Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
22
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rokok Elektrik (vape)
Rokok elektrik atau yang biasa disebut Personal Vaporizer adalah ENDS
(Electric Nicotine Delevery System) yaitu suatu alat yang berguna mentransfer
nikotin sebagai alat pengganti rokok konvensional. Lebih jelasnya adalah alat
pengganti rokok konvensional, dimana vapor atau Personal Vaporizer digantikan
dengan e-liquid sebagai media pengganti nikotin. Personal Vaporizer atau vapor
atau bisa disebut juga dengan rokok elektrik ini merupakan alat bertenaga baterai
yang bisa menghasilkan uap.
Pada tahun 2012 vape masuk ke Indonesia, dan sampai tahun 2017 vape
belum mendapatkan status legal dari pemerintah Indonesia, akan tetapi vape masih
menjadi pro dan kontra di masyarakat Indonesia sehingga banyak orang-orang yang
mengkaji dan mempelajari vape lebih mendalam. Sehingga pada tahun 2018 vape
resmi dilegalkan oleh pemerintah Indonesia dan vape beserta e-liquidnya harus
membayar pajak ke negara melalui cukai hasil tembakau yang terdapat pada e-
liquid vape.1
Cara kerja dari Personal Vaporizer ini pun berasal dari heating element
atau alat pemanas yang terbuat dari kantal yang biasanya di gunakan oleh kompor
elektrik dan juga alat pemanas air elektrik. Dalam Personal Vaporizer ini sendiri
1 Ibid.
23
kantal diletakkan di atomizer. Kemudian atomizer diberikan kapas atau alat
penyerap lainnya dan selanjutnya kapas tersebut di berikan e-liquid atau cairan
pengantar uap sehingga heating element tersebut memanaskan e-liquid dan
selanjutnya itulah yang dihisap oleh pengguna Personal Vaporizer sehingga
menghasilkan uap.
Maka dari itulah Personal Vaporizer ini disebut sebagai penguap. Berbeda
dengan rokok pada umumnya yang menghasilkan asap pada setiap hisapannya.
Adapun perbedaan uap dan asap adalah uap bersifat pembakaran dari e-liquid
substance atau pembakaran yang dihasilkan oleh cairan, dan asap adalah
pembakaran yang timbul dari benda padat, dan pada rokok pembakarannya melalui
tembakau.
Cara penggunaan rokok elektrik seperti merokok biasa, saat dihisap lampu
indikator merah pada ujung rokok elektrik akan menyala layaknya api pada ujung
rokok, lalu hisapan tersebut membuat chip dalam rokok elektrik mengaktifkan
baterai yang akan memanaskan larutan nikotin dan menghasilkan uap yang akan
dihisap oleh pengguna. Larutan nikotin tersebut memiliki komposisi yang berbeda-
beda dan secara umum ada 4 jenis campuran.
Rokok elektrik juga pernah digunakan sebagai alat bantu program berhenti
merokok dengan cara mengurangi kadar nikotin ecigarette secara bertahap namun
praktek tersebut kini sudah tidak dianjurkan oleh Electronic Cigarette Association
(ECA) dan Food and Drug Association (FDA). Meskipun demikian berdasarkan
24
hasil survei di Amerika, mayoritas (65% responden) memilih alasan menggunakan
rokok elektrik adalah untuk berhenti merokok.2
Pada awal munculnya rokok elektrik, produk tersebut dikatakan aman bagi
kesehatan karena larutan nikotin yang terdapat pada rokok elektrik hanya terdiri
dari campuran air, propilen glikol, zat penambah rasa, aroma tembakau dan
senyawa-senyawa lain yang tidak mengandung tar, tembakau atau zat-zat toksik
lain yang umum terdapat pada rokok tembakau.
Penelitian analitis di Amerika menyebutkan bahwa rata-rata perokok
mengkonsumsi 14 batang rokok per hari dengan kadar nikotin 1- 1,5 mg per batang
rokok sehingga asupan nikotin sehari rata-rata 14-21 mg. Sedangkan kadar nikotin
pada e-cigarette berkisar 0-16 mg per batang jika digunakan sampai habis (300 kali
hisap). Rata-rata hisapan rokok elektrik adalah 62,8 kali sehingga rata-rata asupan
nikotin dari rokok elektrik adalah 3,36 mg per hari yang jauh lebih rendah dari
rokok tembakau.3
B. Jenis-jenis Rokok Elektrik(vape)
Rokok Elektrik atau Personal Vaporizer ini terbagi dalam dua jenis yaitu:
a). Elektrikal Sistem kerja elektrikal (Variable Voltage/Variable Wattage) semua
starter kit menggunakan sistem kerja yang elektrikal baterai sebagi penyalur uap ke
tank menggunakan voltage yang sama mulai dari pemakaian pertama sampa baterai
yang di gunakan habis. Sama halnya kawat koil yang digunakan adalah bawaan
pabrik, meskipun kawat bisa dirakit sendiri namun tidak bisa melebihi kapasitas
2 Ibid. 3 http://www.depkes.go.id/1165/ends-produk-ilegal-dan-berbahaya-bagikesehatan.html, diakses
pada 16 september. 2020 puku 22.00 WIB
25
yang dikeluarkan pabrik. Kemudian didalam elektrikal tersebut terdapat chip dan
beberapa komponen kabel yang membuat semua itu lebih aman sesuai dengan
pabrik.
b). Mekanikal Sistem kerja mekanikal, uap yang dihasilkan oleh baterai yang
berada dalam mod, plus minus di alirkan dengan cara menekankan tombol bawah
mod untuk menghidupkan kawat elemen dalam tank, uap dan rasa yang dihasilkan
akan lebih banyak saat baterai dalam kondisi baru dan penggunaan yang lebih lama
dengan kadar uap dan rasa yang lebih banyak memakan masa baterai yang akan
cepat habis. Tank mekanial biasanya terbagi dua tipe yaitu RBA (Rebuidable
Atomizer) adalah kawat yang dirakit dan bawaan mod pabrik dan RDA (Rebuidable
Drip Atomizer) adalah kawat yang dirakit oleh pengguna bersangkutan. Dalam
mekanikal ini adanya standarisasi tekanan baterai yang harus digunakan, guna
menjaga kestabilan mod itu sendiri dan juga tidak adanya chip yang tepasang
seperti pada elektrikal membuat konsumen sering terkandala dalam mengatur
tekanan watt baterai. Selanjutnya dalam mekanikal ini tidak terdapat chip yang bisa
mengatur atau mengantisipasi terbakarnya suatu mod. Mekanikal ini memberi
keleluasaan kepada penggunanya.
C. Pengertian e-liquid Dalam Rokok Elektrik (vape)
AEMSA (American E-liquid Manufacturing Standards Association)
mendefinisikan e-liquid sebagai cairan yang memproduksi uap dalam rokok
26
elektrik. Pada umumnya berisi larutan terdiri dari 4 jenis campuran yaitu nikotin,
propkuyhilen glikol, gliserin, air, dan flavoring (perisa).4
Nikotin adalah yang digunakan dihasilkan dari ekstrak tembakau sehingga
disebut nikotin cair. Pada e-liquid seringkali jumlah nikotin tidak sesuai dengan
iklan dan label mereka. Sebuah studi di Prancis mengatakan:
“nicotine content and labeling of e-cigarettes and found
incomplete or unusable information as well as unreliable labeling. The
amounts of nicotine measured in 20 prepackaged cartridge samples
were generally higher than was stated on the package and, in some
cases, the nicotine content was found to be two to five times greater.5
Secara kimiawi, nikotin merupakan senyawa organik kelompok alkaloid
dihasilkan secara alami dari berbagai macam tumbuhan, seperti suku terung-
terungan (Solanaceae), tembakau, tomat, dan kafein. Senyawa alkaloid tersebut
memiliki efek candu dan bersifat stimulan ringan. Pada tubuh yang sehat, nikotin
bahkan tak memiliki efek yang signifikan.6
Propilen glikol adalah komponen yang menciptakan uap yang terlihat saat
menghisap rokok elektrik. Propilen glikol ini juga digunakan sebagai pelarut obat
dan pengawet makanan. Propilen glikol merupakan cairan senyawa organik yang
tidak berbau dan tidak berwarna, namun memiliki rasa agak manis. FDA (Food and
Drug Administration) atau Lembaga Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika
Serikat telah menyatakan bahwa senyawa ini aman jika digunakan dalam kadar
rendah.
4 Majalah Info POM Bahaya Rokok Elektronik Racun Berbalut Teknologi, Vol. 165
SeptemberOktober 2015. Hal. 5 Villa, A.F., P. Sauvic, V. Gazin, and R. Garnier.2012. Electronic cigarettes: Risk assessment.
Clinical Toxicology 50(4): Hal. 309–310 6 https://tirto.id/nikotin-dan-tar-mana-yang-berbahaya-cME1. diakses pada 16 september. 2020
puku 22.00 WIB
27
Gliserin adalah cairan kental tidak berbau dan tidak berwarna. Zat ini
sering digunakan pada perpaduan formulasi farmasi. Cairan manis yang dianggap
tidak beracun ini sering pula dipakai oleh industry makanan. Gliserin berfungsi
sebagai pengikat rasa antara perasa dan nikotin dalam penggunaan rokok elektrik.7
Selain ketiga komponen diatas pada e-liquid juga di temukan zat perasa
untuk produk makanan. Secara umum e-liquid dikenal sebagai kombinasi cairan
khusus yang terdapat di dalam tangki cairan (catridge) rokok elektrik dimana akan
dipanaskan sehingga menghasilkan uap. Cairan e-liquid dapat diisi ulang dan
memiliki aneka cita rasa dan aroma yang dapat disesuaikan dengan kesukaan dari
pengguna.
Umumnya e-liquid mengandung nikotin dengan campuran beberapa
senyawa kimia lainnya, sebagai terapi untuk berhenti merokok tembakau tetapi
karena peminat rokok elektrik tidak hanya orang yang ingin berhenti merokok
konvensional maka diproduksi juga e-liquid tanpa nikotin.8
Kandungan nikotin pada umumnya, mulai dari kadar 0-36 mg nikotin per
ml cairan atau bisa juga lebih tinggi. Biasanya cairan dengan kandungan nikotin 3,6
persen atau 36 gram merupakan tingkat kandungan nikotin yang tertinggi. Berikut
urutan kadar nikotin yang umum dalam cairan rokok elektrik.9
7 Rayvapor.com, 2015, Melihat Keamanan Kandungan Dari Ee-liquid Pada Rokok Elektroni,
diunduh dari http://rayvapor.com/m/readnews.php?id=25 [diakses. Di akses pada 16
september. 2020 puku 22.00 WIB
8 Ibid. 9 Ibid.
28
1. Kandungan nikotin 0 mg, biasanya dipilih orang yang udah tidak
merokok.Walaupun berlabel 0 mg nikotin, tapi belum tentu benar-benar
tidak mengandung nikotin sama sekali dalam cairan vape tersebut.
2. Kandungan nikotin 8 mg, biasanya dipilih perokok ringan yang biasa merokok
kurang dari satu bungkus sepekan. Biarpun kadarnya ringan, tapi nikotin tetap
bisa membuat kecanduan.
3. Kandungan nikotin 16 mg, biasanya dinikmati perokok sedang. Kadar nikotin
dalam cairan rokok elektrik ini nyaris sebanding sama kadar nikotin dalam
rokok biasa, jadi merokok elektrik dengan dosis ini sama aja kayak merokok
biasa.
4. Kandungan nikotin 24 mg, biasanya dinikmati perokok berat yang terbiasa
merokok sekitar satu bungkus per hari. kadar nikotin ini sangat kuat sehingga
bisa menyebabkan masalah kesehatan. Kandungan nikotin 36 mg, ini kadar
nikotin yang sudah sangat tinggi.
D. Bahaya Penggunaan Rokok Elektrik dan e-liquidnya.
1. Penyakit Paru-Paru Misterius
Menurut penelitian, Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat,
mengumumkan bahwa ada sekitar 530 kasus cedera paru terkait penggunaan
vape. Kasuspada tahun 2019 ini menyebabkan 7 orang meniggal dunia.
Melansir BBC, Rabu (11/9/2019), mayoritas mereka yang terkena penyakit
paru-paru misterius tersebut memiliki usia rata-rata 19 tahun. Disebutkan,
usia tersebut merupaan pasar terbesar AS untuk pengguna vape. Kasus ini
kemudian mendorong AS untuk melarang semua jenis rokok elektrik.
2. Mengandung Senyawa Mirip Formalin
29
Mengutip dari Science Daily, ada sejumlah penelitian yang
menemukan bahwa kandungan vape memiliki sejenins zat formaldehida.
Senyawa ini diketahui bisa menyebabkan kanker pada manusia yang diserap
melalui saluran penapasan selama sesi vaping.
3. Konsumsi Dua Rokok Sekaligus
Bahaya vape yang lainnya adalah menghisap vape sama dengan
mengkonsumsi dua rokok sekalgius. Dilansir dari CNN Indonesia, sebuah
studi baru menemukan bahwa kebanyakan orang yang menggunakan vape
agar berhenti dari kecanduan nikotin. Justru saat mereka menggunakan vape,
penggunanya akan terjebak dalam keduanya. Sehingga tak sedikit orang
yang kini terjebak dalam risiko kesehatan akibat rokok konvensional
sekaligus vape.
4. Ancaman Bagi Perokok Pasif
Bahaya vape bagi remaja sekaligus orang yang tidak merokok adalah
dari asap vape itu sendiri. Diberitakan Kompas.com, Jumat (20/9/2019),
Perwakilan Departemen Penyakit Dalam Divisi Respirologi Rumah Sakit
Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dr. Iceu Dimas Kultsum SpPD
menjelaskan, ada ancaman kesehatan yang juga berbahaya bagi perokok
vape pasif yang ikut menghirup asap vape. sebab, asap yang dihasilkan dari
vape mengandung zat yang sama seperti penggunanya.
5. Bronchiolitis Obliterans
kandungan kimia dalam vape bisa menyebabkan bronchiolitis
obliterans atau “Popcorn Lung”. Peneliti dari Harvard mengungkapkan
bahwa penggunaan vape bisa berisiko mengidap penyakit Popcorn Lung.
30
Sebab, kandungan kimianya bisa menghancurkan saluran udara dari paru-
paru terkecil.
6. Menciptakan Kecanduan Baru
Pada 2015, ahli bedah umum Amerika Serikat melaporkan bahwa
penggunaan vape di kalangan sekolah menengah ini telah meningkat 900
persen. Ini sebabnya bahwa bahaya vape bagi remaja perlu diperhatikan.
Menurut penelitian, ada tiga alasan mengapa vape mungkin sangat menarik
bagi kawula muda dan membentuk sebuah candu baru. Alasan pertama ialah
anggapan bahwa vape lebih sehat karena mendung vitamin dan perasa sari
buah. Lalu, biaya untuk menghisap vape tergolong lebih murah ketimbang
rokok konvensional. Dan bau asap vape yang wangi serta tampilan yang
trendi, juga membuat mengguna vape terlihat bergengsi. Padahal, ini tak
sebaik apa yang dikira.
7. Vape Bisa Meledak
Dilansir dari pemberitaan di CNN Indonesia, memberitakan bahwa ada
remaja berusia 12 tahun di Nevada, Amerika Serikat yang mengalami
pendarahan mulut. Bahaya vape selain bagi kesehatan adalah bisa meledak.
Ini disebabkan oleh panas di dalam vape yang tidak bisa kita hindari jika
mengesetnya terlalu panas. Korban mengalami pendarahan mulut, gigi
patah, dan lubang di bagian rahang akibat vape yang meledak. Ia harus
menjalani prosedur operasi untuk memperbaiki tulang rahang yang hancur.
8. Bahayakan Jantung
Vape bisa berdampak buruk bagi kesehatan paru-paru. Ada nikotin
yang bisa mengganggu jantung. Saat nikotin diserap dan melalui aliran
31
darah,kelenjar adrenal dapat terangsang untuk melepaskan hormon
epinefrin (adrenal). Pelepasan hormon epinefrin inilah yang menyebabkan
tekanan darah dan denyut jantung meningkat.
9. Menyebabkan Gangguan Pada Janin
Bahaya vape bagi wanita pun bisa dirasakan pengguna vape aktif
maupun pasif. Pasalnya, paparan nikotin dan zat berbahaya lain di dalam
vape dapat mengganggu perkembangan janin. Sedangkan pada anak-anak,
paparan nikotin dari vape dapat menggangu perkembangan otaknya serta
memengaruhi daya ingatnya.
10. Sebagian Besar Vape Mengandung Formaldehid
Dilansir dari IDN Times, ada sebagian besar vape yang menggunakan
formaldehid dalam cairannya. Formaldehid adalah bahan pembuatan lem,
alat perekat, pelapis produk kertas, bahan bangunan, dan bahan pengawet
kamar jenazah. Kandungan-kandungan di atas diketahui oleh seorang
profesor kimia dan teknik di Portland State University di Oregon.
11. Menurunkan Sistem Kekebalan Tubuh
Elizabeth M. Martin, dkk, melakukan penelitian yang diterbitkan
melalui University of North Carolina, Chapel Hill tentang kekebalan tubuh
dan kemampuan sel-sel tubuh melawan infeksi. Penelitian ini dilakukan
kepada orang perokok aktif, pengguna vape, dan bukan perokok.
Hasilnya sangat mencengangkan, bahwa perokok aktif dan pengguna vape
sama-sama menunjukkan tanda-tanda berkurangnya aktivitas 594 gen. Gen ini
diketahui mendukung sistem kekebalan tubuh dan melawan infeksi. Penemuan ini
menjadi bukti bahwa senyawa yang ditemukan dalam cairan vape yang berfungsi
32
untuk menciptakan uap memiliki efek imunosupresif pada tubuh atau sangatlah
berbahaya.
E. Pengaturan Terkait Peredaran dan Penggugnaan Rokok Elektrik (vape)
beserta E-liquid pada rokok elektrik dalam hukum positif di Indonesia
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Kalimatyang menyatakan “segala upaya untuk menjamin adanya kepastian
hukum”,diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-
wenang yang merugikan konsumen dan pelaku usaha demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen.10 Sehubungan dengan penggunaan E-liquid yang
dikonsumsi oleh konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan kepada konsumen, antara
lain:
a. Pasal 4, konsumen mempunyai hak atas kenyaman, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang, dan hak untuk mendapatkan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang.
b. Pasal 7, Pelaku Usaha dalam menjalankan usahanya harus memiliki
itikad baik, dengan memberi informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi barang serta memberi penjelasan tentang
penggunaannya.
10 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindunan Konsumen, Cetakan ke Sepuluh. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2017), hlm 1.
33
c. Pasal 8, Pelaku usaha dilarang, pengertian dilarang dalam pasal ini lebih
cenderung kepada kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha,
antara lain; wajib memasang label dengan menginformasikan komposisi
yang terkandung dalam barang yang diedarkan atau diperdagangkan dan
informasinya harus disampaikan dalam Bahasa Indonesia.
d. Pasal 19, Tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian yang diderita
oleh konsumen akibat dari mengkonsumsi barang yang
diperdagangkannya.
e. Pasal 62, atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam pasal 8, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi
pidana.
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
menerangkan, Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Dalam undang-undang ini, tidak diatur secara khusus
tentang rokok dan sejenisnya seperti E-liquid pada rokok elektrik, melainkan
hanya memberikan gambaran singkat tentang zat apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai zat adiktif.
Pasal 113: ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan. Dalam Ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun
34
2009 Tentang Kesehatan menjelaskan Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan,
dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian
bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Dalam penjelasan undang-undang tentang kesehatan, tidak dijelaskan
tentang apakah zat adiktif itu, walaupun dalam pasal 113 ayat (2) Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diterangkan zat adiktif itu
meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas
yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Untuk memahami apakah yang
dimakasud dengan zat adiktif, undang-undang ini menjelaskan bahwa terkait
dengan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah, sehingga dapat disimpulkan Undang-undang kesehatan
hanya memberikan gambaran saja bahwa zat adiktif berbahaya bagi
penggunanya dan masyarakat sekitar dimana pengguna itu berada.
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan.
Pelaksanakan ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan. Peraturan Pemerintah ini jelas merangkan, tentang
definisi dari Zat Adiktif, yaitu bahan yang menyebabkan adiksi atau
ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan
35
perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengkonsumsi
bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi
prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain, meningkatnya
toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.
Undang-undang Kesehatan menjelaskan bahwa zat adiktif terkandung
dalam tembakau dan produk yang mengandung tembakau, padat, cair dan gas.
Tidak menjelskan produk apa yang dimaksud, tetapi dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan, dengan jelas diterangkan bahwa yang dimaksud produk tembakau
atau produk yang mengandung tembakau dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
yaitu:11
“Rokok adalah salah satu Produk Tembakau yang dimaksudkan
untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok
kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari
tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya
atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan
atau tanpa bahan tambahan”.
Pengertian dari produk tembakau dijelaskan dalam pasal 4 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
yaitu:12
11 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012. Peraturan
Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278). Pasal 1 ayat (3) 12 Ibid.,hal. 44
36
“Produk Tembakau yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
meliputi Rokok dan Produk Tembakau lainnya yang
penggunaannya terutama dengan cara dibakar, dihisap dan/atau
dihirup asapnya, yang mengandung Zat Adiktif dan bahan lainnya
yang berbahaya bagi kesehatan”.
Dari pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah di atas, dapat disimpulkan dalam
sebagai berikut :
a. Rokok adalah produk tembakau, atau produk lainnya yang dihasilkan dari
tanaman nicotiana tabacum nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau
sintetisnya. Tentang tanaman nicotiana tabacum,dan nicotiana rustica
dalam Penjelasan Pasal 1 dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung
Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan., tidak dijelaskan
secara rinci bentuk dan jenisnya penjelasannya hanya dikatakan cukup
jelas, sehingga dapat disimpulkan bahwa rokok harus dihasilkan dari
tanaman tembakau, dan olehan tembakau serta berasal dari tanaman
nicotiana tabacum dan nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau
sintetisnya maka selain dari tanaman-tanaman tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai rokok, tetapi ada hal yang kurang jelas di sini yaitu
terkait dengan tanaman dari spesies lainnya dan bahan bahan sintetis.
b. Bentuk rokok adalah rokok kretek, rokok putih, cerutu dan bentuk lainnya.
c. Penggunaannya adalah dengan cara dibakar dan dihisap dan/atau dihirup
asapnya.
2. Peraturan Kementrian Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017 tentang
Ketentuan Impor Rokok Elektrik.
37
Pasal 1 dari Peraturan Kementrian Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017
tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik, menjelaskan tentang E-liquid dalam
rokok elektrik yaitu:13
“Rokok Elektrik adalah perangkat rokok yang digunakan dengan
memanaskan cairan yang menghasilkan asap dan dihisap oleh pemakainya yang
termasuk likuid nikotin dan pengganti likuid nikotin yang digunakan sebagai isi
mesin dan paratus elektrik Bunyi pasal 1 Peraturan Kementrian Perdagangan
Nomor 86 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik tersebut, tidak
menggambarkan secara rinci tentang e-liquid nikotin itu sendiri, apa saja unsur
kimia yang dapat dikategorikan sebagai e-liquid nikotin, hal ini penting untuk
diketahui”.
Agar komposisi yang ada dalam E-liquid yang beredar saat ini dapat
dikategorikan sesuai dengan Peraturan Kementrian Perdagangan ini. Peraturan
Kementrian Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017, berisi 24 (duapuluh empat)
pasal, yaitu:
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Rokok Elektrik
adalah perangkat rokok yang digunakan dengan memanaskan cairan yang
menghasilkan asap dan dihisap oleh pemakainya yang termasuk Likuid
nikotin dan pengganti likuid nikotin yang digunakan sebagai isi mesin dan
aparatus elektrik yang termasuk dalam Pos Tarif/HS: a. ex. 8543.70.90:
Mesin dan aparatus elektrik, mempunyai fungsi tersendiri, tidak dirinci atau
termasuk pada pos lainnya dalam Bab ini. Mesin dan asparatus lainnya:
13 Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017, Tentang Tata Cara Impor
Rokok Elektrik, (Berita Negara Nomor No.1591, 2017). Pasal 1.
38
Lain-lain, yang digunakan untuk Rokok Elektrik. b. ex. 8543.90.90: Mesin
dan aparatus elektrik, mempunyai fungsi tersendiri, tidak dirinci atau
termasuk pada pos lainnya dalam Bab ini. Bagian: Lain-lain, yang
digunakan untuk Rokok Elektrik. c. ex. 3824.99.99: Olahan pengikat untuk
acuan atau inti penuangan logam; produk dan preparat kimia dari industri
kimia atau industri terkait (termasuk olahan yang terdiri dari campuran
produk alami), tidak dirinci atau termasuk dalam pos lainnya. Lain-lain,
yang digunakan untuk Rokok Elektrik. d. ex.2403.99.10: Tembakau
dipabrikasi lainnya dan pengganti tembakau dipabrikasi; tembakau
"dihomogenisasi" atau "dibentuk kembali"; ekstrak dan esens tembakau.
Ekstrak dan esens tembakau. e. ex. 2403.99.30: Tembakau dipabrikasi
lainnya dan pengganti tembakau dipabrikasi; tembakau "dihomogenisasi"
atau "dibentuk kembali"; ekstrak dan esens tembakau. Lain-lain. f. ex.
2403.99.90: Tembakau dipabrikasi lainnya dan pengganti tembakau
dipabrikasi; tembakau "dihomogenisasi" atau "dibentuk kembali"; ekstrak
dan esens tembakau. 2. Impor adalah kegiatan memasukan barang ke dalam
daerah pabean. 3. Importir Rokok Elektrik adalah perusahaan yang
mengimpor Rokok Elektrik untuk diperdagangkan dan/atau
dipindahtangankan kepada pihak lain. 4. Angka Pengenal Importir yang
selanjutnya disingkat API adalah tanda pengenal sebagai Importir. 5.
Persetujuan Impor Rokok Elektrik adalah izin yang digunakan untuk
melakukan impor Rokok Elektrik. 6. Rekomendasi adalah surat yang
diterbitkan oleh pejabat instansi atau unit terkait yang berwenang
memberikan penjelasan secara teknis dan bukan merupakan izin atau
39
persetujuan impor. 7. Verifikasi atau Penelusuran Teknis adalah penelitian
dan pemeriksaan barang Impor yang dilakukan oleh Surveyor. 8. Surveyor
adalah perusahaan survey yang mendapat otorisasi untuk melakukan
Verifikasi atau Penelusuran Teknis barang Impor. 9.Menteri adalah menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
10.Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri,
Kementerian Perdagangan. 11. Direktur adalah Direktur Impor, Direktorat
Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.
Pasal 2 (1) Rokok Elektrik hanya dapat diimpor oleh perusahaan pemilik API
yang telah mendapat Persetujuan Impor Rokok Elektrik dari Menteri. (2)
Menteri dapat memberikan mandat penerbitan Persetujuan Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal.
Pasal 3 (1) Untuk mendapatkan Persetujuan Impor Rokok Elektrik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), perusahaan pemilik API harus
mengajukan permohonan secara elektronik kepada Direktur Jenderal
dengan melampirkan: a. Surat Izin Usaha Perdagangan atau izin usaha lain
yang sejenis dari instansi yang berwenang; b. API; c. Rekomendasi dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang
perindustrian; d. Rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan; e. Rekomendasi dari lembaga
pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pengawasan obat dan makanan, untuk impor likuid nikotin dan
pengganti likuid nikotin; dan f. bukti pengalaman sebagai importir Rokok
Elektrik paling sedikit selama 1 (satu) tahun yang dibuktikan dengan
40
Pemberitahuan Impor Barang (PIB); atau g. bukti pengalaman sebagai
distributor Rokok Elektrik paling sedikit selama 1 (satu) tahun berupa: 1.
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP); 2. Surat Tanda Pendaftaran
Distributor Barang Produksi Dalam Negeri dan/atau Luar Negeri untuk
Rokok Elektrik yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri; dan 3. surat penunjukan atau kerjasama sebagai distributor
Rokok Elektrik dari produsen dalam negeri dan/atau produsen luar negeri;
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan
huruf e, paling sedikit memuat keterangan mengenai Pos Tarif/HS, jenis,
volume Rokok Elektrik, negara asal, pelabuhan tujuan impor, dan masa
berlaku. (3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri atau Direktur Jenderal menerbitkan Persetujuan Impor paling lama
5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan
benar. (4) Dalam hal tertentu, untuk mengetahui kebenaran permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menugaskan Direktur
Jenderal dan/atau Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib
Niaga untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. (5) Dalam hal
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, Menteri
atau Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan penolakan
permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan
diterima. (6) Direktur Jenderal mendelegasikan kewenangan pemberitahuan
penolakan permohonan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) kepada Direktur.
41
Pasal 4 Persetujuan Impor Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3) berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.
Pasal 5 Persetujuan Impor Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3) memuat data dan keterangan paling sedikit mengenai: a. jumlah;
b. jenis dan Pos Tarif/HS; c. pelabuhan muat; d. negara asal; e. pelabuhan
tujuan; dan f. masa berlaku Persetujuan Impor Rokok Elektrik.
Pasal 6 (1) Importir Rokok Elektrik dapat mengajukan permohonan perubahan
Persetujuan Impor Rokok Elektrik dalam hal terdapat perubahan mengenai
Pos Tarif/HS, jenis, jumlah,negara asal, dan/atau pelabuhan tujuan impor.
(2) Untuk memperoleh perubahan Persetujuan Impor Rokok Elektrik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir Rokok Elektrik harus
mengajukan permohonan secara elektronik kepada Direktur Jenderal
dengan melampirkan: a. Persetujuan Impor Rokok Elektrik; b. Rekomendasi
dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian; c. Rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan; dan d. Rekomendasi dari lembaga
pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pengawasan obat dan makanan, untuk impor likuid nikotin dan
pengganti likuid nikotin. (3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Direktur Jenderal menerbitkan perubahan Persetujuan Impor
Rokok Elektrik paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan
diterima secara lengkap dan benar. (4) Dalam hal tertentu, untuk mengetahui
kebenaran permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri
menugaskan Direktur Jenderal dan/atau Direktur Jenderal Perlindungan
42
Konsumen dan Tertib Niaga untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. (5)
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap,
Menteri atau Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan penolakan
permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan
diterima.
Pasal 7 (1) Pengajuan permohonan untuk memperoleh: a. Persetujuan Impor
Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. dan b. perubahan
Persetujuan Impor Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
hanya dapat dilayani dengan sistem elektronik melalui
http://inatrade.kemendag.go.id. (2) Dalam hal terjadi keadaan memaksa
(force majeure) yang mengakibatkan sistem elektronik melalui
http://inatrade.kemendag.go.id tidak berfungsi, pengajuan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara manual.
Pasal 8 Setiap Impor Rokok Elektrik hanya dapat dilakukan melalui pelabuhan
tujuan: a. pelabuhan laut: Belawan di Medan, Tanjung Perak di Surabaya,
dan Soekarno Hatta di Makasar. b. pelabuhan udara: Soekarno-Hatta di
Tangerang.
Pasal 9 (1) Setiap pelaksanaan Impor Rokok Elektrik harus terlebih dahulu
dilakukan Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor di pelabuhan muat. (2)
Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Surveyor yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10 Untuk dapat ditetapkan sebagai pelaksana Verifikasi atau Penelusuran
Teknis Impor Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki Surat
43
Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS); b. berpengalaman sebagai Surveyor di
bidang impor paling sedikit 5 (lima) tahun; c. memiliki cabang atau
perwakilan dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan untuk
mendukung efektifitas pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan
d. mempunyai rekam-jejak (track records) yang baik di bidang pengelolaan
kegiatan Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor.
Pasal 11 (1) Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 meliputi data atau keterangan paling sedikit mengenai: a. nama dan
alamat eksportir; b. nama dan alamat importir; c. jenis dan jumlah barang;
d. pos tarif/HS dan uraian barang; e. negara dan pelabuhan muat; f. waktu
pengapalan; g. pelabuhan tujuan; dan h. Sertifikat Analisis (Certificate of
Analysis), untuk Rokok Elektrik, likuid nikotin dan/atau pengganti likuid
nikotin, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS: 1. ex. 8543.70.90: Mesin dan
aparatus elektrik, mempunyai fungsi tersendiri, tidak dirinci atau termasuk
pada pos lainnya dalam Bab ini. Mesin dan asparatus lainnya yang
digunakan untuk Rokok Elektrik. 2. ex. 8543.90.90: Mesin dan aparatus
elektrik, mempunyai fungsi tersendiri, tidak dirinci atau termasuk pada pos
lainnya dalam Bab ini. Bagian yang digunakan untuk Rokok Elektrik. 3. ex.
3824.99.99: Olahan pengikat untuk acuan atau inti penuangan logam;
produk dan preparat kimia dari industri kimia atau industri terkait (termasuk
olahan yang terdiri dari campuran produk alami), tidak dirinci atau termasuk
dalam pos lainnya. yang digunakan untuk Rokok Elektrik. 4.ex. 2403.99.10:
Tembakau dipabrikasi lainnya dan pengganti tembakau dipabrikasi;
tembakau "dihomogenisasi" atau "dibentuk kembali"; ekstrak dan esens
44
tembakau. Lain-lain Ekstrak dan esens tembakau. 5. ex. 2403.99.30:
Tembakau dipabrikasi lainnya dan pengganti tembakau dipabrikasi;
tembakau "dihomogenisasi" atau "dibentuk kembali"; ekstrak dan esens
tembakau. Lain-lain 6. ex. 2403.99.90: Tembakau dipabrikasi lainnya dan
pengganti tembakau dipabrikasi; tembakau "dihomogenisasi" atau
"dibentuk kembali"; ekstrak dan esens tembakau. (2) Hasil Verifikasi atau
Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
bentuk Laporan Surveyor (LS) untuk digunakan sebagai dokumen
pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor. (3) LS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat pernyataan kebenaran
atas hasil Verifikasi atau Penelusuran Teknis dan menjadi tanggung jawab
penuh Surveyor. (4) Atas pelaksanaan Verifikasi atau Penelusuran Teknis
impor Rokok Elektrik yang dilakukannya, Surveyor memungut imbalan jasa
dari Importir Rokok Elektrik yang besarannya ditentukan dengan
memperhatikan azas manfaat.
Pasal 12, (1)Importir Rokok Elektrik wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
Impor Rokok Elektrik kepada Direktur Jenderal, dalam hal ini Direktur,
setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya, dengan tembusan disampaikan kepada: a. kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian; b.
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan; dan c. lembaga pemerintah non-kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
45
secara daring (online) melalui http://inatrade.kemendag.go.id dan
melampirkan pindai (scan) Kartu Kendali Realisasi Impor yang telah
diparaf dan dicap oleh petugas Bea dan Cukai.
Pasal 13 Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) wajib
menyampaikan laporan tertulis mengenai pelaksanaan Verifikasi atau
Penelusuran Teknis Impor Rokok Elektrik kepada Direktur Jenderal setiap
bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
Pasal 14 Rokok Elektrik asal impor hanya dapat diedarkan setelah memperoleh
izin edar dari lembaga pemerintah non-kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
Pasal 15 (1) Persetujuan Impor Rokok Elektrik dibekukan apabila Importir
Rokok Elektrik:a. tidak melaksanakan kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sebanyak 2 (dua) kali; dan/atau b.
sedang dalam proses penyidikan atas dugaan tindak pidana yang berkaitan
dengan penyalahgunaan Persetujuan Impor Rokok Elektrik. (2) Pembekuan
Persetujuan Impor dapat diaktifkan kembali setelah Importir Tembakau: a.
memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dalam waktu 2 (dua) bulan sejak Persetujuan Impor dibekukan;
dan/atau b. tidak terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan
penyalahgunaan Persetujuan Impor Rokok Elektrik.
Pasal 16 Persetujuan Impor Rokok Elektrik dicabut apabila Importir Rokok
Elektrik: a. tidak melaksanakan kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 setelah melebihi batas waktu 2 (dua)
46
bulan sejak Persetujuan Impor Rokok Elektrik dibekukan; b. terbukti
menyampaikan data dan/atau keterangan yang tidak benar dalam
permohonan Persetujuan Impor Rokok Elektrik, setelah Persetujuan Impor
Rokok Elektrik diterbitkan; c.mengubah, menambah, dan/atau mengganti isi
yang tercantum dalam Persetujuan Impor Rokok Elektrik; d. melakukan
pelanggaran di bidang kepabeanan berdasarkan informasi dari Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan; dan/atau e. dinyatakan
bersalah oleh pengadilan atas tindak pidana yang berkaitan dengan
penyalahgunaan Persetujuan Impor Rokok Elektrik.
Pasal 17 Pembekuan dan pengaktifan kembali Persetujuan Impor Rokok Elektrik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan pencabutan Persetujuan Impor
Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan oleh
Direktur Jenderal.
Pasal 18 Penetapan sebagai Surveyor pelaksana Verifikasi atau Penelusuran
Teknis Impor Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2) dicabut apabila Surveyor: a. melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan
kegiatan Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Rokok Elektrik;
dan/atau b. tidak melaksanakan kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sebanyak 2 (dua) kali.
Pasal 19 Pencabutan penetapan sebagai Surveyor pelaksana Verifikasi atau
Penelusuran Teknis Impor Rokok Elektrik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 20 (1) Importir yang mengimpor Rokok Elektrik tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi lain berdasarkan
47
ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Rokok Elektrik yang diimpor
tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini harus diekspor
kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Biaya
ekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung
jawab importir.
Pasal 21 Surveyor yang melaksanakan Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor
Rokok Elektrik tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini
dapat dikenai sanksi lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 22 Pengecualian dari ketentuan Peraturan Menteri ini hanya dapat
dilakukan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari instansi teknis
terkait.
Pasal 23 Petunjuk teknis pelaksanaan Peraturan Menteri ini dapat ditetapkan
oleh Direktur Jenderal.
Pasal 24 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
semua pasal-pasalnya mengatur persyaratan administtrasi dan persyaratan
teknis yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam melakukan kegiatan Impor
Rokok Elektrik beserta alat-alat pendukungnya ke Indonesia, dari 24(duapuluh
empat) pasal tersebut, tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan tentang
pengawasan terhadap peredaran dari Rokok Elektrik itu sendiri, padahal BPOM
sangat berharap bahwa Kementrian Perdagangan dapat menerbitkan aturan hukum
terkait dengan pengawasan dari peredaran E-liquid, yang sampai saat ini semakin
bertumbuh pesat dan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap
peningkatan jumlah perokok di Indonesia.
48
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif
Cukai Hasil Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan ini, tidak mengatur tentang pengawasan dan
peredaran dari E-liquid, dalam peraturan Menteri Keuangan ini, E-liquid
dikategorikan sebagai hasil olahan tembakau, padahal menurut pelaku usaha E-
liquid bukan merupakan hasil olahan tembakau dan BPOM pun menegaskan
bahwa, perlu ada kajian dengan menguji E-liquid di Laboratorium agar jelas tentang
komposisi E-liquid, jadi Kementrian keuangan memaksakan E-liquid sebagai
produk dari hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, walaupun hasil pengujian untuk
itu belum pernah dilakukan oleh instansi manapun termasuk BPOM.
Dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menerangkan bahwa HPTL adalah Hasil
Pengolahan Tembakau Lainnya yang meliputi:
A. ekstrak dan esens tembakau;
B. tembakau molasses;
C. tembakau hirup (snuff tobacco); atau
D. tembakau kunyah (chewing tobacco)
Terhadap Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, Peraturan ini membebani
cukai sebesar 57% sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dan
peraturan ini berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.
F. Tinjauan Tentang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
49
Pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 ayat (1), Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen. Perumusan Pasal tersebut diharapkan sebagai benteng untuk
meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi
untuk kepentingan perlindungan konsumen. Kesewenang-wenangan akan
mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1993
terdapat arahan mengenai perlindungan konsumen yaitu melindungi kepentingan
produsen dan konsumen. Berdasarkan arahan tersebut maka terdapat dua hal yang
perlu mendapat perhatian yaitu adanya kelompok produsen dan konsumen, dimana
kepentingan masing-masing kelompok perlu untuk dilindungi. Arahan ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut terdapat pengertian mengenai hukum
konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur hubungan dan
masalah penyediaan dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.14
Rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan “Perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen”. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan “perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta
kepastian hukum”. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
14 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media, 2006,
hlm. 34
50
tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan
dalam pembangunan nasional, yaitu: Asas manfaat, Asas keadilan, Asas
keseimbangan. Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
Perlindungan hukum terhadap konsumen diperlukan karena konsumen
dalam posisi yang lemah. Perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan
konsumen menyebabkan gangguan fisik, jiwa atau harta konsumen dan tidak
diperolehnya keuntungan optimal dari penggunaan barang dan/atau jasa tersebut
dan miskinnya hukum yang melindungi kepentingan konsumen. Perlindungan
hukum bagi konsumen yang memadai, diharapkan dapat memberikan kedudukan
hukum yang seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal tersebut cukup
beralasan karena selama ini kedudukan konsumen yang lemah jika dibandingkan
dengan pelaku usaha.
Upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara
kualitatif ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang lainnya yang juga dimaksudkan dan
masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang
hukum privat (perdata) maupun dalam bidang hukum publik, misalnya Hukum
Pidana dan Hukum Administrasi Negara. Keterlibatan berbagai disiplin ilmu
sebagiamana dikemukakan diatas memperjelas kedudukan hukum perlindungan
konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi.15
15 Ahmadi Miru &Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Kosumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2011, hlm. 1-2.
51
2. Asas-asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, memuat ketentuan perlindungan konsumen harus
berasaskan Manfaat, keadilan, keseimbangan keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang penjabaran masing-masing
asas, yaitu:
a. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Asas Keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan;
c. Asas kepastian hukum.
Radbruch menyebut 3(tiga) asas tersebut sebagai “tiga ide dasar hukum”
atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan sebagai asas hukum,
dengan sendirinya menempatkan asas ini menjadi rujukan pertama baik dalam
peraturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang
terlibat didalamnya.16
Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke
dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri
16 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta, Visimedia, 2008, hlm.27.
52
merupakan bagian dari manfaat penyelengaraan perlindungan yang diberikan
kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.17
Asas Keseimbangan yang dikelompokan ke dalam asas keadilan,
mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi
kepentingan masing-masing pihak yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.
Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menamakan fungsi
hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup
bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam
masyarakat atau dengan kata lain sebagai kontrol sosial.18
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, mengatur tentang tujuan perlindungan konsumen yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
17 Ibid.,hlm.30. 18 Ibid.,hlm.28.
53
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan, kenyamanan dan
keselamatan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas
bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum
untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e. sementara
tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan a,b,c,d, dan f.
Terakhir, tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat
dalam rumusan huruf d. pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena
seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf a sampai huruf f terdapat
tujuan yang dapat di kualifikasi sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai f dari Pasal 3 (tiga) tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal apabila
didukung oleh seluruh subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang
ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.19
3. Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, mengatur mengenai definisi konsumen yaitu setiap orang
19Ibid., hlm. 34-35.
54
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup yang lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer), tetapi semua orang
(perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi,
yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction)
berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam
menggunakannya.
Cakupan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah sempit. Bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai
konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subyek hukum yang disebut
“orang” akan tetapi masih ada subyek hukum yang lain yang juga disebut konsumen
yaitu “badan hukum” yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk
diperdagangkan.
Oleh karena itu, lebih tepat jika Pasal ini menetukan “setiap pihak yang
memperoleh barang dan/atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan
badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2
tersebut. Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban.
Rumusan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen,memuat ketentuan hak konsumen, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/jasa.
55
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
e. Hak untuk untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen sudah terlebih dahulu diatur di
deklarasi Hak Asasi Manusia yang dicanangkan Perserikatan Bangsa Bangsa, diatur
pula oleh organisasi Konsumen Dunia (International Organization of Consumers
Union, IOCU) dan diatur pula oleh masyarakat eropa (Europese Ekonomische
Gemeenschap - EEG). Memperhatikan hak-hak yang telah diatur tersebut, maka
56
secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen,
yaitu:20
a. Hak atas Keselamatan dan keamanan;
b. Hak untuk memperoleh informasi;
c. Hak untuk memilih;
d. Hak untuk didengar;
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
f. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya.
j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
Sepuluh hak konsumen tersebut diatas hampir sama dengan hak-hak
konsumen yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Bagaimana pun ragamnya rumusan hak-hak konsumen
yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam 3 (tiga) hak
yang menjadi prinsip dasar yaitu:21
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian baik
kerugian personal maupun kerugian harta kekayaan;
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
20 Ibid.,hlm. 38-40 21 Ibid.,hlm. 46-47.
57
c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang
dihadapi.
Ketiga hak tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat
dijadikan prisip perlindungan hukum bagi konsumen Indonesia. Apabila konsumen
benar-benar akan dilindungi maka hak-hak konsumen diatas harus dipenuhi, baik
oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak kosumen
tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek.
Rumusan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dalam Pasal 5, memuat ketentuan kewajiban konsumen, yaitu:22
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Kewajiban konsumen pada poin (a) adalah penting karena sering pelaku
usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk namun
konsumen tidak membaca peringatan yang disampaikan kepadanya. Pengaturan
kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika
konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban
tersebut.
22 Departemen Perindustrian & Perdagangan, Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2003, hlm. 7.
58
Kewajiban konsumen pada poin (b) hanya tertuju pada transaksi
pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi
konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat
melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan
untuk dapat merugikan konsumen-konsumen dimulai sejak barang dirancang/
diproduksi oleh pelaku usaha.
Kewajiban konsumen pada poin (c) adalah hal yang sudah biasa dan sudah
semestinya demikian, sedangkan kewajiban konsumen pada poin (d) dianggap
tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk
mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak ini akan menjadi lebih mudah jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian
sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini tidak cukup untuk
maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku
usaha.
4. Pengertian Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi sesuai dengan
rumusan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang, Pasal tersebut memberi penjelasan bahwa pelaku
59
usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Pengertian yang diberikan Pasal tersebut dianggap cukup luas karena
meliputi grosir, levenrasir, pengecer dan sebagainya. Tetapi dalam pengertian
pelaku usaha tersebut tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri,
karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia.23
Rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, menentukan hak pelaku usaha, yaitu:24
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
23 Ahmadi Miru &Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Kosumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2011, hlm. 8-9. 24 Departemen Perindustrian & Perdagangan, Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2003, hlm. 7.
60
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak pelaku usaha yang terdapat pada poin (a) menunjukkan bahwa pelaku
usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang
diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang
berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.
Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang
kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak
menyepakati harga yang lebih murah, dengan demikian yang dipentingkan dalam
hal ini adalah harga yang wajar.
Hak pelaku usaha yang terdapat pada poin (b), (c), dan (d) sesungguhnya
merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat
pemerintah dan/atau badan penyelesaian sengketa konsumen/pengadilan dalam
tugasnya melakukan penyelesaian sengketa.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, memuat ketentuan kewajiban pelaku usaha yaitu:25
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
25 Ibid.,hlm. 8.
61
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Penjelasan Pasal 7 huruf c disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan dan pelaku usaha
dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen, sedangkan di
dalam penjelasan Pasal 7 huruf e disebutkan bahwa yang dimaksud dengan barang
dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat di uji atau di coba tanpa
mengakibatkan kerusakan atau kerugian. Ketentuan Pasal 7 huruf a yang berisi
kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalm melakukan kegiatan usaha merupakan
salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian sebagaimana diatur Pasal
1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibakan beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
62
Ketentuan Pasal 7 huruf b dicantumkan karena informasi disamping
merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang
tidak memadai dari pelaku usha merupakan sala satu jenis cacat produk (cacat
informasi) yang akan sangat merugikan konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai
produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa
representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.26
5. Tanggung jawab Pelaku Usaha
Rumusan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, memuat ketentuan kewajiban pelaku usaha, yaitu:
a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang di hasilkan atau diperdagangkan;
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi;
26 Ahmadi Miru &Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Kosumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2011, hlm. 52-55.
63
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dan ayat 2
(dua) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dan ayat 2 (dua) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka adanya produk barang dan/atau
jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku
usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian
yang dialami konsumen.
Rumusan substansi Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdapat kelemahan yang sifatnya
merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit.
Melalui Pasal tersebut, konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk
penggantian rugi atas harga barang. Atau atau hanya berupa perawatan kesehatan,
padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga
barang tetapi juga kerugian timbul dari biaya perawatan kesehatan.
Untuk itu seharusnya dilakukan perubahan, kalau kerugian itu
menyebabkan sakitnya konsumen maka selain penggantian harga barang, juga
mendapat pelayanan kesehatan. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
merupakan kelemahan yang sulit diterima karena sangat merugikan konsumen,
64
apabila ketentuan ini dipertahankan, maka konsumen yang mengkonsumsi barang
pada hari kedelapan transaksi tidak akan mendapat penggantian kerugian dari
pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita
kerugian.27
Rumusan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merumuskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha,
mencantumkan mengenai tanggung jawab pengusaha atas penggantian kerugian
yang diderita konsumen secara umum tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang
dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa
kerugian materi, fisik, dapat di dasarkan pada dua kategori, yaitu:
a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan
atas wanprestasi, maka terlebih dahulu penggugat dan tergugat (produsen dan
konsumen) terikat dalam suatu perjanjian, dengan demikian, pihak ketiga
(yang tidak terikat dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut
kerugian dengan alasan wanprestasi. Dengan adanya wanprestasi, kewajiban
untuk membayar ganti kerugian merupakan akibat dari penerapan klausula
dalam perjanjian, dengan demikian bukan undang-undang yang menentukan
apakah harus dibayar ganti kerugian, atau berapa besar ganti kerugian yang
harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-
syaratnya serta besarnya ganti kerugian.
b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum Tuntutan ganti kerugian
yang didasarakan pada perbuatan melawan hukum tidak perlu didahului
27 Ibid.,hlm. 125-127.
65
dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti
kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak
pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen,
sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang
dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara
produsen dengan konsumen, dengan demikian pihak ketiga dapat menuntut
ganti kerugian.
6. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-
hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan,
pidana maupun tata usaha negara. Oleh karena itu tidak ada istilah yang digunakan
“sengketa transaksi konsumen” karena terkesan lebih sempit, yang hanya
mencakup aspek keperdataan.
Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini hanya
mengatur beberapa ketentuan Pasal beracara, maka secara umum peraturan hukum
acara seperti dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana tetap berlaku.
Peyelesaian Sengketa Konsumen dalam hal ini memiliki kekhasan. Sejak
semula para pihak yang berselisih, khususnya pihak konsumen dimungkinkan
menyelesaiakan sengketa itu melalui beberapa lingkup peradilan misalnya
peradilan umum atau menyelesaikan diluar pengadilan umum. Tahapan
66
penyelesaian sengketa konsumen dalam hal ini dapat ditempuh melalui dua cara
yaitu:28
a. Penyelesaian di Peradilan Umum Di dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berbunyi: “Setiap
konsumen dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaiakan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Ketentuan
ayat berikutnya mengatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat
diselesaiakan melalui peradilan umum atau diluar peradilan umum,
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Kemudian
disebutkan dalam penjelasan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa adanya
kemungkinan perdamaian diantara pra pihak sebelum mereka berperkara di
pengadilan atau diluar pengadilan. Dengan demikian kata sukarela diartikan
sebagai pilihan para pihak, baik sendiri maupun bersama-sama untuk
menempuh jalan penyelesaian di pengadilan atau diluar pengadilan, oleh
karena upaya perdamaian diantara mereja gagal atau sejak semula mereka
tidak mau menempuh alternatif perdamaian. Kemudian Pasal 45 ayat (3)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan penyelesaian
sengketa diluar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Adapun yang diberikan hak
untuk mengajukan gugatan menurut Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah:
28 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001, hlm. 169.
67
1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2) Sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama;
3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya;
4) Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit.
b. Penyelesaian di Luar Pengadilan Untuk mengatasi permasalahan atau
sengketa konsumen yang timbul, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen memberikan alternatif penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan.
Dalam Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyebutkan: “jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak ayau oleh para pihak yang
bersengketa”. Bahwa penyelesaian sengketa dipengadilan pun tetap dibuka setelah
para pihak gagal menyelesaikan sengketa diluar pengadilan.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diajukan melalui BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen). Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa penyelesaian
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final dan mengikat parah
pihak yang berperkara.
68
Adapun wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tercantum
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu:
1) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam Undang-undang ini;
5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
6) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
8) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini;
9) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen;
10) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
11) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
69
12) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
13) Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam hal ini
sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditanganinya hanya mencakup
pelanggaran Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sanksi yang dijatuhkannya
hanya berupa sanksi administratif.
Sanksi administratif disini maksudnya adalah penetapan ganti rugi yang
tercantum dalam Pasal 60 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pelanggaran lainnya berupa pelanggara pidana yang
dilimpahkan ke pengadilan.
G. Analisis
Rokok Elektronik (Elecronic Nicotine Delivery Systems atau eCigarette)
adalah sebuah inovasi dari bentuk rokok konvensional menjadi rokok modern.
Rokok elektronik pertama kali dikembangkan pada tahun 2003 oleh SBT Co Ltd,
sebuah perusahaan yang berbasis Beijing, RRC, yang sekarang dikuasai oleh
Golden Dragon Group Ltd Pada tahun 2004, Ruyan mengambil alih proyek untuk
mengembangkan teknologi yang muncul. Diserap secara resmi Ruyan SBT Co Ltd
dan nama mereka diubah menjadi SBT RUYAN Technology & Development Co,
Ltd.
70
Pada tahun 2012 vape masuk ke Indonesia, dan sampai tahun 2017 vape
belum mendapatkan status legal dari pemerintah Indonesia tapi juga tidak berarti
vape ilegal pada waktu itu, akan tetapi vape masih menjadi pro dan kontra di
Indonesia sehingga banyak orang-orang yang mengkaji dan mempelajari vape lebih
mendalam, pada tahun 2018 vape resmi dilegalkan oleh pemerintah Indonesia
sehingga para vape dan e-liquidnya dikenai pajak melalui Peraturan Kementrian
Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik dan
penerapan cukai yang terdapat pada e-liquid vape.
Meskipun rokok elektrik ini dinyatakan lebih aman dibanding rokok
konvensional masih terdapat beberapa bahaya dari penggunaannya seperti penyakit
paru-paru misterius, mengandung senyawa mirip formalin, konsumsi dua rokok
sekaligus baik rokok konvensional maupun rokok elektrik, ancaman bagi perokok
pasif, bronchiolitis obliterans, menciptakan kecanduan baru, vape yang rusakan
atau konsleting bisa meledak, bahayakan jantung, menyebabkan gangguan pada
janin, sebagian besar vape mengandung formaldehid, menurunkan sistem
kekebalan tubuh.
Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), rokok elektrik
mengandung nikotin cair dan bahan pelarut propilen glikol, dieter glikol, dan
gliserin. Jika semua bahan itu dipanaskan akan menghasilkan senyawa nitrosamine.
Senyawa tersebut dapat menyebabkan kanker.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makan, kandungan yang ada dalam
cairan E-liquid sangat berbahaya, sebagai berikut:
71
a. Nikotin Nikotin (C10H14N2) adakah senyawa yang bersifat toksik dan sifat
toksik pada nikotin sangat kuat dan kompleks, rasa mual dan muntah adalah gejala
yang paling umum dari keracunan nikotin akut. Dosis yang berlebihan akan
menyebabkan tremor, diikuti oleh kejang. Paralysis dan kolaps pembuluh darah
adalah hal yang menonjol dari keracunan nikotin akut. Nikotin telah terbukti
memiliki efek buruk pada proses reproduksi, berat badan janin dan perkembangan
janin. Studi di Perancis mengevaluasi kandungan nikotin dari label E-liquid pada
rokok elektrik, dan telah dilakukan uji terhadap 20 sampel katrid, ditemukan bahwa
umumnya kandungan nikotin yang sebenarnya lebih tinggi dibandingkan dengan
yang tercantum di label, bahkan ditemukan beberapa kasus kndungan nikotin
2(dua) sampai 5(lima) kali lebih besar. Nikotin yang digunakan dalam jangka waktu
yang lama dan gradual akan terakumulasi dalam tubuh dan mengakibatkan
gangguan pada pembuluh darah, seperti penyempitan dan oengentalan darah, dan
efek lainnya.
b. Propylene Glycol dan Glycerol Propylene Glycol dan Vegetable Glycerol
(biasanya disingkat PG/G). Propylene Glycol / 1,2- Propanediol (C3H8O2) adalah
bahan kimia yang dapat ditemukan dalam kepulan asap buatan yang biasanya sibuat
dengan “fog machine” di acara-acara panggung teatrikal, atau juga digunakan
sebagai antifreeze dan zat adiktif pada makanan. Glycerol/1,2,3- Propanetriol/
Glycerine/ Glyceritol/ Glycyl alcohol/ Trihydroxypropane (C3H8O2) banyak
digunakan oleh industry makanan, kosmestik dan farmasi, karena memiliki banyak
fungsi seperti humektan (menyerap kelembaban) dan untuk meningkatkan
kelancaran pelumasan. PG/G keduanya merupalan humektan dan emollient dalam
produk kosmetik, Adapun di dalam rokok elektrik PG/G berfungsi sebagai alat
72
angkut untuk nikotindan perisa (flavoring), serta berfungsi membuat uap semisal
asap rokok. Studi tentang efek yang ditimbulkan dari asap buatan hasil pemesanan
mengandung PG/G, disebutkan bahwa paparan asap buatan ini dapat berkontribusi
terhadap masalah kesehatan secara akut dan kronis seperti asma, mengi
(wheezimg), sesak dada, penurunan fungsi paru-paru, iritasi pernafasan, dan
obstruksi jalan pernafasan. Sumber lain menyebabkan beberapa efek samping dari
penggunaan Propylene Glycol adalah nyeri otot, sakit tenggorokan, dan stronger
smelling urine. Semua efek ini dapat diperoleh dsri penggunaan E-liquid pada
rokok elektrik yang menggunakan Propylene Glycol.
c. Kadar Perisa ( Flavoring) Salah satu daya tarik dari rokok elektrik adalah variasi
beberapa pilihan rasa dan aroma yang tersedia, mulai dari rasa buah-buahan, mint,
menthol, rokok konvensional, bahkan mothers’s milk juga ada tersedia. WHO
menemukan lebih dari 8000 jenis flavoring (perisa). Studi menunjukan senyawa
yang aman dikonsumsi secara langsung tidaklah otomatis juga aman ketika di
inhalasi, contohnya Diacetyl (butanedione or butan-2,3-dione) walaupun
dinyatakan aman untuk dikonsumsi langsung sebagai flavoring dalam mentega
namun ketika di inhalasi dapat berpotensi menyebabkan bronchiolitis obliteransi,
penyakit hati yang sangat serius. Berdasarkan uraian kandungan di atas, dapat
disimpulkan betapa berbahayanya E-liquid bila dikonsumsi oleh konsumen
manusia. Seharusnya informasi ini disampaikan secara jujur oleh pelaku usaha
melalui label dalam kemasan E-liquid, walaupun pelaku usaha mengatakan bahwa
labelisasi sudah dilakukan, tetapi hal ini tetap saja tidak sesuai dengan UUPK yang
mewajibkan labelisasi dalam Bahasa Indonesia.
73
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
menerangkan, Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomi. Dalam undang-undang ini, tidak diatur secara khusus tentang
rokok dan sejenisnya seperti E-liquid pada rokok elektrik, melainkan hanya
memberikan gambaran singkat tentang zat apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai zat adiktif.
Dalam Pasal 113: ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan
agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan. Ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan menjelaskan Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas
yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Dalam penjelasan undang-undang tentang kesehatan, tidak dijelaskan
tentang apakah zat adiktif itu, walaupun dalam pasal 113 ayat (2) Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diterangkan zat adiktif itu meliputi
tembakau, produk yang mengandung tembakau. padat, cairan, dan gas yang bersifat
adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau
masyarakat sekelilingnya. Untuk memahami apakah yang dimakasud dengan zat
adiktif, undang-undang ini menjelaskan bahwa terkait dengan pengamanan bahan
yang mengandung zat adiktif akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,
sehingga dapat disimpulkan Undang-undang kesehatan hanya memberikan
74
gambaran saja bahwa zat adiktif berbahaya bagi penggunanya dan masyarakat
sekitar dimana pengguna itu berada.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan dan Pelaksanakan ketentuan Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pemerintah telah menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Peraturan Pemerintah ini jelas menrangkan,
tentang definisi dari Zat Adiktif, yaitu bahan yang menyebabkan adiksi atau
ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan
perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengkonsumsi
bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi prioritas
pada penggunaan bahan tersebut dari pada kegiatan lain, meningkatnya toleransi
dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.
Undang-undang Kesehatan menjelaskan bahwa zat adiktif terkandung
dalam tembakau dan produk yang mengandung tembakau, padat, cair dan gas.
Tidak menjelskan produk apa yang dimaksud, tetapi dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan , dengan jelas
diterangkan bahwa yang dimaksud produk tembakau atau produk yang
mengandung tembakau dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung
Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yaitu; “Rokok adalah salah
satu Produk Tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau
75
dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya
yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies
lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau
tanpa bahan tambahan”. Pengertian dari produk tembakau dijelaskan dalam pasal 4
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan yaitu : Produk Tembakau yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
meliputi Rokok dan Produk Tembakau lainnya yang penggunaannya terutama
dengan cara dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, yang mengandung Zat
Adiktif dan bahan lainnya yang berbahaya bagi kesehatan.
Dari pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah di atas, dapat disimpulkan
dalam sebagai berikut:
a. Rokok adalah produk tembakau, atau produk lainnya yang dihasilkan dari
tanaman nicotiana tabacum nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya.
Tentang tanaman nicotiana tabacum, dan nicotiana rustica dalam Penjelasan Pasal
1 dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan, tidak dijelaskan secara rinci bentuk dan jenisnya penjelasannya hanya
dikatakan cukup jelas, sehingga dapat disimpulkan bahwa rokok harus dihasilkan
dari tanaman tembakau, dan olehan tembakau serta berasal dari tanaman nicotiana
tabacum dan nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya maka selain dari
tanaman-tanaman tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai rokok, tetapi ada hal
yang kurang jelas di sini yaitu terkait dengan tanaman dari spesies lainnya dan
bahan bahan sintetis.
76
b. Bentuk rokok adalah rokok kretek, rokok putih, cerutu dan bentuk lainnya.
c. Penggunaannya adalah dengan cara dibakar dan dihisap dan/atau dihirup
asapnya.
Jika memperhatikan kesimpulan tersebut di atas, baik keterangan yang
dijelaskan dalam Undang-undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan, sudah cukup jelas menggambarkan bahwa zat adiktif itu terkandung
dalam tanaman tembakau, produk olahan tembakau, tanaman nicotiana tabacum
dan tanaman nicotiana rustica, sementara untuk tanaman spesiaes lainnya serta
berasal dari bahan-bahan sintetis lainnya terlalu luas untuk diartikan.
Dalam Peraturan Kementrian Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017 tentang
Ketentuan Impor Rokok Elektrik. Pasal 1 dari Peraturan Kementrian Perdagangan
ini, menjelaskan tentang E-liquid dalam rokok elektrik, sebagai berikut, yaitu:
Rokok Elektrik adalah perangkat rokok yang digunakan dengan memanaskan
cairan yang menghasilkan asap dan dihisap oleh pemakainya yang termasuk likuid
nikotin dan pengganti likuid nikotin yang digunakan sebagai isi mesin dan paratus
elektrik.
Bunyi pasal 1 Peraturan Kementrian Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017
tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik tersebut, tidak menggambarkan secara
rinci tentang likuid nikotin itu sendiri, apa saja unsur kimia yang dapat
dikategorikan sebagai likuid nikotin, hal ini penting untuk diketahui. Agar
komposisi yang ada dalam EE-liquid yang beredar saat ini dapat dikategorikan
sesuai dengan Peraturan Kementrian Perdagangan ini.
77
Peraturan Kementrian Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017, berisi 24 (dua
puluh empat) pasal, dan semua pasal-pasalnya mengatur persyaratan administtrasi
dan persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam melakukan
kegiatan Impor Rokok Elektrik beserta alat-alat pendukungnya ke Indonesia, dari
24(duapuluh empat) pasal tersebut, tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan
tentang pengawasan terhadap peredaran dari Rokok Elektrik itu sendiri, padahal
BPOM sangat berharap bahwa Kementrian Perdagangan dapat menerbitkan aturan
hukum terkait dengan pengawasan dari peredaran E-liquid, yang sampai saat ini
semakin bertumbuh pesat dan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap
peningkatan jumlah perokok di Indonesia.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan Menteri Keuangan ini, tidak
mengatur tentang pengawasan dan peredaran dari E-liquid, dalam peraturan
Menteri Keuangan ini, E-liquid dikategorikan sebagai hasil olahan tembakau,
padahal menurut pelaku usaha E-liquid bukan merupakan hasil olahan tembakau
dan BPOM pun menegaskan bahwa, perlu ada kajian dengan menguji E-liquid di
Laboratorium agar jelas tentang komposisi E-liquid, jadi Kementrian keuangan
memaksakan E-liquid sebagai produk dari hasil Pengolahan Tembakau Lainnya,
walaupun hasil pengujian untuk itu belum pernah dilakukan oleh instansi manapun
termasuk BPOM.
Dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau peraturan ini menjelaskan bahwa HPTL
adalah Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya yang meliputi :
78
a. ekstrak dan esens tembakau;
b. tembakau molasses;
c. tembakau hirup (snuff tobacco); atau
d. tembakau kunyah (chewing tobacco)
Terhadap Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, Peraturan ini membebani
cukai sebesar 57 % sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dan
aturan ini diberlakukan pada tanggal 1 Juli 2018.
Dari beberapa peraturan diatas membuktikan bahwa belum adanya
peraturan khusus ataupun peraturan yang mengatur secara spesifik mengenai rokok
elektrik beserta e-liquidnya yang berbahaya bagi kesehatan para konsumen.
Sehubungan dengan penggunaan rokok elektrik (vape) beserta E-liquidnya
yang dikonsumsi oleh konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan kepada konsumen, antara lain
:
a. Pasal 4, konsumen mempunyai hak atas kenyaman, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang, dan hak untuk mendapatkan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang.
b. Pasal 7, Pelaku Usaha dalam menjalankan usahanya harus memiliki itikad
baik, dengan memberi informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi barang serta memberi penjelasan tentang penggunaannya.
79
c. Pasal 8, Pelaku usaha dilarang, pengertian dilarang dalam pasal ini lebih
cenderung kepada kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha,
antara lain; wajib memasang label dengan menginformasikan komposisi
yang terkandung dalam barang yang diedarkan atau diperdagangkan dan
informasinya harus disampaikan dalam Bahasa Indonesia.
d. Pasal 19, Tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian yang diderita
oleh konsumen akibat dari mengkonsumsi barang yang diperdagangkannya.
e. Pasal 62, atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam pasal 8, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi pidana.
Dari uraian pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen di atas, dihubungkan dengan peredaran rokok
elektrik (vape) beserta E-liquid di Indonesia, Menurut analisa penulis, sebagaimana
telah diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen tersebut di atas belum dipenuhi oleh pelaku usaha.
Pelaku usaha juga terbukti tidak mempunyai itikad baik, mereka
memperdagangkan E-liquid selalu dengan promosi bahwa E-liquid dapat
membantu konsumen untuk memberhentikan kebiasaan merokok, karena vape
beserta E-liquid ini bukanlah rokok, yang tidak dibuat dari tembakau atau produk
olehan dari tembakau, sehingga vape beserta E-liquid jauh lebih sehat dari rokok
bakar yang terbuat dari tembakau. Ini membuktikan bahwa sebagaimana yang telah
diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen juga belum terpenuhi.
80
Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar terkait
kandungan yang terdapat dalam EE-liquid kurang jelas karena seringkali E-lqiuid
di import dari luar negeri sehingga informasi yang tertera dalam kemasan masih
menggunakan Bahasa asing. Ini membuktikan bahwa pasal 8 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menerangkan kepada
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, antara lain; wajib memasang
label dengan menginformasikan komposisi yang terkandung dalam barang yang
diedarkan atau diperdagangkan dan informasinya harus disampaikan dalam Bahasa
Indonesia juga belum perpenuhi.
Sedangkan dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, memuat ketentuan kewajiban pelaku usaha, yaitu:
a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang di hasilkan atau diperdagangkan;
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi;
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dan ayat 2
(dua) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
81
e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dan ayat 2 (dua) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka adanya produk barang
dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban
pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala
kerugian yang dialami konsumen.
Rumusan substansi Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, terdapat kelemahan yang sifatnya
merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit.
Melalui Pasal tersebut, konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk
penggantian rugi atas harga barang. Atau atau hanya berupa perawatan kesehatan,
padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga
barang tetapi juga kerugian timbul dari biaya perawatan kesehatan.
Untuk itu seharusnya dilakukan perubahan, kalau kerugian itu
menyebabkan sakitnya konsumen maka selain penggantian harga barang, juga
mendapat pelayanan kesehatan. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (3),
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
merupakan kelemahan yang sulit diterima karena sangat merugikan konsumen,
apabila ketentuan ini dipertahankan, maka konsumen yang mengkonsumsi barang
pada hari kedelapan transaksi tidak akan mendapat penggantian kerugian dari
82
pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita
kerugian.
Rumusan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merumuskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha,
mencantumkan mengenai tanggung jawab pengusaha atas penggantian kerugian
yang diderita konsumen secara umum tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang
dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa
kerugian materi, fisik, dapat di dasarkan pada dua kategori, yaitu:
a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi Tuntutan ganti kerugian yang
didasarkan atas wanprestasi, maka terlebih dahulu penggugat dan tergugat
(produsen dan konsumen) terikat dalam suatu perjanjian, dengan
demikian, pihak ketiga (yang tidak terikat dalam perjanjian) yang
dirugikan tidak dapat menuntut kerugian dengan alasan wanprestasi.
Dengan adanya wanprestasi, kewajiban untuk membayar ganti kerugian
merupakan akibat dari penerapan klausula dalam perjanjian, dengan
demikian bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar
ganti kerugian, atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar,
melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta
besarnya ganti kerugian.
b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum Tuntutan ganti kerugian
yang didasarakan pada perbuatan melawan hukum tidak perlu didahului
dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan
ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun
tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan
83
konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap
pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian
antara produsen dengan konsumen, dengan demikian pihak ketiga dapat
menuntut ganti kerugian.