48
18 BAB II KAJIAN TEORI A. Model Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi Muchammad SAW menyatakan bahwa jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan. 1 Siapapun sepakat hadits nabi yang berbunyi Utlub al -ilm walau bi al-s}i n, menekankan betapa pentingnya mencari ilmu lebih-lebih ilmu agama yang dikategorikan Syaikh Imam Ghozali sebagai fardlu „ain. 2 Tolok ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya, bukan sekedar agar mandek sebagai rumusan, melainkan harus secara fungsional dilaksanakan. Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan akan lebih berguna, apapun dan berapapun gunanya artinya, implementasi bisa menjadi tolok ukur tepat tidaknya, akurat tidaknya, relevan tidaknya, dan realistis tidaknya suatu rumusan kebijakan. 3 Sebagaimana firman allah dalam surat at-taubah ayat 122 yang berbunyi : 1 Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 24 -27. 2 Ibid., 74. 3 Aida Rusmilati R, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMA Negeri 3 Madiun (Tesis Universitas Muhammadiyah, Malang, 2007), 26.

BAB II KAJIAN TEORI A. Model Pendidikan Formal, Non Formal ...digilib.uinsby.ac.id/1272/5/Bab 2.pdf · dan internasional terkait dengan standart ko mpetensi yang harus dilakukan dalam

Embed Size (px)

Citation preview

18

18

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Model Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal

Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu

sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi Muchammad SAW

menyatakan bahwa jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai

ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan.1 Siapapun sepakat

hadits nabi yang berbunyi Utlub al -ilm walau bi al-s}i n, menekankan betapa

pentingnya mencari ilmu lebih-lebih ilmu agama yang dikategorikan Syaikh

Imam Ghozali sebagai fardlu „ain.2

Tolok ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada

implementasinya, bukan sekedar agar mandek sebagai rumusan, melainkan harus

secara fungsional dilaksanakan. Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika sudah

diimplementasikan akan lebih berguna, apapun dan berapapun gunanya artinya,

implementasi bisa menjadi tolok ukur tepat tidaknya, akurat tidaknya, relevan

tidaknya, dan realistis tidaknya suatu rumusan kebijakan.3 Sebagaimana firman

allah dalam surat at-taubah ayat 122 yang berbunyi :

1 Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Yogyakarta: Gama

Media, 2002), 24 -27. 2 Ibid., 74.

3Aida Rusmilati R, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di

SMA Negeri 3 Madiun (Tesis – Universitas Muhammadiyah, Malang, 2007), 26.

19

Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan

perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka

beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama

dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah

kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.4

Proses pendidikan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari

proses penciptaan manusia. Agar dapat memahami hakikat pendidikan maka

dibutuhkan pemahaman tentang hakikat manusia.5 Manusia adalah mahluk

istimewa yang Allah ciptakan dengan dibekali berbagai potensi, dan potensi-

potensi tersebut dapat dikembangkannya seoptimal dengan pendidikan hal ini

karena menurut Langeveld dalam bunya Pratiwi manusia merupakan animal

educandum yang mengandung makna bahwa manusia merupakan mahkluk yang

perlu atau harus dididik.6

Proses pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia tentunya harus

selaras serta sejalan dengan landasan konstitusional Negara RI yaitu Undang-

Undang Dasar 1945 yang berdasar pada Pancasila alinea IV pembukaan UUD

1945 antara lain disebutkan bahwa salah satu tujuan nasional indoensia adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa dan karena itu, setiap warga negara haruslah

4 Al-Qur‟a n, 9 (At-Taubah): 122.

5 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam ; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di

Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), 27. 6 E. Pratiwi, Manusia Sebagai Animal Educandum, dalam http://enjabpunya.blogspot.com (6 April

2010), 1.

20

mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Kecerdasan yang

dimaksud ialah program pendidikan hendaklah mencakup olah iman, olah fikir,

olah rasa, olah raga, olah karsa, dan olah budi. Oleh karenanya, esensi pendidikan

nasional harus mampu membentuk karakter serta kepribadian bangsa Indonesia.7

Aktifitas pendidikan memiliki relevansi keragaman teknis sacara

komprehensif dalam indicator adanya kompetisi gobal, semakin tinggi nilai

teknologi dan sains semakin tinggi pula kemajuan dan konsep pemenuhan

kebutuhan tercapai sehingga pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara

lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam

bidang pendidikan 8 dimana hal ini menjadi bagian salah satu dari kebutuhan

instruksional yang terjadi selama ini dan tidak bisa dipungkiri lagi dari adanya

sebuah perbedaan. 9

Keragaman teknis masuk dalam wilayah keberagaman model pendidikan

yang mempunyai dua potensi, yakni positif (kelebihan) dan negatif (kelemahan)

10 sehingga tidak sedikit terjadi permasalahan Overlup yang sangat tidak sesuai

dengan substansi pendidikan, tawuran antar siswa, antar pejabat, antar pejabat dan

warga sipil. Hal ini perlu adanya stimulus yang tinggi akan urgensitas pemahaman

7 E. Somantri. Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa

(Bandung: Widya Aksara Press, 2011), 1. 8 Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer (Jakarta: Pustaka sinar harapan,

1995), 229. 9 Haar Tilaar, Multikulturalisme ; Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi

Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 114-115. 10

Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Dalam Tashwirul Afkar

Edisi Khusus : Perebutan Identitas Islam, Pergulatan Islamisme Dan Islam Progresif (Jakarta:

Lakpesdam, t.t), 112.

21

yang sama, utuh, terintegrasi, saling menghargai, menghormati atas semua

golongan, ras, budaya, etnik, suku (Multikultural) yakni gerakan sosio-Intelektual

yang mengusung nilai-nilai dan prinsip-prinsip perbedaan yang menekankan pada

arti pentingnya penghargaan terhadap budaya pendidkan yang berbeda. 11

Dalam Peraturan pemerintah No. 28 dan 29 serta diikuti oleh surat SKB-3

menteri, dapat diketahui bahwa model madrasah adalah sekolah yang berciri khas

agama islam. Berkenaan dengan hal ini, maka madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah

dan aliyah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah pada tingkat

pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ditambah dengan ciri keislamannya

yang tertuang dalam kurikulum, yaitu memiliki mata pelajaran agama yang lebih

dari sekolah umum.12

Fungsi, peranan dan status madrasah secara substansial tidak berbeda

dengan Madrasah pada UU. No.2 Tahun 1989. Hanya saja dilihat dari yuridisnya,

madrasah pada periode ini lebih kuat dan kukuh, karena penyebutan momenklatur

madrasah masuk dalam batang tubuh undang-undang, berbeda halnya dengan UU.

2/1989 dan No. 28 Tahun 1990. Sedangkan perkataan madrasah aliyah disebutkan

pada keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan No. 489/U/1992. Perkataan

11

Melani Budianto, Multikulturalisme Dan Pendidikan Multikulturalisme, Dalam Azyumardi Azra

dkk, Mencari Akar Cultural Civil Society Di Indonesia (Jakarta: INCIS, 2003), 89. 12

Haidar Putra Dauly, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia

(Jakarta: Kencana, 2009), 111.

22

madrasah pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dapat ditemukan pada Pasal

17 dan 18. 13

Secara yuridis ada beberapa pasal yang menyinggung tentang

pendidikan Islam, diantaranya adalah UU No. 20 Tahun 2003 dimana

didalam pasal tersebut setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan

pendidikan Islam. Pertama, kelembagaan formal, nonformal, dan informal

yang mendesain lembaga madrasah sebagai salah satu tempat pendidikan

formal yang diakui keberadaannya setara dengan lembaga pendidikan sekolah

sekaligus sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. kemudian majelis

taklim diakui sebagai pendidikan nonformal dan masuknya Raudhatul Athfal

sebagai lembaga pendidikan anak usia dini, dan dipertegas pula tentang

pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Kedua, pendidikan Islam

sebagai mata pelajaran, dikukuhkannya mata pelajaran agama sebagai salah

satu mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur,

jenis, dan jenjang pendidikan. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai,

terdapat seperangkat nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan nasional.14

Kemudian, dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20

Tahun 2003 dinyatakan pula bahwa pendidikan formal adalah jalur

pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan

dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal

13

Ibid., 115. 14

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kencana,

2007), 9.

23

adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan

secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur

pendidikan keluarga dan lingkungan. 15

Keberadaan lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga formal

dinyatakan dalam pasal 17 bahwa pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar

(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau

bentuk lain yang sederajat. Mengenai pendidikan menengah dinyatakan

dalam pasal selanjutnya yakni pasal 18 bahwa Pendidikan Menengah

berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau

bentuk lain yang sederajat. Sedangkan dalam pasal 20 dinyatakan bahwa

pendidikan tinggi dapat berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi,

Institut, atau Universitas. 16

Selanjutnya, dalam pasal 26 dinyatakan pula bahwa pendidikan

nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan

pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap

pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,

kelompok belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan

15

Depag RI, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003), 4. 16

Ibid., 14-15.

24

yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil

program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh

lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan

mengacu pada standar nasional pendidikan. 17

Terkait dengan pendidikan keagamaan, dalam pasal 30 dinyatakan

bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau

kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan

nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama dimana dalam

penyelenggaraannya dapat melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan

informal. 18

Konsep Pendidikan secara Epistimologi di atas melandasi adanya

kebijakan dan regulasi terhadap system pendidikan nasional yang memiliki

urgensitas tinggi dan komprehensif baik secara instruksional, institusional

dan internasional terkait dengan standart kompetensi yang harus dilakukan

dalam hal pemetaan kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia.

17

Ibid., 20. 18

Ibid., 22.

25

B. Pengembangan Kurikulum : Kurikuler, Kokulikuler dan Ekstrakulikuler

Etimologi kurikulum berarti curir yang artinya pelari dan curere yang

berarti tempat berpacu. Hal ini mengidentikkan term tersebut dengan dunia olah

raga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu

jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish.19

Zakiah Daradjat mengatakan kurikulum sebagai suatu program yang

direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai

sejumlah tujuan pendidikan tertentu.20

Addamardasyi Sarhan dan Munir Kamil, sebagaimana dikutip al-Syaibani

mengatakan bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan,

kebudayaan, sosial, olah raga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi

murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolong untuk

berkembang menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka

sesuai dengan tujuan pendidikan.21

S. Nasution menyatakan ada beberapa penafsiran lain tentang kurikulum.

Diantaranya; pertama, kurikulum sebagai produk (sebagai hasil pengembangan

kurikulum), kedua, kurikulum sebagai program (alat yang dilakukan sekolah

untuk mencapai tujuan), ketiga,kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan

19

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi Pendidikan (Jakarta:

Pustaka al-Husna, 1986), 176. 20

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 121. 21

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung

(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 485.

26

dipelajari oleh siswa (sikap, keterampilan tertentu), dan keempat, kurikulum

dipandang sebagai pengalaman siswa.22

Sebagai program pendidikan yang telah direncakan secara sistematis,

kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa dan

apabila dianalisis lebih dalam sifat dari masyarakat dan kebudayaan, dengan

sekolah sebagai sebuah institusi sosial yang menyelenggarakan operasinya, maka

paling tidak kurikulum memiliki tiga peranan penting meliputi : Konservatif 23

yang tidak lepas dengan adanya transmisi dan tafsiran terhadap nilai social serta

bimbingan tingkah laku yang baik kepada peserta didik sesuai dengan tingkah

laku sosial yang ada dalam masayarakat, 24

Kemudian Kritis 25

dan Evaluatif 26

dimana masing-masing komponen-komponen micro memiliki kreatifitas dalam

mengkontruksi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang selalu berkembang serta

memberikan solusi dari permasalahan temporal dan disinilah nasution

mengkaitkan terhadap mutu pendidikan dalam standard proses pembelajaran,

terutama dalam pendidikan formal yang diterima di bangku sekolah. Sehingga

pencapaian sebuah sekolah dalam mendidik peserta didik, ditentutkan oleh

kurikulum yang digunakan.27

22

S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 5-9. 23

Pius A. dkk, Kamus Ilmiah Poluer (Surabaya: Arkola, 1994), 367. 24

Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2008), 12. 25

Pius A, Kamus Ilmiah, 384-385. 26

Ibid., 169. 27

S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 1.

27

Pengembangan kurikulum memiliki efektifitas terhadap mutu sebuah

pendidikan, namun bukan merupakan perangkat tunggal pendidikan, dikarenakan

penjabaran visi sebuah kurikulum juga ditentukan oleh kreatifitas para guru. Hal

ini sebagaimana diutarakan A. Ferry T. Indratno 28

mengatakan bahwa kurikulum

adalah program dan isi suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan

akumulasi pengetahuan antar generasi dalam komponen kependidikan sehingga

John Wiles 29

mempertegas pula bahwa kurikulum merupakan organ jantung

pendidikan yang memiliki unsur-unsur fungsional terhadap organ-organ yang lain.

Sebagaimana tertuang UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (SISDIKNAS) yang dalam penjelasannya dikemukakan bahwa

pendidikan nasional memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata

sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara

indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas dan mampu dan proaktif

menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.30

Ada sejumlah dasar pemikiran agar kemudian harus dijadikan

pertimbangan supaya kurikulum menjadi sentral dan berjalan mengikuti

fleksibilitas temporal, yakni :

1) Kurikulum hendaknya dirancang sedemikian rapi, cerdas, dan akurat sehingga

melahirkan relasi erat antar mata pelajaran satu dengan yang lain.

28

A. Ferry T. Indratno, Kurikulum beridentitas Kerakyatan dalam Kurikulum Yang

Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan alternative (Jakarta: Kompas, 2007), 108. 29

John Wiles dan Joseph Bondi, Curriculum Development A Guide To Practice (Ohio:Merry

Pubhlishing Company, 1989), 13. 30

Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2012), 21.

28

2) Kurikulum harus bersifat fleksibel dan bersifat kontekstual dengan

kepentingan-kepentingan pendidikan di tingkat tertentu.

3) Kurikulum hendaknya disusun bersama oleh para guru dan sejumlah elemen

yang lain yang mengutamakan kepentingan bersama demi tujuan pendidikan

ditingkat daerah dan tetap berdasarkan kepada tujuan pendidikan nasional.

4) Kurikulum hendaknya mencakup segala pengalaman anak dibawah pimpinan

sekolah dalam pandangan modern.

5) Kurikulum hendaknya berpusat pada persoalan-persoalan sosial dan pribadi

yang bermakna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari.

6) Kurikulum harus diselenggarakan sebagai sarana mencapai cita-cita nasional

yang berlandaskan filsafat negara.

7) Kurikulum harus memberikan pengalaman yang luas dan bermakna kepada

anak-anak dan tidak bersifat tekstual.

8) Kurikulum harus diatur dengan sedemikian rupa sehingga anak-anak dapat

mempelajari teknik belajar, cara kerja efektif dan memecahkan masalah.

9) Kurikulum hendaknya membukakan kesempatan kepada setiap anak untuk

mengembangkan minat dan bakatnya masing-masing.31

31

Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan (Jogjakarta: Diva Press, 2010), 19-20.

29

Substansi pengembangan kurikulum terletak pada kesesuaian atau

relevansi yang meliputi dua hal yaitu pertama kesesuaian kurikulum dengan

tuntutan, kebutuhan, kondisi dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian

antar komponen kurikulum, yaitu tujuan, isi, organisasi dan strategi.32

Dalam pengembangan kurikulum terdapat dua prinsip pengembangan

yaitu pengembangan umum dan pengembangan khusus.33

Dalam pengembangan

secara Nakiroh meliputi relevansi baik internal maupun eksternal, Fleksibilitas,

kontinuitas, praktis, efektifitas.34

Sedangkan pengembangan secara Ma‟rifah

meliputi Tujuan Pendidikan, pemilihan isi pendidikan, pemilihan proses belajar

dan yang terakhir adalah pemilihan media dan alat pengajaran. 35

Dari keterangan diatas dapat ditarik benang merah, pengembangan

kurikulum harus selalu memperhatikan kompetensi ataupun kemampuan peserta

didik dalam segala jenjang, sebagai dasar dan bekal anak didik menjadi lulusan

yang handal dalam konteks apapun baik politik, hukum, ekonomi, pendidikan

dan lain sebagainya. Namun saat ini tidak bias dipungkiri lagi bahwa penguasa

memiliki kekuatan hebat dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengubah

apapun selama itu menjadi yang terbaik dan benar menurut pandangannya tanpa

harus melakukan diskusi dengan para menteri keputusan dan kebijakan apapun

bisa diciptakan dengan cepat sehingga hal tersebut berdampak terhadap keadaan

32

Aida Rusmilati R, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di

SMA Negeri 3 Madiun (Tesis – Universitas Muhammadiyah, Malang, 2007), 31. 33

Ibid., 33. 34

Ibid., 33-35. 35

Ibid., 35-38.

30

bangsa 36

dan hal ini searah dengan Syafaruddin yang berpendapat bahwa politik

kekuasaan menjadi modal utama dalam menjalankan segala kepentingan penguasa

termasuk dalam dunia pendidikan. 37

Tidak jauh berbeda, M. Sirozi juga menegaskan institusi pendidikan yang

ada dalam masyarakat saat ini justru telah hanya dijadikan fungsi dan alat

kekuasaan dalam membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki.

Lebih lanjut ia mengatakan berbagai komponen pendidikan termasuk didalamnya

pembelajaran dan kurikulum serta bahan-bahan bacaan acapkali digiring pada

kepentingan politik.38

Oleh karena itu netralitas dan regulasi nasional harus bejalan sebagaimana

ditegaskan dalam perundangang-undangan yang berlaku sebab system pendidikan

nasional memiliki substansi yang tinggi dalam dalam menangani permasalahan

dan kemajuan bangsa, ditegaskan pula oleh Y.B. Mangunwijaya bahwa :

“ Perubahan sistem pendidikan sebut saja kurikulum pendidikan harus

dimulai dengan memperhatikan tingkat sekolah dasar. Itulah tulang

punggung bagi pendidikan selanjutnya. Merupakan ekosistem dan basis

strategis bagi evolusi humanisasi bangsa. Sebaliknya, ketika dari dasar

sudah rapuh, maka tingkat pendidikan selanjutnya akan sama rapuhnya”. 39

36

Moh. Yamin “ Manajemen Mutu, 95. 37

Syafaruddin “Efektivitas Kebijakan Pendidikan; Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan

Pendidikan Menuju Organisasi Sekolah Efektif” (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 61-62. 38

M. Sirozi, Politik Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 96-97. 39

Y.B. Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan (Yogyakarta: Dinamika Edukasi dasar, 2004),

4.

31

Ekstra kulikuler secara umum mengandung pengertian segala sesuatu yang

mempunyai makna berbeda dan mempunyai nilai lebih dari biasa. Searah dengan

pengertian tersebut, ekstra kurikuler di sekolah merupakan kegiatan yang bernilai

tambah yang diberikan sebagai pendamping pelajaran yang di berikan secara

intrakurikuler. Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan pembelajaran yang

diselenggarakan di luar jam pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan

pengetahuan, pengembangan, bimbingan dan pembiasaan siswa agar memiliki

pengetahuan dasar penunjang.40

Kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan di luar jam

sekolah yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Kegiatan ini

disamping dilaksanakan di sekolah, dapat juga dilaksanakan di luar sekolah guna

memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan atau kemampuan

meningkatkan nilai/sikap dalam rangka penerapan pengetahuan dan ketrampilan

yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dan kurikulum sekolah. Dan

kegiatan ini juga dimaksudkan untuk lebih mengkaitkan pengetahuan yang

diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.

40

Shaleh, Abdul Rachmad. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. (Jakarta: PT.

Grafinda Persada, 2005), 170.

32

Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan diluar jam

pelajaran (tatap muka) baik dilakukan di sekolah maupun dilakukan diluar sekolah

dengan maksud untuk lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan

dan kemampuan yang telah dimilikinya dari berbagai bidang.41

Kegiatan ekstra kurikuler tersebut lebih menekankan pada bidang ilmu

pengetahuan pada bidang keilmuan yang didapat siswa di sekolah, agar siswa

lebih memahami dan mendalami ilmu yang diberikan pada saat jam pelajaran

berlangsung, sehingga tidak tertinggal jauh dengan yang lain. Menurut Suharsimi

Arikunto, kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan tambahan diluar struktur

program, yang pada umumnya merupakan kegiatan pilihan.42

Sedangkan definisi kegiatan ekstra kurikuler menurut Derektorat

Pendidikan Menengah Kejuruan adalah : Kegiatan yang dilakukan di luar jam

pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah agar lebih

memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah

dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum 43

Piet Sahertian

mengatakan bahwa kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan diluar jam

pelaksanaan pelajaran (termasuk dalam waktu libur) yang dilakukan di sekolah,

dengan tujuan memperluas pengetahuan siswa mengenai hubungan antara

41

Moh. Uzer Usman, Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1993), 22. 42

Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 271. 43

Depdikbud, Buku Petunjuk Pelaksaan Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Kurikulum SMTA

1984, Dikmenum, 1985), 6.

33

berbagai mata pelajaran, menyalurkan bakat dan minat serta melengkapi upaya

pembinaan manusia seutuhnya.44

Sedangkan menurut Suryosubroto, kegiatan ekstra kurikuler mencakup

semua kegiatan di sekolah yang tidak diatur dalam kurikulum dan sebagian dari

kegiatan ekstra kurikuler dikoordinir dan dilaksanakan oleh organisasi intra

sekolah .45

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstra

kurikuler adalah kegiatan tambahan di luar struktur program dilaksanakan di luar

jam pelajaran biasa agar memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan

kemampuan siswa, selain itu juga untuk menyalurkan bakat dan minat yang

dimiliki melalui kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan bakat dan minatnya.

Kegiatan ekstra kurikuler merupakan sebuah organisasi sekolah. Sebagai

organisasi siswa di sekolah, ekstra kurikuler harus menyelenggarakan jenis

kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan memiliki kemanfaatan bagi

dirinya sebagai sarana pendewasaan diri dan penyaluran bakat-bakat potensional.

Untuk jenis-jenis kegiatan ekstra kurikuler yang masih ada kaitannya dengan

pelajaran antara lain olahraga, musik, menari, dan sebagainya. Biasanya sekolah

memanfaatkan guru-guru bidang sudi yang sudah ada, di mana pengalaman,

pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki tersebut dari jenjang pendidikan

formal. Untuk jenis kegiatan ekstra kurikuler seperti PMR, pramuka, fotografi,

44

Piet A. Suhertian, Dimensi Administrasi Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1985), 132. 45

Suryosubroto, Tatalaksana Kurikulum (Jakarta:Rineka Cipta, 1990) hlm 58-59.

34

sekolah juga memanfaatkan guru yang ada. Jika pembina dirasa masih kurang

maka sekolah akan menunjuk petugas dari luar untuk membina kegiatan-kegiatan

tersebut.

Menurut Amir Daien kegiatan ektra kurikuler dibagi menjadi dua jenis,

yaitu bersifat rutin dan bersifat periodik.46

Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat

rutin adalah bentuk kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan secara terus

menerus, seperti: Latihan bola voly, latihan sepak bola dan sebagainya,

Sedangkan kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat periodik adalah bentuk

kegiatan yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu saja, seperti lintas alam,

camping, pertandingan olahraga dan sebagainya.47

Jenis-jenis kegiatan ekstra kurikuler dapat dibagi menjadi 2 jenis:

1. Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat atau berkelanjutan, yaitu jenis kegiatan

ekstra kurikuler yang dilaksanakan secara terus menerus selama satu periode

tertentu. Untuk menyelesaikan satu program kegiatan ekstra kurikuler ini

biasanya diperlukan waktu yang lama.48

2. Kegiatan ekstra kurikuler yang bersifat periodik atau sesaat yaitu kegiatan

ekstra kurikuler yang dilaksanakan waktu-waktu tertentu saja.49

46

Rusdi Affandi, Kegiatan Intra dan Ekstra Kulikuler pendidikan Agama Islam dan Pemahaman

Keagaam Siswa (Tesis, UIN Malang, 2008), 32. 47

Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 272. 48

Ibid., 275. 49

Ibid., 273.

35

Banyak macam dan jenis kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan di

sekolah-sekolah dewasa ini. Mungkin tidak ada yang sama dalam jenis maupun

pengembangannya. Dikemukakan oleh Oteng Sutisna bahwa klub dan organisasi

yang bersifat ekstra kurikuler tetapi langsung berkaitan dengan mata pelajaran di

kelas. Beberapa diantaranya adalah seni music atau karawitan, drama, olahraga,

publikasi dan klub-klub yang berpusat pada mata pelajaran. Klub-klub ini

biasanya mempunyai seorang penasehat, seorang guru yang bertanggung jawab

tentang mata pelajaran serupa.50

Kegiatan ekstra kurikuler sebagai organisasi siswa di sekolah agar dapat

melibatkan semua siswa di sekolah, harus menyelenggarakan jenis kegiatan yang

sesuai dengan kebutuhan siswa dan memiliki kemanfaatan bagi dirinya sebagai

sarana pendewasaan diri dan penyaluran bakat-bakat potensial mereka, disamping

kepala sekolah harus memerintahkan siswa untuk mengikuti kegiatan ekstra

kurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah yang bertujuan mengembangkan

program kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Evaluasi Ekstrakurikuler Kegiatan

ekstrakurikuler adalah kegiatan diluar jam pelajaran, yang dilkukan di sekolah

ataupun di luar sekolah. Kegiatan ini di maksudkan untuk memperluas

pengetahuan siswa, mengenal hubungan antara berbagai mata pelajaran atau

50

Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar, 274.

36

bidang pengembangan, menyalurkan bakat dan minat yang menunjang pencapaian

tujuan instruksional.51

Kegiatan kokurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran

yang telah dijatahkan dalam struktur program, berupa penugasan-penugasan atau

pekerjaan rumah yang menjadi pasangan kegiatan intrakurikuler. Kegiatan

intrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di sekolah dengan penjatahan

waktu sesuai dengan struktur program. Evaluasi kokurikuler adalah kegiatan yang

berhubungan dengan hal-hal berikut:

a. Penilaian kokurikuler terutama dilakukan terhadap hasil kegiatan kokurikuler

yang antar lain berupa: kliping, lembar jawaban soal, laporan praktikum,

karangan, kesimpulan atau ringkasan dari buku.

b. Penilaian kokurikuler dilakukan setelah nsiswa selesai mengerjakan setiap

tugas yang diberikan.

c. Hasil penilaian kokurikuler dinyatakan dalam skala 0 – 10

d. Penilaian dapat dilakukan perorangan

e. Nilai kokurikuler diperhitungkan untuk nilai raport.

Pelaksanaan pendidikan yang berkualitas sangat tergantung terhadap

keseriusan para penyelenggara pendidikan, baik formal, informal maupun non

formal. Pendidikan formal dewasa ini, membutuhkan perhatian yang tinggi,

51

Hartoto, Fatamorgana, Dalam http://yahoo.com .blog: www.fatamorghana.wordpress.com. 7

(18 januari 2007), 13.

37

sehingga proses pembelajaran pada jenjang pendidikan ini dapat berjalan dengan

baik. Kegiatan pendidikan formal di kemas dalam bentuk kurikuler, kokurikuler

dan ekstra kurikuler. Kurikuler dan kokurikuler telah berjalan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dengan memfokuskan pada pembelajaran klasikal baik

dalam kelas maupun di luar kelas. Namun pada sisi lain, ekstra kurikuler juga

harus berjalan sesuai dengan standar yang ada.52

Dalam hal ini, kegiatan ekstra kurikuler dalam Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dapat ditemukan dalam program pengembangan diri.Dalam

panduan tersebut dijelaskan bahwa pengembangan diri terdiri dari dua jenis

kegiatan yaitu bimbingan konseling dan ekstra kurikuler.Kegiatan ekstra kurikuler

yang dilaksanakan di sekolah, secara sederhana dapat mendatangkan manfaat

terhadap, siswa, masyarakat, dan sekolah.Dengan manfaat tersebut, sekolah bisa

menjadi lebih terkenal dan populer dan bahkan bisa dijadikan sebagai tempat

promosi sekolah kepada masyarakat.

Pendidikan Agama adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatisme

dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup berdasarkan ajaran Islam.

Sedangkan pengajaran agama berarti pemberian pengetahuan kepada anak, agar

supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama Dalam penjelasan Bab IX pasal 39

ayat (1) UU RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

dinyatakan bahwa: Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman

dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut

52

Affandi , Kegiatan Intra dan Ekstra , 34.

38

peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk

menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam

bermasyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Hal ini sebagaimana

dikemukakan Abudin Nata bahwa Pendidikan Agama adalah pendidikan yang

melaksanakan bimbingan dan pembinaan kepada anak didik agar melaksanakan

ajaran agama.

Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka pendidikan agama

bersentuhan dengan upaya membangun atau membangkitkan perasaan keagamaan

yang merupakan fitrah dalam diri manusia, dan bukan diarahkan pada pemberian

pengetahuan agama semata-mata.Pendidikan agama yang demikian itu diharapkan

dapat menjadi bekal yang kuat bagi seseorang untuk tampil sebagai manusia yang

beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.Sejalan dengan itu, maka pendidikan

agama lebih ditekankan pada pembinaan fitrah keagamaan yang terdapat dalam

diri manusia agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal yang selanjutnya

dapat mendasari perbuatannya sehari-hari.53

C. Model Integrasi Pendidikan Madrasah

Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar

pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al qur‟an dan hadits nabi. Dalam hal

ini akan dikemukakan ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, seperti dikatakan

An Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu adalah Allah yang

telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta

53

Ibid,. 37.

39

menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya,

sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip

tersebut adalah sebagai berikut:54

Prinsip Integrasi, Prinsip Keseimbangan, Prinsip

Persamaan, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup, Prinsip Keutamaan.

Globalisasi adalah suatu proses yang mendunia akibat kemajuan-kemajuan

di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi 55

yang membawa dampak positif dan

negatif bagi kepentingan bangsa dan Negara. Stratafikasi teknis dalam hal

penguasaan Sains dan Teknologi merupakan indicator adanya kompetensi gobal,

semakin tinggi nilai teknologi dan sains semakin tinggi pula kemajuan dan konsep

pemenuhan kebutuhan tercapai pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan

secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan

dalam seluruh bidang, termasuk bidang pendidikan.56

Pendidikan sebagai proses pengembangan potensi manusia pada aspeknya

masing-masing, pada era globalisasi ini, setidaknya terdapat dua hal yang

menjadi pekerjaan rumah, terutama oleh lembaga-lembaga pendidikan Madrasah.

Pertama, semakin majunya ilmu pengetahuan dan IPTEK. Sehingga hal itu

54

Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam (Yogyakarta: Infinite Press, 2004), 25-

30. 55

Muzhoffar Akhwan, Pengembangan Madrasah Sebagai Pendidikan Untuk Semua (El Tarbawi:

Jurnal Pendidikan Islam, 2008), 45. 56

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer (Jakarta: Pustaka sinar

harapan, 1995), 229.

40

menyebabkan Kedua, pergeseran nilai-nilai agama, budaya, maupun kemanusiaan

yang semakin terkikis seiring dengan perkembangan zaman.57

Berlandaskan peraturan pemerintah No. 28 dan 29 serta diikuti oleh surat

keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri agama, dapat

diketahui bahwa madrasah adalah sekolah yang berciri khas agama islam.

Berkenaan dengan hal ini, maka madrasah memiliki kurikulum yang sama dengan

sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ditambah

dengan cirri keislamannya yang tertuang dalam kurikulum, yaitu memiliki mata

pelajaran agama yang lebih dari sekolah umum. 58

Karakteristik madrasah tidak hanya sekedar penyajian mata pelajaran

agama melainkan yang lebih penting ialah implementasi dari nilai-nilai keislaman

di dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana lembaga madrasah yang

melahirkan ciri khas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (1)

Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalam keseluruhan kehidupan lembaga

madrasah; (2) Kedidupan moral yang beraktualisasi, dan (3) Manajemen yang

profesional, terbuka, dan berperan aktif dalam masyarakat. Sehingga dengan

suasana madrasah yang demikian melahirkan budaya madrasah yang merupakan

identitas lembaga pendidikan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah

57

Ahmad Barizi “Pendidikan Integratif; Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam

(Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 255. 58

Ibid., 111.

41

hanya dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan basisnya

sebagai pendidikan yang berbasiskan masyarakat (community-based education). 59

Perbedaan yang mendasar madrasah dengan pesantren menurut Furchan

terletak pada sistem pendidikannya, yakni madrasah menganut sistem pendidikan

formal (kurikulum nasional, pemberian pelajaran dan ujian yang terjadual, bangku

dan papan tulis seperti umumnya sekolah model Barat) sedangkan pesantren

menganut sistem non-formal (dengan kurikulum yang sangat bersifat lokal,

pemberian pelajaran yang tidak seragam, sering tanpa ujian untuk mengukur

keberhasilan belajar siswa). 60

Madrasah memiliki program aktifitas di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu

eksakta murni agar bidang tersebut tidak hanya dikuasai oleh lulusan

nonmadrasah yang belum tentu memiliki mental keagamaan yang kuat. Agar

lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh

muka bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasah pun harus

memiliki wawasan global. Sehingga madrasah harus mempersiapkan peserta

didiknya dapat melanjutkan studi dan bekerja di luar negeri. Untuk itu, maka

penguasaan keterampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi

amat penting, demikian pula pengenalan budaya, 61

59

Haar Tilaar, Pradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 179. 60

Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Anatomi Keberadaan Madrasah

dan PTAI (Yogyakarta: Penerbir Gema Media, 2004), 16. 61

Muzhoffar Akhwan, Pengembangan Madrasah, 46.

42

Dengan demikian, jelaslah bahwa manusia “cerdas, kreatif, dan beradab”

adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendididikan Islam, termasuk pendidikan

madrasah untuk menghadapi globalisasi. 62

a. Integrasi Kelembagaan

Kalau kita berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah

erat hubungannya dengan lembaga-lembaga pendidikan karena suatu

pendidikan pasti ada lembaga yang membantu. Hal ini ditegaskan dalam

firman Allah swt yang berbunyi:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia

dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak

mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada

mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.63

Pada surat yang lain Allah juga menegaskan dalam firmannya yang

berbunyi :

Artinya : Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang

terdekat.64

62

Syamsul Ma‟arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2007), 123. 63

Al-Qur‟a n, 6 (at tahrim): 66 64

Al-Qur‟-a n, 26 (asy syu‟aro): 66

43

Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang

dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti

suatu bangunan yang tersusun kokoh.65

Ayat di atas tersirat jelas bahwa konteks pendidikan yang terpenting

adalah “pendidik” kemudian lembaga beserta komponen dan unsur-unsurnya

harus teratur dengan rapi, tidak hanya terletak pada seorang pendidik di

sekolah, melainkan dimulai dari keluarga di rumah sebagai wadah, media

transformasi sebuah kebiasaan yang membentuk karakter anak hal tersebut

searah dengan Macmillan yang menjelaskan bahwa lembaga merupakan

seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai

yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian

tindakan yang penting dan berulang.66

Adelman & Thomas dalam buku yang sama mendefinisikan institusi

sebagai suatu bentuk interaksi di antara manusia yang mencakup sekurang-

kurangnya tiga tingkatan. Pertama, tingkatan nilai kultural yang menjadi

acuan bagi institusi yang lebih rendah tingkatannya. Kedua, mencakup hukum

65

Al-Qur‟-a n, 61 (ash S}aff): 4. 66

Saharuddin, Nilai Kultur Inti dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat Multi-Etnis

(Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001), 1.

44

dan peraturan yang mengkhususkan pada apa yang disebut aturan main (the

rules of the game). Ketiga, mencakup pengaturan yang bersifat kontraktual

yang digunakan dalam proses transaksi.

Ketiga tingkatan institusi di atas menunjuk pada hirarki mulai dari

yang paling ideal (abstrak) hingga yang paling konkrit, dimana institusi yang

lebih rendah berpedoman pada institusi yang lebih tinggi tingkatannya.67

Koentjaraningrat mengartikan lain lembaga dengan istilah “pranata”,

beliau mengelompokkannya ke dalam 8 (delapan) golongan, dengan prinsip

penggolongan berdasarkan kebutuhan hidup manusia. Kedelapan golongan

pranata tersebut adalah sebagai berikut: 68

a. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan

kekerabatan, yang disebut dengan kinship atau domestic institutions;

b. Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup

manusia, yaitu untuk mata pencaharian, memproduksi, menimbun,

mengolah, dan mendistribusi harta dan benda, disebut dengan economic

institutions. Contoh: pertanian, peternakan, pemburuan, feodalisme,

industri, barter, koperasi, penjualan, dan sebagainya;

c. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan

pendudukan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna,

disebut educational institutions;

67

Ibid., 2. 68

Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1994), 16.

45

d. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia,

menyelami alam semesta di sekelilingnya, disebut scientific institutions;

e. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan

rasa keindahan dan untuk rekreasi, disebut aesthetic and recreational

institutions;

f. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk

berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, disebut religious

institutions;

g. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk

mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan

bernegara, disebut political institutions. Contoh dari institusi politik di sini

adalah pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian,

ketentaraan, dan sebagainya;

h. Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmaniah dari manusia,

disebut dengan somatic institutions.69

Hendropuspito lebih suka menggunakan kata institusi daripada

lembaga. Menurutnya institusi merupakan suatu bentuk organisasi yang

secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi

sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial

69

Ibid., 17.

46

dasar. Unsur penting yang melandasi sebuah institusi menurut Hendropuspito

dapat dilihat dari unsur definisi sebagai berikut:70

1. Kebutuhan sosial dasar (basic needs). Kebutuhan sosial dasar terdiri atas

sejumlah nilai material, mental dan spiritual, yang pengadaannya harus

terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebetulan atau kerelaan

seseorang. Misalnya: kebutuhan sandang, pangan, perumahan, kelangsungan

jenis/keluarga, pendidikan, kebutuhan ini harus dipenuhi.

2. Organisasi yang relatif tetap. Dasar pertimbangannya mudah dipahami,

karena kebutuhan yang hendak dilayani bersifat tetap. Memang harus diakui

bahwa apa yang dibuat oleh manusia tunduk pada hukum perubahan, tetapi

berdasarkan pengamatan dapat dikatakan bahwa institusi pada umumnya

berubah lambat, karena pola kelakuan dan peranan-peranan yang melekat

padanya tidak mudah berubah.

3. Institusi merupakan organisasi yang tersusun/terstruktur. Komponen-

komponen penyusunnya terdiri dari pola-pola kelakuan, peranan sosial, dan

jenis-jenis antarrelasi yang sifatnya lebih kurang tetap. Kedudukan dan

jabatan ditempatkan pada jenjang yang telah ditentukan dalam struktur yang

terpadu.

4. Institusi sebagai cara (bertindak) yang mengikat. Keseluruhan komponen

yang dipadukan itu dipandang oleh semua pihak yang berkepentingan

sebagai suatu bentuk cara hidup dan bertindak yang mengikat. Mereka

70

Hendropuspito, Sosiologi Sistematik (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1989), 63.

47

menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam suatu institusi

harus disesuaikan dengan aturan institusi. Pelanggaran terhadap norma-

norma dan pola-pola kelakuan dikenai sanksi yang setimpal. Dalam

institusi keterikatan pada norma dan pola dianggap begitu penting bahkan

diperkuat dengan seperangkat sanksi demi tercapainya kelestarian dan

ketahanan secara kesinambungan.

Sementara Sulaeman Taneko mendefinisikan institusi dengan adanya

norma-norma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut.

Institusi merupakan pola-pola yang telah mempunyai kekuatan tetap dan

aktivitas untuk memenuhi kebutuhan haruslah dijalankan atas atau menurut

pola-pola itu.71

Melihat terminology yang variatif diatas, terdapat definisi yang rumit

karena memiliki kesamaan, Norman T. Uphoff, seorang ahli sosiologi yang

banyak berkecimpung dalam penelitian lembaga lokal, menyatakan pula

tentang kesulitan mendefinisikan institusi, karena pengertian institusi sering

dipertukarkan dengan organisasi dengan ungkapan sebagai berikut :

“Institutions are complexes of norms and behaviors that persist over

time serving collectivelly valued purposes”.72

71

Taneko B. Sulaiman, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), 72. 72

Uphoff T. Norman, Local Institutional Development: An Analitycal Sourcebook with Cases

(West Hartford Connecticut: Kumarian Press, 1986), 9.

48

Namun beliau juga mengajukan definisi sederhana yang membedakan

antara organisasi (organization) dengan kelembagaan (institution) sebagai

berikut: 73

“Organizations are structures of recognised and accepted roles. Institutions

are complexes of norms and behaviours that persist over time by serving

collectively (socially) valued purposed”.

Organisasi sebagai struktur peran yang telah dikenal dan diterima.

Kelembagaan/pranata adalah serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan

atau digunakan selama periode waktu tertentu yang relatif lama untuk mencapai

maksud/tujuan bernilai kolektif/ bersama atau maksud-maksud yang bernilai sosial.

Lembaga dalam kamus bahasa indonesia modern adalah asal mula,

bakal, bentuk asli, badan keilmuan.74

Dalam bahasa Inggris lembaga dalam

pengertian fisik disebut intitute, sarana (organisasi) untuk mencapai tujuan

tertentu, sedangkan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak adalah

institution, suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.75

Dalam arti sederhana, pendidikan sering diartikan sebagai usaha

manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha

yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi

73

Ibid., 8. 74

Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Modern (Surabaya: Apolo, 1994), 127. 75

Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1995), 1.

49

dewasa dan mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam

arti mental.76

Dalam perspektif perkembangan anak, lingkungan ada yang sengaja

diadakan ada yang tidak usaha sadar dari orang dewasa yang normatif disebut

pendidikan. Sedang yang lain disebut pengaruh seperti Lingkungan yang

dengan sengaja diciptakan untuk mempengaruhi anak ada tiga, yaitu :

lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga

lingkungan ini disebut lembaga pendidikan atau satuan pendidikan.77

Menurut Rohiat yang ia kutip dari Massie ada sejumlah nilai yang

pada umumnya semuanya dapat diterima dan dipahami dalam setiap aspek

manajemen. Diantaranya adalah kebahagiaan, ketaatan pada hukum,

konsistensi, integritas, dan kesetiaan. Menurutnya dengan terpenuhinya

kebahagiaan maka setiap personal lembaga akan melakukan kegiatan dengan

sepenuh hati tanpa beban atau tertekan sehingga setiap langkah dan tutur

katanya merupakan keringanan dicurahkan kepada lembaga sebagai balas budi

karena lembaga/pimpinan „memberikan‟ kebahagiaan. 78

Dari keterangan diatas, dapat penulis konklusikan tentang konsep

integrasi lembaga merupakan komponen instruksional organisasi yang utuh

sebagai media tercapainya suatu regulasi, namun secara ontology pendidikan

tidak dipungkuri lagi adanya sosok pendidik sebagai Dwitunggal instruksional

76

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), 1. 77

Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 16. 78

Rohiat, Manajemen Sekolah: Teori Dasar dan Praktik (Bandung: Refika Aditama, 2010), 4.

50

dalam trasnformer nilai-nilai yang dikembangkan di lembaga pendidikan dan

harus relevan dengan keberadaan lembaga di tengah-tengah masyarakat

sebagai organisasi pendidikan yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha

mengembangkan, melestarkan, dan mewariskan nilai-nilai kepada siswanya. 79

Sehingga nilai-nilai tersebut juga bisa berfungsi untuk membangun citra

lembaga sekaligus menjadi pedoman bagi setiap personal lembaga pendidikan

untuk tercapainya suasana atau iklim yang nyaman, aman, tertib, bertanggung

jawab, profesional, harmonis, dan kondusif. 80

b. Integrasi Kurikulum

Proses pendidikan dalam kegiatan pembelajaran atau didalam kelas,

akan bisa berjalan dengan lancar, kondusif, interaktif dan lain sebagainya

apabila dilandasi oleh kurikulum yang baik dan benar. Artinya, pendidikan

bisa dijalankan dengan baik ketika kurikulum menjadi penyangga utama

dalam proses belajar mengajarnya. Bahkan kurikulum dianggap sangat

penting mengingat ia memiliki fungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan

pendidikan, sekaligus pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua

jenis dan jenjang pendidikan. 81

79

Nur Zazin, Gerakan Menata Mutu Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 155. 80

Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 90. 81

Zainal Arifin, “Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum” (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2012), 1.

51

Dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam tidak hanya

mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran Islam, tetapi

yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-

ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran pendidikan agama

Islam juga menekankan keutuhan dan keterpaduan kepribadian peserta didik

antara ranah kognitif, psikomotor dan afektifnya. 82

Soedijarto mengintegrasikan nilai-nilai yang telah direncanakan untuk

mempribadi ke dalam aturan tingkah laku belajar peserta didik sangat

diperlukan untuk meningkatkan kualitas hasil belajar sebagai salah satu

indikator strategi bagi keberhasilan pendidikan sesuai dengan tujuan yang

telah ditetapkan 83

Apalagi pengembangan pendidikan ke depan hendaknya

merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang

diintegrasikan dengan etika keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.84

Paradigma integrasi kurikulum memiliki banyak arti antara lain

penggabungan / pembauran hingga menjadi unsur satu kesatuan yang utuh.85

Beans, yang mendifinisikan integrated curriculum sebagai berikut :

82

Dirjen Dikdasmen, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran

Pendidikan Agama Islam (Jakarta: DEPDIKNAS, 2003), 2. 83

Soedijarto, Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia

Indonesia Memasuki Abad ke-21 (t.t, 1997), 333. 84

Suderajat, Konsep dan Implementasi Pendidikan berbasis Luas (BBE) yang Berorientasi pada

Kecakapan Hidup (Life Skill) (Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2002), 17. 85

M. Dahlan Dkk “Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual” (Surabaya: Target Press, 2003),

322.

52

“…. As away to teach students that attempts to break down

barriers between subjects and make learning more meaningful to

students. The idea is to teach around theme, or “organizing

centers“ that students can identify with, such as “ the

Environment,” “ Life in School, “ or “ more traditional areas like

“ Myths and Legends”.86

Selanjutnya Good juga membuat sinonim dari integrated

curriculum sebagai berikut :87

“Another term that is often used synonymously with integrated

curiculum is interdisciplinary curriculum. Interdisciplynary

curriculum is defined in the Dictionary of education as “ a

curriculum organization which cuts acroos subjects-matter lines to

focus upon comprehensive life problems or broad based areas of

study that brings together the various segments of the curriculum

into meaningful association”.

Istilah diatas memiliki arti lain yang digunakan sebagai sinonim

kurikulum terintegrasi sebagai Interdisiplinary Curriculum yaitu

organisasi kurikulum dimana terjadi pemotongan jalur antar mata

pelajaran untuk dipusatkan pada masalah kehidupan yang meliputi

keleluasaan berdasarkan ruang lingkup belajar, yang bersama – sama

membawa berbagai macam bagian / hal ke dalam kerjasama yang penuh

makna.

86

Aida Rusmilati R, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Di

SMA Negeri 3 Madiun (Tesis –Universitas Muhammadiyah Malang, 2007), 47. 87

Ibid., 48.

53

Dalam proses penanaman nilai-nilai terhadap peserta didik dapat di

peroleh melalui pendidikan karakter dan dapat pula dipengaruhi oleh cara

atau 88

pendekatan yang dipergunakan oleh Suparno, dkk, menggunakan

empat model yakni :

a. Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri (monolitik)

b. Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi

c. Model di Luar Pengajaran

d. Model Gabungan

Kurikulum terintegrasi merupakan ciri dari sekolah untuk

melakukan pembelajaran. Banyak variasi dalam tema integrasi untuk

melakukan pembelajaran dari bentuk atau susunan yang sederhana

kebentuk yang lebih kompleks seperti Usaha Natsir untuk

mengintegrasikan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan

mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan dua kurikulum

yaitu antara kurikulum sekolah tradisional yang banyak memuat pelajaran

agama dan sekolah Barat yang memuat pelajaran umum, 89

kemudian

Ian.G. Barbour, seorang integrator sains dan agama telah memetakan

sekaligus memberikan 4 pola hubungan antara keduanya, yakni, konflik,

Independensi, Dialog dan Integrasi.

88

Paul Suparno, dkk, Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 42-44. 89

Abuddin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005), 149.

54

a. Konflik

Dalam tipologi pertama ini, memiliki pandangan bahwa agama

dan sains tidak bisa dipertemukan, sehingga seseorang harus memilih

salah satu diantara sains dan agama. Artinya, masing-masing sains dan

agama menegaskan eksistensi masing-masing. Pandangan konflik ini,

dikemukakan dalam dua buku berpengaruhnya, yaitu History of The

Conflict between Religion and Secience, karya J. W. Draper dan

History of the Warfare of Secience with Theology in Christendom

karya A.D. White.90

Terdapat beberapa landasan pemikiran yang menyebabkan

sains dan agama tidak bisa dipertemukan, antara lain:

1) Dalam pandangan mereka, agama tidak dapat membuktikan

kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas dan logis, sementara

sains dapat melakukan hal tersebut.

2) Agama, bersifat abstrak dan tidak mau memberikan petunjuk

secara konkrit tentang keberadaan tuhan, sementara sains mau

menguji segala hipotesis dan semua teorinya berdasarkan

pengalaman. 91

90

Ian. G. Barbour, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad (Bandung:

Mizan, 2004), 54. 91

Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog (Bandung: Mizan,

2004), 2.

55

b. Independensi

Independensi, merupakan salah satu pemahaman untuk

menghindari konflik antara Sains dan Agama, dengan cara

menempatkan masing-masing bidang dikawasan yang berbeda.

Pemisahan kedua wilayah ini, bukan hanya dikarekan untuk

menghindari konflik, namun juga termotivasi oleh keyakinan bahwa

kedua bidang ini memiliki kebenaran masing-masing dan karakteristik

masing-masing.92

c. Dialog

Pandangan ini menawarkan hubungan antara sanis dan agama

yang lebih konstruktif. Artinya, pandangan ini menekankan pada

kesamaan antara sain dan agama yang dapat didialogkan. Bahkan

keduanya saling mendukung antara satu dengan yang lain. Proses yang

dilakukan dengan cara mendialogkan keduanya, dengan menekankan

kemiripan konsep dan metode. 93

d. Integrasi

Pandangan ini memunculkan hubungan yang lebih bersahabat

dari pandangan yang terdahulu, terdapat tiga versi pemahaman tentang

integrasi, yakni :

92

Ibid., 9. 93

Ian. G. Barbour , Juru Bicara, 74.

56

1) Natural Theology

Mengklaim bahwa eksistensi tuhan dapat disimpulkan dari

bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam

membuat manusia semakin menyadari dan meyakini alam ini

sebagai karya Allah swt.

2) Theology Of Natural

Pada pandangan ini, terdapat klaim bahwa sumber utama

teologi bersumber diluar sains, namun pendangan ini juga

berpendapat bahwa doktrin tradisional harus tetap dirumuskan

ulang dalam pandangan sanis terkini.

e. Sintesis Sistematis

Merupakan cara pandang dalam hubungan antara sains dan

agama dengan hubungan yang lebih sistematis dapat dilakukan jika

sains dan agama memberikan kontribusi kearah pandangan dunia yang

lebih keheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang

komprehensif. 94

Dasar pemikiran dimunculkannya integrated curriculum yaitu

berdasarkan keyakinan bahwa pada era globalisasi, siswa tidak lagi

berpikir secara tradisional bahwa dalam belajar mereka akan mempelajari

sejumlah mata pelajaran yang berbeda-beda, tetapi mereka cenderung

mempunyai pandangan holistic terhadap dunia, sehingga diperlukan

94

Ibid., 83-84.

57

kurikulum yang disusun secara terintegrasi. Pemikiran tersebut mendasari

tujuan pengintegrasian kurikulum. Tujuan mengintegrasikan kurikulum

adalah sebagai berikut : 95

1. Mengintegrasikan konteks pembelajaran, isi dan keterampilan proses

dalam satu mata pelajaran atau lebih.

2. Merencanakan pembelajaran dengan menyediakan kesempatan bagi

siswa untuk berinteraksi (koopetatif learning).

3. Membuat siswa menyadari tujuan pembelajaran yang mereka lakukan.

4. Memberikan kewenangan kepada siswa untuk memikirkan bagaimana

mereka belajar yang menyenangkan.

5. Memberikan kepercayaan kepada siswa untuk beberapa hal dalam

proses pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung

jawab.

6. Mampu memenuhi dan mengekspresikan diri pada gaya pembelajaran

yang berbeda.

7. Melibatkan siswa dalam mengumpulkan dan mengolah informasi

terkini secara aktif.

8. Memotivasi siswa untuk mandiri, kreatif, inovatif, dan adaptif

9. Mengembangkan multiple intelegence yang dimiliki siswa.

10. Lebih mempererat hubungan antar teman dan guru yang pada akhirnya

akan terjalin kerjsaama yang baik.96

95

Ibid., 87.

58

Dalam (www. Molecreek .tased. edu. Au integrated/curriculum

policy. htm), pendekatan dalam kurikulum integrasi adalah memberikan

kesempatan untuk mengembangkan potensi siswa, strategi dan

pemahaman dalam sebuah kerangka kerja. Oleh sebab itu guru harus

menggunakan strategi yang bervariasi untuk mengembangkan multiple

intelegence siswa dengan Model kurikulum integrasi yang pada dasarnya

mengembangkan prinsip discovery dan inquiry. 97

c. Integrasi Kepribadian

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

Negara.98

Etimologi Integrasi dalam bahasa Inggris adalah "integration"

yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Poerwadarminto

mengartikan integrasi dalam bentuk kebulatan atau menjadi utuh 99

dan

pengertian tersebut secara komprehensif diungkapkan Sanusi sebagai

suatu kesatuan yang utuh, tidak terpecah belah dan bercerai berai yang

96

Aida Rusmilati R, Model Kurikulum, 49. 97

Ibid., 50. 98

Depdiknas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Jakarta: Depdiknas 2003), 3. 99

W.Y.S. Poerwadarminto, Konsorsium Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 384.

59

meliputi kebutuhan atau kelengkapan anggota-anggota yang membentuk

suatu kesatuan dengan jalinan hubungan yang erat, harmonis dan mesra

antara anggota kesatuan itu.100

Dalam ilmu sosial, integrasi bermakna proses penyesuaian di

antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat

sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki

keserasian fungsi dan dalam hal ini searah dengan Mahmud Junus yang

melihat berdasarkan al-Qur’a>n dan Hadis bahwa ada 3 (tiga) aspek

kepribadian manusia yang harus dididik, yaitu: 1. Aspek jasmani, 2. Aspek

akal, 3. Aspek rohani sehingga secara komprehensif mampu memfasilitasi

kebutuhan secara individual maupun klasikal.101

Integrasi Kepribadian merupakan proses substansial melalui suri

tauladan pendidikan yang berorientasikan pada penanaman nilai-nilai

kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai-nilai agama, budaya, etika

dan estetika menuju pembentukan peserta didik yang memiliki kecerdasan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan Negara

sehingga seluruh kompetensi peserta didik akan merespond segala

100

S. Sanusi, Integrasi Umat Islam (Bandung: Iqomatuddin, 1987), 11. 101

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),

56.

60

peramasalah secara komprehensif penuh dengan solusinya disertai dengan

interitas yang tinggi secara kognitif, afektif dan psikomotorik.102

Dalam landasan normative banyak ayat dan hadits-hadits yang

menganjurkan seorang muslim untuk membentuk kemadirian dalam segala

bidang antara lain :

Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah

kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah

banyak-banyak supaya kamu beruntung. 103

Artinya : Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,

Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian

dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)

dibangkitkan. 104

102

Sumantri, E., Pendidikan Nilai Kontemporer (Bandung: Program studi PU UPI, 2007), 134. 103

Al-Qur‟a n, 67 (al-Mulk): 10. 104

Al-Qur‟a n, 67 (al-Mulk): 15.

61

Artinya : Dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud

kurnia dari kami. (kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan

burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan

Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi

yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah

amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu

kerjakan.105

.

Artinya : Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah

sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku Termasuk

orang-orang yang mengada-adakan.106

Namun demikian, Islah Gusmian menjabarkan beberapa Nasehat

Al-Ghazali yang demikian dengan nada pertanyaan, disekitar kita banyak

orang pandai, ilmuwan, cendekiawan, ulama, intelektual, mereka kaya

ilmu dan pengetahuan. Tetapi apakah pengetahuan mereka itu telah

dihidupkan dalam semesta hayat ?. Ternyata ilmu pengetahuan

menurutnya, yang semestinya menjadi pelita agar agar kita bergerak

105

Al-Qur‟a n, 34 (saba‟): 10-11. 106

Al-Qur‟a n, 38 (shad): 86-88.

62

menjalani hidup dengan benar, justru membuat jalur-jalur baru menuju

kesesatan. Oleh karena itu maka bangunlah keutuhan kedirian

kemanusiaan kita dengan kukuh dan seimbang, kepala dan perut disatukan

dengan dada (hati) sebagai titik keseimbangan.107

Rasulullah saw (Salallahu „Alaihi Wassalam) membangunkan

sahsiah umatnya dengan komponen asas Islam, iaitu akidah, syariah, dan

akhlak. Ini menunjukkan kedudukan akhlak amat penting sebagai salah

satu daripada tunjang Islam itu sendiri Membentuk keperibadian insan

adalah melakukan amal kebaikan secara konsisten dan berterusan. Setelah

melakukan muja>hadah, ia perlu disusuli dengan melakukan kebaikan

secara berterusan agar ia membentuk suatu kebiasaan yang akhirnya

menjadi tabiat kehidupannya. Asas kepada aspek ini adalah melakukan

ibadah khusus seperti solat, puasa, zakat, dan haji; di samping melakukan

kebaikan terhadap sesama manusia, alam, dan haiwan.108

Imam al-Ghazali pula meletakan lima faktor yang boleh

mempengaruhi pembangunan akhlak seseorang, iaitu: (1) Tazkiyyah al-

Nafs atau pembersihan jiwa; (2) Muja>hadah atau melawan hawa nafsu; (3)

Melazimi amalan kebaikan; (4) Membuat sesuatu yang bertentangan

107

Islah Gusmian, Surat Cinta al-Ghazali Nasehat-nasehat Pencerahan Hati (Bandung: Mizan

Pustaka Anggota IKAPI), 34-35. 108

Abu Hamid Muhamed bin Muhammad Imam al-Ghazali, Ihya‟ Ulum ad-Dīn (Kaherah:

Maktabah as Safa, 2003), 77.

63

dengan akhlak yang buruk; dan (5) Muraqabatulla>h atau pengawasan diri

terhadap Allah swt. 109

D. Sistem pendidikan pondok pesantren

Dunia pesantren adalah dunia tradisional islam, yakni dunia yang mewarisi

dan memelihara kotinuitas tradisi islam yang dikembangkan oleh ulama‟ dari

masa ke masa, tidak terbatas pad periode tertentu dalam sejarah islam. Azra

menambahkan sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar

sosio-historis yang sangat kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi

yang relative sentral dalam dunia keilmuan masyarakat, dan sekaligus bertahan

ditengah-tengah gelombang perubahan. 110

Pesantren sebagai sistem pendidika pribumi yang memiliki latar budaya

dan social, semenjak kemunculannya mudah diterima dan kemudian mengakar

kuat di dalam masyarakat Indonesia, 111

Karena pesantren mempresentasikan

pendidikan unik yang mensintesiskan dimensi social, budaya dan agama, maka

sintesis ini kemudian mempengaruhi fungsi pesantren baik secara internal maupun

eksternal. Pesantren kemudian muncul sebgaia sebuah kopmunitas yang memiliki

kemampuan untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas kreatif dalam membangun

109

Ibid., 10. 110

Ahmad Badi‟, Pergeseran Sistem Pendidikan Pesantren dari Metode Sorogan ke Madrasah

(Studi Historis di PP. Lirboyo dan PP. Mahir Arriyadl Ringinagung Kediri) (Surabaya:PPs.Press,

2013), 32. 111

Miftahul Huda, Wakaf dan Kemadirian Pesantren dari Tebu Ireng Hingga Gontor (Surabaya:

Islamica Jurnal studi Keislaman, 2012), 211.

64

masyarakat menggunakan pendidikan alternative yang menggabungkan

pendidikan dan pengajaran. 112

Ciri khas pendidikan islam klasik adalah perjalanan ilmiyah (rihlah

ilmiyyah) dalam pesantren, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh santri dari satu

pesantren ke pesantren lain untuk mencari ilmu dari para kyai, hal ini seiring

kekhawatiran para kyai terhadap perkembangan pendidikan model Eropa yang

lebih menekankan pada rasionalitas ilmu pengetahuan dan duniawi yang dinilai

dapat melunturkan budi luhur bangsa Indonesia. 113

Ciri khas dari sistem pendidikan pesantren adalah sorogan, bandongan,

wethonan, kilatan, tradisi rihlan ilmiyyah atau kelana 114

dan disinilah salah satu

letak kekuatan penting yang ada dalam pembelajaran dan penyebarluasan agama

islam yang sudah merupakan fakta baru. Sejak bertahub-tahun lamanya, bahkan

sebelum Indonesia lahir pesantren telah menjadi tempat pendidikan agama bagi

masyarakat muslim di Indonesia.115

Pesantren bukanlah sejenis institusi pendidikan saja, tetapi lebih bermakna

bahwa pesantren memiliki fungsi dan tugas sosio-kultural. Dalam melaksanakan

fungsi-fungsi ini, pesantren telah terlibat dalam wacana-wacana modernitas.

Modernitas dengan nila-nilainya memiliki yang dapat saja mempengaruhi nilai-

nilai ideal dalam institusi tradisional termasuk pesantren. Pesantren memiliki

112

Ibid., 212. 113

Badi‟, Pergeseran Sistem Pendidikan Pesantren, 33. 114

Ibid., 38 115

Listiyono Santoso, Pendidikan Multikultural Dalam Tradisi Pesantren di Yogyakarta

(Surabaya: Islamica Jurnal studi Keislaman, 2012), 125.

65

sistem dan kemampuna untuk menjadi benteng nilai-nilai daklam menghadapi

modernitas yang bertujuan merelifkan nilai-nilai otentik. Dengan kata lain,

pesantren dapat memainkan peranan penting sebagai gerakan sepritual dengan

memberdayakan dirinya dengan cara-cara kreatif, yakni dengan memberdayakan

fgungsi-fungsi sosio-kultural secara komprehensif, sehingga pesantren

membutuhkan kemandirian dalam mendidik orang-orang dengan sebuah

pendidikan holistic. 116

Wacana tentang social tentang pesantren diperlukan dengan menimbang

ulang peranan dan dinamika pesantren dalam masyarakat Indonesia modern yang

mempengaruhi secara fundamental keberadaan pesantren sehingga mengakibatkan

munculnya problem identitas kultural pesantren dalam merespond modernitas ini

aktifitas yang dilakukan oleh salah satunya dengan mengembangkan

perekonomian sehingga dengan situasi apapun. Pesantren, sebagai dari sub kultur

masyarakat, tetap eksis walaupun dengan swadaya. 117

Kemampuan kyai, santri, ustadh, dan para msyarakat sekitar menjadi kunci

utama untuk meneguhkan atau setidaknya meningkatkan kompetensi pesantren

dalam mencapaivisi-misinya.

116

Ibid., 230. 117

Ismail SM, et al.(ad), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002),

xiv.