang dimana dalam hukum acara pidana juga memiliki sifat lex stricta dan lex certa

sebagai komponen dasar dari asas legalitas.

Namun dalam pengaturannya, sejumlah peraturab dalam KUHAP menunjukkan

kecenderungan tidak memiliki lex stricta dan lex serta terutama karena mengatur berbagai

istilah yang sama sekali tidak dijelaskan maknanya, padahal hal itu merupakan parameter

pengurangan kebebasan individu. Ketika Pasal 1 angka 14 KUHAP mendefinisikan

tersangka, digunakan istilah “bukti permulaan” sebagai dasar untuk menyatakan seseorang

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan ketika diatur kewenangan penyidik

melakukan penangkapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP, hanya dapat

dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “

bukti permulaan yang cukup”. Sementara itu, perintah penahanan atau penahanan lanjutan

dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak

pidana berdasarkan “ bukti yang cukup”, sebagimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat 1

KUHAP, karna adanya kekhawatiran yang bersangkutan akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidananya.

Penetapan seorang sebagai tersangka, penangkapan dan penahanan kesmuanya

merupakan pengurangan kebebasan individu, yang seharusnya dirumuskan secara clear

and clean dalam KUHAP. Perumusan parameter dalam mentetapkan seorang sebagai

tersangka, mengeluarkan perintah penangkapan dan penahan yang tidak jelas, karena tidak

dirumuskannya pengertian yang memadai tentang “bukti permulaan”, “bukti permulaan

yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam KUHAP, hanya menimbulkan ketidakpastian

hukum dan perlakuan yang tidak adil dalam implementasinya dilapangan.

Terkait hal itu harus merujuk pada ketentuan lain dalam KUHAP itu sendiri, seperti

Pasal 183 KUHAP. Dalam hal ini ketentuan yang mengatur tentang kewenangan hakim

menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, berdasarkan “dua alat bukti”,

sebagai ketentuan yang “linear” dengan penetapan tersangka, perintah penangkapan dan

penahanan. Pada dasarnya, ketentuan KUHAP mengenai penetapan tersangka,

penangkapan dan penahanan yang dilakukan jika terdapat “bukti permulaan”, “bukti

permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” menjadi ketentuan yang konstitusional

apabila hal tersebut diartikan sebagai “berdasarkan sekurang-kurangnya dua bukti

Page 56: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

70

permulaan atau dua bukti”. Dengan demikian, berkenaan dengan penetapan tersangka dan

penangkapan dilakukan berdasarkan “dua bukti permulaan” sebagai dasar kecukupannya

secara hukum dan penahanan dilakukan berdasarkan “dua bukti”, bahwa seseorang diduga

keras melakukan tindak pidana dan dikhawatirkan melarikan diri, mengilangi

perbuatannya dan merusak serta menghilangkan barang bukti.

Asas lain dalam KUHAP adalah asas praduga tak bersalah (presumption of

innocence). Asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam KUHAP dalam bentuk adanya

sejumlah hak bagi tersangka/terdakwa. Proses dan prosedur penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di muka sidang pengadilan diantaranya didirikan untuk melindungi,

memenuhi, dan mewujudkan hak-hak tersangka/terdakwa tersebut. Asas praduga tak

bersalah bukan berarti menganggap seseorang tidak bersalah, sampai dengan pengadilan

menyatakan seorang yang bersangkutan bersalah karna suatu tindak pidana, tetapi

sebenarya merupakan mekanisme yang digunakan sebelum seseorang dinyatakan bersalah

oleh pengadilan, yakni yang bersangkutan mempunyai hak-hak tertentu untuk berlaku

seperti orang pada umumnya. Dengan adanya hak-hak tersebut maka pada dasarnya

terdapat larangan bagi aparatur sistem peradilan pidana untuk berpraduga bersalah

(resumption of guilty) terhadap tersangka atau terdakwa. Dengan kata lain proses pidana

yang dilakukan penegak hukum ditandai oleh sejumlah instrument yang dibangun untuk

memastikan subjek pemeriksaan tersebut “dapat menggunakan hak-hak hukrum tertetu”

yang dimilikinya, sehingga menjaga yang bersangkutan tetap layaknya “orang yang tak

bersalah”, sampai pengadilan membuktikan sebaliknya.

Persoalan mendasar berkenaan dengan hal ini adalah inkonsistensi KUHAP dalam

melakukan pendefinisian istilah. Misalnya, ketika definisi penyidikan dihadap-hadapkan

dengan definisi tersangka. Pasal 1 angka 2 KUHAP menentukan penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam Undang-

Undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan guna menemukan tersangkanya.

Adapun Pasal 1 angka 14 KUHAP menentukan definisi tersangka sebagai seseorang karena

perbuatan dan keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku

tindak pidana. Jika benar definisi penyidikan diantaranya adalah “guna menemukan

tersangkanya” dan hal itu didasarkan pada “bukti”, lalu bagaiman KUHAP mendefinisiakn

seseorang sebagai tersangka hanya berdasarkan “bukti permulaan”. Konstrusi ini

Page 57: BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14632/2/T1_312012023_BAB II.pdf · angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan

71

menyebabkan bagi setiap tersangka, dasar persangkaan menjadi tidak jelas, padahal

berdasarkan Pasal 51 huruf a KUHAP untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka berhak

diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang

dipersangkakan kepadanya.