Upload
vuongminh
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
MEMORI KOLEKTIF DAN PERILAKU SOSIAL
Ikan Foti adalah salah satu tempat terjadinya fenomenologi sosial yang menonjol dalam
masyarakat Amarasi Barat. Seperti yang sudah penulis sampaikan pada bab sebelumnya, dalam
kawasan Ikan Foti berkembang cerita-cerita mistis dan mitos. Penulis tertarik pada cerita-cerita
itu, sehingga hendak mengkaji tentang memori kolektif Ikan Foti dan pengaruhnya bagi
perilaku sosial Masyarakat Timor Amarasi Barat. Berdasarkan pandangan dan pemikiran para
ahli, Penulis berupaya mengungkapkan memori kolektif, kekuasaan, strategi kebudayaan dan
pengaruh perilaku sosial dalam pokok pikiran sebagai berikut: pengertian memori kolektif,
terbentuknya memori kolektif, tipologi memori dan memori kolektif. Pengertian perilaku sosial,
bentuk-bentuk perilaku sosial, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sosial.
A. Memori Kolektif
2.1 Pengertian Memori Kolektif Menurut Para Tokoh
Memori merupakan sebuah fenomena yang bersifat individu. Dimulai dari aktivitas
mengingat-ingat yang terjadi di dalam kepala sendiri. Seseorang dapat melakukan aktivitas
mengingat-ingat ketika sedang berbicara, mendengarkan dan masih banyak lagi cara mengingat-
ingat. Pemikiran tentang memori sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, namun perspektif sosial
pada memori baru muncul di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pertama kali digunakan
secara kontemporel oleh Maurice Halbwachs (1925) dan banyak mendapat pengaruh dari filsuf
Prancis Henri Bergson dan sosiolog Emil Durkheim.1
1Fowler Bridget, The Obituary as Collective Memory, (London: Routledge, 2007) 25.
14
Secara umum ada 2 jenis memori yaitu memori individu dan memori kolektif.Memori
individu adalah memori yang dimiliki masing-masing orang, sedangkan memori kolektif adalah
memori yang dialami oleh sekelompok orang atau komunitas.
Menurut Halbwachs, memori kolektif berakar dan mengacu pada pengalaman sosial yang
nyata, yang berbaur dengan aspek spasial. Artinya bahwa, memori diingat kembali dengan
mengkaji berdasarkan jangka waktu dan mengumpulkan kembali tempat-tempat yang
digunakan dan mengkaji pola-pola yang tercipta di dalamnya, di mana semua hal tersebut pasti
akan berkaitan dengan kelompok orang. Sebab inti dari memori sebenarnya adalah memori
sosial bukan memori individual. Halbwachs mengakui bahwa setiap individu memiliki memori
untuk satu dimensi tertentu dari suatu peristiwa yang sama. Walaupun begitu memori akan
selalu berkaitan dengan faktor sosial seperti keluarga,tradisi, kepercayaan, budaya dan tempat.
Artinya bahwa ingatan kolektif sebuah masyarakat tertanam di dalam kesadaran para
warganya.2
Paul Connerton dalam tulisannya mau menjelaskan bagaimana semuanya diawali terutama
dengan unsur ingatan. Hal ini, berkaitan dengan suatu kelompok masyarakat sosial yang
mencoba untuk memulai dengan hal yang sama. Secara umum dapat dikatakan bahwa memori
sosial ini adalah memori bersama suatu kelompok.Dalam semua model pengalaman, yang
menjadi dasar dari sebuah pengalaman, tidak terlepas dari pengalaman sebelumnya, sebuah
pengalaman dapat terorganisir berdasarkan ingatan. Karya ingatan dioperasikan dalam banyak
cara, baik secara eksplisit dan implisit, dan di berbagai tingkatan yang berbeda dari pengalaman.3
Pengetahuan tentang semua manusia dilihat dari masa lalu dan dengan demikian kita akan
memiliki pengetahuan tentang jejak mereka, jejak manusia pada masa lalu itulah yang dapat
2 Maurice Halbwachs, On Collective Memory, (New York: University Of Chicago Press, 1992)151.
3 Paul Connerton, How Societies Remember, (Inggris: Cambridge University Press, 1989) 6.
15
dikatakan sebagai sebuah sejarah. Sebuah rekonstruksi sejarah adalah bentuk dari memori sosial.
Tapi rekonstruksi sejarah masih diperlukan bahkan ketika memori sosial mempertahankan
kesaksian langsung dari suatu peristiwa, suatu rekonstruksi sejarah perlu dilihat berdasarkan
memori sosial yang ada karena pada akhirnya hal itu akan menjadi sebuah bentuk signifikan dari
memori sosial kelompok. Ketika sebuah sejarah direkontruksi dan dibuat dalam sebuah
dokumen, hal itu juga hendak menunjukan bahwa itu bagian dari membangun sebuah ingatan
bersama dalam suatu kelompok.4 Ingatan bersama itu, menurut Paul bukan hanya dengan narasi-
narasi tetapi juga diritualkan.
Dari berbagai pengertian akan memori kolektif, maka dapat dilihat bahwa memori akan
selalu berkaitan dengan manusi atau kelompok manusia, dan juga pengalaman atau informasi
yang dimiliki oleh manusia atau kelompok manusia itu sendiri.
2.2 Memori Bukanlah Sejarah
Meskipun sama-sama berhubungan dengan masa lalu, menurut beberapa tokoh memori
dan sejarah adalah 2 hal yang berbeda. Maurice Halbwach yang dikutip Mark Crinson bahwa
memori bertentangan dengan sejarah.
Halbwach saw history as an instrumental and overly rationalised version
of the past, by contrast with memory which was intimately linked with
collective experience. Memory, for Halbwach, bound groups of people
together, recharging their commonality by reference to the physical spaces
and previous instances, often founding moment, of that collective
identity.5
Menurut Halbwach, sejarah merupakan sarana penyimpanan atau proses
menyimpan apa yang terjadi di masa lalu dengan cara dirasionalisasikan. Sedangkan
memori lebih mengarah kepada bagaimana pengalaman kolektif yang dimiliki oleh
sekelompok orang yang memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut akan saling
4 Connerton, How Societies Remember, 10.
5 Halbwachs, On Collective Memory, 128.
16
menyesuaikan dengan setting ruang yang dimiliki sekelompok orang tersebut, serta
membentuk identitas bersama kelompok. Ketika sekelompok orang dihadapkan dengan
sebuah space, kesamaan atau identitas kelompok tersebut akan dapat mempengaruhi
dan ikut juga merubah citra space.6
Namun, hubungan saling mempengaruhi ini tidak terjadi hanya satu arah melainkan
terjadi dua arah. Kelompok orang tersebut akan mempengaruhi citra space yang
ditempati, tetapi tidak hanya mereka yang akan memberi pengaruh, karena orang
tersebut akan menyesuaikan diri dengan space yang ditempati. Inilah yang dimaksud
Halbwach dengan memori, di mana ada pengalaman, saling beradaptasi dan
menciptakan suatu identitas, bukan hanya menyimpan cerita masa lalu.7
2.3 Terbentuknya Memori Pada Sebuah Tempat
Julian Thomas dalam bukunya time,culture and identity berargumen bahwa, “in order to
understand the past we must understand places”.8 Menurutnya bahwa gagasan akan place akan
menjadi suatu gagasan yang menarik untuk dikaji oleh para arkeolog dalam mengkaji apa yang
terdapat dalam masa lalu. Place menjadi tempat di mana bermacam-macam interaksi terjadi,
terutama yang dilakukan oleh manusia serta manusia dan lingkungannya. Manusia adalah
makhluk sosial, di mana interaksi telah menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup.9
Selain itu Bachelard yang dikutip oleh Thomas berpendapat bahwa place menjadi faktor
penting ketika ingin mengkaji masa lalu, karena manusia biasanya akan lebih sulit mengingat
berapa lama sebuah peristiwa terjadi pada masa lalu, dari pada di mana peristiwa tersebut
6 Halbwachs, On Collective Memory,143.
7 Halbwachs, On Collective Memory, 147.
8 Julian Thomas, Time, Culture and Identity,(London: Routledge,1998) 35.
9Thomas, Time, Culture and Identity, 37.
17
terjadi. Jika hal ini terjadi, berapa lama hal tersebut berlangsung biasanya dikaji dari bagaimana
aktivitas manusia terjadi pada place.10
2.1.1 Space dan Place
Secara harfiah, ruang atau space berasal dari bahasa Latin, yaitu spatium yang
berarti ruangan atau luas (extent).Jika dilihat dalam bahasa Yunani dapat diartikan sebagai
tempat (topos) atau lokasi (choros) yaitu ruang yang memiliki ekspresi kualitas tiga
dimensi. Sedangkan place atau tempat adalah bidang atau wadah yang digunakan sebagai
tempat usaha yang akan kita jalankan nantinya. Kita harus memilih tempat usaha yang
sangat berpotensi mendatangkan keuntungan untuk kita.11
Space dan place memiliki hubungan timbal balik dan memiliki ciri masing-masing.
Menurut Roger Trancik, sebuah space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah ruang, dan
sebuah space akan menjadi place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari
budaya daerahnya. Artinya bahwa place akan dibentuk oleh space jika memiliki ciri khas
dan suasana tertentu bagi lingkungannya.Secara lebih mendalam dengan memperhatikan
perilaku manusia di dalam konsep tersebut.Ia mengamati bahwa abstrak ruang di dalam
citra manusia akan lebih konkret jika dapat dialami sebagai tempat, dan istilah waktu
menjadi lebih konkret jika dilihat sebagai suatu kejadian.12
2.2.1 Kualitas dari Place
Menurut Thomas selain identitas, aktivitas manusia juga akan membentuk kualitas
tempat. Kualitas tempat didapat dari rasa terbiasa (akan suasana dan kondisi) sebagai efek
dari proses interpretasi terhadap pengalaman yang dirasakan. Identitas dan kualitas inilah
yang akan membentuk karakter tempat. Bagi tiap manusia yang pernah ada di sana dan
10
Thomas, Time, Culture and Identity, 40. 11
Halbwachs, On Collective Memory, 139. 12
Halbwachs, On Collective Memory, 150.
18
merasakan identitas, kualitas, serta karakter, akan ada nada memori yang tersimpan
mengenai tempat itu.13
Kualitas Place bersifat objektif dan tepat, namun tidak dapat dinamai.Semua tempat
pasti memiliki karakter yang terbentuk dari pola-pola kejadian atau peristiwa yang terjadi
didalamnya. Maka dari itu, walaupun kualitas tidak dapat dinamai, kita akan tetap dapat
mendefinisikannya, namun semua itu harus dimulai dengan pengertian bahwa semua
tempat memiliki karakter yang terbentuk dari pola-pola atau kejadian-kejadian yang selalu
terjadi di dalamnya.
2.3.1 Place sebagai wadah bagi memori
Place dapat mencakup berbagai macam hal seperti rumah secara keseluruhan, lokasi,
ruang terbuka ataupun ruang publik yang terdapat dalam satu kota. Berbicara tentang Place
juga akan sejalan dengan rasa dari place tersebut yang menjawab pertanyaan tentang
bagaimana sifat suatu lokasi, di mana sifat tersebut yang kemudian menjadikannya disebut
place.14
Menurut Thomas dalam bukunya Time, Culture and Identity bahwa sebuah space
akan dapat bertransformasi menjadi place, jika terdapat aktivitas manusia di dalamnya.
Thomas berpendapat manusia dan tempat saling berhubungan. Keberadaan manusia tidak
terlepas dari tempat ia berada, dan keberadaan tempat tidak terlepas dari aktivitas manusia.
Aktivitas manusia, kepekaan manusia akan keberadaannya dan menjadikannya sesuatu
yang berguna untuk membentuk ruang menjadi sebuah tempat dan memberikan identitas.15
Manusia-manusia yang pertama kali berkegiatan di place, aktivitasnya menjadi
pembentuk identitas dan karakter dari place, mungkin sudah sulit untuk ditemukan. Namun
13
Thomas, Time, Culture and Identity, 60. 14
Dolores Hayden, The Power Of Place, (Massasuchetts: MIT Press,1999), 26. 15
Thomas, Time, Culture and Identity, 65.
19
setidaknya, bagaimana bentuk dan pola aktivitas manusia yang terjadi di dalam sebuah
place tersebut, membentuk identitas serta karakter dari place, dan dapat menjadi sumber
untuk mengkaji apa yang terjadi pada masa lalu.
2.4.1 Place memori
Selain adanya argument mengenai place sebagai wadah bagi memori, ada pula yang
dikenal sebagai place memory. Menurut Hayden place merupakan wadah yang stabil dan
teguh serta memberikan kontribusi kekuatan yang khas kepada memori hingga yang paling
dasar. Memori yang tajam dan aktif pasti akan terhubung secara langsung dengan place,
saling mendukung dan terjadi secara parallel. Dapat dikatakan, memori adalah sesuatu yang
secara natural akan berorientasi pada place, atau setidak-tidaknya keberadaan memori
didukung oleh place. Hal inilah yang disebut sebagai place memory, di mana antara
memori dan place saling berhubungan dan mendukung.16
Casey berpendapat bahwa place memory akan membantu manusia untuk membentuk
lingkungannya dan juga membantu menjelaskan atau mengartikan apa yang terjadi pada
masa lalu. Place memory adalah kunci atau inti dari sebuah tempat untuk mengkaji apa
yang terjadi di masa lalunya. Place memory akan memicu memori yang terjadi di dalam
sebuah place, siapa saja yang berbagi di dalamnya. Place memory juga mampu
merepresentasikan memori tersebut kepada orang luar yang tidak menjadi bagian dari
pembentukan memori didalamnya.17
2.4 Tipologi Memori dan Memori Kolektif
Memori-memori yang berusaha ditangkap ini, tentunya sangat beragam konteksnya
sehingga perlu ditipologikan bukan dengan maksud membedakan, tetapi untuk menunjukkan
16
Hayden, The Power Of Place,30. 17
Hayden, The Power Of Place, 50.
20
terbentuknya suatu memori menjadi memori kolektif.Memori-memori individu tidak sendirinya
membentuk memori kolektif, karena itu diperlukan adanya pengikat atau suatu bentuk
representasi untuk menggabungkan memori-memori yang ada mengenai suatu topik. Untuk itu
sebagai langkah awal memahami memori kolektif diperlukan suatu pemetaan dengan tipologi
memori.
Tipologi memori kolektif sering sering tergantung pada penggunaannya
oleh siapa, untuk siapa, dan dengan akibat apa.Tipologi-tipologi ini hanya
membantu kita untuk memahami memori apa yang kita hasilkan, ubah,
hancurkan, dan pertahankan, dan bagaimana kita melakukan semua itu.
Jelas tipologi-tipologi seperti ini ada bahayanya karena sering
mengotakkan, menyerderhankan pemikiran dan pemahaman kita, tapi
membentuk tipologi adalah juga suatu langkah awal untuk mencoba
memahami keragaman, kedalaman dan keluasan memori kolektif.18
Dalam penelitiannya Kusno tentang memori poskolonial dalam ruang publik di Jakarta,
Kusno menggunakan tipologi yang merajut proses pengingatan dan pelupaan yang melibatkan
tatanan lingkungan fisik di ruang publik. Tipologi yang digunakan dalam tulisannya adalah
memisahkan memori, mengatasi memori, penaklukan memori, memasarkan memori, dan
memori yang tak terwadai.19
Dalam memisahkan memori, terjadi usaha untuk seoloh-olah membagi memori dalam era
lama dan era baru.Hal ini dapat dimaknai melalui ruang fisik yang dibuat sedemikian rupa
sebagai tanda perubahan jaman. Hal ini dititik beratkan bukan pada pembentukan pengingatan
terhadap masa lalu, tetapi pembentukan wacana pelupaan, seakan-akan kapasitas memori itu
terbatas sehingga perlu dikosongkan untuk diisi memori yang baru. Walaupun di balik usaha
untuk memisahkan memori ini terdapat usaha untuk melupakan, teknik ini di pakai untuk
membentuk memori kolektif di ruang publik.20
18
Abidin Kusno,Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009) 25. 19
Kusno,Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif, 30. 20
Kusno,Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif, 33.
21
Penaklukan memori merupakan salah satu tipologi memori yang dibentuk oleh Soeharto
selama masa orde baru. Dengan mengumpulkan memori akan Soeharto ke dalam “orde lama”,
Soeharto menciptakan ruang untuk menampung memori-memori kolektif yang harus dilupakan
atau dihindari masyarakat. Penguasaan ruang publik, terapi kejutan dan teknik tontonan
merupakan perangkat untuk menaklukan memori orde baru.21
Memori-memori yang tidak terwadahi ini tidak mendapat tempat di ruang publik karena
tidak sejalan dengan memori resmi atau karna terlalu besar sehingga tidak mampu terwadai oleh
siapapun. Walaupun tidak terwadai dalam suatu ruang publik, ia tetap berkeliaran dan
menghantui ruang publik itu. Memori macam ini sering timbul dari pengalaman peristiwa
kekerasan buatan manusia.22
B. Strategi Kebudayaan
C.A.Van Peursen pada bagian awal buku Strategi Kebudayaan menjelaskan bahwa pada
awalnya, orang banyak berpendapat tentang konsepsi kebudayaan yang hanya meliputi segala
manivestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani saja. Akan
tetapi, kebudayaan diartikan sebagai manifestasi dari seluruh aspek kehidupan setiap orang dan
kehidupan setiap kelompok orang. Manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam.Oleh
karena itu, untuk dapat hidup, manusia harus mengubah segala sesuatu yang telah disediakan
oleh alam.Misalnya, beras agar dapat dimakan harus diubah dulu menjadi nasi.23
Terwujudnya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu hal-hal yang
menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan sehingga dalam hal ini kebudayaan
merupakan produk kekuatan jiwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi.Oleh karena
itu, walaupun manusia memiliki tubuh yang lemah bila dibandingkan dengan binatang seperti
21
Kusno,Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif, 37. 22
Kusno,Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif, 40. 23
C. A. Van Peursen, Startegi Kebudayaan, (Jogyakarta: Kanisius 1976), 16-17.
22
gajah, harimau, dan kerbau, tetapi dengan akalnya manusia mampu untuk menciptakan alat
sehingga akhirnya dapat menjadi penguasa dunia.Dengan kualitas badannya, manusia mampu
menempatkan dirinya di seluruh dunia.Tidak seperti binatang, yang hanya dapat menempatkan
diri di dalam lingkungannya.Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai insan budaya.Dan
karena kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, maka kebudayaan selalu diperluas dan
didinamisir. Irama kehidupan manusia yang begitu cepat dengan sendirinya akan
mempengaruhi perubahan tersebut.24
Kekayaan dan keanekaragaman sejarah kebudayaan manusia sangat sulit untuk
digambarkan secara lengkap. Tapi, menurut Peursen, sejarah kebudayaan umat manusia ini
dapat di pilah menjadi 3 tahap, yaitu:
Tahap Mistis
yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti
dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Akan
tetapi berbagai bentuk mitologi inipun dalam dunia modern masih dapat dilihat.25
Dalam
hal ini juga mistis mempunyai kaitan dengan mitos. Mitos adalah sebuah cerita yang
memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang, dalam arti mitos itu
memberikan arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan pedoman untuk
kebijaksanaan manusia.Manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-
kejadian sekitarnya dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam. Menurut Peursen
ada tiga fungsi mitos yaitu pertama; menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan
ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu,
24
Van Peursen, Startegi Kebudayaan, 34. 25
Van Peursen, Startegi Kebudayaan, 37.
23
tetapi membantu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu
kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.26
Kedua;
mitos memberi jaminan bagi masa kini.27
Ketiga; memaparkan strategi yang menyeluruh,
mengatur dan mengarahkan hubungan antar manusia dan daya-daya kekuatan alam.28
Tahap Ontologis
yaitu sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan dan kekuatan
mistis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak
terhadap segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun
suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai
segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Seseorang bisa melihat bahwa
ontologis itu berkembang dalam lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi
oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.29
Ada tiga fungsi ontologis yaitu pertama; membuat
suatu peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia. Artinya bahwa sikap
ontologis berusaha menampakkan dunia transenden itu, dunia yang mengatasi manusia,
bahkan menjadikannya sesuatu yang dapat dimengerti.30
Kedua; mitos-mitos masih
dipakai, tetapi lebih sebagai suatu alat atau saran untuk menerangkan sesuatu atau
menuturkan sesuatu yang sukar diungkapkan dengan cara lain.31
Ketiga; menyajikan
pengetahuan tentang hal ikhwal dunia ini, menonjolkan pengetahuan sistematis yang
dapat dikontrol dan menggali sebab musabab segala sesuatu.32
26
Peursen, Startegi Kebudayaan, 38. 27
Peursen, Startegi Kebudayaan, 39. 28
Peursen, Startegi Kebudayaan, 41. 29
Peursen, Startegi Kebudayaan, 55. 30
Peursen, Startegi Kebudayaan, 59. 31
Peursen, Startegi Kebudayaan, 64-65. 32
Peursen, Startegi Kebudayaan, 66.
24
Tahap Fungsionil
yaitu sikap dan alam pikiran yang tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap
mistis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap objek penyelidikannya
(sikap ontologis), ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru
terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Beberapa aspek ciri tahapan fungsional
yang digambarkan oleh Van Peursen adalah orang mencari hubungan-hubungan antara
semua bidang; arti sebuah kata atau sebuah perbuatan maupun barang dipandang menurut
peran atau fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan yang saling bertautan.33
Ada tiga
aspek fungsionil yaitu pertama; bagaimana manusia mencarai hubungan yang paling tepat
terhadap daya-daya kekuatan sekitarnya atau menjadikan semuanya itu sesuatu yang
dapat dilami.34
Kedua; bagaimana memberi dasar kepada masa kini, dalam arti peristiwa
yang terjadi dahulu kala menjamin suksesnya perbuatan-perbuatan masa kini.35
Ketiga;
menyerupai aspek-aspek macam itu dalam tahap mistis dan ontologis, ialah peranan
pengetahuan. Dalam sikap fungsionil pun orang ini menambahkan pengetahuan. Tetapi
yang dicari di sini lain daripada apa yang menurut sikap ontologis pantas dicari.36
Menurut Peursen, sifat tegang menjadi ciri khas perkembangan budaya manusia. Manusia
mempertaruhkan diri, mengarahkan diri kepada sesuatu atau kepada seorang lain dengan segala
gairah hidup dan emosi-emosinya. Sikap eksistensil merupakan ciri khas bagi tahap fungsional:
orang mencari relasi-relasi, kebertalian sebagai penganti bagi jarak dan pengetahuan objektif.37
Dalam memandang alam dan masyarakat, manusia mengarahkan diri kepada dunia sekitarnya,
manusia diikutsertakan untuk makin mengisi arti dunia. Manusia makin aktif mencampuri
33
Peursen, Startegi Kebudayaan, 85. 34
Peursen, Startegi Kebudayaan, 92. 35
Peursen, Startegi Kebudayaan, 96. 36
Peursen, Startegi Kebudayaan, 98. 37
Peursen, Startegi Kebudayaan, 87.
25
perkembangan alam dan sejarah. Dalam memandang pekerjaan dan organisasi, pekerjaan tidak
lagi dipandang sebagai sebuah benda, semacam substansi yang dapat diperdagangkan. Bekerja
merupakan suatu cara untuk memberi isi kepada eksistensinya sebagai manusia, untuk
menjadikan kemanusiaan seseorang sesuatu yang nyata; kalau tidak, maka pekerjaan itu menjadi
hampa, tanpa arti, dan tak dapat dibenarkan. Akibat finansial dari pekerjaan, pendapatan
dipandang sebagai salah satu faktor bersama faktor-faktor yang lain. Yang menentukan adalah
bagaimana manusia berfungsi dalam keseluruhan dengan penuh arti atau tidak.38
Dalam memandang peranan pengetahuan, orang ingin menambah pengetahuan. Yang
dipentingkan adalah bagaimana itu ada? Artinya, cara sesuatu menampakkan diri pada manusia,
cara untuk dapat mempergunakan barang-barang itu, fungsi-fungsi yang dapat dijalankan. Dalam
memandang budaya, kebudayaan adalah cara manusia mengekspresikan diri, caranya ia mencari
relasi-relasi yang tepat dengan dunia sekitarnya. Dalam memandang Tuhan, pertanyaan
mengenai Tuhan diketengahkan secara fungsional; “Bagaimana Tuhan dapat dikongkritkan
dalam hubungan sehari-hari?”39
Tahap perkembangan manusia ini terjadi pada kehidupan manusia secara keseluruhan, akan
tetapi yang dipentingkan di sini adalah strategi-strategi yang dilakukan secara berbeda. Apa yang
dinamakan manusia primitif dengan dongeng-dongeng mistisnya, diapun dapat mendekati
sesuatu secara fungsionil. Sebaliknya, dalam kehidupan masyarakat modern sekalipun, unsur
magis, pengaruh mitos-mitos dari ideology yang berkembang selalu ada. Karena setiap kemajuan
berdampingan dengan pergulatan batin dalam setiap kebudayaan. Daya negatif yang disebabkan
38
Peursen, Startegi Kebudayaan, 102-105. 39
Peursen, Startegi Kebudayaan, 106-107.
26
oleh nafsu kekuasaan, cinta diri, akan selalu berhadapan dengan sikap positif yang selalu
membuka diri untuk kepentingan bersama.40
Strategi kebudayaan sebenarnya lebih luas dari hanya sekedar menyusun suatu politik
tertentu mengenai kebudayaan. Sebuah strategi kebudayaan akan selalu mencermati ketegangan
antara sikap terbuka (transendensi) dengan sikap tertutup (imanensi) dalam pertautan antara
manusia dan kekuasaan-kekuasaan disekitarnya. Kebudayaan mempunyai gerak pasang surut
antara manusia dengan berbagai kekuasaan yang berkembang.Ketegangan antara imanensi dan
transendensi, disertai dengan kebijaksanaan atau strategi yang mengatur ketegangan itu agar
menjadi suatu yang lebih baik bagi kehidupan manusia.41
Penulis dapat mengilustrasikan bahwa apabila kebudayaan dipandang sebagai sekolah umat
manusia, maka pendidikan terus-menerus, pendidikan yang tidak ada tamatnya, sepanjang
sejarah hubungan manusia dengan berbagai kekuasaan yang berkembang akan selalu
membutuhkan rencana-rencana baru. Dan dalam rencana baru itulah menurut Peursen sebuah
strategi kebudayaan diperlukan. Dengan kata lain budaya adalah strategi untuk bertahan hidup
dan menang. Inti dari budaya bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strategi kebudayaan.
C. Kekuasaan
Dalam kehidupan suatu masyarakat, kekuasaan mempunyai peran yang sangat penting.
Dengan adanya kekuasaan, suatu masyarakat dapat diatur menjadi baik, sejahtera, dan
sebagainya, namun menjadi sebaliknya jika suatu kekuasaan ditungganggi oleh berbagai
kepentingan politik di dalamnya.
Menurut Moore dan Hendry, kekuasaan adalah kekuatan dalam masyarakat yang membuat
tindakan terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan
40
Peursen, Startegi Kebudayaan, 110-111. 41
Peursen, Startegi Kebudayaan, 30.
27
dan demi kepentingan siapa.42
Salah satu cara untuk memahami cara kerja dari kekuasaan dalam
masyarakat adalah dengan melihat pada dunia politik. Kekuasaan politik mengendalikan banyak
aspek dalam kehidupan seperti berapa besar pajak yang kita bayar atau kondisi layanan
kesehatan masyarakat. Kekuasaan ini ditegaskkan lewat orang-orang tertentu seperti hakim,
polisi atau sipir penjara.Ada juga kekuasaan lewat suara nurani seperti guru, orang tua atau
majikan atau kita dapat menyebutnya kekuasaan personal.43
Menurut Michael Mann, masyarakat terdiri atas berbagai jaringan kekuasaan sosiopasial
(ruang sosial). Menurutnya, kekuasaan memiliki empat sumber yaitu ideology, ekonomi, militer
dan politik. Seseorang yang menelaah kekuasaan harus menganalisis tidak hanya struktur politik
melainkan juga budaya politik.44
Istilah budaya politik ini didefinisikan sebagai pengetahuan,
ide-ide, dan sentimen-sentimen politik yang beredar pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Cara-cara pewarisan pengetahuan, ide-ide, dan sentimen-sentimen ini adalah melalui satu
generasi ke generasi berikut baik di sekolah, keluarga dan lingkungan.45
Contohnya di Inggris
pada abad ke-17, fakta bahwa anak-anak tumbuh besar dalam keluarga patriarkal tentu akan
lebih memudahkan mereka menerima sistem masyarakat patriarkal tanpa mempertanyakannya.
Anak-anak diajarkan bahwa kepatuhan kepada raja merupakan perintah kitab suci yang
berbunyi hormati ayahmu.46
Menurut Foucault asal mulanya sebuah kekuasaan adalah dari pengetahuan. Jauh sebelum
Foucault berbicara secara eksplisit mengenai isu kekuasaan, fokus perhatian pada karya-karya
awalnya adalah pada sejarah pengetahuan. Namun yang menjadi perhatiannya bukan
penyelidikan mengenai suatu bentuk pengetahuan spesifik dalam sebuah disiplin ilmu dari waktu
42
Linda Thomas & Shan Wareing, Bahasa Masyarakat dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),18. 43
Thomas & Wareing, Bahasa Masyarakat dan Kekuasaan, 18. 44
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2015), 113. 45
Burke, Sejarah dan Teori Sosial, 113. 46
Burke, Sejarah dan Teori Sosial, 113.
28
ke waktu, melainkan sejarah pengetahuan sebagai sebuah episteme, yakni suatu bentuk
pengetahuan yang otoritatif pada suatu masa tertentu. Penyelidikan sejarah ini bertolak dari
pertanyaan bagaimana suatu bentuk pengetahuan, yakni konsep-konsep atau pernyataan-
pernyataan, terorganisasi secara tematis sehingga ia menjadi otoritatif dan legitimate dalam
menerangkan segala sesuatu. Struktur pengetahuan yang otoritatif dan legitimate ini
mempengaruhi praktik-praktik sosial individu, baik cara berpikir, berbicara, maupun bertindak
sebagai sebuah rezim dalam suatu kebenaran atau pengetahuan benar yang final dan bersifat
universal. Kebenaran tidak lain merupakan kasus-kasus khusus mengenai kekeliruan yang pada
suatu masa tertentu diakui otoritatif dan legitimate belaka, seperti pada kasus Galileo.47
Suatu bentuk pengetahuan, dalam pandangan Foucault, dari masa ke masa bukan suatu
perkembangan yang evolutif, melainkan sebagai pergeseran dari satu bentuk pengetahuan ke
bentuk pengetahuan lain yang otoritatif pada masa tertentu sebagai sebuah rezim wacana.
Arkeologi digunakan dalam studi sejarah untuk menangkap apa yang disebut oleh Foucault
sebagai episteme. Episteme merupakan bentuk pengetahuan yang telah dimantapkan sebagai
pemaknaan terhadap situasi tertentu pada suatu jaman tertentu. Ia dapat dipandang sebagai
disposisi pengetahuan yang khas pada suatu zaman.48
Klaim kebenaran itu merupakan bentuk beroperasinya kekuasaan sebagai suatu wacana yang
mempengaruhi institusi-institusi sosial dan praktik-praktik sosial. Itulah kenapa dalam
pandangan Foucault kekuasaan itu tidak beroperasi secara negatif melalui aparatus yang koersif,
menekan, dan menindas. Pada konteks ini kekuasaan beroperasi secara positif dan produktif.
Artinya, karena wujud kekuasaan itu tidak nampak, maka beroperasinya kekuasaan menjadi
tidak disadari dan memang tidak dirasakan oleh individu sebagai praktik kekuasaan yang
47
Abdil Mughis Mudhoffir, Teori kekuasaan Michel Faucault; tantangan bagi sosiologi politik,(Jakarta: Jurnal
Sosiologi Masyarakat, 2013), 80. 48
Mudhoffir, Teori kekuasaan Michel Faucault; tantangan bagi sosiologi politik, 81.
29
sebenarnya mengendalikan tubuh individu. Kekuasaan dapat diketahui dan dirasakan melalui
efek-efeknya. Bentuk pengetahuan atau rezim wacana yang otoritatif itu merupakan efek dari
kekuasaan tersebut. Ia tidak bisa dipisahkan dari aparatus yang dapat mengendalikan apakah
pengetahuan itu otoritatif atau tidak. Distingsi antara yang benar dan yang salah juga melibatkan
aparatus ilmiah yang memproduksi pengetahuan melalui ritus-ritus kebenaran, yakni melalui
dasar empiris sebagai legitimasi bagi kebenaran pengetahuan itu.49
Pemantapan pengetahuan sehingga ia menjadi khas, melibatkan berlangsungnya operasi
kekuasaan yang tidak lepas dari bagaimana pengetahuan yang ilmiah berelasi dengan
pengetahuan awam. Pemantapan itu berlangsung pada level wacana (discourse). Sebagai sebuah
episteme, dalam hubungannya dengan pengetahuan ilmiah ia tidak lagi berdiri sebagai suatu cara
pandang dalam melihat pembedaan dan pemisahan antara yang benar dari yang salah, melainkan
pemisahan dalam ranah praktis antara yang mungkin dari yang tidak mungkin dilakukan atau
dipikirkan dengan pendasaran pengetahuan yang ilmiah. Melalui episteme, strategi beoperasinya
kekuasaan dalam pengetahuan dapat diketahui. Foucault menggunakan arkeologi untuk
menginvestigasi retakan-retakan zaman berdasarkan episteme, yakni mengetahui bagaimana
terjadinya perubahan rezim pengetahuan dari suatu masa. Dan tentu saja terjadinya perubahan itu
melibatkan beroperasinya kekuasaan.50
Secara implisit, Foucault sebenarnya ingin mengatakan bahwa rezim wacana itu merupakan
bentuk dari kekuasaan. Wacana dapat berwujud sebagai praktik-praktik yang mengorganisasikan
dan terorganisasikan, yang mengubah konstelasi sosial dan yang menghasilkan, dan wacana
sebagai yang memiliki otonomi dan klaim atas kebenaran dan kontekstualisasi sebuah
pengetahuan. Oleh karena itu, dalam pandangan Foucault yang terinspirasi oleh Nietzsche, tidak
49
Mudhoffir, Teori kekuasaan Michel Faucault; tantangan bagi sosiologi politik, 81. 50
Mudhoffir, Teori kekuasaan Michel Faucault; tantangan bagi sosiologi politik, 81.
30
ada suatu kebenaran atau pengetahuan benar yang final dan bersifat universal. Kebenaran tidak
lain merupakan kasus-kasus khusus mengenai kekeliruan yang pada suatu masa tertentu diakui
otoritatif dan legitimate belaka.51
Rezim wacana yang bersandar pada definisi-definisi ilmiah itu menggambarkan disposisi
suatu pengetahuan pada masa tertentu yang berimplikasi terhadap praktik sosial. Dengan
demikian, setiap masa memiliki watak pengetahuan yang khas dan definisi kebenaran yang khas
pula.52
Jadi, kekuasaan dalam pengetahuan dan kekuasaan dalam bahasa adalah dua hal yang
mempunyai keterikatan satu sama lain. Bahasa seseorang adalah gambaran pengetahuannya.
Bahasa juga merupakan suatu tindakan pembentuk dunia, semacam aktivitas yang mengandung
tujuan di dalamnya.Tujuan yang melekat dalam bahasa bisa menjadi suatu kepentingan politik,
dimana bahasa dieksploitasi sebagai jalan (kuda tunggangan) untuk mencapai suatu kekuasaan.53
D. Perilaku Sosial
2.6. Pengertian Perilaku Sosial
Nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok orang serta
dijadikan sebagai acuan perilaku, tindakan maupun pengartian arah hidup. Artinya bahwa dalam
setiap pengalaman hidup pastilah akan terjadi interaksi dan ketergantungan antar individu dalam
kelompok yang dapat terlihat dalam setiap perilaku sosial.54
Perilaku sosial adalah sifat saling ketergantungan yang merupakan keharusan dalam
menjamin keberadaan manusia. Salah satu buktinya bahwa manusia membutuhkan pertolongan
orang lain dalam memenuhi kebutuhan dalam hidup. Artinya bahwa kelangsungan hidup
51
Mudhoffir, Teori kekuasaan Michel Faucault; tantangan bagi sosiologi politik, 82. 52
Mudhoffir, Teori kekuasaan Michel Faucault; tantangan bagi sosiologi politik, 86. 53
Fauzi Fashri, Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, (Yogyakarta: JALASUTRA Anggota IKAPI,
2007), 92. 54
Mudji Sutrisno & Hendra Putranto, Teori-Tori Kebudayaan,(Yogyakarta:Kanisius,2005), 67.
31
manusia ini bersifat saling membutuhkan dan mendukung dalam kebersamaan. Oleh karena itu,
manusia dituntut untuk mampu bekerjasama, saling menghargai, menghormati, toleransi dan
tidak menggangu hak orang lain dalam bermasyarakat.55
Perilaku sosial seseorang dapat terlihat dalam pola responnya atau reaksinya terhadap
hubungan timbal balik antar kelompok maupun pribadi. Perilaku itu ditunjukkan dengan
perasaan, tindakan, sikap keyakinan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial
seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbeda-
beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada orang yang melakukannya dengan tekun,
sabar dan selalu mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya. Sementara
di pihak lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung
sendiri.
Dari penjelasan di atas, pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya bahwa
sejak dilahirkan manusia membutuhkan hubungan atau pergaulan dengan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan, interaksi sosial di
antara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual. Hal ini dikarenakan tidak
ada timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak dapat merealisasikan potensi-
potensinya sebagai sosok individu yang utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu
pada awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang
ditunjukkannya adalah perilaku sosial.56
Oleh karena itu, pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor
baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pada aspek eksternal situasi sosial
memegang peranan yang cukup penting. Situasi sosial diartikan sebagai tiap-tiap situasi di
55
David Krech., et all, Individual In Society,(Kogakusha Tokyo: McGraw-Hill, 1962), 50. 56
W.A.Gerungan,Psikologi Sosial,(Bandung:Refika Aditama,2009),28.
32
mana terdapat saling hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain
setiap situasi yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial dapatlah dikatakan sebagai situasi
sosial.57
2.7.Bentuk-Bentuk Perilaku Sosial
Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan oleh sikap sosialnya.
Menurut Akyas Azhari, sikap adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu,58
sedangkan sikap sosial adalah suatu sikap yang dinyatakan dengan cara yang sama dan
berulang-ulang oleh obyek sosial yang menyebabkan terjadinya cara tingkah laku secara
berulang-ulang terhadap salah satu obyek sosial.59
Ada berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang yang merupakan karakter atau
kepribadian yang diamati ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Contohnya dalam
kehidupan berkelompok, cenderung perilaku sosial seseorang dalam kelompok akan terlihat
dengan jelas sifatnya di antara kelompok yang lain.60
Perilaku sosial dapat dilihat melalui sifat-
sifat dan pola respon antar pribadi, yaitu sebagai berikut:
1. Kecenderungan Perilaku Peran61
Sifat Pemberani dan Pengecut secara sosial
Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial, biasanya dia suka
mempertahankan dan membela haknya, tidak malu-malu atau tidak segan melakukan
sesuatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat dalam mengedepankan
kepentingan bersama sekuat tenaga. Sedangkan sifat pengecut menunjukkan perilaku
57
Gerungan, Psikologi Sosial, 77. 58
Akyas Azhari, Psikologi Umum Dan Perkembangan, (Jakarta: PT Teraju, 2004), 161. 59
Gerungan, Psikologi Sosial, 80. 60
Gerungan, Psikologi Sosial, 151-152. 61
Gerungan, Psikologi Sosial, 153-156.
33
atau keadaan sebaliknya, seperti suka mempertahankan haknya sambil
menghancurkan norma sosial, malu dan segan berbuat untuk mengedepankan
kepentingannya.
Sifat Berkuasa dan Sifa Patuh
Orang yang memiliki sifat sok berkuasa dalam perilaku sosial biasanya
ditunjukkan oleh perilaku seperti bertindak tegas, berorientasi kepada kekuatan,
percaya diri, berkemauan keras, suka memberi perintah dan memimpin langsung.
Sedangkan sifat yang patuh atau penyerah menunjukkan perilaku sosial yang
sebaliknya, misalnya kurang tegas dalam bertindak, tidak suka memberi perintah
dan tidak berorientasi kepada kekuatan dan kekerasan.
Sifat inisiatif secara sosial dan pasif
Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka mengorganisasi kelompok, tidak
suka mempersoalkan latar belakang, suka memberi masukan atau saran-saran dalam
berbagai pertemuan, dan biasanya suka mengambil alih kepemimpinan. Sedangkan
sifat orang yang pasif secara sosial ditunjukkan oleh perilaku yang bertentangan
dengan sifat orang yang aktif, misalnya perilakunya yang dominan diam, kurang
berinisiatif, tidak suka memberi saran atau masukan.
Sifat mandiri dan tergantung
Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat segala sesuatunya dilakukan
oleh dirinya sendiri, seperti membuat rencana sendiri, melakukan sesuatu dengan
cara-cara sendiri, tidak suka berusaha mencari nasihat atau dukungan dari orang lain,
dan secara emosional cukup stabil. Sedangkan sifat orang yang ketergantungan
cenderung menunjukkan perilaku sosial sebaliknya dari sifat orang mandiri,
34
misalnya membuat rencana dan melakukan segala sesuatu harus selalu mendapat
saran dan dukungan orang lain, dan keadaan emosionalnya relatif labil.
2. Kecenderungan Perilaku dalam Hubungan Sosial62
Dapat Diterima atau ditolak oleh orang lain
Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang lain biasanya tidak
berprasangka buruk terhadap orang lain, loyal, dipercaya, pemaaf dan tulus
menghargai kelebihan orang lain. Sementara sifat orang yang ditolak biasanya suka
mencari kesalahan dan tidak mengakui kelebihan orang lain.
Suka bergaul dan tidak suka bergaul
Orang yang suka bergaul biasanya memiliki hubungan sosial yang baik, senang
bersama dengan yang lain dan senang berpergian. Sedangkan orang yang tidak suka
bergaul menunjukkan sifat dan perilaku yang sebaliknya.
Sifat ramah dan tidak ramah
Orang yang ramah biasanya periang, hangat, terbuka, mudah didekati orang, dan
suka bersosialisasi. Sedang orang yang tidak ramah cenderung bersifat sebaliknya.
Simpatik atau tidak simpatik
Orang yang memiliki sifat simpatik biasanya peduli terhadap perasaan dan keinginan
orang lain, murah hati dan suka membela orang tertindas. Sedangkan orang yang
tidak simpatik menunjukkna sifat-sifat yang sebaliknya.
3. Kecenderungan Perilaku Ekspresif63
Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka bersaing (suka bekerjasama)
62
Gerungan, Psikologi Sosial, 157-160. 63
Gerungan, Psikologi Sosial, 160-163.
35
Orang yang suka bersaing biasanya menganggap hubungan sosial sebagai
perlombaan, lawan adalah saingan yang harus dikalahkan, memperkaya diri sendiri.
Sedangkan orang yang tidak suka bersaing menunjukkan sifat-sifat yang sebaliknya
Sifat agresif dan tidak agresif
Orang yang agresif biasanya suka menyerang orang lain baik langsung atau pun
tidak langsung, pendendam, menentang atau tidak patuh pada penguasa, suka
bertengkar dan suka menyangkal. Sifat orang yang tidak agresif menunjukkan
perilaku yang sebaliknya.
Sifat kalem atau tenang secara sosial
Orang yang kalem biasanya tidak nyaman jika berbeda dengan orang lain,
mengalami kegugupan, malu, ragu-ragu, dan merasa terganggu jika ditonton orang.
Sifat suka pamer atau menonjolkan diri
Orang yang suka pamer biasanya berperilaku berlebihan, suka mencari pengakuan,
berperilaku aneh untuk mencari perhatian orang lain.
2.8.Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial
Pada umumnya para budayawan sepakat mengatakan bahwa masyarkat kolektif itu
direkatkan dan dihidupkan oleh dominan nilai-nilai kebersamaan, sedangkan masyarakat
individualis lebih dihidupkan oleh nilai-nilai otonomi pribadi dan kebebasan kreatif individu,
dimana diri dihargai karena keunikan dan harkatnya sebagai pribadi.64
Baron dan Byrne berpendapat bahwa ada empat kategori utama yang dapat membentuk
perilaku sosial seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. Perilaku dan karakteristik orang lain65
64
Mudji Sutrisno & Hendra Putranto, Teori-Tori Kebudayaan,(Yogyakarta:Kanisius,2005), 68. 65
Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),(Jakarta: Erlangga,2005), 280.
36
Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter santun,
ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter
santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang
berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini
guru memegang peranan penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi
pembentukan perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan pengaruh yang cukup
besar dalam mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu perbuatan.
2.Proses Kognitif66
Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi
dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya
seorang calon pelatih yang terus berpikir agar kelak di kemudian hari menjadi pelatih
yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan orang lain akan terus berupaya dan berproses
mengembangkan dan memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain
misalnya seorang siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses
dalam pembelajaran penjaskes maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas jasmani
yang ditunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung teman-temannya untuk
beraktivitas jasmani dengan benar.
Perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami
perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mentalnya. Jadi untuk dapat memahami
perilaku seseorang, seringkali kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan
oleh seseorang. Dalam hal ini, proses kognitif dapat mempengaruhi perilaku sosial
seseorang tentang kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan adalah ketika si A
mendengar cerita dari Si B tentang si C yang suka menfitnh, akhirnya perilaku sosial si
66
Baron & Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10), 282.
37
A terhadap si C akan berubah sesuai dengan cerita yang diketahui. Ini berarti seseorang
dapat berkuasa atas orang lain melalui cerita-cerita yang di dengarkan, sehingga
mempengaruhi perilakunya terhadap orang tersebut. Ada contoh lain juga yang terdapat
dalam Alkitab yaitu untuk memberi legitimasi tentang kekuasaan Daud diseluruh Israel,
maka Daud mengembangkan cerita bahwa Daudlah yang telah membunuh Goliad,
sedangkan pada Kitab Samuel mengatakan yang lain bahwa yang membunuh Goliad
adalah Elkana.
3.Faktor Lingkungan67
Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Misalnya
orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan
keras, maka perilaku sosialnya seolah keras pula, ketika berada di lingkungan
masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalam bertutur kata.
4.Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi68
Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa
berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis
budaya lain atau berbeda.
67
Baron & Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10), 285. 68
Baron & Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10), 288.