Upload
lyliem
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
���
�
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Teori Pertukaran
Teori Pertukaran adalah salah satu perspektif teoritis utama dalam sosiologi yang
mana memandang perilaku sosial terutama dalam hal untuk mengejar imbalan dan
menghindari hukuman (dan bentuk lain daribiaya). Dalam teoripertukaran,unit
dasaranalisisadalah hubungan antaraorang-orang yang terlibat di dalamnya.Individuterlibat
dalaminteraksidalam rangka memenuhikebutuhan.Hubungan sosial danstruktur sosialyang
dihasilkan olehhubunganyang mengikatorang ke dalamberbagai bentukasosiasidipandang
sebagaiobyeksentralpenyelidikansosiologis denganteoripertukaran.
Kuper berpendapat bahwa pertukaran bersifat universal. Menurutnya ada lima alasan
yang membuat pertukaran menarik. Kelima hal tersebut juga dilihat sebagai aspek
pertukaran menurut Kuper, yaitu (1) pertukaran adalah wahana yang memungkinkan
seseorang memperoleh sesuatu yang diperlukan, (2) pertukaran adalah salah satu cara
masyarakat menciptakan dan memelihara organisasi sosial, (3) pertukaran selalu diatur
melalui ketentuan hukum, konvensi atau etiket, (4) pertukaran selalu bermakna karena
mengandung unsur simbolik dan seringkali dijadikan metafora untuk kegiatan yang lain,
(5) di banyak masyarakat, orang sering berspekulasi asal mula, motif, moralitas,
konsekuensi dan esensi pertukaran.
Ada banyak jenis pertukaran, mulai dari pemberian cuma-cuma (yang sebenarnya
adalah pertukaran antara sesuatu barang dengan rasa puas), barter, derma, perdagangan
pajak, bahkan pencurian.Sesuatu yang dipertukarkan sangat bervariasi, mulai dari barang,
kado biasa, kartu ucapan selamat, bahkan pertukaran manusia, misalnya budak yang
���
�
dipertukarkan dengan uang, dan dalam perkawinan, wanita diberikan kepada laki-laki dan
sebagai gantinya laki-laki memberikan mas kawin.1
Sahlins membuat upaya unik untuk menunjukkan bagaimana berbagai prinsip
pertukaran bisa berubah-ubah sesuai dengan tujuan atau motif yang dikandungnya. Dalam
pandangan para ekonom, motif yang sah dari pertukaran hanyalah pencarian keuntungan,
tetapi kajian yang dilakukan Gregory pada tahun 1982 mengenai perbedaan hadiah dan
komoditi, serta karya para ekonom lainnya mulai mengungkapkan motif-motif pertukaran
di luar motif ekonomi.2
Salah satu jenis pertukaran adalah pemberian, yang menurut Mauss didasarkan pada
tiga kewajiban, yakni menerima, memberi dan mengembalikan. Ketiga unsur ini :
penerimaan, pemberian dan pengembalian merupakan prinsip kunci dalam praktek
pemberian. 3
Mauss mengatakan bahwa pada dasarnya banyak pandangan tentang sistem pertukaran
atau pemberian dalam masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Budaya
tukar-menukaratau barter, permutatiosudah terjadi dalam kehidupan masyarakat primitif
atau kuno pada masa lampau. Tradisi pemberian hadiah dan kewajiban untuk
membalasnya, atau kewajiban memberi dan kewajiban untuk menerima telah menjadi
realita sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Beberapa contoh, misalnya dalam kebudayaan masyarakat Malayo-Polinesia seperti
Samoa, Maori, Tahiti, Tonga dan Mangareva di Samudra Pasifik, terdapat budaya
pertukaran tonga, yaitu segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai harta kekayaan yang
dapat dipertukarkan, di antaranya termasuk anak laki-laki dan perempuan. Demikian juga,
kewajiban untuk memberi hadiah merupakan suatu ciri yang menandai kebudayaan
�������������������������������������������������������������1Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000), 327.�2Ibid, 328.�3Ibid, 327�
���
�
Eskimo dari Alaska4. Dalam kehidupan masyarakat Dayak misalnya, berkembang
sejumlah cara yang didasarkan pada kewajiban untuk turut bersama-sama makan segala
makanan yang disajikan di mana seseorang hadir pada waktu makanan tersebut disajikan
atau seseorang melihat makanan tersebut sedang dimasak5. Tradisi ini mengisyaratkan
adanya sebuah kewajiban memberi dan kewajiban untuk menerima. Dalam budaya
masyarakat Timor, dan suku-suku lain di Nusa Tenggara Timur, terdapat tradisi memberi
dan menerima atau tukar-menukar kain tenun. “Pada masa lampau, kain tenun kerap
dipergunakan oleh masyarakat Sumba sebagai alat tukar-menukar”6. Bahkan sampai masa
sekarang, tukar-menukar atau pemberian kain tenun merupakan tanda persahabatan,
kekerabatan, kekeluargaan atau penghormatan satu dengan yang lain.
Mauss memberikan pemikirannya tentang pemberian dalam peryataan berikut :
“Pemberian yang menunjukkan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar dalam masyarakat kuno atau arkaik…menghasilkan adanya sistem tukar-menukar pemberian yang melibatkan kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat secara menyeluruh. Bersamaan dengan itu, setiap pemberian adalah bagian dari suatu sistem tukar-menukar yang saling mengimbangi di mana kehormatan dari si pemberi dan si penerima terlibat dalamnya…sistem tukar-menukar ini merupakan suatu sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Dalam sistem tukar-menukar ini, setiap pemberian harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis-habisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima karena bersamaan dengan pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan”7
Dalam pemikiran Mauss di atas terlihat beberapa unsur dalam pemberian yaitu
(1) adanya aktivitas tukar-menukar, (2) adanya obyek yang dipertukarkan, (3) melibatkan
�������������������������������������������������������������4 Marcel Mauss, Pemberian : Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1992), 12.�
5Ibid, 16�6Nana Lystiani (Ed), Chic Mengolah Wastra Indonesia Tenun NTT, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 8.�7Ibid, xix�
���
�
setiap anggota kelompok atau masyarakat, (4) menuntut kewajiban moral untuk
pengembalian, (5) mempertaruhkan nilai kehormatan individu atau kelompok masyarakat,
(6) memiliki unsur kontinuitas atau berkelanjutan.
Sifat universalitas dan kontinuitas dalam pemberian membuat tradisi atau kebiasaan
memberi hadiah atau tukar-menukar berlangsung turun temurun, diadopsi oleh masyarakat
menjadi suatu budaya atau tradisi dalam kehidupan masyarakat. Tradisi dan masyarakat
adalah suatu dwi tunggal yang artinya tradisi selalu berlangsung dalam suatu masyarakat
dan masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memangku tradisi dan menjadi
wadah dari padanya 8 sehingga dalam kelompok masyarakat terdapat suatu kepercayaan
dan kepercayaan tersebut diungkapkan dalam berbagai bentuk yaitu ritual-ritual yang
dilaksanakan oleh masyarakat tersebut.
Sistem tukar-menukar adalah suatu sistem yang mencakup keseluruhan kegiatan di
mana setiap unsur kedudukan yang terlibat di dalamnya berlaku bagi setiap anggota
masyarakat yang bersangkutan. Sistem pertukaran ini memiliki ciri-ciri yakni : pertama,
pengembalian benda yang diterima tidak harus dilakukan bersamaan pada saat barang atau
hadiah diterima, atau dengan kata lain dapat dilakukan pada waktu yang berbeda. Kedua,
pengembalian benda yang diterima tidak harus berupa barang yang sama. Ketiga, benda
yang diterima tidak dilihat sebagai nilai melainkan sebagai prestasi karena benda ini
memiliki kekuatan gaib.
Dalam bukunya, Mauss mengemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian
yang cuma-cuma atau gratis. Segala bentuk pemberian selalu diikuti oleh pemberian
balasan atau imbalan. Kebiasaan saling tukar-menukar pemberian adalah suatu proses
sosial yang dinamik yang melibatkan keseluruhan anggota masyarakat sebagai sistem yang
menyeluruh. Proses-proses dinamik terwujud melalui hakikat saling memberi yang
�������������������������������������������������������������8 Koentjaraningrat, Antrpologi Kebudayaan, (Jakarta: Aksara Baru, 1969), 98-99�
���
�
mengharuskan si penerima untuk melebihi pengembalian pemberian, yang mencerminkan
adanya persaingan kedudukan dan kehormatan dari pihak-pihak yang bersangkutan
sehingga tukar-menukar tersebut tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu dari generasi
ke generasi.
Bentuk interaksi dalam masyarakat bisa berupa perbuatan saling tolong-menolong
sebagai sebuah tuntutan hidup bermasyarakat. Dalam masyarakat, bentuk interaksi bisa
berupa saling tukar-menukar pemberian yang melibatkan kelompok dan masyarakat secara
menyeluruh. Sistem tukar-menukar ini menyangkut setiap unsur dari kedudukan atau harta
milik yang terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang
bersangkutan9.
Apa yang saling dipertukarkan menurut Mauss sebagai prestasi yaitu nilai barang yang
memiliki makna berlaku bagi masyarakat dan bukannya nilai dari barang pemberian
tersebut. Prestasi yang dipertukarkan adalah menyeluruh karena tukar-menukar melibatkan
keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan invidu
secara pribadi. Sedangkan dalam masyarakat yang telah mengenal perdagangan, tukar-
menukar pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika,
keagamaan, moral, dan hukum. Aspek yang tertinggal dalam tukar-menukar hanyalah
aspek ekonomi, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa serta
berlaku hanya di antara individu dan bukan di antara kelompok.
Mauss memperlihatkan bahwa ada pemberian yang tidak menuntut diberikannya
imbalan atau pengembalian oleh si penerima, contohnya adalah sedekah. Namun jika
diperhatikan akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah unsur yang secara luas
memperlihatkan adanya hubungan antara si pemberi dengan unsur ketiga yaitu Tuhan,
�������������������������������������������������������������9Marcel Mauss, xix�
���
�
yang kedudukan-Nya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima yang akan
memberikan pahala kepada si pemberi.
Pada masa lampau, sistem tukar-menukar ditemukan secara sederhana dari benda-
benda, kekayaan dan hasil produksi melalui pasar-pasar yang telah ditetapkan oleh setiap
individu. Lebih lanjut, benda-benda yang digunakan sebagai tukar-menukar tidaklah
semata-mata benda-benda dan kekayaan nyata milik pribadi dan benda-benda yang bernilai
ekonomi, tetapi lebih banyak saling tukar-menukar penghormatan, penghiburan, upacara,
bantuan militer, perempuan, anak-anak, tari-tarian, pesta, dan pasar malam.10Sistem dari
pemberian atau tukar-menukar ini juga terjadi dalam peristiwa seperti kelahiran bayi, sakit,
sunatan, anak perempuan menginjak dewasa, upacara penguburan orang mati dan
perdagangan.11
Dalam pertukaran ini juga membahas tentang kewajiban dalam memberikan dan
kewajiban dalam menerima dengan maksud bahwa ikatan yang tercipta melalui atau oleh
benda-benda yang sebenarnya adalah suatu ikatan perorangan karena benda itu mengacu
pada seseorang. Apapun bentuknya benda-benda yang digunakan baik segala sesuatu yang
dimiliki, perempuan, anak-anak, atau upacara ritual semuanya itu tetap berisikan muatan
gaib dan keagamaan menempel bagi si penerima.
Kaitan hubungan dengan tukar-menukar di antara manusia tampak jelas sekali di
mana terjadi suatu ritual secara kontrak dan ekonomi. Namun, penjualan anak di sini tidak
memiliki maksud untuk suatu tujuan ekonomi melainkan dengan maksud untuk
melepaskan sesuatu yang dianggap akan hilang apabila anak tersebut dijual. Tujuan dan
maksud dari pertukaran ini sama halnya dalam dunia perdagangan yaitu untuk sesuatu
kepentingan yang mana untuk menghasilkan suatu persahabatan di antara dua orang atau
kelompok yang bersangkutan. Hadiah atau benda-benda yang dipertukarkan merupakan
�������������������������������������������������������������10 Ibid, 4�11 Ibid, 11 �
���
�
suatu ikatan, hadiah ini memberikan suatu identitas pada dua pihak atau kelompok yang
terungkap dan selanjutnya sejak saat itu membuat kedua pihak saling menegur atau saling
mengunjungi satu sama lain.
Hal yang sama terjadi dalam tradisi penjualan anak yang menjadi tradisi bagi
masyarakat Timor, di mana klen atau keluarga yang melakukan tradisi ini baik yang
memberi atau menerima diharuskan untuk tetap memberikan dan juga menerima atau
dengan kata lain terjadi suatu interaksi timbal balik yang melibatkan kedua klen tersebut.
Melalui interaksi tersebut akan terjadi suatu ikatan yang lebih dekat yakni terjalinnya suatu
persahabatan, atau dalam kebiasaan orang Timor dianggap telah menjadi bagian dari
keluarga. Hal ini tentunya terjadi apabila si pembeli pada awalnya bukan bagian dari
keluarga yang menjual.
Dalam budaya masyarakat Samoa, kepulauan Pasifik, ada tradisi yang mirip dalam hal
menukarkan anak, di mana anak dibesarkan oleh orang lain yang bukan orang tuanya
(fosterage). Tentulah pendidikan bagi si anak berada di luar keluarganya sendiri, tetapi
dalam fakta itu, ditandai oleh suatu kepulangan kembali kepada keluarga yang
melahirkannya12.
Tradisi penjualan anak yang terjadi dalam kepercayaan masyarakat Timor memiliki
kesamaan sistem.Praktek ini tidak didasarkan oleh motif ekonomi untuk pencarian
keuntungan, tetapi dapat diartikan sebagai pemberian atau pertukaran untuk sesuatu yang
bukan benda atau barang yang bersifat komoditi. Dengan mengetahui dasar-dasar dari
sistem tukar-menukar maka penulis akan membahas tentang konsep pertukaran yang
memiliki kaitan dengan masalah yang dipaparkan yakni tradisi penjualan anak atau
pemberian, pertukaran dengan pihak tertentu yang disepakati keluarga.
�������������������������������������������������������������12Ibid, 23 �
��
�
Selain tradisi pertukaran dan saling memberi di antara sesama, kewajiban memberi
dan tradisi pertukaran juga dijumpai dalam hubungan dengan ilah-ilah, dewa-dewa, roh-
roh leluhur atau wujud tertinggi yang didewakan dalam masyarakat. Dalam banyak
masyarakat kuno atau primitif tradisi pertukaran atau memberi dan menerima di antara
sesama manusia tidak saja mengindikasikan adanya niat dan ikatan persahabatan,
kekeluargaan, kontrak, kerjasama dan saling menghormati, tetapi juga melibatkan transaksi
dengan roh-roh nenek moyang, ilah-ilah dan dewa-dewa yang dipercayai menguasai alam
dan hidup manusia secara khusus yang dipercayai berkuasa dalam masyarakat tersebut.
Pertukaran, kewajiban memberi dan menerima dimotivasi oleh keinginan untuk memohon
kemurahan hati para penguasa tersebut, sehingga kehidupan masyarakat atau individu yang
memberi dilimpahi keamanan, kesehatan, kekayaan melimpah ruah dan kesejahteraan.
Dengan kata lain, pemberian dan pertukaran kepada sesama yang umumnya melalui ritual-
ritual tertentu, dimaksudkan untuk menyenangkan roh-roh leluhur, ilah atau para dewa
yang disembah. Di sinilah terlihat unsur mitos dan spiritual dalam sistem pertukaran atau
pemberian.
Mauss memaparkan contoh kehidupan masyarakat Eskimo di bagian Barat Alaska dan
di bagian pantai Asia di Selat Behring yang saling bersaing untuk menyatakan kemurahan
hati melalui pemberian hadiah-hadiah dan roh-roh dari orang-orang yang telah mati yang
ikut ambil bagian dalam transaksi-transaksi tersebut. Dalam upacara tukar-menukar ini
disebutkan nama-nama roh-roh yang sudah mati, dewa-dewa, hewan-hewan dan berbagai
gejala alam memohon kemurahan hati untuk dilimpahkan kepada mereka13.
Mauss berpendapat bahwa kaitan hubungan kontrak tukar-menukar di antara sesama
manusia dan yang berlaku antara manusia dengan dewa-dewa menjelaskan suatu aspek
menyeluruh dari teori berkorban. Dalam hal ini, saling tukar-menukar dan kontrak-kontrak
�������������������������������������������������������������13Ibid, 17�
��
�
mencakup tidak hanya manusia dengan benda-benda, tetapi juga makhluk-makhluk gaib,
dan roh-roh yang memiliki keterkaitan dengan roh-roh dimaksud14.
Sebuah tradisi lain yang berisi keyakinan bahwa manusia harus membeli dari dewa-
dewa dan bahwa dewa-dewa itu membayar kembali harga-harga dari korban-korban yang
diberikan, terlihat dalam kehidupan suku Toraja. Kruyt (dalam Mauss) memaparkan dalam
pernyataan berikut :
‘Pemilik’ dapat ‘membeli’ dari roh-roh hak untuk melakukan hal-hal tertentu dengan ‘harta milik’nya lebih tepat ‘harta milik’ mereka. Sebelum ia menebang pohon atau menggali kebunnya atau memagari rumahnya dia harus memberikan suatu pembayaran kepada dewa-dewa. Jadi walaupun masalah membeli nampaknya sangat kecil perkembangannya pada tingkat kehidupan ekonomi secara perorangan di antara orang Toraja, tetapi ide tentang membeli dari dewa-dewa dan roh-roh itu secara universal dipahami.15
Mauss mengatakan bahwa pemberian hadiah kepada sesama manusia dan kepada
dewa-dewa mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. Dalam cara ini
pengaruh-pengaruh setan akan dapat ditekan, karena kutukan manusia akan memungkinkan
bagi roh-roh yang cemburu dan dengki untuk merasuki dan membunuh seseorang dan
memberi izin pengaruh jahat untuk bertindak, dan jika seseorang melakukan kesalahan
terhadap orang lain, orang itu menjadi tidak berdaya terhadap roh-roh itu 16.
Mengacu pada paparan Mauss di atas, tradisi penjualan anak dalam budaya
masyarakat Timor, sekilas terlihat mempunyai motif yang sama, yakni memberikan uang
untuk ‘membeli sesuatu’ dari ’wujud tertinggi’ yang mengatur kehidupan manusia. Sesuatu
dapat berupa kedamaian, keselamatan, kesehatan, keamanan, perubahan karakter dan umur
panjang bagi si anak yang dijual. Dalam hal penjualan anak, pihak keluarga ‘membeli’
keselamatan dan kesehatan sang anak, juga karakter baik bagi sang anak, dengan jalan �������������������������������������������������������������
14Ibid, 18�15Ibid, 19�16Ibid, 20�
���
�
memberikan sejumlah uang bagi pihak pembeli. Dengan kata lain, pihak keluarga menjual
nyawa anak tersebut kepada ‘wujud tertinggi’ untuk mendapatkan kesehatan, karakter baik
dan keselamatan anak tersebut. Di sini terlihat adanya kesamaan motif dan tujuan dengan
tradisi pembelian dari roh-roh dan dewa-dewa dalam suku-suku primitif lainnya.
Sebagaimana dikatakan Mauss bahwa ide tentang membeli dari dewa-dewa dan roh-roh itu
secara universal dipahami17 penulis berasumsi bahwa ide penjualan anak dalam masyarakat
Timor juga merupakan manifestasi dari tertanamnya pemahaman masyarakat pada zaman
dulu tentang ide pembelian dari para leluhur atau roh-roh nenek moyang yang dipercayai
masyarakat Timor.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya, pemberian kepada sesama
manusia yang dilakukan dengan ritual-ritual tertentu, mengisyaratkan adanya ikatan
spiritual dan kontrak dengan kuasa supernatural. Dalam hal ini sang penguasa dapat berarti
Tuhan semesta alam, roh-roh para leluhur yang telah meninggal atau dewa-dewa yang
dipercayai dalam masyarakat tersebut. Pemberian, pertukaran atau pembelian, tidak saja
menyatakan adanya persahabatan, persaudaraan, tanda kehormatan, dan kontrak kerja sama
dengan sesama, tetapi juga kontrak dan transaksi dengan ‘penguasa hidup’ untuk
mendapatkan hal-hal tertentu yang diyakini hanya dapat diberikan oleh ‘sang penguasa’,
seperti anugerah, kesehatan, keamanan, terbebas dari murka atau kutukan, kekuatan,
kesejahteraan, karakter yang baik, kelimpahan harta kekayaan dan keselamatan.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan unsur-unsur dalam sistem pertukaran,
pemberian atau jual-beli dalam tradisi masyarakat :
1. Pihak pemberi dan penerima, atau penjual dan pembeli, atau penukar dan yang
menerima tukaran : adalah pribadi, individu atau masyarakat dan pihak penerima
�������������������������������������������������������������17Ibid, 19�
���
�
adalah sesama manusia, tetapi bisa juga roh-roh orang yang sudah mati, dewa-dewa
atau sang penguasa alam yang dipercayai oleh individu atau masyarakat.
2. Motif dan tujuan pemberian, pembelian atau pertukaran : pihak pemberi dimotivasi
oleh berbagai alasan, motif atau latar belakang misalnya pemahaman religius atau
kepercayaan dalam masyarakat, tradisi turun temurun, kedermawanan, rasa hormat,
kewajiban, tanggung jawab, dan rasa takut. Selain itu juga mempunyai tujuan-tujuan
tertentu, misalnya membangun relasi persahabatan, kekerabatan, kerja sama,
mendapatkan kehormatan, keamanan, kesehatan, kekayaan, kesejahteraan dan
keselamatan.
3. Cara atau ritual pemberian, pertukaran atau pembelian : pemberian-pemberian yang
melibatkan unsur mitos dan keagamaan pada umumnya dilakukan dengan cara-cara
atau ritual tertentu.
4. Sarana pendukung, mediator atau benda-benda yang digunakan sebagai prasyarat
dalam proses pemberian, pertukaran atau pembelian. Dalam hal ini merujuk pada
obyek-obyek pelengkap atau mediator yang diperlukan dalam ritual pemberian atau
pertukaran.
5. Pemberian, pertukaran ataupun pembelian mengandung nilai-nilai moral, etika,
sosial dan religi yang mengikat pihak pemberi dan penerima. Dalam hal ini, kedua
belah pihak terikat dalam kontrak yang melibatkan tanggungjawab dan kehormatan
atas nilai-nilai tersebut, misalnya setelah penerima menerima pemberian dari
pemberi, ada ikatan moral yang harus selalu dijaga yakni menghargai dan
menjunjung tinggi persahabatan dan kekerabatan yang telah terjalin melalui
pemberian yang diterima. Dalam pemberian kepada roh-roh leluhur yang sudah mati
atau kepada dewa-dewa untuk mendapatkan kesehatan, kekayaan atau keselamatan,
setelah pemberi menerima apa yang diinginkannya, ia terikat pada kewajiban untuk
���
�
selalu hidup dalam rasa takut, hormat dan taat pada roh-roh atau penguasa-penguasa
yang disembahnya.
Sebagaimana dipaparkan dalam Bab I, tradisi penjualan anak dalam masyarakat Timor
telah menjadi tradisi turun temurun, dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dari
generasi ke generasi.
Dalam tradisi penjualan anak ini, pihak penjual atau penukar adalah orang tua yang
mengharapkan imbalan kesehatan atau pendamaian dengan salah satu orang tua yang
wajahnya mirip dengan si anak. Pendamaian ini akan terlihat dari perubahan karakter si
anak yang semula selalu berselisih dengan salah satu orang tua yang mirip wajahnya. Pihak
pembeli adalah salah satu kerabat, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Jika ditelusuri
secara mendalam, sesungguhnya pihak pembeli atau penerima yang adalah anggota
keluarga, bukanlah pembeli yang sesungguhnya, karena pihak pembeli tidak dimotivasi
oleh motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan dari pembelian anak tersebut dan
kesembuhan atau perubahan karakter dalam diri si anak, tidak mungkin dikerjakan oleh
pihak pembeli yang mungkin saja bukan seorang tabib atau dokter. Jika menelusuri secara
mendalam, penerima sesungguhnya yang tidak kasat mata adalah roh-roh leluhur yang
diyakini masih memiliki koneksi atau keterikatan spirit dengan keluarga dan anak-anak
dalam keluarga. Roh-roh nenek moyang inilah yang sesungguhnya ada di balik transaksi
atau kontrak penjualan anak, dan menjadi penerima akhir dari penjualan anak tersebut.
Suparlan (dalam Koentjaraningrat) memaparkan tentang kepercayaan orang Timor
(yang dimaksud secara khusus adalah suku Atoni yang disebut sebagai orang asli pulau
Timor). Menurutnya agama asli orang Timor berpusat pada kepercayaan adan adanya dewa
langit Uis Neno, yang dianggap sebagai pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia.
���
�
Tentang kepercayaan kepada Uis Neno, Yewangoe mengatakan,
“Dalam struktur kepercayaan orang Atoni dikenal Uis Neno yang adalah Tuhan Surgawi, atau juga Tuhan Matahari. Ia dianggap sebagai yang memberikan kelurusan dan kejuuran, yang memberikan kedinginan. Ia bercahaya dan semarak, yang melindungi, yang memelihara dan yang memberikan makanan. Ia adalah alamat yang kepadanya doa dinaikkan, agar Ia melindungi dan memberikan kegairahan. Ia juga adalah alamat untuk memohonkan perlindungar agar memberikan kejujuran dan kelurusan”18
Upacara-upacara yang ditujukan kepada Uis Neno terutama untuk meminta hujan,
sinar matahari atau untuk mendapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan. Selain itu
orang Timor percaya juga pada Uis Afu yaitu Dewa Bumi yang mendampingi Uis Neno
yang memberikan berkah bagi kesuburan tanah yang sedang ditanami. Di samping itu orang
Timor juga percaya akan adanya makhluk-makhluk gaib yang menempati tempat-tempat
tertentu di hutan-hutan, mata-mata air, sungai-sungai dan pohon-pohon tertentu. Mahkluk-
makhluk halus tersebut bisa bersifat baik dan bisa juga bersifat jahat. Upacara-upacara
dilakukan untuk memuaskan makhluk-makhluk halus tersebut.19
Yewonge mengatakan bahwa orang Timor percaya bahwa Uis Neno, roh-roh dan
kekuatan-kekuatan yang tersembunyi mengontrol nasib manusia. Orang Atoni sadar bahwa
bahaya mengintip di mana-mana dan yang menguasainya bukanlah kekuatan manusiawi
tetapi kekuatan-kekuatan roh yang tersembunyi. Di lain pihak, orang Atoni juga
mengharapkan keadilan, kesejahteraan dan kesehatan. Semuanya berasal dari Uis Neno dan
roh-roh lain. Hal itu hanya dapat diperoleh jikalau menyelenggarakan ritual yang layak
dengan baik dan memperhatikan peraturan-peraturan yang ditetapkan.20
Suparlan memaparkan dengan lebih detail tentang kepercayaan orang Timor :
�������������������������������������������������������������18Andreas A. Yewonge, Pendamaian, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983),46��Parsudi Suparlan, ‘Kebudayaan Timor’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
1976), 217�20 Andreas A. Yewonge, Pendamaian, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983),46�
���
�
“Mereka juga percaya kepada roh-roh nenek moyang yang seperti mahluk-mahluk halus lainnya dianggap mempunyai pengaruh yang luas kepada jalannya hidup manusia. Berbagai malapetaka seperti sakit, kecelakaan, kesukaran-kesukaran dalam hidup, seringkali dianggap sebagai suatu tindakan dari mahluk-mahluk halus tersebut terhadap manusia, yang telah lalai untuk melakukan upacara sajian untuk mahluk-mahluk halus itu… Roh-roh nenek moyang selalu diperingati dengan upacara-upacara dan sajian-sajian pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sosial dari suatu rumah tangga, dan khususnya pada setiap peristiwa yang berhubungan dengan tingkat-tingkat pada lingkaran hidup dari anggota keluarga dalam rumah tangga itu”21
Tentang motif dan tujuan penjualan anak, telah disinggung sedikit sebelumnya yaitu
dimotivasi oleh rasa hormat akan Wujud Tertinggi yang diyakini mengatur kehidupan
keluarga atau nenek moyang, juga dimotivasi oleh rasa takut jika melanggar atau tidak
menyenangkan hati para leluhur yang meminta tradisi tersebut dijalankan. Motifnya
bukanlah motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan bisnis. Tujuan dilakukannya tradisi
ini adalah mendapatkan keselamatan, kesehatan dan pendamaian bagi si anak.
Cara atau ritual pembelian juga bermacam ragam. Dalam beberapa ritual, si anak
diletakkan di atas niru, tetapi juga bisa diserahkan lewat jendela. Obyek-obyek pelengkap
atau mediator yang diperlukan dalam ritual penjualan atau pertukaran ini antara lain niru dan
uang.
Nilai-nilai moral, etika, sosial dan religi yang mengikat pihak pemberi dan penerima
dalam tradisi ini antara lain terjalinnya kekerabatan dan kekeluargaan yang tidak bisa
terputuskan, adanya tanggungjawab moril dan spiritual dari kedua belah pihak dalam
pendidikan dan pertumbuhan anak. Secara keagamaan, kedua belah pihak merasa lega sebab
tidak ada hutang pada roh-roh nenek moyang karena telah menjalankan tradisi ini.
�������������������������������������������������������������21Parsudi Suparlan, ‘Kebudayaan Timor’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
1976),218.�
���
�
B. Unsur Teologis dalam Budaya Pertukaran.
Sistem pertukaran, pembelian dan atau pemberian kepada sesama atau ‘penguasa alam
semesta’ untuk suatu maksud tertentu tidak saja dijumpai dalam masyarakat primitif yang
menganut penyembahan pangan atau berhala-berhala, tetapi juga dijumpai dalam kehidupan
masyarakat Israel dan Yehuda, yang dalam Alkitab dikenal sebagai bangsa yang dipilih
untuk menyembah YAHWEH, Allah Israel, Allah yang hidup.
Sejak zaman Adam dan Hawa, manusia telah mempraktekkan tindakan memberi
persembahan atau pemberian kepada Sang Penguasa. Kisah Kain dan Habel dalam Kitab
Kejadian memberikan penjelasan tentang hal ini. Dikatakan bahwa Kain
mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban
persembahan; Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung
kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan
korban persembahannya itu22. Dalam hal ini, pemberian sebagai tanda ucapan syukur
kepada Tuhan yang memberi berkat.
Dalam Kejadian 14:21 raja Sodom menawarkan pertukaran kepada Abraham:
"Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah untukmu harta benda itu"23. Pembelian
dengan tukar-menukar dan merepresentasikan kehormatan dilakukan oleh Abraham ketika
hendak membeli kuburan untuk menguburkan Sarah. Abraham menimbang empat ratus
syikal perak dan membeli ladang Efron, di Makhpela di sebelah timur Mamre menjadi
kuburan miliknya24.
Contoh lain adalah pemberian atau pertukaran dalam hal meminang anak gadis yang
juga terlihat dalam zaman Perjanjian Lama. Abraham akan mengambil istri untuk anaknya
Ishak dan hambanya Eliezer diutus untuk maksud tersebut. Kejadian 24:53 menyatakan,
“Kemudian hamba itu mengeluarkan perhiasan emas dan perak serta pakaian kebesaran, dan �������������������������������������������������������������
22Alkitab Terjemahan Baru, (LAI, Jakarta:2000, Kejadian 4:3-4), 4�23Ibid, 13�24Ibid, (Kejadian 23:17), 23�
���
�
memberikan semua itu kepada Ribka; juga kepada saudaranya dan kepada ibunya
diberikannya pemberian yang indah-indah”25. Pemberian atau pertukaran dalam kisah ini
mengindikasikan penghormatan dan kekerabatan.
Dalam perjanjian keimamatan antara Allah dengan umat Israel, TUHAN menetapkan
kaum Lewi sebagai pemberian untuk Imam Harun guna maksud pendamaian. “Dan Aku
menyerahkan orang Lewi dari tengah-tengah orang Israel sebagai pemberian kepada Harun
dan anak-anaknya untuk melakukan segala pekerjaan jabatan bagi orang Israel di Kemah
Pertemuan, dan untuk mengadakan pendamaian bagi orang Israel, supaya orang Israel
jangan kena tulah apabila mereka mendekat ke tempat kudus"26.
Dalam ayat ini terlihat campur tangan Tuhan sebagai penguasa atas hidup umat-Nya,
di mana Tuhan sendiri yang berinisiatif dalam ‘pemberian’ kaum Lewi kepada imam besar
dengan maksud pendamaian, agar umat Israel terhindar dari tulah atau hukuman ketika
mendekati tempat kudus di mana Tuhan berdiam. Demikian pula pemberian-pemberian
kepada para imam, kaum Lewi dan kepada Tuhan sendiri membawa pendamaian antara
umat Allah dengan Allah sendiri. Pemberian dalam contoh ini mengindikasikan adanya
tujuan untuk mendapatkan perkenanan, perdamaian dan keselamatan.
Dalam kisah Naaman, panglima raja Aram yang menderita penyakit kusta, Naaman
membawa pemberian-pemberian kepada nabi Tuhan untuk meminta kesembuhan.
“Maka jawab raja Aram: ‘Baik, pergilah dan aku akan mengirim surat kepada raja Israel."
Lalu pergilah Naaman dan membawa sebagai persembahan sepuluh talenta perak dan enam
ribu syikal emas dan sepuluh potong pakaian’.27 Pemberian dalam contoh ini menunjukkan
adanya tujuan untuk memperoleh kesembuhan.
Dalam Bilangan 23, terlihat kisah Balak, raja Moab yang mengirimkan upah
penenung, menawarkan upah yang lebih besar kepada Bileam dan mengorbankan tujuh ekor
�������������������������������������������������������������25Ibid, 25�26Ibid, (Ulangan 8:19), 214�27Ibid, (2 Raja-raja 5:5), 424�
���
�
lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan, dengan maksud Bileam mengucapkan kata-kata
serapah atas umat Israel28. Dalam kisah ini, pemberian ditukarkan dengan imbalan
kecelakaan bagi musuh dan kesejahteraan bagi diri sendiri.
Dalam masa pemerintahan Salomo, pemberian-pemberian dikirimkan dan diterima
sebagai tanda hormat :
Raja Salomo memberikan kepada ratu negeri Syeba segala yang dikehendakinya dan yang dimintanya, melebihi yang dibawa ratu itu untuk raja. Lalu ratu itu berangkat pulang ke negerinya bersama-sama dengan pegawai-pegawainya. Adapun berat emas, yang dibawa kepada Salomo dalam satu tahun ialah seberat enam ratus enam puluh enam talenta, belum terhitung yang dibawa oleh saudagar-saudagar dan pedagang-pedagang; juga semua raja Arab dan bupati-bupati di negeri itu membawa emas dan perak kepada Salomo29.
Dalam masa pembangunan Bait Suci oleh Raja Salomo,Hiram, raja Tirus, membantu
Salomo dengan kayu aras, kayu sanobar, dan emas, sebanyak yang dikehendaki untuk
pembangunan bait suci dan Salomo menukarnya dengan memberikan dua puluh kota di
negeri Galilea kepada Hiram30. Dalam hal ini pemberian dan pertukaran dilihat sebagai
bentuk kerja sama, tanggung jawab, dan persahabatan dan kehormatan.
Dalam zaman Perjanjian Baru, ditemukan contoh pemberian hadiah dari orang majus
ketika Yesus Kristus lahir. Para orang majus melihat bintang di timur dan memahami bahwa
seorang raja besar telah lahir, karena itu mereka membawa persembahan mas, mur dan
kemenyan sebagai tanda penghormatan dan penyembahan.31
Pada masa gereja mula-mula, dalam masa pelayanan Rasul Paulus, jemaat-jemaat
saling memberi dan menerima, sebagai bentuk pelayanan kasih kepada sesama saudara dan
ucapan syukur kepada Tuhan. Paulus mengatakan, “Sebab pelayanan kasih yang berisi
�������������������������������������������������������������28Ibid, 184.�29 Ibid, (2 Tawarikh 9:14),464.�30Ibid, (1 Raja-raja 9:11), 396�31Ibid, (Matius 2:1-11), 1,2�
��
�
pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi
juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah”32.
Dari paparan di atas, dapat dimengerti bahwa pemberian, pertukaran dan pembelian
dalam kehidupan umat Allah, tidak saja berupa pemberian atau pertukaran yang memiliki
makna persahabatan, kekerabatan, kehormatan dan bentuk kerja sama, tetapi terdapat di
dalamnya ikatan spiritual dengan YAHWEH atau TUHAN, Allah Israel. Tuhan disertakan
dalam setiap bentuk pertukaran atau pemberian.
Dalam budaya masyarakat Timor, ada banyak ragam pemberian atau pertukaran yang
mengandung unsur teologis. Beberapa contoh antara lain memberikan, menazarkan atau
mengkhususkan anak pertama untuk kelak menjadi pelayan Tuhan, pendeta atau pekabar
Injil. Ini adalah sebuah contoh pemberian orang tua sebagai ucapan syukur kepada Tuhan
yang telah mengaruniakan hidup kepada sang anak, dan sebagai bukti pengabdian dan
penyembahan kepada Tuhan. Hal ini telah menjadi sebuah kerinduan dalam hati keluarga-
keluarga Timor yang sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan, mungkin karena
dilatarbelakangi oleh pemahaman terhadap Firman Tuhan dalam Keluaran 13:2 di mana
Tuhan memerintahkan bangsa Israel, "Kuduskanlah bagi-Ku semua anak sulung, semua
yang lahir terdahulu dari kandungan pada orang Israel, baik pada manusia maupun pada
hewan; Akulah yang empunya mereka"33.
Contoh pemberian yang lain adalah mempersembahkan hasil panen pertama atau hasil
pertama dari ternak, yang dibawa sebagai persembahan hulu hasil kepada Tuhan. Orang
Timor percaya bahwa hasil pertama dari setiap panen, baik hasil panen sawah, ladang,
seperti jagung atau buah-buahan dari hasil kebun harus dipersembahkan kepada Tuhan
sebagai sumber berkat, agar Tuhan memberkati sawah, ladang, kebun dan segala usaha
pekerjaan di waktu-waktu mendatang. Biasanya hulu hasil akan berupa padi, jagung, buah-
�������������������������������������������������������������32 Ibid,(2 Korintus 9:12), 221�33Alkitab Terjemahan Baru, (LAI, Jakarta: 2000), Keluaran 13:2 �
��
�
buahan, sayur-sayuran bahkan ternak seperti ayam, dibawa dan diletakkan di depan altar
gereja untuk dilelangkan, dan uang hasil pelelangan hulu hasil dipakai untuk pelayanan
pekerjaan Tuhan.
Selain pemberian-pemberian itu dibawa sebagai persembahan di rumah Tuhan, orang
Timor juga membawanya kepada pendeta dan pelayan Tuhan, sebagai pemberian dan tanda
kasih atas pelayanannya dalam jemaat. Melaluinya, pendeta atau pelayan Tuhan juga
diberkati dan dengan demikian memohonkan berkat bagi pekerjaan dan usaha jemaat.
Pemberian hulu hasil ini mungkin dilatarbelakangi oleh pemahaman terhadap Firman Tuhan
yang disampaikan kepada bangsa Israel mengenai persembahan hulu hasil, sebagaimana
dikatakan dalam Bilangan 18:13, “Hulu hasil dari segala yang tumbuh di tanahnya yang
dipersembahkan mereka kepada TUHAN adalah juga bagianmu; setiap orang yang tahir
dari seisi rumahmu boleh memakannya.”34
Tradisi ini juga dijumpai dalam masyarakat Atoni yang masih menganut agama suku,
di mana hulu hasil dibawa sebagai persembahan bagi Uis Neno, sebagaimana dikatakan
oleh Yewonge,
Sedangkan yang berhubungan dengan panen disebut : pena nakan, ane nakan (harafiah berarti : kepala jagung, kepala padi) yang dapat diartikan sebagai buah-buah yang pertama dari panen. Adalah tabu untuk memakan hasil panen sebelum buah yang pertama dikurbankan. Sesudah itu buah-buah yang pertama juga dibawa kepada penghulu-penghulu bersangkutan, yang juga disebut : pena nakan, ane nakan. Ia menjadi semacam upeti panen. Sesudah panen itu matang, diselenggarakanlah ritus pena suf bia,… Binatang-binatang yang dipakai untuk persembahan dankurban adalah babi, kerbau dan ayam.”35
C. PandanganTentang Makna Anak
Anak terlahir dalam keluarga yang adalah unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri
dari suami isteri, atau suami isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan �������������������������������������������������������������
34Ibid, Bilangan 18:13�35Andreas A. Yewonge, Pendamaian, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983), 49�
���
�
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan
derajat ketiga36.
Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1990 bertempat di New York
menyelenggarakan Convention on the Rights of the Childs (CRC), diantara hasil-
hasilnyamenyatakan bahwa anak adalah setiap orang di bawah usia 18 tahun,kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya37.
Seperti pandangan manusia secara universal, anak adalah buah cinta dalam keluarga,
penerus keturunan dan generasi. James Agee, seorang penulis Amerika abad ke-2
menyatakan bahwa dalam setiap anak yang lahir tidak peduli dalam situasi apapun dan tidak
peduli apapun orang tuanya, potensiatauumat manusiadilahirkan kembali.“In every child
who is born, under no matter what circumstances and of no matter what parents, the
potentiality or the human race is born again”38
Alkitab memberi penghargaan istimewa kepada anak-anak, sebagaimana ditemui
dalam beberapa bagian kitab Mazmur dan contoh-contoh dalam Perjanjian Baru :
Mazmur 127:3-5 mengatakan, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari
pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan
pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah
membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu,
apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang”39
Ayat 3 secara literal menyebutkan anak laki-laki karena latar belakang masyarakat
Yahudi yang memberi tempat nomor satu bagi laki-laki, tetapi ini tidak berarti bahwa anak
perempuan tidak dihargai atau tidak diterima. Dalam kalimat selanjutnya dikatakan bahwa
����������������������������������������������������������������� � ����������� ������ ���� �� ������� ����������� �� ���� ��!����� ��"� #$��% � �&���' ��!� (���� �$�� ��!����� ��"� #���
�!#��!)�� � � �"�!��*!�� �! ���+ #�, ��- ����# ��"� #�, � � �- �� �� �, ��% � � ��� �& �!�' �� �. � ! �����$�$�37 Pasal 1 Convention on the Rights of the Childs, dikutip dalam Aris Bintania ..., hl.3.�38James Agee, dalam John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi ke-11, Jilid 2, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2002)�39Alkitab Terjemahan Baru, (LAI, Jakarta: 2000), Mazmur 127:3-5�
���
�
buah kandungan adalah suatu upah; anak perempuan sebagaimana anak laki-laki juga
adalah buah kandungan yang merupakan upah yang membahagiakan bagi suami dan isteri.
Selanjutnya dalam ayat 4 dan 5, Pemazmur mengibaratkan anak-anak pada masa muda
seperti anak-anak panah di tangan pahlawan. Anak panah sangat penting dan berharga bagi
seorang pahlawan ketika akan maju berperang, tanpa anak panah, tidak mungkin seorang
pahlawan dapat menghadapi musuh dan menang dalam peperangan, sebaliknya akan
mengalami kekalahan dan bahkan kematian di medan perang. Karena itu Pemazmur
mengatakan berbahagialah orang yang membuat penuh tabung panahnya. Jika dikaitkan
dalam makna sesungguhnya, berarti bahwa laki-laki dan perempuan yang memperanakkan
banyak anak-anak adalah orang-orang yang berbahagia. Jadi orang yang mempunyai anak
adalah orang-orang yang berbahagia. Orang-orang yang memiliki persediaan dan kekuatan
di masa depan, karena anak-anak adalah pemilik masa depan.
Dalam Perjanjian Baru, penghargaan terhadap anak dijumpai dalam pelayanan Yesus.
Yesus Kristus memberi penghormatan dan mengasihi anak-anak. Dalam Matius 18:1-4
Yesus memakai contoh anak-anak kecil sebagai pribadi yang terbesar dalam Kerajaan
Sorga, dan meminta orang dewasa untuk bertobat, merendahkan diri dan menjadi seperti
anak kecil agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Ia menegur murid-murid-Nya yang
melarang anak-anak datang kepada-Nya. Yesus mengajarkan agar tidak memandang rendah
dan menyesatkan seorang anak kecil, karena anak-anak mempunyai malaikat mereka di
Sorga yang selalu memandang wajah Allah Bapa, dan Bapa yang di sorga tidak
menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak itu hilang. Yesus bahkan mengatakan
bahwa siapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya kepada-Nya, lebih
baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke
dalam laut. Sebaliknya, Yesus berkata, “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini
dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (ayat 5). Yesus Kristus sendiri memeluk anak-anak
���
�
itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka. Yesus bahkan
menyatakan isi hati Allah tentang anak-anak dalam pernyataan-Nya, “Demikian juga
Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang."
(Ayat 14). Pernyataan ini menunjukkan bahwa anak-anak kecil mempunyai makna yang
berharga di mata Tuhan. Allah menghendaki keselamatan setiap anak.40
Dalam pandangan masyarakat Timor secara umum, anak adalah harta masa depan
yang harus dibesarkan, dididik dan dengan kasih dan perhatian. Seorang anak menjadi
warga klen dari ayahnya menurut adat patrilineal, artinya ia mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu sebagai warga klen tersebut41 . Sebagai warga klen, sang anak
(terutama anak laki-laki) menjadi penerus nama keluarga dalam klen tersebut. Namun
demikian, anak terlahir sebagai makhluk yang lemah dan tidak dapat bertahan hidup tanpa
pertolongan orang dewasa. Kedua orang tua adalah orang terdekat yang bertanggungjawab
atas kesehatan dan keselamatan sang anak, merawat sejak dalam kandungan, mendidik dan
membesarkan sang anak sebelum dirinya sendiri bertumbuh besar dan mampu bertanggung
jawab atas dirinya.
Sekalipun secara umum masyarakat Timor memandang makna anak dalam makna
yang positif, dalam keluarga-keluarga yang memiliki anak dengan kemiripan wajah sangat
identik dengan salah satu orang tuanya, makna anak dapat bergeser menjadi makna negatif.
Makna negatif tersebut antara lain, sang anak adalah pembawa sial atau mendatangkan sakit
penyakit dan kematian bagi orang tua yang identik wajahnya, anak tersebut karena
kemiripan wajahnya, menjadi pemicu percekcokan dan ketidakharmonisan hubungan antara
orang tua dan anak. Di sinilah terlihat makna anak secara negatif bagi masyarakat Timor
khususnya dalam keluarga yang menjalankan tradisi penjualan anak secara turun temurun.
�������������������������������������������������������������40Alkitab Terjemahan Baru, (LAI, Jakarta: 2000), Mazmur 18:1-14�41Parsudi Suparlan, ‘Kebudayaan Timor’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1976),213�
���
�
Makna anak secara negatif inilah yang menjadi faktor keluarga menjalankan tradisi
penjualan anak.
Sebuah pertanyaan yang terkait dengan tradisi ini adalah mengapa bukan orang tua
yang dijual, tetapi harus sang anak yang dijual? Jawabannya adalah pada kepercayaan
bahwa sang anak yang mengambil kemiripan yang identik itulah yang menjadi penyebab
terjadinya sakit penyakit, percekcokan dan kematian. Orang tua tidak punya andil dalam
terjadinya situasi yang membahayakan ini, sebaliknya sang anak yang muda inilah yang
merupakan cikal bakal terjadinya malapetaka dalam keluarga, sang anak ini diyakini akan
mendominasi dan “menarik kehidupan” orang tua yang identik wajahnya, dan pada akhirnya
orang tuanya yang akan menjadi korban. Karena itulah, bukan orang tua yang harus dijual,
tetapi sang anaklah sebagai pemicu malapetaka, yang harus dijual.
Mengacu pada paparan di atas, dikaitkan dengan tradisi penjualan anak di pulau
Timor, sekilas pandang terlihat paradoks yang tajam. Mendengar istilah “jual-beli anak”
atau “pertukaran anak” atau “penjualan anak, terkandung kesan kejahatan manusiawi atau
pelanggaran hak-hak anak sebagai seorang manusia. Siapapun akan berpikir bahwa orang
tua atau pihak yang menjual anak tidak mengasihi sang anak, membenci atau melepaskan
diri dari tanggung jawab sebagai orang tua yang harus mendidik dan membesarkan anak.
Orang-orang akan memberi label “orang tua kejam” kepada ayah dan ibunya. Namun
fenomena yang terjadi dalam tradisi penjualan anak bertolak belakang dari penjelasan di
atas. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I tradisi penjualan anak tidak dimotivasi oleh
motif ekonomi atau dengan maksud komoditi anak. Sebaliknya tradisi ini dimotivasi oleh
rasa sayang kepada sang anak. Orang tua menghendaki keselamatan, kesehatan dan
perubahan sikapnya yang berselisih dengan salah satu orang tua yang mirip wajahnya. Dari
fenomena ini, dapat dilihat kasih sayang dan pengharapan orang tua tentang seorang anak.
���
�
Bagi orang Timor, anak memiliki makna yang penting dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Karena itu berbagai upaya, termasuk ritual-ritual dilaksanakan untuk memohon
keselamatan dan kesejahtaraan bagi si anak, misalnya pada saat kelahiran, ataupun pada saat
anak mengalami sakit. Semua itu dimaksudkan untuk memohon kesejahteraan dan
keselamatan sang anak dari penguasa tertinggi yang percayai oleh keluarga dan masyarakat.
�