Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Nurcahyo dan Hudrasyah (2017) dalam jurnalnya yang berjudul
“THE INFLUENCE OF HALAL AWARENESS, HALAL CERTIFICATION,
AND PERSONAL SOCIETAL PERCEPTION TOWARD PURCHASE
INTENTION”. Metode Data yang digunakan diperoleh melalui survei online
dengan 108 valid responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan
metode purposive, analisis ini menggunakan analisis regresi berganda, dan
data yang dikumpulkan menggunakan uji asumsi kalsik. Hasil menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara dua variabel independen
(Sertifikasi Halal dan Persepsi Sosial Pribadi) terhadap variabel dependen
(Niat Pembelian Terhadap Produk Halal). Kesimpulan: Dalam Penelitian ini,
kesadaran halal tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap niat beli.
Yunus, Rashid, Ariffin, dan Rashid (2014) dalam jurnalnya yang
berjudul “MUSLIM’S PURCHASE INTENTION TOWARDS NON-
MUSLIM’S HALAL PACKAGED FOOD MANUFACTURER”. Sebanyak
150 set kuesioner dibagikan secara acak di Lembah Klang. Teknik
pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling, peneliti
menggunakan analisis korelasional untuk menganalisis hubungan antara tiga
variabel independen utama. Hasil mengungkapkan bahwa kesadaran Halal
dan bahan-bahan produk miliki secara signifikan mempengaruhi niat Muslim
9
untuk membeli makanan kemasan halal yang diproduksi oleh produsen Non-
Muslim. Ini diharapkan bahwa temuan penelitian ini akan membantu
produsen bersertifikasi Halal Non-Muslim untuk mengembangkan strategi
terbaik di memenangkan hati konsumen Muslim.
Khasana, Wahab, dan Nailis (2014) dalam jurnalnya yang berjudul
“PENGARUH KEMASAN, LABEL HALAL, DAN PENGETAHUAN
PRODUK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN”.
teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
berganda, uji F dan uji t. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa besarnya
pengaruh variabel Packaging (X1), Label Halal (X2), Dan Pengetahuan
Produk (X3) secara simultan Tentang Keputusan Pembelian (Y) adalah
58,4%. Variabel yang memiliki pengaruh dominan terhadap Keputusan
Pembelian adalah Produk Variabel pengetahuan dengan nilai koefisien 0,781.
Kusnandar, Suroso, dan Prasodjo (2016) dalam jurnalnya yang
berjudul “PENGARUH CITRA MEREK DAN KESADARAN LABEL
HALAL PRODUK KOSMETIK LATULIPE TERHADAP MINAT
KONSUMEN UNTUK MEMBELI ULANG DI KOTA BANYUWANGI”.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi dengan
pendekatan konfirmatori. Hasil menunjukkan brand image berpengaruh
positif signifikan terhadap minat membeli ulang produk kosmetik La Tulipe
di kota Banyuwangi. Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan
bahwa ada pengaruh signifikan antaran a) brand image terhadap minat
10
membeli ulang produk kosmetik La Tulipe di kota Banyuwangi diterima.
Keseluruhan persepsi brand image responden terhadap kosmetik merek La
Tulipe terbentuk berdasarkan asosiasi merek. dukungan asosiasi merek,
keunikan asosiasi merek. b) kesadaran label halal berpengaruh positif
signifikan terhadap minat membeli ulang produk kosmetik La Tulipe di kota
Banyuwangi. Dengan demikian hipotesis ke dua yang menyatakan bahwa ada
pengaruh signifikan antaran kesadaran label halal terhadap minat membeli
ulang produk kosmetik La Tulipe di kota Banyuwangi diterima.
Fathur Rahimin (2018) dalam jurnalnya dengan judul “PENGARUH
LABELISASI HALAL DAN KESADARAN HALAL TERHADAP
PERILAKU KONSUMEN MEMBELI PRODUK MAKANAN HALAL”.
Penelitian ini merupakan penelitian assosiatif yang menggunakan
pendekatan kuantitatif. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi
rank Spearman, sedangkan untuk uji signifikansi menggunakan uji t. Hasil
menunjukkan bahwa: a) terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
labelisasi halal dengan perilaku konsumen membeli produk makanan halal
dengan nilai rho koefisien spearman’s sebesar 0,544 menunjukkan hubungan
positif dan hubungan antar variabel dalam kategori sedang dan tingkat
signifikasi sebesar 0,000 < 0,05. b) Terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara kesadaran halal dengan perilaku konsumen membeli produk
makanan halal dengan nilai rho koefisien spearman’s sebesar 0,490
menunjukkan hubungan positif dan hubungan antar variabel dalam kategori
sedang dan tingkat signifikasi sebesar 0,000 < 0,05.
11
Setelah melihat kesimpulan dari penelitian terdahulu diatas, terdapat
beberapa perbedaan dari tiap peneliti dalam menyimpulkan hasil
penelitiannya. Seperti kesimpulan Nurcahyo dan Hudrasyah mengenai
Sertifikasi Halal dan Persepsi Sosial Pribadi Terhadap Niat Pembelian Produk
Halal. Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah
variabel sertifikasi halal. Perbedaanya ialah pada teknik pengambilan sampel
yang mana pada penelitian ini menggunakan accidental sampling.
Lain lagi dengan kesimpulan dari penelitian Yunus, Rashid, Arrifin
mengenai muslim purchase intention towards non-muslim’s halal packaged
food manufacturer. Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini
adalah variabel dependen halal awarenes dan prodct ingredients, dan sama-
sama mengguanakan analisis koresional. Perbedaannya ialah pada teknik
pengambilan sampel yang mana penelitian ini menggunakan accidental
sampling sendangkan peneltian terdahulu convenience sampling.
Kesimpulan dari penelitian Khasanah, Wahab, dan Nailis mengenai
pengaruh kemasan, label halal, dan pengetahuan produk terhadap keputusan
pembelian konsumen. Persamaan dari peneltian terdahulu dengan penelitian
ini adalah pada variabel pengetahuan produk dan variabel terikat keputusan
pembelian konsumen, sama-sama menggunakan regresi berganda.
Perbedaannya ialah pada teknik pengambilan sampel yang mana penelitian
ini menggunakan accidental sampling sedangkan peneltian terdahulu
menggunakan purposive sampling.
12
Kesimpulan dari peneltian Kusnandar, Suroso, dan Prasodjo
mengenai pengaruh citra merek dan kesadaran label halal produk kosmetik
latulipe terhadap minat konsumen untuk membeli ulang di kota banyuwangi.
Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah
variabel kesadaran halal dan sama-sama menggunakan pendekatan deskriptif.
Perbedaanya pada peneltian terdahulu menggunakan analisis teknik sampel
purposive sendangkan peneltian ini menggunakan accidental.
Dan lagi kesimpulan dari peneltian Fathur Rahimin mengenai
pengaruh labelisasi halal dan kesadaran halal terhadap perilaku konsumen
membeli produk makanan halal. Persamaan dari penelitian terdahulu adalah
pada variabel labelisasi halal. Perbedaan pada peneltian terdahulu
menggunakan korelasi rank spearman sedangkan penelitian ini menggunakan
produck moment.
B. Kerangka Teori Masalah Penelitian
1. Dasar Hukum LPPOM-MUI
Mengutip (http://www.kemendag.go.id, akses 8 Maret 2019)
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 519 Tahun 2001
tanggal 30 November 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan Halal. Menteri Agama Republik Indonesia, Menimbang :Bahwa
dalam rangka memberikan kepastian kehalalan pangan yang dikemas dan
diperdagangkan di Indonesia, di pandang perlu untuk menindak lanjuti
ketentuan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan;
http://www.kemendag.go.id/
13
a. Bahwa sehubungan dengan butir a di atas, perlu menunjuk lembaga
keagamaan yang mampu dan memenuhi syarat obyektif lainnya untuk
melakukan pemeriksaan kehalalan terhadap pangan yang dikemas dan
diperdagangkan di Indonesia;
b. Bahwa untuk itu, perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Mengingat :
1) Undang-undang RI No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (LN RI
Tahun 1992 No. 100, TLN No. 3495);
2) Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan (LN RI Tahun
1996 No. 99, TLN No. 3656);
3) Undang-undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(LN RI Tahun 1999 No. 42, TLN No. 3821);
4) Peraturan Pemerintah RI No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan (LN RI Tahun 1999 No. 131, TLN No. 3867);
5) Keputusan Presiden RI No. 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi , Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen;
6) Keputusan Presiden RI No. 228/M Tahun 2001
7) Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 1991 tentang Peningkatan
Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan,
Keputusan Mengeri Eksplorasi Laut dan Perikanan No. 45 Tahun 2000
tentang Perizinan Usaha Perikanan;
14
8) Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Agama;
9) Keputusan Menteri Agama No.518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan
Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal;
Memperhatikan: Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Majelis
Ulama Indonesia (MUI) No.018/MUI/I/1989 Tahun 1989 tentang
Pembentukan LP-POM MUI. Menetapkan: Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.
Pasal 1 Menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga
pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal, yang dikemas untuk
diperdagangkan di Indonesia.
Pasal 2 Pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, meliputi :pemeriksaan dan /atau verifikasi data
pemohon;
a. pemeriksaan proses produksi;
b. pemeriksaan laboratorium;
c. pemeriksaan pengepakan, pengemasan dan pemyimpanan produk;
d. pemeriksaan sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian;
e. pemprosesan dan penetapan Sertifikasi Halal.
2. Kesadaran Halal
Kesadaran merupakan kemampuan untuk memahami, merasakan, dan
menjadi sadar akan suatu peristiwa atau benda-benda. Kesadaran adalah
15
konsep tentang menyiratkan pemahaman dan persepsi terhadap peristiwa atau
subjek. Aziz, ( 2013: 7).
Kesadaran halal diketahui berdasarkan mengerti tidaknya seorang
muslim tentang apa itu halal, mengetahui proses penyembelihan yang benar,
dan memprioritaskan makanan halal untuk mereka konsumsi. Kesadaran
untuk membeli dan mengkonsumsi produk halal sangat penting bagi umat
Islam. Hal ini dikarenakan produk yang bersertifikasi halal bukan hanya
diproduksi oleh produsen muslim melainkan juga ditangani oleh sejumlah
kelompok non-muslim (Yunus, 2013: 147).
3. Indikator Kesadaran Halal
Kesadaran halal merupakan tingkat pemahaman umat muslim dalam
mengetahui isu-isu terkait konsep halal. Pengetahuan tersebut termasuk
didalamnya memahami apa itu halal dan bagaimana proses produksi suatu
produk sesuai standar halal dalam Islam. Pengukuran variabel kesadaran halal
mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Yunus et al., (2013: 151), yaitu:
a) Pemahaman atau Pengetahuan
b) Sadar akan halal
c) Kebersihan dan keamanan produk
4. Labelisasi Halal
Menurut Rangkuti (2010:8), labelisasi halal adalah pencantuman
tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan
bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.
16
Label halal adalah jaminan yang diberikan oleh suatu lembaga yang
berwenang seperti Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) untuk memastikan bahwa produk
tersebut sudah lolos pengujian kehalalan sesuai syariat Islam. Pencantuman
label halal bertujuan agar konsumen mendapatkan perlindungan kehalalan
dan kenyamanan atas pemakaian produk tersebut (Yuswohady, 2015:23).
Sertifikat Label Halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang diberikan kepada perusahaan yang mengajukan uji kehalalan
produ. Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syariat islam (www.halalmui.org, akses 8 Maret
2019). Berdasarkan pengertian di atas, sertifikat halal adalah pernyataan halal
suatu produk yang telah lulus uji kriteria kehalalan. Seterfikat halal akan di
keluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) setelah
ditetapkan status kehalalan oleh fatwa MUI. Dalam melaksanakan
wewenangnya, BPJPH bekerja sama dengan kementrian atau lembaga terkait,
LPH (Lembaga Pemeriksaan Halal) dan MUI.
Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai
dengan syari'at Islam yaitu (www.halalmui.org, akses 8 Maret 2019) :
1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi;
2) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tata cara syari'at Islam;
3) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan transportasinya tidak digunakan untuk babi. Jika
http://www.halalmui.org/http://www.halalmui.org/
17
pernah digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya terlebih
dulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari'at
Islam;
4) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar;
5) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau
barang tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu
dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at Islam.
Pelaku usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib
mencantumkan Label Halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari
produk atau tempat tertentu pada produk. Kemudian pencantuman Label
Halal sebagaimana dimaksud harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak
mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
Pernyataan halal tersebut dapat dilihat dalam kemasan suatu produk,
yakni pada atribut yang terdapat pada suatu produk, atribut yang dimaksud
disini adalah label halal. Menurut Kotler (2001: 205) para pemasar harus
memberikan label pada produknya guna mengatasi masalah lingkungan dan
memberikan keamanan kemasan pada produk yang dikonsumsi oleh
masyarakat. Secara umum, label minimal harus berisi nama atau merek
produk, bahan baku, bahan tambahan komposisi, berat bersih atau isi bersih,
nama dan alamat pihak yang memproduksi, serta tanggal kadaluwarsa dan
bagi umat muslim perlu adanya pencantuman label halal pada suatu produk.
Dengan adanya label halal ini konsumen muslim dapat memastikan produk
18
mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan
mencantumkan label halal pada kemasannya.
Menurut Muhammad Elmi As Pelu (2009:14) ada tiga indikator label
halal, yaitu:
a) Pengetahuan merupakan informasi atau maklumat yang diketahui atau
disadari oleh seseorang. Pengetahuan adalah informasi yang telah
dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk memiliki, yang
lantas melekat di benak seseorang.
b) Kepercayaan merupakan suatu keadaan psikologis pada saat seseorang
menganggap suatu premis benar atau dapat juga diartikan sebagai
anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dapat dipercayai itu
benar atau nyata.
c) Penilaian terhadap labelisasi halal, merupakan proses, cara, perbuatan
menilai, pemberian nilai yang diberikan terhadap label halal.
5. Produk
“Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk
memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk-produk yang dapat dipasarkan
meliputi barang fisik, jasa, pengalaman, acara-acara, orang, tempat, properti,
organisasi, dan gagasan” (Kotler, 2005 : 69).
6. Tingkatan Produk
Dalam merencanakan tawaran pasarnya, pemasar perlu memikirkan
secara mendalam lima tingkatan produk (Kotler, 2005 : 69-70). Lima
tingkatan produk tersebut yaitu:
19
a) Manfaat inti (core benefit), yaitu manfaat inti atau manfaat yang
sesungguhnya didapat ketika konsumen membeli sebuah produk.
b) Produk dasar (basic product), yaitu adanya manfaat tambahan dari
manfaat inti produk tersebut.
c) Produk yang diharapkan (expected product), yaitu beberapa kondisi
yang biasanya diharapkan oleh pembeli ketika mereka membeli suatu
produk.
d) Produk yang ditingkatkan (augmented product), yaitu manfaat atau
pelayanan yang diberikan oleh produk yang membedakan produk
tersebut dengan produk pesaing.
e) Calon produk (potential product), yaitu meliputi segala kemungkinan
peningkatan dan perubahan yang mungkin akan dialami produk atau
tawaran tersebut pada masa yang akan datang.
7. Pengetahuan Produk
Pengetahuan produk adalah kumpulan berbagai informasi mengenai
produk. Pengetahuan ini meliputi kategori produk, merek, terminologi
produk, atribut atau fitur produk, harga produk dan kepercayaan mengenai
produk (Engel et al, dikutip dari Sumarwan 2011 : 148). Ada tiga jenis
pengetahuan produk menurut Peter dan Olson (Sumarwan, 2011 : 149):
a) Pengetahuan tentang atribut produk: pengetahuan mengenai atribut
akan mempengaruhi konsumen dalam proses pengambilan keputusan.
Pengetahuan yang lebih banyak mengenai atribut suatu produk akan
memudahkan konsumen untuk memilih produk yang akan dibelinya.
20
b) Pengetahuan tentang manfaat produk: konsumen sering kali berpikir
mengenai manfaat (baik itu manfaat positif maupun negatif) yang akan
ia rasakan jika mengkonsumsi atau membeli suatu produk, bukan
mengenai atributnya. Pengetahuan tentang manfaat produk adalah
penting bagi konsumen, karena pengetahuan ini akan mempengaruhi
keputusan pembeliannya.
c) Pengetahuan tentang kepuasan yang diberikan produk: setelah
konsumen menggunakan suatu produk maka mereka akan merasakan
manfaat yang diberikan oleh produk tersebut. Suatu ukuran seseorang
dikatakan puas apabila apa yang ia rasakan atau dapatkan adalah sama
atau melebihi dari apa yang ia harapkan.
8. Konsumsi dalam Islam
Konsumsi dalam Islam selalu berpatokan pada ajaran Islam, yaitu
lebih mempertimbangkan pencapaian maslahah dari pada utilitas yang
merupakan tujuan syariat Islam yang harus menjadi tujuan kegiatan
konsumsi.
1) Maslahah dalam konsumsi.
Hal ini didasarkan pada rasionalitas Islami yang menyatakan bahwa
pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang
diperolehnya. Jadi, konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan
berkah yang akan diperolehnya dari kegiatan konsumsi. Konsumen
akan merasakan manfaat dalam mengkonsumsi barang dan jasa apabila
konsumen memperoleh pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau
21
material. Konsumen akan merasakan berkah dari konsumsi barang atau
jasa apabila barang tersebut dikategorikan halal menurut syariat Islam.
Kegiatan konsumsi barang yang halal merupakan sikap kepatuhan
kepada perintah Allah sehingga memperoleh pahala. Pahala inilah yang
dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang dikonsumsi.
Demikian pula sebaliknya, konsumen tidak akan melakukan konsumsi
barang atau jasa yang haram karena tidak memberikan keberkahan.
Selain itu mengkonsumsi barang haram juga adalah perbuatan dosa
yang akan mendatangkan siksa dari Allah.
2) Kebutuhan dan keinginan.
Perubahan permintaan terhadap barang dan jasa yang dipengaruhi dari
konsumsi masyarakat. Permintaan terhadap suatu barang akan
mengalami kenaikan apabila masyarakat menghendaki lebih banyak
barang tersedia untuk dikonsumsi. Tindakan masyarakat untuk
membeli barang atau jasa dipengaruhi oleh kebutuhan atau keinginan
masyarakat. Kebutuhan terkait dengan segala sesuatu yang harus
dipenuhi agar barang dan jasa tersebut berfungsi sempurna, berbeda dan
lebih mulia dari makhluk lainnya.
Secara umum, pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan
manfaat fisik, material, intelektual, maupun spiritual, sedangkan
pemenuhan keinginan akan menambah kepuasan atau atau manfaat
secara psikis. Apabila suatu seseorang menginginkan kebutuhan, maka
pemenuhan kebutuhan tersebut akan menciptakan maslahah sekaligus
22
kepuasan. Tetapi, apabila pemenuhan kebutuhan tersebut tidak
didasarkan pada keinginan maka hanya akan memberikan manfaat saja.
Apabila yang diinginkan bukan merupakan suatu kebutuhan maka
pemenuhan keinginan tersebut hanya akan melahirkan kepuasan
semata.
3) Maslahah dan nilai ekonomi Islam.
Perekonomian Islam akan dapat terwujud apabila prinsip-prinsip dan
nilai-nilai Islam diterapkan secara bersama-sama. Apabila salah
satunya diabaikan maka perekonomian akan berjalan tidak seimbang.
Misalnya, apabila seorang konsumen memperhatikan prinsip
kecukupan dalam membeli barang, maka dia akan berusaha untuk
membeli sejumlah barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
minimalnya.
Konsumsi dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi
yang ditujukan untuk ibadah dan konsumsi yang dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia saja.
Maslahah atas amal saleh yaitu ibadah yang secara tidak langsung
terkait dengan manfaat dunia bagi pelakunya, tetapi manfaatnya
dirasakan dalam bentuk rasa aman dan tentram atas berkah yang akan
diberikan Allah, baik di dunia akhirat nanti. Besarnya maslahah
tergantung dari frekuensi amal tersebut dengan pahala yang
diterimanya. Manfaat ibadah ini tidak dinikmati secara langsung oleh
pelakunya, tetapi sepenuhnya berupa berkah. nilai berkah makin
23
meningkat seiring makin meningkatnya frekuensi ibadah dilakukan.
Disisi lain, maslahah dari kegiatan konsumsi untuk kepentingan
duniawi yang diniatkan untuk ibadah, maka kegiatan tersebut akan
menghasilkan manfaat dan berkah bagi pelakunya (Fandi Tjiptono,
1996: 126-127).
Basu Swastha (1993: 105) menjelaskan Konsumsi dalam Islam
didasarkan pada lima prinsip dasar yaitu:
a. Prinsip Keadilan. Prinsip mendasari pencarian rezeki secara halal (baik
secara fisik maupun secara spiritual) dan tidak melanggar hukum.
b. Prinsip kebersihan. Al-Qur’an dan sunnah menjelaskan tentang
kebersihan makanan untuk dikonsumsi, tidak menjijikkan dan merusak
selera.
c. Prinsip kesederhanaan. Al-Qur’an menuntun manusia untuk makan
secara tidak berlebih-lebihan.
d. Prinsip kemurahan hati. Konsumsi demi kelangsungan hidup dan
kesehatan yang lebih baik yang bertujuan menunaikan ibadah
kepadanya, tidaklah menjadi dosa ataupun bahaya untuk
mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal.
e. Prinsip moralitas. Etika mengkonsumsi dengan menyebut nama Allah
sebelum makan dan minum dan penyataan terima kasih kepada-nya
setelah makan bertujuan peningkatan nilai-nilai moral dan spiritual.
24
9. Perilaku konsumen dalam Islam
Definisi perilaku konsumen, perilaku konsumen Islami didasarkan
atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan
kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas
berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemenuhan
kebutuhandisertai kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya
keharmonisan hubungan antar sesama. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara
tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas
tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih
berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.
Adiwarman Karim (2012: 76).menyebutkan bahwa perilaku rasional
mempunyai dua makna, yaitu pertama: metode, “action selected on the basis
of reasoned thought rather than out of habit, prejudice, or emotion” (tindakan
yang dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan berdasarkan
kebiasaan, prasangka atau emosi), dan kedua: makna, “action that actually
succeeds in achieving desired goals”(tindakan yang benar-benar dapat
mencapai tujuan yang ingin dicapai).
Prinsip Dasar Perilaku Konsumen Islam Ekonomi Islam bukan hanya
berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara
cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang
lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah swt. Prinsip dasar
perilaku konsumen Islami diantaranya:
25
a. Prinsip Syariah yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi.
b. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk
ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia
sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggung
jawaban oleh Pencipta.
c. Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus
mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-
hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang
halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
d. Prinsip ‘amaliyah, sebagai konsekuensi aqidah dan ilmu yang telah
diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk
menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi
hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
e. Prinsip Kuantitas yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah
dijelaskan dalam syariat Islam. Salah satu bentuk prinsip kuantitas ini
adalah kesederhanaan, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa
menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubadzir, namun tidak juga
pelit. Menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluaran juga
merupakan perwujudan prinsip kuantitas dalam konsumsi. Artinya,
dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.Selain itu, bentuk prinsip
kuantitas lainnya adalah menabung dan investasi, artinya tidak semua
26
kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk
kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
f. Prinsip Prioritas yaitu memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
(1) Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia
dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan
agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
(2) Primer adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia
dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan
agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
(3) Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.
g. Prinsip Sosial Yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
(1) Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong
sehingga Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu juga
menganjurkan shadaqah, infaq dan wakaf.
(2) Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam
berkonsumsi baik dalam keluarga atau masyarakat.
(3) Tidak membahayakan/merugikan dirinya sendiri dan orang lain
dalam mengkonsumsi sehingga tidak menimbulkan
kemudharatan seperti mabuk- mabukan, merokok, dan
sebagainya.
27
h. Kaidah lingkungan yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya
atau tidak merusak lingkungan. Seorang muslim dalam penggunaan
penghasilannya memiliki dua sisi, yaitu pertama untuk memenuhi
kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk
dibelanjakan di jalan Allah.
10. Perilaku konsumen
Menurut James F. Engel et al. (seperti dikutip Mangkunegara, 2002:
3), bahwa: “costumer behavior is defined as the acts of individuals directly in
volved in obtaining and using economic good services including the decision
process that precede and determine these acts”. (Prilaku konsumen
didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara lansung terlibat
dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis
termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan
tindakan-tindakan tersebut).
Menurut David L. Loundon dan Albert J. Della Bitta (seperti dikutip
Mangkunegara, 2002: 3), bahwa: “Costumer behavior may be defined as
decision proces and physical activity individuals engage in when evaluating,
acquiring, using or disposing of goods and services”. (Prilaku konsumen
dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas
individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengavaluasi,
memperoleh, menggunakan atau dapat mempergunakan barang-barang dan
jasa).
28
Menurut Gerald Zaleman dan Melanie Wallendorf (seperti dikutip
Mangkunegara, 2002: 4) menejelaskan bahwa: “Costumer behavior are acts,
process and social relationships exhibited by individuals, group and
organizations in the obtainment, use of, and consequent experience with
products, services and othe resources”. (Prilaku konsumen adalah tindakan-
tindakan, proses, dan hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok,
dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu produk atau lainnya
sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan
sumber-sumber lainnya).
Berdasarkan beberapa definisi yang ada di atas maka dapat
disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah sejumlah tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau organisasi yang berhubungan
dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, dan
menggunakan barang-barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi oleh
lingkungan.
Sutisna (2002: 48) menjelaskan prilaku konsumen dalam
pembeliannya dapat dikelompokkan ke dalam empat tipe. Pertama, adalah
konsumen yang melakukan pembeliannya dengan pembuatan keputusan
(timbul kebutuhan, mencari informasi dan mengevaluasi merek serta
memutuskan pembelian), dan dalam pembeliannya memerlukan keterlibatan
tinggi. Dua interaksi ini menghasilkan tipe perilaku pembelian yang
kompleks. Kedua, prilaku konsumen yang melakukan pembelian terhadap
satu merek tertentu secara berulang-ulang dan konsumen mempunyai
29
keterlibatan tinggi dalam proses pembeliannya. Prilaku konsumen seperti ini
menghasilkan tipe prilaku konsumen yang loyal terhadap merek. Ketiga,
prilaku konsumen yang melakukan pembeliannya dengan pembuatan
keputusan, dan pada proses pembeliannya konsumen merasa kurang terlibat.
Prilaku pembelian seperti itu menghasilkan tipe prilaku konsumen limited
decision making. Keempat, prilaku konsumen yang dalam pembelian atas
suatu merek produk berdasarkan kebiasaan, dan pada saat melakukan
pembelian, konsumen merasa kurang terlibat. Prilaku seperti itu
menghasilkan perilaku konsumen tipe inertia.
Inertia merupakan perilaku konsumen yang berulang kali dilakukan,
tetapi sebenarnya konsumen itu tidak loyal karena mudah mengubah pilihan
mereknya jika ada stimulus yang menarik. Misalnya orang akan mengubah
pilihan mereknya jika merek lain melakukan potongan harga atau
memberikan kupon belanja.
Mangkunegara (2002: 39) mengatakan faktor-faktor kekuatan yang
mempengaruhi prilaku konsumen ada dua yaitu:
a. Kekuatan Sosial Budaya antara lain faktor budaya, faktor kelas sosial,
faktor kelompok anutan, dan faktor keluarga.
b. Kekuatan Faktor Psikologis antara lain faktor pengalaman belajar,
faktor kepribadian, faktor sikap dan keyakinan, dan konsep diri.
11. Keputusan pembelian konsumen
Sutisna (2002: 15) mejelaskan Pengambilan keputusan oleh
konsumen untuk melakukan pembelian suatu produk diawali oleh adanya
30
kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang oleh Assael disebut
need arousal. Selanjutnya jika sudah disadarinadanya kebutuhan dan
keinginan, maka konsumen akan mencari informasi mengenai keberadaan
produk yang diinginkannya. Proses pencarian informasi mengenai
keberadaan produk yang diinginkannya. Proses pencarian informasi ini akan
dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi yang berhubungan
dengan produk yang diinginkan. Dari berbagai informasi yang diperoleh
konsumen melakukan seleksi atas alternatif-alternatif yang tersedia. Proses
seleksi inilah yang disebut sebagai tahap evaluasi informasi.
Dengan menggunakan berbagai kriteria yang ada dalam benak
konsumen, salah satu merek produk dipilih untuk dibeli. Dengan dibelinya
merek produk tertentu, proses evaluasi belum berakhir karena konsumen akan
melakukan evaluasi pasca pembelian (post purchase evaluation). Proses
evaluasi ini akan menentukan apakah konsumen merasa puas atau tidak atas
keputusan pembeliannya. Seandainya konsumen merasa puas, maka
kemungkinan untuk melakukan pembelian kembali pada masa depan akan
terjadi, sementara itu jika konsumen tidak puas atas keputusan pembeliannya,
dia akan mencari kembali berbagai informasi produk yang dibutuhkannya.
Proses itu akan terus berulang sampai konsumen merasa terpuaskan atas
keputusan pembeliaan produknya.
Amirullah (2002: 62-63), menjelaskan dalam konteks perilaku
konsumen, maka pengambilan keputusan konsumen (consumer decision
making) dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana konsumen
31
melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif pilihan, dan memilih salah
satu atau lebih alternatif yang diperlukan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu. Definisi ini ingin menegaskan bahwa suatu keputusan
tidak harus memilih satu dari sejumlah alternatif, akan tetapi keputusan harus
didasarkan pada relevansi antara masalah dan tujuannya.
Tidak semua situasi pengambilan keputusan konsumen berada dalam
tingkatan yang sama. Jika semua keputusan pembelian memerlukan usaha
yang lebih luas, kemudian konsumen mengambil keputusan itu walaupun
dengan proses yang cukup melelahkan, maka keputuan harus tetap diambil.
Sebaliknya, ada sebagian konsumen yang begitu mudah untuk mengambil
keputusan. Kondisi ini terjadi karena konsumen sudah menganggap bahwa
proses itu merupakan proses yang biasa atau berulang-ulang.
Berdasarkan pola hubungan antara jenis usaha (masalah) yang paling
tinggi dan usaha paling rendah, maka kita dapat membedakan tiga tingkatan
pengambilan keputusan konsumen:
1) Extensive problem solving. Pada tingkat ini konsumen sangat
membutuhkan banyak informasi untuk lebih meyakinkan ke putusan
yang akan diambilnya.
2) Limited problem solving. Pada tingkatan ini konsumen tidak begitu
banyak memerlukan informasi, akan tetapi konsumen tetap perlu
mencari-cari informasi untuk lebih memberikan keyakinannya.
3) Routinized response behavior. Karena konsumen telah memiliki
banyak pengalaman membeli, maka informasi biasanya tidak
32
diperlukan lgi. Informasi yang dicari hanyalah untuk membandingkan
saja, walaupun keputusan itu sudah terpikirkan oleh mereka.
Sutisna (2002: 17-18) menyimpulkan dalam proses pengambilan
keputuan pembelian oleh konsumen terdapat beberapa perspektif lain
diantaranya atas perspektif experiential dan perspektif behavioral influence.
- Perspektif experiential, yaitu banyak tindakan yang dihasilkan dari
adanya kebutuhan manusia pada perasaan dan emosinya. Terdapat dua
jenis pembelian yang ditinjau dari perspektif experiential. Pertama,
purchase implulse yang mana terjadi ketika konsumen mengambil
keputusan pembelian yang mendadak. Dorongan untuk melakukan
pembelian begitu kuat, sehingga konsumen tidak dapat berpikir rasional
dalam pembelian. Karena itu pembelian yang dilakukan terjadi akibat
letupan emosi yang bersifat kompleks. Kedua, pembelian yang sifatnya
variety seeking yaitu pembelian yang dilakukan ketika konsumen
melakukan pembelian secara spontan dan bertujuan untuk mencoba
merek baru daru suatu produk. Pembelian yang bersifat variety seeking
ini tidak didorong oleh adanya ketidak puasan atas pembelian yang
sudah dilakukan, tetapi sifatnya lebih didasarkan atas hiburan belanja
yang bertujan mengurangi kebosanan dengan membeli merek baru dari
suatu produk. Veriety seeking dikategorikan pada perspektif
experiential karena didalam proses pembelian produk yang dilakukan
konsumen dipengaruhi oleh perasaannya.
33
- Perspektif pengaruh lingkungan (the behavioral influence perspective).
Pada perspektif pengaruh prilaku, pilihan keputusan mecerminkan
prilaku yang dihasilkan dari adanya stimuli yang mampu menguatkan
pengalaman masa lalu selama proses pencarian informasi. Dari
pengalamannya itu konsumen dapat membedakan informasi yang dapat
menguatkan atau melemahkan pilihan keputusan. Setelah pembelian
pada perspektif pengaruh prilaku terjadi akan membandingkan apakah
produk yang dibelinya sesuai dengan produk yang dibeli sebelumnya
atau tidak. Bila ternyata pada produk yang dibelinya tidak sesuai
dengan pengalaman pembeliaan masa lalunya konsumen akan kembali
mencari informasi dan membeli produk yang sesuai dengan
pengalaman masa lalunya itu.
12. Kosmetik Skincare
Kosmetik aman digunakan apabila diproduksi menggunakan bahan-
bahan yang tidak berbahaya bagi tubuh dalam penggunaan jangka panjang
dan tidak mengandung bahan haram yang berasal dari bahan baku yang haram
pula. Diantaranya adalah penggunaan lemak hewani yang berasal dari lemak
babi sebagai campuran bahan kosmetik yang bertujuan untuk mengatasi
terjadinya penuaan dini. Penggunaan ari-ari yang berasal dari janin bayi untuk
bahan campuran pembuatan kosmetik. Hal itu juga dilarang dan tidak sesuai
dengan kaidah Islam, dimana segala sesuatu yang berasal dari babi dan bagian
tubuh manusia haram untuk dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Selain bahan – bahan tersebut terdapat bahan kimia yang
34
seharusnya tidak digunakan secara tidak langsung, seperti penggunaan
merkuri yang bertujuan untuk memberikan efek putih bagi kulit. Hal itu
membahayakan kesehatan karena dapat memicu perkembangan sel tubuh
yang memiliki sifat karsinogenik dan memicu timbulnya kanker. Sehingga
menggunakan produk halal merupakan kewajiban sebagai seorang muslim
dalam menjalankan ibadah. Serta implementasi terhadap ketakwaan kepada
Allah SWT yang telah memberikan kehidupan serta kesehatan yang harus
selalu dijaga.
C. Kerangka Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh
Kesadaran Labelisasi Halal dan Pengetahuan Produk terhadap Keputusan
Pembelian. Kerangka penelitian ini digunakan untuk mempermudah jalan
pemikiran terhadap masalah yang akan dibahas. Adapun kerangka konseptual
yang akan di kembangkan pada penelitian ini dimana terdapat dua variabel
dependen X yaitu Kesadaran Lebelisasi Halal (X1), dan Pengetahuan Produk
(X2), selain itu terdapat juga variabel independen (Y) yaitu Keputusan
Pembelian. Itu artinya dalam pengambilan keputusan, terutama keputusan
pembelian, konsumen dapat dipengaruhi oleh kesadaran label halal, dan
pengetahuan produk.
Gambar berikut ini adalah kerangka konseptual yang berfungsi
sebagai pedoman dan arah berfikir dalam penelitian:
35
D. Hipotesis
Adapun Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H𝑎1:Variabel Kesadaran Lebelisasi Halal (X1) berpengaruh secara signifikan
terhadap Keputusan Pembelian Konsumen (Y).
H𝑎2: Variabel Pengetahuan Produk Skincare (X2) berpengaruh secara
signifikan terhadap Keputusan Pembelian Konsumen (Y)
Kesadaran
Lebelisasi Halal
(X1)
Pengetahuan Produk
(X2)
Keputusan Pembelian
(Y)
8