20
6 BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Penelitian Terdahulu Tabel. 2.1 Matrik Penelitian Terdahulu NO Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1 Rasma (2019) Analisis Komparatif Labelisasi Halal pada Produk Kosmetik dalam Meningkatkan Minat Beli Masyarakat di Kec. Syiah Kuala dan Kec. Kuta Alam Adanya labelisasi halal masyarakat dapat memilih produk kosmetik sesuai dengan yang telah dianjurkan oleh agama dan baik bagi kesehatan. Labelisasi halal mencakup proses pembuatan, penyimpanan, penyiapan, kebersihan seperti sebelum kadaluarsa tidak mengandung zat pewarna dan lain sebagainya. 2 Ady Syahputra dan Haroni Doli Hamoraon (2016) Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Keputusan Masyarakat Kecamatan Perbaungan dalam Pembelian Produk Makanan dalam Kemasan Peran MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam pengawasan dan sosialisasi terhadap produk makanan kepada masyarakat di Kecamatan Perbaungan cukup memuaskan. Dengan ada tercantumnya label halal dalam kemasan produk makanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen untuk membeli. 3 Sutono (2018) Perilaku Konsumen Muslim dalam Mengkonsumsi Produk Halal Food Perspektif Maqasid al- Shari’ah al- Syatibi (Studi Pada Pasar SepanjangTaman- Sidoarjo) Konsumen di pasar tradisional Sepanjang memiliki beberapa perilaku dalam mengkonsumsi produk halal food, yaitu: perilaku konsumen memiliki keyakinan (aqidah) yang kuat, sikap tawakal, bertransaksi pada produk yang halal, berlaku adil dalam menimbang, memiliki kejujuran, selalu tepati janji, memiliki sikap yang ramah dan rendah hati, tidak saling bersumpah dalam transaksi, tidak memiliki sikap buruk sangka dalam transaksi, bisa menunaikan hak dan kewajibannya, memiliki sikap administratif dalam transaksi, memiliki sikap tolong- menolong, memiliki sikap manajerial yang baik 4 Tri Widodo (2015) Pengaruh Labelisasi Halal dan Harga Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pada Produk Indomie Label halal yang terdapat pada kemasan produk indomie mempunyai hubungan dan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk indomie, ditunjukkan dengan tingkat signifikan 0.001 <0.05, hal tersebut membuktikan bahwa keberadaan labelisasi

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Penelitian Terdahulu

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1. Penelitian Terdahulu

Tabel. 2.1

Matrik Penelitian Terdahulu

NO Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Rasma (2019) Analisis Komparatif

Labelisasi Halal pada

Produk Kosmetik dalam

Meningkatkan Minat Beli Masyarakat di Kec. Syiah

Kuala dan Kec. Kuta Alam

Adanya labelisasi halal masyarakat dapat

memilih produk kosmetik sesuai dengan yang

telah dianjurkan oleh agama dan baik bagi

kesehatan. Labelisasi halal mencakup proses pembuatan, penyimpanan, penyiapan,

kebersihan seperti sebelum kadaluarsa tidak mengandung zat pewarna dan lain sebagainya.

2 Ady Syahputra

dan Haroni Doli

Hamoraon (2016)

Pengaruh Labelisasi Halal

Terhadap Keputusan

Masyarakat Kecamatan Perbaungan dalam

Pembelian Produk

Makanan dalam Kemasan

Peran MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam

pengawasan dan sosialisasi terhadap produk

makanan kepada masyarakat di Kecamatan Perbaungan cukup memuaskan. Dengan ada

tercantumnya label halal dalam kemasan

produk makanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen untuk membeli.

3 Sutono (2018) Perilaku Konsumen Muslim dalam

Mengkonsumsi Produk

Halal Food Perspektif Maqasid al- Shari’ah al-

Syatibi (Studi Pada Pasar

Sepanjang–Taman-Sidoarjo)

Konsumen di pasar tradisional Sepanjang memiliki beberapa perilaku dalam

mengkonsumsi produk halal food, yaitu:

perilaku konsumen memiliki keyakinan (aqidah) yang kuat, sikap tawakal,

bertransaksi pada produk yang halal, berlaku

adil dalam menimbang, memiliki kejujuran, selalu tepati janji, memiliki sikap yang ramah

dan rendah hati, tidak saling bersumpah dalam

transaksi, tidak memiliki sikap buruk sangka

dalam transaksi, bisa menunaikan hak dan kewajibannya, memiliki sikap administratif

dalam transaksi, memiliki sikap tolong-

menolong, memiliki sikap manajerial yang baik

4 Tri Widodo

(2015)

Pengaruh Labelisasi Halal

dan Harga Terhadap Keputusan Pembelian

Konsumen Pada Produk

Indomie

Label halal yang terdapat pada kemasan

produk indomie mempunyai hubungan dan secara parsial berpengaruh signifikan

terhadap keputusan pembelian produk

indomie, ditunjukkan dengan tingkat signifikan 0.001 <0.05, hal tersebut

membuktikan bahwa keberadaan labelisasi

7

halal pada produk indomie memberikan nilai

positif yang memiliki peluang besar dalam

mempengaruhi keputusan membeli konsumen.

5 Fatkhurohmah

(2015)

Pengaruh Pemahaman

Label Halal dan Faktor Sosial Terhadap Niat

Membeli Produk Makanan

Kemasan Berlabel Halal (Studi Pada Santri

Mahasiswa Pondok

Pesantren Al Barokah)

Terdapat pengaruh secara signifikan

pemahaman label halal terhadap niat membeli makanan kemasan berlabel halal pada santri

mahasiswa pondok pesantren Al Barokah. Hal

ini ditunjukkan dengan nilai thitung sebesar 2,334 dengan nilai signifikansi sebesar 0,021

dan koefisien regresi (b1) sebesar 0,056.

Karena nilai signifikansi (p) < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

pemahaman label halal terhadap niat membeli makanan kemasan berlabel halal.

6 Eri Agustian H,

dan Sujana

(2013)

Pengaruh Labelisasi Halal

Terhadap Keputusan

Pembelian Konsumen Studi Kasus Pada Produk

Wall’s Conello

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

terjadi hubungan yang signifikan dengan

keeratan hubungan yang kuat dan positif antara labelisasi hala terhadap keputusan pembelian konsumen

7 Tengku Putri Lindung Bulan,

dan

Muhammad Rizal (2016)

Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Keputusan

Pembelian Sosis di Kuala

Simpang Kabupaten Aceh Tamiang

Labelisasi Halal berpengaruhi positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian

sosis di Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang

8 Mulyani Toyo

(2019)

Labelisasi Halal Terhadap

Perilaku Konsumen dalam

memilh Produk Makanan Sesuai Hukum Islam

Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap perilaku

konsumen memilih produk makanan Syar’i

sangat berpengaruh pada Masyarakat di Kecamatan Tamalate Makassar (Studi kasus kelurahan Mangasa)

9 Sonia Cipta

Wahyurini dan

Nurvita

Trianasari

Analisis Pengaruh Label

Halal dan Harga Terhadap

Keputusan Pembelian

Kosmetik Wardah

Label Halal mempunyai pengaruh positif dan

signifikan terhadap keputusan pembelian, dan

harga tidak pengaruh positif dan signifikan

terhadap keputusan pembelian kosmetik wardah

10 Dwi Edi Wibowo dan

Benny Diah

Mandusari

(2018)

Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Keputusan

Pembelian Oleh

Konsumen Muslim

Terhadap Produk Makanan di Kota

Pekalongan

Labelisasi halal dan harga memunyai hubungan secara simultan mempunyai

hubungan yang signifikan terhadap keputusan pembelian roduk makanan

8

2.2. Konsep Pemasaran

2.2.1. Pengertian Pemasaran

Pemasaran menurut Kotler dan Keller, adalah sebuah proses

kemasyarakatan di mana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka

butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas

mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan orang lain. Sedangkan

menurut American Marketing Association (AMA) pemasaran adalah aktivitas

serangkaian institusi, dan proses menciptakan mengkomunikasikan,

menyampaikan, dan mempertukarkan tawaran (offerings) yang bernilai bagi

pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat umum.5

Selanjutnya Gary Amstrong (2008) 6 menyatakan pemasaran adalah proses

sosial dan manajerial dimana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang mereka

butuhkan dan inginkan melalui penciptaan melalui pertukaran nilai dengan yang

lain. Pemasaran menurut Fandy Tjiptono & Anastasia Diana (2016) pemasaran

adalah aktivitas serangkain institusi dan proses penciptaan, mengkomunikasikan,

menyampaikan dan mempertukarkan karyawan (offerings) yang bernilai bagi

pelanggan klien, mitra dan masyarakat umum. Juga pemasaran adalah proses

manajemen yang mengindentifikasi, mengantisipasi, dan menyediakan apa yang

dikehendaki pelanggan secara efesien dan menguntungkan.

Pemasaran secara spesifik dikatakan Kotler (2009) adalah suatu fungsi

organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan

menyerahkan nilai kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan

cara yang menguntungkan organisasi dan para pemilik sahamnya.7 Danang Sunyoto

(2013) menyatakan bahwa pemasaran adalah fungsi bisnis yang mengidentifikasi

kebutuhan dari keinginan konsumen yang harus dipuaskan oleh kegiatan manusia

lain, yang menghasilkan alat pemuas kebutuhan, yang berupa barang maupun jasa.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah salah

satu kegiatan antara penjual dan pembeli untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-

5 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid 1 dan 2 Edisi. Kedua

Belas, (Jakarta: Erlangga, 2010), 25 6 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 27 7 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 27

9

hari (produk), dalam pemasaran adanya penjual dan pembeli diantaranya terjadi

transaksi tunai atau kredit.

2.2.2. Manajemen Pemasaran.

Dalam sistem pemasaran terdapat manajemen, yang berfungsi mengatur

jalannya proses suatu bentuk pemasaran. Manajemen yang dilakukan sangat

tergantung pada prospek ke depan, dan pola yang dilaksanakan. Seorang pakar

ekonomi, Daft, mengatakan manajemen merupakan upaya pencapaian tujuan-

tujuan organisasional secara efektif dan efisien melalui tahapan perencanaan,

pengelolaan, dan pengendalian sumber daya suatu organisasi. Ia juga mengatakan

setiap perusahaan memerlukan sistem manajemen untuk mencapai tujuannya, salah

satunya yaitu untuk memenuhi kebutuhan konsumen.8 Menurut Kotler Amstrong,9

ada 5 konsep alternatif yang mendasari langkah-langkah organisasi dalam

merancang dan melaksanakan strategi pemasaran: yaitu konsep produksi, konsep

produk, konsep penjualan, konsep pemasaran, dan pemasaran berwawasan sosial.

Di bawah ini akan dijelaskan langkah-langkah atau strategi pemasaran:

a. Konsep produksi.

Konsep ini menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang

tersedia dan harganya terjangkau. Karena itu manajemen harus berfokus

pada peningkatan efisiensi dan distribusi. Konsep ini merupakan salah

satu orientasi tertua yang memandu penjual.

b. Konsep produk.

Konsep ini menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang

menawarkan kualitas, kinerja, dan fitur terbaik oleh karena itu organisasi

harus menguras energinya untuk membuat peningkatan produk yang

berkelanjutan.

c. Konsep penjualan.

Konsep ini menyatakan bahwa konsumen tidak akan membeli produk

perusahaan kecuali sikap produk itu dalam skala penjualan dan usaha

8 Richard Daft. Era Baru Manajemen. Jakarta: Salemba Empat, 2012), 6 9 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 11

10

promosi yang besar. Konsep ini menitikberatkan penciptaan transaksi

penjualan dan bukan pembangunan hubungan pelanggan jangka panjang

yang menguntungkan.

d. Konsep pemasaran.

Konsep ini menyatakan bahwa pencapaian tujuan organisasi tergantung

pada pengetahuan akan kebutuhan dan keinginan target pasar dan

memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih baik daripada

pesaing.

e. Konsep pemasaran berwawasan sosial.

Prinsip pemasaran yang menyatakan bahwa perusahaan harus

mengambil keputusan pemasaran ynag baik dengan memperhatikan

keinginan konsumen, persyaratan perusaahan, kepentingan jangka

panjang konsumen, dan kepentingan jangka panjang masyarakat.

2.3. Produk Makanan

2.3.1. Definisi Produk Makanan

Dikatakan produk, adalah sesuatu yang dibuat atau dihasilkan, yang

kemudian diperjual belikan. Menurut Thamrin, produk berarti sesuatu yang

ditawarkan kepada pihak lain atau ke pasar, untuk memperoleh perhatian pembeli,

dibeli, dikonsumsi, atau digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam suatu perencanaan produk, ada beberapa tingkatan. Tingkatan paling

dasar adalah produk inti, yang ditunjukkan untuk menjawab pertanyaan: apa

sebenarnya yang dibeli oleh pembeli? Ini adalah tingkatan utama yang akan dilihat

orang ketika membeli suatu produk.10

Produk adalah sesuatu yang ditawarkan dari produsen, pihak yang

memproduksi, kepada konsumen, pihak yang membeli atau memperjualbelikan.

Secara konseptual, dikatakan produk yaitu pemahaman subjektif dari produsen atas

sesuatu yang ditawarkan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi, melalui

pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen, yang sesuai dengan kompetensi

10 Thamrin & Francis Tantri, Manajemen Pemasaran (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 153

11

dan kapasitas organisasi serta daya beli pasar.11 Karena itu suatu produk, segala

jenis produk, seperti makanan haruslah sesuai dengan keingina konsumen, karena

jika tidak sesuai, produk tersebut tidak akan diminati ol eh masyarakat dan akan

gagal secara periodik. Makanan yang diproduksi adalah pemenuhan kebutuhan

konsumen, dan jika konsumen merasa terpenuhi kebutuhannya maka produk

makanan tersebut sesuai dengan daya beli pasar.

2.3.2. Jenis-jenis Produk

Ada berbagai jenis produk yang bisa disaksikan diperjualbelikan di di pasar.

Namun secara umum produk yang digunakan oleh konsumen dibagi dalam 2

kategori, yaitu:

a. Produk berwujud atau tangibel product.

Produk berwujud disebut barang atau goods. Barang berwujud ini

dibagi menjadi 2 yaitu:

1) Barang konsumsi, disebut costumer goods, yaitu barang

konsumen untuk memenuhi kebutuhannya dan akan

dikonsumsikannya sendiri beserta anggota keluarga.

2) Barang industri, industri goods, atau barang industrial yaitu

barang yang dibeli oleh konsumen untuk menjalankan

industri atau usaha bisnisnya dan bukan untuk konsumsi

pribadi

b. Produk tak berwujud, atau in-tangible product

Produk ini terdiri dari jasa atau servis. Produk jasa banyak jenisnya

karena kebutuhan masyarakat, dan produsen pun menyediakan

berbagai aneka jasa, seperti jasa pendidikan, kebugaran, kecantikan,

jasa notaris, jasa hiburan, reparasi, dan lain sebagainya.12

11 Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Edisi 3, (Yogyakarta: ANDI, 2008), 95

12 Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Edisi 3, (Yogyakarta, ANDI: 2008), 95

12

2.4. Konsep Label Halal (labeling)

2.4.1. Pengertian Label Halal (labeling)

Kata halal (halal, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam

yang berarti “diizinkan” atau “boleh”. Secara etimologi, halal berarti hal-hal yang

boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-

ketentuan yang melarangnya.13 Istilah halal dalam kehidupan sehari-hari sering

digunakan untuk makanan ataupun minuman yang diperolehkan untuk dikonsumsi

menurut syariat Islam. Sedangkan dalam konteks luas istilah halal merujuk kepada

segala sesuatu baik itu tingkah laku, aktifitas, maupun cara berpakaian dan lain

sebagainya yang diperolehkan atau diizinkan oleh hukum Islam.

Kata “halal” dapat juga berarti lepas atau terikat. Artinya keterikatan pada

sesuatu. Karena dikatakan halal berarti sesuatu yang terlepas dari ikatan bahaya

duniawi, dan ukhrawi. Dalam bahasa Hukum, kata halal juga berarti boleh. Kata

halal sering dikaitkan dengan kata thayyib. Adapun kata thayyib, dari segi bahasa

berarti lezat, baik, sehat dan menentramkan hati, serta paling utama. Dalam hal

makanan dan minuman, thayyib diartikan makanan yang tidak kotor dari segi

dzatnya atau kadaluarsa (rusak) atau dicampuri benda najis.14

Dalam Islam, anjuran mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan

thayyib. Umat Islam sudah lepas kewajibannya karena menggunakan produk halal,

akan tetapi setelah halal juga mengandung bahan-bahan yang thayyib, yaitu unsur

makanan yang sehat, bergizi, proporsional, dan aman dikonsumsi. Untuk itu

seharusnya konsumen harus mampu menilai suatu makanan itu yang diketahui dari

komposisinya.

Di negara kita, konsep halalnya suatu produk ditempel dalam bentuk label.

Label biasanya ditempel atau digantung pada produk kemasan. Label memberikan

informasi merek suatu produk, dan sengaja dibuat secara sederhana ataupun rumit

sebagai bagian dari kemasan. Label memberitahukan berbagai fungsi produk,

diantaranya yaitu:

13 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al Zakah, (Jakarta: Pustaka Nasional, 2007), 5 14 Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah., 2007), 165

13

1. Label memberi identitas produk atau merek, misalnya naman sunkist

yang diletakkan pada jeruk.

2. Label memberikan identifikasi produk, misalnya buah pecah

kalenegan diberi peringkat A, B dan C

3. Label menjelaskan produk, yaitu siapa yang membuatnya, dimana

dibuat, kapan dinbuat, apa isiua, bagaimana penggunaannya, dan

lain sebagainya.

4. Label juga mempromosikan produk melalui grafis atau iklan

Ada berbagai label yang dapat dilihat pada kemasan produk. Kadang

menggambarkan secara detail komposisi, ada juga dijelaskan cara penggunaan,

serta takaran-takaran dalam komposisinya. Misalkan saja pada suatu produk ada

label takaran nilai gizi, berat netto, nomor register, Kemenkes. Ada juga label

diartikan sebagai informasi penjualannya. Tipe-tipe label antara lain; pertama, label

merek (a brand label). Yaitu label yang diletakkan pada kemasan yang semata-mata

berfungsi sebagai merek atau nama produk. Kedua, label tingkat kualtias (grand

label) melambangkan kualitas produk melalui angka misalnya hurud, angkat atau

abjad. Dan ketiga, deskriptif label, yaitu label yang memberikan info terkait cara

penggunaan, pemeliharaan, penampilan dan ciri-ciri lainnya.

Terkait label atau pelabelan kemasan, juga diattur dalam peraturan

pemerintah No.69 tahun 1999, tentang label halal dan iklan pangan menyebutkan

label halal adalah setiap keterangan mengenai label yang berbentuk tulisan, gambar,

gambar dan tulisan, atau bentuk-bentuk lainnya, yang ditempelkan pada atau

merupakan bagian dari kemasan pangan. Peraturan lainnya yaitu keputusan menteri

dan UU-RI No 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal yaitu:

a) Nama produknya

b) Daftar bahan yang digunakan

c) Berat bersih

d) Keterangan tempat produksi di wilayah Indonesia

e) Adanya label halal

f) Keterangan masa produksi dan kadaluarsanya.

14

Selain keterangan di atas, menurut klasifikasi label diberikan oleh Stanton,

yang penulis kutip dari Ahsin, maka label halal masuk dalam klasifikasi Descriptive

label yang menginformasikan tentang:

a. Konstruksi atau pembuatan produk sesuai dengan standar halal.

b. Bahan baku produk yang sesuai dengan standar halal.

c. Efek yang ditimbulkan (other characteristic) produk yang sesuai dengan

standar halal.15

Agama Islam merupakan agama yang sangat bijak dalam mengatur umatnya

agar tidak memakan makanan yang haram dengan menjelaskan semua yang halal

dimakan maupun yang diharamkan. Allah telah menciptakan bumi lengkap dengan

isinya agar manusia dapat memilih dan tidak mengikuti langkah-langkah syaitan

yang selalu menggoda umat manusia untuk mengikuti jalannya.16 Label halal

merupakan pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk

menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.

2.4.2. Macam-Macam label halal

Terdapat beberapa macam label yang digunakan oleh suatu perusahaan

ketika menerbitkan produk, yaitu:

a. Keterangan yang mencantumkan ciri suatu barang secara umum, disebut

grade label.

b. Pembuatan keterangan-keterangan yang menjelaskan secara rinci seperti

unsur kimia, warnanya, presentase campuran, penggunaan produk dan

sejenisnya, disebut deskriptive label.

c. Keterangan lengkap pada kemasan label, disebut informative label.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa label adalah

tulisan ataupun keterangan yang ditulis di kemasan sebuah produk untuk

memberikan informasi terkait cara penggunaan suatu produk, bahannya, tanggal

15 Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan .. 16 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al Zakah ...53

15

produksi dan masa kadaluarsa, dan informasi lainnya terkati produk tersebut.

Dalam hal ini, halal adalah label yang dicantumkan pada kemasan.

2.4.3. Syarat untuk Produk Halal.

Label halal yang dicantumkan hari ini pada suatu kemasan atau barang

menandakan produk tersebut telah memperoleh sertifikat halal dari lembaga

penjamin. Sertifikat halal diterbitkan secara tertulis oleh Majelis Permusyawaratan

Ulama, karena lembaga ini resmi dalam legalitas perundang-undangan Indonesia,

dan sesuai dengan syariat Islam. Dengan kata lain label halal adalah sertifikasi halal

dari lembaga yang berwenang, dengan mencantumkan nama lembaga itu

menandakan produk tersebut sudah layak dikonsumsi oleh publik.

Adapun pengertian produk halal adalah memenuhi ketentuan kehalalannya

sebagaimana digarikkan dalam sumber hukum Islam. Syarat-syaratnya yaitu:

a. Produk tersebut tidak mengandung unsur babi di dalamnya.

b. Selain itu tidak mengandung bahan yang diharamkan dalam Islam

untuk dikonsumsi, seperti bahan yang berasal dari organ manusia,

kotoran, darah dan lain sebagainya.

c. Jika bahan dari hewan, maka hewan tersebut disembelih menurut

tata cara syariat Islam.

d. Barang tersebut disimpan pada tempat yang halal, yang tidak

mengandung unsur yang haram. bahkan tempat tersebut harus

dibersihkan secara syariat Islam.

e. Produk tersebut tidak mengandung khamar.

Berdasarkan syarat halal di atas, menurut klasifikasi oleh Stanton, yang

disebut dalam Afifuddin,17 label halal dimasukkan dalam kategori descriptive label,

karena memberikan keterangan tentang:

1) Proses produksi sesuai standard kehalalan.

2) Bahan bakunya juga standard halal.

3) Karakteristik lain dalam produk standar halal.

17 Afifuddin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 45

16

Namun perlu diakui, sebenarnya tidak akan kewajiban untuk

mencantumkan label halal pada kemasan di perusahaan manapun. Ketika produk

itu masuk ke Indonesia, maka saat itulah diwajibkan ada label halal dikarenakan

mayoritas penduduk negara Indonesia beragama muslim. Maka pihak produsen

berkewajiban mencantumkan label halal untuk menjamin keabsahan produknya.

Dengan adanya kewajiban ini, pihak pemasar pun akan mempertimbangkan untuk

membuat suatu produk, yang secara otomatis disesuaikan dengan konsumen yang

muslim, dalam artian menggunakan logo halal yang dikeluarkan oleh MUI. Dengan

adanya label halal, kaum muslimin juga mempercayai bahwa produk tersebut bisa

dikonsumsi, karena sudah sesuai syariat Islam.

Zuliana, dengan mengutip peraturan kehalalan di MUI menulis bahwa

syarat kehalalan suatu produk menurut syariat Islam yaitu:18

1) Zatnya halal, artinya halal menurut sumber hukum Islam

2) Cara memperolehnya juga halal, misalnya bukan atas dasar pencurian.

3) Prosesnya halal, artinya tidak mencampurkan dengan barang haram dan

menyebut asma Allah dalam proses menyembelih binatang.

4) Tempat penyimpanan halal, yaitu tidak pada tempat yang mengandung

unsur haram.

5) Penyajiannya halal, artinya tidak mengandung unsur yang haram

sedikitpun.

Label halal suatu produk telah memenuhi kriteria kehalalan menurut ajaran

Islam. Dan label halal memiliki beberapa indikator sebagai informasi bagi

konsumen, sebagaimana disebut oleh Utami,19 bahwa produk yang telah

tersertifikasi halal akan mencantumkan logo di atas pada kemasannya. Sertifikasi

menjamin kehalalan produk dari segi bahan, komposisi dan proses pengolahan.

Perusahaan yang telah disertifikasi berarti telah menerapkan manajemen

penjaminan produk agar tetap halal (Sistem Jaminan Halal).

MUI telah membuat logo halal dan sistem pemasaran halal di Indonesia

mempergunakan logo tersebut, dalam artian telah dikonfirmasi oleh MUI.

18 Zuliana dan Irwan Padli, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 12 19 Christina Widhya Utami, Manajemen Ritel, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), 43

17

Gambar 2.1 label halal resmi MUI (sumber:www.halalmui.org)

2.4.4. Makanan Halal dalam Islam

Kehidupan manusia tidak pernah hening dari persoalan halal-haram. Al-

Qur’an-Hadis sebagai way of life kaum muslimin tentu menjelaskan persoalan ini,

memang, Allah secara normatif telah menjelaskannya, seperti apa yang tersurat

dalam ayat 119 dari surat al-An’am, yang menyatakan bahwa

(... 119 و قد فص ل لكم ما حرم عليكم .... )الأنعام :

Artinya:

“...sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang

diharamkan-Nya atasmu,..(Al-An’am:119)

Ayat ini mengandung maksud bahwa Allah telah menjelaskan dan memerinci

hal-hal yang telah diharamkan bagi manusia, yang rinciannya banyak dijelaskan

dalam berbagai ayat yang lainnya. Secara sederhana, makanan halal adalah

makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia yang dibenarkan oleh syariat Islam,

sehingga makanan yang diharamkan oleh Islam tidak boleh dikonsumsi oleh

manusia.

Menurut imam al-Ghazali, halal adalah istilah yang digunakan untuk menilai

tindakan, tingkah laku, yang dibolehkan dalam ajaran Islam. pada persoalan

makanan, maka halal yaitu ada kebolehan yang diperintahkan untik mengkonsumsi,

begitu sebaliknya.20

Secara arti kata, halal berasal dari Bahasa Arab yang terambil dari akar kata

ha-la-la ( ل -ح ل ). Kata ini mashdar dari halla-yahullu, hillan, wa halalan. Secara

20 Al-Ghazali, Iḥya `Ulūm ad-Dīn, h. 127.

18

arti bahasa yaitu keluar dari suatu aktivitas, halal, berhenti singgah atau menetap

(berdiam) di suatu tempat, melepaskan atau menguraikan ikatan atau menguraikan

kata-kata, menimpa (terjadi suatu peristiwa), mewajibkan, menetapkan,

membebaskan, misalnya membebaskan (seseorang) dari kaffarat sumpah, dan lain-

lain.21 Kata ini diartikan juga sebagai thaba atau baik (ṭayyib).22 Ungkapan ini

menjadi sinonim dengan kata halal disebutkan di dalam dengan kata ṭayyibat.23

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halal memiliki makna 1. Diizinkan (tidak

dilarang oleh Syara‟) 2. Yang diperoleh atau diperbuat dengan sah, 3. Izin;

ampun.24

Bila mengacu pada definisi oleh Kementerian Agama, makanan halal adalah

suatu barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum manusia dan serta

bahan yang digunakannya adalah halal. Dengan demikian halal dalam makanan

adalah karena telah diperbolehkan dalam agama.

Memperhatikan halal haram suatu makanan merupakan salah satu bentuk

ketaatan hamba kepada Allah. Dalam beberapa ayat al-Qur‘an, Allah Swt secara

tegas memerintahkan manusia untuk mengonsumsi makanan yang halal. Berikut ini

beberapa ayat al-Quran dan Hadits tentang makanan halal:

بعوا خطوات الشيطان إنه ل كم عدو ا في الأرض حلالا طيبا ولا تت يا أيها الناس كلوا مم

مبين

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di

bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena

sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al-Baqarah:168)

Allah juga menjelaskan dalam surat al-Baqarah tentang makanan yang halal,

sebagaimana ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 172:

إن كنتم إياه يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناك عبدون ت م واشكروا لل

21 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.

91. 22 Louis Ma‟luf, Munjid fi al-lughah wa al-A lām (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), 146-147

dan 150.. 23 Q.S. Al-A‟rāf/7: 157 24 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 383

19

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang

Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya

kepada-Nya kamu menyembah. (Qs. Al-Baqarah: 172)

2.5. Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam

Dalam kajian ekonomi ada istilah permintaan dan penawaran, yang

kemudian menjadi suatu manajemen dalam pemasaran. Pembahasan ini ditentukan

pada perilaku individu sebagai pelaku ekonomi yang berperan menentukan tingkat

harga dalam proses mekanisme pasar. Mekanisme pasar itu sendiri adalah interaksi

yang terjadi antara permintaan dari sisi konsumen dan penawaran dari sisi

produsen, sehingga harga yang diciptakan merupakan perpaduan darikekautan

masing-masing pihak tersebut. Menurut N.Gregory Mankiw dalam bukunya

berjudul “pengantar mikro ekonomi” menyebutkan bahwa permintaan adalah

sejumlah barang yang diinginkan dan dapat dibeli oleh pembeli.25

Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa, yang penulis kutip

dari artikel Fattach di Jurnal Penelitian dan Ilmu Manajemen, menjelaskan bahwa

hal-hal yang mempengaruhi permintaan suatu barang antara lain:

1) keinginan atau selera masyarakat terhadap suatu barang yang

berbeda dan selalu berubah-ubah. Dimana ketika masyarakat telah

memiliki selera terhadap suatu barang maka hal ini akan

mempengaruhi jumlah permintaan barang tersebut.

2) jumlah para peminat terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat

yang menginginkan barang tersebut semakin banyak, maka harga

barang tersebut semakin meningkat.

3) kualitas pembeli. dimana tingkat pendapatan merupakan salah satu

ciri kualitas pembeli yang baik. semakin besar tingkat pendapatan,

semakin tinggi kualitas masyarakat untuk membeli

25 N. Gregory Mankiw, Principle of Micro Ekonomic, Jilid 1, (Jakarta: Salemba, 2012),

34

20

4) lemah atau kuatnya kebutuhan suatu barang. Apabila kebutuhan

terhadap suatu barang tinggi, maka permintaan terhadap barang itu

juga akan tinggi.

5) cara pembayaran (tunai atau angsuran). Jika pembelian barang

tersebut dengan transaksi tunai, biasanya permintaah lebih tinggi.26

Konsep permintaan dalam Islam menilai suatu komoditi (barang atau jasa)

tidak semuanya dikonsumsi maupun digunakan, karena dibedakan antara yang halal

dengan yang haram.27 Oleh karena itu dalam teori permintaan barang dalam Islam,

membahas permintaan barang halal. Norma-norma Islam yang selalu menemani

manusia berkaitan dengan transaksi adalah halal dan haram.

Adapun penawaran (supply) dalam ekonomi adalah banyaknya barang atau

jasa yang tersedia dan dapat ditawarkan oleh produsen kepada konsumen pada

setiap waktu tertentu. Jadi penawaran dapat didefinisikan yaitu banyaknya barang

yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan

pada tingkat harga tertentu.28 Dalam Islam, penawaran juga harus memperhatikan

kehalalan. Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada

norma ini. Hal-hal yang diharamkan atas manusia pada hakikatnya adalah barang-

barang yang halal dan tidak berbahaya bagi manusia.

Permintaan terhadap barang halal sama dengan permintaan ekonomi pada

umumnya, yaitu berbanding terbalik pada harga. Namun masyarakat Islam pada

umumnya memperhatikan barang halal terlebih dahulu sebelum menilai pada harga.

Jika pun harga tinggi namun bukan halal, konsekuensi logis masyarakat juga tidak

membelinya. Karena masyarakat tidak membelinya, penawaran terhadap

barangpun berkurang, dan pada akhirnya penjual juga menawarkan barang-barang

yang halal untuk masyarakat untuk menjaga keseimbangan pemasarannya.

26 An’im Fattach, Teori Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam, Jurnal

Penelitian Ilmu Manajemen, Vol.II, No.3 2017, 450 27 An’im Fattach, Teori Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam ..453 28 An’im Fattach, Teori Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam, ..

21

2.6. Keputusan dan Faktor Pembelian Konsumen

Kotler dan Armstrong adalah pakar yang banyak dirujuk untuk menjelaskan

tentang keputusan pembeli. Menurutnya, disebut keputusan pembeli karena

perilaku konsumen yang membeli produk untuk keperluan pribadi ataupun keluarga

untuk dikonsumsi. Keputusan konsumen adalah proses dimana seseorang

memutuskan membeli sesuatu melalui tahapan-tahapan tertentu, yang pertama

adalah niat individu, dan kedua karena pengaruh orang lain.29

Menurut Kotler dan Armstrong, perilaku pembelian konsumen dipengaruhi

oleh tiga faktor, diantaranya sebagai berikut:

1. Faktor Budaya

Faktor kebudayaan berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku

pembelian konsumen dalam faktor kebudayaan ini terdapat beberapa

komponen antara lain: Budaya, budaya merupakan faktor penentu yang

paling mendasar dari segi keinginan dan perilaku seseorang karena

kebudayaan menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Menurut

kotler kebudayaan adalah determinan paling fundamental dari keinginan

dan perilaku konsumen. Sub-budaya, sub budaya terdiri dari kebangsaan,

agama, kelompok ras, dan daerah geografis.

Selain itu, budaya juga didefinisikan sebagai himpunan kepercayaan,

sikap, pola pikir, dan pola perilaku (kebiasaan dan tradisi) yang dimiliki

oleh anggota-anggota suatu masyarakat dan diwariskan dari satu generasi

ke generasi berikutnya melalui sosialisasi. Kepercayaan dan kebudayaan

biasanya relatif stabil sepanjang masa, tapi bisa berubah dari satu

generasi ke generasi berikutnya sehubungan dengan perubahan-

perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.30

29 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 194 30Boyd, Harper W, dkk. Manajemen Pemasaran: Suatu Pendekatan Strategis dengan

Orientasi Global. (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2000), 141-142

22

2. Faktor Sosial.

Faktor sosial, dapat dikatakan seseorang membeli dipengaruhi oleh

faktor diluar dirinya. Penjelasannya sebagai berikut:

a. Adanya kelompok yang dijadikan acuan. Kelompok ini dapat

diartikan bahwa sebagian orang memberikan pengaruh kepada orang

lain, baik secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung

misalnya memberikan informasi langsung, atau tidak langsung

melalui media.

b. Adanya pengaruh keluarga. Pengaruh ini cukup terasa karena orang

membelikan sesuatu adanya permintaan keluarganya, misalnya

keperluan istri, ataupun anak-anaknya.

c. Status sosial. Yaitu adanya orang berpengaruh dalam suatu

komunitas yang dapat memnerikan pengaruh kepada orang lain

sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Biasanya orang tersebut

adalah publik figur atau orang yang dituakan dalam suatu entitas

masyarakat.

d. Keinginan pribadi. Misalnya keinginan pribadi, yang sangat

tergantung pada profesinya, hobinya, dan keadaan ekonominya.

Gaya hidup termasuk faktor pribadi ini, dan berbeda pada setiap

tahapan usia.

3. Faktor psikologis.

Menurut Kotler, keadaan psikis seseorang turut mempengaruhi

keputusannya dalam pembelian. Beberapa faktor yang tergolong psikis

ini yaitu:

a) Keadaan motivasi: keadaan ini muncul karena adanya keadaan

lapar, haus, ketidaknyamanan, dan lain sebagainya. Hal yang

termasuk motivasi ini juga berasal dari tekanan luar, misalnya ia

ingin diakui oleh orang lain makanya dia membeli produk

tersebur. Hal in sangat tergantung pada kebutuhan, pengakuan,

dan pengakuan orang lain.

23

b) Berkaitan dengan persepsi. Persepsi seseorang memberikan

pengaruh ataupun motivasinya terhadap sesuatu.

c) Proses pembelajaran, adanya perilaku individu yang timbul dari

pengalaman.

Selanjutnya Kotler dan Armstrong juga mengutarakan bahwasanya

keputusan pembeli memiliki beberapa tahapan yaitu, pengenalan kebutuhan,

pencarian informasi, evaluasi alternatif, dan keputusan.

Tahap pengenalan kebutuhan, dimana pembeli menyadari kebutuhannya.

Kemudian mencari informasi, terhadap produk yang akan dibeli. Setelah itu ada

evaluasi alternatif, ia akan menkroscek beberapa data barang dan tempat yang akan

dibeli. Dan terakhir keputusan membeli, yaitu adanya peringkat merek, sesuai

ekpektasi, yang mempengaruhi konsumen.31

4. Faktor agama.

Suatu konsekuensi logis jika seseorang telah masuk dalam agama Islam,

maka ia harus mentaati anjuran yang terdapat dalam Islam. Seperti dalam

memilih makanan dan minuman, tentu yang dihalalkan dalam agama.

Agama memiliki pengaruh yang besar terhadap pola perilaku konsumsi. Karena

pada dasarnya agama mengatur mengenai apa yang diperbolehkan maupun mana

yang tidak, seperti ketentuan untuk mengkonsumsi produk (makanan) yang akan

dikonsumsi. Agama adalah indikator yang penting bagi pengambilan

keputusan apapun, dimana agama adalah fondasi yang membentuk

kepribadian seseorang untuk berperilaku sesuai hukum dan budaya.32

Mengemas produk makanan dan minuman dengan label halal memberikan

isyarat bahwa produk tersebut boleh dikonsumsi oleh muslim. Norma

religius mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seseorang. Konsumen

memiliki kewajiban memilih produk halal karena sudah dianjurkan dalam

agama, namun demikian tidak semua orang muslim memperhatikan dengan

baik kehalalalan ini, ada yang melanggarnya. Karena itu, faktor agama

31 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 298 32 Rahim, A, Nazahah., 2012, The Halal Product Acceptance Model For The Religious

Society, Business & Management Quarterly Review Vol. 3, pp, 17-25

24

adalah alasan utama sebenarnya bagi konsumen dalam memilih produk

halal.

Perilaku pembelian konsumen akan dipengaruhi oleh sub budaya-agama.

Menurut Yunos, logo halal yang dicantumkan pada produk merupakan

indikator khusus bagi umat Islam bahwa makanan tersebut dapat

dikonsumsi.33 Faktor logo halal telah diatur oleh pemerintah Indonesia

untuk menyusun strategi dalam pasar halal. Salah satu strategi yang sudah

dilakukan adalah sertifikasi makanan halal yang dilakukan oleh Lembaga

Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia

(LPPOM MUI) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Agama

Republik Indonesia.

Selain halal, dalam Islam juga dianjurkan untuk mengkonsumsi produk

makanan yang baik (thayyibah). Pengambilan keputusan pembelian untuk

membelanjakan harta juga harus seimbang dan sederhana. Dalam

memenuhi keinginan tidak menimbulkan israf (boros/ berlebihan), dalam

Islam harus mengendalikan keinginan tersebut. Keinginan yang

dikendalikan akan diarahkan sehingga menimbulkan kemanfaatan

(maslahah), bukan kemudharatan.34 Selain memiliki keinginan tidak

berlebihan, dalam Islam juga dianjurkan untuk menjauhi sifat mubazir.35

Sifat mubazir merupakan sifat yang dibenci oleh Allah Swt.

Dalam urusan memilih barang, Islam memperbolehkan jual beli dan

keinginan untuk memperoleh suatu barang, namun harus diperhatikan

kehalalannya. Selain faktor halalnya baranga, dalam Islam barang yang

akan dikonsumsi juga tidak membawa kemudharatan, meskipun barang itu

halal. Jadi faktor keputusan pembelian dalam Islam juaa dipengaruhi oleh

maslahah, israf, dan tidak mubazir.

33 Yunos, R. M., Mahmood, CFC., Mansor, NHA. 2014. Understanding Mechanisms to

Promote Halal Industry- The Stakeholders’ Views. Social and Behavioral Sciences. 130(15): 160 –

166. 34 Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Surakarta: PT Gelora Pratama, 2012),

95 35 Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, ..96

25

2.7. Kerangka Teori

Kecamatan Syiah Kuala merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota

Banda Aceh, masyarakat Kecamatan Syiah Kuala merupakan masyarakat yang

pada umumnya beragama Islam, sehingga dalam memilih makanan sangat

memperhatikan makanan yang telah dilabel-halalkan oleh MUI. Dalam produk

makanana halal terdapat 2 macam, yakni makanan siap saji dan makanan mentah

yang perlu diolah.

Dalam memenuhi kebutuhannya sering mejadi alasan dalam memutuskan

pembelian produk makanan didasari oleh faktor budaya, hal ini menjadi suatu

kebiasaan dalam masyarakat, selain itu faktor sosial yang sudah melekat dalam

kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya, yang meliputi keadaan dirinya dengan

orang lain, keluarga, dan lain sebagainya. Kemudian faktor agama, adalah suatu

konsekuensi bagi muslim dalam memilih produk makanan, karena dalam Islam

wajib seorang muslim makan dan minum yang halal.

Selain halal, sebagaimana dijelaskan di atas, faktor keputusan pembelian

dalam Islam sebaiknya juga memperhatikan tidak mubazir, membawa

kemaslahatan, tidak berlebihan, dan sesuai keinginan. Karena itu faktor budaya,

sosial, psikologis dan agama menjadi landasan teori dalam penelitian ini. Gambar

2.2 di bawah ini dijelaskan secara matrik tentang kerangka teori penelitian ini.

Gambar 2.2 kerangka teori penelitian

Keputusan Pembelian

Produk Halal

Landasan teori keputusan

pembelian produk halal

1. Faktor budaya

2. Faktor Sosial

3. Faktor Psikologis

4. Faktor agama

Hasil Penelitian

Faktor agama

Membawa maslahah

Tidak berlebihan (israf)

Thayyib

Tidak mubazir