13
16 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Tabel Penelitian Terdahulu No Penelitian/judul Hasil Relevansi 1 Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik Di Lampung Selatan (Studi Kasus Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung Selatan) Bethra Ariesra, Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang tahun 2013. Konflik yang terjadi antara Etnik Bali (Balinuraga) dan Etnik Lampung (Agom) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 disebabkan oleh satu akar penyebab utama dengan beberapa faktor yang memperkuat. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu: 1. Akar penyebab utama (primer), yaitu perilaku Etnik Bali (Balinuraga) dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung perasaan dan tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung). 2. Faktor yang memperkuat (sekunder), yaitu: a. Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Etnik Bali (Balinuraga) dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung di sekitar Desa Balinuraga. b. Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari Etnik Lampung, karena banyak tanah penduduk yang beralih tangan kepada warga Desa Balinuraga melalui jerat hutang. c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang tidak pernah tuntas menyentuh sampai akar permasalahan konflik. Penyelesaian konflik tampak hanya terselesaikan di permukaan saja dan ditataran elit tokoh kedua etnik, namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat di tataran lapangan yang langsung Konflik antar etnik yang terjadi di Lampung tentu memiliki relevansi yang kuat terhadap apa yang akan diteliti oleh peneliti kali ini. Pertama, melihat hasil penelitian konflik antar etnis yang terjadi di Lampung dari segi faktor penyebab dan wujud konfliknya hampir sama. Hanya saja yang membedakan antara dua kasus ini adalah faktor-faktor pemantik terjadinya konflik manifest ke permukaan. Konflik yang terjadi di sumbawa sejauh ini belum diketahui motif dan tujuannya. Karena konflik ini selain berangkat dari adanya korban jiwa, juga banyak spekulasi yang berbeda-beda. Misalnya, pertama, beberapa hal yang berkaitan dengan proses penanganan kasus oleh kepolisian, kedua, menyebarnya isu-isu provokatif yang dengan cepat memancing emosietnis pribumi, dan oknum- oknum yang terlibat kerusuhan justru bukan dari etnis Samawa asli.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Tabel Penelitian Terdahulu

No Penelitian/judul Hasil Relevansi 1 Akar Konflik Kerusuhan

Antar Etnik Di Lampung Selatan (Studi Kasus Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung Selatan) Bethra Ariesra, Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang tahun 2013.

Konflik yang terjadi antara Etnik Bali (Balinuraga) dan Etnik Lampung (Agom) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 disebabkan oleh satu akar penyebab utama dengan beberapa faktor yang memperkuat. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu: 1. Akar penyebab utama (primer), yaitu perilaku Etnik Bali (Balinuraga) dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung perasaan dan tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung). 2. Faktor yang memperkuat (sekunder), yaitu: a. Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Etnik Bali (Balinuraga) dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung di sekitar Desa Balinuraga. b. Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari Etnik Lampung, karena banyak tanah penduduk yang beralih tangan kepada warga Desa Balinuraga melalui jerat hutang. c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang tidak pernah tuntas menyentuh sampai akar permasalahan konflik. Penyelesaian konflik tampak hanya terselesaikan di permukaan saja dan ditataran elit tokoh kedua etnik, namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat di tataran lapangan yang langsung

Konflik antar etnik yang terjadi di Lampung tentu memiliki relevansi yang kuat terhadap apa yang akan diteliti oleh peneliti kali ini. Pertama, melihat hasil penelitian konflik antar etnis yang terjadi di Lampung dari segi faktor penyebab dan wujud konfliknya hampir sama. Hanya saja yang membedakan antara dua kasus ini adalah faktor-faktor pemantik terjadinya konflik manifest ke permukaan. Konflik yang terjadi di sumbawa sejauh ini belum diketahui motif dan tujuannya. Karena konflik ini selain berangkat dari adanya korban jiwa, juga banyak spekulasi yang berbeda-beda. Misalnya, pertama, beberapa hal yang berkaitan dengan proses penanganan kasus oleh kepolisian, kedua, menyebarnya isu-isu provokatif yang dengan cepat memancing emosietnis pribumi, dan oknum-oknum yang terlibat kerusuhan justru bukan dari etnis Samawa asli.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

17

bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku konflik, serta turut menjadi korban yang dirugikan dari konflik yang ada.

2 Konflik danKecemburuan Sosial Antara Etnis Tionghoa Dan Masyarakat Pandhalungan Di Daerah Besuki-Situbondo. Jurnal (Nuril Endi Rahman : Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Jember Tahun 2013 )

Konflik laten yang melekat di antara masyarakat Pandhalungan dan warga etnis Tionghoa merupakan konflik yang dilator belakangi oleh kesenjangan social yang kemudian melahirkan kecemburuan social. Peristiwa konflik yang pernah terjadi pada masa lalu tepatnya pada tahun 1996, memang banyak yang menyimpulkan bahwa yang melatar belakangi terjadinya konflik tersebut ialah factor perbedaan agama yang kemudian terjadi kesalah pahaman antar keduanya. Namun yang menjadi paertanyaan besar ialah, mengapa pada saat konflik yang mengatasnamakan kesalah-pahaman dalam agam tersebut selalu terjadi penjarahan pada tempat usaha milik warga Tionghoa yang juga merupakan kaum minoritas. Hal ini mengindikasikan bahwa ada sebuah kecemburuan masyarakat local terhadap etnis Tionghoa yang bias dikatakan ekonominya di atas masyarakat local sendiri. Pada realita saat ini meskipun hubungannya Nampak harmonis dan sikap toleransi yang cukup tinggi, namun benih-benih konflik yang sifatnya terpendam masih menyelimuti antara keduanya. Tentu hal tersebut membutuhkan sebuah penanganan untuk menghindari eskalasi konflik, selain dengan menggunakan strategi komunikasi dalam pengelolaan konflik, peran

Adapun relevansi jurnal ini dengan penelitian kasus yang akan diteliti kali ini yaitu faktor penyebab konfik. Seperti yang kita lihat pada kasus pada masyarakat etnis Pandhalungan dengan etnis Tionghoa dilatar belakangi oleh status ekonomi, sedangkan salah satu faktor yang sementara dapat disimpulkan dari konflik antara etnis Samawa dan etnis Bali ialah akibat dari jatuhnya korban jiwa dari salah satu etnisyang justru melibatkan aparat kepolisian sehingga kemudian menimbulkan konflik yang lebih besar.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

18

serta para masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam membuat upaya preventif, terutama peran dari para tokoh agama. Di mana tokoh agama dijadikan panutan utama masyarakat.

3 Konflik Sara Di Kabupaten Poso Tahun 1998-2001. Skripsi Mohammad Rendi: Program studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin tahun 2014.

Konflik bernuansa SARA 1998-2001 di Kabupaten Poso padaumumnya sesungguhnya adalah konflik yang didesain secara khusus oleh oknum dengan memainkan isu agama. Perkelahian antara pemudamabuk di Kabupaten Poso, menjadi meluas hingga ketataran agama. Kehidupan toleransi beragama di Kabupaten Poso berubah menjadi tindakan anarkisme saling menghancurkan, membakar, hingga membunuh antara dua komunitas yang berbeda agama Islam dan Kristen. Konflik pun mulai bergulir dengan antara masyarakat pendatang vs penduduk lokal yang dijadikan kambing hitam konflik Poso. Konflik yang terjadi di Kabupaten Poso, merupakan buah dari persaingan para elite politik lokal dalam memperebutkan posisi-posisi strategis dalam struktur pemerintahan, persaingan tersebut melibatkan para elite lokal yang mewakili dua komunitas agama terbesar di Poso. Pada 1998, pasca berakhirnya masa jabata Bupati lama, isu powersharing kembali menjadi tuntutan yang kuat, setelah pada beberapa periode powersharing atau pembagian kekuasaan mewakili komunitas yang ada di Kabupaetn Poso setalah selama ini telah diabaikan oleh pemerintah yang berkuasa. Berdasarkan hasil analisis data penelitian tentang konflik

Apabila dilihat sekilas, konflik Poso hampir sama dari segi proses terjadinya konflik, akan tetapi menjadi sangat luas ketika dikaitkan dengan kepentingan dan pergulatan politik. Karena salah satu faktor terjadinya konflik di Sumbawa tidak bisa disimpulkan dengan sederhana melihat dari alur cerita di mana jatuhnya korban jiwa yang diketahui sedang menjalin hubungan asmara dengan oknum kepolisian yang juga diduga membunuh korban. Karena status si terduga pelaku ini juga sebagai aparat kepolisian, akhirnya amarah masyarakat jatuh pada pihak kepolisian setempat hingga menyebar luas kepada penyerangan pemukiman dan gedung-gedung ibadah etnis Bali.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

19

Poso, maka penulis membuat beberapa kesimpulan, yaitu sebagi berikut : 1. Motif dan latar belakang terjadinya Konflik SARA bukan disebabkan oleh faktor agama, melainkan diakibatkan oleh perebutan kepentingan politik elite lokal. Perebutan jabatan sebagai Bupati dan Sekertaris daerah Kabupaten Poso. 2. Dalam era demokratisasi, komposisi penduduk berdasarkan suku atau agama tidak lagi menjadi formula politik dalam mengatur power sharing. Yang kemudian berlaku ialah, siapa kelompok yang dominan dalam suatu daerah tersebut akan memperoleh kekuasaan. Termasuk komposisi penduduk berdasarkan penduduk pendatang dan pribumi tidak lagi menjadi pertimbangan politik dalam mengatur persamaan. Yang dominan adalah kelompok siapan yang memiliki banyak massa dan pendukung, kelompok itulah yang akan berkuasa. Dampak dari perubahan sistem politik tersebut menimbulkam kekecewaan elite lokal yang selama ini terwakili dalam komposisi keukasaan. 3. Dampak dari dinamika Poso sebagai daerah transmigrasi. Menyebabkan banyaknya pendatang yang masuk, baik lewat transmigrasi yagn diselanggarakan oleh pemerintah ataupun keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Keberhasilan pendatang menguasai sektor-sektor

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

20

strategis sperti sektor ekonomi, politik dan pertanian menyebabknapribumi merasa termarjinalisasi dan menimbulkan ketegangan antara pendatang dan pribumi

2.1.2 Tinjauan Pustaka

a. Konflik Etnis

Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu

dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak

demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya

konflik antar etnis. Misalnya, konflik etnis di Kalimantan antara suku dayak dan suku madura

pendatang. Bagi Suku Madura pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan

hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan dan tempat dimana

mereka menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan oleh suku dayak. Kesalah

fahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik dayak dan madura yang menelan

korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik tersebut.11

Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan permasalahan mendesak

mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau

lebih. (Brown, 1997). Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak.

Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar.

Sementara, permintaan warga Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari

pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali. Banyak konflik

lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik

tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja

11 Coriousz. Konflik Etnis. Diakses http://curiousz.blogspot.co.id/2012/12/konflik-etnis_17.html20 Mei 2016 pukul 17.00 WIB

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

21

dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis karena hakekat

konfliknya adalah persoalan ideologi, bukan persoalan etnis.

Konflik lebih sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab

yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya

penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal

yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik,

1. Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak.

2. Perebutan sumber daya.

3. Sumber daya yang terbatas.

4. Kategori atau identitas yang berbeda.

5. Prasangka atau diskriminasi.

6. Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).

Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia

terdiri dari tiga sebab utama:

a. Konflik muncul karena ada benturan budaya.

b. Karena masalah ekonomi-politik.

c. Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.

Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk

perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat

terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal

ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana

seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami

sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain

berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan

dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

22

perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok

cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.

b. Konflik Sosialdi Indonesia

Kesalahan budaya sering terjadi di Indonesia masa kini karena banyak pemimpin

Indonesia menggunakan ukuran budaya asalnya sendiri dalam menghadapi masalah-masalah

di wilayah budaya lain.Kesalahpahaman atau konflik yang timbul akibat adanya

keanekaragaman budaya di Indonesia antara lain konflik Ambon, Poso, Timor-Timor dan

konflik Sambas.

Masyarakat Ambon misalnya, umumnya mereka adalah kelompok masyarakat yang

statis. Mereka lebih suka menjadi pegawai negeri, menguasai lahan tempat kelahirannya, juga

memiliki ladang dan pengolahan sagu. Berbeda dengan masyarakat Bugis. Sebagai kaum

pendatang yang tidak memiliki lahan, mereka sangat dinamis dan mampu menangkap

peluang dengan cepat. Pada umumnya mereka adalah pedagang. Keadaan ini menyebabkan

masyarakat Bugis banyak menguasai bidang ekonomi di Ambon, lama kelamaan kemampuan

finansial mereka lebih besar yaitu lebih kaya. Sedangkan warga lokal (Ambon) hanya bisa

menyaksikan tanpa mampu berbuat banyak. Akibatnya, kesenjangan ini kian hari kian

bertambah dan menjadi bom waktu yang siap meledak, bahkan sudah meledak. Sepertinya

konflik Poso pun berlatar belakang hampir sama dengan konflik Ambon. Hal sama juga

terjadi di Timor-Timor. Ketika Tim-Tim masih dikuasai di Indonesia, masyarakat Tim-Tim

yang statis tidak bisa berkembang.

Sedangkan warga pendatang, yang umumnya bersuku Batak, Minang, Jawa, penguasa ini

berbagai bidang ekonomi, sehingga terjadi kecemburuan sosial. Kondisi serupa terjadi di

Sambas. Konflik yang terjadi karena suku Madura yang menguasai sebagian besar kehidupan

ekonomi setempat.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

23

Untuk mengantisipasi konflik-konflik di masa yang akan datang, masyarakat yang

berpotensi tunggal seperti itu harus didorong untuk ikut beradaptasi dengan masyarakat

dinamis. Jadi, penyelesaian konflik-konflik perlu cara yang spesifik bukan dengan cara

kekerasan. Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah pendekatan budaya- politik.

Pendekatan budaya dapat dilakukan dengan menyerap dan memahami sari-sari budaya

kelomok-kelompok masyarakat yang berupa nilai-nilai yang mereka yakini, pelihara dan

pertahakan, termasuk keinginan-keinginan yang paling dasar.

Untuk menanamkan nilai-nilai budaya nasional pada generasi penerus bangsa, instansi-

instansi hendaknya menyusun kurikulum tentang pendidikan karakter dan budi pekerti bangsa

di sekolah-sekolah. Tujuannya, untuk menjaga nilai-nilai budaya nasional dan penangkal

masuknya arus globalisasi. Pendidikan budi pekerti juga diharapkan mampu mencegah

timbulnya konflik antar suku bangsa di Indonesia melalui ketahanan budaya.12

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Konflik Sosial

Konflik sosial merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,

sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan

waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena

konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu,

konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial.

Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan

perbedaan kepentingan sosial.

Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan

yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya.

12 Drsuprobo. Kasus konflik sosialdi indonesia serta penyebab dari konflik. Diakseshttps://drsuprobo.wordpress.com/2013/01/16/kasus-konflik-horizontal-di-indonesia-serta-penyebab-dari-konflik/ 20 Mei 2016 pukul 18.00 WIB

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

24

Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga

yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan

merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari

model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.

Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama

dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.13 Pada umumnya istilah konflik sosial

mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui

dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.

Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan

pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber

pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.14 Konflik yaitu

proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma

dan nilai yang berlaku.15

2.2.2 Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik

1. Konflik Vertikal

Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang

memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan

dalam sebuah kantor

2. Konflik Horizontal

Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki

kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.

13 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip.Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) 14 Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998) 15 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993)

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

25

3. Konflik Diagonal

Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber

daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim.

Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.16

2.2.3 Konflik Menurut Soerjono Soekanto

Soerjono Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:

1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu

atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-

perbedaan ras.

3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi

disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.

4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya

kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi

karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan

negara.17

2.2.4 Konflik Menurut RalfRahrendrf

Ralf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai

berikut :

a. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan

konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi

16 Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, (Malang : Taroda, 2002) 17 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar.(Jakarta: Rajawali Pers, 1992)

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

26

harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang

dimilikinya.

b. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.

c. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.

d. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau

organisasi internasional.

2.2.5 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik

Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial,

ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial

dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata

di masyarakat.18

Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai

bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang

untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset sosial relatif sedikit atau

kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk

mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang cenderung mempertahankan dan

menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut

sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:

a. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara

kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan

pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer,

wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural

menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai

karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin

18 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

27

mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya

seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang

terjadi dapat menimbulkan perang saudara.

b. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan

kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik

sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan

yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau

kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan

kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya

konflik sosial.19

2.2.6 Konflik Laten dan Konflik Manifest

1. Konflik Laten

Konflik laten memang lebih diarahkan kepada adanya isu- isu yang bersifat lokal sebagai

akibat dari sikap primordial kedaerahan yang berlebihan. Ini timbul dari faktor mentalitas

bangsa kita yang masih kental dengan pola berfikir yang konservatif. Tentunya pola ikir

seperti ini jika dipertahankan dan tidak segera dirubah maka masyarakat kita masih

cendurung untuk menutup diri terhaap dunia luar yang notabenya merupakan satu kunci

untuk menuju perubahan itu sendiri.

Rasonalitas kita terancam terkungkung dalam satu area kebodohan yang lamabat laun

akan semakin tidak berdampak positif. Karena asusmsi dasarnya adalah kita sebagai makhluk

sosial, masyarakat pasti membutuhkan masyarakat yang lain guna menciptakan hubungan

dependensi simbiosis mutualisme. Ini juga tidak terlepas dari kodrat sebagai mahluk yang

selalu ingin berkumpul dengan manusia lain.

19 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian …eprints.umm.ac.id/44183/3/jiptummpp-gdl-satriawans-47231... · 2019. 2. 12. · c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang

28

Timbulnya konflik dalam masyarakat juga pernah diprediksi oleh tokoh bernama Thomas

hobbes yang menyatakan bahwa,

“Manusia itu adalah mahluk yang jahat, ingin menguasai orang lain, ingin melukai orang lain dan meninidas orang lain. Analoginya adalah manusia seperti seerigala yang ingin memangsa targetnya.”20

Analogi tersebut memiliki relevansi yang kuat dengan kasus-kasus konflik yang terjadi

dimana satu suku ingin menguasai suku yang lain.

2. Konflik Manifest

Konflik manifest secara etimologi dapat dipahami sebagai konflik yang tampak dan

sangat berpengaruh besar terhadap masayarakat luas. Bentuk dari konflik manifest itu sendiri

bisa berupa perang, kerusuhan, kekerasan, dan peristiwa lain yang dapat merugukan banyak

pihak. Konflik manifest dikatakan sebagai konflik yang tampak karena konflik ini merupkan

perkembangan dari konflik laten yang menjadi gejala. Konflik manifest lebih kearah fisik

maupun material dan bersifat transcendent.

20Master Wibi. Konflik Laten Dan Manifest ; Study Kasus, Analisa Dan Solusi Menuju Integrasi Bangsa Yang Lebih Baik. Diakses http://masterofwibi.blogcspot.co.id/2011/10/konflik-laten-dan-manifest-study-kasus.html11 Mei 2016 pukul 22.00 WIB