Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dibedakan menjadi dua: kajian pustaka terhadap objek
material penelitian dan kajian pustaka terhadap objek formal penelitian. Kajian
pustaka terhadap objek material penelitian memaparkan sekilas berbagai aspek
kajian yang telah dilakukan terhadap BMK dan BI, khususnya yang berhubungan
dengan KVB. Kajian pustaka terhadap objek formal penelitian memaparkan
sekilas kajian lintas bahasa yang berhubugan dengan KVB. Temuan-temuan yang
dipaparkan di dalam kajian pustaka ini diharapkan dapat dipakai pijakan untuk (1)
mengetahui temuan-temuan yang telah dicapai; (2) menunjukkan signifikansi
penelitian ini terkait dengan penelitian-penelitian sejenis sebelumnya; dan (3)
memanfaatkan hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan kajian ini.
Perhatian para ahli bahasa, terutama para linguis Barat, terhadap bahasa
Melayu (selanjutnya disingkat BM) sudah sejak lama dan menunjukkan perhatian
yang cukup tinggi. Ada sekitar 150-an karya tentang BM yang ditulis tahun 1600-
an sampai dengan tahun 1900-an, baik yang berhubungan dengan masalah bahasa
maupun sastra (Hollander, 1984: 331--347). Karya-karya itu sebagian besar ditulis
dalam bahasa Belanda. Karya-karya yang berhubungan dengan masalah
kebahasaan sebagian besar berupa kamus dwibahasa. Sebagian lagi berupa
pengajaran bahasa dan tata bahasa. Penulisan tata BM pun ketika itu lebih
termotivasi sebagai pelajaran BM sehingga sistematika dan sudut pandang
penulisan pun dipengaruhi oleh tradisi penulisan tata bahasa klasik yang sedang
19
berkembang ketika itu di Barat. Di antara karya-karya tata bahasa, empat di
antaranya dinilai cukup lengkap pada zamannya dan dikenal tidak hanya oleh
generasi terdahulu di Indonesia, tetapi juga oleh generasi baru karena
ketersediannya di dalam bahasa Indonesia: Tata Bahasa Melayu oleh Ophuijsen
(1983), Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu oleh Hollander (1984), Tata Bahasa
Melayu oleh Wijk (1985), dan Kitab jang Menjatakan Djalannja Bahasa Melajoe
oleh Sasrasoeganda (1986). Tiga karya yang disebutkan pertama merupakan karya
terjemahan, sedangkan satu karya terakhir merupakan karya yang disusun oleh
orang Melayu yang dalam bentuk aslinya juga ber-BM. Di antara karya-karya
klasik ini, hanya karya Hollander (1984) dan Sasrasoeganda (1986) yang
berkaitan dengan kajian KVB BMK.
Hollander (1984: 207) menggunakan istilah predikat pokok dan predikat
pelengkap terkait dengan KVB di dalam BMK. Istilah predikat pokok dan
predikat pelengkap dipakai sehubungan dengan satu kalimat sempurna yang
predikat-predikatnya semata-mata berdampingan tanpa dirangkaikan oleh
konjungsi seperti contoh berikut.
(1) Kerâ itoe-pon kedinginan gemetar-lah segala toeboeh-nja.
kera PRON-PAR PAS-dingin gemetar-PAR sekujur badan-PAR
„Kera itu pun kedinginan gemetarlah sekujur badannya‟
(2) Pada soewâtoe kedej di mâna orang men-djoeal
PREP suatu warung PREP tempat orang AKT-jual (Vtr)
tepoeng ija mem-beli tepoeng mem-boeboeh tepoeng
tepung 3T AKT-beli (Vtr) tepung AKT-taruh (Vtr) tepung
itoe dâlam soewâtu kâroeng
PRON PREP suatu karung
„Di suatu kedai di tempat orang menjual tepung, ia membeli tepung
menaruh tepung itu di dalam karung‟
(3) Hambâ-mu pergi mem-poekat pada soengej
hamba-PAR pergi (Vitr) AKT-jaring (Vitr) PREP sungai
20
ini me-lâboeh poekat pada koewala soengej ini,….
PRON AKT-turun (Vtr) jaring PREP muara sungai PRON, ….
„Hambamu pergi menjaring di sungai ini menurunkan jaring di muara
sungai ini, …‟
(4) Maka di-lihat-nja âda orang djâtoeh ka-dâlam
KONJ PAS-lihat-PAR ada (Vitr) orang jatuh (Vitr) PREP-dalam
loebang itoe handaq nâjiq tijâda bôleh.
lubang PRON hendak naik (Vitr) tidak bisa (Vitr)
„(maka) dilihatnya ada orang jatuh ke dalam lubang itu hendak naik
tidak bisa‟
(5) Me-nengar warta itu segal ôrang dâlam negeri
AKT-dengar (Vtr) berita PRON semua orang dalam negeri
Mekah pon tâkoet-lah.
mekah PAR takut-PAR
„Mendengar berita itu semua orang di dalam negeri Mekah pun
takutlah.‟
(6) Maka segala Arab isi negeri Mekah samoewâ-nja
KONJ semua NAMA isi negeri NAMA semua-PAR
hejran-lah me-nengar kâta itoe.
heran-PAR AKT-dengar (Vtr) kata itu
„(Maka) semua (orang) Arab isi negeri Mekah semuanya heran(lah)
mendengar kata itu.‟
(7) Pergi-lah kâmoe segerah tangkap bâwa
pergi (vitr)-PAR 2T segera tangkap (Vtr) bawa (Vtr)
kapadâ-koe.
kepada-PAR
„Pergilah kamu segera menangkap membawa (seseorang) kepadaku.‟
Kutipan contoh (1)--(7) dikelompokkan Hollander sebagai satu kalimat
sempurna yang predikat-predikatnya (predikat pokok dan predikat pelengkap)
berdampingan tanpa dirangkaikan oleh konjungsi dan bersubjek sama.
Pandangannya ini cukup maju pada zamannya karena predikat-predikat
berdampingan atau verba-verba beruntun seperti contoh (1)--(7) yang
diidentifikasi sebagai “satu kalimat sempurna” selaras dengan salah satu
karakteristik KVS yang dikenal dalam linguistik mutakhir, yakni verba-verba
beruntun dalam konstruksi serial diidentifikasi sebagai klausa tunggal. Parameter
lain untuk menentukan apakah sebuah konstruksi dapat diidentifikasi sebagai
21
KVS atau bukan dan bagaimana implikasi semantis dari predikat-predikat
berdampingan atau verba-verba beruntun itu belum dibahas oleh Hollander.
Hollander (1984: 207) dengan tegas menyatakan, “Bila subyek tatabahasa
pada dua predikat berbeda, maka sebenarnya dua predikat itu sebenarnya dua
kalimat yang berbeda dan konjungsi di antaranya [...] dihilangkan”. Ia
memberikan contoh seperti kutipan di bawah ini.
(8) Djeka kau-laloe-i seperti titah-koe ini
KONJ 2T-jalan-AKT PREP perintah-PAR PRON
bangkit-lah âkoe deri negeri Mekah ini
bangkit-PAR 1T PREP negeri NAMA PRON
koe datang i angkau ka-negeri-moe.
PAR-datang-AKT (Vtr) 2T PREP-negeri-PAR
„Jika kau berjalan seperti perintahku ini, bangkitlah aku dari negeri
Mekah ini kudatangi engkau ke negerimu.‟
(9) Maka ber-lâri-lâri Omar Omanija dâtang
KONJ AKT-lari-lari (Vitr) NAMA datang (Vitr)
meng-ikat dija di-bawâ-nja kepada lasjkar-nja.
AKT-ikat (Vtr) 3T PAS-bawa-PAR PREP lascar-PAR
„(Maka) berlari-lari Omar Omaniya datang mengikat dia dibawanya
kepada pasukannya.‟
(10) Maka râdja Sjâh Riar kaloewar-lah deri dâlam
KONJ raja NAMA keluar (Vitr)-PAR PREP dalam
kotâ-nja di-bawa-nja ber-bagej-bagej per-hijâs-an
kota-PAR PAS-bawa-PAR AKT-macam-macam (Vtr) N-hias
deri pada emas dan pejraq
PREP emas KONJ perak
„(Maka) raja Syah Riar keluar(lah) dari dalam kotanya dibawanya
bermacam-macam perhiasan dari emas dan perak.‟
Kutipan contoh (8)--(10), karena subjek tata bahasa pada dua predikat
berbeda, dikelompokkan Hollander sebagai dua kalimat. Pandangannya ini selaras
dengan pandangan linguistik mutakhir bahwa verba-verba beruntun yang masing-
masing memilki subjeknya sendiri-sendiri digolongkan sebagai konstruksi
biklausal atau KKK. Hollander tidak mencermati bagaimana kalau subjek tata
bahasa sama, tetapi ada konstituen kebahasaan seperti negator, aspek, atau
22
modalitas untuk V2 atau berposisi di antara V1 dan V2, apakah dapat diidentifikasi
sebagai konstruksi monoklausal seperti data (1)--(7) atau sebagai konstruksi
biklausal seperti data (8)--(10)? Hollander juga tidak mengamati bagaimana tipe
hubungan antarklausa dan jenis hubungan semantis antarklausa berkenaan dengan
data (8)--(10).
Sasrasoeganda (1917; 1986) menyajikan beberapa contoh KVB, tetapi lebih
tertarik pada analisis jenis hubungan semantis di antara verba-verba itu.Verba
berawalan meng-, mengoenjoengi (11) dan menoedjoe (12), menyatakan maksud
verba sebelumnya, datang (11) dan berdjalan (12).
(11) Saja datang me-ngoenjoeng-i toean.
1T datang (Vitr) AKT-kunjung (Vtr) tuan
„Saya datang mengunjungi tuan‟.
(12) Ia ber-djalan me-noedjoe matahari mati.
3T AKT-jalan (Vitr) AKT-tuju (Vtr) matahari terbenam
„Dia berjalan menuju matahari terbenam‟.
Ia juga mencontohkan penggunaan verba berawalan meng- yang didahului verba
menjoeroeh dan menitahkan yang digolonglan sebagai verba-verba yang
menyatakan „maksud‟ seperti data (13) dan (14
(13) Padoeka Soeltan me-njoeroeh me-manggil toean hamba
paduka sultan AKT-suruh (Vtr) AKT-panggil (Vtr) tuan hamba
„Paduka Sultan menyuruh memanggil tuan hamba‟.
(14) Toean Deandles me-nitah-kan me-nanam-i goenoeng
tuan NAMA AKT-titah (Vtr) AKT-tanam (Vtr) gunung
Mégamendoeng dengan ber-bagai-bagai tanam-an.
NAMA PREP AKT-macam-macam (Vtr) tanam-N
„Tuan Deandles menitahkan menanami Gunung Megamendung dengan
bermacam-macam tanaman‟.
Contoh KVB lain yang dikemukanan adalah verba minta dan mohon. Verba-verba
ini, masih dalam kerangka makna yang menyatakan „maksud‟, dapat diikuti oleh
verba berawalan di- atau verba tanpa di-/meng- seperti data (15)--(17).
23
(15) Hamba minta di-beri-kan boeah-boeah jang
1T minta (Vtr) PAS-beri buah-buah KONJ
ter-boeang itoe.
PAS-buang PRON
„Hamba minta diberikan buah-buah yang terbuang itu‟.
(16) Kami minta berikan boeah nangka ini
1J minta (Vtr) beri-AKT (Vtr) boeah nangka PRON
kepada Toean Hadji Ibrahim
PREP tuan NAMA
„Kami minta memberikan buah nangka ini kepada Tuan Haji Ibrahim‟.
(17) Anak-anda pohon-kan kakanda di-kawin-kan kepada
anak-2T pohon-AKT (Vtr) kakanda PAS-kawin PREP
Baharam itoe.
NAMA PRON
„Ananda memohonkan kakanda dikawinkan kepada Baharam itu‟.
Dengan data KVB (11)--(17), Sasrasoeganda tidak menganalisis bagaimana
status verba-verba itu, apakah mendukung satu konstuksi monoklausal atau
berupa konstruksi biklausal. Ia juga tidak mencoba mengidentifikasi jenis
hubungan makna lain antarverba itu selain menyatakan makna „maksud.
Sariyan (dalam Karim, 1988: 63--94), dengan menerapkan teori linguistik
transformasi generatif, hanya mengupas KVB di dalam BMK dalam perspektif
melihat kesinambungan konstruksi itu di dalam BM modern. Sariyan tidak
mencoba mengupas lebih dalam bagaimana hubungan (baik gramatikal maupun
makna) satu klausa dengan klausa lainnya. Sariyan juga tidak mempersoalkan
apakah semua verba dalam posisi berurutan termasuk KKK atau ada kemungkinan
dapat diinterpretasikan sebagai KVS (kalimat berklausa tunggal)?
Tulisan Cumming (1995) yang mengkaji posisi agen di dalam Sejarah
Melayu berkaitan erat dengan kajian KVB di dalam BMK. Kaitan itu tidak hanya
kesamaan dalam hal pemilihan Sejarah Melayu sebagai sumber data, juga dalam
hal melihat berbagai tipe hubungan gramatikal antarklausa.
24
Kendatipun Cumming (1995) memfokoskan pembahasan tentang posisi
agen di dalam kalimat transitif, pada bagian lain tulisannya juga terdapat bahasan
sekilas tentang tipe kombinasi klausa di dalam BMK. Sebagaimana telah disitir
sekilas di bagian latar belakang (1.1), di sini dikutip ulang bahasan kombinasi
klausa di dalam tulisan Cumming (1995) secara lebih lengkap. Cumming (1995:
54--55) mengemukan ada lima tipe kombinasi klausa: klausa relatif (relative
clauses), verba serial (serial vebs), klausa komplemen (complement clauses),
klausa adverbial (adverbial clauses), dan klausa konjoin (conjoined clauses).
Empat tipe kombinasi klausa yang disebutkan pertama sangat relevan dengan
kajian KVB BMK. Satu tipe yang terakhir, klausa konjoin, tidak dibahas lebih
lanjut karena tipe ini berpemarkah penggunaan konjungsi di awal kedua
klausanya.
(18) Maka tumpat-lah rupa laut itu daripada ke-banyak-an
KONJ penuh (Adj)-PAR keadaan laut PRON KONJ N-banyak
perahu orang yang meng-iring-kan baginda itu (klausa relatif)
perahu orang KONJ AKT-iring (Vtr) baginda PRON
„(Maka) penuhlah keadaan laut itu karena kebanyakan perahu orang
yang mengiringi baginda itu‟.
(19) Maka Bat ber-diri me-muji Sang
KONJ NAMA AKT-diri (Vitr) AKT-puji (Vtr) ART
Suparba (verba serial)
NAMA
„(Maka) Bat berdiri memuji Sang Suparba‟.
(20) ..., maka baginda ber-kira-kira hendak me-lihat
…, KONJ baginda AKT-kira-kira (Vitr) hendak AKT-lihat (Vtr)
laut (klausa komplemen)
laut
„(…, maka) Baginda kira-kira hendak melihat laut‟.
(21) Maka Wan Empo‟ dan Wan Malini pun heran
KONJ tuan NAMA KONJ tuan NAMA PAR heran (Adj)
me-lihat hal yang demikian itu (klausa adverbial)
AKT-lihat (Vtr) hal KONJ demikian PRON
„(Maka) Tuan Empo‟ dan Tuan Malini pun heran melihat hal yang
demikian itu‟.
25
(22) Telah pagi hari di-lihat-nya puteri itu kedal tulah
KONJ pagi hari PAS-lihat-PAR putri PRON sakit kulit kutukan
sebab di-jamah baginda itu (klausa adverbial)
KONJ PAS-jamah baginda PRON
„Setelah pagi hari, dilihatnya putri itu sakit kulit kutukan karena
dijamah baginda itu‟.
(23) Setelah ular itu me-lihat manusia datang,
KONJ ular PRON AKT-lihat (Vtr) manusia datang (Vitr)
maka ia pun meng-gerak diri-nya. (klausa konjoin)
KONJ 3T PAR AKT-gerak (Vtr) diri-PAR
„Setelah ular itu melihat manusia datang, (maka) ia pun menggerakkan
dirinya.‟
Cumming (1995) hanya mengemukakan contoh berbagai tipe kombinasi klausa.
Dari contoh-contoh yang dikemukakan itu, timbul berbagai persoalan yang perlu
didalami.
Klausa relatif (18) dimarkahi oleh konjungsi yang sebagaimana lazimnya
juga di dalam bahasa Indonesia kini. Persoalan yang muncul dari contoh ini
adalah selalukah yang muncul sebagai pemarkah klausa relatif? Mungkinkah yang
sebagai pemarkah klausa relatif bisa bersifat opsional di dalam BMK seperti
halnya di dalam bahasa Indonesia (24)?
(24) Orang (yang) ber-diri dengan pakai-an se-ragam
orang (KONJ) AKT-diri (Vitr) PREP pakai-N NUM-ragam
itu adalah anggota militer (penulis)
PRON Ada (Vitr)-PAR anggota militer
„Orang yang berdiri dengan pakaian seragam itu adalah anggota
militer.‟
KVS (19) juga memunculkan beberapa persoalan yang perlu didalami.
Mengapa Cumming (1995) memasukkan KVS sebagai bagian kombinasi klausa?
Bukankah KVS dalam pengertian yang umumnya dianut, dengan sejumlah
cirinya, berstatus sebagai sebuah klausa yang menggambarkan satu peristiwa?
Kalau contoh (19) memenuhi syarat sebagai KVS, perlu ada kriteria yang jelas
untuk membedakan KVS (satu klausa) dengan KKK di dalam BMK.
26
Klausa komplemen (20) juga memunculkan persoalan yang perlu didalami.
Apakah klausa komplemen selalu tanpa pemarkah komplemen (pengomplemen)
di dalam BMK? Apakah pengomplemennya dapat dieksplisitkan (bersifat
opsional) seperti contoh di dalam bahasa Indonesia (25)
(25) Duta besar itu menekankan (bahwa) pemerintahnya akan membantu
sepenuhnya peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesan.
Klausa adverbial (21) yang tanpa konjungsi dan (22) yang menggunakan
konjungsi sebab juga menarik untuk didalami. Konstruksi yang bagaimana harus
tanpa konjungsi, wajib menggunakan konjungsi, atau mungkin ada juga
konstruksi yang menggunakan konjungsi secara opsional?
Beberapa karya di dalam bahasa Indonesia yang memiliki relevansi dengan
kajian KVB di dalam BMK perlu diungkap juga di sini karena BMK dan bahasa
Indonesia sesungguhnya bahasa yang sama yang berada pada kurun waktu yang
berbeda. Beberapa karya yang dibahas di dalam tulisan ini adalah karya Fokker
(1950, 1979), Slametmuljana (1969), Kridalaksana (1985, 1988), Lapoliwa
(1990a, 1990b) dan Alwi dkk. (1993).
Fokker (1979: 111--142) tidak secara eksplisit membahas KVB dalam
bahasa Indonesia. Beberapa contoh yang dikemukakan sesungguhnya terkait
dengan KVB. Contoh-contoh itu ditemukan terkait dengan topik bahasan kalimat
luas I dan II.
Pada pembahasan kalimat luas I Fokker membicarakan berbagai relasi
antarunsur pembentuk kalimat. Relasi-relasi itu dapat bersifat implisit dan
eksplisit. Konstruksi KVB dalam bahasa Indonesia terkait dengan relasi temporal
(26a), relasi kausal (27a), dan relasi sirkumstansiil (28a) yang bersifat implisit.
27
Semua relasi implisit ini dapat dijadikan relasi eksplisit seperti contoh (26b),
(27b), dan (28b).
(26) a. Belum mendapat jawaban, dia sudah menoleh.
b. Ketika belum mendapat jawaban, dia sudah menoleh.
(27) a. Agak malu dia, ketahuan tipu dayanya.
b. Agak malu dia karena ketahuan tipu dayanya.
(28) a. Tak berkata sepatah jua, ia menoleh.
b. Dengan tak berkata sepatah jua, ia menoleh.
Relasi yang dikemukakan Fokker hanya bersifat semantis. Unsur-unsur yang
berelasi, apakah kata/frasa atau klausa, tidak dibahas. Relasi gramatikal, apakah
bersifat koordinatif atau subordinatif, juga luput dari perhatian Fokker. Ihwal
unsur yang mengalami pelesapan dan bagaimana mekanisme pelesapan itu terjadi
juga belum mendapat perhatian.
Pada pembahasan kalimat luas II Fokker membicarakan tiga hal yang terkait
dengan KVB dalam bahasa Indonesia. Ketiga hal itu meliputi kalimat luas rapatan
dengan subjek sama, kalimat luas rapatan dengan subjek berbeda, dan relasi
bagian-bagian predikat.
Kalimat luas rapatan dengan subjek sama dibentuk dari dua kalimat setara
yang dirapatkan dengan cara elips (29a-b). Kedua kalimat setara itu dapat
dirapatkan menjadi satu kalimat luas dengan cara meneruskan suara dan
membatalkan jeda untuk sebagian atau untuk seluruhnya (30). Kesetaraan
hubungan antarpredikat juga terlukis di dalam kalimat (30).
(29) a. Penduduk banyak merantau.
b. Penduduk mencari rezeki di negeri lain.
(30) Penduduk banyak merantau, mencari rezeki di negeri lain
a b
S P
28
Bagian (a) dan (b) pada (30) bukanlah kalimat yang berdiri sendiri, melainkan
berfungsi sebagai bagian-bagian dari kesatuan yang lebih besar sehingga kalimat
(29b) menjadi bagian dari predikat (a). Tidak terlampau jelas mengapa Fokker
menyebut (b) merupakan bagian dari (a) karena sangat jelas pada gambar itu
bahwa (b) berhubungan koordinatif dengan (a) di bawah payung P (predikat).
Lebih lanjut, Fokker mengidentifikasi hubungan (a) dan (b) sebagai hubungan
yang longgar karena dipisahkan oleh jeda. Kerap ada juga bagian (a) dan (b)
memiliki hubungan lebih rapat seperti (31), (32), dan (33) karena bagian (a) dan
(b) tidak dapat diputuskan seperti (30) menjadi (29a-b).
(31) Pintu pagar ke-dengar-an di-buka-kan.
pintu pagar PAS-dengar PAS-buka
„Pintu pagar kedengaran dibukakan.‟
(32) Laki-laki itu ke-lihat-an bodoh.
laki-laki PRON PAS-lihat bodoh.(Adj
„Laki-laki itu kelihatan bodoh.‟
(33) Amat sudah pergi men-cari anak-nya.
NAMA sudah pergi (Vitr) AKT-cari (Vtr) anak-PAR
„Amat sudah pergi mencari anaknya.‟
Fokker tidak mempertimbangkan karakteristik atau ciri semantik (verba) predikat
yang menjadi bagian konstruksi rapatan itu. Padahal, ciri itu tampaknya yang
menentukan kelonggaran atau kerapatan hubungan antara (a) dan (b).
Fokker juga mengemukakan gejala ke arah rapatan kalimat yang ditandai
oleh kata kerja suruh dan minta. Setelah kata-kata untuk perintah dan permohonan
itu, bentuk kata kerja yang mengikuti tidak berawalan meng-: (34), (35), dan (36).
Kalau orang yang mendapat tugas sebagai titik permulaan, bentuk kata kerja yang
mengikuti berawalan meng- (37).
(34) Kampung halaman di-suruh-nya bakar.
kampung halaman PAS-suruh-PAR bakar (V)
„Kampung halaman disuruhnya bakar.‟
29
(35) Makan-an dan minum-an saya suruh sedia-kan.
makan-N KONJ minum-N 1T suruh (V) sedia-AKT
„Makanan dan minuman saya suruh sediakan.‟
(36) Ia minta pasang-kan lentera.
3T minta (Vtr) pasang-AKT lentera.
„Ia minta pasangkan lentera.‟
(37) Orang itu di-suruh-nya mem-beli beras.
Orang PRON PAS-suruh-PAR AKT-beli (Vtr) beras.
„Orang itu disuruhnya membeli beras.‟
Tidak ada penjelasan lebih lanjut bagaimana konstruksi itu dibangun. Fokker juga
tidak mempersoalkan implikasi apa yang timbul apabila bentuk verba disuruh atau
suruh menjadi menyuruh. Demikian juga dengan verba minta menjadi diminta.
Hal serupa juga terjadi berkaitan dengan verba kedua yang berawalan ber- yang
dikombinasikan dengan verba diberi (38), (39), dan (40).
(38) Tempat yang ber-pagar itu biasa-nya tidak
tempat KONJ AKT-pagar (Vitr) PRON biasa-PAR tidak
di-beri ber-atap.
PAS-beri AKT-atap (Vitr)
„Tempat yang berpagar itu biasanya tidak diberi beratap.‟
(39) Mata pancing itu di-beri ber-tali se-panjang-panjang-nya.
mata pancing PRON PAS-beri AKT-tali (Vitr) N-panjang-panjang
„Mata pancing itu diberi bertali sepanjang-panjangnya.‟
(40) Tempat tidur di-beri sulasmi ber-seperai dari
tempat tidur PAS-beri NAMA AKT-seprai (Vitr) PREP
sutera putih.
sutra putih
„Tempat tidur diberi Sulasmi berseprai dari sutra putih.‟
Fokker juga mengelompokkan beberapa kalimat berikut sebagai konstruksi
koordinatif. Padahal, kalimat-kalimat berikut dapat juga ditafsirkan sebagai
konstruksi subordinatif. Memang, diperlukan parameter yang tepat untuk KVB
seperti berikut apakah digolongkan sebagai konstruksi koordinatif atau
subordionatif.
(41) Ia di-larang tidak boleh me-rokok. 3T PAS-larang tidak boleh AKT-rokok (Vitr)
30
„Ia dilarang dan tidak boleh merokok.‟
(42) Karangan-karangan itu akan di-cetak di-jadi-kan buku.
karangan-karangan PRON akan PAS-cetak PAS-jadi buku
„Karangan-karangan itu akan dicetak dan dijadikan buku.‟
(43) Anak-nya di-masuk-kan bel-ajar pada sekolah
anak-PAR PAS-masuk AKT-ajar (Vitr) PREP sekolah
per-tukang-an.
N-tukang
Anaknya dimasukkan dan belajar pada sekolah pertukangan.
(44) Anak-anak ber-sorak-sorak me-nyata-kan gembira
anak-anak AKT-sorak-sorak (Vitr) AKT-nyata (Vtr) gembira
hati-nya.
hati-PAR
„Anak-anak bersorak-sorak dan menyatakan gembira hatinya.‟
Kalimat luas rapatan dengan subjek berbeda dikemukakan Fokker dengan
menggunakan contoh kalimat (45a-b) yang dirapatkan menjadi satu kalimat luas
rapatan (46).
(45) a. Saya mendengar anak anak sekolah.
b. Sedang bernyanyi.
(46) Saya men-dengar anak-anak sekolah sedang ber-nyanyi.
1T AKT-dengar (Vtr) anak-anak sekolah sedang AKT-nyanyi (Vitr)
„Saya mendengar anak-anak sekolah sedang bernyanyi.‟
Istilah dirapatan yang digunakan Fokker tampaknya identik dengan istilah
digabungkan. Perlu dipertimbangkan bahwa kalimat (46) mungkin juga berasal
dari gabungan kalimat (a) dan (b) seperti (47a-b), tidak seperti (45 a-b).
(47) a. Saya mendengar (sesuatu).
b. (sesuatu) Anak-anak sekolah sedang bernyanyi.
Fokker juga tidak memberi komentar apakah konstruksi semacam ini memiliki
relasi koordinatif atau subordinatif. Beberapa contoh sejenis juga dikemukakan
seperti berikut ini.
(48) Saya dapat-i mereka sedang makan.
1T dapat-AKT (Vtr) 3J sedang makan (Vitr)
„Saya mendapati mereka sedang makan.‟
31
(49) Ia mem-biar-kan anak-nya ber-jalan-jalan ke
3T AKT-biar (Vtr) anak-PAR AKT -jalan-jalan (Vitr) PREP
mana-mana.
mana-mana.
„Ia membiarkan anaknya berjalan-jalan ke mana-mana.‟
(50) Bencana alam me-nyebab-kan penduduk lari semua-nya.
bencana alam AKT-sebab (Vtr) penduduk lari (Vitr) semua-PAR
„Bencana alam menyebabkan penduduk lari semuanya.‟
(51) Saya me-neman-i gadis itu pulang.
1T AKT-teman (Vtr) gadis PRON pulang (Vitr)
„Saya menemani gadis itu pulang.‟
(52) Jarang saya me-lihat orang itu marah.
jarang 1T AKT-lihat (Vtr) orang PRON marah (Adj)
„Jarang saya melihat orang itu marah.‟
(53) Mereka me-mandang bangsa itu rendah.
3J AKT-pandang (Vtr) bangsa PRON rendah (Adj)
„Mereka memandang bangsa itu rendah.‟
Lebih lanjut, dikatakannya bahwa banyak kalimat setara yang pada satu
pihak tidak bergantung dan pada pihak lain pula saling bergantung sesamanya.
Contoh (26)--(53) di atas digolongkan sebagai relasi bagian-bagian predikat yang
tidak bergantung, sedangkan contoh (54a), (55a), dan (56a) berikut digolongkaan
sebagai relasi bagian-bagian predikat yang saling bergantung.
(54) a. Itu semua-nya telah kita timbang kita
PRON semua-PAR telah 1J timbang (V) 1J
pikir-kan dengan pikir-an kita sendiri.
pikir-AKT (V) PREP pikir-N 1J sendiri
„Itu semuanya telah kita timbang kita pikirkan dengan pikiran kita
sendiri.‟
(55) a. Badan-nya meng-gigil ke-dingin-an.
badan-PAR AKT-gigil (Vitr) PAS-dingin
„Badannya menggigil kedinginan.‟
(56) a. Kita leluasa datang ke rumah-nya.
1J leluasa (Adj) datang (Vitr) PREP rumah-PAR
„Kita leluasa datang ke rumahnya.‟
Menurut Fokker, ketiga kalimat di atas menunjukkan relasi antara bagian-bagian
predikat yang berbeda.
32
Relasi antara kita timbang dan kita pikirkan (54a) memperlihatkan
keseimbangan sehingga hubungan keduanya dapat dilukiskan dengan dua tanda
panah seperti dalam (54b).
(54) b. Itu semuanya telah kita timbang kita pikirkan dengan pikiran kita sendiri.
Contoh lain yang memperlihatkan keseimbangan relasi adalah berikut ini.
(57) Ayah-nya di-tangkap di-penjara-kan.
ayah-PAR PAS-tangkap PAS-penjara
„Ayahnya ditangkap dipenjarakan.‟
(58) Kaum ibu ber-panas ber-hujan di pasar.
kaum ibu AKT-panas (Vitr) AKT-hujan (Vitr) PREP pasar
„Kaum ibu berpanas berhujan di pasar.‟
Relasi antara menggigil dan kedinginan (55a) titik beratnya terletak pada
bagian pertama, menggigil, sehingga menggigil dinamakan bagian utama dari
predikat dan kedinginan bagian predikat yang bergantung yang bersifat kausal.
Dengan demikian, relasi keduanya dapat dilukiskan dengan tanda panah seperti
pada (55b) berikut.
(55) b. Badannya menggigil kedinginan.
Contoh lain yang memperlihatkan relasi kausalitas seperti (55a-b) adalah berikut
ini.
(59) Mata-PAR ter-belalak ke-heran-an.
mata-nya PAS-belalak N-heran
„Matanya terbelalak keheranan.‟
(60) Se-orang pe-rampok mati di-tembak-nya.
NUM-orang N-rampok mati (Vitr) PAS-tembak-PAR
„Seorang perampok mati ditembaknya.‟
Relasi antara leluasa dan datang (56a) berbeda jika dibandingkan relasi
yang digambarkan pada kalimat (55a-b). Bagian predikat datang justru
merupakan bagian utama dan leluasa merupakan bagian predikat yang bergantung
33
sehingga relasi keduanya dapat dilukiskan dengan tanda panah seperti pada (86b)
berikut.
(56) b. Kita leluasa datang ke rumahnya.
Contoh lain yang memperlihatkan relasi seperti (56a-b) adalah berikut ini.
(61) Istana-nya habis ter-bakar.
istana-PAR habis (Vitr) PAS-bakar
„Istananya habis terbakar.‟
(62) kami turut ber-duka cita.
1J turut (Vitr) AKT-duka cita. (Vitr)
„Kami turut berduka cita.‟
Relasi bagian-bagian predikat yang dikemukakan Fokker di atas lebih
mengandalkan intuisi kebahasaan sehingga kadang-kadang timbul kesulitan untuk
memastikan jenis relasi itu. Sebagai contoh, di dalam kalimat (61) relasi antara
habis dan terbakar memosisikan terbakar sebagai bagian utama dan habis
merupakan bagian predikat yang bergantung. Padahal, secara sintaksis, dengan tes
pemanfaatan konjungsi, sangat memungkinkan juga memosisikan habis sebagai
bagian utama dan terbakar merupakan bagian predikat yang bergantung yang
bersifat kausal (63). Bandingkan juga dengan relasi kausal yang dieksplisitkan
dengan konjungsi karena (64) seperti bukti berikut ini.
(63) Istananya habis (karena) terbakar.
(64) Badannya menggigil (karena) kedinginan.
Kalimat (62) juga berpotensi menimbulkan polemik. Jika digunakan
pengekplisitan konjungsi sebagai alat tes, tampak bahwa justru turut menjadi
bagian utama dan berduka cita merupakan bagian predikat yang bergantung
karena dapat dieksplisitkan dengan konjungsi untuk (65a-b). Bandingkan dengan
(56) bagian predikat yang bergantung, leluasa, juga dapat dieksplisitkan dengan
konjungsi sampai (66a-b-c).
34
(65) a. Kami turut (untuk) berduka cita.
b. Untuk berduka cita, kami turut.
(66) a. Istananya (sampai) habis terbakar.
b. Istananya terbakar (sampai) habis.
c. Sampai habis istananya terbakar.
Kesulitan untuk menentukan relasi antara bagian predikat, tampaknya dapat
diminimalkan jika pengujian juga dilakukan secara sintaksis dan menempatkan
relasi antara bagian predikat pada tataran relasi antarklausa, bukan relasi
antarpembentuk predikat seperti yang ditawarkan Fokker. Walaupun demikian,
jasa Fokker sangat besar dalam hal perhatiannya pada KVB dalam bahasa
Indonesia. Usahanya ini tentu sangat bermanfaat untuk melacak hal serupa di
dalam BMK yang belum banyak dilakukan oleh para ahli terdahulu.
Slametmuljana (1969: 108--110) membahas gatra sebutan dengan kata
kerja rangkap secara sintaktis dan semantis. Pembahasan ini terkait dengan KVB
dalam bahasa Indonesia. Gatra sebutan yang dimaksudnya itu adalah sebagai
berikut.
(a) Dua kata kerja yang mempunyai susunan tetap. Di antara dua kata kerja itu
tidak dapat disisipkan kata apa pun.
(67) Sesudah kawin, tinggal me-nyesal.
KONJ kawin (Vitr), tinggal (Vitr) AKT-nyesal (Vitr)
„Sesudah kawin, tinggal menyesal.‟
(b) Dua kata kerja yang mempunyai susunan tetap, tetapi di antara kedua kata
kerja yang bersangkutan dapat disisipkan kata perangkai yang menjelaskan
maksud hubungannya.
(68) Ia baru saja bangun (dari) tidur.
3T baru saja bangun (Vitr) (KONJ) tidur (Vitr)
„Ia baru saja bangun (dari) tidur.‟
35
(69) Ia sudah ber-henti (dari/dengan) be-kerja.
3T sudah AKT-henti (Vitr) (KONJ) AKT-kerja (Vitr)
„Ia sudah berhenti (dari/dengan) bekerja.‟
(70) Dia datang (sambil) ber-lari-lari.
3T datang (Vitr) (KONJ) AKT-lari-lari. (Vitr)
„Dia datang (sambil) berlari-lari.‟
(71) Dia datang (untuk) me-nengok ibu-nya.
3T datang (Vitr) (KONJ) AKT-tengok (Vtr) ibu-PAR
„Dia datang (untuk) menengok ibunya.‟
(c) Dua kata kerja/sifat tidak mempunyai susunan tetap karena pada hakikatnya
kata yang kedua merupakan pelengkap.
(72) Jangan lupa mem-bawa buku.
jangan lupa (Vitr) AKT-bawa (Vtr) buku
„Jangan lupa membawa buku.‟
(73) Prajurit tidak boleh takut mati.
prajurit tidak boleh takut (Vitr) mati. (Vitr)
„Prajurit tidak boleh takut mati.‟
(d) Dua kata kerja/sifat tidak mempunyai susunan tetap karena pada hakikatnya
kata yang kedua merupakan gatra situasi.
(74) Ia ter-kejut (ketika/karena) mem-baca berita.
3T PAS-kejut (KONJ) AKT-baca (Vtr) berita
„Ia terkejut (ketika/karena) membaca berita.‟
(75) Ter-kejut ia mem-baca berita itu.
PAS-kejut 3T AKT-baca (Vtr) berita PRON
„Terkejut ia membaca berita itu.‟
Slametmuljana berkesimpulan bahwa pertalian antara dua kata kerja agak
ambigu, tetapi pemakaiannya dalam kalimat tunggal masih berlangsung. Ciri
semantis pertalian gatra sebutan dengan kata kerja rangkap dijabarkan sebagai
berikut.
(a) Pertalian yang menyatakan ‟maksud‟. Ciri-cirinya: di antara kedua kata
kerja itu dapat disisipkan kata penjelas: akan, untuk, guna, buat, supaya.
(76) Ayah-nya datang. minta obat.
ayah-PAR datang. (Vitr) minta (Vtr) obat
36
„Ayahnya datang minta obat.‟
(77) Banyak orang ber-niat me-menuh-i rukun
banyak orang AKT-niat (Vitr) AKT-menuh (Vtr) rukun
Islam yang ke-lima.
NAMA KONJ NUM-lima.
„Banyak orang berniat memenuhi rukun Islam yang kelima.‟
(b) Pertalian yang menyatakan ‟sebab-akibat‟. Ciri-cirinya: di antara dua kata
kerja yang bersangkutan dapat disisipkan kata penjelas: oleh, karena,
lantaran, sebab
(78) Dalam waktu pen-jajah-an jepang banyak orang
PREP waktu N-jajah NAMA banyak orang
mati ke-lapar-an.
mati (Vitr) PAS-lapar-.
„Dalam waktu penjajahan Jepang banyak orang mati kelaparan. „
(79) Ia me-nangis men-dengar per-kata-an
3T AKT-tangis (Vitr) AKT-dengar (Vtr) N-kata
orang tua itu.
orang tua PRON
„Ia menangis mendengar perkataan orag tua itu.‟
(c) Pertalian yang menyatakan ‟persamaan waktu‟. Ciri-cirinya: di antara dua
kata kerja yang bersangkutan dapat disisipkan kata penjelas: seraya, sambil
(80) Utus-an itu datang me-nyembah.
utus-N PRON datang (Vitr) AKT-sembah (Vitr)
„Utusan itu datang menyembah.‟
(81) Perahu ber-jalan me-nempuh.
perahu AKT-jalan (Vitr) AKT-tempuh (Vitr)
„Perahu berjalan menempuh.‟
(d) Pertalian yang menyatakan ‟pelengkap‟. Kata kerja kedua merupakan
pelengkap kata pertama. Tanpa tambahan itu pemberitahuan terasa tidak
lengkap. Di antara dua kata kerja ini tidakdapat disisipkan kata penjelas
karena dua kata itu berhubungan langsung.
(82) Ia lupa mem-bawa buku-nya.
3T lupa (Vitr) AKT-bawa (Vtr) buku-PAR
„Ia lupa membawa bukunya.‟
37
(83) Saya di-larang ber-gaul dengan dia.
1T PAS-larang AKT-gaul (Vitr) PREP 3T
„Saya dilarang bergaul dengan dia.‟
(e) Pertalian yang menyatakan bahwa ‟perbuatan kata kerja yang kedua telah
selesai‟. Di antara dua kata kerja dapat disisipkan kata dari.
(84) Jam sembilan baru bangun tidur.
jam sembilan baru bangun (Vitr) tidur (Vitr)
„Jam sembilan baru bangun tidur.‟
(85) Ber-henti meng-ajar.
AKT-henti (Vitr) AKT-ajar (Vitr)
„Berhenti mengajar.‟
Slametmuljana adalah salah seorang linguis yang berpandangan maju pada
zamannya. Kendatipun belum dikenal konsep KVS sebagai salah satu jenis KVB
kala itu, ia memandang konstruksi semacam itu tetap sebagai kalimat tunggal
yang terdiri atas satu klausa sehingga pertalian di antaranya dipandang sebagai
pertalian antarunsur pembentuk predikat. Pandangannya ini sejalan dengan konsep
KVS yang diterapkan dalam beberapa bahasa kini. Akan tetapi, Slametmuljana
tidak memberi penjelasan lebih lanjut berkenaan dengan dua kata kerja yang
bersusunan tetap, tetapi di antara kedua kata kerja itu dapat disisipkan kata
perangkai. Apakah kehadiran perangkai di antara dua verba tidak mengubah
konstruksi itu sebagai konstruksi biklausal?
Kridalaksana (1985: 134--135, 1988: 94--95) membahas frasa verbal (FV)
yang terkait dengan KVB dalam bahasa Indonesia. Kridalaksana memberi
batasan yang sangat luas tentang FV, yakni frasa yang terjadi dari verba sebagai
induk dan verba atau kelas kata lain seperti adverbia atau frasa preposisional
sebagai modifikator. KVB dalam bahasa Indonesia yang terkait dengan FV seperti
berikut ini.
38
(a) FVaktif Vaktif + N + Vlain: menyuruh orang membaca, mengajak pergi
(b) FVpasif Vpasif + Vlain: disuruh pergi, diajak makan bakso
(c) FVsubordinatif Vitr + Vlain: pergi membeli gula, bangkit berdiri
(d) FVkoordinatif V1 + V2: pulang pergi, makan minum
Rumusan dan contoh-contoh yang dikemukakannya ini pada tataran sintaksis
tidak dikonfirmasi lebih lanjut apakah frasa-frasa verbal seperti itu tergolong
konstruksi berklausa tunggal atau konstruksi berklausa kompleks.
Pembahasan kalimat kompleks dan simpleks Lapoliwa (1990a: 49--53)
terkait dengan KVB dalam bahasa Indonesia. Kalimat kompleks selalu terdiri atas
satu klausa utama dan satu klausa subordinatif, sedangkan kalimat simpleks (juga
disebut kalimat tunggal) hanya terdiri atas satu klausa. Kalimat dan klausa pada
dasarnya mempunyai struktur yang sama, yaitu struktur predikasi. Unsur utama
dalam struktur adalah predikat. Kategori kata yang terutama dapat menjadi
predikat dalam bahasa Indonesia (dan pada kebanyakan bahasa di dunia) adalah
verba.
Kenyataan bahwa banyak kata dalam bahasa Indonesia yang dapat
menduduki lebih dari satu fungsi sintaktik sering menimbulkan masalah dalam
telaah tata bahasa. Terkait dengan hal ini konstruksi yang merupakan deretan dua
verba lebih mudah menentukan sebagai kalimat kompleks karena dapat
dipisahkan seperti tampak pada contoh berikut.
(86) a. Dia
menemuinya tadi.
pergi
datang
berusaha
bermaksud
menolak
39
(86) b. Dia
tadi menemuinya.
Konstruksi yang merupakan deretan verba dengan kata modalitas seperti
ingin, mau, dapat, boleh, hendak, akan, telah, dan belum ditetapkan sebagai
kalimat simpleks karena cenderung tidak dapat dipisahkan dari verba yang
mengikutinya.
(87) a. Dia
menemuinya tadi.
(87) b. Dia
tadi menemuinya.
Konstruksi yang merupakan deretan adjektiva dan verba (88a) menimbulkan
tafsiran ganda. Konstruksi (88a) dapat dianalisis sebagai kalimat simpleks
(lambat, cepat, gembira sebagai keterangan) kalau dianggap sebagai derivasi dari
(88b) dengan jalan melesapkan preposisi dengan bersama nomina yang
mengikuinya, kemudian mengedepankan adjektiva itu; dan dapat pula dianalisis
sebagai kalimat kompleks karena lambat, cepat, dan gembira dapat berfungsi
ingin
mau
dapat
boleh
hendak
akan
telah
belum
?ingin
?mau
*dapat
*boleh
*hendak
*akan
*telah
*belum
pergi
datang
berusaha
bermaksud
menolak
40
sebagai predikat (88c). Konstruksi (88c) merupakan kalimat dasar yang sama pola
strukturnya dengan kalimat Dia pergi bekerja., Dia berusaha bekerja., yaitu FN -
FV - FV.
(88) a. Dia
bekerja.
(88) b. Dia bekerja dengan
(88) c. Dia
dalam hal bekerja.
Pada tulisan lain Lapoliwa (1990b) lebih mengkhususkan perhatiannya pada
verba berderet dan ia menyebutnya dengan istilah deretan verba. Analisisnya
mengarah pada pembuktian bahwa verba berderet lebih tepat dipandang sebagai
sebuah klausa daripada frasa verba. Dengan bersandar pada teori Chomsky (1965)
Lapoliwa membuktikan bahwa analisis klausa lebih menguntungkan daripada
analisis frasa verba (1990b: 35--39). Meskipun makna interaksi antara verba
berderet tidak diteliti, kajian semantis secara sepintas oleh Lapoliwa sangat
berharga untuk melakukan penelusuran KVB di dalam BMK.
Lapoliwa (1990a; 1990b) memberikan analisis yang cukup komprehensif
terhadap konstruksi verba berderet di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, ada
sejumlah data yang terkait dengan konstruksi seperti ini yang tampaknya luput
dari pengamatannya.
(89) Tentara Iran akan me-nembak jatuh se-tiap
tentara NAMA akan AKT-tembak (Vtr) jatuh (Vitr) NUM-tiap
pesawat asing yang me-lintas-i daerah udara-nya
pesawat asing KONJ AKT-lintas (Vtr) daerah udara-PAR
lambat
cepat
gembira
cara yang lambat. cara yang cepat.
perasaan gembira.
lambat cepat
gembira
41
tanpa izin.
tanpa izin
„Tentara Iran akan menembak jatuh setiap pesawat asing yang melintasi
daerah udaranya tanpa izin.‟
(90) Ke-duta-an Besar di Kuala Lumpur akan
N-duta besar (Adj) PREP NAMA akan
me-ngirim pulang semua TKI ilegal ke
AKT-kirim (Vtr) pulang (Vitr) semua TKI ilegal (Adj) PREP
Indonesia.
NAMA
„Kedutaan Besar di Kuala Lumpur akan mengirim pulang semua TKI
ilegal ke Indonesia.‟
(91) Bapak Sugondo selalu pulang pergi Jakarta-Denpasar
bapak NAMA selalu pulang (Vitr) pergig (Vitr) NAMA
se-tiap akhir bulan untuk meng-urus bisnis-nya
NUM-tiap akhir bulan KONJ AKT-urus (Vtr) bisnis-PAR
di Bali.
PREP NAMA
„Bapak Sugondo selalu pulang pergi Jakarta-Denpasar setiap akhir
bulan untuk mengurus bisnisnya di Bali.‟
Apakah verba berderet menembak jatuh (89), mengirim pulang (90), dan pulang
pergi (91) masih tergolong konstruksi berklausa kompleks? Atau justru konstruksi
semacam itu adalah konstruksi berklausa tunggal?
Di dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi dkk., 1993: 178--180),
pembahasan fungsi-fungsi verba di dalam tataran klausa/kalimat terkait dengan
KVB. Di dalam buku itu disebutkan bahwa verba memiliki fungsi utama sebagai
predikat. Walaupun demikian, verba dapat pula menduduki fungsi lain seperti
subjek (92)--(93), objek (94)--(95), pelengkap (96)--(97), atau keterangan (98)--
(99).
(92) Ber-senam se-tiap pagi mem-buat orang
AKT-senam (Vitr) NUM-tiap pagi AKT-buat (Vtr) orang
itu terus sehat.
PRON terus (Vtr) sehat (Adj) „Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.‟
(93) Makan sayur-sayur-an dengan ter-atur dapat
makan (Vitr) sayur-sayur-N PREP PAS-atur dapat
42
me-ningkat-kan ke-sehat-an.
AKT-tingkat (Vtr) N-sehat
„Makan sayur-sayuran dengnan teratur dapat meningkatkan kesehatan.‟
(94) Dia men-coba tidur tanpa bantal.
3T AKT-coba (Vtr) tidur (Vitr) tanpa bantal
„Dia mencoba tidur tanpa bantal.‟
(95) Mereka me-nekun-i mem-baca Quran.
3J AKT-tekun (Vtr) AKT-baca (Vtr) NAMA
„Mereka menekuni membaca Quran.‟
(96) Mertua-nya tidak me-rasa ber-salah.
mertua-PAR tidak AKT-rasa (Vtr) AKT-salah (Vitr)
„Mertuanya tidak merasa bersalah.‟
(97) Dia sudah ber-henti me-rokok.
3T sudah AKT-henti (Vitr) AKT-rokok (Vitr)
„Dia sudah berhenti merokok.‟
(98) Ibu sudah pergi ber-belanja.
ibu sudah pergi (Vitr) AKT-belanja (Vitr)
„Ibu sudah pergi berbelanja.‟
(99) Paman datang ber-kunjung minggu yang lalu.
paman datang (Vitr) AKT-kunjung (Vitr) minggu KONJ lalu
„Paman datang berkunjung minggu yang lalu.‟
Pembahasan fungsi-fungsi verba di dalam klausa/kalimat belum juga memberi
pemecahan apakah verba di dalam fungsi-fumgsi itu diperlakukan sebagai frasa
atau klausa. KVB pada data (94)--(99) tergolong konstruksi monoklausal atau
biklausal?
Dol (1996) dan Menick (1996) menginspirasi penggunaan istilah KVB di
dalam disertasi ini. Dol (1996: 21) menggunakan istilah sequences of verbs untuk
kajian bahasa Maybrat di Papua, sementara Menick (1996: 41) menggunakan
istilah verbs sequences untuk kajian bahasa Moi di Papua. Kedua terminologi ini
digunakan untuk analisis konstruksi yang berupa serial dan konstruksi yang bukan
serial. Di dalam bahasa Indonesia ada beberapa frasa yang mendekati makna
kedua terminologi ini, yakni „verba berurutan, verba berderet, verba
berdampingan, atau verba beruntun‟. Istilah KVB yang ditetapkan di dalam
43
disertasi ini mengacu pada pengertian yang kurang lebih sama dengan kedua
terminologi yang dikemukakan di atas.
Lebih lanjut, Dol (1996: 21), dengan parameter semantis, intonasi,
morfologis, dan sintakstis, membedakan KVB dalam bahasa Maybrat menjadi
dua: konstruksi verba serial (serial verb constructions) dan konstruksi klausa
berantai (clause-chaining constructions). Sementara itu, dengan tes sintaktis
Menick (1996: 41) mengkualifikasikan KVB dalam bahasa Moi atas konstruksi
verba serial (serial verb constructions) dan konstruksi koordinatif (coordinate
constructions). Kedua penulis ini lebih terfokus membahas eksistensi KVS di
dalam kedua bahasa itu, sementara konstruksi yang bukan serial tidak mendapat
pendalaman lebih lanjut.
Kajian terhadap KVS (serial verbs construction/SVC) pada mulanya
dilakukan terhadap bahasa yang memiliki karakteristik bahasa isolatif. Istilah
KVS digunakan oleh Durie (1997), Kroeger (2004), dan Aikhenvald (2004) dalam
penelitian mereka terhadap berbagai bahasa, khususnya anggota rumpun bahasa
Austronesia. Berdasarkan data lintas bahasa, Aikhenvald (2004) mengemukakan
empat ciri umum KVS: (1) KVS dibentuk dari sederetan verba yang tidak
dihubungkan dengan pemarkah konjungsi atau linker; (2) setiap verba pembentuk
KVS dapat berdiri sendiri dalam konstruksi bukan serial; (3) KVS membentuk
predikat tunggal dari klausa tunggal; dan (4) KVS berbagi minimal satu argumen
(subjek).
Kajian Williams dan van Klinken (1999) yang bertajuk “Boundaries of
Serialisation: Nonserialised Verb Sequences in Tetun Dili” menyimpulkan bahwa
KVS bahasa Tetun Dili memiliki ciri konstruksi sebagai berikut: (1) merupakan
44
dua kata kerja dalam satu predikat; (2) tidak ada penanda koordinasi atau
subordinasi (baik leksikal, morfologi, maupun fonologi); (3) menggunakan satu
tense, aspect, mood, dan illocutionary force; (4) kata kerja tidak bisa diubah ke
dalam bentuk negatif secara independen; dan (5) kata kerja berbagi argumen
kompleks.
Bowden (2001) dalam kajiannya yang bertajuk “Verb Serealisation in
Taba” --berdasarkan karakteristik KVS yang diajukan Durie (1997)--
mengemukakan bahwa KVS bahasa Taba memiliki sejumlah karakteristik: (1)
menjelaskan kejadian tunggal; (2) berbagi kala, aspek, modalitas, dan polaritas
yang sama; (3) berbagi satu argumen; (4) tidak memiliki komplementasi; (5)
memiliki satu intonasi yang sama dengan klausa tunggal; dan (6) hanya memiliki
satu subjek atau eksternal argumnen. Berdasarkan kajian semantis, KVS bahasa
Taba dikelompokkan atas tipe (1) motion serialisation, (2) cause-effect
serialisation, (3) causative serialisation, (4) instrumental serialisation, (5) modal
serialisation, (6) aspectual serialisation, dan (7) manner serialisation.
Dalam perkembangan berikutnya, Baird (2008) dan Mead dkk. (2008)
dalam penelitian mereka terhadap bahasa-bahasa nusantara, yakni bahasa Keo dan
bahasa Tolaki, menggunakan istilah KVS untuk menyebut kalimat dengan
predikat yang dibentuk oleh dua verba yang muncul berdampingan.
Staden dan Reesink (Senft ed., 2008) dengan kajian yang berjudul "Serial
Verb Construction in a Linguistic Area" menginvestigasi fenomena KVS dalam
beberapa bahasa Papua dan Austronesia bagian timur. Studi ini melihat KVS
dalam konteks hubungan kekerabatan dan wilayah di antara bahasa-bahasa itu.
Bahasa-bahasa yang dijadikan sampel dalam studi ini adalah bahasa Hatam,
45
Inanwatan, Maybrat, Moi, Mpur, dan Tidore untuk bahasa-bahasa Papua dan
bahasa Buru, Kambera, Leti, Taba, Tetun, dan Melayu untuk bahasa-bahasa
Austronesia. Dengan bahasa-bahasa sampel ini mereka tertarik mengkaji jenis
kendala morfologis yang dimiliki oleh verba-verba berdampingan sebagai
anggotanya, jenis hubungan semantis yang digunakan (apakah bersifat wajib atau
opsional), dan apakah sifat-sifat kebahasaan ini dapat dihubungkan dengan
pengelompokan bahasa secara kekerabatan atau wilayah.
Semua bentuk/konstruksi tempat dua atau lebih verba yang terjadi pada
sebuah klausa tunggal dan tidaksatu pun dari verba-verba tersebut secara jelas dan
formal merupakan bawahan dari yang lainnya meruapakan kriteria KVS yang
ditetapkan Staden dan Reesink. Berdasarkan kriteria ini mereka mengelompokkan
empat tipe KVS untuk wilayah Nusantara Timur: (1) KVS independen
(independent serialisation), yakni KVS yang seluruh verba di dalam
konstruksinya memiliki infleksi secara morfologis seperti yang dimiliki verba
tunggal dalam klausa sederhana yang dapat berupa penyesuaian subjek, tense,
aspek, dan mood; (2) KVS dependen (dependent serialisation), yakni KVS yang
hanya salah satu verba dari verba-verba yang muncul dalam bentuk infleksi,
sementara bentuk-bentuk yang lain tanpa afiksasi apa pun; (3) KVS kodependen
(co-dependent serialisation), yakni KVS yang memiliki ciri argumen bersama dan
bagian konstruksi saling tergantung, objek klausa pertama juga merupakan subjek
dari klausa kedua, dan tipe ini sering disebut tipe kausatif atau resultatif; (4) KVS
kompleks (complex verb serialisation), yakni KVS yang dua atau lebih verba
dalam konstruksi memiliki satu set afiks: prefiks diletakkan pada verba pertama
dan sufiks pada verba terakhir dalam konstruksi.
46
Dipandang dari pengemasan konsep peristiwa, Staden and Reesink
mengemukakan bahwa KVS dibedakan atas KVS komponen dan KVS naratif.
Pembedaan ini didasarkan atas unit-unit yang membentuk peristiwa makro
(macro-event) dari unit yang lebih kecil yang disebut subperistiwa (sub-event) dan
membentuk peristiwa makro yang lebih luas dan kompleks. Perpaduan dua
subperistiwa menjadi peristiwa makro melalui KVS disebut KVS komponen dan
perpaduan dari dua atau lebih peristiwa makro menjadi peristiwa makro yang
lebih luas dan kompleks disebut KVS naratif. Dari sudut pandang semantik,
Staden and Reesink merumuskan bahwa makna KVS meliputi makna gerak
(motion), arah (direction), perubahan keadaan (state change), komitatif dan
instrumen (comitative and instrument), kecaraan (manner), serta aspek dan modus
(aspect and mood).
Berdasarkan bahasa sampel yang dikaji, Staden and Reesink menyimpulkan
bahwa KVS secara keseluruhan lebih mencirikan bahasa-bahasa Papua daripada
bahasa-bahasa Austronesia, baik dalam jumlah kebervariasian tipe maupun jumlah
hubungan semantik yang diungkapkan KVS tersebut. Dilihat dari pengemasan
konsep peristiwa, KVS komponen lebih sering ditemukan dalam bahasa-bahasa
Papua Nusantara Timur dan bahasa-bahasa Austronesia; KVS naratif merupakan
tipikal bahasa Papua.
Terminologi KVB di dalam tradisi linguistik Indonesia adalah istilah yang
mengandung konsep operasional. Pradnyayanti (2010) menggunakan istilah KVB
dalam kajian bahasa Sasak yang sesungguhnya berpadanan dengan istilah KVS.
Tidak ada penjelasan mengapa Pradnyayanti lebih memilih istilah KVB, bukan
KVS. Mas Indrawati (2012: 24--25) menyamakan istilah KVB dengan konstruksi
47
predikat kompleks (KPK). Mas Indrawati memilih istilah KVB karena istilah
KVS lebih tepat digunakan untuk KVB di dalam kajian bahasa yang memiliki
karakteristik sebagai bahasa isolatif. Subiyanto (2010) dengan tegas mengatakan
bahwa KVB dapat berupa KVS dan KPK. Subiyanto (2013: 36--38) tidak lagi
menggunakan istilah KVB untuk hal yang hampir sama, tetapi menggunakan
istilah predikat kompleks dalam arti luas. Dalam pengertian ini, predikat kompleks
mengacu pada predikat yang terdiri atas lebih dari satu subpredikat yang
hubungan antarsubpredikatnya dapat berupa struktur komplementasi dan dapat
pula berupa struktur serialisasi verba.
Berdasarkan pemaparan beberapa pustaka yang relevan dengan kajian KVB
dalam disertasi ini, ada beberapa penegasan yang perlu dikemukan. Pertama, ada
kesamaan konsep KVB dalam disertasi ini dengan terminologi sequences of verbs
(Dol, 1996) dan verbs sequences (Menick 1996). Kedua, kajian KVS terhadap
berbagai bahasa dimanfaatkan secara maksimal untuk mengidentifikasi
karakteristik serialisasi di dalam BMK. Ketiga, penggunanan terminologi KVB di
dalam disertasi ini tidak hanya mengacu pada konstruksi monoklausal seperti
kajian sebelumnya, tetapi juga mengacu pada konstruksi biklausal (tanpa
konjungtor).
2.2 Konsep
Untuk menyamakan persepsi, bagian ini mengemukakan beberapa konsep
utama yang terkait dengan kajian ini. Pemaparan ini diharapkan dapat
memberikan informasi teoretis dan konseptual sehubungan dengan beberapa
istilah teknis yang digunakan di dalam kajian ini. Istilah-istilah teknis yang
dimaksud adalah bahasa Melayu klasik (2.2.1), verba (2.2.2), klausa (2.2.3),
48
konstruksi verba beruntun (2.2.4), konstruksi predikat kompleks dan konstruksi
verba serial (2.2.5), dan konstruksi klausa kompleks (2.2.6).
2.2.1 Bahasa Melayu Klasik
Istilah bahasa Melayu klasik (classical Malay) sudah sangat populer dipakai
di kalangan peneliti bahasa dan kesusastraan Melayu seperti yang dilakukan oleh
Mahdi (2005: 182) dan Cumming (1995: 51). Istilah ini dikontraskan dengan
istilah BM kuna (old Malay) dan BM modern (modern Malay).
BMK adalah BM yang banyak dipengaruhi bahasa Arab melalui agama
Islam. Berbeda dengan BM kuna yang banyak dipengaruhi bahasa Sanskerta
melalui agama Hindu dan BM modern yang banyak dipengaruhi bahasa-bahasa
Eropa melalui penjajahan dan peradaban global seperti bahasa Belanda dan
bahasa Inggris.
Dari sudut periodisasi dan penggunaan, BMK adalah BM yang mengalami
puncak perkembangan pada abad XV--XVII yang banyak digunakan dalam
berbagai manuskrip. Periodisasi BMK ini berbeda dengan periodisasi lain yang
mengatakan bahwa BMK berkembang abad XVII--XIX (Cumming, 1995: 51).
Penetapan abad XV--XVII sebagai puncak perkembangan BMK karena tahun
1511 adalah masa runtuhnya kerajaan Malaka (Collins, 2005) sehingga dengan
sendirinya beberapa karya ber-BM beberapa abad sebelum kejatuhan itu tidak
tersisa. Sejak keruntuhannya itu BM mulai membangun peradabannya lagi yang
mencapai puncaknya pada abad XVII. Mulai abad XVIII persentuhan BM dengan
bahasa-bahasa Eropa sudah mulai intensif terjadi sehingga nilai keklasikan BM
pada masa itu sudah mulai memudar.
49
2.2.2 Verba
Secara tradisional verba dibatasi sebagai kategori gramatikal yang
menyatakan tindakan. Batasan ini dianggap kurang tepat karena tidak semua verba
menyatakan tindakan, seperti verba seem „tampak, kelihatan‟ dalam bahasa
Inggris (periksa Frawley, 1992: 140).
Dalam tulisan ini konsep verba mengacu pada Givon (1984:51--52) yang
menyatakan bahwa verba mengungkapkan peristiwa, dan sebagai peristiwa verba
mengimplikasikan suatu perubahan yang terjadi dalam waktu. Dengan demikian,
ada keterkaitan antara peristiwa dengan perubahan dan temporalitas. Givon
mengelompokkan verba atas verba keadaan, verba proses, dan verba tindakan.
Perbedaan ketiga jenis verba ini terletak pada kestabilan waktunya. Verba keadaan
memiliki kestabilan waktu sangat tinggi dan verba tindakan memiliki kestabilan
waktu paling rendah. Sementara itu, verba proses dikatakan kurang stabil
waktunya, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan verba tindakan dan lebih
rendah dibandingkan dengan verba keadaan. Lebih lanjut, Givon (1984: 64--73)
mengemukakan tiga karakteristik verba: ciri semantis, ciri morfologis, dan ciri
sintaktis. Pengelompokan verba atas verba keadaan, verba proses, dan verba
tindakan merupakan pengelompokan berdasarkan ciri semantis verba. Ciri
morfologis menunjukkan bahwa verba ditandai oleh penambahan afiks yang
dalam bahasa tertentu menyatakan modalitas, aspek, kala, sangkalan, persesuaian
pronomina, dan penanda kasus. Sementara itu, ciri sintaktis mengungkapkan
bahwa verba secara umum dan dalam kebanyakan bahasa berfungsi sebagai
predikat kalimat.
Tampubolon dkk. (1979) dengan mengacu pada pandangan teori semantik
50
Chafe (1970) dan teori tata bahasa kasus (case grammar) Fillmore (1971) sudah
mengklasifikasikan tipe-tipe semantik kata kerja bahasa Indonesia kontemporer
atas kata kerja keadaan, kata kerja proses, dan kata kerja aksi (tindakan). Lebih
lanjut, Tampubolon dkk. (1979: 8) menyatakan bahwa dalam struktur luar kata
kerja dan kata sifat memiliki kesamaan karakteristik dalam banyak hal. Oleh
karena itu, kata sifat dapat dikelompokkan ke dalam verba. Untuk selanjutnya,
konsep verba dalam disertasi ini mengacu pada pandangan Tampubolon (1979)
dan Givon (1984).
2.2.3 Klausa
Secara tradisional klausa didefinisikan sebagai struktur predikasi.
Tepatnya, sebuah struktur predikasi minimal mengandung satu predikat dengan
satu subjek, dan secara opsional dapat juga diikuti satu atau lebih komplemen dan
ajung (adjunct) (Radford, 2004: 4; Verhaar, 2001: 162). Untuk mengoposisikan
dengan istilah kalimat, klausa didefinisikan sebagai kalimat tunggal minus
intonasi (Lapoliwa, 1990:19). Batasan ini sejalan dengan pandangan Lapolla dan
Van Valin (1997: 29) yang mendefinisikan klausa sebagai satuan sintaktis yang
terdiri atas inti (core) dan periferal.
Dalam kebanyakan bahasa, predikat klausa biasanya berupa verba. Di
dalam bahasa-bahasa nusantara, predikat dapat juga selain verba seperti nomina,
adjektiva, atau numeralia. Sebagaimana contoh-contoh di bawah ini, semua
kalimat terdiri atas satu klausa. Kalimat (100) terdiri atas predikat verba duduk
dan subjek Radja Iskandar dengan konstituen opsional berupa ajung diatas kursi
emas. Kalimat (101) terdiri atas predikat verba memberi dan subjek Soeltan
Mansoer Sjah dengan konstituen komplemen titah dan komplemen ajung kepada
51
Bendahara. Kalimat (102) terdiri atas predikat nomina Raja Kida Hindi dan
subjek namanja. Kalimat (103) terdiri atas predikat adjektiva heranlah dan subjek
hati Radja Iskandar. Kalimat (104) terdiri atas predikat numeralia tiga ratus ribu
dinar emas dan subjek isi kahwinnja.
(100) Radja Iskandar duduk di-atas kursi emas.
raja NAMA duduk (Vitr) PREP-atas kursi emas
„Radja Iskandar duduk di atas kursi emas.‟
(101) Maka Soeltan Mansoer Sjah mem-beri titah kepada
KONJ NAMA AKT-beri (Vtr) titah PREP
Bendahara.
bendahara.
„(Maka) Soeltan Mansoer Sjah memberi titah kepada Bendahara.‟
(102) Nama-nja Raja Kida Hindi.
nama-PAR NAMA
„Namanja Raja Kida Hindi.‟
(103) Heran-lah hati Radja Iskandar.
heran-PAR hati NAMA
„Heranlah hati Radja Iskandar.‟
(104) Isi kahwin-nja tiga ratus ribu dinar emas.
isi kawin-PAR tiga ratus ribu dinar emas.
„Isi kahwinnja tiga ratus ribu dinar emas.‟
Dengan mengikuti perkembangan teori linguistik mutakhir, khususnya teori
tipologi yang berkenaan dengan KVS, kategori verba pengisi predikat tidak selalu
berupa satu verba mandiri, tetapi dapat pula sekurang-kurangnya dua verba. Dua
data berikut merupakan konstruksi monoklausal yang predikatnya diisi oleh dua
verba secara serial.
(105) tun abu sahan duduk ber-seberang-an dengan
tuan NAMA duduk (Vint) AKT-seberang (Vint) PREP
bendahara (SM, 34.9:81)
bendahara
„tuan abu saham duduk berseberangan dengan bendahara‟
(106) maka tun mamat-pun heran me-mandang
KONJ tuan NAMA-PAR heran (Vint) AKT-lihat (Vtr)
52
per-hiasan taman itu (SM, 27.12:115)
N-hias taman PRON
„(maka) tuan mamat pun heran melihat hiasan taman itu‟
2.2.4 Konstruksi Verba Beruntun
Istilah konstruksi verba beruntun (KVB) di dalam tradisi linguistik
Indonesia digunakan dengan kandungan isi konsep yang berbeda-beda. Akan
tetapi, pada dasarnya KVB digunakan sebagai bentuk terjemahan dari serial verbs
construction (SVC). Pradnyayanti (2010) menggunakan istilah KVB yang
berpadanan dengan istilah konstruksi verba serial (KVS). Tidak ada penjelasan
mengapa Pradnyayanti lebih memilih istilah KVB, bukan KVS. Mas Indrawati
(2012: 24--25) menyamakan istilah KVB dengan konstruksi predikat kompleks
(KPK). Mas Indrawati lebih memilih istilah KVB daripada istilah KVS karena
istilah KVS lebih tepat digunakan untuk KVB di dalam kajian bahasa yang
memiliki karakteristik sebagai bahasa isolatif. Subiyanto (2010) dengan tegas
mengatakan bahwa KVB dapat berupa KVS dan KPK.
Di dalam disertasi ini istilah KVB digunakan terinspirasi dari tulisan Dol
(1996) dan Menick (1996). Dol (1996: 21) menggunakan istilah sequences of
verbs untuk kajian bahasa Maybrat di Papua, sementara Menick (1996: 41)
menggunakan istilah verbs sequences untuk kajian bahasa Moi di Papua. Kedua
terminologi ini digunakan berkenaan dengan analisis terhadap konstruksi serial
dan konstruksi bukan serial. Di dalam bahasa Indonesia ada beberapa frasa yang
mendekati makna kedua terminologi itu, yakni „verba berurutan, verba berderet,
verba berdampingan, atau verba beruntun‟. Istilah KVB yang ditetapkan di dalam
disertasi ini mengacu pada pengertian yang kurang lebih sama dengan terminologi
yang digunakan kedua terminologi yang dikemukakan Dol (1996) dan Menick
53
(1996).
Lebih lanjut, Dol (1996: 21), dengan parameter semantis, intonasi,
morfologis, dan sintakstis, membedakan KVB dalam bahasa Maybrat menjadi
dua: konstruksi verba serial (serial verb constructions) dan konstruksi klausa
berantai (clause-chaining constructions). Sementara itu, dengan tes sintaktis
Menick (1996: 41) mengkualifikasikan KVB dalam bahasa Moi atas konstruksi
verba serial (serial verb constructions) dan konstruksi koordinatif (coordinate
constructions).
Berdasarkan uraian dua paragraf sebelumnya, KVB yang digunakan di
dalam disertasi ini berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya yang telah
disebutkan di dalam paragraf pertama. KVB didefinisikan sebagai keberadaan
(minimal) dua verba di dalam satu konstruksi tanpa kehadiran konjungtor sebagai
penghubung dan penanda jeda (tanda koma). Secara sintaktis, KVB dapat berupa
konstruksi verba1+verba2 (V1+V2) tanpa kehadiran konstituen kebahasaan di
antara V1 dan V2 dan konstruksi verba1+X+verba2 (V1+X+V2) dengan kehadiran
konstituen kebahasaan, kecuali konjungtor dan penanda jeda (tanda koma), di
antara V1 dan V2. Lambang X berarti adanya konstituen kebahasaan di antara V1
dan V2
(107) perahu hulubalang pahang pun tiada berani
perahu hulubalang NAMA PAR tidak berani (Vitr)
me-langgar djung itu (SM, 29.13:134)
AKT-tabrak (Vtr) jung PRON
„perahu hulubalang pahang pun tidak berani menabrak jung itu‟
(108) sultan mansur sjah segera me-njuruh membawa
sultan NAMA segera AKT-suruh (Vtr) AKT-bawa (Vtr)
persalin (SM, 16.6:100)
pesalin
„sultan mansur syah segera menyuruh (orang) membawa pesalin‟
54
(109) maka terlalu heran ia me-mandang peri,
KONJ sangat heran (Vitr) 3T AKT-lihat (Vtr) peri,
baik paras-nja (SM, 33.1:5)
elok paras-PAR
„(maka) ia sangat heran melihat peri yang elok parasnya‟
(110) orang ber-gelar itu datang ke-dalam (SM, 11.13:88)
orang AKT-gelar (Vitr) PRON datang PREP-dalam
„orang yang bergelar itu datang ke dalam‟
(111) maka semua-nja diam tiada me-njahut (SM, 34.4:28)
KONJ semua-PAR diam (Vitr) tidak AKT-sahut (Vitr)
„(maka) semuanya diam tidak menyahut‟
Data di atas memperlihatkan bahwa KVB di dalam BMK dapat mengikuti pola
V1+V2 seperti data berani melanggar (107) dan menjuruh membawa (108) atau
V1+…+V2) seperti data heran ia memandang (109), bergelar itu datang (110),
dan diam tiada menjahut (111)
2.2.5 Konstruksi Predikat Kompleks dan Konstruksi Verba Serial
Arka dkk. (2007: 187) mengemukakan definisi predikat kompleks atas
definisi luas dan definisi sempit. Secara luas predikat kompleks dapat
didefinisikan sebagai predikat yang terdiri atas lebih dari sebuah (sub)predikat
yang hubungan antarpredikatnya bervariasi, termasuk serialisasi. Secara sempit
predikat kompleks didefinisikan sebagai predikat yang membutuhkan predikat
lain untuk melengkapi struktur argumennya; di dalam predikat kompleks terdapat
dua predikat (PRED1 dan PRED2), yang salah satu di antaranya (PRED2) menjadi
argumen dari predikat yang lain. Dengan kata lain, predikat kompleks merupakan
struktur komplementasi, PRED1 sebagai inti utama (matrix head) dan PRED2
sebagai subordinat terhadap PRED1.
Dengan mengacu pada batasan predikat kompleks secara sempit yang
dikemukakan Arka dkk. (2007: 187), verba pertama di dalam predikat kompleks
55
merupakan verba utama (main verb) yang menentukan arti utama (primary
semantics) dan struktur argumen (argument structure); verba kedua sering disebut
verba vektor atau verba eksplikator (vector verb or explicator verb) yang
berfungsi mengekspresikan unsur-unsur gramatikal seperti modalitas, aspek, kala,
dan modus. Sejalan dengan pengertian ini, Kroeger (2004: 255) mengungkapkan
bahwa predikat kompleks secara khas mengandung satu ”verba ringan” (“light
verb”) ditambah paling sedikit satu kata lain. Kalimat (112) adalah contoh KPK
di dalam bahasa Gojri, salah satu bahasa rumpun Indo-Aryan (Bukhari, 2009: 28).
Kosmas (2007: 318) mencontohkan (113) sebagai KPK di dalam bahasa
Indonesia.
(112) kaloo-nє seb chil diyo
Kalo-ERG apple-NOM peel give-PERF
'Kaloo peeled the apple (for someone else)‟
('Kaloo mengupas apel (untuk orang lain)‟)
(113) koruptor telah mem-bawa lari uang rakyat
koruptor telah AKT-bawa (Vtr) lari (Vitr) uang rakyat
ke luar negeri
PREP luar negeri
„koruptor telah membawa lari uang rakyat ke luar negeri‟
Kedua contoh kalimat di atas disebut KPK, yang ditunjukkan oleh rentetan verba
chil diyo (112) dan membawa lari (113). Kedua verba ini menggambarkan satu
kejadian tunggal, tetapi salah satu verba merupakan verba ringan (light verb) yang
membawa makna aspektualitas atau keterangan terhadap verba lainnya. Verba
diyo pada KPK chil diyo (112) merupakan verba ringan (light verb) yang
membawa makna aspektualitas, khususnya beneficiary, sedangkan verba lari pada
KPK membawa lari (113) merupakan verba ringan (light verb) yang membawa
makna keterangan kecaraan.
Istilah konstruksi predikat kompleks (KPK) dan konstruksi verba serial
56
(KVS) mengacu pada istilah complex predicate dan serial verbs construction
(SVC) yang dipakai Kroeger (2004: 223--256). Jika dilihat dari sudut jumlah
verba dalam suatu konstruksi, KPK dan KVS memiliki kesamaan karena sama-
sama terbentuk dari dua (V1+V2)/lebih verba. Perbedaan pokoknya terletak pada
hubungan antarverba pembentuk kedua konstruksi itu. Salah satu verba (V1) di
dalam KPK merupakan verba inti dan V2 merupakan verba bawahan (subordinat),
sedangkan kedua verba (V1+V2) di dalam KVS sama-sama merupakan verba inti.
KVS bisa didefinisikan berdasarkan ciri sintaksis, semantis, dan fonologis.
Ciri sintaksis KVS adalah (1) dibentuk oleh serentetan unit verba, (2) rentetan unit
verba biasanya tanpa dihubungkan oleh konjungsi, (3) rentetan unit verba
membentuk satu klausa dengan kebersamaan argumen dan kategori fungsional,
yaitu mempunyai satu subjek atau mempunyai subjek dan objek bersarna, dan (4)
mempunyai kategori gramatikal bersama, seperti penanda kala, aspek, dan negasi.
Secara semantis, KVS biasanya menyatakan suatu kejadian kompleks yang terdiri
atas dua atau lebih (sub)kejadian yang terjadi secara simultan atau berurutan
secara dekat satu sama lainnya. Secara fonologis, rentetan unit verba dalam KVS
membentuk unit intonasi yang sama/tunggal (Durie, 1997; Kroeger, 2004;
Aikhenvald, 2004).
Batasan KVS di atas sejalan dengan pandangan Verhaar (1996: 188) yang
menjelaskan bahwa struktur verba serial adalah struktur predikatif dengan verba
utama yang lebih dari satu (biasanya dua), sedemikian rupa sehingga tidak ada
verba yang tergantung dari yang lainnya. Matthews (1997: 339) menegaskan
bahwa serialisasi verba (verb serialization) merupakan salah satu dari dua atau
lebih verba yang berturutan tanpa dihubungkan dengan partikel, klitik, dan
57
penghubung lainnya.
KVS banyak ditemukan di dalam bahasa-bahasa Afrika Barat, Asia Timur
Laut (seperti bahasa China, Thai, dan Khmer), dan beberapa bahasa pijin (pidgin)
dan kreol (creole). Kalimat (114) adalah contoh KVS di dalam bahasa Gojri, salah
satu bahasa rumpun Indo-Aryan (Bukhari, 2009: 28). Cumming (1995: 54--55)
mencontohkan (115) sebagai KVS di dalam BMK.
(114) kaloo-nє seb chillii khayo
Kaloo-ERG apple-NOM peel-PF eat-PF
'Kaloo peeled the apple and ate it'
(„Kaloo mengupas apel dan memakannya‟)
(115) Maka Bat ber-diri me-muji Sang Suparba.
KONJ NAMA AKT-diri (Vitr) AKT-puji (Vtr) ART NAMA
„(Maka) Bat berdiri memuji Sang Suparba.‟
Kedua contoh kalimat di atas disebut KVS, yang ditunjukkan oleh rentetan verba
chillii khayo (114) dan berdiri memuji (115). Kedua verba ini menggambarkan
satu urutan kejadian yang dibentuk dari dua kejadian yang berbeda. Verba-verba
pembentuk KVS di atas masing-masing dapat berdiri sendiri dalam klausa tunggal
dan tidak menunjukkan hubungan ketergantungan satu sama lainnya. Karena
eksistensi data BMK menunjukkan bahwa KVS lebih produktif daripada KPK, di
dalam disertasi ini digunakan istilah KVS yang juga dalam pengertian KPK.
2.2.6 Konstruksi Klausa Kompleks
Istilah konstruksi klausa kompleks (KKK) dapat diparafrasakan menjadi
konstruksi yang berklausa kompleks. Pengertian ini dibatasi sebagai unit bahasa
(konstruksi) yang terdiri atas lebih dari satu klausa, bukan unit tata bahasa yang
secara hierarkis berada di atas klausa.
Istilah KKK adalah istilah teknis yang lazim digunakan dalam Linguistik
Fungsional Sistemik (LFS). Halliday (2005: 262) menjelaskan bahwa (konstruksi)
58
klausa kompleks merupakan bagian dari jenis klausa yang dapat dikontraskan
dengan istilah klausa tunggal. Eggins (2004: 255--256) menyebut klausa (tunggal)
sebagai klausa simpleks yang setara dengan kalimat sederhana dalam tata bahasa
formal, sedangkan KKK setara dengan kalimat majemuk dan kalimat kompleks.
Verhaar (2001: 276) menggunakan istilah klausa gabungan untuk KKK dan
klausa mandiri untuk klausa tunggal
Dalam konteks KVB, KKK didefinisikan sebagai keberadaan minimal dua
klausa dalam satu unit konstruksi tanpa pemakaian konjungtor dan penanda jeda
(tanda koma).
(116) maka aku datang baginda masuk (SM, 12.11:105)
KONJ 1T datang (Vint) baginda masuk (Vint)
„(maka) aku datang baginda masuk‟
(117) aku hendak pergi segera meng-hadap (SM, 26.21:192)
1T hendak pergi (Vint) segera AKT-hadap (Vint)
„aku hendak pergi segera menghadap‟
(118) maka ia ber-lengkap hendak meng-hadap
KONJ 3T AKT-siap(Vint) hendak AKT-hadap (Vint)
ke madjapahit (SM, 21.3:18)
PREP NAMA
„(maka) ia bersiap hendak menghadap ke majapahit‟
(119) Maka sultan `abdu'l-djamil me-nitah-kan seri wangsa diradja
KONJ sultan NAMA AKT-titah (Vtr) ART NAMA
meng-hadap ke melaka (SM 29.1:6)
AKT-hadap (Vitr) PREP NAMA
„(maka) sultan `abdu'l-djamil menitahkan sri wangsa diraja menghadap
ke melaka‟
Dari sudut keberuntunan verba, data (116)--(119) tergolong KVB karena
ketiadaan konjungtor dan penanda jeda (tanda koma) dalam satu unit konstruksi.
Dari sudut jumlah klausa, contoh-data itu tergolong KKK karena terdiri atas dua
klausa yang masing-masing perinciannya sebagai berikut.
(116) a. aku datang
b. baginda masuk
59
(117) a. aku hendak pergi
b. aku segera menghadap
(118) a. ia berlengkap
b. ia hendak menghadap ke madjapahit
(119) a. sultan `abdu'l-djamil menitahkan seri wangsa diradja
b. seri wangsa diradja menghadap ke melaka
2.3 Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tipologi yang
dikembangkan Van Staden dan Ger Reesink (Senft, Ed., 2008) dan teori tata
bahasa transformasi generatif (selanjutnya disingkat teori transformasi),
khususnya model sintaksis struktur frasa. Teori tipologi pada penelitian ini
diterapkan untuk mendeskripsikan KVB, khususnya KVS BMK dari perspektif
fonologi, sintaksis, dan semantis. Teori transformasi diterapkan untuk
menjelaskan KKK, khususnya KKK BMK tanpa konjungsi.
2.3.1 Teori Tipologi
Semua konstruksi yang memiliki lebih dari dua verba dalam satu klausa dan
tidaksatu pun dari verba-verba itu secara jelas dan formal merupakan bawahan
dari yang lainnya dikelompokkan Van Staden dan Ger Reesink (2008) ke dalam
serial verbs construction/SVC (konstruksi verba serial/KVS). Sejalan dengan
pandangan Durie (1997: 291) dan Senft (2008: 2-12), Kroeger (2004: 229--230)
mengemukakan delapan karakteristik KVS sebagai pembeda konstruksi verba
biasa atau konstruksi lainnya.
(a) Prototipe KVS mengandung dua atau lebih verba yang secara
morfologis bebas (tidak terikat) di dalam klausa yang sama.
(b) Kedua verba tidak dipisahkan oleh konjungsi subordinasi atau
koordinasi.
60
(c) KVS memiliki kontur intonasi tunggal, tidak ada jeda di antara dua
verba.
(d) Keseluruhan KVS merujuk pada peristiwa tunggal (kemungkinan dari
peristiwa kompleks).
(e) KVS yang benar hanya dapat mengandung satu spesifikasi untuk kala
(tense), aspek (aspect), modalitas (modality), negasi (negation), dan
sebagainya.
(f) Kedua verba di dalam KVS paling sedikit memerlukan satu argumen.
(g) Wajib tidak berkoreferensi (obligatory non-coreference): KVS tidak
boleh mengandung dua FN yang mengacu pada argumen yang sama.
(h) Prototipe KVS mengandung hanya satu subjek gramatikal.
Kedelapan karakteristik KVS ini dapat dikelompokkan ke dalam karakteristik
sintaktis yang meliputi karakteristik (a), (b), (e), (f), (g), (h); karakteristik
semantis (d); dan karakteristik fonologis (c). Kroeger (2004: 230) dengan
mengadopsi contoh Hyman (1975) mencontohkan KVS dan bukan KVS dalam
bahasa Nupe (bahasa Afrika Barat).
(120) a. Musa la ebi ba nakã.
Musa ambil pisau potong daging
„Musa memotong daging dengan sebilah pisau‟.
b. Musa la ebi t∫i ba nakã.
Musa ambil pisau dan potong daging
„Musa mengambil pisau dan (kemudian) memotong daging itu.‟
Contoh (120a) memenuhi kriteria sebagai KVS: (i) terdapat dua verba
beruntun --la „ambil‟ dan ba „potong‟-- tanpa pemarkah koordinatif atau
subordinatif di antara dua verba itu; (ii) hanya memiliki satu subjek gramatikal,
yakni Musa; (iii) merupakan klausa tunggal yang menggambarkan peristiwa
61
tunggal; dan(iv) (jika diintonasikan) memiliki kontur intonasi tunggal. Sebaliknya,
contoh (120b) bukan KVS karena (i) terdapat pemarkah koordinatif t∫i „dan‟ di
antara dua verba --la „ambil‟ dan ba „potong‟--; (ii) merupakan konstruksi
biklausal yang menggambarkan dua peristiwa, yakni Musa la ebi „Musa
mengambil pisau‟ dan Musa ba nakã „Musa memotong daging‟ yang
dihubungkan oleh pemarkah koordinatif t∫i „dan‟; dan (iii) (jika diintonasikan)
terdapat jeda di antara intonasi final kalimat.
Secara morfosintaktis, Van Staden dan Ger Reesink mengelompokkan KVS
menjadi empat.
(a) KVS idependen. Semua verba dalam KVS ini memiliki infleksi secara
morfologis seperti yang dimiliki klausa tunggal dalam klausa sederhana
seperti halnya persesuaian subjek, kala, aspek, dan modus. Contoh KVS
independen ditunjukkan di dalam bahasa Tidore berikut ini.
(121) ui nggae ngone fo-tagi fo-oro ino owohe ange
sand 3NH:there 1PL:INC:A-go 1PL:INC:A-fetch this:way 1PL:INC-dry sun
„the sand we go fetch it here (and) dry in the sun‟ (Van staden, 2008:
22)
(b) KVS dependen. Salah satu verba dalam KVS ini diinfleksikan, sedangkan
verba lainnya dalam bentuk tanpa afiks. Sebagai contoh, pada bahasa Taba
(dikutip dari Senft, ed., 2008: 24) prefiks rujuk-silang (cross-referencing
bersifat opsional pada verba kedua jika argumen pertama sama untuk kedua
verba, tanpa perbedaan makna yang jelas.
(122) N=sipang (n=)mul hu
3SG=descend (3SG=) descend CONT
„She is still coming back down.‟
(c) KVS kodependen. KVS ini memiliki ciri berbagi argumen dan bagian
konstruksi saling tergantung. Objek verba/klausa pertama merupakan subjek
62
verba/klausa kedua. Skema konstruksi ini dapat digambarkan sebagai berikut.
(NP) V NP obj=su V (NP)
Sebagai contoh, perhatikan KVS kodependen bahasa Taba berikut.
(123) N=babas welik n=mot do
3SG=bite pig 3SG=die REAL
„It bit the pig dead.‟ (Senft, ed., 2008: 24)
(d) KVS Kompleks. Di KVS tipe ini dua atau lebih verba memiliki satu set afiks:
prefiks dilekatkan pada verba pertama dan sufiks dilekatkan pada verba
terakhir dalam serial. KVS tipe ini sangat mirip dengan komposisi. Perhatikan
KVS kompleks dalam bahasa Inanwatan yang dikutip dari Van Staden (Senft,
ed., 2008: 27) berikut ini.
(124) Me- de- wo-re
3:SU-go:acrss-come-PAST
Tipe KVS kodependen kontradiktif dengan salah satu karakteristik KVS (h) yang
menyatakan bahwa prototipe KVS mengandung hanya satu subjek gramatikal,
sedangkan KVS kodependen mengandung dua subjek gramatikal. Oleh karena itu,
tipe KVS kodependen tidak diacu di dalam kajian ini.
Ketunggalan peristiwa dan kontur intonasi di dalam KVS dicontohkan
Kroeger (2004: 232) dengan mengutip data bahasa Sranan dari Sebba (1987)
berikut ini.
(125) a. Kofi naki Amba (*,) kiri.
Kofi hit Amba kill
„Kofi struck Amba dead.‟
b. Kofi naki Amba (,) kiri en.
Kofi hit Amba kill 3sg
„Kofi struck Amba and killed her.‟
c. Kofi sutu Amba (,) kiri Kwaku.
Kofi shoot Amba kill Kwaku
63
„Kofi shot Amba and killed Kwaku.‟
Ketidakhadiran pronomina setelah verba kiri „kill‟ (158a) berimplikasi bahwa
konstruksi ini adalah KVS sejati yang diinterpretasikan sebagai peristiwa tunggal
dan tidak ada jeda (*,) sebelum verba kiri „kill‟ itu. Di dalam konstruksi ini ada
satu kontur intonasi. Kehadiran pronomina koreferensial en „3sg‟ setelah verba
kiri „kill‟ (158b) berimplikasi bahwa konstruksi ini bukan KVS, tetapi tipe khusus
konstruksi koordinatif tanpa kehadiran konjungsi. Konstruksi koordinatif ini harus
diinterpretasikan sebagai konstruksi yang mendeskripsikan dua peristiwa yang
terpisah dan kedua verba --naki „hit‟ dan kiri „kill‟-- di dalam konstruksi itu
dipisahkan oleh jeda (,). Demikian pula halnya dengan konstruksi (158c) yang
bukan KVS juga karena kehadiran pronomina Kwaku „(nama)Kwaku‟ setelah
verba kiri „kill‟. Konstruksi ini adalah konstruksi koordinatif tanpa kehadiran
konjungsi yang harus diinterpretasikan sebagai konstruksi yang mendeskripsikan
dua peristiwa yang terpisah dan kedua verba --sutu „shoot‟ dan kiri „kill‟-- di
dalam konstruksi itu dipisahkan oleh jeda (,).
Hubungan antarverba di dalam KVS berkontribusi terhadap makna klausa.
Kroeger (2004: 227) mengakui bahwa KVS secara semantis lebih kompleks
daripada makna salah satu verbanya. Secara semantis, dengan mengompilasi
pandangan beberapa ahli (lihat Baker, 1971: 79-81; Durie, 1997: 331--338; dan
Kroeger, 2004: 227--229), KVS dapat dibedakan atas beberapa tipe: (i) KVS
sebab-akibat (causee-effect serialization), (ii) KVS kausatif (causative
serialization), (iii) KVS sasaran/benefaktif (goal/benevactive serialization), (iv)
KVS gerak (motion serialization), (v) KVS instrumental (instrumental
serialization), (vi) KVS lokatif (locative serialization), (vii) KVS tujuan (purpose
64
serialization), (viii) KVS arah (directional serialization), (ix) KVS
kesanggupan/kemampuan (modal/ability serialization), dan (x) KVS tanpa prinsip
ikonis (iconic principles do not apply) yang meliputi KVS kecaraan (manner
serialization), KVS sinonimis (synonymic serialization), dan KVS komitatif
(comitative serialization). Tipe-tipe KVS secara semantis ini akan diaplikasikan
dalam disertasi ini sesuai dengan eksistensi BMK.
2.3.2 Teori Tata Bahasa Transformasi
Teori linguistik yang dimanfaatkan untuk mengkaji KKK dalam penelitian
ini adalah teori tata bahasa transformasi generatif. Teori ini dimanfaatkan untuk
menjelaskan KKK, khususnya KKK tanpa konjungsi, baik dari segi bentuk
maupun dari segi makna.
Perkembangan teori tata bahasa transformasi sejak tahun 1957 hingga 1980-
an cukup pesat. Berdasarkan fase pertumbuhannya, teori tata bahasa transformasi
dapat dikelompokkan menjadi empat: (1) fase Syntactic Structures (1957--1964),
(2) fase Teori Standar (1964--1972), (3) fase Teori Standar yang Diperluas atau
Extended Standard Theory (EST) dan Teori Standar yang Diperluas dengan
Revisi atau Revised Extended Standard Theory (Revised EST) (1970-an), dan (4)
fase Teori Penguasaan dan Ikatan (TPI) atau On Goverment and Binding (GB)
(1980-an) (periksa Dardjowidjojo, 1987: 5 dan Silitonga, 1990: 28--47).
Di dalam Syntactic Structures (1957) Chomsky meletakkan dasar-dasar
teori tata bahasa. Menurut Chomsky, tujuan telaah linguistik adalah menjelaskan
secara sistematis perilaku kalimat-kalimat gramatikal sehingga analisis bahasa
tidak lagi dimulai dengan pengidentifikasian satuan terkecil (fonem) (bersifat
induktif), tetapi mulai dari satuan kalimat (bersifat deduktif) (Lapoliwa, 1990: 13-
65
-14). Di dalam versi Syntactic Structures kalimat terdiri atas tiga set kaidah dan
aplikasinya dijalankan secara berurutan untuk menghasilkan kalimat dalam suatu
bahasa. Kaidah-kaidah itu adalah kaidah struktur frasa, kaidah transformasi, dan
kaidah fonologi (Awang, 1988: 27)
Di dalam Teori Standar yang dikenal juga dengan versi Aspect, Chomsky
(di dalam buku Aspects of the Theory of Syntax (1965)) mengemukakan bahwa
tata bahasa terdiri atas tiga komponen utama: (1) komponen sintaksis, (2)
komponen semantik, dan (3) komponen fonologi (selanjutnya lihat Adiwoso,
1987: 47--63 dan Lapoliwa, 1990: 14). Komponen sintaksis merupakan
komponen sentral, sedangkan komponen semantik dan komponen fonologi
dianggap sebagai komponen tafsir (interpretive component). Komponen sintaksis
terdiri atas subkomponen dasar (base subcomponent) dan subkomponen
transformasi (transformational subcomponent). Subkompnen dasar terdiri atas
kaidah-kaidah struktur frasa dan leksikon. Subkomponen dasar memberikan
output struktur batin (kalimat) secara lengkap. Struktur batin itu menjadi struktur
lahir setelah mengalami perubahan seperlunya melalui kaidah-kaidah
transformasi. Struktur batin merupakan sumber untuk tafsiran makna kalimat.
Teori Standar yang Diperluas (TSD) merupakan penyempurnaan Teori
Standar sebagai hasil penelitian para linguis dan reaksi para pendukung Semantik
Generatif (SG). Perubahan itu dapat dilihat dalam hal (1) semakin dangkalnya
struktur batin, (2) ikutnya struktur lahir menentukan arti kalimat, dan (3)
mekarnya kaidah-kaidah di leksikon sebagai pengganti kaidah-kaidah
transformasional. Atas dasar perubahan ini tampak jelas bahwa struktur lahir
merupakan masukan bagi kaidah semantik yang interpretatif. Secara singkat dapat
66
dikatakan bahwa TSD adalah model yang mempunyai seperangkat kategori kata
dan kaidah semantis yang memberikan interpretasi makna berdasarkan masukan
dari struktur batin dan struktur lahir. Selanjutnya, muncul TSD dengan revisi.
Munculnya TSD dengan revisi ini banyak dipengaruhi oleh kehadiran teori jejak
(trace theory) yang mengubah konsepsi tentang struktur lahir. Struktur lahir di
dalam TSD dengan revisi semakin banyak menampung sifat-sifat struktur batin.
Peranan struktur lahir semakin penting sehingga informasi yang terdapat di dalam
struktur inilah yang merupakan masukan satu-satunya untuk kaidah-kaidah
semantis. Akhir dekade 1970-an diusulkan model tata bahasa yang
disederhanakan (dikenal dengan Model T) yang terdiri atas sintaksis, fonologi,
dan semantik.
Di dalam sintaksis termasuk teori X struktur frasa, leksikon, dan kaidah.
Pindahkan X untuk menghubungkan struktur batin dengan struktur lahir. Dalam
fonologi termasuk kaidah pelesapan, filter, dan kaidah-kaidah fonologis. Dalam
semantik terdapat kaidah anafora dan kuantifikasi. Di dalam TSD dengan revisi
ini tampak bahwa kaidah-kaidah tafsir semantik ada dua macam: kaidah-kaidah
tafsir yang bersifat linguistis (tata bahasa) dan kaidah-kaidah tafsir yang bersifat
kognitif. Kaidah tafsir linguistis mengubah struktur lahir kalimat menjadi struktur
bentuk logis (logical form). Struktur bentuk logis bersama kaidah tafsir kognitif
menghasilkan representasi semantik kalimat (Silitonga, 1990: 36 dan Lapoliwa,
1990: 14).
Dalam Teori Penguasaan dan Ikatan (TPI) dipakai juga model T era 1970-
an yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut. (Silitonga, 1990:
Sintaksis
Fonologi Semantik
67
37).
Dalam TPI, Chomsky membedakan sistem kaidah yang berlaku pada
keempat inti tata bahasa (core grammar): leksikon, sintaksis (subkomponen
kategori dan subkomponen transformasi), bentuk fonetik, dan bentuk logikal.
Salah satu aspek penting dalam TPI adalah usaha penyederhanaan kaidah-kaidah
sintaksis dengan hanya mengenal kaidah transformasi pemindahan. Kaidah
“pindahkan alpha” merupakan satu-satunya kaidah yang menghubungkan
struktur-B dengan struktur-L. Kaidah-kaidah khusus seperti kaidah pasif dan
interogatif tidak diperlukan lagi. Bentuk fonetis dan bentuk logikal merupakan
pertemuan antara bahasa dan sistem kognitif lainnya, yang menghasilkan referensi
bunyi dan arti. Dalam perkembangan selanjutnya, karena kerumitan sintaksis yang
merupakan hasil interaksi antara subsistem yang ada, teori subsistem yang
diusulkan adalah Teori Batas Perpindahan (Bounding Theory), Teori Ikatan
(Binding Theory), Teori Penguasaan (Government Theory), Teori Kasus (Case
Theory), Teori Teta (Theta Theory), Teori Kendali (Control Theory), dan Teori X
Berpalang (X-bar Theory) (Silitonga, 1990: 37--38 dan Lapoliwa, 1990: 14--15).
Dengan memperhatikan begitu luasnya perkembangan teori tata bahasa
transformasi, model deskripsi yang digunakan dalam telaah ini adalah model yang
berkembang tahun l970-an. Model ini dikenal juga sebagai sintaksis struktur frasa
(phrase strcuture syntax) yang memiliki banyak persamaan dengan analisis
Dasar
Struktur-B
Struktur-L
Bentuk Fonetis Bentuk Logikal
(BF) (BL)
68
konstituen langsung (immediate constituent analysis). Secara operasional model
kajian yang diikuti dalam telaah ini seperti yang diterapkan Sariyan (1988) dalam
kajian ”Penerapan Teori Linguistik Transformasi Generatif dalam Analisis Teks:
Suatu Kajian Kesinambungan Bahasa” dan Lapoliwa (1990) dalam kajian Klausa
Pemerlengkapan dalam Bahasa Indonesia.
Beberapa alasan pemilihan teori tata bahasa transformasi seperti dikemukan
pada bagian pengantar subbab ini adalah sebagai berikut. Pertama, tata bahasa
transformasi yang menggunakan kalimat sebagai satuan terbesar dalam analisis
cukup andal untuk telaah KKK tanpa konjungsi dalam BMK, khususnya verba
kompleks sebagai konstruksi klausa kompleks. Kedua, tata bahasa transformasi
mempermasalahkan dari mana asal suatu konstruksi kalimat. Di antara konstruksi
kalimat dipermasalahkan mana sruktur yang asali (kernel) dan mana struktur
ubahan (derived). Suatu konstruksi yang berupa struktur ubahan dipermasalahkan
asal struktur itu dan bagaimana kaidah transformasinya. Ketiga, konsep struktur
batin dan struktur lahir yang menjadi salah satu ciri khas tata bahasa transformasi
mulai dari versi Aspect of the Thepry of Syntax (Aspect) (Chomsky, 1965) sampai
dengan versi On Goverment and Binding (GB) (Chomsky, 1981) memungkin
seorang peneliti bahasa dapat menjelaskan gejala klausa yang secara lahir tidak
lengkap unsur-unsurnya, tetapi dirasakan sebagai klausa. Misalnya, bentuk
ditanamkan orang dibukit Siguntang pada (126a) atau hendak melihat matahari
terbit pada (127a) diidentifikasi sebagai klausa karena memenuhi syarat sebagai
struktur predikasi. Menurut tata bahasa transformasi, bentuk (159a) dan (160a) itu
masing-masing berasal dari kalimat dasar yang representasi struktur batinnya
seperti (126b) dan (127b).
69
(126) a. Maka seri Teribuana-pun mangkat-lah, ditanamkan
KONJ ART NAMA-PAR mangkat (Vitr)-PAR PAS-makam
orang di-bukit Siguntang (SM, 4.5)
orang PREP-bukit NAMA
„(Maka) sri Teribuana pun mangkat(lah), dimakamkan orang di Bukit
Siguntang.‟
b. [Maka seri Teribuanapuni mangkatlah, [seri Teribuanapuni
ditanamkan orang dibukit Siguntang.]]
(127) a. Baginda ber-djalan hendak me-lihat
baginda AKT-jalan (Vitr) hendak AKT-lihat (Vtr)
matahari terbit. (SM 1.1)
matahari terbit (Vitr)
„Baginda berjalan hendak melihat matahari terbit.‟
b. [Bagindai berdjalan [Bagindai hendak melihat matahari terbit.]]
Bentuk (126a) dan (127a) diperoleh masing-masing dari kalimat dasar (126b) dan
(127b) dengan melesapkan nomina yang sama. Kaidah pelesapan pada (126b)
bersifat opsional, sedangkan pada (127b) bersifat wajib. Keempat, salah satu
kaidah transformasi dari struktur batin ke struktur lahir adalah kaidah pelesapan.
Kaidah pelesapan ini sangat relevan dengan satu bagian analisis kajian ini
sehingga mekanisme pelesapan di dalam KKK BMK dapat dijelaskan dengan
lebih baik.
2.4 Model Penelitian
Gambaran umum mekanisme kerja teoretis dan metodelogis penelitian
disajikan dalam bagan berikut. Hubungan antara korpus data, objek (formal)
penelitian, metodologi peneliatian, kerangka teori acuan, dan temuan divisualkan
dengan model penelitian di bawah ini.
70
Teori Tipologi Teori Transformasi
Berbagai Tipe KVS dari
Segi Bentuk dan Makna
Berbagai Tipe KKK dari
Segi Bentuk dan Makna
Konstruksi Verba
Beruntun
Metodologi Penelitian
Deskripsi Konstruksi
Verba Beruntun
Bahasa Melayu Klasik
Temuan
1. KVS:
a. KVS di dalam BMK pada umumnya berupa KVB V1+V2.
b. KVS yang berupa KVB V1+X+V2 adalah konstruksi V1←X→V2 (X adalah
argumen inti subjek gramatikal-bersama bagi V1 dan V2) dan konstruksi
V1←X+V2 (X adalah partikel penegas -lah dan partikel penekanan pula yang
mengacu V1).
2. KKK:
a. KKK di dalam BMK pada umumnya berupa KVB V1+X+V2.
b. KKK yang berupa KVB V1+V2 adalah konstruksi V1+V2 yang ditandai oleh
pemakaian verba menjuruh sebagai V1.