Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Hakikat Matematika
2.1.1.1. Pengertian
Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenein yang
berarti mempelajari. Menurut Ruseffendi (dalam Heruman, 2007:1) “Matematika
adalah ilmu logika tentang bentuk susunan besaran dan konsep-konsep yang
saling berhubungan satu sama lainnya, Matematika dapat dibagi ke dalam tiga
bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.”
2.1.1.2. Tujuan Matematika Sekolah Dasar
Tujuan Matematika yang tercantum dalam pedoman penyusunan KTSP di
SD/MI (2008: 44–45) adalah agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai
berikut :
1. Memahami konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat
pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
Matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan Matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model Matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan Matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari Matematika
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2.1.1.3. Ruang Lingkup Matematika
Materi pembelajaran Matematika untuk semua jenjang pendidikan
meliputi:
1. Fakta (facts).
2. Pengertian (concepts).
3. Keterampilan penalaran.
6
4. Keterampilan algoritmik.
5. Keterampilan menyelesaikan masalah Matematika.
Menurut Standar Isi (2006), ruang lingkup mata pelajaran Matematika
pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek:
1. Bilangan,
2. Geometri dan pengukuran,
3. Pengolahan data.
2.1.2. Teori Belajar
2.1.2.1. Pengertian
Menurut Slameto (2010: 2): belajar adalah proses usaha yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungan.
2.1.2.2. Teori Belajar Jean Piaget
Menurut Jean Piaget (dalam Erda Angraini, 2013) menyebutkan bahwa
struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema.
Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap
stimulus disebabkan karena bekerjanya schemata ini. Skemata ini berkembang
secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya,
sehingga individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih
lengkap dari pada ketika ia masih kecil.
Tahap perkembangan kognitif:
1. Tahap Sensorimotor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan
fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra).
2. Tahap Pra Operasi (2 tahun sampai dengan 7 tahun)
Ini merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit.
Operasi konkrit adalah berupa tindakan-tindakan kognitif seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek, menata letak benda berdasarkan urutan
tertentu,dan membilang. Anak mulai menyusun konsep sederhana.
7
3. Tahap Operasi Konkrit (7 tahun sampai dengan 11 tahun)
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan,
kemampuan mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut
pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible (dapat
dibalik). Anak menggunakan tindakan yang telah diinteriorisasikan atau
pemikiran untuk memecahkan masalah dalam pengalaman mereka.
4. Tahap Operasi Formal (11 tahun dan seterusnya)
Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas.
Anak pada tahap ini sudah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan
hal-hal yang abstrak. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan
objek atau peristiwanya langsung, dengan hanya menggunakan simbol-simbol,
ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Anak dapat memikirkan situasi hipotesis
secara penuh.
2.1.2.3. Teori Belajar Jerome S. Bruner
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran Matematika hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk
menguasai konsep Matematika. Menurut Bruner melalui teorinya mengungkapkan
bahwa dalam proses belajar siswa baiknya diberi kesempatan memanipulasi
benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak atik
oleh siswa dalam memahami suatu konsep Matematika. Melalui alat peraga yang
ditelitinya siswa akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur
yang terdapat dalam benda yang diperhatikannya. Peran guru adalah :
1. Perlu memahami struktur pelajaran;
2. Pentingnya belajar aktif supaya seorang dapat menemukan sendiri konsep-
konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar;
3. Pentingnya nilai berfikir induktif.
Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti
proses belajar secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dalam 3 tahap
(dalam Beetlestone, Florence. 2012) yaitu :
8
1. Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara
langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik) objek.
2. Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran
internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar
atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan
gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
3. Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbol-
simbol atau lambang-lambang objek tertentu.
Selain mengembangkan teori perkembangan kognitif, Bruner
mengemukakan teorema atau dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran Matematika.
Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh Bruner
mengemukakan empat teorema /dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran
Matematika yang masing-masing disebut “teorema atau dalil”. Keempat dalil
(dalam Erda Angraini, 2013 ) tersebut adalah :
a. Dalil Konstruksi / Penyusunan (Contruction theorem)
Di dalam teorema konstruksi dikatakan cara yang terbaik bagi seorang siswa
untuk mempelajari sesuatu atau prinsip dalam Matematika adalah dengan
mengkontruksi atau melakukan penyusunan sebuah representasi dari konsep
atau prinsip tersebut.
b. Dalil Notasi (Notation Theorem)
Menurut teorema notasi representase dari suatu materi Matematika akan lebih
mudah dipahami oleh siswa apabila di dalam representase itu digunakan notasi
yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
c. Dalil Kekontrasan dan Variasi (Contras and Variation Theorem)
Menurut teorema kekontrasan dan variasi dikemukakan bahwa suatu konsep
Matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu
dikontraskan dengan konsep-konsep yang lain sehingga perbedaan antar
konsep itu dengan konsep-konsep yang lain menjadi jelas.
9
d. Dalil Konektivitas dan Pengaitan (Conectivity Theorem)
Didalam teorema konektivitas disebut bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan
setiap keterampilan dalam Matematika berhubungan dengan konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan lain.
Bruner peduli terhadap proses belajar daripada hasil belajar, menurutnya
belajar merupakan faktor yang menentukan dalam pembelajaran dibandingkan
dengan perolehan khusus, yaitu metode penemuan (dicovery). Discovery learning
dari Bruner merupakan model pengajaran yang melambangkan berdasarkan pada
pandangan kognitif tentang pembelajaran dalam prinsip konstruksitivis dan
discovery learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri.
Adapun tahap-tahap penerapan belajar penemuan adalah :
1. Stimulus ( pemberian perangsang)
2. Problem Statement (mengidentifikasi masalah)
3. Data collection (pengumpulan data)
4. Data Prosessing (pengolahan data)
5. Verifikasi
6. Generalisasi
2.1.3. Pembelajaran
2.1.3.1. Pengertian
Dalam KBBI (2003) kata pembelajaran diartikan sebagai proses, cara,
menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Kata ini berasal dari kata kerja
belajar yang berarti berusaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah
tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
2.1.3.2. Pembelajaran Matematika di SD
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi yang akan
diajarkan dalam pembelajaran. Hakekat Matematika berkenaan dengan ide-ide,
struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang
logis, sehingga dapat disimpulkan bahwa hakekat belajar Matematika adalah suatu
aktivitas mental yang tinggi untuk memahami arti dari struktur-struktur, konsep-
konsep kemudian menerapkannya dalam situasi nyata sehingga terjadi perubahan
tingkah laku dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
10
Kegiatan pembelajaran Matematika berorientasi pada upaya menerapkan
cara berpikir matematik. Sejalan dengan itu, pembelajaran Matematika merupakan
alat dan proses untuk membentuk pola pikir siswa dalam pemahaman suatu
pengertian/konsep maupun penalaran suatu hubungan dari pengertian-pengertian
itu. Selain itu, siswa dilatih untuk membuat terkaan, perkiraan, kecenderungan
berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-
contoh khusus. Melalui pembelajaran Matematika diharapkan agar siswa memiliki
kemampuan berpikir secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif dan efisien.
Siswa sekolah dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai
12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret.
Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan
objek yang bersifat konkret.
Menurut usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan
objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran
Matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media, dan alat
peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga
lebih cepat dipahami dan dimengerti siswa. Proses pembelajaran pada fase
konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya abstrak.
Sejalan dengan hal tersebut, pembelajaran Matematika di SD mempunyai
perbedaan dengan pembelajaran SD lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari
ciri-ciri pembelajaran Matematika SD sebagai berikut :
1. Pembelajaran Matematika menggunakan metode spiral.
Pendekatan spiral dalam pembelajaran Matematika merupakan pendekatan
dimana pembelajaran konsep atau suatu topik Matematika selalu mengkaitkan
atau menghubungkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya dapat
menjadi prasyarat untuk dapat memahami dan mempelajari suatu topik
Matematika. Topik baru yang dipelajari merupakan pendalaman dan perluasan
dari topik sebelumnya. Konsep diberikan dimulai dengan benda-benda konkrit
kemudian konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih
11
abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum digunakan dalam
Matematika.
2. Pembelajaran Matematika bertahap.
Materi pelajaran Matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari
konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit. Selain itu
pembelajaran Matematika dimulai dari yang konkret, ke semi konkret dan
akhirnya kepada konsep abstrak. Untuk mempermudah siswa memahami objek
Matematika maka benda-benda konkrit digunakan pada tahap konkrit,
kemudian ke gambar-gambar pada tahap semi konkrit dan akhirnya ke simbol-
simbol pada tahap abstrak.
3. Pembelajaran Matematika menggunakan metode induktif.
Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun karena sesuai tahap
perkembangan mental siswa maka pada pembelajaran Matematika di SD
digunakan pendekatan induktif.
4. Pembelajaran Matematika menganut kebenaran konsistensi.
Kebenaran Matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada
pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya.
Suatu pernyataan dianggap benar jika didasarkan kepada pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang telah diterima kebenarannya. Meskipun di SD
pembelajaran Matematika dilakukan dengan cara induktif tetapi pada jenjang
selanjutnya generalisasi suatu konsep harus secara deduktif.
5. Pembelajaran Matematika hendaknya bermakna.
Pembelajaran secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi pelajaran
yang mengutamakan pengertian daripada hafalan. Dalam belajar bermakna
aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi,
tetapi sebaliknya aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil ditemukan oleh siswa
melalui contoh-contoh secara induktif di SD, kemudian dibuktikan secara
deduktif pada jenjang selanjutnya.
Konsep-konsep Matematika tidak dapat diajarkan melalui definisi, tetapi
melalui contoh-contoh yang relevan. Guru hendaknya dapat membantu
pemahaman suatu konsep dengan pemberian contoh-contoh yang dapat
12
diterima kebenarannya secara intuitif. Artinya siswa dapat menerima
kebenaran itu dengan pemikiran yang sejalan dengan pengalaman yang sudah
dimilikinya. Pembelajaran suatu konsep perlu memperhatikan proses
terbentuknya konsep tersebut.
Dalam pembelajaran bermakna siswa mempelajari Matematika mulai dari
proses terbentuknya suatu konsep kemudian berlatih menerapkan dan
memanipulasi konsep-konsep tersebut pada situasi baru. Dengan pembelajaran
seperti ini, siswa terhindar dari verbalisme, karena dalam setiap hal yang
dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran ia memahaminya mengapa
dilakukan dan bagaimana melakukannya. Oleh karena itu akan tumbuh
kesadaran tentang pentingnya belajar. Ia akan belajar dengan baik.
2.1.4. Model Pembelajaran Quantum Teaching
2.1.4.1. Pengertian
Quantum memiliki arti interaksi yang mengubah energi cahaya. Menurut
Bobby DePorter (2005: 3), “Quantum Teaching adalah penggubahan bermacam-
macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.” Interaksi-
interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi
kesuksesan siswa. Quantum Teaching adalah sebuah strategi pembelajaran yang
bertumpu pada prinsip-prinsip dan teknik-teknik Quantum Learning, yang dalam
pelaksanaannya mendukung prinsip bahwa pembelajaran adalah sebuah sistem.
Persamaan Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Fisika Quantum
yaitu E = .
Keterangan :
E = energi (antusiasme, efektivitas, belajar-mengajar, semangat)
m = massa yaitu potensi diri (semua individu yang terlibat, situasi, materi,
fisik, akal, religi)
c = communication atau interaksi (hubungan yang tercipta di kelas,
optimalisasi komunikasi)
Prinsip model pembelajaran Quantum Teaching yaitu “Bawalah Dunia
Mereka ke dalam Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke dalam Dunia Mereka”.
Prinsip tersebut menuntut guru memasuki dunia siswa sebagai langkah pertama
13
pembelajaran. Selain itu, guru harus membangun jembatan autentik memasuki
kehidupan siswa. Pemanfaatan pengalaman siswa merupakan salah satu cara yang
tepat agar siswa berperan aktif serta peluang bagi guru untuk membangun mindset
siswa. Pembelajaran ini akan memudahkan guru untuk membelajarkan siswa
untuk berfikir secara luas dan menyeluruh, teliti, kritis dan berfikir maju.
2.1.4.2. Prinsip-prinsip Model Pembelajaran Quantum Teaching
Menurut DePorter (2003: 7), Quantum Teaching memiliki lima prinsip,
atau kebenaran tetap. Serupa dengan Asas Utama, Bawalah Dunia Kita ke Dunia
Mereka, Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka, prinsip-prinsip ini
mempengaruhi seluruh aspek Quantum Teaching. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Segalanya berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, dari kertas yang
guru bagikan hingga rancangan pelajaran, semuanya mengirimkan pesan
tentang belajar.
b. Segalanya bertujuan
Semua yang terjadi dalam penggubahan guru mempunyai tujuan.
c. Pengalaman sebelum pemberian nama
Otak manusia berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang
akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik
terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum memperoleh nama
untuk apa yang dipelajari.
d. Akui setiap usaha
Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari
kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, siswa patut mendapat
pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri yang telah diraih.
e. Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan
Perayaaan adalah sarapan pelajar juara. Perayaan memberikan umpan balik
mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.
2.1.4.3. Rancangan Pengajaran Model Quantum Teaching
DePorter (2003: 88-89) kerangka perancangan pengajaran Quantum
Teaching adalah sebagai berikut:
a. Tumbuhkan
Menumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat BagiKu”
(AMBAK) dan memanfaatkan kehidupan siswa.
b. Alami
Menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti
semua siswa. Memberikan pengalaman belajar pada siswa, tumbuhkan
kebutuhan untuk mengetahui.
14
c. Namai
Menamai kegiatan yang dilakukan selama proses belajar mengajar dengan
menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah masukan.
Berikan data, tepat saat minat memuncak.
d. Demonstrasi
Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan bahwa mereka tahu.
Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaitkan pengalaman dengan
data baru, sehingga siswa dapat menghayati sebagai pengalaman pribadi.
e. Ulangi
Menunjuk siswa untuk mengulangi materi dan menegaskan, “Aku tahu bahwa
aku memang tahu ini”.
f. Rayakan
Merayakan atas keberhasilan yang sudah dilakukan oleh siswa sebagai
pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, serta pemerolehan keterampilan dan
ilmu pengetahuan. Perayaan menambatkan belajar dengan asosiasi positif.
2.1.4.4. Faktor yang Mendukung KBM Quantum Teaching
Selain suasana dan kegiatan belajar mengajar, banyak faktor lain yang
ditawarkan dalam Quantum Teaching yang dapat mendukung suksesnya belajar
mengajar, diantaranya adalah:
a. Sifat-Sifat Guru
Sifat-sifat yang hendaknya dimiliki seorang guru adalah antusias, berwibawa,
positif, supel, humoris, luwes, menerima, fasih, tulus, spontan, menarik dan
tertarik, menganggap siswa mampu, menetapkan dan memelihara tanggapan
tinggi. Dalam berinteraksi dengan siswa guru lebih banyak senyum dengan
kelompok berkemampuan tinggi dan banyak ngobrol dengan akrab, gaya
berbicara lebih intelektual, penuh humor, menggunakan kosakata kompleks
dan bertindak lebih matang. Sedangkan dengan kelompok kemampuan rendah,
16 guru-guru yang sama cenderung berbicara lebih keras dan lambat,
menggunakan kosakata dasar dan kalimat mentah, jarang senyum dan
berinteraksi pada tingkat lebih instruksional dan otoriter. Sehingga dapat
dikatakan guru-guru memperlakukan siswa sesuai dengan bunyi cap mereka,
sebagai pelaku akademis tinggi atau rendah.
b. Komunikasi
Ada empat prinsip yang perlu diingat ketika berkomunikasi dengan siswa
ketika kegiatan belajar berlangsung dan memberi petunjuk ataupun
15
memberikan umpan balik, yaitu munculkan kesan, arahkan fokus, inklusif
(bersifat mengajak), dan spesifik (tepat sasaran). Selain itu perlu diperhatikan
pula komunikasi secara nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, gerak
tubuh dan nada suara.
c. Memanfaatkan Peta Pikiran
Quantum Teaching memanfaatkan teknik mencatat yang efektif yang
dinamakan peta pikiran. Peta pikiran adalah teknik mencatat yang didasarkan
pada riset tentang bagaimana cara kerja otak dengan menggunakan citra visual
dan perangkat grafis lainnya. Peta pikiran bermanfaat karena fleksibel,
memusatkan perhatian, meningkatkan pemahaman dan menyenangkan.
2.1.5. Motivasi
2.1.5.1. Pengertian
Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2012: 6), motivasi adalah suatu
proses diinisiasikannya dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada
pencapaian tujuan. Motivasi dapat mempengaruhi apa yang dipelajari, kapan
waktu belajar, dan bagaimana cara belajar. Siswa yang termotivasi mempelajari
sebuah topik cenderung melibatkan diri dalam berbagai aktivitas yang diyakini
akan membantu dirinya belajar, seperti memperhatikan pelajaran secara seksama,
secara mental mengorganisasikan dan menghafal materi yang dipelajari, mencatat
untuk memfasilitasi aktivitas belajar berikutnya, memeriksa level pemahamannya,
dan meminta bantuan ketika dirinya tidak memahami materi tersebut
(Zimmerman dalam Schunk, Pintrich dan Meece, 2012: 7).
Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2012: 6) dalam bukunya Motivasi
dalam Pendidikan, motivasi terdiri dari 2 jenis yaitu:
1. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik mengacu pada motivasi melibatkan diri dalam sebuah
aktivitas karena nilai/manfaat aktivitas itu sendiri (aktivitas itu sendiri
merupakan sebuah tujuan akhir). Individu-individu yang termotivasi secara
intrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka mendapati bahwa tugas-tugas
tersebut menyenangkan.
2. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi melibatkan diri dalam sebuah aktivitas
sebagai suatu cara mencapai sebuah tujuan. Individu-individu yang termotivasi
secara ekstrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka meyakini bahwa
16
partisipasi tersebut akan menyebabkan berbagi konsekuensi yang diinginkan,
seperti mendapatkan hadiah, menerima pujian dari guru, atau terhindar dari
hukuman.
2.1.5.2. Metode Pengukuran
Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2012: 18), motivasi dapat diukur
dengan 3 cara yaitu:
1. Observasi Langsung
Observasi langsung mengacu pada contoh-contoh perilaku dari pilihan
tugas,usaha yang dikeluarkan, dan kegigihan. Berbagai perilaku ini merupakan
indikator motivasi yang valid asalkan hanya melibatkan sedikit inferensi pada
sisi pengamat. Akan tetapi, dengan hanya berfokus pada tindakan yang dapat
diamati, observasi langsung mungkin dangkal (tidak mendalam) dan tidak
sepenuhnya menangkap esensi motivasi. Observasi langsung mengabaikan
mengabaikan proses kognitif dan afektif yang mendasari perilaku termotivasi.
2. Penilaian skala oleh individu lain
Cara lain mengukur motivasi adalah dengan meminta para pengamat (yakni
para guru, para orang tua, para peneliti) melakukan penilaian skala terhadap
siswa pada berbagai karakteristik yang mengidentivikasi motivasi. Contoh
instrument penilaian skala berfokus pada persepsi control dan keterlibatan
siswa dalam pelaksanaan tugas-tugas akademis. Persepsi control siswa diukur
dengan menggunakan sebuah instrument pelaporan diri berisi 50 items, yang
terdiri dari tiga dimensi (keyakinan strategi, keyakinan kapasitas, keyakinan
control). Keterlibatan siswa dalam berbagai aktivitas diukur dengan sebuah
skala berisi 10 items, yakni guru melakukan penilaian skala terhadap siswa-
siswanya perihal observasi di kelas dan suasana emosi.
Salah satu keuntungan penilaian skala oleh individu lain adalah pengamat
mungkin bersikap lebih objektif terhadap siswa, dibandingkan dengan sikap
siswa terhadap dirinya sendiri.
3. Pelaporan diri
Pelaporan diri menangkap penilaian dan pernyataan individu mengenai dirinya
sendiri. Bentuk-bentuk pelaporan diri yaitu:
a. Kuesioner
Kuesioner menyajikan responden dengan item atau berbagai pertanyaan
yang menyakan tentang tindakan dan keyakinan dirinya.
b. Wawancara
Wawancara merupakan sebuah bentuk kuesioner, yakni pewawancara
menyampaikan berbagai pertanyaan atau ide yang hendak didiskusikan, lalu
partisipan menjawab secara lisan.
c. Ingatan kembali yang terstimulasi
Sehubungan dengan ingatan kembali yang terstimulasi, individu
mengerjakan sebuah tugas dan kinerjanya difilmkan, yang sesudahnya ia
menonton filmnya dan mencoba mengingat kembali pemikirannya pada
waktu-waktu pengerjaan tugas yang berbeda.
17
d. Penyuaraan pemikiran
Penyuaraan pemikiran mengacu pada verbalisasi pemikiran, tindakan, dan
emosi siswa sambil mengerjakan sebuah tugas.
e. Dialog
Dialog merupakan percakapan di antara dua atau lebih individu.
2.1.6. Hasil Belajar
2.1.6.1. Pengertian
Menurut Purwanto (2008:46) hasil belajar adalah perubahan perilaku
seseorang akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena dia mencapai
penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar.
Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu
dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2009:250) hasil belajar merupakan
hasil proses belajar atau proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan suatu bukti keberhasilan yang diperoleh siswa setelah siswa
melakukan proses belajar. Hasil belajar dapat berupa nilai, angka, atau huruf.
Semakin tinggi nilai atau angka atau huruf maka semakin tinggi juga hasil dari
belajar siswa.
2.1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Sudjana (2011:39) mengemukakan bahwa hasil belajar yang dicapai oleh
siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni dari faktor dari dalam siswa itu sendiri
dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau lingkungan. Faktor yang datang
dari dalam diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan
siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai.
Seperti dikemukakan Clark dalam Sudjana (2011:39) bahwa hasil belajar
siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi
oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada
faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan
belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.
18
2.2. Penelitian yang Relevan
Tabel 2.1
Penelitian yang Relevan
No Nama,
Tahun
Judul Hasil
1 Dyah Ayu
Poncowati
(2010)
Peningkatan Aktivitas
Belajar PKn melalui
Pendekatan Quantum
Teaching dengan
Metode Permainan
Simulasi Beberan pada
Siswa Kelas X A1
(Akuntansi) SMK
Negeri Pati Semester
Gasal 2010/2011
- Meningkatkan aktivitas
belajar siswa dari 17,95%
menjadi 86,83%,
- Meningkatkan ketuntasan
hasil belajar dengan KKM
7,00
- Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran berlangsung
dalam suasana yang
menyenangkan.
2 Tatik
Harwining
(2010)
Penerapan Model
Quantum Teaching
pada Pembelajaran IPS
untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa
Kelas 4 Semester II
Kecamatan Mojotengah
Kabupaten Wonosobo
Tahun Ajaran
2010/2011
Peningkatan ketuntasan hasil
evaluasi dari tiap siklus pada
pembelajaran materi sumber
daya alam dan kegiatan
ekonomi. Peningkatan
ketuntasan tersebut terjadi
secara bertahap. Pada
kondisi awal KKM yang
ditentukan oleh sekolah
yaitu 60, ketuntasan belajar
siswa hanya mencapai 22%
yaitu dari 22 siswa hanya
terdapat 5 siswa yang telah
tuntas dalam belajar dengan
rata-rata nilai 53. Setelah
19
melaksanakan siklus I dan
siklus II serta adanya
perbaikan, ketuntasan belajar
mencapai 100%.
3 Z. M.
Zaenuri
(2009)
Upaya Meningkatkan
Prestasi Belajar IPA
dengan Model
Quantum Teaching
SiswaKelas VI Sekolah
Dasar Negeri 1
Kawasan Kec. Juwiring
Kab. Klaten Tahun
Pelajaran 2009/2010
Peningkatan prestasi belajar
yang signifikan pada
signifikansi 5%
dibandingkan dengan saat
dilaksanakan pembelajaran
dengan menggunakan model
ekspositori.
Dari dua penelitian terdahulu membuktikan bahwa model pembelajaran
Quantum Teaching dapat membantu proses pembelajaran untuk meningkatkan
hasil belajar siswa. Mengacu pada penelitian terdahulu, maka peneliti ingin
melakukan penelitian lagi dengan menggunakan model yang pembelajaran yang
sama. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan antara penelitian yang
dilakukan kali ini, dengan penelitian-penelitian terdahulu.
Perbedaan tersebut pertama bahwa pada penelitian terdahulu, para peneliti
belum memasukkan variabel motivasi belajar sebagai salah satu variabel yang
diteliti. Artinya bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Quantum
Teaching, peneliti menduga tidak hanya dapat meningkatkan hasil belajar namun
juga dapat meningkatkan motivasi siswa. Kedua, subyek penelitian. Pada
penelitian terdahulu subyek penelitiannya adalah siswa dari sekolah yang berbeda.
Penulis berasumsi bahwa perbedaan subyek, merupakan faktor lain yang akan
mempengaruhi prestasi belajar. Situasi sekolah yang berbeda, fasilitas yang
berbeda, tantangan masyarakat yang berbeda, demikian juga pola asuh dari
orangtua yang berbeda karena budaya yang berbeda tentu berkontribusi terhadap
hasil belajar siswa. Karena itu, dengan memilih subyek penelitian yaitu siswa
20
kelas 4A SD Negeri Sidogemah 2, peneliti bermaksud menerapkan model
pembelajaran Quantum Teaching dalam meningkatkan hasil belajar Matematika
dan motivasi siswa.
2.3. Kerangka Berfikir
Bagi sebagian siswa Matematika bukanlah mata pelajaran yang
menyenangkan, bahkan ada yang menganggapnya sebagai pelajaran yang
menakutkan. Oleh karena itu, pembelajaran Matematika harus dibuat menarik dan
menyenangkan dengan metode yang inovatif yang mudah dipahami siswa
sehingga mereka menyukai Matematika. Namun fakta di lapangan berbeda.
Pembelajaran lebih didominasi oleh guru. Guru mengajar dengan menerangkan,
memberi contoh soal, dan memberi soal pada siswa. Hal ini membuat
pembelajaran menjadi menjenuhkan, membuat siswa tidak bersemangat, keaktifan
siswa kurang, dan prestasi belajar siswa menjadi rendah.
Sebagai seorang guru haruslah peka terhadap kondisi yang terjadi dalam
kegiatan pembelajaran. Guru dituntut professional dalam melaksanakan proses
belajar yang baik dan bermakna. Oleh karena itu, guru harus memilih dan
mengkolaborasi model pembelajaran sesuai dengan materi yang akan diajarkan.
Pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat memperlancar proses
pembelajaran sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. Manfaat lainnya adalah
hasil belajar siswa meningkat.
Quantum Teaching merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk
mengaktifkan pembelajaran. DePorter (2003:3), Quantum Teaching adalah
penggubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Quantum Teaching
juga menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan
momen belajar. Pemanfaatan dan eksplorasi siswa dan lingkungan secara tepat
dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar secara maksimal.
21
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir Model Quantum Teaching
pada Pembelajaran Matematika
Kondisi Awal
Kondisi Akhir
Tindakan
GURU:
Masih Menggunakan
metode ceramah
Melalui implementasi model pembelajaran Quantum
Teaching diduga dapat meningkatkan motivasi dan hasil
belajar Matematika pada siswa kelas 4A semester II SD
Negeri Sidogemah 2.
Kelebihan Quantum
Teaching:
- Siswa lebih
memahami materi
melalui langkah-
langkah TANDUR
- Mengajarkan siswa
untuk lebih percaya
diri dan lebih aktif
- Memotivasi siswa
untuk
mengembangkan
potensinya
- Setiap potensi yang
dimiliki siswa
dihargai
SISWA:
Motivasi dan hasil
belajar siswa rendah
Menerapkan model
pembelajaran
Quantum Teaching
Kerangka Pengajaran:
a. Tumbuhkan
b. Alami
c. Namai
d. Demonstrasi
e. Ulangi
f. Rayakan
22
2.4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis tindakan
adalah sebagai berikut.
Melalui implementasi model pembelajaran Quantum Teaching diduga dapat
meningkatkan motivasi dan hasil belajar Matematika pada siswa kelas 4A
semester II SD Negeri Sidogemah 2.