Upload
phungnhu
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Kerangka Teori dan Literatur
II.1.1. Pajak Secara Umum
II.1.1.1 Definisi Pajak
Demi terus berlangsungnya pembangunan Nasional, aspek pajak sebagai sumber
utama penerimaan dana harus diperhatikan. Berikut ini adalah definisi pajak dari para
Ahli :
1. Definisi pajak yang dikemukakan Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yang dikutip
oleh Siti Resmi (2008):
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) secara langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”. (h.1)
2. Definisi pajak yang dikemukakan Prof. Dr Adriani seperti yang dikutip oleh Edy
Suprianto (2011):
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan
tidak mendapatkan prestasi- kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum
berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. (h.2)
Dari buku Edy Suprianto (2011) bahwa unsur-unsur pajak, adalah:
10
1. Iuran/pungutan
Pajak merupakan suatu kewajiban pembayaran dari warga negara kepada
negaranya sendiri. Hal ini dianggap sebagai suatu rasa tanggungjawab sebagai
rakyat. Awalnya memang pajak ini pada zaman kerajaan disebut sebagai upeti
yang harus dibayar oleh rakyat kepada rajanya.
2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus atau petugas pajak untuk
memaksa wajib pajak untuk mematuhi dan melaksanakan kewajiban pajaknya.
Sebab undang-undang menurut sanksi-sanksi pidana fiskal (pajak) sanksi
administratif yang khusus diatur oleh undang-undang termasuk wewenang dari
perpajakan untuk mengadakan penyitaan terhadap harta bergerak/tetap wajib
pajak.
3. Pajak dapat dipaksakan
Dalam hukum pajak di indonesia dikenal lembaga sandera atau girling yaitu
wajib pajak yang pada dasarnya mampu membayar pajak namun selalu
menghindari pembayaran pajak dengan berbagai dalih, maka fiskus dapat
penyandera wp dengan memasukannya ke dalam penjara.
4. Tidak menerima kotra prestasi
Ciri khas pajak dibanding dengan pungutan lainnya adalah wajib pajak (tax
payer) tidak menerima jasa timbal yang dapat ditunjuk secara langsung dari
pemerintah namun perlu dipahami bahwa sebenarnya subjek pajak menerima
jasa timbal tetapi diterima secara kolektif bersama dengan masyarakat lainnya.
5. Untk membiayai pengeluaran umum pemerintah
11
Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk kepentingan khusus, artinya
semua pengeluaran negara ditujukan untuk kepentingan masyarakat banyak atau
umum.(h.3)
Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2009) ada dua yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya.
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
dibidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi
konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk
Indonesia di pasaran dunia.
II.1.1.2. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut, seperti yang ada dalam buku
Mardiasmo (2009):
12
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya
yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis
pertimbangan pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat Yudiris)
di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3. Tidak menggangu perekonomian (syarat Ekonomis)
pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat Finansiil)
sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga
lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpanjangannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Contoh:
• bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
13
• Tarif PPN yang beragam disederhakan hanya satu tarif, yaitu 10%.
• Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi
badan maupun perseorangan (orang pribadi). (h.2)
II.1.1.3 Asas – asas Pemungutan Pajak dan Pengelompokannya
Asas- asas pemungutan pajak yang telah dikenal menurut para ahli didasarkan
pada: (http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak)
1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal
"The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
• Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
• Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi
hukum.
• Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau
asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak
(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
14
• Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak
lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
• Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
• Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
• Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
• Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).
• Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-
kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak.
Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut.
• Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya memadadi
sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara
• Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak
pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
15
• Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi,
untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
• Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan,
dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara
membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
• Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Sedangkan pengelompokan pajak menurut Mardiasmo (2009) terdiri dari:
1. Menurut golongan
a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak
yang bersangkutan.
Contohnya: Pajak Penghasilan
b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan ke pihak lain.
Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut sifat
Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya
berdasarkan ciri-ciri prinsip:
a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjek yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti
memperhatikan keadaan Wajib Pajak.
Contohnya: Pajak Penghasilan
16
b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya, tanpa memperhatikan Wajib Pajak.
Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
3. Menurut pemungutnya dan pengelolaannya
a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea
Materai.
b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah terdiri atas:
• Pajak propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak
bahan bakar kendaraan bermotor.
• Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel, pajak restaurant, dan
pajak hiburan. (h.2)
Namun PBB akan menjadi Pajak Daerah sesuai UU Pajak dan Retribusi
Daerah No 29 tahun 2009
II.1.1.4. Tata cara pemungutan pajak
Tatacara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2009) dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 stelsel:
17
a. Stelsel nyata (riil stelsel)
pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata)
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel
ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan
kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode
(setelah penghasilan riil diketahui)
b. Stelsel anggapan (fictive stelsel)
pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama
dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapay
ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan,
kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan,
tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah
pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya besarnya pajak
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak
menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka
18
wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya
dapat diminta kembali.
2. Asas- asas
Azas-azas pengenaan pajak adalah :
a. Azas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib
pajak yang bertempat tinggak di wilayahnya, baik penghasilan yang
berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Azas ini berlaku untuk wajib
pajak dalam negeri
b. Azas sumber
negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib
pajak
c. Azas kebangsaan
pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara
3. sistem pemungutan pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus
19
2) Wajib pajak bersifat pasif
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya suatu ketetapan pajak
oleh fiskus
b. Self assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajak sendiri
2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, meyetor dan melapor
sendiri pajak yang terutang
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
c. Witholding system
adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada
pada pihak ketiga, selain fiskus dan wajib pajak. (h.6)
II.1.1.5. Tarif Pajak
ada empat macam tarif pajak menurut Mardiasmo (2009):
1. Tarif sebanding/proporsional
20
Tarif berupa presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang erhutang proporsional
terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak
2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapaun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terhutang tetap
3. Tarif progresif
Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar
4. Tarif degresif
Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar (h.9)
II.1.1.6. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2009: 8) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya
utang pajak:
1. Ajaran formil
Utang pajak timbul dikarenakan keluarnya surat ketetapan pajak oleh
fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system
2. Ajaran materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai
pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self
assessment system.
21
Hapusya utang pajak menurut Mardiasmo (2009) dapat disebabkan oleh:
1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. Daluwarsa
4. Pembebasan dan penghapusan
II.1.1.7. Hambatan pemungutan pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak oleh Mardiasmo (2009) dapat
dikelompokan menjadi:
1. Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan
antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
c. Sistem kontrol yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan
baik
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, usaha untuk meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang
22
b. Tax evasion, usaha untuk meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang-undang (penggelapan pajak) (h.8)
II.1.1.8 Pajak Negara dan Pajak Daerah
Pajak di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok ditinjau dari lembaga pemungut
pajak yaitu pajak Negara dan pajak Daerah. Berikut ini adalah pajak negara dan daerah
yang masih berlaku hingga saat ini:
1. Pajak Negara Sering disebut juga Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Pusat yang terdiri dari: (http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak)
a. Pajak Penghasilan Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun
2008
b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali
dengan UU No. 42 Tahun 2009
c. Pajak Bumi dan Bangunan Diatur dalam UU No. 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang diubah terakhir kali dengan
UU No. 12 Tahun 1994
d. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Diatur dalam UU No.
21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
yang diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
e. Bea Materai UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
23
2. Dalam Pasal 1 angka 6 UU No.34 tahun 2000 Mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah disebutkan pengertian pajak daerah adalah “Pajak Daerah,
yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
Daerah dan pembangunan Daerah “
Pajak daerah dibagi menjadi dua bagian menurut Mardiasmo (2009), yaitu:
a. Pajak Propinsi, terdiri dari:
i. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air
ii. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air
iii. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
iv. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan
b. Pajak kabupaten/kota, terdiri dari:
i. Pajak hotel
ii. Pajak restaurant
iii. Pajak hiburan
iv. Pajak reklame
v. Pajak penerangan jalan
vi. Pajak pengambilan bahan galian golongan C
vii. Pajak parkir
viii. Pajak lain-lain (h.8)
24
II.1.2 Pajak Bumi dan Bangunan
II.1.2.1 Sejarah PBB
PBB merupakan jenis pajak objektif yang berlaku sejak Januari 2986
berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Jenis pajak
ini bukanlah tergolong jenis pajak baru karena pada dasarnya terdapat jenis pajak yang
memiliki kesesuaian dengan PBB yang telah lama dikenal dan jauh sebelum
diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Secara umum latar belakang
sejarah ke-PBB-an terbagi menjadi tiga bagian yaitu sebelum penjajahan, masa
penjajahan, dan masa kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan, pajak atas tanah
telah lama dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di nusantara dengan
nama drwyahaji. Salah satu kerajaan besar di masa lalu, Mataram, dalam sejarah
disebutkan telah menerapkan tanah pertanian ssebagai objek pajak. Saat itu pajaknya
dipungut berdasarkan luas tanah. Selain di Jawa, di kerajaan Aceh dikenal pula pungutan
atas tanah ladang yang dikenal dengan istilah wase tanah disamping pungutan-pungutan
lainnya. Pada masa penjajahan, dikenal adanya jenis pajak bumi yang disebut Land Rent.
Jenis pajak ini diperkenalkan oleh Sir Stanford Rafles, Seorang Gubernur Jenderal
Inggris di Indonesia pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816. Land Rent dikenakan
terhadap semua jenis tanah produktif dan wajib pajaknya adalah desa (kepada desa),
bukan perseorangan, karena kepada desa dianggap sebagai penyewa yang harus
membayar sewa tanah. Besarnya tarif Land Rent bervariasi antara 20% hingga 50% dari
hasil produksi pertania tergantung pada jenis produksinya. Pada masa penjajahan
Belanda (1986) pemungutan Land Rent tetap dipertahankan dengan mengganti namanya
25
menjadi Landrente dan besarnya tarif juga diubah menjadi 20% dari produksi pertanian.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia (1942-1945), nama Land Rent
diubah menjadi Land Tax. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,
nama Land Tax atau pajak tanah disebut Pajak Bumi. dan pada tahun 1951 sampai
dengan 1959 nama Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) yang
mempunyai tugas mendaftar dan mengeluarkan surat pendaftaran sementara bagi tanah-
tanah milik terdaftar. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959
tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat dipungut
pajak yang dikenal sebagai Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa
itu dipungut pula enam pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan bangunan yang
menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya dan menyebabkan
adanya beban pajak berganda bagi masyarakat. Dengan adanya reformasi perpajakan
pertama yang dimulai pada tahun 1983, antara lain dengan penyederhanaan jumlah dan
jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui pengundangan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1985, maka tujuh jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan
disederhakan menjadi PBB.
Dalam halaman Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985
Tentang Pajak Bumi dan bangunan, pertimbangan-pertimbangan Pemerintah dalam
membentuk undang-undang pajak nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan adalah:
a. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran
26
dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan
meningkatkan peran-serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya;
b. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak
atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar
apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan
yang diperolehnya kepada negara melalui pajak;
c. Bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga
dapat mewujudkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai
potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional;
d. Bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan
dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat
dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang
sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum;
e. Bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang
tentang Pajak Bumi dan Bangunan
II.1.2.2 Definisi
Definisi bumi dan bangunan Menurut Heru Suprianto (2010) yang diambil dari
UU tahun 1960 mengenai Peraturan dasar Pokok-pokok Agrarra adalah:
27
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan)
serta laut wilayah Republik Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan atau perairan. (h.3)
Termasuk dalam pengertian bangunan menurut Mardiasmo (2009) adalah:
1. Jalan lingkungan dalan satu kesatuan komplek bangunan
2. Jalan tol
3. Kolam renang
4. Pagar mewah
5. Tempat olahraga
6. Galangan kapal, dermaga
7. Taman mewah
8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat (h.311)
Menurut Erly Suandy, (2002) yang dimaksud pajak bumi dan bangunan adalah
pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan
objek atau bumi, tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besar pajak. (h.64)
Menurut Suharno, (2003) yang dimaksud Pajak Bumi dan Bangunan adalah
penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagi hasil pajak. (h.32)
28
Sedangkan pengertian PBB yang diambil dari www.pajak.go.id adalah Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan
atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun
1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek
(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan diatas maka penulis
menyimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan negara yang
berasal dari rakyat atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan yang
sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah masing-masing untuk meningkatkan
pendapatan daerah tersebut.
II.1.2.3 NJOP
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menurut Mardiasmo (2009) adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pengganti.
Yang dimaksud dengan:
• Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara
membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
29
• Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan
penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;
• Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP berdasarkan klasifikasi:
1. Objek pajak sektor pedesaan dan perkotaan
2. Objek pajak sektor perkebunan
3. Objek pajak sektor kehutanan atas hak penguasaan hutan, hak pengusahaan
hasil hutan, izin pemanfaatan kayu serta izin sah lainnya selain penguasaan
hutan tanaman industri
4. Objek pajak sektor kehutanan atas hak pengusahaan hutan tamanan industri
5. Objek pajak sektor pertambangan minyak dan gas bumi
6. Objek pajak sektor pertambangan energi panas bumi
7. Objek pajak sektor pertambangan non migas selain energi panas bumi dan
galian c
8. Objek sektor pertambangan non migas galian c
9. Objek pajak sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan kontrak karya
atau kontrak kerjasama
10. Objek pajak usaha bidang perikanan laut
11. Objek pajak usaha bidang perikanan darat
12. Objek pajak bersifat khusus (h. 312)
30
II.1.2.4 Objek PBB
Berikut ini adalah Objek pajak bumi dan bangunan menurut Mardiasmo (2009):
1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan bangunan
2. yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan
bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta
untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan daktor-faktor sebagai
berikut:
a. Letak
b. Peruntukan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut:
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
3. Pengecualian objek pajak adalah:
a. Digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dan tidak mencari
keuntungan, antara lain:
1) di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara
2) di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit
31
3) di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren
4) di bidang sosial, contoh: panti asuhan
5) di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dukuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internsional yang
ditentukan oleh menteri keuangan
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerinthan,
penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang
dimiliki.dikuasai/digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara
yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang anatara
lain dipergunakan untuk penyediaan fasillitas yang juga dinikmati oleh
pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Oleh sebab ituwajar pemerintah pusat
juga ikut membiayai fasilitas tersebut melalui pembayaran pajak bumi dan
bangunan. Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau
32
bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada
perjanjian yang diadakan.
5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk
masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp.12.000.000,-
(dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak
memiliki beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek
pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan
secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. (h. 313)
II.1.2.5 Subjek PBB
Menurut Widodo, dkk (2010) yang dimaksud dengan subjek PBB adalah:
Yang menjadi subjek PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata :
a. Mempunyai suatu hak atas bumi, dan/ atau;
b. Memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
c. Memiliki bangunan, dan atau;
d. Menguasai bangunan, dan atau;
e. Memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek pajak yang disebutkan di atas adalah yang dikenakan kewajiban
membayar pajak. Apabila suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak yang disebutkan diatas sebagai
wajib pajak (subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak).
Subjek pajak yang ditetapkan sebagai wajib pajak dapat menolak untuk dijadikan
wajib pajak dengan cara memberi keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
33
Pajak bahwa wajib pajak tersebut bukan wajib pajak terhadap objek yang dimaksud.
Direktur Jenderal Pajak dapat menyetujui maupun menolak keterangan tertulis yang
diajukan oleh wajib pajak. Jika Direktur Jenderal Pajak menyetujui keterangan tertulis
wajib pajak yang menolak penetapan sebagai wajib pajak, maka Direktur Jenderal Pajak
membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
diterimanya surat keterangan tertulis. Apabila keterangan tertulis yang diajukan oleh
wajib pajak tidak disetujui (ditolak) maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat
keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. Jika dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterimanya surat keterangan dari wajib pajak, Direktur Jenderal
Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap di
setujui. (h.6)
II.1.2.6 Nilai Jual Kena Pajak
Menurut Widodo (2010) Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP) yang besarnya presentase NJKP adalah sebagai berikut :
1. Objek Pajak Perkebunan adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
2. Objek Pajak Kehutanan adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
3. Objek Pajak Pertambangan adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP)
4. Objek Pajak Lainnya:
a. Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak jika Nilai Jual Objek Pajaknya
Rp. 1.000.000.000,- (1 milyar) atau lebih.
34
b. Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak jika Nilai Jual Objek Pajaknya
kurang dari dari Rp. 1.000.000.000,- (1 milyar) (h.10)
II.1.2.7 Tarif PBB
Menurut Undang-undang PBB tahun 1985 Bab IV pasal 5, Tarif pajak yang
dikenakan atas Obyek Pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
II.1.2.8 SPOP, SPPT dan SKP
Berikut ini adalah mengenai SPOP, SPPT dan SKP menurut Mardiasmo (2009):
1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya
dengan memakai SPOP.
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan
dikembalikan kepada direktur Jenderal Pajak. Wajib pajak yang pernah
dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia
menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya keoada
Direktorat Jenderal Pajak.
2. SPOP harus diisi dengan jelas , benar, lengkap dan tepat waktu serta
ditandatangani dan disampaikan kepada dirjen pajak yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah:
35
Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan
negara maupun wajib pajak sendiri.
Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, seperti luas tanah dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan
seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
3. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT
dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat
Jenderal pajak.
4. Direktur jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal
sebagai berikut:
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimanaditentukan dana Surat Teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang
dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah
ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam Surat Teguran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan.
36
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat
Jenderal Pajak ternyata Jumlah Pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak
dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP secara jabatan.
5. Jumlah pajak terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a
adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung
dari pokok pajak.
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak
menyampaikan SPOP, dikenakan sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak
yaitu sebesar 25% dari pokok pajak.
SKP ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak memuat
penetapan objek pajak dan besarnya pajak yang terutang beserta denda
administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak.
6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalan no 4
huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dalam pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah
denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
Sanksi administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak
sesuai dengan keadaan sebenarnya. (h.319)
II.1.2.9 Dasar Pengenaan Pajak
Berikut ini adalah dasar pengenaan pajak menurut Mardiasmo (2009):
1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP)
37
2. Besarnya nilai jual objek pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh kepala
kantor wilayah direktorat jenderal pajak atas nama menteri keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah)
setempat
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-tingginya 100% dari nilai jual objek pajak
4. Besarnya presentase ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional
pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali.
Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan
mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan
setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas
nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/
Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment.
Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar
penghitungan pajak. Yaitu suatu presentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. (h.317)
II.1.2.10 Tahun pajak, saat dan tempat yang menentukan pajak terhutang
Berikut ini adalah tahun, saat dan tempat yang menentukan pajak terutang menurut
Widodo, dkk, (2010):
1. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim. Jangka waktu satu tahun
takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember
38
2. saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan objek pajak
tanggal 1 Januari. Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka
keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan
pajak terutang.
3. Tempat pajak yang terhutang:
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
b. Untuk daerah lainnya, di wilayah kabupaten daerah tingkat II atau
kotamadya daerah tingkat II (h.12)
II.1.3 Metode Perencanaan Pemerintah
Pemerintah memiliki beberapa metode dalam menentukan besarnya rencana
yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Adapun jenis-jenis rencana yang
dipakai oleh pemerintah yang diambil dari http://h0404055.wordpress.com/ 2010/04/02/
kelebihan-dan-kekurangan-model-perencanaan-top-down-planning-bottom-up-planning-
dan-perancangan-gabungan/ adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan dengan sistem top down planning artinya adalah perencanaan yang
dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta
pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang
berwal dari perencaan hingga proses evaluasi, dimana peran masyarakat tidak
begitu berpengaruh.
2. Perencanaan dengan sistem bottom up planning artinya adalah perencanaan yang
dilakukan diaman masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian gagasan awal
39
sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sedangkan
pemerintah pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu jalannya program.
3. Perencaan dengan sistem gabungan dari kedua sistem diatas adalah perencaan
yang disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat dan program yang diinginkan
oleh masyarakat yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan
juga masyarakat sehingga peran antar satu dan keduanya saling berkaitan.
Adapun kelemahan dari tipe top down planning adalah :
1. Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang
lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.
2. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan.
3. Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu
program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari
awal hingga akhir.
4. Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada
masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami
hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat.
5. Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu
diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses.
6. Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Kelebihan dari sistem ini adalah
40
1. Masyarakat tidak perlu bekerja serta memberi masukan program tersebut sudah
dapat berjalan sendiri karena adanya peran pemerintah yang optimal.
2. Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan
ditanggung oleh pemerintah.
3. Mengoptimalkan kinerja para pekerja dipemerintahan dalam menyelenggarakan
suatu program.
Kelebihan dari sistem bottom up planning adalah
1. Peran masyarakat dapat optimal dalam memberikan masukan atau ide-ide kepada
pemerintah dalam menjalakan suatu program.
2. Tujuan yang diinginkan oleh masyarakat akan dapat berjalan sesuai dengan
keinginan masyrakat karena ide-idenya berasal dari masyarakat itu sendiri
sehingga masayarakat bisa melihat apa yang diperlukan dan apa yang diinginkan.
3. Pemerintah tidak perlu bekerja secara optimal dikarenakan ada peran masyarakat
lebih banyak.
4. Masyarakat akan lebih kreatif dalam mengeluarkan ide-ide yang yang akan
digunakan dalam suatu jalannya proses suatu program.
Kelemahan dari sistem bottom up planning adalah
1. Pemerintah akan tidak begitu berharga karena perannya tidak begitu besar.
2. Hasil dari suatu program tersebut belum tentu biak karena adanya perbadaan
tingkat pendidikan dan bisa dikatakn cukup rendah bila dibanding para pegawai
pemerintahan.
41
3. Hubungan masyarakat dengan pemerintah tidak akan berlan lebih baik karena
adanya silih faham atau munculnya ide-ide yang berbeda dan akan menyebabkan
kerancuan bahkan salah faham antara masyarakat dengan pemerintah
dikarenakan kurang jelasnya masing-masing tugas dari pemerintah dan juga
masyarakat.
Bila dilihat dari kekurangan serta kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing sistem
tersebut maka sitem yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua
janis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain
adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka
sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan
utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program
tersebut
II.2. Metodologi Penelitian
Metodelogi penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan proposal
skripsi ini menggunakan dua cara, yaitu :
1. Studi Literatur
Penulis melakukan pengumpulan informasi yang berkaitan dengan judul
proposal skripsi dengan cara mempelajari dan membaca buku – buku
serta literatur guna mendapat referensi dan teori – teori yang relevan yang
akan dijadikan dasar kriteria dalam membahas masalah yang ditemukan
pada saat penelitian lapangan.
2. Penelitian Lapangan
42
Penulis melakukan peninjauan di lokasi penelitian. Dalam hal ini penulis
melihat kondisi dan keadaan geografis pada kecamatan Pondok Aren
untuk mendapatkan gambaran mengenai PBB yang seharusnya didapat.
3. Wawancara
Penulis melakukan wawancara kepada pihak yang terkait, untuk
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan rencana dan realisasi
penerimaan PBB pada kecamatan Pondok Aren.