Upload
phungminh
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
18
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Model Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu
sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi Muchammad SAW
menyatakan bahwa jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai
ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan.1 Siapapun sepakat
hadits nabi yang berbunyi Utlub al -ilm walau bi al-s}i n, menekankan betapa
pentingnya mencari ilmu lebih-lebih ilmu agama yang dikategorikan Syaikh
Imam Ghozali sebagai fardlu „ain.2
Tolok ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada
implementasinya, bukan sekedar agar mandek sebagai rumusan, melainkan harus
secara fungsional dilaksanakan. Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika sudah
diimplementasikan akan lebih berguna, apapun dan berapapun gunanya artinya,
implementasi bisa menjadi tolok ukur tepat tidaknya, akurat tidaknya, relevan
tidaknya, dan realistis tidaknya suatu rumusan kebijakan.3 Sebagaimana firman
allah dalam surat at-taubah ayat 122 yang berbunyi :
1 Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), 24 -27. 2 Ibid., 74.
3Aida Rusmilati R, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di
SMA Negeri 3 Madiun (Tesis – Universitas Muhammadiyah, Malang, 2007), 26.
19
Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.4
Proses pendidikan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari
proses penciptaan manusia. Agar dapat memahami hakikat pendidikan maka
dibutuhkan pemahaman tentang hakikat manusia.5 Manusia adalah mahluk
istimewa yang Allah ciptakan dengan dibekali berbagai potensi, dan potensi-
potensi tersebut dapat dikembangkannya seoptimal dengan pendidikan hal ini
karena menurut Langeveld dalam bunya Pratiwi manusia merupakan animal
educandum yang mengandung makna bahwa manusia merupakan mahkluk yang
perlu atau harus dididik.6
Proses pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia tentunya harus
selaras serta sejalan dengan landasan konstitusional Negara RI yaitu Undang-
Undang Dasar 1945 yang berdasar pada Pancasila alinea IV pembukaan UUD
1945 antara lain disebutkan bahwa salah satu tujuan nasional indoensia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan karena itu, setiap warga negara haruslah
4 Al-Qur‟a n, 9 (At-Taubah): 122.
5 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam ; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), 27. 6 E. Pratiwi, Manusia Sebagai Animal Educandum, dalam http://enjabpunya.blogspot.com (6 April
2010), 1.
20
mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Kecerdasan yang
dimaksud ialah program pendidikan hendaklah mencakup olah iman, olah fikir,
olah rasa, olah raga, olah karsa, dan olah budi. Oleh karenanya, esensi pendidikan
nasional harus mampu membentuk karakter serta kepribadian bangsa Indonesia.7
Aktifitas pendidikan memiliki relevansi keragaman teknis sacara
komprehensif dalam indicator adanya kompetisi gobal, semakin tinggi nilai
teknologi dan sains semakin tinggi pula kemajuan dan konsep pemenuhan
kebutuhan tercapai sehingga pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara
lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam
bidang pendidikan 8 dimana hal ini menjadi bagian salah satu dari kebutuhan
instruksional yang terjadi selama ini dan tidak bisa dipungkiri lagi dari adanya
sebuah perbedaan. 9
Keragaman teknis masuk dalam wilayah keberagaman model pendidikan
yang mempunyai dua potensi, yakni positif (kelebihan) dan negatif (kelemahan)
10 sehingga tidak sedikit terjadi permasalahan Overlup yang sangat tidak sesuai
dengan substansi pendidikan, tawuran antar siswa, antar pejabat, antar pejabat dan
warga sipil. Hal ini perlu adanya stimulus yang tinggi akan urgensitas pemahaman
7 E. Somantri. Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa
(Bandung: Widya Aksara Press, 2011), 1. 8 Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer (Jakarta: Pustaka sinar harapan,
1995), 229. 9 Haar Tilaar, Multikulturalisme ; Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi
Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 114-115. 10
Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Dalam Tashwirul Afkar
Edisi Khusus : Perebutan Identitas Islam, Pergulatan Islamisme Dan Islam Progresif (Jakarta:
Lakpesdam, t.t), 112.
21
yang sama, utuh, terintegrasi, saling menghargai, menghormati atas semua
golongan, ras, budaya, etnik, suku (Multikultural) yakni gerakan sosio-Intelektual
yang mengusung nilai-nilai dan prinsip-prinsip perbedaan yang menekankan pada
arti pentingnya penghargaan terhadap budaya pendidkan yang berbeda. 11
Dalam Peraturan pemerintah No. 28 dan 29 serta diikuti oleh surat SKB-3
menteri, dapat diketahui bahwa model madrasah adalah sekolah yang berciri khas
agama islam. Berkenaan dengan hal ini, maka madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah
dan aliyah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah pada tingkat
pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ditambah dengan ciri keislamannya
yang tertuang dalam kurikulum, yaitu memiliki mata pelajaran agama yang lebih
dari sekolah umum.12
Fungsi, peranan dan status madrasah secara substansial tidak berbeda
dengan Madrasah pada UU. No.2 Tahun 1989. Hanya saja dilihat dari yuridisnya,
madrasah pada periode ini lebih kuat dan kukuh, karena penyebutan momenklatur
madrasah masuk dalam batang tubuh undang-undang, berbeda halnya dengan UU.
2/1989 dan No. 28 Tahun 1990. Sedangkan perkataan madrasah aliyah disebutkan
pada keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan No. 489/U/1992. Perkataan
11
Melani Budianto, Multikulturalisme Dan Pendidikan Multikulturalisme, Dalam Azyumardi Azra
dkk, Mencari Akar Cultural Civil Society Di Indonesia (Jakarta: INCIS, 2003), 89. 12
Haidar Putra Dauly, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2009), 111.
22
madrasah pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dapat ditemukan pada Pasal
17 dan 18. 13
Secara yuridis ada beberapa pasal yang menyinggung tentang
pendidikan Islam, diantaranya adalah UU No. 20 Tahun 2003 dimana
didalam pasal tersebut setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan
pendidikan Islam. Pertama, kelembagaan formal, nonformal, dan informal
yang mendesain lembaga madrasah sebagai salah satu tempat pendidikan
formal yang diakui keberadaannya setara dengan lembaga pendidikan sekolah
sekaligus sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. kemudian majelis
taklim diakui sebagai pendidikan nonformal dan masuknya Raudhatul Athfal
sebagai lembaga pendidikan anak usia dini, dan dipertegas pula tentang
pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Kedua, pendidikan Islam
sebagai mata pelajaran, dikukuhkannya mata pelajaran agama sebagai salah
satu mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai,
terdapat seperangkat nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan nasional.14
Kemudian, dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 dinyatakan pula bahwa pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal
13
Ibid., 115. 14
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kencana,
2007), 9.
23
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan. 15
Keberadaan lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga formal
dinyatakan dalam pasal 17 bahwa pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar
(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau
bentuk lain yang sederajat. Mengenai pendidikan menengah dinyatakan
dalam pasal selanjutnya yakni pasal 18 bahwa Pendidikan Menengah
berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau
bentuk lain yang sederajat. Sedangkan dalam pasal 20 dinyatakan bahwa
pendidikan tinggi dapat berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi,
Institut, atau Universitas. 16
Selanjutnya, dalam pasal 26 dinyatakan pula bahwa pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan
15
Depag RI, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003), 4. 16
Ibid., 14-15.
24
yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan. 17
Terkait dengan pendidikan keagamaan, dalam pasal 30 dinyatakan
bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama dimana dalam
penyelenggaraannya dapat melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal. 18
Konsep Pendidikan secara Epistimologi di atas melandasi adanya
kebijakan dan regulasi terhadap system pendidikan nasional yang memiliki
urgensitas tinggi dan komprehensif baik secara instruksional, institusional
dan internasional terkait dengan standart kompetensi yang harus dilakukan
dalam hal pemetaan kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia.
17
Ibid., 20. 18
Ibid., 22.
25
B. Pengembangan Kurikulum : Kurikuler, Kokulikuler dan Ekstrakulikuler
Etimologi kurikulum berarti curir yang artinya pelari dan curere yang
berarti tempat berpacu. Hal ini mengidentikkan term tersebut dengan dunia olah
raga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu
jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish.19
Zakiah Daradjat mengatakan kurikulum sebagai suatu program yang
direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai
sejumlah tujuan pendidikan tertentu.20
Addamardasyi Sarhan dan Munir Kamil, sebagaimana dikutip al-Syaibani
mengatakan bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan,
kebudayaan, sosial, olah raga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi
murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolong untuk
berkembang menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka
sesuai dengan tujuan pendidikan.21
S. Nasution menyatakan ada beberapa penafsiran lain tentang kurikulum.
Diantaranya; pertama, kurikulum sebagai produk (sebagai hasil pengembangan
kurikulum), kedua, kurikulum sebagai program (alat yang dilakukan sekolah
untuk mencapai tujuan), ketiga,kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan
19
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi Pendidikan (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1986), 176. 20
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 121. 21
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 485.
26
dipelajari oleh siswa (sikap, keterampilan tertentu), dan keempat, kurikulum
dipandang sebagai pengalaman siswa.22
Sebagai program pendidikan yang telah direncakan secara sistematis,
kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa dan
apabila dianalisis lebih dalam sifat dari masyarakat dan kebudayaan, dengan
sekolah sebagai sebuah institusi sosial yang menyelenggarakan operasinya, maka
paling tidak kurikulum memiliki tiga peranan penting meliputi : Konservatif 23
yang tidak lepas dengan adanya transmisi dan tafsiran terhadap nilai social serta
bimbingan tingkah laku yang baik kepada peserta didik sesuai dengan tingkah
laku sosial yang ada dalam masayarakat, 24
Kemudian Kritis 25
dan Evaluatif 26
dimana masing-masing komponen-komponen micro memiliki kreatifitas dalam
mengkontruksi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang selalu berkembang serta
memberikan solusi dari permasalahan temporal dan disinilah nasution
mengkaitkan terhadap mutu pendidikan dalam standard proses pembelajaran,
terutama dalam pendidikan formal yang diterima di bangku sekolah. Sehingga
pencapaian sebuah sekolah dalam mendidik peserta didik, ditentutkan oleh
kurikulum yang digunakan.27
22
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 5-9. 23
Pius A. dkk, Kamus Ilmiah Poluer (Surabaya: Arkola, 1994), 367. 24
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2008), 12. 25
Pius A, Kamus Ilmiah, 384-385. 26
Ibid., 169. 27
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 1.
27
Pengembangan kurikulum memiliki efektifitas terhadap mutu sebuah
pendidikan, namun bukan merupakan perangkat tunggal pendidikan, dikarenakan
penjabaran visi sebuah kurikulum juga ditentukan oleh kreatifitas para guru. Hal
ini sebagaimana diutarakan A. Ferry T. Indratno 28
mengatakan bahwa kurikulum
adalah program dan isi suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan
akumulasi pengetahuan antar generasi dalam komponen kependidikan sehingga
John Wiles 29
mempertegas pula bahwa kurikulum merupakan organ jantung
pendidikan yang memiliki unsur-unsur fungsional terhadap organ-organ yang lain.
Sebagaimana tertuang UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) yang dalam penjelasannya dikemukakan bahwa
pendidikan nasional memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara
indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas dan mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.30
Ada sejumlah dasar pemikiran agar kemudian harus dijadikan
pertimbangan supaya kurikulum menjadi sentral dan berjalan mengikuti
fleksibilitas temporal, yakni :
1) Kurikulum hendaknya dirancang sedemikian rapi, cerdas, dan akurat sehingga
melahirkan relasi erat antar mata pelajaran satu dengan yang lain.
28
A. Ferry T. Indratno, Kurikulum beridentitas Kerakyatan dalam Kurikulum Yang
Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan alternative (Jakarta: Kompas, 2007), 108. 29
John Wiles dan Joseph Bondi, Curriculum Development A Guide To Practice (Ohio:Merry
Pubhlishing Company, 1989), 13. 30
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012), 21.
28
2) Kurikulum harus bersifat fleksibel dan bersifat kontekstual dengan
kepentingan-kepentingan pendidikan di tingkat tertentu.
3) Kurikulum hendaknya disusun bersama oleh para guru dan sejumlah elemen
yang lain yang mengutamakan kepentingan bersama demi tujuan pendidikan
ditingkat daerah dan tetap berdasarkan kepada tujuan pendidikan nasional.
4) Kurikulum hendaknya mencakup segala pengalaman anak dibawah pimpinan
sekolah dalam pandangan modern.
5) Kurikulum hendaknya berpusat pada persoalan-persoalan sosial dan pribadi
yang bermakna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari.
6) Kurikulum harus diselenggarakan sebagai sarana mencapai cita-cita nasional
yang berlandaskan filsafat negara.
7) Kurikulum harus memberikan pengalaman yang luas dan bermakna kepada
anak-anak dan tidak bersifat tekstual.
8) Kurikulum harus diatur dengan sedemikian rupa sehingga anak-anak dapat
mempelajari teknik belajar, cara kerja efektif dan memecahkan masalah.
9) Kurikulum hendaknya membukakan kesempatan kepada setiap anak untuk
mengembangkan minat dan bakatnya masing-masing.31
31
Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan (Jogjakarta: Diva Press, 2010), 19-20.
29
Substansi pengembangan kurikulum terletak pada kesesuaian atau
relevansi yang meliputi dua hal yaitu pertama kesesuaian kurikulum dengan
tuntutan, kebutuhan, kondisi dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian
antar komponen kurikulum, yaitu tujuan, isi, organisasi dan strategi.32
Dalam pengembangan kurikulum terdapat dua prinsip pengembangan
yaitu pengembangan umum dan pengembangan khusus.33
Dalam pengembangan
secara Nakiroh meliputi relevansi baik internal maupun eksternal, Fleksibilitas,
kontinuitas, praktis, efektifitas.34
Sedangkan pengembangan secara Ma‟rifah
meliputi Tujuan Pendidikan, pemilihan isi pendidikan, pemilihan proses belajar
dan yang terakhir adalah pemilihan media dan alat pengajaran. 35
Dari keterangan diatas dapat ditarik benang merah, pengembangan
kurikulum harus selalu memperhatikan kompetensi ataupun kemampuan peserta
didik dalam segala jenjang, sebagai dasar dan bekal anak didik menjadi lulusan
yang handal dalam konteks apapun baik politik, hukum, ekonomi, pendidikan
dan lain sebagainya. Namun saat ini tidak bias dipungkiri lagi bahwa penguasa
memiliki kekuatan hebat dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengubah
apapun selama itu menjadi yang terbaik dan benar menurut pandangannya tanpa
harus melakukan diskusi dengan para menteri keputusan dan kebijakan apapun
bisa diciptakan dengan cepat sehingga hal tersebut berdampak terhadap keadaan
32
Aida Rusmilati R, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di
SMA Negeri 3 Madiun (Tesis – Universitas Muhammadiyah, Malang, 2007), 31. 33
Ibid., 33. 34
Ibid., 33-35. 35
Ibid., 35-38.
30
bangsa 36
dan hal ini searah dengan Syafaruddin yang berpendapat bahwa politik
kekuasaan menjadi modal utama dalam menjalankan segala kepentingan penguasa
termasuk dalam dunia pendidikan. 37
Tidak jauh berbeda, M. Sirozi juga menegaskan institusi pendidikan yang
ada dalam masyarakat saat ini justru telah hanya dijadikan fungsi dan alat
kekuasaan dalam membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki.
Lebih lanjut ia mengatakan berbagai komponen pendidikan termasuk didalamnya
pembelajaran dan kurikulum serta bahan-bahan bacaan acapkali digiring pada
kepentingan politik.38
Oleh karena itu netralitas dan regulasi nasional harus bejalan sebagaimana
ditegaskan dalam perundangang-undangan yang berlaku sebab system pendidikan
nasional memiliki substansi yang tinggi dalam dalam menangani permasalahan
dan kemajuan bangsa, ditegaskan pula oleh Y.B. Mangunwijaya bahwa :
“ Perubahan sistem pendidikan sebut saja kurikulum pendidikan harus
dimulai dengan memperhatikan tingkat sekolah dasar. Itulah tulang
punggung bagi pendidikan selanjutnya. Merupakan ekosistem dan basis
strategis bagi evolusi humanisasi bangsa. Sebaliknya, ketika dari dasar
sudah rapuh, maka tingkat pendidikan selanjutnya akan sama rapuhnya”. 39
36
Moh. Yamin “ Manajemen Mutu, 95. 37
Syafaruddin “Efektivitas Kebijakan Pendidikan; Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan
Pendidikan Menuju Organisasi Sekolah Efektif” (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 61-62. 38
M. Sirozi, Politik Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 96-97. 39
Y.B. Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan (Yogyakarta: Dinamika Edukasi dasar, 2004),
4.
31
Ekstra kulikuler secara umum mengandung pengertian segala sesuatu yang
mempunyai makna berbeda dan mempunyai nilai lebih dari biasa. Searah dengan
pengertian tersebut, ekstra kurikuler di sekolah merupakan kegiatan yang bernilai
tambah yang diberikan sebagai pendamping pelajaran yang di berikan secara
intrakurikuler. Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan pembelajaran yang
diselenggarakan di luar jam pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan
pengetahuan, pengembangan, bimbingan dan pembiasaan siswa agar memiliki
pengetahuan dasar penunjang.40
Kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan di luar jam
sekolah yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Kegiatan ini
disamping dilaksanakan di sekolah, dapat juga dilaksanakan di luar sekolah guna
memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan atau kemampuan
meningkatkan nilai/sikap dalam rangka penerapan pengetahuan dan ketrampilan
yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dan kurikulum sekolah. Dan
kegiatan ini juga dimaksudkan untuk lebih mengkaitkan pengetahuan yang
diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.
40
Shaleh, Abdul Rachmad. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. (Jakarta: PT.
Grafinda Persada, 2005), 170.
32
Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan diluar jam
pelajaran (tatap muka) baik dilakukan di sekolah maupun dilakukan diluar sekolah
dengan maksud untuk lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan
dan kemampuan yang telah dimilikinya dari berbagai bidang.41
Kegiatan ekstra kurikuler tersebut lebih menekankan pada bidang ilmu
pengetahuan pada bidang keilmuan yang didapat siswa di sekolah, agar siswa
lebih memahami dan mendalami ilmu yang diberikan pada saat jam pelajaran
berlangsung, sehingga tidak tertinggal jauh dengan yang lain. Menurut Suharsimi
Arikunto, kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan tambahan diluar struktur
program, yang pada umumnya merupakan kegiatan pilihan.42
Sedangkan definisi kegiatan ekstra kurikuler menurut Derektorat
Pendidikan Menengah Kejuruan adalah : Kegiatan yang dilakukan di luar jam
pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah agar lebih
memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah
dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum 43
Piet Sahertian
mengatakan bahwa kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan diluar jam
pelaksanaan pelajaran (termasuk dalam waktu libur) yang dilakukan di sekolah,
dengan tujuan memperluas pengetahuan siswa mengenai hubungan antara
41
Moh. Uzer Usman, Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1993), 22. 42
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 271. 43
Depdikbud, Buku Petunjuk Pelaksaan Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Kurikulum SMTA
1984, Dikmenum, 1985), 6.
33
berbagai mata pelajaran, menyalurkan bakat dan minat serta melengkapi upaya
pembinaan manusia seutuhnya.44
Sedangkan menurut Suryosubroto, kegiatan ekstra kurikuler mencakup
semua kegiatan di sekolah yang tidak diatur dalam kurikulum dan sebagian dari
kegiatan ekstra kurikuler dikoordinir dan dilaksanakan oleh organisasi intra
sekolah .45
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstra
kurikuler adalah kegiatan tambahan di luar struktur program dilaksanakan di luar
jam pelajaran biasa agar memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan
kemampuan siswa, selain itu juga untuk menyalurkan bakat dan minat yang
dimiliki melalui kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
Kegiatan ekstra kurikuler merupakan sebuah organisasi sekolah. Sebagai
organisasi siswa di sekolah, ekstra kurikuler harus menyelenggarakan jenis
kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan memiliki kemanfaatan bagi
dirinya sebagai sarana pendewasaan diri dan penyaluran bakat-bakat potensional.
Untuk jenis-jenis kegiatan ekstra kurikuler yang masih ada kaitannya dengan
pelajaran antara lain olahraga, musik, menari, dan sebagainya. Biasanya sekolah
memanfaatkan guru-guru bidang sudi yang sudah ada, di mana pengalaman,
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki tersebut dari jenjang pendidikan
formal. Untuk jenis kegiatan ekstra kurikuler seperti PMR, pramuka, fotografi,
44
Piet A. Suhertian, Dimensi Administrasi Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1985), 132. 45
Suryosubroto, Tatalaksana Kurikulum (Jakarta:Rineka Cipta, 1990) hlm 58-59.
34
sekolah juga memanfaatkan guru yang ada. Jika pembina dirasa masih kurang
maka sekolah akan menunjuk petugas dari luar untuk membina kegiatan-kegiatan
tersebut.
Menurut Amir Daien kegiatan ektra kurikuler dibagi menjadi dua jenis,
yaitu bersifat rutin dan bersifat periodik.46
Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat
rutin adalah bentuk kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan secara terus
menerus, seperti: Latihan bola voly, latihan sepak bola dan sebagainya,
Sedangkan kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat periodik adalah bentuk
kegiatan yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu saja, seperti lintas alam,
camping, pertandingan olahraga dan sebagainya.47
Jenis-jenis kegiatan ekstra kurikuler dapat dibagi menjadi 2 jenis:
1. Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat atau berkelanjutan, yaitu jenis kegiatan
ekstra kurikuler yang dilaksanakan secara terus menerus selama satu periode
tertentu. Untuk menyelesaikan satu program kegiatan ekstra kurikuler ini
biasanya diperlukan waktu yang lama.48
2. Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat periodik atau sesaat yaitu kegiatan
ekstra kurikuler yang dilaksanakan waktu-waktu tertentu saja.49
46
Rusdi Affandi, Kegiatan Intra dan Ekstra Kulikuler pendidikan Agama Islam dan Pemahaman
Keagaam Siswa (Tesis, UIN Malang, 2008), 32. 47
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 272. 48
Ibid., 275. 49
Ibid., 273.
35
Banyak macam dan jenis kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah dewasa ini. Mungkin tidak ada yang sama dalam jenis maupun
pengembangannya. Dikemukakan oleh Oteng Sutisna bahwa klub dan organisasi
yang bersifat ekstra kurikuler tetapi langsung berkaitan dengan mata pelajaran di
kelas. Beberapa diantaranya adalah seni music atau karawitan, drama, olahraga,
publikasi dan klub-klub yang berpusat pada mata pelajaran. Klub-klub ini
biasanya mempunyai seorang penasehat, seorang guru yang bertanggung jawab
tentang mata pelajaran serupa.50
Kegiatan ekstra kurikuler sebagai organisasi siswa di sekolah agar dapat
melibatkan semua siswa di sekolah, harus menyelenggarakan jenis kegiatan yang
sesuai dengan kebutuhan siswa dan memiliki kemanfaatan bagi dirinya sebagai
sarana pendewasaan diri dan penyaluran bakat-bakat potensial mereka, disamping
kepala sekolah harus memerintahkan siswa untuk mengikuti kegiatan ekstra
kurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah yang bertujuan mengembangkan
program kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Evaluasi Ekstrakurikuler Kegiatan
ekstrakurikuler adalah kegiatan diluar jam pelajaran, yang dilkukan di sekolah
ataupun di luar sekolah. Kegiatan ini di maksudkan untuk memperluas
pengetahuan siswa, mengenal hubungan antara berbagai mata pelajaran atau
50
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar, 274.
36
bidang pengembangan, menyalurkan bakat dan minat yang menunjang pencapaian
tujuan instruksional.51
Kegiatan kokurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran
yang telah dijatahkan dalam struktur program, berupa penugasan-penugasan atau
pekerjaan rumah yang menjadi pasangan kegiatan intrakurikuler. Kegiatan
intrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di sekolah dengan penjatahan
waktu sesuai dengan struktur program. Evaluasi kokurikuler adalah kegiatan yang
berhubungan dengan hal-hal berikut:
a. Penilaian kokurikuler terutama dilakukan terhadap hasil kegiatan kokurikuler
yang antar lain berupa: kliping, lembar jawaban soal, laporan praktikum,
karangan, kesimpulan atau ringkasan dari buku.
b. Penilaian kokurikuler dilakukan setelah nsiswa selesai mengerjakan setiap
tugas yang diberikan.
c. Hasil penilaian kokurikuler dinyatakan dalam skala 0 – 10
d. Penilaian dapat dilakukan perorangan
e. Nilai kokurikuler diperhitungkan untuk nilai raport.
Pelaksanaan pendidikan yang berkualitas sangat tergantung terhadap
keseriusan para penyelenggara pendidikan, baik formal, informal maupun non
formal. Pendidikan formal dewasa ini, membutuhkan perhatian yang tinggi,
51
Hartoto, Fatamorgana, Dalam http://yahoo.com .blog: www.fatamorghana.wordpress.com. 7
(18 januari 2007), 13.
37
sehingga proses pembelajaran pada jenjang pendidikan ini dapat berjalan dengan
baik. Kegiatan pendidikan formal di kemas dalam bentuk kurikuler, kokurikuler
dan ekstra kurikuler. Kurikuler dan kokurikuler telah berjalan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dengan memfokuskan pada pembelajaran klasikal baik
dalam kelas maupun di luar kelas. Namun pada sisi lain, ekstra kurikuler juga
harus berjalan sesuai dengan standar yang ada.52
Dalam hal ini, kegiatan ekstra kurikuler dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dapat ditemukan dalam program pengembangan diri.Dalam
panduan tersebut dijelaskan bahwa pengembangan diri terdiri dari dua jenis
kegiatan yaitu bimbingan konseling dan ekstra kurikuler.Kegiatan ekstra kurikuler
yang dilaksanakan di sekolah, secara sederhana dapat mendatangkan manfaat
terhadap, siswa, masyarakat, dan sekolah.Dengan manfaat tersebut, sekolah bisa
menjadi lebih terkenal dan populer dan bahkan bisa dijadikan sebagai tempat
promosi sekolah kepada masyarakat.
Pendidikan Agama adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatisme
dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup berdasarkan ajaran Islam.
Sedangkan pengajaran agama berarti pemberian pengetahuan kepada anak, agar
supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama Dalam penjelasan Bab IX pasal 39
ayat (1) UU RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwa: Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman
dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut
52
Affandi , Kegiatan Intra dan Ekstra , 34.
38
peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk
menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam
bermasyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Hal ini sebagaimana
dikemukakan Abudin Nata bahwa Pendidikan Agama adalah pendidikan yang
melaksanakan bimbingan dan pembinaan kepada anak didik agar melaksanakan
ajaran agama.
Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka pendidikan agama
bersentuhan dengan upaya membangun atau membangkitkan perasaan keagamaan
yang merupakan fitrah dalam diri manusia, dan bukan diarahkan pada pemberian
pengetahuan agama semata-mata.Pendidikan agama yang demikian itu diharapkan
dapat menjadi bekal yang kuat bagi seseorang untuk tampil sebagai manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.Sejalan dengan itu, maka pendidikan
agama lebih ditekankan pada pembinaan fitrah keagamaan yang terdapat dalam
diri manusia agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal yang selanjutnya
dapat mendasari perbuatannya sehari-hari.53
C. Model Integrasi Pendidikan Madrasah
Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar
pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al qur‟an dan hadits nabi. Dalam hal
ini akan dikemukakan ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, seperti dikatakan
An Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu adalah Allah yang
telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta
53
Ibid,. 37.
39
menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya,
sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:54
Prinsip Integrasi, Prinsip Keseimbangan, Prinsip
Persamaan, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup, Prinsip Keutamaan.
Globalisasi adalah suatu proses yang mendunia akibat kemajuan-kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi 55
yang membawa dampak positif dan
negatif bagi kepentingan bangsa dan Negara. Stratafikasi teknis dalam hal
penguasaan Sains dan Teknologi merupakan indicator adanya kompetensi gobal,
semakin tinggi nilai teknologi dan sains semakin tinggi pula kemajuan dan konsep
pemenuhan kebutuhan tercapai pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan
secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan
dalam seluruh bidang, termasuk bidang pendidikan.56
Pendidikan sebagai proses pengembangan potensi manusia pada aspeknya
masing-masing, pada era globalisasi ini, setidaknya terdapat dua hal yang
menjadi pekerjaan rumah, terutama oleh lembaga-lembaga pendidikan Madrasah.
Pertama, semakin majunya ilmu pengetahuan dan IPTEK. Sehingga hal itu
54
Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam (Yogyakarta: Infinite Press, 2004), 25-
30. 55
Muzhoffar Akhwan, Pengembangan Madrasah Sebagai Pendidikan Untuk Semua (El Tarbawi:
Jurnal Pendidikan Islam, 2008), 45. 56
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer (Jakarta: Pustaka sinar
harapan, 1995), 229.
40
menyebabkan Kedua, pergeseran nilai-nilai agama, budaya, maupun kemanusiaan
yang semakin terkikis seiring dengan perkembangan zaman.57
Berlandaskan peraturan pemerintah No. 28 dan 29 serta diikuti oleh surat
keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri agama, dapat
diketahui bahwa madrasah adalah sekolah yang berciri khas agama islam.
Berkenaan dengan hal ini, maka madrasah memiliki kurikulum yang sama dengan
sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ditambah
dengan cirri keislamannya yang tertuang dalam kurikulum, yaitu memiliki mata
pelajaran agama yang lebih dari sekolah umum. 58
Karakteristik madrasah tidak hanya sekedar penyajian mata pelajaran
agama melainkan yang lebih penting ialah implementasi dari nilai-nilai keislaman
di dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana lembaga madrasah yang
melahirkan ciri khas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (1)
Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalam keseluruhan kehidupan lembaga
madrasah; (2) Kedidupan moral yang beraktualisasi, dan (3) Manajemen yang
profesional, terbuka, dan berperan aktif dalam masyarakat. Sehingga dengan
suasana madrasah yang demikian melahirkan budaya madrasah yang merupakan
identitas lembaga pendidikan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah
57
Ahmad Barizi “Pendidikan Integratif; Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam
(Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 255. 58
Ibid., 111.
41
hanya dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan basisnya
sebagai pendidikan yang berbasiskan masyarakat (community-based education). 59
Perbedaan yang mendasar madrasah dengan pesantren menurut Furchan
terletak pada sistem pendidikannya, yakni madrasah menganut sistem pendidikan
formal (kurikulum nasional, pemberian pelajaran dan ujian yang terjadual, bangku
dan papan tulis seperti umumnya sekolah model Barat) sedangkan pesantren
menganut sistem non-formal (dengan kurikulum yang sangat bersifat lokal,
pemberian pelajaran yang tidak seragam, sering tanpa ujian untuk mengukur
keberhasilan belajar siswa). 60
Madrasah memiliki program aktifitas di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu
eksakta murni agar bidang tersebut tidak hanya dikuasai oleh lulusan
nonmadrasah yang belum tentu memiliki mental keagamaan yang kuat. Agar
lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh
muka bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasah pun harus
memiliki wawasan global. Sehingga madrasah harus mempersiapkan peserta
didiknya dapat melanjutkan studi dan bekerja di luar negeri. Untuk itu, maka
penguasaan keterampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi
amat penting, demikian pula pengenalan budaya, 61
59
Haar Tilaar, Pradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 179. 60
Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Anatomi Keberadaan Madrasah
dan PTAI (Yogyakarta: Penerbir Gema Media, 2004), 16. 61
Muzhoffar Akhwan, Pengembangan Madrasah, 46.
42
Dengan demikian, jelaslah bahwa manusia “cerdas, kreatif, dan beradab”
adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendididikan Islam, termasuk pendidikan
madrasah untuk menghadapi globalisasi. 62
a. Integrasi Kelembagaan
Kalau kita berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah
erat hubungannya dengan lembaga-lembaga pendidikan karena suatu
pendidikan pasti ada lembaga yang membantu. Hal ini ditegaskan dalam
firman Allah swt yang berbunyi:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.63
Pada surat yang lain Allah juga menegaskan dalam firmannya yang
berbunyi :
Artinya : Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat.64
62
Syamsul Ma‟arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2007), 123. 63
Al-Qur‟a n, 6 (at tahrim): 66 64
Al-Qur‟-a n, 26 (asy syu‟aro): 66
43
Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh.65
Ayat di atas tersirat jelas bahwa konteks pendidikan yang terpenting
adalah “pendidik” kemudian lembaga beserta komponen dan unsur-unsurnya
harus teratur dengan rapi, tidak hanya terletak pada seorang pendidik di
sekolah, melainkan dimulai dari keluarga di rumah sebagai wadah, media
transformasi sebuah kebiasaan yang membentuk karakter anak hal tersebut
searah dengan Macmillan yang menjelaskan bahwa lembaga merupakan
seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai
yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian
tindakan yang penting dan berulang.66
Adelman & Thomas dalam buku yang sama mendefinisikan institusi
sebagai suatu bentuk interaksi di antara manusia yang mencakup sekurang-
kurangnya tiga tingkatan. Pertama, tingkatan nilai kultural yang menjadi
acuan bagi institusi yang lebih rendah tingkatannya. Kedua, mencakup hukum
65
Al-Qur‟-a n, 61 (ash S}aff): 4. 66
Saharuddin, Nilai Kultur Inti dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat Multi-Etnis
(Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001), 1.
44
dan peraturan yang mengkhususkan pada apa yang disebut aturan main (the
rules of the game). Ketiga, mencakup pengaturan yang bersifat kontraktual
yang digunakan dalam proses transaksi.
Ketiga tingkatan institusi di atas menunjuk pada hirarki mulai dari
yang paling ideal (abstrak) hingga yang paling konkrit, dimana institusi yang
lebih rendah berpedoman pada institusi yang lebih tinggi tingkatannya.67
Koentjaraningrat mengartikan lain lembaga dengan istilah “pranata”,
beliau mengelompokkannya ke dalam 8 (delapan) golongan, dengan prinsip
penggolongan berdasarkan kebutuhan hidup manusia. Kedelapan golongan
pranata tersebut adalah sebagai berikut: 68
a. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan
kekerabatan, yang disebut dengan kinship atau domestic institutions;
b. Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia, yaitu untuk mata pencaharian, memproduksi, menimbun,
mengolah, dan mendistribusi harta dan benda, disebut dengan economic
institutions. Contoh: pertanian, peternakan, pemburuan, feodalisme,
industri, barter, koperasi, penjualan, dan sebagainya;
c. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan
pendudukan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna,
disebut educational institutions;
67
Ibid., 2. 68
Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1994), 16.
45
d. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia,
menyelami alam semesta di sekelilingnya, disebut scientific institutions;
e. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan
rasa keindahan dan untuk rekreasi, disebut aesthetic and recreational
institutions;
f. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, disebut religious
institutions;
g. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan
bernegara, disebut political institutions. Contoh dari institusi politik di sini
adalah pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian,
ketentaraan, dan sebagainya;
h. Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmaniah dari manusia,
disebut dengan somatic institutions.69
Hendropuspito lebih suka menggunakan kata institusi daripada
lembaga. Menurutnya institusi merupakan suatu bentuk organisasi yang
secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi
sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial
69
Ibid., 17.
46
dasar. Unsur penting yang melandasi sebuah institusi menurut Hendropuspito
dapat dilihat dari unsur definisi sebagai berikut:70
1. Kebutuhan sosial dasar (basic needs). Kebutuhan sosial dasar terdiri atas
sejumlah nilai material, mental dan spiritual, yang pengadaannya harus
terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebetulan atau kerelaan
seseorang. Misalnya: kebutuhan sandang, pangan, perumahan, kelangsungan
jenis/keluarga, pendidikan, kebutuhan ini harus dipenuhi.
2. Organisasi yang relatif tetap. Dasar pertimbangannya mudah dipahami,
karena kebutuhan yang hendak dilayani bersifat tetap. Memang harus diakui
bahwa apa yang dibuat oleh manusia tunduk pada hukum perubahan, tetapi
berdasarkan pengamatan dapat dikatakan bahwa institusi pada umumnya
berubah lambat, karena pola kelakuan dan peranan-peranan yang melekat
padanya tidak mudah berubah.
3. Institusi merupakan organisasi yang tersusun/terstruktur. Komponen-
komponen penyusunnya terdiri dari pola-pola kelakuan, peranan sosial, dan
jenis-jenis antarrelasi yang sifatnya lebih kurang tetap. Kedudukan dan
jabatan ditempatkan pada jenjang yang telah ditentukan dalam struktur yang
terpadu.
4. Institusi sebagai cara (bertindak) yang mengikat. Keseluruhan komponen
yang dipadukan itu dipandang oleh semua pihak yang berkepentingan
sebagai suatu bentuk cara hidup dan bertindak yang mengikat. Mereka
70
Hendropuspito, Sosiologi Sistematik (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1989), 63.
47
menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam suatu institusi
harus disesuaikan dengan aturan institusi. Pelanggaran terhadap norma-
norma dan pola-pola kelakuan dikenai sanksi yang setimpal. Dalam
institusi keterikatan pada norma dan pola dianggap begitu penting bahkan
diperkuat dengan seperangkat sanksi demi tercapainya kelestarian dan
ketahanan secara kesinambungan.
Sementara Sulaeman Taneko mendefinisikan institusi dengan adanya
norma-norma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut.
Institusi merupakan pola-pola yang telah mempunyai kekuatan tetap dan
aktivitas untuk memenuhi kebutuhan haruslah dijalankan atas atau menurut
pola-pola itu.71
Melihat terminology yang variatif diatas, terdapat definisi yang rumit
karena memiliki kesamaan, Norman T. Uphoff, seorang ahli sosiologi yang
banyak berkecimpung dalam penelitian lembaga lokal, menyatakan pula
tentang kesulitan mendefinisikan institusi, karena pengertian institusi sering
dipertukarkan dengan organisasi dengan ungkapan sebagai berikut :
“Institutions are complexes of norms and behaviors that persist over
time serving collectivelly valued purposes”.72
71
Taneko B. Sulaiman, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), 72. 72
Uphoff T. Norman, Local Institutional Development: An Analitycal Sourcebook with Cases
(West Hartford Connecticut: Kumarian Press, 1986), 9.
48
Namun beliau juga mengajukan definisi sederhana yang membedakan
antara organisasi (organization) dengan kelembagaan (institution) sebagai
berikut: 73
“Organizations are structures of recognised and accepted roles. Institutions
are complexes of norms and behaviours that persist over time by serving
collectively (socially) valued purposed”.
Organisasi sebagai struktur peran yang telah dikenal dan diterima.
Kelembagaan/pranata adalah serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan
atau digunakan selama periode waktu tertentu yang relatif lama untuk mencapai
maksud/tujuan bernilai kolektif/ bersama atau maksud-maksud yang bernilai sosial.
Lembaga dalam kamus bahasa indonesia modern adalah asal mula,
bakal, bentuk asli, badan keilmuan.74
Dalam bahasa Inggris lembaga dalam
pengertian fisik disebut intitute, sarana (organisasi) untuk mencapai tujuan
tertentu, sedangkan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak adalah
institution, suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.75
Dalam arti sederhana, pendidikan sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha
yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi
73
Ibid., 8. 74
Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Modern (Surabaya: Apolo, 1994), 127. 75
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1995), 1.
49
dewasa dan mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam
arti mental.76
Dalam perspektif perkembangan anak, lingkungan ada yang sengaja
diadakan ada yang tidak usaha sadar dari orang dewasa yang normatif disebut
pendidikan. Sedang yang lain disebut pengaruh seperti Lingkungan yang
dengan sengaja diciptakan untuk mempengaruhi anak ada tiga, yaitu :
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga
lingkungan ini disebut lembaga pendidikan atau satuan pendidikan.77
Menurut Rohiat yang ia kutip dari Massie ada sejumlah nilai yang
pada umumnya semuanya dapat diterima dan dipahami dalam setiap aspek
manajemen. Diantaranya adalah kebahagiaan, ketaatan pada hukum,
konsistensi, integritas, dan kesetiaan. Menurutnya dengan terpenuhinya
kebahagiaan maka setiap personal lembaga akan melakukan kegiatan dengan
sepenuh hati tanpa beban atau tertekan sehingga setiap langkah dan tutur
katanya merupakan keringanan dicurahkan kepada lembaga sebagai balas budi
karena lembaga/pimpinan „memberikan‟ kebahagiaan. 78
Dari keterangan diatas, dapat penulis konklusikan tentang konsep
integrasi lembaga merupakan komponen instruksional organisasi yang utuh
sebagai media tercapainya suatu regulasi, namun secara ontology pendidikan
tidak dipungkuri lagi adanya sosok pendidik sebagai Dwitunggal instruksional
76
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), 1. 77
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 16. 78
Rohiat, Manajemen Sekolah: Teori Dasar dan Praktik (Bandung: Refika Aditama, 2010), 4.
50
dalam trasnformer nilai-nilai yang dikembangkan di lembaga pendidikan dan
harus relevan dengan keberadaan lembaga di tengah-tengah masyarakat
sebagai organisasi pendidikan yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha
mengembangkan, melestarkan, dan mewariskan nilai-nilai kepada siswanya. 79
Sehingga nilai-nilai tersebut juga bisa berfungsi untuk membangun citra
lembaga sekaligus menjadi pedoman bagi setiap personal lembaga pendidikan
untuk tercapainya suasana atau iklim yang nyaman, aman, tertib, bertanggung
jawab, profesional, harmonis, dan kondusif. 80
b. Integrasi Kurikulum
Proses pendidikan dalam kegiatan pembelajaran atau didalam kelas,
akan bisa berjalan dengan lancar, kondusif, interaktif dan lain sebagainya
apabila dilandasi oleh kurikulum yang baik dan benar. Artinya, pendidikan
bisa dijalankan dengan baik ketika kurikulum menjadi penyangga utama
dalam proses belajar mengajarnya. Bahkan kurikulum dianggap sangat
penting mengingat ia memiliki fungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, sekaligus pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua
jenis dan jenjang pendidikan. 81
79
Nur Zazin, Gerakan Menata Mutu Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 155. 80
Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 90. 81
Zainal Arifin, “Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum” (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012), 1.
51
Dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam tidak hanya
mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran Islam, tetapi
yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-
ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran pendidikan agama
Islam juga menekankan keutuhan dan keterpaduan kepribadian peserta didik
antara ranah kognitif, psikomotor dan afektifnya. 82
Soedijarto mengintegrasikan nilai-nilai yang telah direncanakan untuk
mempribadi ke dalam aturan tingkah laku belajar peserta didik sangat
diperlukan untuk meningkatkan kualitas hasil belajar sebagai salah satu
indikator strategi bagi keberhasilan pendidikan sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan 83
Apalagi pengembangan pendidikan ke depan hendaknya
merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang
diintegrasikan dengan etika keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.84
Paradigma integrasi kurikulum memiliki banyak arti antara lain
penggabungan / pembauran hingga menjadi unsur satu kesatuan yang utuh.85
Beans, yang mendifinisikan integrated curriculum sebagai berikut :
82
Dirjen Dikdasmen, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam (Jakarta: DEPDIKNAS, 2003), 2. 83
Soedijarto, Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia
Indonesia Memasuki Abad ke-21 (t.t, 1997), 333. 84
Suderajat, Konsep dan Implementasi Pendidikan berbasis Luas (BBE) yang Berorientasi pada
Kecakapan Hidup (Life Skill) (Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2002), 17. 85
M. Dahlan Dkk “Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual” (Surabaya: Target Press, 2003),
322.
52
“…. As away to teach students that attempts to break down
barriers between subjects and make learning more meaningful to
students. The idea is to teach around theme, or “organizing
centers“ that students can identify with, such as “ the
Environment,” “ Life in School, “ or “ more traditional areas like
“ Myths and Legends”.86
Selanjutnya Good juga membuat sinonim dari integrated
curriculum sebagai berikut :87
“Another term that is often used synonymously with integrated
curiculum is interdisciplinary curriculum. Interdisciplynary
curriculum is defined in the Dictionary of education as “ a
curriculum organization which cuts acroos subjects-matter lines to
focus upon comprehensive life problems or broad based areas of
study that brings together the various segments of the curriculum
into meaningful association”.
Istilah diatas memiliki arti lain yang digunakan sebagai sinonim
kurikulum terintegrasi sebagai Interdisiplinary Curriculum yaitu
organisasi kurikulum dimana terjadi pemotongan jalur antar mata
pelajaran untuk dipusatkan pada masalah kehidupan yang meliputi
keleluasaan berdasarkan ruang lingkup belajar, yang bersama – sama
membawa berbagai macam bagian / hal ke dalam kerjasama yang penuh
makna.
86
Aida Rusmilati R, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Di
SMA Negeri 3 Madiun (Tesis –Universitas Muhammadiyah Malang, 2007), 47. 87
Ibid., 48.
53
Dalam proses penanaman nilai-nilai terhadap peserta didik dapat di
peroleh melalui pendidikan karakter dan dapat pula dipengaruhi oleh cara
atau 88
pendekatan yang dipergunakan oleh Suparno, dkk, menggunakan
empat model yakni :
a. Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri (monolitik)
b. Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
c. Model di Luar Pengajaran
d. Model Gabungan
Kurikulum terintegrasi merupakan ciri dari sekolah untuk
melakukan pembelajaran. Banyak variasi dalam tema integrasi untuk
melakukan pembelajaran dari bentuk atau susunan yang sederhana
kebentuk yang lebih kompleks seperti Usaha Natsir untuk
mengintegrasikan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan
mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan dua kurikulum
yaitu antara kurikulum sekolah tradisional yang banyak memuat pelajaran
agama dan sekolah Barat yang memuat pelajaran umum, 89
kemudian
Ian.G. Barbour, seorang integrator sains dan agama telah memetakan
sekaligus memberikan 4 pola hubungan antara keduanya, yakni, konflik,
Independensi, Dialog dan Integrasi.
88
Paul Suparno, dkk, Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 42-44. 89
Abuddin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 149.
54
a. Konflik
Dalam tipologi pertama ini, memiliki pandangan bahwa agama
dan sains tidak bisa dipertemukan, sehingga seseorang harus memilih
salah satu diantara sains dan agama. Artinya, masing-masing sains dan
agama menegaskan eksistensi masing-masing. Pandangan konflik ini,
dikemukakan dalam dua buku berpengaruhnya, yaitu History of The
Conflict between Religion and Secience, karya J. W. Draper dan
History of the Warfare of Secience with Theology in Christendom
karya A.D. White.90
Terdapat beberapa landasan pemikiran yang menyebabkan
sains dan agama tidak bisa dipertemukan, antara lain:
1) Dalam pandangan mereka, agama tidak dapat membuktikan
kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas dan logis, sementara
sains dapat melakukan hal tersebut.
2) Agama, bersifat abstrak dan tidak mau memberikan petunjuk
secara konkrit tentang keberadaan tuhan, sementara sains mau
menguji segala hipotesis dan semua teorinya berdasarkan
pengalaman. 91
90
Ian. G. Barbour, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad (Bandung:
Mizan, 2004), 54. 91
Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog (Bandung: Mizan,
2004), 2.
55
b. Independensi
Independensi, merupakan salah satu pemahaman untuk
menghindari konflik antara Sains dan Agama, dengan cara
menempatkan masing-masing bidang dikawasan yang berbeda.
Pemisahan kedua wilayah ini, bukan hanya dikarekan untuk
menghindari konflik, namun juga termotivasi oleh keyakinan bahwa
kedua bidang ini memiliki kebenaran masing-masing dan karakteristik
masing-masing.92
c. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sanis dan agama
yang lebih konstruktif. Artinya, pandangan ini menekankan pada
kesamaan antara sain dan agama yang dapat didialogkan. Bahkan
keduanya saling mendukung antara satu dengan yang lain. Proses yang
dilakukan dengan cara mendialogkan keduanya, dengan menekankan
kemiripan konsep dan metode. 93
d. Integrasi
Pandangan ini memunculkan hubungan yang lebih bersahabat
dari pandangan yang terdahulu, terdapat tiga versi pemahaman tentang
integrasi, yakni :
92
Ibid., 9. 93
Ian. G. Barbour , Juru Bicara, 74.
56
1) Natural Theology
Mengklaim bahwa eksistensi tuhan dapat disimpulkan dari
bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam
membuat manusia semakin menyadari dan meyakini alam ini
sebagai karya Allah swt.
2) Theology Of Natural
Pada pandangan ini, terdapat klaim bahwa sumber utama
teologi bersumber diluar sains, namun pendangan ini juga
berpendapat bahwa doktrin tradisional harus tetap dirumuskan
ulang dalam pandangan sanis terkini.
e. Sintesis Sistematis
Merupakan cara pandang dalam hubungan antara sains dan
agama dengan hubungan yang lebih sistematis dapat dilakukan jika
sains dan agama memberikan kontribusi kearah pandangan dunia yang
lebih keheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang
komprehensif. 94
Dasar pemikiran dimunculkannya integrated curriculum yaitu
berdasarkan keyakinan bahwa pada era globalisasi, siswa tidak lagi
berpikir secara tradisional bahwa dalam belajar mereka akan mempelajari
sejumlah mata pelajaran yang berbeda-beda, tetapi mereka cenderung
mempunyai pandangan holistic terhadap dunia, sehingga diperlukan
94
Ibid., 83-84.
57
kurikulum yang disusun secara terintegrasi. Pemikiran tersebut mendasari
tujuan pengintegrasian kurikulum. Tujuan mengintegrasikan kurikulum
adalah sebagai berikut : 95
1. Mengintegrasikan konteks pembelajaran, isi dan keterampilan proses
dalam satu mata pelajaran atau lebih.
2. Merencanakan pembelajaran dengan menyediakan kesempatan bagi
siswa untuk berinteraksi (koopetatif learning).
3. Membuat siswa menyadari tujuan pembelajaran yang mereka lakukan.
4. Memberikan kewenangan kepada siswa untuk memikirkan bagaimana
mereka belajar yang menyenangkan.
5. Memberikan kepercayaan kepada siswa untuk beberapa hal dalam
proses pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung
jawab.
6. Mampu memenuhi dan mengekspresikan diri pada gaya pembelajaran
yang berbeda.
7. Melibatkan siswa dalam mengumpulkan dan mengolah informasi
terkini secara aktif.
8. Memotivasi siswa untuk mandiri, kreatif, inovatif, dan adaptif
9. Mengembangkan multiple intelegence yang dimiliki siswa.
10. Lebih mempererat hubungan antar teman dan guru yang pada akhirnya
akan terjalin kerjsaama yang baik.96
95
Ibid., 87.
58
Dalam (www. Molecreek .tased. edu. Au integrated/curriculum
policy. htm), pendekatan dalam kurikulum integrasi adalah memberikan
kesempatan untuk mengembangkan potensi siswa, strategi dan
pemahaman dalam sebuah kerangka kerja. Oleh sebab itu guru harus
menggunakan strategi yang bervariasi untuk mengembangkan multiple
intelegence siswa dengan Model kurikulum integrasi yang pada dasarnya
mengembangkan prinsip discovery dan inquiry. 97
c. Integrasi Kepribadian
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.98
Etimologi Integrasi dalam bahasa Inggris adalah "integration"
yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Poerwadarminto
mengartikan integrasi dalam bentuk kebulatan atau menjadi utuh 99
dan
pengertian tersebut secara komprehensif diungkapkan Sanusi sebagai
suatu kesatuan yang utuh, tidak terpecah belah dan bercerai berai yang
96
Aida Rusmilati R, Model Kurikulum, 49. 97
Ibid., 50. 98
Depdiknas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Jakarta: Depdiknas 2003), 3. 99
W.Y.S. Poerwadarminto, Konsorsium Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 384.
59
meliputi kebutuhan atau kelengkapan anggota-anggota yang membentuk
suatu kesatuan dengan jalinan hubungan yang erat, harmonis dan mesra
antara anggota kesatuan itu.100
Dalam ilmu sosial, integrasi bermakna proses penyesuaian di
antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat
sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki
keserasian fungsi dan dalam hal ini searah dengan Mahmud Junus yang
melihat berdasarkan al-Qur’a>n dan Hadis bahwa ada 3 (tiga) aspek
kepribadian manusia yang harus dididik, yaitu: 1. Aspek jasmani, 2. Aspek
akal, 3. Aspek rohani sehingga secara komprehensif mampu memfasilitasi
kebutuhan secara individual maupun klasikal.101
Integrasi Kepribadian merupakan proses substansial melalui suri
tauladan pendidikan yang berorientasikan pada penanaman nilai-nilai
kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai-nilai agama, budaya, etika
dan estetika menuju pembentukan peserta didik yang memiliki kecerdasan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan Negara
sehingga seluruh kompetensi peserta didik akan merespond segala
100
S. Sanusi, Integrasi Umat Islam (Bandung: Iqomatuddin, 1987), 11. 101
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
56.
60
peramasalah secara komprehensif penuh dengan solusinya disertai dengan
interitas yang tinggi secara kognitif, afektif dan psikomotorik.102
Dalam landasan normative banyak ayat dan hadits-hadits yang
menganjurkan seorang muslim untuk membentuk kemadirian dalam segala
bidang antara lain :
Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung. 103
Artinya : Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,
Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian
dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan. 104
102
Sumantri, E., Pendidikan Nilai Kontemporer (Bandung: Program studi PU UPI, 2007), 134. 103
Al-Qur‟a n, 67 (al-Mulk): 10. 104
Al-Qur‟a n, 67 (al-Mulk): 15.
61
Artinya : Dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud
kurnia dari kami. (kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan
burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan
Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi
yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah
amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu
kerjakan.105
.
Artinya : Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah
sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku Termasuk
orang-orang yang mengada-adakan.106
Namun demikian, Islah Gusmian menjabarkan beberapa Nasehat
Al-Ghazali yang demikian dengan nada pertanyaan, disekitar kita banyak
orang pandai, ilmuwan, cendekiawan, ulama, intelektual, mereka kaya
ilmu dan pengetahuan. Tetapi apakah pengetahuan mereka itu telah
dihidupkan dalam semesta hayat ?. Ternyata ilmu pengetahuan
menurutnya, yang semestinya menjadi pelita agar agar kita bergerak
105
Al-Qur‟a n, 34 (saba‟): 10-11. 106
Al-Qur‟a n, 38 (shad): 86-88.
62
menjalani hidup dengan benar, justru membuat jalur-jalur baru menuju
kesesatan. Oleh karena itu maka bangunlah keutuhan kedirian
kemanusiaan kita dengan kukuh dan seimbang, kepala dan perut disatukan
dengan dada (hati) sebagai titik keseimbangan.107
Rasulullah saw (Salallahu „Alaihi Wassalam) membangunkan
sahsiah umatnya dengan komponen asas Islam, iaitu akidah, syariah, dan
akhlak. Ini menunjukkan kedudukan akhlak amat penting sebagai salah
satu daripada tunjang Islam itu sendiri Membentuk keperibadian insan
adalah melakukan amal kebaikan secara konsisten dan berterusan. Setelah
melakukan muja>hadah, ia perlu disusuli dengan melakukan kebaikan
secara berterusan agar ia membentuk suatu kebiasaan yang akhirnya
menjadi tabiat kehidupannya. Asas kepada aspek ini adalah melakukan
ibadah khusus seperti solat, puasa, zakat, dan haji; di samping melakukan
kebaikan terhadap sesama manusia, alam, dan haiwan.108
Imam al-Ghazali pula meletakan lima faktor yang boleh
mempengaruhi pembangunan akhlak seseorang, iaitu: (1) Tazkiyyah al-
Nafs atau pembersihan jiwa; (2) Muja>hadah atau melawan hawa nafsu; (3)
Melazimi amalan kebaikan; (4) Membuat sesuatu yang bertentangan
107
Islah Gusmian, Surat Cinta al-Ghazali Nasehat-nasehat Pencerahan Hati (Bandung: Mizan
Pustaka Anggota IKAPI), 34-35. 108
Abu Hamid Muhamed bin Muhammad Imam al-Ghazali, Ihya‟ Ulum ad-Dīn (Kaherah:
Maktabah as Safa, 2003), 77.
63
dengan akhlak yang buruk; dan (5) Muraqabatulla>h atau pengawasan diri
terhadap Allah swt. 109
D. Sistem pendidikan pondok pesantren
Dunia pesantren adalah dunia tradisional islam, yakni dunia yang mewarisi
dan memelihara kotinuitas tradisi islam yang dikembangkan oleh ulama‟ dari
masa ke masa, tidak terbatas pad periode tertentu dalam sejarah islam. Azra
menambahkan sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar
sosio-historis yang sangat kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi
yang relative sentral dalam dunia keilmuan masyarakat, dan sekaligus bertahan
ditengah-tengah gelombang perubahan. 110
Pesantren sebagai sistem pendidika pribumi yang memiliki latar budaya
dan social, semenjak kemunculannya mudah diterima dan kemudian mengakar
kuat di dalam masyarakat Indonesia, 111
Karena pesantren mempresentasikan
pendidikan unik yang mensintesiskan dimensi social, budaya dan agama, maka
sintesis ini kemudian mempengaruhi fungsi pesantren baik secara internal maupun
eksternal. Pesantren kemudian muncul sebgaia sebuah kopmunitas yang memiliki
kemampuan untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas kreatif dalam membangun
109
Ibid., 10. 110
Ahmad Badi‟, Pergeseran Sistem Pendidikan Pesantren dari Metode Sorogan ke Madrasah
(Studi Historis di PP. Lirboyo dan PP. Mahir Arriyadl Ringinagung Kediri) (Surabaya:PPs.Press,
2013), 32. 111
Miftahul Huda, Wakaf dan Kemadirian Pesantren dari Tebu Ireng Hingga Gontor (Surabaya:
Islamica Jurnal studi Keislaman, 2012), 211.
64
masyarakat menggunakan pendidikan alternative yang menggabungkan
pendidikan dan pengajaran. 112
Ciri khas pendidikan islam klasik adalah perjalanan ilmiyah (rihlah
ilmiyyah) dalam pesantren, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh santri dari satu
pesantren ke pesantren lain untuk mencari ilmu dari para kyai, hal ini seiring
kekhawatiran para kyai terhadap perkembangan pendidikan model Eropa yang
lebih menekankan pada rasionalitas ilmu pengetahuan dan duniawi yang dinilai
dapat melunturkan budi luhur bangsa Indonesia. 113
Ciri khas dari sistem pendidikan pesantren adalah sorogan, bandongan,
wethonan, kilatan, tradisi rihlan ilmiyyah atau kelana 114
dan disinilah salah satu
letak kekuatan penting yang ada dalam pembelajaran dan penyebarluasan agama
islam yang sudah merupakan fakta baru. Sejak bertahub-tahun lamanya, bahkan
sebelum Indonesia lahir pesantren telah menjadi tempat pendidikan agama bagi
masyarakat muslim di Indonesia.115
Pesantren bukanlah sejenis institusi pendidikan saja, tetapi lebih bermakna
bahwa pesantren memiliki fungsi dan tugas sosio-kultural. Dalam melaksanakan
fungsi-fungsi ini, pesantren telah terlibat dalam wacana-wacana modernitas.
Modernitas dengan nila-nilainya memiliki yang dapat saja mempengaruhi nilai-
nilai ideal dalam institusi tradisional termasuk pesantren. Pesantren memiliki
112
Ibid., 212. 113
Badi‟, Pergeseran Sistem Pendidikan Pesantren, 33. 114
Ibid., 38 115
Listiyono Santoso, Pendidikan Multikultural Dalam Tradisi Pesantren di Yogyakarta
(Surabaya: Islamica Jurnal studi Keislaman, 2012), 125.
65
sistem dan kemampuna untuk menjadi benteng nilai-nilai daklam menghadapi
modernitas yang bertujuan merelifkan nilai-nilai otentik. Dengan kata lain,
pesantren dapat memainkan peranan penting sebagai gerakan sepritual dengan
memberdayakan dirinya dengan cara-cara kreatif, yakni dengan memberdayakan
fgungsi-fungsi sosio-kultural secara komprehensif, sehingga pesantren
membutuhkan kemandirian dalam mendidik orang-orang dengan sebuah
pendidikan holistic. 116
Wacana tentang social tentang pesantren diperlukan dengan menimbang
ulang peranan dan dinamika pesantren dalam masyarakat Indonesia modern yang
mempengaruhi secara fundamental keberadaan pesantren sehingga mengakibatkan
munculnya problem identitas kultural pesantren dalam merespond modernitas ini
aktifitas yang dilakukan oleh salah satunya dengan mengembangkan
perekonomian sehingga dengan situasi apapun. Pesantren, sebagai dari sub kultur
masyarakat, tetap eksis walaupun dengan swadaya. 117
Kemampuan kyai, santri, ustadh, dan para msyarakat sekitar menjadi kunci
utama untuk meneguhkan atau setidaknya meningkatkan kompetensi pesantren
dalam mencapaivisi-misinya.
116
Ibid., 230. 117
Ismail SM, et al.(ad), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002),
xiv.