23
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab II ini berisi kajian teori tentang variabel-variabel yang terdapat dalan rumusan masalah yang ditetapkan peneliti, antara lain: pembelajaran matematika di SD, melalui metode problem based introduction. 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Matematika dan Pembelajarannya di SD 2.1.1.1 Pengertian Matematika Istilah “matematika” berasal dari kata Yunani “mathein” atau “mantheneinyang artinya “mempelajari”. Mungkin juga kata itu erat hubungannya dengan kata Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya ialah “kepandaian”, “ketahuan”, atau “inteligensi” (Andi Hakim Nasution, 1978: 12). Di bagian lain beliau berpendapat istilah “matematika” lebih tepat digunakan daripada “ilmu pasti” karena memang benarlah, bahwa dengan menguasai matematika orang akan belajar mengatur jalan pikirannya dan sekaligus belajar menambah kepandaiannya (Andi Hakim Nasution, 1987: 12). Dengan demikian pembelajaran matematika adalah cara berpikir dan bernalar yang digunakan untuk memecahkan berbagai jenis persoalan dalam keseharian, sains, pemerintah, dan industri. Lambang dan bahasa dalam matematika bersifat universal sehingga dipahami oleh bangsabangsa di dunia. Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972) dalam Erna Suwaningsih (2006: 4) matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11172/2/T1_292014705_BAB II... · keseharian, sains, pemerintah, dan industri. Lambang dan bahasa

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab II ini berisi kajian teori tentang variabel-variabel yang terdapat dalan

rumusan masalah yang ditetapkan peneliti, antara lain: pembelajaran matematika di

SD, melalui metode problem based introduction.

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Matematika dan Pembelajarannya di SD

2.1.1.1 Pengertian Matematika

Istilah “matematika” berasal dari kata Yunani “mathein” atau “manthenein”

yang artinya “mempelajari”. Mungkin juga kata itu erat hubungannya dengan kata

Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya ialah “kepandaian”, “ketahuan”, atau

“inteligensi” (Andi Hakim Nasution, 1978: 12). Di bagian lain beliau berpendapat

istilah “matematika” lebih tepat digunakan daripada “ilmu pasti” karena memang

benarlah, bahwa dengan menguasai matematika orang akan belajar mengatur jalan

pikirannya dan sekaligus belajar menambah kepandaiannya (Andi Hakim Nasution,

1987: 12). Dengan demikian pembelajaran matematika adalah cara berpikir dan

bernalar yang digunakan untuk memecahkan berbagai jenis persoalan dalam

keseharian, sains, pemerintah, dan industri. Lambang dan bahasa dalam matematika

bersifat universal sehingga dipahami oleh bangsa–bangsa di dunia.

Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972) dalam Erna Suwaningsih (2006:

4) matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis,

matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan

cermat, jelas, dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa

bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika adalah

pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori dibuat secara

deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori

10

yang telah dibuktikan kebenarannya adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide,

dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan

keharmonisannya.

Dari berbagai pendapat mengenai matematika, dapat disimpulkan bahwa

matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bilangan, bentuk-bentuk

(geometri) yang dapat diekspresikan dan dioperasikan melalui simbol-simbolnya

dimana memerlukan kacakapan berpikir khususnya dalam berlogika atau mengamati

pola dan berpikir rasional.

2.1.1.2 Pembelajaran Matematika

Matematika di sekolah mendorong siswa berpikir secara logis, menganalis

data, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah yang timbul dalam situasi dan

kehidupan nyata serta menggunakan konsep-konsep matematika dengan cara yang

penuh makna, Muschla, J. A. dan Muschla, G.R. (2009:3). Senada dengan pendapat

Muschla, J. A. dan Muschla, G.R., Daryanto (2013:411) juga mengungkapkan bahwa

pembelajaran matematika perlu diberikan sejak sekolah dasar agar siswa mampu

berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif serta kemampuan bekerja sama.

Menanamkan daya nalar dan membiasakan anak berfikir logis adalah tujuan pokok

dari pembelajaran matematika di sekolah. Matematika bukan merupakan ilmu

empiris. Matematika merupakan ilmu hitung dan ilmu ukur. Metode matematika tidak

memusat pada realitas nyata melainkan daya abstraksi atau yang diciptakan bebas

oleh nalar manusia, Drost (2008: 91).

2.1.1.3 Pembelajaran Matematika di SD

Pembelajaran suatu pelajaran akan bermakna bagi siswa apabila guru

mengetahui tentang objek yang akan diajarkannya sehingga dapat mengajarkan

materi tersebut dengan penuh dinamika dan inovasi dalam proses pembelajarannya.

Demikian halnya dengan pembelajaran matematika di sekolah dasar. Pada saat ini

11

masih ada guru yang memberikan konsep-konsep matematika sesuai jalan pikirnya,

tanpa memperhatikan bahwa jalan pikiran siswa berbeda dengan jalan pikiran orang

dewasa dalam memahami konsep-konsep matematika yang abstrak sesuai dengan

definisi matematika yang sudah dikemukakan oleh beberapa ahli. Sesuatu yang

terkadang dianggap mudah oleh orang dewasa terkadang dapat dianggap sulit oleh

seorang anak. Anak usia SD adalah anak yang berada pada usia sekitar 7 sampai 12

tahun. Menurut Piaget anak usia sekitar ini masih berpikir pada tahap operasional

konkret artinya siswa SD belum berpikir formal (Erna Suwangsih, 2006: 15).

2.1.1.4 Peran Matematika di SD

Pemahaman terhadap peranan pengajaran matematika di sekolah dasar

sangat membantu para guru untuk memberikan pembelajaran matematika secara

proporsional sesuai dengan tujuannya. Sebagaimana tercantum dalam dokumen

BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006: 2) mata pelajaran matematika

perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk

membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,

dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar

peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan

memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,

tidak pasti, dan kompetitif.

Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika dalam dokumen ini

disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut

di atas. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan

menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide

atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.

Metode pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran

matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka

dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk

12

meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan

memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan

menafsirkan solusinya.

Peran matematika dalam (Permendikbud, 2013: 231) Kecakapan atau

kemahiran matematika merupakan bagian dari kecakapan hidup yang harus

dimiliki siswa terutama dalam pengembangan penalaran, komunikasi, dan

pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan siswa sehari-hari.

Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang studi

memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, merupakan sarana komunikasi

yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam

berbagai cara, meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran

keruangan, memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang

menantang, mengembangkan kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan

kesadaran terhadap perkembangan budaya.

2.1.2 Problem Based Introduction

2.1.2.1 Pengertian Problem Based Introduction

Dewey (Trianto, 2007) PBI (Problem Based Introduction) adalah interaksi

antara stimulus dengan respon, atau dapat pula didefinisikan sebagai sebuah interaksi

antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan membantu siswa menyediakan

masalah-masalah tertentu, sedangkan sistem syaraf otak membantu menafsirkan

bantuan sehingga masalah yang tersedia di lingkungan dapat terpecahkan dengan

baik.

Arends (Trianto, 2007) PBI (Problem Based Introduction) merupakan

pembelajaran di mana siswa mengerjakan masalah secara otentik supaya mereka

dapat menyusun pengetahuan mereka sendiri, keterampilan berpikir tingkat tinggi

serta mengembangkan kemandirian dan sifat percaya diri.

13

2.1.2.2 Landasan Teoretik Metode Problem Based Introduction

Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk

meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnya problem based introduction.

Premis dasar dalam psikologi kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi

pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser

(1991) secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan

bukan penerimaan. Proses-proses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi

penggunaan pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi

pembelajaran.

2.1.2.3 Tujuan Metode Problem Based Introduction

Departemen Pendidikan Nasional (2003),pembelajaran ini membuat siswa

menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat

memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk

belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk

menyelesaikan belajarnya itu. Dari pengertian ini, dikatakan bahwa tujuan utama

pembelajaran berbasis masalah adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam

berpikir dan memotivasi siswa untuk terus belajar.

Muslimin Ibrahim (2000:7) Pembelajaran ini tidak dirancang untuk membantu

guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi

pembelajaran problem based introduction dikembangkan untuk membantu siswa

mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan

intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam

pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pembelajar yang mandiri.

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis

masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu

guru mengumpulkan informasi yang nantinya akan diberikan kepada siswa saat

proses pembelajaran.

14

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran

menggunakan metode problem based Introduction bertujuan untuk:

1. membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan

pemecahan masalah,

2. belajar peranan orang dewasa yang otentik,

3. menjadi siswa yang mandiri,

4. untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan

transfers pengetahuan baru,

5. mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif

6. meningkatkan kemampuan memecahkan masalah

7. meningkatkan motivasi belajar siswa

8. membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi baru

2.1.2.4 Prinsip-Prinsip Metode Problem Based Introduction

Berdasar pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran yang

berkaitan dengan problem based introduction.

1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan. Pembelajaran tradisional

didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan ke

kepala pebelajar. Kepala pebelajar dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi

melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan

informasi oleh pebelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di

perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer

panggil(call number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi.

Namun, psikologi kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur

asosiatif. Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan

semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan

informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana

menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan

dipanggil.

15

2. Knowing about knowing (metakognisi) mempengaruhi pembelajaran.Prinsip

kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar

mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu

pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang

sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I

going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it

work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan

pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode

pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan

metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni

menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan

masalah masuk akal?

3. Faktor-faktor kontekstual dan sosial mempengaruhi pembelajaran. Prinsip ketiga

ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar untuk

memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah

merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan

penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai

dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan

pengetahuan. Namun studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar mengalami

kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995).

Studi juga menunjukkan bahwa pendidikantradisional tidak memfasilitasi

peningkatan peman masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori

fisika ( misalnya, Clement, 1990).

Bridges (1992) dan Charlin (1998) Dalam melaksanakan proses pembelajaran

problem based introduction ini, Bridges dan Charlin telah menggariskan beberapa

ciri-ciri utama seperti berikut.

1. Pembelajaran berpusat dengan masalah.

16

2. Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin

akan dihadapi oleh siswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.

3. Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh siswa saat proses pembelajaran disusun

berdasarkan masalah.

4. Para siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.

5. Siswa aktif dengan proses bersama.

6. Pengetahuan menyokong pengetahuan yang baru.

7. Pengetahuan diperoleh dalam konteks yang bermakna.

8. Siswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.

9. Kebanyakan pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok kecil.

2.1.2.5 Langkah-langkah Problem Based Introduction

Langkah – langkah dalam metode Problem Based Introduction antara lain :

. a. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau

alat pendukung yang dibutuhkan. Memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas

pemecahan masalah yang dipilih.

b. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)

c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen

untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data,

hipotesis, pemecahan masalah.

d. Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti

laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.

e. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

eksperimen mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Berikut ini adalah metode problem based introduction berdasarkan

permendiknas nomor 41 tahun 2007:

17

Tabel 1

Pemetaan Metode Problem Based Introduction berdasarkan

Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Metode Sintak Kegiatan Pembelajaran

Pendahu

luan

Eklsplo

rasi

Elabor

asi

Konfir

masi

problem

based

introduction

1. Memaparkan topik yang akan

dikaji, tujuan belajar, motivasi,

dan memberikan penjelasan

ringkas.

2. Kelompok merumuskan

hipotesis dan merancang

percobaan atau mempelajari

tahapan percobaan yang

dipaparkan oleh guru, LKS, atau

buku. Guru memimbing dalam

perumusan hipotesis dan

merencanakan percobaan.

3. Guru memfasilitasi

kelompok dalam melaksanakan

percobaan /investigasi

4. Kelompok melakukan

percobaan atau pengamatan

untuk mengumpulkan data yang

dibutuhkan untuk menguji

hipotesis.

5. Kelompok mengorganisasi

dan menganalisis data serta

membuat laporan hasil

percobaan atau pengamatan.

6. Kelompok memaparkan

hasil investgasi (percobaan atau

pengamatan) dan

mengemukakan konsep yang

ditemukan. Guru membimbing

peserta didik dalam

mengkonstruksi konsep

berdasarkan hasil investigasi.

18

Penerapan metode problem based introduction di dalam Permendiknas Nomor

41 Tahun 2007 dapat menjadi pedoman guru dalam meningkatkan pembelajaran di

sekolah dasar. Penekanan pada kerja ilmiah dengan proses menemukan konsep

matematika akan lebih mudah diterapkan pada pendidikan sekolah dasar jika

memperhatikan karakteristik siswa SD. Teori Dienes yang bertumpu pada teori Piaget

mengemukakan bahwa konsep-konsep matematika akan mudah dan berhasil untuk

dipelajari apabila melalui tahapan tertentu

Tolok ukur langsung yang sering dipakai oleh guru untuk mengetahui

pemahaman siswa mengenai materi yang telah diberikan adalah dengan melihat hasil

belajar. Hasil belajar merupakan suatu ukuran berhasil tidaknya siswa setelah

menempuh pelajaran.

Berikut ini adalah pemetaan implementasi metode problem based introduction

dengan media audio visual terhadap hasil belajar matematika siswa:

Tabel 2

Implementasi Metode Problem Based Introduction dengan Media Audio

Visual

Sintaks problem Based

Introduction

Langkah

dalam

standar

proses

Kegiatan Guru

Guru memaparkan topik

yang akan dikaji, tujuan

belajar, motivasi, dan

memberikan penjelasan

ringkas.

Pendahuluan Siswa diberi penjelasan mengenai topik

dan tujuan dan kegiatan pembelajaran

yang akan dilakukan.

Guru memberikan motivasi tentang

perlunya mempelajari segi banyak untuk

dapat memecahkan masalah dalam

kehidupan sehari-hari dengan cara

meningkatkan rasa ingin tahu.

Guru mengajukan

permasalahan atau

pertanyaan yang terkait

dengan topik yang dikaji.

Pendahuluan Siswa diberikan permasalahan atau

pertanyaan yang terkait dengan topik

yang dikaji.

19

Sintaks problem Based

Introduction

Langkah

dalam

standar

proses

Kegiatan Guru

Kelompok merumuskan

hipotesis dan merancang

percobaan atau

mempelajari tahapan

percobaan yang

dipaparkan oleh guru,

LKS, atau buku. Guru

memimbing dalam

perumusan hipotesis dan

merencanakan percobaan.

Pendahuluan Kelompok merumuskan hipotesis

(Siswa menjawab kemungkinan-

kemungkinan jawaban) dengan arahan

guru.

Guru memfasilitasi

kelompok dalam

melaksanakan percobaan

/investigasi

Eksplorasi Guru memfasilitasi kelompok dalam

melaksanakan percobaan /investigasi

dalam rangka pengumpulan data dengan

mengamati macam-macam bangun

datar.

Kelompok melakukan

percobaan atau

pengamatan untuk

mengumpulkan data yang

dibutuhkan untuk menguji

hipotesis.

Elaborasi Kelompok melakukan percobaan atau

pengamatan yang ditemukan siswa

dengan arahan guru.

.

Kelompok memaparkan

hasil investigasi

(percobaan atau

pengamatan) dan

mengemukakan konsep

yang ditemukan. Guru

membimbing peserta didik

dalam mengkonstruksi

konsep berdasarkan hasil

investigasi.

Konfirmasi Siswa menarik kesimpulan berdasarkan

kegiatan yang telah dilakukan dengan

mengisi LKS yang disediakan guru.

Siswa menulis dan mempresentasikan

penemuan.

20

2.1.2.6 Pelaksanaan pembelajaran problem based introduction

Pierce dan Jones (Ratnaningsih, 2003) mereka mengemukakan bahwa

kejadian-kejadian yang harus muncul pada waktu pelaksanaan pembelajaran berbasis

masalah adalah sebagai berikut:

a. Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai

pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan

siswa pada situasi yang mendorong untuk mampu menemukan masalah dan

meneliti permasalahan sambil mengajukkan dugaan dan rencana penyelesaian.

b. Inkuiri dan investigasi (inquiry dan investigation) yang mencakup kegiatan

mengeksplorasi dan mendistribuskan informasi.

c. Performansi (performnace) yaitu menyajikan temuan.

d. Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan

refleksi terhadap proses pemecahan masalah.

Muslimin Ibrahim menjelaskan bahwa dalam menerapkan model

pembelajaran berbasis masalah membutuhkan banyak latihan dan perlu membuat ke

putusan-keputusan khusus pada fase-fase perencanaan, interaksi dan setelah

pembelajaran.

Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh

peserta didik yang diajar dengan problem based introduction yaitu:

1. Inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah.

2. Siswa yang melakukan inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan

ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) dimana mereka

akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan

reasoning.

3. Belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan

4. Ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).

21

2.1.2.7 Kelebihan dan Kekurangan Metode Problem Based Introduction dalam

Pemanfaatannya

a. Kelebihan metode problem based introduction dalam pemanfaatannya adalah

sebagai berikut.

1. Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif

2. Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah

3. Meningkatkan motivasi siswa dalam belajar

4. Membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi

baru

5. Dapat mendorong siswa/mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar

secara mandiri

6. Mendorong kreativitas siswa dalam pengungkapan penyelidikan masalah

yang telah ia lakukan

7. Dengan PBM akan terjadi pembelajaran bermakna.

8. Dalam situasi PBM, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan

ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang

relevan.

9. PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan

inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat

mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

b. Kekurangan Metode Problem Based Introduction dalam

Pemanfaatannya adalah sebagai berikut.

1. Kurang terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini. Peserta

didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan metode konvensional, pemberian

materi terjadi secara satu arah.

2. Kurangnya waktu pembelajaran. Proses PBI terkadang membutuhkan

waktu yang lebih banyak. Peserta didik terkadang memerlukan waktu untuk

22

menghadapi persoalan yang diberikan. Sementara, waktu pelaksanaan PBI

harus disesuaikan dengan beban kurikulum.

3. Menurut Fincham et al. (1997), "PBI tidak menghadirkan kurikulum baru

tetapi lebih pada kurikulum yang sama melalui metode pengajaran yang

berbeda

4. Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting bagi mereka

untuk belajar, terutama di daerah yang mereka tidak memiliki pengalaman

sebelumnya.

5. Seorang guru mengadopsi pendekatan PBI mungkin tidak dapat untuk

menutup sebagai bahan sebanyak kursus kuliah berbasis konvensional. PBI

bisa sangat menantang untuk melaksanakan, karena membutuhkan banyak

perencanaan dan kerja keras bagi guru. Ini bisa sulit pada awalnya bagi guru

untuk "melepaskan kontrol" dan menjadi fasilitator, mendorong siswa untuk

mengajukan pertanyaan yang tepat daripada menyerahkan mereka solusi.

2.1.3 Media Pembelajaran Audio Visual

Penggunaan media dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar

memiliki peran yang sangat penting mengingat perkembangan siswa sekolah

dasar masih berada pada tahapan masa konkret, dalam hal ini siswa diharapkan

dapat mempelajari sesuatu secara nyata.

Menurut Heinich, dkk (Sri Anitah W, dkk 2007:6.3) media merupakan

alat saluran komunikasi. Media berasal dari bahasa Latin “medium” yang secara

harafiah berarti “perantara”, yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan

penerima pesan (a receiver).

Menurut Asep Herry Hermawan, dkk (2007:3.49) media audio-visual

merupakan kombinasi dari media audio dan media visual atau biasa disebut

23

media pandang dengar. Dengan menggunakan audio-visual ini maka penyajian

isi tema akan semakin lengkap.

Menurut Sri Anitah W, dkk (2007:2.9) media audio adalah media yang

mengandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat

merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan para siswa untuk

mempelajari bahan ajar.

Menurut Asep Herry Hermawan, dkk (2007:3.49) media visual adalah

media yang hanya dapat dilihat. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Sri

Anitah W, dkk (2007:6.17) media visual adalah media yang hanya dapat dilihat

dengan menggunakan indra penglihatan.

Salah satu hasil riset yang dilakukan oleh British Audio-Visual

Association (Asep Heri Hermawan 2007:3.48) menyatakan bahwa rata-rata

jumlah informasi yang diperoleh seseorang melalui indera menunjukkan

komposisi sebagai berikut (a) 75% melalui indera penglihatan(visual), (b) 13%

melalui indera pendengaran (auditori), (c) 6% melalui indera penciuman dan

lidah.

Sesuai dengan pendapat-pendapat diatas maka media pembelajaran audio-

visual dapat didefinisikan sebagai media pembelajaran yang dapat didengar

sekaligus dapat dilihat sehingga diharapkan bisa mengikis verbalisme dan

mengoptimalkan penerimaan informasi bagi siswa yang akhirnya memudahkan

siswa dalam memahami materi yang diajarkan guna mencapai hasil belajar yang

lebih baik.

Masih rendahnya hasil belajar matematika siswa SD kelas VI SD Negeri

2 Gedongsari dan belum tercapainya kriteria ketuntasan minimal yang telah

ditetapkan dapat terjadi karena pembelajaran matematika yang didesain guru

terkesan monoton, kurang bervariasi dan tidak menggunakan media

24

pembelajaran yang variatif yang menyebabkan kurangnya motivasi serta minat

belajar dan perhatian siswa sehingga siswa kurang aktif, merasa kesulitan dan

menjadi bosan.

Mengadakan variasi dalam penggunaan media bukan sebagai pelengkap

pembelajaran tetapi benar-benar sesuai dengan karakteristik siswa sekolah dasar

yang masih berada pada tahapan masa konkret, dalam hal ini siswa diharapkan

dapat mempelajari sesuatu secara nyata.

Seorang guru kadang beranggapan bahwa peran media dalam proses

pembelajaran itu hanya terbatas sebagai alat bantu semata dan boleh diabaikan

manakala media itu tidak tersedia di sekolah. Guru harus memiliki pandangan

sebaliknya, yaitu bahwa media itu merupakan bagian integral dari keseluruhan

proses pembelajaran. Media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang

tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dengan komponen lainnya dalam

rangka menciptakan situasi belajar yang diharapkan. Tanpa media yang tepat

pembelajaran tidak akan berjalan dengan efektif, sehingga pencapaian daya serap

siswa dalam pembelajaranpun tidak akan optimal.

2.2 Hasil Belajar

2.2.1 Pengertian Hasil Belajar

Menurut Sudjana (2004:22) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan

yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar dapat

dikategorikan menjadi tiga bidang, yaitu bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Hasil belajar di antara siswa jelas akan berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh faktor-

faktor tertentu yaitu faktor dari dalam siswa dan dari luar siswa (Sudjana 1989:39).

Menurut Gagne dalam Suprijono (2013: 5) hasil belajar itu berupa (a)

Informasi verbal adalah kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk

25

bahasa, baik lisan maupun tertulis, (b) Keterampilan intelektual adalah kemampuan

mempresentasikan konsep dan lambang, (c) Strategi kognitif adalah kecakapan

menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, (d) Keterampilan

motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan

koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani, (e) Sikap adalah

kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek

tersebut.

Kegiatan atau usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu merupakan

proses belajar sedang perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar.

Dengan demikian belajar akan menyangkut proses belajar dan hasil belajar (Hudoyo,

1988: 1). Kingsley dalam Sudjana (2004: 22) membagi tiga macam hasil belajar

mengajar menjadi: (1) Keterampilan dan kebiasaan, (2) Pengetahuan dan pengarahan,

(3) Sikap dan cita-cita. Menurut Gagne dalam Sudjana (2008: 22) hasil belajar adalah

dicapainya sejumlah kemampuan setelah mengikuti proses belajar mengajar, yaitu

ketrampilan intelektual (pengetahuan), strategi kognitif (memecahkan masalah),

informasi verbal (mendeskripsikan sesuatu), ketrampilan motorik, sikap dan nilai.

Bloom dan Kratwohl (dalam Usman, 1994: 29) juga mengemukakan bahwa hasil

belajar merupakan perubahan tingkah laku yang secara umum dapat dikelompokkan

ke dalam tiga kategori yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Menurut Bloom dalam Suprijono (2013: 6) hasil belajar adalah kemampuan

yang mencangkup aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Aspek kognitif adalah

knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan,

meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan

hubungkan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan

baru), dan evaluation (menilai). Aspek afektif adalah receiving (sikap menerima),

responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi),

characterization (karakterisasi). Aspek psikomotor meliputi initiatory, pre-routine,

dan rountinized. Aspek psikomotor juga mencangkup keterampilan produktif, teknik,

fisik, sosial, managerial, dan intelektual.

26

Bloom dalam Usman (1994: 29) membagi ranah kognitif menjadi enam

bagian, yaitu: (1) Pengetahuan, yang mengacu pada kemampuan mengenal atau

mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori

yang sulit, (2) pemahaman, yang mengacu pada kemampuan memahami makna

materi, (3) penerapan, yang mengacu pada kemampuan menggunakan atau

menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut

penggunaan aturan atau prinsip, (4) analisis, yang mengacu pada kemampuan

menguraikan materi ke dalam komponen-komponennya, (5) sintesis, yang mengacu

pada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga

membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru, dan (6) evaluasi, yang mengacu

pada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan

tertentu.

Hasil belajar menurut Suprijono (2013: 5) adalah pola-pola dari perbuatan,

nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan dan keterampilan. Hasil

belajar adalah secara keseluruhan bukan salah satu aspek saja. Rasyid (2008: 9) juga

berpendapat bahwa hasil belajar jika di tinjau dari segi proses pengukurannya,

kemampuan seseorang dapat dinyatakan dengan angka. Dengan demikian, hasil

belajar siswa dapat diperoleh guru dengan terlebih dahulu memberikan seperangkat

tes kepada siswa untuk menjawabnya. Hasil tes belajar siswa tersebut akan

memberikan gambaran informasi tentang kemampuan dan penguasaan kompetensi

siswa pada suatu materi pelajaran yang kemudian dikonversi dalam bentuk angka-

angka.

Arikunto dan Gagne dalam Sukiman (2012) mengungkapkan pada dasarnya

hasil belajar adalah akibat dari adanya evaluasi belajar (tes) dan evaluasi belajar

dilakukan untuk mengetahui kemampuan yang telah diperoleh siswa setelah

melakukan proses pembelajaran. Tes tersebut dapat digunakan untuk mengukur

secara jelas hasil belajar yang telah ditetapkan sesuai tujuan pembelajaran (Purwanto,

2010). Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada pendapat

Arikunto dan Gagne, yaitu kemampuan yang dicapai oleh siswa setelah mengalami

27

proses pembelajaran di kelas yang dapat dilakukan melalui evaluasi belajar (tes

tertulis).

2.2.2 Hubungan Metode Problem Based Introduction Terhadap Hasil Belajar

Matematika

Matematika dapat didefinisikan sebagai studi dengan logika yang ketat dari

topik seperti kuantitas, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika merupakan

tubuh pengetahuan yang dibenarkan (justified) dengan argumentasi deduktif,

dimulai dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi". Kecakapan atau kemahiran

matematika merupakan bagian dari kecakapan hidup yang harus dimiliki siswa

terutama dalam pengembangan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah-

masalah yang dihadapi dalam kehidupan siswa sehari-hari (Permendikbud Nomor 57

Tahun 2014: 231). Kecakapan dan kemahiran matematika dapat diwujudkan dalam

pendidikan di sekolah dasar salah satunya melalui pendekatan pembelajaran.

2.2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Asrul Karim berjudul “Penerapan

metode problem based introduction dalam Pembelajaran Matematika untuk

Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sekolah

Dasar.” Rendahnya pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa

merupakan masalah yang krusial dalam pembelajaran matematika. Untuk

menyelesaikan masalah tersebut, perlu adanya suatu metode pembelajaran yang

inovatif dan dapat mengaktifkan siswa di dalam kelas. Salah satu metode yang dapat

dilakukan adalah dengan menerapkan metode problem based introduction. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pembelajaran matematika dengan

metode problem based introduction terhadap kemampuan pemahaman konsep dan

kemampuan berpikir kritis siswa sekolah dasar. Penelitian ini menggunakan desain

penelitian tindakan kelas. Subyek penelitian melibatkan 30 siswa Sekolah Dasar di

Kecamatan Kuta Blang Dari pembahasan hasil penelitian, setelah diterapkan

28

pembelajaran matematika dengan metode problem based introduction diketahui

bahwa pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan metode problem based introduction lebih baik dalam

meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis. Selain itu sebagian

besar siswa menunjukkan sikap positif terhadap pembelajaran matematika dengan

metode problem based introduction. Berdasarkan temuan penelitian, maka

pembelajaran matematika dengan metode problem based introduction sangat

potensial diterapkan di lapangan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.

Penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Leo Adhar Effendi berjudul

“Pembelajaan Matematika dengan Metode problem based introduction untuk

Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

SD.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan peningkatan

kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis antara siswa yang

memperoleh pembelajaran matematika dengan metode problem based introduction

dan pembelajaran konvensional. Selain itu diungkap pula interaksi antara

pembelajaran dengan kategori kemampuan awal matematis siswa, serta sikap

siswa terhadap matematika dan pembelajaran dengan metode problem based

introduction. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Sampel adalah

28 siswa kelas V yang berasal dari salah satu SD Negeri di Magelang. Hasil

penelitian menunjukan bahwa kemampuan kemampuan representasi dan pemecahan

masalah matematis. Pembelajaran matematika dengan metode problem based

introduction lebih baik daripada menggunakan pembelajaran konvensional. Terdapat

interaksi yang signifikan antara pembelajaran dengan kategori kemampuan awal

matematis siswa. Siswa memiliki sikap positif terhadap matematika dan pembelajaran

dengan metode problem based introduction

2.3 Kerangka Pikir

Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang

studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai merupakan sarana komunikasi

29

yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam

berbagai cara, meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran

keruangan, memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang

menantang, mengembangkan kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan

kesadaran terhadap perkembangan budaya Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007.

Melalui metode problem based introduction akan melatih siswa dalam meningkatkan

kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, dan kreatif dalam memecahkan masalah

kontektual sehingga siswa diharapkan mengerti penggunaan matematika di dalam

kehidupan sehari-hari.

Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007, dalam proses belajar, Bruner

mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya

perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan

memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan seperti ini

bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih

kreatif. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus

berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat

perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk

memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang

dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Berdasarkan pada uraian di atas, gagasan kerangka pikir tersebut bila

disajikan akan tampak seperti gambar dibawah ini:

30

2.3 Hipotesis Tindakan

Kondisi awal

Siswa belajar matematika hanya berpusat

pada angka, rumus, hafalan.

Hasil

Siswa hanya mampu menghafal rumus matematika

tanpa mengetahui bagaimana rumus itu ditemukan

dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Permendiknas No 41 Tahun 2007

Ketrampilan matematika yang sesuai merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan

jelas, dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, meningkatkan

kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, memberikan kepuasan

terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang, mengembangkan kreaktivitas.

Solusi

Penggunaan pendekatan dan model

pembelajaran yang mengubah konsep

dalam kondisi awal.

Di desain sesuai dengan karakteristik

dan perkembangan siswa SD

Melalui metode problem based introduction

Hasil

Berpikir logis, sistematis, kritis, kreatif, matematika

menyenangkan, menemukan, pemecahan masalah dalam

kehidupan sehari-hari.

Hasil

Peningkatan hasil

belajar

Melalui metode problem based

introduction

31

2.4 Hipotesis Tindakan

Bertitik tolak dari analisis penyebab masalah seperti diuraikan diatas, maka

dapat diambil hipotesis tindakan yaitu pendekatan metode Problem Based

Introduction dengan media audio visual dapat meningkatkan hasil belajar matematika

siswa kelas VI SD Negeri 2 Gedongsari Kecamatan Jumo Kabupaten Temanggung

Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015.