29
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Nurcahyo dan Hudrasyah (2017) dalam jurnalnya yang berjudul THE INFLUENCE OF HALAL AWARENESS, HALAL CERTIFICATION, AND PERSONAL SOCIETAL PERCEPTION TOWARD PURCHASE INTENTION”. Metode Data yang digunakan diperoleh melalui survei online dengan 108 valid responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive, analisis ini menggunakan analisis regresi berganda, dan data yang dikumpulkan menggunakan uji asumsi kalsik. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dua variabel independen (Sertifikasi Halal dan Persepsi Sosial Pribadi) terhadap variabel dependen (Niat Pembelian Terhadap Produk Halal). Kesimpulan: Dalam Penelitian ini, kesadaran halal tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap niat beli. Yunus, Rashid, Ariffin, dan Rashid (2014) dalam jurnalnya yang berjudul “MUSLIM’S PURCHASE INTENTION TOWARDS NON- MUSLIM’S HALAL PACKAGED FOOD MANUFACTURER”. Sebanyak 150 set kuesioner dibagikan secara acak di Lembah Klang. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling, peneliti menggunakan analisis korelasional untuk menganalisis hubungan antara tiga variabel independen utama. Hasil mengungkapkan bahwa kesadaran Halal dan bahan-bahan produk miliki secara signifikan mempengaruhi niat Muslim

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/48267/3/BAB II.docx.pdflabel halal bertujuan agar konsumen mendapatkan perlindungan kehalalan dan kenyamanan atas pemakaian

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Penelitian Terdahulu

    Nurcahyo dan Hudrasyah (2017) dalam jurnalnya yang berjudul

    “THE INFLUENCE OF HALAL AWARENESS, HALAL CERTIFICATION,

    AND PERSONAL SOCIETAL PERCEPTION TOWARD PURCHASE

    INTENTION”. Metode Data yang digunakan diperoleh melalui survei online

    dengan 108 valid responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan

    metode purposive, analisis ini menggunakan analisis regresi berganda, dan

    data yang dikumpulkan menggunakan uji asumsi kalsik. Hasil menunjukkan

    bahwa ada hubungan yang signifikan antara dua variabel independen

    (Sertifikasi Halal dan Persepsi Sosial Pribadi) terhadap variabel dependen

    (Niat Pembelian Terhadap Produk Halal). Kesimpulan: Dalam Penelitian ini,

    kesadaran halal tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap niat beli.

    Yunus, Rashid, Ariffin, dan Rashid (2014) dalam jurnalnya yang

    berjudul “MUSLIM’S PURCHASE INTENTION TOWARDS NON-

    MUSLIM’S HALAL PACKAGED FOOD MANUFACTURER”. Sebanyak

    150 set kuesioner dibagikan secara acak di Lembah Klang. Teknik

    pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling, peneliti

    menggunakan analisis korelasional untuk menganalisis hubungan antara tiga

    variabel independen utama. Hasil mengungkapkan bahwa kesadaran Halal

    dan bahan-bahan produk miliki secara signifikan mempengaruhi niat Muslim

  • 9

    untuk membeli makanan kemasan halal yang diproduksi oleh produsen Non-

    Muslim. Ini diharapkan bahwa temuan penelitian ini akan membantu

    produsen bersertifikasi Halal Non-Muslim untuk mengembangkan strategi

    terbaik di memenangkan hati konsumen Muslim.

    Khasana, Wahab, dan Nailis (2014) dalam jurnalnya yang berjudul

    “PENGARUH KEMASAN, LABEL HALAL, DAN PENGETAHUAN

    PRODUK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN”.

    teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.

    Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi

    berganda, uji F dan uji t. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa besarnya

    pengaruh variabel Packaging (X1), Label Halal (X2), Dan Pengetahuan

    Produk (X3) secara simultan Tentang Keputusan Pembelian (Y) adalah

    58,4%. Variabel yang memiliki pengaruh dominan terhadap Keputusan

    Pembelian adalah Produk Variabel pengetahuan dengan nilai koefisien 0,781.

    Kusnandar, Suroso, dan Prasodjo (2016) dalam jurnalnya yang

    berjudul “PENGARUH CITRA MEREK DAN KESADARAN LABEL

    HALAL PRODUK KOSMETIK LATULIPE TERHADAP MINAT

    KONSUMEN UNTUK MEMBELI ULANG DI KOTA BANYUWANGI”.

    Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi dengan

    pendekatan konfirmatori. Hasil menunjukkan brand image berpengaruh

    positif signifikan terhadap minat membeli ulang produk kosmetik La Tulipe

    di kota Banyuwangi. Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan

    bahwa ada pengaruh signifikan antaran a) brand image terhadap minat

  • 10

    membeli ulang produk kosmetik La Tulipe di kota Banyuwangi diterima.

    Keseluruhan persepsi brand image responden terhadap kosmetik merek La

    Tulipe terbentuk berdasarkan asosiasi merek. dukungan asosiasi merek,

    keunikan asosiasi merek. b) kesadaran label halal berpengaruh positif

    signifikan terhadap minat membeli ulang produk kosmetik La Tulipe di kota

    Banyuwangi. Dengan demikian hipotesis ke dua yang menyatakan bahwa ada

    pengaruh signifikan antaran kesadaran label halal terhadap minat membeli

    ulang produk kosmetik La Tulipe di kota Banyuwangi diterima.

    Fathur Rahimin (2018) dalam jurnalnya dengan judul “PENGARUH

    LABELISASI HALAL DAN KESADARAN HALAL TERHADAP

    PERILAKU KONSUMEN MEMBELI PRODUK MAKANAN HALAL”.

    Penelitian ini merupakan penelitian assosiatif yang menggunakan

    pendekatan kuantitatif. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi

    rank Spearman, sedangkan untuk uji signifikansi menggunakan uji t. Hasil

    menunjukkan bahwa: a) terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara

    labelisasi halal dengan perilaku konsumen membeli produk makanan halal

    dengan nilai rho koefisien spearman’s sebesar 0,544 menunjukkan hubungan

    positif dan hubungan antar variabel dalam kategori sedang dan tingkat

    signifikasi sebesar 0,000 < 0,05. b) Terdapat hubungan yang positif dan

    signifikan antara kesadaran halal dengan perilaku konsumen membeli produk

    makanan halal dengan nilai rho koefisien spearman’s sebesar 0,490

    menunjukkan hubungan positif dan hubungan antar variabel dalam kategori

    sedang dan tingkat signifikasi sebesar 0,000 < 0,05.

  • 11

    Setelah melihat kesimpulan dari penelitian terdahulu diatas, terdapat

    beberapa perbedaan dari tiap peneliti dalam menyimpulkan hasil

    penelitiannya. Seperti kesimpulan Nurcahyo dan Hudrasyah mengenai

    Sertifikasi Halal dan Persepsi Sosial Pribadi Terhadap Niat Pembelian Produk

    Halal. Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah

    variabel sertifikasi halal. Perbedaanya ialah pada teknik pengambilan sampel

    yang mana pada penelitian ini menggunakan accidental sampling.

    Lain lagi dengan kesimpulan dari penelitian Yunus, Rashid, Arrifin

    mengenai muslim purchase intention towards non-muslim’s halal packaged

    food manufacturer. Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini

    adalah variabel dependen halal awarenes dan prodct ingredients, dan sama-

    sama mengguanakan analisis koresional. Perbedaannya ialah pada teknik

    pengambilan sampel yang mana penelitian ini menggunakan accidental

    sampling sendangkan peneltian terdahulu convenience sampling.

    Kesimpulan dari penelitian Khasanah, Wahab, dan Nailis mengenai

    pengaruh kemasan, label halal, dan pengetahuan produk terhadap keputusan

    pembelian konsumen. Persamaan dari peneltian terdahulu dengan penelitian

    ini adalah pada variabel pengetahuan produk dan variabel terikat keputusan

    pembelian konsumen, sama-sama menggunakan regresi berganda.

    Perbedaannya ialah pada teknik pengambilan sampel yang mana penelitian

    ini menggunakan accidental sampling sedangkan peneltian terdahulu

    menggunakan purposive sampling.

  • 12

    Kesimpulan dari peneltian Kusnandar, Suroso, dan Prasodjo

    mengenai pengaruh citra merek dan kesadaran label halal produk kosmetik

    latulipe terhadap minat konsumen untuk membeli ulang di kota banyuwangi.

    Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah

    variabel kesadaran halal dan sama-sama menggunakan pendekatan deskriptif.

    Perbedaanya pada peneltian terdahulu menggunakan analisis teknik sampel

    purposive sendangkan peneltian ini menggunakan accidental.

    Dan lagi kesimpulan dari peneltian Fathur Rahimin mengenai

    pengaruh labelisasi halal dan kesadaran halal terhadap perilaku konsumen

    membeli produk makanan halal. Persamaan dari penelitian terdahulu adalah

    pada variabel labelisasi halal. Perbedaan pada peneltian terdahulu

    menggunakan korelasi rank spearman sedangkan penelitian ini menggunakan

    produck moment.

    B. Kerangka Teori Masalah Penelitian

    1. Dasar Hukum LPPOM-MUI

    Mengutip (http://www.kemendag.go.id, akses 8 Maret 2019)

    Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 519 Tahun 2001

    tanggal 30 November 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan

    Pangan Halal. Menteri Agama Republik Indonesia, Menimbang :Bahwa

    dalam rangka memberikan kepastian kehalalan pangan yang dikemas dan

    diperdagangkan di Indonesia, di pandang perlu untuk menindak lanjuti

    ketentuan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang

    Label dan Iklan Pangan;

    http://www.kemendag.go.id/

  • 13

    a. Bahwa sehubungan dengan butir a di atas, perlu menunjuk lembaga

    keagamaan yang mampu dan memenuhi syarat obyektif lainnya untuk

    melakukan pemeriksaan kehalalan terhadap pangan yang dikemas dan

    diperdagangkan di Indonesia;

    b. Bahwa untuk itu, perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

    Mengingat :

    1) Undang-undang RI No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (LN RI

    Tahun 1992 No. 100, TLN No. 3495);

    2) Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan (LN RI Tahun

    1996 No. 99, TLN No. 3656);

    3) Undang-undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

    (LN RI Tahun 1999 No. 42, TLN No. 3821);

    4) Peraturan Pemerintah RI No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

    Pangan (LN RI Tahun 1999 No. 131, TLN No. 3867);

    5) Keputusan Presiden RI No. 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan,

    Tugas, Fungsi , Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja

    Departemen;

    6) Keputusan Presiden RI No. 228/M Tahun 2001

    7) Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 1991 tentang Peningkatan

    Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan,

    Keputusan Mengeri Eksplorasi Laut dan Perikanan No. 45 Tahun 2000

    tentang Perizinan Usaha Perikanan;

  • 14

    8) Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2001 tentang Organisasi dan

    Tata Kerja Departemen Agama;

    9) Keputusan Menteri Agama No.518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan

    Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal;

    Memperhatikan: Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Majelis

    Ulama Indonesia (MUI) No.018/MUI/I/1989 Tahun 1989 tentang

    Pembentukan LP-POM MUI. Menetapkan: Keputusan Menteri Agama

    Republik Indonesia Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.

    Pasal 1 Menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga

    pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal, yang dikemas untuk

    diperdagangkan di Indonesia.

    Pasal 2 Pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pangan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 1, meliputi :pemeriksaan dan /atau verifikasi data

    pemohon;

    a. pemeriksaan proses produksi;

    b. pemeriksaan laboratorium;

    c. pemeriksaan pengepakan, pengemasan dan pemyimpanan produk;

    d. pemeriksaan sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian;

    e. pemprosesan dan penetapan Sertifikasi Halal.

    2. Kesadaran Halal

    Kesadaran merupakan kemampuan untuk memahami, merasakan, dan

    menjadi sadar akan suatu peristiwa atau benda-benda. Kesadaran adalah

  • 15

    konsep tentang menyiratkan pemahaman dan persepsi terhadap peristiwa atau

    subjek. Aziz, ( 2013: 7).

    Kesadaran halal diketahui berdasarkan mengerti tidaknya seorang

    muslim tentang apa itu halal, mengetahui proses penyembelihan yang benar,

    dan memprioritaskan makanan halal untuk mereka konsumsi. Kesadaran

    untuk membeli dan mengkonsumsi produk halal sangat penting bagi umat

    Islam. Hal ini dikarenakan produk yang bersertifikasi halal bukan hanya

    diproduksi oleh produsen muslim melainkan juga ditangani oleh sejumlah

    kelompok non-muslim (Yunus, 2013: 147).

    3. Indikator Kesadaran Halal

    Kesadaran halal merupakan tingkat pemahaman umat muslim dalam

    mengetahui isu-isu terkait konsep halal. Pengetahuan tersebut termasuk

    didalamnya memahami apa itu halal dan bagaimana proses produksi suatu

    produk sesuai standar halal dalam Islam. Pengukuran variabel kesadaran halal

    mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Yunus et al., (2013: 151), yaitu:

    a) Pemahaman atau Pengetahuan

    b) Sadar akan halal

    c) Kebersihan dan keamanan produk

    4. Labelisasi Halal

    Menurut Rangkuti (2010:8), labelisasi halal adalah pencantuman

    tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan

    bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.

  • 16

    Label halal adalah jaminan yang diberikan oleh suatu lembaga yang

    berwenang seperti Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika

    Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) untuk memastikan bahwa produk

    tersebut sudah lolos pengujian kehalalan sesuai syariat Islam. Pencantuman

    label halal bertujuan agar konsumen mendapatkan perlindungan kehalalan

    dan kenyamanan atas pemakaian produk tersebut (Yuswohady, 2015:23).

    Sertifikat Label Halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia

    (MUI) yang diberikan kepada perusahaan yang mengajukan uji kehalalan

    produ. Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan

    suatu produk sesuai dengan syariat islam (www.halalmui.org, akses 8 Maret

    2019). Berdasarkan pengertian di atas, sertifikat halal adalah pernyataan halal

    suatu produk yang telah lulus uji kriteria kehalalan. Seterfikat halal akan di

    keluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) setelah

    ditetapkan status kehalalan oleh fatwa MUI. Dalam melaksanakan

    wewenangnya, BPJPH bekerja sama dengan kementrian atau lembaga terkait,

    LPH (Lembaga Pemeriksaan Halal) dan MUI.

    Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai

    dengan syari'at Islam yaitu (www.halalmui.org, akses 8 Maret 2019) :

    1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi;

    2) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut

    tata cara syari'at Islam;

    3) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat

    pengelolaan dan transportasinya tidak digunakan untuk babi. Jika

    http://www.halalmui.org/http://www.halalmui.org/

  • 17

    pernah digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya terlebih

    dulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari'at

    Islam;

    4) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar;

    5) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat

    pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau

    barang tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu

    dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at Islam.

    Pelaku usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib

    mencantumkan Label Halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari

    produk atau tempat tertentu pada produk. Kemudian pencantuman Label

    Halal sebagaimana dimaksud harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak

    mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.

    Pernyataan halal tersebut dapat dilihat dalam kemasan suatu produk,

    yakni pada atribut yang terdapat pada suatu produk, atribut yang dimaksud

    disini adalah label halal. Menurut Kotler (2001: 205) para pemasar harus

    memberikan label pada produknya guna mengatasi masalah lingkungan dan

    memberikan keamanan kemasan pada produk yang dikonsumsi oleh

    masyarakat. Secara umum, label minimal harus berisi nama atau merek

    produk, bahan baku, bahan tambahan komposisi, berat bersih atau isi bersih,

    nama dan alamat pihak yang memproduksi, serta tanggal kadaluwarsa dan

    bagi umat muslim perlu adanya pencantuman label halal pada suatu produk.

    Dengan adanya label halal ini konsumen muslim dapat memastikan produk

  • 18

    mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan

    mencantumkan label halal pada kemasannya.

    Menurut Muhammad Elmi As Pelu (2009:14) ada tiga indikator label

    halal, yaitu:

    a) Pengetahuan merupakan informasi atau maklumat yang diketahui atau

    disadari oleh seseorang. Pengetahuan adalah informasi yang telah

    dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk memiliki, yang

    lantas melekat di benak seseorang.

    b) Kepercayaan merupakan suatu keadaan psikologis pada saat seseorang

    menganggap suatu premis benar atau dapat juga diartikan sebagai

    anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dapat dipercayai itu

    benar atau nyata.

    c) Penilaian terhadap labelisasi halal, merupakan proses, cara, perbuatan

    menilai, pemberian nilai yang diberikan terhadap label halal.

    5. Produk

    “Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk

    memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk-produk yang dapat dipasarkan

    meliputi barang fisik, jasa, pengalaman, acara-acara, orang, tempat, properti,

    organisasi, dan gagasan” (Kotler, 2005 : 69).

    6. Tingkatan Produk

    Dalam merencanakan tawaran pasarnya, pemasar perlu memikirkan

    secara mendalam lima tingkatan produk (Kotler, 2005 : 69-70). Lima

    tingkatan produk tersebut yaitu:

  • 19

    a) Manfaat inti (core benefit), yaitu manfaat inti atau manfaat yang

    sesungguhnya didapat ketika konsumen membeli sebuah produk.

    b) Produk dasar (basic product), yaitu adanya manfaat tambahan dari

    manfaat inti produk tersebut.

    c) Produk yang diharapkan (expected product), yaitu beberapa kondisi

    yang biasanya diharapkan oleh pembeli ketika mereka membeli suatu

    produk.

    d) Produk yang ditingkatkan (augmented product), yaitu manfaat atau

    pelayanan yang diberikan oleh produk yang membedakan produk

    tersebut dengan produk pesaing.

    e) Calon produk (potential product), yaitu meliputi segala kemungkinan

    peningkatan dan perubahan yang mungkin akan dialami produk atau

    tawaran tersebut pada masa yang akan datang.

    7. Pengetahuan Produk

    Pengetahuan produk adalah kumpulan berbagai informasi mengenai

    produk. Pengetahuan ini meliputi kategori produk, merek, terminologi

    produk, atribut atau fitur produk, harga produk dan kepercayaan mengenai

    produk (Engel et al, dikutip dari Sumarwan 2011 : 148). Ada tiga jenis

    pengetahuan produk menurut Peter dan Olson (Sumarwan, 2011 : 149):

    a) Pengetahuan tentang atribut produk: pengetahuan mengenai atribut

    akan mempengaruhi konsumen dalam proses pengambilan keputusan.

    Pengetahuan yang lebih banyak mengenai atribut suatu produk akan

    memudahkan konsumen untuk memilih produk yang akan dibelinya.

  • 20

    b) Pengetahuan tentang manfaat produk: konsumen sering kali berpikir

    mengenai manfaat (baik itu manfaat positif maupun negatif) yang akan

    ia rasakan jika mengkonsumsi atau membeli suatu produk, bukan

    mengenai atributnya. Pengetahuan tentang manfaat produk adalah

    penting bagi konsumen, karena pengetahuan ini akan mempengaruhi

    keputusan pembeliannya.

    c) Pengetahuan tentang kepuasan yang diberikan produk: setelah

    konsumen menggunakan suatu produk maka mereka akan merasakan

    manfaat yang diberikan oleh produk tersebut. Suatu ukuran seseorang

    dikatakan puas apabila apa yang ia rasakan atau dapatkan adalah sama

    atau melebihi dari apa yang ia harapkan.

    8. Konsumsi dalam Islam

    Konsumsi dalam Islam selalu berpatokan pada ajaran Islam, yaitu

    lebih mempertimbangkan pencapaian maslahah dari pada utilitas yang

    merupakan tujuan syariat Islam yang harus menjadi tujuan kegiatan

    konsumsi.

    1) Maslahah dalam konsumsi.

    Hal ini didasarkan pada rasionalitas Islami yang menyatakan bahwa

    pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang

    diperolehnya. Jadi, konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan

    berkah yang akan diperolehnya dari kegiatan konsumsi. Konsumen

    akan merasakan manfaat dalam mengkonsumsi barang dan jasa apabila

    konsumen memperoleh pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau

  • 21

    material. Konsumen akan merasakan berkah dari konsumsi barang atau

    jasa apabila barang tersebut dikategorikan halal menurut syariat Islam.

    Kegiatan konsumsi barang yang halal merupakan sikap kepatuhan

    kepada perintah Allah sehingga memperoleh pahala. Pahala inilah yang

    dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang dikonsumsi.

    Demikian pula sebaliknya, konsumen tidak akan melakukan konsumsi

    barang atau jasa yang haram karena tidak memberikan keberkahan.

    Selain itu mengkonsumsi barang haram juga adalah perbuatan dosa

    yang akan mendatangkan siksa dari Allah.

    2) Kebutuhan dan keinginan.

    Perubahan permintaan terhadap barang dan jasa yang dipengaruhi dari

    konsumsi masyarakat. Permintaan terhadap suatu barang akan

    mengalami kenaikan apabila masyarakat menghendaki lebih banyak

    barang tersedia untuk dikonsumsi. Tindakan masyarakat untuk

    membeli barang atau jasa dipengaruhi oleh kebutuhan atau keinginan

    masyarakat. Kebutuhan terkait dengan segala sesuatu yang harus

    dipenuhi agar barang dan jasa tersebut berfungsi sempurna, berbeda dan

    lebih mulia dari makhluk lainnya.

    Secara umum, pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan

    manfaat fisik, material, intelektual, maupun spiritual, sedangkan

    pemenuhan keinginan akan menambah kepuasan atau atau manfaat

    secara psikis. Apabila suatu seseorang menginginkan kebutuhan, maka

    pemenuhan kebutuhan tersebut akan menciptakan maslahah sekaligus

  • 22

    kepuasan. Tetapi, apabila pemenuhan kebutuhan tersebut tidak

    didasarkan pada keinginan maka hanya akan memberikan manfaat saja.

    Apabila yang diinginkan bukan merupakan suatu kebutuhan maka

    pemenuhan keinginan tersebut hanya akan melahirkan kepuasan

    semata.

    3) Maslahah dan nilai ekonomi Islam.

    Perekonomian Islam akan dapat terwujud apabila prinsip-prinsip dan

    nilai-nilai Islam diterapkan secara bersama-sama. Apabila salah

    satunya diabaikan maka perekonomian akan berjalan tidak seimbang.

    Misalnya, apabila seorang konsumen memperhatikan prinsip

    kecukupan dalam membeli barang, maka dia akan berusaha untuk

    membeli sejumlah barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan

    minimalnya.

    Konsumsi dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi

    yang ditujukan untuk ibadah dan konsumsi yang dilakukan hanya untuk

    memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia saja.

    Maslahah atas amal saleh yaitu ibadah yang secara tidak langsung

    terkait dengan manfaat dunia bagi pelakunya, tetapi manfaatnya

    dirasakan dalam bentuk rasa aman dan tentram atas berkah yang akan

    diberikan Allah, baik di dunia akhirat nanti. Besarnya maslahah

    tergantung dari frekuensi amal tersebut dengan pahala yang

    diterimanya. Manfaat ibadah ini tidak dinikmati secara langsung oleh

    pelakunya, tetapi sepenuhnya berupa berkah. nilai berkah makin

  • 23

    meningkat seiring makin meningkatnya frekuensi ibadah dilakukan.

    Disisi lain, maslahah dari kegiatan konsumsi untuk kepentingan

    duniawi yang diniatkan untuk ibadah, maka kegiatan tersebut akan

    menghasilkan manfaat dan berkah bagi pelakunya (Fandi Tjiptono,

    1996: 126-127).

    Basu Swastha (1993: 105) menjelaskan Konsumsi dalam Islam

    didasarkan pada lima prinsip dasar yaitu:

    a. Prinsip Keadilan. Prinsip mendasari pencarian rezeki secara halal (baik

    secara fisik maupun secara spiritual) dan tidak melanggar hukum.

    b. Prinsip kebersihan. Al-Qur’an dan sunnah menjelaskan tentang

    kebersihan makanan untuk dikonsumsi, tidak menjijikkan dan merusak

    selera.

    c. Prinsip kesederhanaan. Al-Qur’an menuntun manusia untuk makan

    secara tidak berlebih-lebihan.

    d. Prinsip kemurahan hati. Konsumsi demi kelangsungan hidup dan

    kesehatan yang lebih baik yang bertujuan menunaikan ibadah

    kepadanya, tidaklah menjadi dosa ataupun bahaya untuk

    mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal.

    e. Prinsip moralitas. Etika mengkonsumsi dengan menyebut nama Allah

    sebelum makan dan minum dan penyataan terima kasih kepada-nya

    setelah makan bertujuan peningkatan nilai-nilai moral dan spiritual.

  • 24

    9. Perilaku konsumen dalam Islam

    Definisi perilaku konsumen, perilaku konsumen Islami didasarkan

    atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan

    kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas

    berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemenuhan

    kebutuhandisertai kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya

    keharmonisan hubungan antar sesama. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara

    tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas

    tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih

    berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.

    Adiwarman Karim (2012: 76).menyebutkan bahwa perilaku rasional

    mempunyai dua makna, yaitu pertama: metode, “action selected on the basis

    of reasoned thought rather than out of habit, prejudice, or emotion” (tindakan

    yang dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan berdasarkan

    kebiasaan, prasangka atau emosi), dan kedua: makna, “action that actually

    succeeds in achieving desired goals”(tindakan yang benar-benar dapat

    mencapai tujuan yang ingin dicapai).

    Prinsip Dasar Perilaku Konsumen Islam Ekonomi Islam bukan hanya

    berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara

    cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang

    lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah swt. Prinsip dasar

    perilaku konsumen Islami diantaranya:

  • 25

    a. Prinsip Syariah yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi

    dalam melakukan konsumsi.

    b. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk

    ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia

    sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggung

    jawaban oleh Pencipta.

    c. Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus

    mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-

    hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang

    halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.

    d. Prinsip ‘amaliyah, sebagai konsekuensi aqidah dan ilmu yang telah

    diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk

    menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi

    hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.

    e. Prinsip Kuantitas yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah

    dijelaskan dalam syariat Islam. Salah satu bentuk prinsip kuantitas ini

    adalah kesederhanaan, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa

    menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubadzir, namun tidak juga

    pelit. Menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluaran juga

    merupakan perwujudan prinsip kuantitas dalam konsumsi. Artinya,

    dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang

    dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.Selain itu, bentuk prinsip

    kuantitas lainnya adalah menabung dan investasi, artinya tidak semua

  • 26

    kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk

    kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.

    f. Prinsip Prioritas yaitu memperhatikan urutan kepentingan yang harus

    diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:

    (1) Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia

    dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan

    agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.

    (2) Primer adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia

    dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan

    agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.

    (3) Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.

    g. Prinsip Sosial Yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya

    sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:

    (1) Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong

    sehingga Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu juga

    menganjurkan shadaqah, infaq dan wakaf.

    (2) Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam

    berkonsumsi baik dalam keluarga atau masyarakat.

    (3) Tidak membahayakan/merugikan dirinya sendiri dan orang lain

    dalam mengkonsumsi sehingga tidak menimbulkan

    kemudharatan seperti mabuk- mabukan, merokok, dan

    sebagainya.

  • 27

    h. Kaidah lingkungan yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan

    kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya

    atau tidak merusak lingkungan. Seorang muslim dalam penggunaan

    penghasilannya memiliki dua sisi, yaitu pertama untuk memenuhi

    kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk

    dibelanjakan di jalan Allah.

    10. Perilaku konsumen

    Menurut James F. Engel et al. (seperti dikutip Mangkunegara, 2002:

    3), bahwa: “costumer behavior is defined as the acts of individuals directly in

    volved in obtaining and using economic good services including the decision

    process that precede and determine these acts”. (Prilaku konsumen

    didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara lansung terlibat

    dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis

    termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan

    tindakan-tindakan tersebut).

    Menurut David L. Loundon dan Albert J. Della Bitta (seperti dikutip

    Mangkunegara, 2002: 3), bahwa: “Costumer behavior may be defined as

    decision proces and physical activity individuals engage in when evaluating,

    acquiring, using or disposing of goods and services”. (Prilaku konsumen

    dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas

    individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengavaluasi,

    memperoleh, menggunakan atau dapat mempergunakan barang-barang dan

    jasa).

  • 28

    Menurut Gerald Zaleman dan Melanie Wallendorf (seperti dikutip

    Mangkunegara, 2002: 4) menejelaskan bahwa: “Costumer behavior are acts,

    process and social relationships exhibited by individuals, group and

    organizations in the obtainment, use of, and consequent experience with

    products, services and othe resources”. (Prilaku konsumen adalah tindakan-

    tindakan, proses, dan hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok,

    dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu produk atau lainnya

    sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan

    sumber-sumber lainnya).

    Berdasarkan beberapa definisi yang ada di atas maka dapat

    disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah sejumlah tindakan-tindakan

    yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau organisasi yang berhubungan

    dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, dan

    menggunakan barang-barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi oleh

    lingkungan.

    Sutisna (2002: 48) menjelaskan prilaku konsumen dalam

    pembeliannya dapat dikelompokkan ke dalam empat tipe. Pertama, adalah

    konsumen yang melakukan pembeliannya dengan pembuatan keputusan

    (timbul kebutuhan, mencari informasi dan mengevaluasi merek serta

    memutuskan pembelian), dan dalam pembeliannya memerlukan keterlibatan

    tinggi. Dua interaksi ini menghasilkan tipe perilaku pembelian yang

    kompleks. Kedua, prilaku konsumen yang melakukan pembelian terhadap

    satu merek tertentu secara berulang-ulang dan konsumen mempunyai

  • 29

    keterlibatan tinggi dalam proses pembeliannya. Prilaku konsumen seperti ini

    menghasilkan tipe prilaku konsumen yang loyal terhadap merek. Ketiga,

    prilaku konsumen yang melakukan pembeliannya dengan pembuatan

    keputusan, dan pada proses pembeliannya konsumen merasa kurang terlibat.

    Prilaku pembelian seperti itu menghasilkan tipe prilaku konsumen limited

    decision making. Keempat, prilaku konsumen yang dalam pembelian atas

    suatu merek produk berdasarkan kebiasaan, dan pada saat melakukan

    pembelian, konsumen merasa kurang terlibat. Prilaku seperti itu

    menghasilkan perilaku konsumen tipe inertia.

    Inertia merupakan perilaku konsumen yang berulang kali dilakukan,

    tetapi sebenarnya konsumen itu tidak loyal karena mudah mengubah pilihan

    mereknya jika ada stimulus yang menarik. Misalnya orang akan mengubah

    pilihan mereknya jika merek lain melakukan potongan harga atau

    memberikan kupon belanja.

    Mangkunegara (2002: 39) mengatakan faktor-faktor kekuatan yang

    mempengaruhi prilaku konsumen ada dua yaitu:

    a. Kekuatan Sosial Budaya antara lain faktor budaya, faktor kelas sosial,

    faktor kelompok anutan, dan faktor keluarga.

    b. Kekuatan Faktor Psikologis antara lain faktor pengalaman belajar,

    faktor kepribadian, faktor sikap dan keyakinan, dan konsep diri.

    11. Keputusan pembelian konsumen

    Sutisna (2002: 15) mejelaskan Pengambilan keputusan oleh

    konsumen untuk melakukan pembelian suatu produk diawali oleh adanya

  • 30

    kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang oleh Assael disebut

    need arousal. Selanjutnya jika sudah disadarinadanya kebutuhan dan

    keinginan, maka konsumen akan mencari informasi mengenai keberadaan

    produk yang diinginkannya. Proses pencarian informasi mengenai

    keberadaan produk yang diinginkannya. Proses pencarian informasi ini akan

    dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi yang berhubungan

    dengan produk yang diinginkan. Dari berbagai informasi yang diperoleh

    konsumen melakukan seleksi atas alternatif-alternatif yang tersedia. Proses

    seleksi inilah yang disebut sebagai tahap evaluasi informasi.

    Dengan menggunakan berbagai kriteria yang ada dalam benak

    konsumen, salah satu merek produk dipilih untuk dibeli. Dengan dibelinya

    merek produk tertentu, proses evaluasi belum berakhir karena konsumen akan

    melakukan evaluasi pasca pembelian (post purchase evaluation). Proses

    evaluasi ini akan menentukan apakah konsumen merasa puas atau tidak atas

    keputusan pembeliannya. Seandainya konsumen merasa puas, maka

    kemungkinan untuk melakukan pembelian kembali pada masa depan akan

    terjadi, sementara itu jika konsumen tidak puas atas keputusan pembeliannya,

    dia akan mencari kembali berbagai informasi produk yang dibutuhkannya.

    Proses itu akan terus berulang sampai konsumen merasa terpuaskan atas

    keputusan pembeliaan produknya.

    Amirullah (2002: 62-63), menjelaskan dalam konteks perilaku

    konsumen, maka pengambilan keputusan konsumen (consumer decision

    making) dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana konsumen

  • 31

    melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif pilihan, dan memilih salah

    satu atau lebih alternatif yang diperlukan berdasarkan pertimbangan-

    pertimbangan tertentu. Definisi ini ingin menegaskan bahwa suatu keputusan

    tidak harus memilih satu dari sejumlah alternatif, akan tetapi keputusan harus

    didasarkan pada relevansi antara masalah dan tujuannya.

    Tidak semua situasi pengambilan keputusan konsumen berada dalam

    tingkatan yang sama. Jika semua keputusan pembelian memerlukan usaha

    yang lebih luas, kemudian konsumen mengambil keputusan itu walaupun

    dengan proses yang cukup melelahkan, maka keputuan harus tetap diambil.

    Sebaliknya, ada sebagian konsumen yang begitu mudah untuk mengambil

    keputusan. Kondisi ini terjadi karena konsumen sudah menganggap bahwa

    proses itu merupakan proses yang biasa atau berulang-ulang.

    Berdasarkan pola hubungan antara jenis usaha (masalah) yang paling

    tinggi dan usaha paling rendah, maka kita dapat membedakan tiga tingkatan

    pengambilan keputusan konsumen:

    1) Extensive problem solving. Pada tingkat ini konsumen sangat

    membutuhkan banyak informasi untuk lebih meyakinkan ke putusan

    yang akan diambilnya.

    2) Limited problem solving. Pada tingkatan ini konsumen tidak begitu

    banyak memerlukan informasi, akan tetapi konsumen tetap perlu

    mencari-cari informasi untuk lebih memberikan keyakinannya.

    3) Routinized response behavior. Karena konsumen telah memiliki

    banyak pengalaman membeli, maka informasi biasanya tidak

  • 32

    diperlukan lgi. Informasi yang dicari hanyalah untuk membandingkan

    saja, walaupun keputusan itu sudah terpikirkan oleh mereka.

    Sutisna (2002: 17-18) menyimpulkan dalam proses pengambilan

    keputuan pembelian oleh konsumen terdapat beberapa perspektif lain

    diantaranya atas perspektif experiential dan perspektif behavioral influence.

    - Perspektif experiential, yaitu banyak tindakan yang dihasilkan dari

    adanya kebutuhan manusia pada perasaan dan emosinya. Terdapat dua

    jenis pembelian yang ditinjau dari perspektif experiential. Pertama,

    purchase implulse yang mana terjadi ketika konsumen mengambil

    keputusan pembelian yang mendadak. Dorongan untuk melakukan

    pembelian begitu kuat, sehingga konsumen tidak dapat berpikir rasional

    dalam pembelian. Karena itu pembelian yang dilakukan terjadi akibat

    letupan emosi yang bersifat kompleks. Kedua, pembelian yang sifatnya

    variety seeking yaitu pembelian yang dilakukan ketika konsumen

    melakukan pembelian secara spontan dan bertujuan untuk mencoba

    merek baru daru suatu produk. Pembelian yang bersifat variety seeking

    ini tidak didorong oleh adanya ketidak puasan atas pembelian yang

    sudah dilakukan, tetapi sifatnya lebih didasarkan atas hiburan belanja

    yang bertujan mengurangi kebosanan dengan membeli merek baru dari

    suatu produk. Veriety seeking dikategorikan pada perspektif

    experiential karena didalam proses pembelian produk yang dilakukan

    konsumen dipengaruhi oleh perasaannya.

  • 33

    - Perspektif pengaruh lingkungan (the behavioral influence perspective).

    Pada perspektif pengaruh prilaku, pilihan keputusan mecerminkan

    prilaku yang dihasilkan dari adanya stimuli yang mampu menguatkan

    pengalaman masa lalu selama proses pencarian informasi. Dari

    pengalamannya itu konsumen dapat membedakan informasi yang dapat

    menguatkan atau melemahkan pilihan keputusan. Setelah pembelian

    pada perspektif pengaruh prilaku terjadi akan membandingkan apakah

    produk yang dibelinya sesuai dengan produk yang dibeli sebelumnya

    atau tidak. Bila ternyata pada produk yang dibelinya tidak sesuai

    dengan pengalaman pembeliaan masa lalunya konsumen akan kembali

    mencari informasi dan membeli produk yang sesuai dengan

    pengalaman masa lalunya itu.

    12. Kosmetik Skincare

    Kosmetik aman digunakan apabila diproduksi menggunakan bahan-

    bahan yang tidak berbahaya bagi tubuh dalam penggunaan jangka panjang

    dan tidak mengandung bahan haram yang berasal dari bahan baku yang haram

    pula. Diantaranya adalah penggunaan lemak hewani yang berasal dari lemak

    babi sebagai campuran bahan kosmetik yang bertujuan untuk mengatasi

    terjadinya penuaan dini. Penggunaan ari-ari yang berasal dari janin bayi untuk

    bahan campuran pembuatan kosmetik. Hal itu juga dilarang dan tidak sesuai

    dengan kaidah Islam, dimana segala sesuatu yang berasal dari babi dan bagian

    tubuh manusia haram untuk dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak

    langsung. Selain bahan – bahan tersebut terdapat bahan kimia yang

  • 34

    seharusnya tidak digunakan secara tidak langsung, seperti penggunaan

    merkuri yang bertujuan untuk memberikan efek putih bagi kulit. Hal itu

    membahayakan kesehatan karena dapat memicu perkembangan sel tubuh

    yang memiliki sifat karsinogenik dan memicu timbulnya kanker. Sehingga

    menggunakan produk halal merupakan kewajiban sebagai seorang muslim

    dalam menjalankan ibadah. Serta implementasi terhadap ketakwaan kepada

    Allah SWT yang telah memberikan kehidupan serta kesehatan yang harus

    selalu dijaga.

    C. Kerangka Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh

    Kesadaran Labelisasi Halal dan Pengetahuan Produk terhadap Keputusan

    Pembelian. Kerangka penelitian ini digunakan untuk mempermudah jalan

    pemikiran terhadap masalah yang akan dibahas. Adapun kerangka konseptual

    yang akan di kembangkan pada penelitian ini dimana terdapat dua variabel

    dependen X yaitu Kesadaran Lebelisasi Halal (X1), dan Pengetahuan Produk

    (X2), selain itu terdapat juga variabel independen (Y) yaitu Keputusan

    Pembelian. Itu artinya dalam pengambilan keputusan, terutama keputusan

    pembelian, konsumen dapat dipengaruhi oleh kesadaran label halal, dan

    pengetahuan produk.

    Gambar berikut ini adalah kerangka konseptual yang berfungsi

    sebagai pedoman dan arah berfikir dalam penelitian:

  • 35

    D. Hipotesis

    Adapun Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    H𝑎1:Variabel Kesadaran Lebelisasi Halal (X1) berpengaruh secara signifikan

    terhadap Keputusan Pembelian Konsumen (Y).

    H𝑎2: Variabel Pengetahuan Produk Skincare (X2) berpengaruh secara

    signifikan terhadap Keputusan Pembelian Konsumen (Y)

    Kesadaran

    Lebelisasi Halal

    (X1)

    Pengetahuan Produk

    (X2)

    Keputusan Pembelian

    (Y)

  • 8