Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
18
BAB II
LATAR BELAKANG ORGANISASI WWF DAN KONDISI UMUM
TAMAN NASIONAL LORENTZ PAPUA
II. 1 Latar Belakang Organisasi WWF Indonesia
World Wide Fund for Nature (WWF) adalah sebuah organisasi non-
pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah tentang konservasi,
penelitian dan restorasi lingkungan, dulunya bernama World Wildlife Fund dan
masih menjadi nama resmi di Kanada dan Amerika Serikat. Pada tahun 1961,
sejumlah organisasi di seluruh dunia-seperti Uni Internasional untuk Konservasi
Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) dan Yayasan Konservasi berusaha untuk
memenuhi kebutuhan konservasi, tetapi sangat kekurangan dana. Hal ini
kemudian mendapat respon pertama oleh Morges Manifesto, yang ditandatangani
pada tahun 1961 oleh 16 dari tokoh konservasi terkemuka di dunia, termasuk
biologi dan penggemar satwa liar Afrika Sir Julian Huxley, wakil presiden IUCN
Sir Peter Scott dan direktur jenderal Inggris Nature Conservancy EM Nicholson.
The Morges Manifesto menyatakan bahwa untuk sementara, mereka memiliki ahli
yang dapat bekerja untuk melindungi lingkungan dunia, namun memerlukan
dukungan keuangan untuk aktivitas perlindungan dan konservasi. Dengan alasan
inilah kemudian dibentuklah World Wildlife Fund (WWF) sebagai organisasi
penggalangan dana internasional untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok
konservasi yang ada dan membawa dukungan keuangan yang cukup besar untuk
19
gerakan konservasi pada skala dunia. World Wildlife Fund diusung pada
bulan April 1961, dan mengangkat pimpinan pertamanya pada bulan september
1961, di kantor pusat IUCN di Morges, Swiss. Yaitu H.R.H. Pangeran Bernhard
dari Belanda menjadi presiden pertama organisasi tersebut.
Pada tahun pertama, Dewan menyetujui lima proyek awal senilai $ 33.500.
Pada proyek awal tersebut diantaranya adalah termasuk bekerja dengan elang
botak, burung laut Hawaii, Grebe raksasa Guatemala, angsa Tule di Kanada dan
serigala merah di Amerika Serikat Selatan. Proyek lain pada tahun 1961
membantu konservasionis Kolombia membangun cagar alam kecil. Upaya ini
melengkapi dukungan WWF untuk program konservasi IUCN, Dewan
Internasional untuk Pelestarian Burung (ICBP) dan WWF-Internasional. Selain itu
berbagai kegiatan juga dilakukan dengan termasuk kampanye konservasi dengan
membiayai Duta Philip K. Crowe 1961 misi ke Amerika Tengah dan Meksiko, di
mana Duta Besar bertemu dengan pejabat pemerintah untuk membangun
dukungan untuk konservasi.
Selanjutnya pada tahun 1973 (The Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna & Flora) atau Konvensi Perdagangan
Internasional Spesies Langka Wild Fauna & Flora yang telah dinegosiasikan,
dengan Russell E. Kereta sebagai pemimpin yang juga adalah delegasi
pemerintah AS sebagai Ketua Gedung Putih Dewan Kualitas Lingkungan
(Chairman of the White House Council on Environmental Quality). Sampai saat
ini, perjanjian CITES internasional telah ditandatangani oleh lebih dari 170 negara
yang berkomitmen untuk bekerja sama untuk memastikan spesies tanaman dan
20
hewan liar tidak terancam punah oleh perdagangan yang tidak terkontrol dan
eksploitasi. Konvensi CITES ini kemudian dirtifikasi oleh indonesia 1973
berdasarkan Keputusan Presiden No.43 tahu 1978 dimana di dalam pasal
sembilan konvensi ini menyatakan perlu dibentuk satu atau lebih lembaga yang
berfungsi sebagai otorita pengelolaan ilmiah CITES. Namun dalam hal ini
pemerintah indonesia pada saat itu tidak membentuk suatu lembaga baru namun
menunjuk lembaga-lembaga yang ada dan salah satu NGO yang terlibat saat itu
adalah WWF (Pramudianto Andreas,2014). WWF kemudian memperluas
jaringannya dalam rangka konservasi dan perlindungan satwa liar sampai ke
Indonesia. Saat itu adalah Program Office WWF Internasional, melakukan
penelitian pada spesies mamlia, khususnya Badan dan Harimau di Jawa dan
Sumatra yang terancam punah. Hal ini kemudian berkembang menjadi upaya
konservasi dan Habitat satwa-satwa tersebut di beberapa wilayah di Indonesia
hingga pada tahun 1998 WWF resmi berstatus sebagi yayasan atau WWF
Indonesia. Sampai saat ini WWF merupakan organisasi konservasi independen
terbesar di dunia dengan lebih dari 5 juta pendukung di seluruh dunia yang
bekerja di lebih dari 100 negara, mendukung sekitar 1.300 proyek konservasi dan
lingkungan. WWF adalah sebuah yayasan yang pada tahun 2010 mendapatkan
57% pendanaannya dari pihak perorangan dan warisan, 17% dari sumber-sumber
internasional (seperti Bank Dunia, DFID, USAID) dan 11% dari berbagai
perusahaan. (http.wwf Indonesia).
Mulai berkiprahnya WWF di Indonesia sebenarnya sudah sejak 1962
sebagai bagian dari WWF Internasional dengan melakukan penelitian di Taman
21
Nasional Ujung Kulon untuk menyelamatkan populasi badak jawa yang nyaris
punah. Saat itu hanya tersisa sekitar 20 individu saja. Bekerjasama dengan
Kementrian Kehutanan, lambat laun jumlah populasi satwa bercula satu itu
meningkat hingga stabil sekitar 40-50 individu pada survey tahun 1980 an.
Perkembangan konservasi kemudian di lanjutkan WWF, dan pada tahun 1996
WWF resmi berstatus yayasan, menjadi sebuah entitas legal, yang berbadan
hukum sesuai ketentuan di Indonesia. Beberapa tokoh penting dalam berdirinya
yayasan WWF adalah Prof. Emil Salim (Mantan Mentri Lingkungan Hidup), Pia
Alisjahbana dan Harun Al Rasjid (alm) yang menjadi pendorong berdirinya
Yayasan WWF Indonesia, menempatkannya sebagai organisasi nasional dalam
jaringan Global WWF, yang memiliki Dewan Penyantun sendiri, independen dan
fleksibel dalam penggalangan dana dan pengembangan program.
Setelah menjadi suatu yayasan kantor Sekretariat Nasional WWF-
Indonesia berpusat di Jakarta. Perannya memimpin dan berkoordinasi dengan 24
kantor WWF-Indonesia yang tersebar di seluruh negeri. Kantor Sekretariat
mengembangkan kebijakan dan prioritas, membantu pertukaran pembelajaran
antar kantor, melakukan koordinasi untuk kampanye nasional, memberikan
bantuan teknis dan pengembangan kapasitas, serta memberikan dukungan agar
kegiatan ditingkat nasional berjalan dengan lancar. Kantor Sekretariat Nasional
juga menjaga agar upaya WWF-Indonesia selaras dengan Global WWF Network.
Dikelola oleh Dewan Penyantun yang terdiri dari Dewan Penasihat, Dewan
Pengawas dan Dewan Pelaksana. Dewan ini berfungsi sebagai lembaga penentu
arahan strategis dan kredibilitas WWF-Indonesia. Para anggota dewan berbagi
22
tanggung jawab secara kelembagaan melalui komite operasional. Dua komite
yang sedang dalam tahap pengembangan adalah Komite Pendanaan dan Investasi
serta Komite Program. WWF-Indonesia memiliki sejumlah kantor lapangan
(Field Office). Dua dari Kantor lapangan ini, melakukan koordinasi untuk
kegiatan dan program di lokasi konservasi. Kantor Lapangan Jayapura merupakan
kantor terbesar yang ada dipimpin oleh Benja Mambai. Kantor ini
mengkoordinasi seluruh kegiatan WWF-Indonesia di Papua dan Irian Jaya bagian
Barat (Papua Barat). Kantor lapangan tersebut melakukan upaya pelestarian di
tingkat lokal. Kemudian WWF bekerja sama dengan pemerintah lokal, melalui
kegiatan proyek praktis di lapangan, penelitian ilmiah, memberi masukan untuk
kebijakan lingkungan, mempromosikan pendidikan lingkungan, memperkuat
komunitas, dan meningkatkan kesadaran publik terhadap isu lingkungan.
(www.wwf.or.di)
Selain memiliki bantuan pendanaan langsung dari Global WWF di Swiss,
dan juga kegiatan dilakukan memperoleh dukungan dana lebih dari 40 lembaga
donor, Governor Aid Agencies (Danida, DGIS, SIDA, USAID, EU,BMZ), serta
dukungan lebih dari 40.000 supporter diseluruh Indonesia. WWF Indonesia juga
berupaya menggalang pendanaan dengan membentuk komunitas supporter guna
kelancaran kerja konservasi. Supporter WWF-Indonesia adalah komunitas
pendukung yang dibentuk oleh WWF untuk melibatkan publik seluas-luasnya
demi mendukung visi dan misi WWF dalam upaya konservasi alam. Program ini
merupakan bagian dari upaya penyadartahuan publik terhadap isu lingkungan
23
sekaligus upaya penggalangan dana demi kesinambungan kerja konservasi di
Indonesia.
WWF Indonesia memiliki tiga program kerja utama yaitu : Program
kehutanan dan spesies darat, program kelautan dan spesies laut, serta program
iklim dan energi. Dalam pengembangan program WWF Indonesia menerapkan
empat pendekatan utama yaitu : Conservation Management”, “Sustainable Use”,
“Sector Reform”, dan dalam melaksanakan kegiatannya, WWF Indonesia
bekerjasama dengan berbagai pihak dari pemerintah, korporasi, masyarakat luas,
LSM, akademis, serta masyarakat yang tinggal disekitar kawasan konservasi.
Di Papua WWF-Indonesia mulai bekerja tahun 1980 dan telah membantu
pemerintah untuk menginisiasi kawasan-kawasan konservasi penting di kawasan
ini termasuk melakukan berbagai penelitian. Program WWF di Papua dikenal
sebagai WWF-Indonesia Region Sahul yang mencakup Provinsi di Papua dan
Papua Barat, dengan program konservasi terrestrial (hutan dan air tawar) serta
kelautan (laut dan spesies laut). Sejak kawasan Lorentz ditunjuk sebagai Taman
Nasional oleh Menteri Kehutanan melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan
nomor 154/Kpts-II/1997 dan dinominasikan sebagai Situs Warisan Dunia
WHC/74/409.1/NI/CS, Kawasan ini dikelolah oleh Balai Taman Nasional
Lorentz, namun hingga saat ini taman nasional ini belum memiliki sebuah rancana
pengelolaan dan termasuk di dalamnya pembagian zona taman nasional. WWF
kemudian pada tahun 2003 melakukan upaya konservasi serta penelitian dengan
bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Balai Besar Taman Nasional Lorentz
melakukan upaya konservasi dikawasan ini.
24
II.2 Kondisi Umum Taman Nasional Lorentz
Taman Nasional Lorentz merupakan salah satu taman nasional di
Indonesia yang terletak di Provinsi Papua dengan luasan mencapai 2.505.600 ha
berdasarkan penunjukan Meteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor SK 154/Kpts-
II/1997 dan merupakan wilayah konservasi terbesar di Indonesia bahkan di Asia
pasifik (Kemenhut, 2003). Papua sendiri merupakan salah satu Provinsi di
Indonesia dengan tutupan hutan terluas dan kaya akan sumber daya hayati.
Dengan luas wilayah 317.062 km2 atau 20% dari luas daratan Indonesia dan
kepadatan penduduk yang terbilang masih sedikit, sehingga banyak tempat yang
belum terjama oleh manusia dan terbilang alami. Semangat otonomi kusus
melalui UU no 21 Tahun 2001 mendorong terjadinya pemekaran wilayah, dan
saat ini terdapat 26 kabupaten di Provinsi Papua (Badan Pusat Statistik, 2010).
Dari segi kondisi geografisnya Papua didominasi oleh pegunungan dan
perbukitan, Papua juga memiliki pulau-pulau yang berjejer di sepanjang
pesisirnya, terdapat pegunungan tengah yang membelah pulau papua menjadi dua
bagian, yaitu utara dan selatan. Taman Nasional Lorentz terletak di antara
pegunungan tengah dan menjurus ke wilayah selatan Papua sampai batas tepi
pantai laut Arafura.
25
GAMBAR 1
Sumber : Balai Besar Taman Nasional Lorentz (Taman Nasional Lorentz)
Kawasan Taman Nasional Lorentz selain berstatus sebagai Kawasan
Taman Nasional juga merupakan Situs Warisan Dunia yang di tetapkan oleh
UNESCO (1999) dikarenakan memiliki keunikan tersendiri yakni tingkat
keanekaragaman flora dan fauna yang tingga dan kaya akan potensi budaya adat
istiadat (WWF Region Sahul,2011).
Nama Kawasan Lorentz sendiri berasal dari seorang pimpinan ekspedisi
ilmiah asal Utrecht-Belanda yaitu Hendrik Albertus Lorentz (1903-1910) yang
melakukan ekspedisi ke Puncak Wilhellmina (sekarang Puncak Trikora). Untuk
menghargai jasa H.A. Lorentz yang telah melakukan ekspedisi ilmiah pertama
kali di Papua namanya diabadikan pada kawasan hutan yang pernah dilaluinya
saat ekpedisi kemudian kawasan itu di namakan “kawasan hutan Lorentz”.
Dalam perkembangan Kawasan Lorentz, pemerintah kolonial Belanda pada tahun
26
1919 sempat menetapkannya sebagai hutan konservasi. Namun dalam
pengelolaannya terjadi konflik dengan penduduk setempat, dan pada 1965 status
sebagai hutan konservasi dicabut oleh Pemerintah Belanda. Setelah Irian Jaya
(Papua pada saat itu) masuk menjadi bagian dari Republik Indonesia pada tahun
1970 kawasan Lorentz diusulkan sebagai kawasan yang dilindungi oleh Direktorat
Jendral Kehutanan, FAO, IUCN dan WWF. Pemerintah lebih menegaskan status
kawasan Lorentz menjadi Cagar Alam pada tahun 1978 melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 44/Kpts/Uml/1978 dengan luas kawasan 2.150.000 ha.
Selanjutnya pada tahun 1991, Kawasan Lorentz ditetapkan sebagai kawasan
penting yang harus dilindung melalui Rencana Aksi Keanekeragaman Hayati
Nasional.
Gamabar 2
Sumber: Balai Besar Taman Nasional Lorentz ( H.A Lorentz)
27
Perubahan dilakukan pada tahun 1996 terhadap tata batas dan status
kawasan Lorentz dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional. Ini dilakukan atas
inisiatif World Wide Fund (WWF) bekerja sama dengan Kantor Wilayah (Kanwil
Irian Jaya) Departemen Kehutanan. Usulan ini kemudian ditetapkan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 154/Kpts/II/1997 tertanggal 19 Maret
1997 dengan luas 2.505.600 ha. Kemudian pada tahun 1999, UNESCO
menetapkan kawasan ini sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (World Haritage
Site), seluas 2.350.000 ha. Ditetapkan sebagai situs warisan dunia dikarenakan
kawasan ini merupakan kawasan lindung terbesar di Asia Tenggara dan satu-
satunya kawasan lindung di dunia yang mempersatukan suatu kesinambungan
alam yang utuh mulai dari puncak salju sampai kawasan perairan laut tropis,
termasuk kawasan lahan basah dataran rendah yang luas (Komite Warisan Dunia,
1999).
GAMABR 3
Sumber.wwf Region Sahul,2008 (Puncak Cartenz, Jayawijaya)
28
Kawasan ini membentang pada gletser khatulistiwa di jajaran pegunungan
tinggi di Asia Tenggara melalui spektrum lengkap ekosistem mulai dari ekosistem
pesisir, pantai sampai pada pegunungan alpin yang merupakan keterwakilan
gradasi ekosistem dengan ketinggian antara 0 – 4.884 meter di atas permukaan
laut dengan puncak tertinggi Cartenz dan salju abadinya. Pada sisi sebelah Utara
dari TN. Lorentz terbentang jajaran pegunungan tinggi di Pulau Papua yang
menjadikan kawasan ini memiliki kekayaan alam unik dan langka di dunia.
Terdapat 34 tipe vegetasi (komunitas tumbuhan) diantaranya hutan rawa,
hutan tepi sungai, hutan sagu, hutan gambut, pantai pasir karang, hutan hujan
lahan datar/ lereng, hutan hujan pada bukit, hutan kerangas, hutan pegunungan,
padang rumput, dan lumut kerak. Selain itu terdapat jenis tumbuhan alami antara
lain nipah (Nypa fruticans), bakau (Rhizophora apiculata), Pandanus julianettii,
Colocasia esculenta, Avicennia marina, Podocarpus pilgeri, dan Nauclea
coadunata. Keindahan alam (Landscape) pada potensi kekayaan alam yaitu,
keindahan pantai panorama hutan bakau dan nipah dengan akar-akar bakau yang
tersusun rapi di atas permukaan air menghiasi tepi-tepi kali sepanjang mata
memandang, serta panorama air terjun yang asri dari gletser salju Cartenz.
Dengan keunikan bentang alam tersebut menjadikan kawasan Lorentz kaya akan
spesies flora dan fauna yang langka. Kawasan ini mengandung tidak kurang
1.200 spesies tumbuhan, 118 spesies mamalia, 66 species Amphibia, 403 spesies
burung, 51 spesies kupu-kupu dan berbagai spesies mikroorganisme. Dengan
keunikan bentang alam tersebut turut mendukung kawasan Lorentz ditetapkan
sebagai “Situs Warisan Dunia” oleh (World Heritage Commite) UNESCO 1999.
29
Beberapa spesias endemik Papua di antaranya jenis kanguru pohon yang
dikenal dengan nama daerah “dingiso” (Dendrolagus dingiso) di daerah zona sub-
alpin. Satwa ini merupakan kanguru yang hidup di pohon dan telah beradaptasi
menjadi kanguru pohon yang hidup di atas permukaan tanah pada daerah
ketinggian. Namdur Archbold (Archboldia papuensis), dianggap sebagai burung
yang keberadaanya sangat langkah dan penyebarannya terpencar-pencar. Burung
Cendrawasih elok (Macgregoriapulchra) diklasifikasikan sebagai burung yang
terancam punah karena populasinya yang sangat rendah.
Ditinjau dari aspek keragaman dan keunikan budaya, dalam kawasan
Taman Nasional Lorentz bermukim dua kelompok suku besar, masing-masing
kelompok suku yang mendiami daerah pegunungan di bagian utara kawasan dan
suku-suku yang mendiami pantai sampai dataran rendah di bagian daerah pasisir
selatan kawasan. Suku-suku yang mendiami daerah pegunungan terdiri atas suku
Somahi, Nduga, Dani, Dani Barat, Amungme dan Moni. Suku-suku ini sesuai
dengan lingkungan pemukimannya hidup menggantungkan dari bercocok tanam
ubi-ubian dan beternak babi. Suku Dani, baik yang berada di luar dan di dalam
kawasan Taman Nasional Lorentz sebagian besar menggantungkan hidup mereka
pada sumber daya hutan di kawasan taman nasional. Mereka adalah petani yang
memiliki pengetahuan dan menggunakan teknologi pertanian yang masih
tradisional. Sebagai petani, mereka mengharapkan kesuburan tanah berasal dari
hutan yang termasuk dalam Taman Nasional Lorentz.
Sebaliknya suku-suku yang mendiami daerah pesisir sampai ke dataran
rendah terdiri atas suku Asmat, Sempan dan suku Kamoro. Mereka adalah suku-
30
suku yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan meramu, berburu dan
menangkap ikan. Sumber penghidupan ini terkait dengan lingkungan kehidupan
mereka yang sebagian besar adalah daerah rawa dengan sungai-sungai yang besar.
Mereka menggantungkan hidupnya dari kegiatan menokok sagu, berburu,
menangkap ikan, kepiting dan kerang. Ketiga suku ini juga dikenal sebagai
seniman ukir dan pahat yang handal, bahkan karya-karya patung ukiran mereka
telah dikenal di seluruh dunia dan menjadi incaran para kolektor.
GAMBAR 4
Sumber : Balai Taman Nasional Lorentz (Suku yang mendiami Tn.Lorentz)
31
Tabel 1. Kelompok Suku Dalam Taman Nasional Lorentz
Suku-Suku di Pegunungan Bagian
Utara
Suku- Suku di Pesisir Selatan
1 Suku Nduga, ke arah utara batas
timur TN. Lorentz.
1 Suku Asmat dengan sub suku
Joeratdan Emariu Ducur, terdapat
di sebelah selatan batas timur TN.
Lorentz
2 Suku Somahai, ke arah timur
Batas Timur TN. Lorentz.
2 Suku Amungme/Damal, di
sebelah selatan batas utara TN.
Lorentz
3 Suku Dani (Hupla, Mukoko,
Hiriakup) di sebelah timur Batas
Timur TN. Lorentz
3 Suku Sempan , di bagian selatan
TN. Lorentz di tepi pantai selatan
Papua.
4 Suku Dani Barat/Lani, di sebelah
timur Batas Utara TN. Lorentz.
4 Suku Komoro dengan 13 sub
suku, di batas barat TN. Lorentz
5 Suku Moni/Dem, di sebelah barat
Batas utara TN. Lorentz.
Sumber : wwf.Region Sahul
Bertani, berburu, beternak menokok sagu dan mencari ikan adalah
pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh penduduk lokal yang berada didalam
kawasan TN Lorentz. Secara tradisional masyarakat mengambil hasil dari hutan
untuk kebutuhan hidup sehari-hari, namun berdasarkan karakteristik antara
wilayah antara penduduk dataran rendah di selatan dan penduduk dataran tinggi
di utara maka pola mata pencaharian masyarakat pun berbeda. Penduduk dataran
rendah hingga ke pesisir pantai umumnya mencari hasil hutan dengan menokok
sagu, mencari ikan atau nelayan tradisional dan berburu di hutan. Sedangkan
penduduk didaerah dataran tinggi bermata pencaharian sebagai petani ladang,
beternak babi dan kelinci. Ada juga yang melakukan upaya peningkatan ekonomi
32
dengan menjual hasil kebun, berburu dan mencari ikan. Masyarakat hidup dari
alam yang membentuk pola hidup mereka menjadi budaya yang melekat terhadap
alam untuk menghidupi mereka. Keberadaan suku-suku asli yang mendiami
kawasan ini diperkirakan sudah ada sejak 30.000 tahun yang lalu. Ini
memperlihatkan adanya keserasian antara budaya dan alam yang saling
mendukung (Balai Taman Nasional Lorentz, 2010).
II. 3 Ancaman Terhadap Kelestarian Taman Nasional Lorentz
Sejak ditetapkan sebagai taman nasional hingga saat ini masih terdapat
beberapa permasalahan yang mengancam kelestarian kawasan Lorentz. Penetapan
kawasan yang sangat luas dengan wilayahnya mencakup 10 kabupaten menjadi
ancaman tersendiri bagi keutuhan situs warisan alam serta kerusakan habitat jenis-
jenis endemik yang terancam punah. Berikut ini adalah kesepuluh kabupaten
dengan proporsi luas luas masing-masing dalam kawasan taman nasional.
NO Kabupaten Luas Wilayah (Ha)
Proporsi
Terhadap TN.
Lorentz (%)
1. Asmat 308.718,79 13.80
2. Intan Jaya 5.117,02 0.23
3. Jayawijaya 76.251,53 3,41
4. Lanny Jaya 197.882,33 8,85
5. Mimika 784,882,75 35,09
6. Nduga 502.612,17 22,47
7. Paniai 39.338,64 1,76
8. Puncak 176.626,18 7,90
9. Puncak Jaya 5.656,86 0,25
10. Yahukimo 139.465,06 6,24
33
Total 2.236.497,32 100
Sumber : Tim Zonasi Kolaborasi TN.Lorentz, 2010
Dari kesepuluh wilayah administrasi kabupaten tersebut beberapa
diantaranya Yahukimo, Puncak, Nduga, Lanny Jaya merupakan kabupaten baru
hasil pemekaran wilayah. Sebagai kabupaten baru kebutuhan akan pembangunan
infrakstruktur yang intensif dengan memanfaatkan ruang wilayah serta
penggunaan sumber daya alam turut meningkat pula. Kondisi ini tentunya
bertolak belakang dan menjadi ancaman bagi kelangsungan lorentz sebagai taman
nasional dan situs warisan budaya dunia yang menuntut terpeliharanya kawasan
baik bentang alam, biologi, sosial budaya maupun proses biologinya.
Walaupun kawasan Lorentz meliputi sepuluh kabupaten namun ancaman
kelestarian yang signifikan hanya terdapat di beberapa kabupaten diataranya
adalah Kabupaten Timika. Timika kabupaten yang berada di selatan kawasan
Lorentz. Permasalah di Timika adalah, telah terjadi perusakan lingkungan akibat
dari pencemaran lingkungan oleh limbah PT. Freeport dan penebangan hutan
(Ilegalloging) yang dilakukan oleh pihak-pihak swasta di kabupaten ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh organisasi Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) ditemukan bahwa proses ekstraksi hasil bumi berupa
biji besi, emas dan tembaga memiliki proses pembuangan limbah yang
bermasalah. Tambang Freeport telah membuang 1 miliar ton tailing ke sistem
sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa (WALHI,2006), sungai ini adalah
sungai utama sebagai akses antara dua suku setempat, kamoro dan amugme,
meski pembuangan limbah tambang ke sungai telah jelas-jelas dilarang oleh PP
34
82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Dampaknya ribuan hektar hutan kayu, sagu rusak dan sejumlah habitat sungai
menjadi punah, bahkan manusiapun ikut kena dampak, akibat tailing yang di
buang ke sungai Ajkwa (WALHI,2006). Tembaga larut pada kisaran konsentrasi
yang ditemukan di Sungai Ajkwa bagian bawah mencapai tingkat racun kronis
bagi sebagian besar (30% sampai 75%) organisme air tawar. Uji tingkat racun
aktual yang dilakukan oleh CSIRO dan analis Freeport menunjukkan air dan
endapan tailing beracun bagi larva udang (Caridinasp), udang sungai dewasa
(Macrobrachium rosenbergii), larva ikan minnow. Tegakan pepohonan yang juga
mati disepanjang aliran sungai dan jaraknya ribuan hektar dimana semuanya
berada dalam taman nasional Lorentz. Hutan mangrove yang berada di sepanjang
muara sungai juga ikut terkena dampak. Bagi masyarakat pesisir mimika, hutan
mangrove merupakan ekosistem yang menopang ekonomi mereka, dimana
mangrove sebagai tempat melindungi biota-biota laut seperti kepeiting, udang,
siput serta kerang-kerangaan.(Usaid-IFACS,2014). Envaronmental Risk
Assessment (ERA) menemukan bahwa bakau dan organisme yang hidup di dasar
memiliki kenaikan kandungan tembaga, dan tailing diduga menjadi sumbernya.
Pertambangan yang terus dilakukan perluasan telah merusak habitat asli
beberapa hewan endemik salah satunya Kangguru Pohon (Dendrolagus), yang
umumnya hidup di ketinggian 600-3.650 mdpl pada padang rumput alpin dan
tundra alpin.(Ramsay,1883). Selama ini PT.Freeport Indonesia merupakan
perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut dan berdasarkan eksplorasi
pertambangan telah diidentifikasi adanya 70 situs tambang yang potensial dan
35
satu dianataranya berpotensi untuk dibangun tambang terbuka. Ini berarti
kerusakan lingkungan akan terus terjadi di kawasan taman nasional lorentz yang
berbatasan langsung dengan lokasi pertambangan. Aktivitas eksploitasi
pertambangan sendiri telah berlansung sejak lama dimana konsensi pertambangan
Freeport telah diberikan pada tahun 1960 (sebelum kawasan tersebut ditetapkan
sebagai taman nasional menurut UU). Sehingga konsesinya dikeluarkan dari
wilayah ini (Berada diluar Kawasan Taman Nasional), sendangkan konsensi
pertambangan tambang di dalam Taman Nasional baru ditetapkan pada tahun
1991 (WALHI). Dengan beroperasinya perusahaan Freeport sekian lama di
kawasan tersebut memang medatangkan keuntungan dari segi pendapatan negara
dan secara kusus pendapatan bagi pemerintah daerah, selain itu membuka
lapangan kerja bagi masyarakat Papua, namun dari segi lingkungan, ini sangat
mengancam ekosistem Taman Nasional Lorentz dan terutama situs-situs budaya
yang berada di dalam kawasan Lorentz. Sejauh ini upaya yang dilakukan WWF
sebagai suatu organisasi konservasi alam terkait permasalahan lingkungan akibat
dari pertambangan PT. Freport Indonesia belum terlalu signifikan. Hubungan
keduanya baik PT. Freeport dan Organisasi WWF cenderung sebagai mitra.
Sebagaimana dijelasakan oleh Pratita Puradyatmika yang menjabat sebagai
Biodiversity Supeintendant di PT.Freport Indonesia di dalam dokumen yang
berjudul “Land Of The Bird Of Paradise bahwa”, “ Perwakilan organisasi dan
perusahaan sering bertemu, sebagian besar pertemuan bukan dalam suasana resmi,
selama pertemua dengan pemerintah atau dalam seminar tentang pembangunan
36
taman nasional Lorentz”, dikatakan bahwa pertemuan yang tidak direncanakan
pun adalah strategi, juga hubungan kami biasanya merupakan pertemuan ad hoc”.
Persoalan lain disini adalah penebangan liar (Ilegalloging), penebangan
secara ilegal ini menurut penjelasan kepala Kepala Sub Dinas Potensi Hutan di
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mimika, Benny Renyaan kepada
wartawan, di Timika “Laporan dari masyarakat di sekitar Taman Nasional Lorentz
Papua bahwa penebangan kayu secara liar di wilayah hutan lindung dan satwa
yang dilindungi semakin marak selama ini sehingga kondisi satwa langkah yang
berada di sekitar taman lorentz lama kelamaan akan punah (Suara Perempuan
Papua, 2007).
Sedangkan aktifitas lain yang mengancam kelestarian Taman Nasional
Lorentz dan situs-situs alam yang ada didalamnya adalah datang dari aktivitas
wisatawan yang melakukan pendakian di Kawasan Lorentz Pegunungan
Jayawijaya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan WWF dalam Project Lorentz
(1995) yang mengangkat tema “ecoturism”, didapati bahwa wisatawan sering kali
melakukan penebangan pohon atau kayu guna keperluan pendakian seperti kayu
untuk membangun tenda (Perkemahan), Pembuatan jembatan darurat, dan kayu
untuk membuat api unggun. Jalur wisata pendakian puncak Cartenz Jayawijaya
sendiri terletak di beberapa kabupaten yang ada di dalam kawasan Lorentz
diantaranya adalah route Ilaga Kabupaten Puncak dan yang lainnya adalah melalui
route pendakian Tembagapura kabupaten Mimika. Berdasarkan data yang
diperoleh WWF pada tahun 1991-1995 ditemukan pemanfaatan kayu disepanjang
jalur pendakian. Selain penebangan kayu, aktifitas wisatawan pendakian juga
37
meninggalkan sampah yang tidak diolah dan berserahkan di area pendakian taman
nasional Lorentz, seperti plastik, botol, kaleng-kalengan, kain serta sisah tendah,
serta kemasan-kemasan lainnya yang susah untuk terurai di alam. (Cendrawasih
Pos, 2013). Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis kepada Kepala
Bagian Administrasi Balai Taman Nasional Lorentz, Christian Mambor
mengatakan bahwa pertemuan dengan beberapa agent pendakian Gunung
Jayawijaya telah dilakukan dan difasilitasi oleh Balai Taman Nasional Lorentz.
Namun pembahasan lebih lanjut untuk menentukan pihak-pihak yang mengemban
tanggung jawab terkait persoalan sampah belum di putuskan dan masih terus
diupayakan.
Permasalahan lain yaitu proyek pembangunan jalan lintas kabupaten yang
sementara sedang berjalan dan proyek tersebut melintasi kawasan Taman
Nasional. Hal ini dilakukan karena selama ini akses ke kawasasan ini melalui
udara selain itu untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah yang masih
terisolir. Proyek tersebut adalah jalan lintas Wamena hingga Kenyam kabupaten
Nduga, yang melewati Danau Habame disebalah batas timur taman nasional
(Kementrian Pekerjaan Umum, 2012). Konstruksi ini merupakan hal yang sulit
dilaksanakan karena melalui ketinggian dan kemiringan punggung gunung yang
sangat terjal. Tidak jarang konstruksi ini menyebabkan erosi yang parah di
beberapa wilayah yang sensitif (hutan gunung- hutan sup-alpin). Konstruksi lain
adalah jalan antar kabupaten Nabire dan Timika yang juga membelah hutan
disebalah barat taman nasional. Selain melewati hutan dan sungai-sugai yang kaya
akan habitat alami, dengan adanya akses jalan tersebut akan mengundang
38
banyaknya aktifitas warga disepanjang jalan yang melintasi kawasan tersebut.
Pembangunan jalan antar kabupaten yang sementara dalam perencanan
pemerintah setempat adalah jalan Timika-merauke (melalui distrik Agimuga)
yang akan membela Taman nasional, kerah barat dan kearah timur. Proyek ini
diperkirakan akan membahayakan integritas taman nasional. Mengingat bahwa
jalan tersebut masih merupakan suatu rencana sehingga memungkinkan untuk
diadakannya dialog konstruktif dengan pihak yang berwenang seperti departemen
pekerjaan umum serta terutama pemda setempat (Pemda Provinsi Papua,2012).