18
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka merupakan bagian yang akan membahas tentang uraian pemecahan masalah yang akan ditemukan pemecahannya melalui pembahasan- pembahasan secara teoritis. Dalam kajian pustaka, membahas tentang teori yang akan digunakan dalam sebuah penelitian. Teori yang dipakai harus sesuai dengan apa yang telah disampaikan dalam rumusan masalah. 2.1 Unsur Pembangun Novel Novel sebagai karya sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik terdiri atas tema, alur/ plot, latar/ setting, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra namun secara tidak langsung mempengaruhi bangunan/ sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik tersebut mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (Nurgiyantoro, 2010:23). Unsur-unsur ekstrinsik antara lain latar belakang masyarakat (yang meliputi ideologi negara, kondisi politik, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi yang ada dalam masyarakat), latar belakang penulis atau pengarang (meliputi riwayat hidup pengarang, kondisi psikologis pengarang, dan aliran sastra yang diusung pengarang), dan adanya nilai-nilai yang terkadung dalam novel (meliputi nilai agama, sosial, moral, dan lain-lain). Secara garis besar, unsur intrinsik atau unsur pembangun dalam novel adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35961/3/jiptummpp-gdl-herlinanur-48364-3-babii.pdfyang berisi urutan kejadian, tiap kejadian hanya dihubungkan secara sebab-akibat,

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka merupakan bagian yang akan membahas tentang uraian

pemecahan masalah yang akan ditemukan pemecahannya melalui pembahasan-

pembahasan secara teoritis. Dalam kajian pustaka, membahas tentang teori yang

akan digunakan dalam sebuah penelitian. Teori yang dipakai harus sesuai dengan

apa yang telah disampaikan dalam rumusan masalah.

2.1 Unsur Pembangun Novel

Novel sebagai karya sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur

intrinsik terdiri atas tema, alur/ plot, latar/ setting, tokoh dan penokohan, sudut

pandang, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada

di luar karya sastra namun secara tidak langsung mempengaruhi bangunan/ sistem

organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik tersebut mempengaruhi bangun cerita

sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (Nurgiyantoro,

2010:23). Unsur-unsur ekstrinsik antara lain latar belakang masyarakat (yang

meliputi ideologi negara, kondisi politik, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi

yang ada dalam masyarakat), latar belakang penulis atau pengarang (meliputi

riwayat hidup pengarang, kondisi psikologis pengarang, dan aliran sastra yang

diusung pengarang), dan adanya nilai-nilai yang terkadung dalam novel (meliputi

nilai agama, sosial, moral, dan lain-lain). Secara garis besar, unsur intrinsik atau

unsur pembangun dalam novel adalah sebagai berikut:

10

2.1.1 Alur/ plot

Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010:113) alur atau plot adalah cerita

yang berisi urutan kejadian, tiap kejadian hanya dihubungkan secara sebab-akibat,

peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lainnya.

Dalam pengembangan alur terdapat 3 unsur yang sangat penting. Ketiga unsur

tersebut akan menentukan kualitas atau tidak berkualitasnya sebuah cerita. Ketiga

unsur tersebut antara lain peristiwa – konflik – klimaks.

Sebuah cerita mempunyai tahapan-tahapan alur yang membuat cerita tesebut

menjadi menarik dan diikuti hingga selesai. Tahapan-tahapan tersebut adalah:

1) Tahapan awal

Tahapan ini disebut juga tahapan perkenalan. Tahapan ini bertujuan untuk

memberikan informasi dan penjelasan yang berkaitan dengan latar dan penokohan

meskipun hanya sebagian.

2) Tahapan tengah

Pada tahap ini menceritakan tokoh utama yang terlibat sebuah masalah dengan

individu maupun sebuah kelompok, disebut juga tahap pertikaian. Tahap ini

menampilkan sebuah pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada

tahap sebelumnya menjadi semakin meningkat dan menegangkan.

3) Tahapan akhir

Tahapan ini terjadi akibat dari konflik. Tahapan ini juga menandakan kesudahan

cerita atau bagaimana akhir/ ending dari sebuah cerita. Terdapat dua jenis ending

yakni happy ending dan sad ending. Happy ending terjadi jika tokoh protagonis

11

memenangkan perselisihan sedangkan sad ending terjadi apabila tokoh antagonis

memenangkan perselisihan.

2.1.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah istilah yang menunjuk pada individu, pada struktur fisik, badan

kasar, hakikatnya sama dengan benda-benda lain yang ada di sekitarnya. Sedangkan

penokohan atau karakterisasi adalah cara-cara pengungkapan terhadap tokoh yang

dikaitkan dengan dunia rekaan sebagai kualitas kreativitas dan imajinasi.

Pada umumnya tokoh dan penokohan dilakukan melalui pemberian nama

dengan berbagai identitasnya. Proses penceritaan pun menjadi lebih mudah dengan

adanya unsur nama tersebut. Menurut James (Wellek dan Warren, 1962:216) tokoh

dan penokohan berkaitan erat dan dengan demikian tidak bisa dipisahkan dengan

peristiwa-peristiwa. Setiap tokoh memiliki emosi, hasrat, dan perasaan-perasaan lain

sehingga perbedaan watak, karakter, cara pandang dalam menghadapi sesuatu

merupakan penyebab konflik dalam sebuah novel.

Ada tokoh yang penting, ada pula tokoh tambahan (Anurkarina, 2015:35).

Seorang tokoh yang mempunyai peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh

inti/ tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena

pemunculannya hanya melengkapi, melayani, dan mendukung pelaku utama disebut

tokoh tambahan/ tokoh pembantu (Aminuddin, 2011:79). Meskipun dibagi menjadi

tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh-tokoh tersebut mempunyai peran dalam

membangun sebuah cerita.

12

Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh dalam

sebuah cerita rekaan. Penggambaran karakter atau watak dapat dilihat dari 2 segi,

yaitu:

1) Penggambaran secara langsung

Penggambaran tokoh secara langsung adalah penggambaran tokoh secara tersurat

karena pengarang langsung menggambarkan tokohnya. Misalnya tokoh tersebut ciri-

cirinya sepertinya apa, apa pekerjaannya, dan lain-lain. Dalam penggambaran secara

langsung, seorang tokoh dapat digambarkan bertubuh tinggi, gemuk, berambut

panjang, berbaju compang-camping, dan lain sebagainya.

2) Penggambaran secara tidak langsung

Dalam penggambaran secara tidak langsung, penggambaran tokoh yang dilakukan

melalui dialog antar tokoh sehingga tersirat watak dan karakter tokohnya. Selain

melalui dialog antar tokoh, dapat pula digambarkan melalui jalan pikiran pelaku

melalui narasi, karakter pelaku melalui reaksi yang ditimbulkan saat melalui berbagai

peristiwa, dan melalui lingkungan. Perwatakan yang berbeda antar pelaku dapat

mempercepat timbulnya konflik dan konflik inilah yang berfungsi sebagai motor/

penggerak jalan menuju klimaks (Wahyuningtyas dan Santoso, 2010:7). Konflik

terjadi disebabkan oleh tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, baik antara satu tokoh

dengan tokoh lainnya maupun antara tokoh dengan kondisi sekitarnya.

2.1.3 Setting atau Latar

Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu,

maupun peristiwa (Aminuddin, 2011:67). Dalam karya fiksi, setting atau latar dibagi

atas tiga bagian yang meliputi setting tempat, waktu, dan suasana. Latar meliputi

13

penggambaran mengenai letak geografis, kesibukan tokoh, waktu berlakunya

peristiwa, lingkungan agama, musim, dan moral si pelaku/ tokoh. Latar berfungsi

sebagai pemberi kesan realistis dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah

sungguh ada dan terjadi.

Latar bermacam-macam jenisnya, antara lain:

1) Latar waktu

Latar waktu menunjukkan saat di mana tokoh melakukan sesuatu pada saat

peristiwa dalam cerita sedang terjadi. Latar waktu juga berkaitan dengan latar tempat

karena kenyataannya memang saling berkaitan. Keadaan suatu yang diceritakan mau

tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat tersebut akan berubah

seiring berjalannya waktu. Misalnya: pagi hari, siang hari, malam hari.

2) Latar tempat

Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya sastra. Latar tempat akan berpindah-pindah sejalan dengan

perkembangan plot dan tokoh. Misalnya di sawah, di rumah, di dalam angkot, di kaki

gunung.

3) Latar suasana

Latar suasana yaitu situasi apa saja yang terjadi ketika tokoh melakukan sesuatu.

Latar suasana berupa semacam aura rasa atau emosi yang ditimbulkan dan membantu

terciptanya ekspektasi pembaca. Misalnya: sedih, gembira, mencekam, damai, sepi.

14

2.2 Antropologi Sastra

Secara etimologis antropologi berasal dari anthropos yang berarti manusia dan

logos yang berarti ilmu. Jadi antropologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari

manusia dan kebudayaan dalam berbagai aspeknya. Sedangkan sastra yang berasal

dari kata sas dan tra adalah ilmu untuk mengajar. Secara luas, yang dimaksud dengan

antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung

unsur-unsur antropologi. Antropologi sastra berupaya meneliti sikap dan perilaku

yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra. Karena disiplin ilmu antropologi

sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada antropologi budaya sesuai

dengan hakikat sastra itu sendiri, yaitu sastra sebagai hasil hasil aktivitas kultural,

baik dalam bentuk benda kasar, sebagai naskah (artifact), maupun interaksi sosial

(sosifact) dan kontemplasi diri (mentifact) (Ratna, 2011:6-7).

Secara umum, antropologi sastra merupakan analisis dan pemahaman terhadap

karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan (Ratna, 2011:6-7). Antropologi

sastra merupakan suatu wadah bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi

wilayah perbatasan disiplin ilmu antropologi dan ilmu sastra. Hakikat antopologi

adalah fakta empiris, sedangkan sastra sebagai kelompok ilmu humaniora adalah

kreativitas imajinatif. Meskipun hakikatnya berbeda, namun keduanya memiliki

persamaan. Fakta empiris sebagai ciri utama antropologi tidak bisa melepaskan diri

dari kreativitas dan imajinatif. Pada karya sastra termasuk karya sastra yang absurd

pun berangkat dari fakta yang ada dalam masyarakat. Unsur kreasi dan imajinasi

dibangun melalui fakta-fakta yang ada dalam masyarakat. Persamaan yang lain

adalah sastra dan antropologi sama-sama merupakan upaya memahami manusia,

15

sastra dan antropologi memiliki kedekatan objek penelitian yang mengarah ke

fenomena realitas hidup manusia, sastra dan antropologi memiliki kedekatan

metodologis, artinya keduanya banyak memanfaatkan tafsir-tafsir fenomena simbolis,

sastra dan antropologi cenderung memeliharan konsep kekerabatan (trah) sebagai

simbol konteks kehidupan (Endraswara, 2013:9).

Sebagai interdisiplin, antropologi sastra memberikan dominasi terhadap hakikat

karya sastra, sedangkan ciri-ciri antropologis menduduki posisi sekunder. Ciri-ciri

karya sastra yang mengandung unsur-unsur antropologi adalah ceritanya didominasi

oleh masalah-masalah kebudayaan, khususnya kerinduan ke masa lampau. Selain itu,

ciri-ciri yang lain adalah mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan

kedudukannya masing-masing, juga berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan

subkategorinya, seperti trah, klen, dan kasta sehingga muncul kelompok-kelompok

tertentu, misalnya masyarakat pecinan, pesantren, kampung Bali, Jawa, Papua, priayi,

santri, dan abangan.

2.3 Etika Jawa

Bertens (1993:4) menjelaskan bahwa etika menurut asal-asul kata berasal dari

kata ethos bahasa Yunani Kuno yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti.

Beberapa arti kata ethos yaitu tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang,

habitat; kebiasaan adat; akhlak, watak; perasaan; sikap; dan cara berpikir. Jadi, etika

menurut asal-usul kata berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu

tentang adat kebiasaan.

16

Etika Jawa terbentuk dari dua kata, yaitu “etika” dan “Jawa”. Etika sebagaimana

telah disebutkan di atas sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan

masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan

kehidupannya. Sedangkan “Jawa” di sini memiliki banyak pengertian. Bisa berarti

Pulau Jawa, orang Jawa, bahasa Jawa, dan lain sebagainya. Namun apabila berkaitan

dengan etika, maka “Jawa” yang dimaksud adalah orang Jawa.

Etika termasuk dalam falsafah Jawa bagian falsafah aksiologi. Falsafah aksiologi

adalah falsafah yang berkaitan dengan etik dan estetik (Endraswara, 2016: 47). Etika

tersebut meliputi segala hal, mulai dari manusia Jawa sebagai anggota keluarga,

masyarakat, dan negara.

Etika Jawa merupakan usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari solusi terbaik

dalam menelusuri jalan hidup. Etika Jawa tidak terlepas dari sifat dan perilaku orang

Jawa. Orang Jawa memiliki pola hidup yang unik. Selain itu tingkah laku dan sifat

orang Jawa dalam bermasyarakat sulit dipahami bahkan tidak dapat ditebak dengan

pasti. Mereka mempunyai baik dan buruk yang khas sebagai orang Timur (Suseno

dan Reksosusilo, 1983). Sebagai orang Timur, orang Jawa masih memegang teguh

adat istiadat yang ada, menghargai orang yang lebih tua, kebersamaan dalam

hubungan lebih dipentingkan dan lain sebagainya. Orang Jawa yang ideal adalah

orang Jawa yang mendahulukan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut

hak.

Orang Jawa memegang prinsip hidup seperti saiyeg saeka praya, patembayan,

pasrah. narimo ing pandum (Sofwan dalam Amin, 2000:125), manunggaling kawula-

gusti (Ciptoprawiro, 1986:28), dan sebagainya. Prinsip seperti itu menunjukkan

17

bahwa orang Jawa selalu merendah hati, sangat hormat kepada orang lain bahkan rela

berkorban apa pun demi orang lain sehingga terwujud hidup rukun dan damai

(Suseno: 1993). Jika demikian yang terjadi adalah sesuatu yang mulia dan positif.

Namun yang kurang baik apabila terjadi sebaliknya, di mana orang Jawa yang selalu

atau memang seharusnya memberi hormat di depan orang yang lebih tua atau lebih

tinggi derajatnya tapi di belakang ada dendam dan sakit hati. Karena sikap yang

demikian, orang Jawa meskipun hatinya tidak rela bahkan dendam kepada orang lain

yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi ia harus memberi hormat kepada orang lain

yang lebih tinggi baik dari segi usia, kedudukan, maupun derajatnya. Menurut Frans

Magnis Suseno, dalam bersosialisasi etika Jawa menanamkan dua kaidah yang paling

menentukan pola pergaulan. Kaidah pertama yaitu bahwa setiap situasi manusia

hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tdak menimbulkan konflik yang disebut

prinsip kerukunan. Sedangkan kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara

bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain

sesuai dengan derajat dan kedudukannya yang disebut prinsip hormat.

2.4 Prinsip Kerukunan

Adanya falsafah Jawa mengatakan madya ngono yo ngono ning ojo ngono

(Endraswara, 2016: 50) yang mengarahkan hidup orang Jawa agar bisa menyesuaikan

diri. Dengan penyesuaian diri yang tepat, maka akan tercipta kerukunan dan

keharmonisan dalam bermasyarakat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mencegah

timbulnya konflik antar individu sehingga dapat mempertahankan masyarakat agar

dalam keadaan selaras, tenang, tenteram, tanpa perselisihan, tanpa pertentangan, dan

18

bersatu untuk saling membantu. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun

mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu

sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan

perselisihan dan keresahan (Wilner dalam Suseno, 1993:39). Masyarakat Jawa

mendahulukan kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi namun bukan berarti

bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan

suatu mekanisme sosial untuk mengintegrasikan kepentingan – kepentingan itu demi

kesejahteraan kelompok.

Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing persona terjalin saling

menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa

kekeluargaan, gotong royong, dan konsep tepa selira selalu dikedepankan dalam

kehidupannya (Endraswara, 2016: 38).

1) Mawas diri dan dapat menguasai emosi.

Mawas diri merupakan sifat yang mencerminkan kesadaran akan kekurangan dan

keterbatasan diri. Mawas diri menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri,

pengarahan diri, lalu akhirnya penyadaran diri. Apabila individu tersebut sadar akan

kekurangan dan keterbatasan dirinya sendiri, maka seseorang akan lebih mudah

mempraktikkan strategi mulur mungkret dalam menentukan saat yang tepat kapan

harus menuruti atau meningkatkan keinginannya (mulur) dan kapan harus bersikap

menurunkan keinginannya (mungkret) agar lebih mudah dicapai (Pratisti dan

Prihartanti, 2012:19).

19

Dalam melatih keterampilan mawas diri, individu dapat berkonsentrasi untuk

latihan bertindak secara proporsional dalam pengertian sabutuhe, saperlune,

sacukupe, samestine, sakepenake, dan sabenere (sesuai kebutuhan, sesuai keperluan,

secukupnya, semestinya, seenaknya dan sebenarnya). Sabutuhe, saperlune dan

sacukupe artinya dapat membatasi kebutuhan hidupnya untuk tidak sampai

berlebihan. Sakepenake yaitu tanpa harus memaksakan diri (ngoyo). Sabenere dan

samestine artinya hal yang dilakukan menurut jalan lurus, benar, adil, dan susila.

Masyarakat Jawa selalu berupaya untuk tampil tenang dan tidak menunjukkan

rasa kaget atau gugup. Dalam berbicara pun orang Jawa diharapkan berbicara dengan

suara yang tenang, tanpa emosi. Bagi orang Jawa diharapkan agar dalam berbicara

dan segala tindak-tanduknya dapat diperhatikan orang lain dan berlaku sedemikian

rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan ataupun kontroversi. Ketika

berhubungan dengan orang lain, orang Jawa harus menjaga diri agar bertindak lebih

baik. Memikirkan pihak lain adalah sebuah hal yang penting dalam budaya Jawa

karena orang lain memiliki emosi yang kurang lebih sama dengan dirinya

(Endraswara, 2016: 2).

2) Permintaan/ tawaran tidak boleh langsung ditolak.

Orang Jawa tidak akan langsung menolak suatu permintaan atau penawaran.

Orang Jawa akan mengucapkan inggih yang berarti iya meskipun dalam keadaan

menolak. Terserah pada kehalusan perasaan si peminta untuk menemukan apakah

inggih itu merupakan suatu persetujuan, suatu pembenaran bahwa permohonannya

didengar namun tanpa komitmen untuk memenuhinya, atau bahkan suatu penolakan

20

yang tersembunyi (Suseno, 1993:42). Kata penolakan seperti mboten yang berarti

„tidak‟, tidak akan langsung diucapkan dalam penolakan.

3) Memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.

Orang Jawa mampu membungkus dan mempersiapkan berita yang tidak

disenangi. Seringkali pembicaraan awal hanya sekedar basa-basi semata namun hal

ini bertujuan untuk saling menjajaki dan mempersiapkan diri secara emosional ketika

tengah berkomunikasi sehingga ketika pembicaraan sudah sampai pada masalah yang

sebenarnya, maka tidak ada bahaya besar lagi bahwa akan timbul reaksi-reaksi

emosional. Apabila berita yang tidak disenangi disampaikan secara langsung, maka

reaksi-reaksi emosional akan terjadi dan dapat menimbulkan „gesekan‟ antar warga

masyarakat.

4) Berpura-pura.

Sikap berpura-pura (ethok-ethok) sangat berharga demi menutup aib, dengan

harapan keselarasan dan menghindari terjadinya konflik. Ethok-ethok dapat berarti

bahwa di luar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaan-

perasaan yang sebenarnya. Misalnya saat mendapat kesedihan mendalam, ia

diharapkan tersenyum, apabila mendapat kunjungan dari orang yang tidak disukai,

tetap harus kelihatan gembira.

Di lain pihak, kebiasaan ethok-ethok mengandung arti bahwa tidak memberi

informasi tentang suatu keadaan yang sebenarnya (Suseno, 1993:44). Tidak memberi

informasi tentang keadaan yang sebenarnya bukan berarti berbohong. Hal ini terjadi

karena orang Jawa tidak ingin membuat konflik dengan orang lain.

21

5) Memperlakukan orang lain yang perlu dihubungi seperti anggota keluarga.

Tetangga selalu diperlakukan sebagai keluarga. Orang lain atau orang asing selalu

disapa dengan istilah-istilah dari bahasa keluarga seperti pak, bu, mbah, paklik, bulik,

dan sebagainya. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan bahwa di dalamnya hampir

selalu terungkap segi junior-senior. Misalnya seorang laki-laki yang lebih tua bisa

disebut mbah (kakek) atau pak, laki-laki yang sama umurnya atau sedikit lebih muda

disebut kak atau kang, sedangkan yang jauh lebih muda disebut dhik.. Seorang wanita

yang lebih tua disebut mbah atau mbok, atau bu. Memasukkan lingkungan sosial

dekat ke dalam lingkaran keluarga inti dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk

mencegah timbulnya ketegangan-ketegangan karena dalam keluarga inti terdapat

suasana kerukunan tanpa rasa tertekan.

Kerukunan merupakan motif mengapa pada kesempatan tertentu kepada anggota

keluarga besar harus dikirim makanan yang sudah masak. Selain itu, siapa yang

memiliki sawah harus mengikutsertakan tetangganya dan juga orang-orang lain dalam

panen, dan benda-benda sehari-hari seperti lampu petromaks, sepeda, kursi, atau

bahkan uang tunai kalau tidak banyak juga wajib dipinjamkan (Jay dalam Suseno,

1993:50).

6) Gotong royong.

Ada 2 maksud dalam kegiatan gotong royong, yaitu saling membantu dan

melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Saling membantu

termasuk membantu tetangga dalam membangun rumah, dalam persiapan suatu pesta,

dan pada kesempatan-kesempatan lain tertentu. Dengan pekerjaan demi kepentingan

desa yang dimaksud misalnya pelebaran jalan, perbaikan irigasi atau bendungan,

22

pembangunan sekolah, dan ronda malam (Kodiran dalam Suseno, 1993:51). Kegiatan

semacam ini dilakukan untuk memperkecil jurang pemisah antara si kaya dan si

miskin maupun perbedaan-perbedaan yang ada.

7) Musyawarah.

Orang Jawa tidak bosan-bosan menunjuk pada keunggulan musyawarah untuk

mengambil keputusan melalui pemungutan suara. Musyawarah bertujuan agar setiap

orang bisa mengemukakan pendapatnya agar tidak diambil keputusan di mana hanya

ada satu pihak saja yang bisa unggul sehingga semua pihak dapat menyetujui

keputusan-keputusan bersama.

Dalam rembug desa di beberapa daerah terdapat kebiasaan bahwa orang-orang

desa mengungkapkan persetujuan mereka terhadap setiap keputusan dengan bersama-

sama menjawab inggih (Jay dalam Suseno, 1993:52). Pendapat-pendapat yang

berlawanan diungkapkan secara tidak langsung dan sopan, biasanya melalui sindiran

atau dengan tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan.

2.5 Prinsip Hormat

Prinsip hormat menggambarkan sikap tokoh sebagai manusia Jawa yang selalu

menjaga dan mengupayakan kesempurnaan hidup. Akal budi yang dimiliki orang

Jawa mendorong mereka untuk menghargai harga diri orang lain. Sikap tokoh yang

mencerminkan sikap hormat yang berarti bahwa setiap orang dalam cara berbicara

dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan

derajat dan kedudukannya. Orang Jawa yang sadar akan kedudukan sosialnya, akan

dapat membawa diri sesuai dengan tuntutan tata krama sosial. Apabila dua orang

23

Jawa bertemu, bahasa, sikap, dan pembawaan mereka selalu mengungkapkan suatu

pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial.

Pikiran pertama orang Jawa pada permulaan suatu pembicaraan adalah tingkat

kehormatan mana yang harus ditunjukkan kepada lawan bicara.

Sebagaimana telah diterangkan dalam prinsip kerukunan, orang Jawa dalam

menyapa orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-

istilah itu memiliki keistimewaan bahwa di dalamnya selalu terungkap segi senior-

yunior. Apabila lawan bicara memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi dipergunakan

istilah senior, apabila pangkatnya lebih rendah mempergunakan istilah yunior.

Misalnya lelaki yang lebih tua disebut mbah (kakek), Pak, Pakde. Lelaki yang

seumuran atau sedikit lebih muda disebut kak atau kang, yang jauh lebih muda

dipanggil dhik. Wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita yang

seumuran dipanggil mbakyu.

Penggunaan istilah-istilah itu masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosialnya.

Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin tua dia dalam sebutan, begitupun

sebaliknya. Apabila masih dalam hubungan keluarga maka tanpa memperhatikan

perbandingan umur yang nyata harus mempergunakan istilah dan bahasa yang sesuai

dengan hubungan generasi.

Prinsip hormat yang disebut mad-sinamadan, artinya saling menjaga harga diri itu

yang dipegang orang Jawa untuk menjaga harmonisasi sosial (Endraswara, 2016:4).

Suseno (1993:65) mengutip pandangan Hildred Geertz yang mengatakan bahwa sikap

hormat itu tercapai melalui tiga perasaan, yaitu wedi, isin, dan sungkan.

24

1) Wedi

Wedi dalam bahasa Jawa berarti takut. Takut sebagai reaksi terhadap ancaman

fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan (Suseno,

1993:63). Selain itu takut merupakan suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang

terjadi sebagai respon terhadap suatu stimulus tertentu, seperti rasa sakit atau

ancaman bahaya.

Rasa takut memiliki 2 sumber utama, yaitu dari penglihatan adanya ancaman

yang nyata dan dari lenyapnya simbol-simbol atau tanda-tanda keselamatan (Moreno,

1977:3). Dalam jenis perasaan takut yang pertama, rasa takut yang timbul

dihubungkan secara khusus dengan suatu bahaya tertentu yang jelas ada di

hadapannya. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu ancaman yang tidak perlu lagi

dicari tandanya. Lalu dalam jenis perasaan takut yang kedua bersumber dari perasaan

jiwa seseorang yang merasa keberadaan hidupnya terancam, namun di mana letak

sebenarnya ancaman itu sulit ditemukan. Perasaan seperti itu adalah perasaan takut

yang tidak jelas obyek sasarannya namun jelas adanya. Misalnya saja kita takut apa

yang terjadi dalam gelap tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam gelap.

Selain bersumber dari perasaan jiwa seseorang, ada juga ketakutan jika

keselamatan dan alat-alat atau hal-hal yang menenangkan dan menjamin ketenangan

jiwa mendadak lenyap. Situasi semacam itu merupakan contoh rasa takut yang

disebabkan oleh kurangnya jaminan ketenangan dan keselamatan.

25

2) Isin

Isin berarti malu. Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian,

pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang

dilakukan sebelumnya, dan kemudian ingin menutupinya.

Menurut Schneider (dalam Albers, 2007), rasa malu terbagi dalam dua kategori,

yaitu rasa malu yang berhubungan dengan kehinaan (disgrace shame) dan rasa malu

yang terkait dengan kesopanan (discretionary shame). Schneider berpendapat bahwa

disgrace shame lebih diutamakan sehingga discretionary shame dapat diabaikan.

Namun keduanya tetap diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan dirinya dari

perbuatan yang memalukan.

Menurut para penulis seperti Charles Darwin dan Nietzsche, manusia secara

kodrati memang memiliki discretionary shame dan nilainya positif dalam interaksi

manusia (Albers, 2007). Rasa malu yang berhubungan dengan kesopanan ini

memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesopanan, privasi, kesusilaan, dan

kebijaksanaan. Rasa malu berfungsi untuk menetapkan batasan-batasan yang tepat

guna mencegah perilaku yang melanggar kehormatan dan integritas orang lain. Maka

dari itu orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat

yang tepat kepada orang yang pantas dihormati.

3) Sungkan

Dalam kosa kata bahasa Jawa terdapat kata sungkan, namun tidak ada padanan

kata sungkan dalam Bahasa Indonesia. Sehubungan dengan tidak adanya padanan

yang sesuai dalam Bahasa Indonesia, maka sering disebut bahwa sungkan adalah

emosi yang khas yang dimiliki oleh orang Jawa. Sungkan adalah nama untuk suatu

26

keadaan di mana seseorang merasa enggan, segan juga malu, sekaligus ada rasa

hormat. Lebih singkatnya sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Hildred

Geertz (1961:114&152) menggambarkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan

terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal sebagai pengekangan halus terhadap

kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Rasa sungkan biasanya

muncul pada saat berbicara dengan orang yang lebih tua, orang terpandang atau juga

orang yang baru saja dikenal sehingga sungkan mencegah orang melakukan

perbuatan yang tidak layak dilakukan.

Seseorang akan memiliki perasaan sungkan pada saat sudah dewasa. Dengan

sikap sungkan seseorang akan terlihat lebih sopan, baik, beretika dan membuat lebih

menarik lawan bicara saat berinteraksi. Sungkan dalam hal ini lebih mengarah pada

hal-hal yang positif, karena dapat membuat hati orang lain senang dan mempererat

hubungan dalam bermasyarakat. Sikap sungkan biasanya dilakukan oleh seseorang

ketika bertemu atau berinteraksi dengan orang yang baru dia kenal atau ketika

seseorang berkunjung ke rumah orang lain yang dihormatinya.