30
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School Based Management, istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional. Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Ibrahim Bafadal (2009:82) mendefinisikan MBS sebagai “Proses manjemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Manajemen Berbasis ...eprints.ung.ac.id/4828/3/2012-1-86206-151410146-bab2... · 2.1.1 Indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Adapun indikator

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School

Based Management, istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika

masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan

perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru

pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada pada tingkat sekolah dengan

melibatkan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.

Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,

yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan

sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar

basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan

mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan

makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber

daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau

pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses kerja komunitas sekolah

dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, untuk

mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu.

Ibrahim Bafadal (2009:82) mendefinisikan MBS sebagai “Proses

manjemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara

otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan

10

semua stakeholder sekolah”. Selanjutnya menurut Malen, Ogawa Krans (dalam

Ali Idrus, 2009:25-26) “manejemn berbasis sekolah secara konseptual dapat

digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktural penyelenggaraan, sebagai

suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai

unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan”. MBS pada

hakikatnya merupakan p0emberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif

serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan

mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.

Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dalam Bahasa Inggris

School-Based Management pada dewasa ini menjadi perhatian para pengelolaan

pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan

tingkat Sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka

setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti

disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut

mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan

dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami

dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam

penyelenggaraan pendidikan, khususnya Sekolah, karena implementasi MBS

tidak sekedar membawa perubahan dalam kewenangan akademik Sekolah dan

tatanan pengelolaan Sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola

kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan

Sekolah.

11

MBS merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan

kewenangan dan kekuasaan kepada institusi Sekolah untuk mengatur kehidupan

sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan Sekolah yang bersangkutan. Dalam

MBS, Sekolah merupakan institusi yang memiliki full authority and responsibility

untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan (kurikulum) dan

implikasinya terhadap berbagai kebijakan Sekolah sesuai dengan visi, misi, dan

tujuan pendidikan yang hendak dicapai Sekolah.

Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari

manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah

pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber

daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan

paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar

sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu

sendiri.

Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi

kewenangan yang memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk

alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi

diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan

mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan di samping agar Sekolah

lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.

Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model

manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan

mendorong pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung

12

semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan

masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan

nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan

yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.

Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program

yang tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.

Demikian juga, dengan pengambilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga

sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki

warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan

peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah

terhadap sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif. Baik

peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan partisipatif tersebut

kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan

pendidikan nasional yang berlaku.

2.1.1 Indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Adapun indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai

berikut: 1) Partisipasi masyarakat diwadahi melalui Komite Sekolah. 2)

Transfaransi pengelolaan sekolah (program dan anggaran). 3) Program sekolah

realistik – need assessment. 4) Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi

sekolah 5) Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawat. 6) Iklim sekolah kondusif

7) Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu. 8) Meningkatnya kinerja

profesional kepala sekolah dan guru. 9) Kepemimpinan sekolah berkembang

13

demokratis – policy and decision making, planning and programming. 10) Upaya

memenuhi fasilitas pendukung KBM meningkat. 11) Kesejahteraan guru

meningkat 12) Pelayanan berorientasi pada siswa/murid. 13) Budaya konformitas

dalam pengelolaan sekolah berkurang.

2.1.2 Alasan dan Tujuan Penerapan MBS

MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen Peningkatan

Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana

diungkapkan oleh Nurkolis antara lain pertama, sekolah lebih mengetahui

kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan

sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan

warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan

transparansi dan demokrasi yang sehat.

Menurut bank dunia, terdapat beberapa alasan diterapkannya MBS antara

lain alasan ekonomis, politis, professional, efisiensi administrasi, finansial,

prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah.

Menurut Direktorat Jenderal Pendidikian Dasar dan Menengah (dalam

Ibrahim Bafadal, 2009:82) MBS bertujuan untuk “Memandirikan dan

memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan dan sumber

daya untuk meningkatkan mutu sekoloah

Jadi tujuan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas

pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas

14

kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan

lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya

manusia, peningkatan kualitas bukan hanya meningkatnya pengetahuan dan

ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula.

Keuntungan-keuntungan penerapan MBS adalah:

1. Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-

orang yang bekerja di sekolah.

2. Meningkatkan moral guru.

3. Keputusan yang diambil sekolah mengalami akuntabilitas.

4. Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang

dikembangkan di sekolah.

5. Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang

diambil pada tingkat sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya

peran seorang pemimpin.

6. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap

komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.

2.2 Karakteristik MBS

Levacic (dalam Ibrahim Bafadal, 2009:82) mengedepankan tiga

karakteritik kunci MBS sebagai berikut:

1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang

berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada

para stakholoder sekolah.

2. Domain peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek

peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan

prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum.

3. Walaupun seluruh domain manajemen peningkatan mutu pendidikan

didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah

15

regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan

pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah.

Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai

sistem pendidikan terdiri dari sejumlah komponen yang saling tergantung,

teroganisasi dan bergerak bersama ke arah tujuan-tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen masukan

(input), komponen proses (through-put), dan komponen keluaran (output) (Teguh

Winarno, 2004: 4-6)

2.2.1 Input

Komponen input terdiri dari tiga jenis, yaitu Raw input (masukan

mentah/dasar), instrumental input (masukan instrumental/alat), dan environmental

input (masukan lingkungan). Masukan input bagi pendidikan adalah siswa-siswa

dengan segala karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik – biologis,

bakat, intelegensi baik pada bidang kognitif (IQ) maupun pada bidang

afektif/emosi (EQ) minat, motivasi, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.

Instrumental input meliputi kurikulum, guru, kepala sekolah, pegawai,

sarana dan prasarana, strategi dan metode, dana, waktu belajar, dan organisasi

sekolah. Environmental input meliputi partisipasi orangtua, instansi terkait

terutama para stakeholders (Pembina) pendidikan, dan masyarakat.

2.2.2 Proses (through – put)

Komponen proses ini tidak lain adalah proses pendidikan. Proses

pendidikan ini menyangkut bagaimana mengelola dan menginteraksikan Raw-

16

input, instrumental input dan Enviromental input secara efektif dan efisien

sehingga output (lulusan) dari suatu lembaga pendidikan memiliki ragam dan

tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang sesuai dengan yang telah

dirumuskan dalam tujuan-tujuan pendidikan. Yang dimaksud komponen proses

ini adalah pembelajaran.

Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yaitu tujuan pembelajaran,

materi pembelajaran, metode pembelajaran, bahan dan alat pembelajaran dan

evaluasi. Pembelajaran ini harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan

kualitatif (peningkatan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki situasi

pembelajaran dan kualitas tingkah laku siswa yang lebih baik setelah mereka

memasukinya. Keberhasilan pembelajaran ini banyak ditentukan oleh seberapa

jauh efektivitas dan efisiensi manajemennya.

Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai

berikut :

a. Proses belajar mengajar yang efektifitasnya tinggi.

b. Kepemimpinan sekolah yang kuat.

c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.

d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.

e. Sekolah memiliki budaya mutu.

f. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.

g. Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.

h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.

i. Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.

17

j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.

k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.

l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (Nurkholis, 2003:65)

2.2.3 Hasil yang diharapkan (Output)

Hasil yang diharapkan dari suatu system pendidikan adalah dihasilkannya

lulusan (output) yang memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampilan,

nilai, dan sikap (out comes) yang sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang

telah dirumuskan dan sesuai pula dengan harapan lembaga pendidikan.

Output bisa berupa prestasi akademik seperti, lomba karya ilmiah remaja,

lomba bahasa Inggris, Matematika, cara berpikir kritis, nalar, rasional,induktif,

deduktif, dan ilmiah. Juga prestasi non akademik, misalnya keingintahuan yang

tinggi, harga diri, solidaritas yang tinggi, kedisiplinan, kesenian, prestasi olahraga,

rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama dan kepramukaan.

2.3 Implemetasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

2.3.1 Syarat Syarat Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu pembaruan dalam rangka

meningkatkan kualitas dan demokratisasi pendidikan. Sebagai suatu terobosan

baru Manajemen Berbasis Sekolah dalam pelaksanaannya tentu tidaklah mudah,

banyak hal yang perlu dipersiapkan. Terkait dengan pelaksanaan Manajemen

Berbasis Sekolah, ada empat faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu:

1) Kekuasaan yang dimiliki madrasah/sekolah

18

Dalam Manajemen Berbasis Sekolah, kepala sekolah mempunyai kekuasaan

yang kebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan

yang sesuai dengan tu7juan yang diharapkan.

2) Pengetahuan dan keterampilan

Sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia yang

diwujudkan melalui pelatihan dan semacamnya.

3) Sistem informasi yang jelas

Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah perlu memiliki

informasi yang jelas tentang program pendidikan yang transparan, karena dari

informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah.

4) Sistem penghargaan

Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen

Berbasis Sekolah perlu menyusun sistem penghargaan bagi warga yang

berprestasi, ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas

warga sekolah.

Dengan demikian hanya dengan adanya kewenangan dalam pengelolaan

sekolah, sistem pengembangan sumber daya manusia, tranparansi, serta upaya

pemberian penghargaan bagi yang berprestasi, pelaksanaan manjemen berbasis

sekolah dapat berjalan efektif dan efisien.

Hamsah B, Uno (2010:90-92) menyebutkasn 7 kewenangan tingkat

sekolah dalam pelaksanaan manjemen berbasis sekolah yaitu:

1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah.

2. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang

kelas yang tersedia, fasilitas, jumlah guru, dan tenaga administratif yang ada.

3. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan

dan dilaksanakan oleh sekolah.

19

4. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk b uku pelajaran dapat

diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standard an ketentuan yang

ada.

5. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, denga

mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten.

6. Proses pengajaran dan pembelajaran

7. Urusan teknisi edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen berbasis

sekolah (MBS) merupakan urusan sejak awal harus menjadi tanggung jawab

dan kewenangan setiap satuan pendidikan.

Penerapan MBS dilandasi oleh peraturan perundang-undangan pendidikan

nasional yang berlaku di Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab XIV,

Pasal 51, Ayat (1)

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan

Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal

3)

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah

Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1)

4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang

Standar Kepala Sekolah/Madrasah

5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang

Standar Pengelolaan Pendidikan

6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan

Dasar dan Menengah.

20

2.3.2 Tahapan-Tahapan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah

antara lain:

1) Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah

nusantara terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media

informasi, baik cetak maupun elektronik. Dalam mengefektifkan

pencapaian tujuan perubahan, diperlukan kejelasan tujuan dan cara yang

tepat, baik menyangkut aspek proses maupun pengembangan.

2) Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep

manjemen berbasis madrasah tidak mengandung resiko. Efektifitas model

uji coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu: akseptabilitas, akuntabilitas,

reflikabilitas, dan sustainabilitas. Akseptabilitas artinya adanya

penerimaan dari para tenaga kependidikan, akuntabilitas artinya bahwa

konsep manajemen berbasis madrasah dapat dipertanggungjawabkan,

reflikabilitas artinya model manajemen berbasis madrasah yang

diujicobakan dapat direflikasi di madrasah lain sehingga perlakuan yang

diberikan kepada madrasah uji coba dapat dilaksanakan di madrasah lain,

sementara sustainabilitas artinya program tersebut dapat dijaga

kesinambungannya setelah dilakukan uji coba.

3) Tahap pelaksanaan merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi,

antara kelompok kerja manajemen berbasis madrasah dengan berbagai

unsure terkait (guru, kepala sekolah, pengawas, tokoh agama, pengusaha,

dan para akademisi).

21

4) Tahap diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model

manajemen berbasis madrasah yang telah diujicobakan ke berbagai

madrasah, agar dapat mengimplementasikan manajemen berbasis

madrasah secara efektif dan efisien.

2.3.3 Strategi Kesuksesan Implementasi MBS

Konsep dasar MBS, menggambarkan bahwa keberhasilan sekolah dalam

mengimplementasikan MBS seharusnya mengacu kepada prinsip dan karateristik

MBS. Dalam MBS terdapat empat kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat yang

bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah dalam

mengimplementasi MBS. Pemahaman terhadap prinsip MBS, dan karakteristik

MBS akan membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada

akhirnya mutu pendidikan yang diharapkan dapat tercapai dan di

pertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya secara partisipatif, transparan, dan

akuntabel.

Menurut Slamet P.H (dalam Mulyasa, 2007:26) pelaksanaan MBS

merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua

unsur yang bertanggun jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh

karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan MBS adalah

sebagai berikut :

1. Mensosialisasikan konsep MBS

2. Melakukan analisis

3. Merumuskan tujuan situsional

22

4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan

situsional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.

5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui

analisis SWOT.

6. Memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan.

7. Membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.

8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek

manajemen berbasis sekolah.

Nurkholis (2003 : 132). Mengemukakan sembilan strategi keberhasilan

implementasi MBS, yaitu:

1. Sekolah harus memiliki otonomi terhadap 4 hal yaitu dimilikinya otonomi di

dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan, pengetahuan dan

keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian,

serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa

(2005 : 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah

kebijakan pengembangan kurikulum yang mengacuh kepada standar

kompetensi, komptensi dasar dan standar isi, serta pembelajaran beserta

sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang

disesuaikan dengan kebutuhan siswa masyarakat yang dilakukan secara

fleksibel. Dengan demikian, otonomi sekolah yang dilakukan secara benar

dalam kerangka inplementasi MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu

pendidikan di sekolah.

2. Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan proses

pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non

pembelajaran.

3. Adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan

dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala

sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan

pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan

sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu

pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas jenjang kepangkatan.

Kepala sekoah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan

peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka inplementasi

MBS Mulyasa (2002: 98). Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala

sekolah harus memiliki visi, misi dan wawasan yang luas tentang sekolah

yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkan melalui

perencanaan kepemimpinan manajerial, dan supervisi pendidikan.

23

4. Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan

dewan sekolah yang efektif.

5. Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-

sungguh.

6. Adanya panduan dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu

mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif.

7. Sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam

laporan pertanggung jawaban tahunan.

8. Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah khususnya

pada peningkatan prestasi belajar siswa.

9. Implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran

masing-masing, pembangunan kelembagaan.

Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila

didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoprasikan

sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu mengkaji staf sesuai dengan

fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar

mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua yang tinggi).

MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui otoritas

pengambilan keputusan dari pemerintah daerah ke sekolah. Dalam hal ini sekolah

dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang bergantung pada redistribusi

otoritas pengambilan keputusan di dalamnya terkandung desentralisasi

kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan. Dengan

demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang

memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk alternatif Sekolah dalam

program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi diberikan agar Sekolah

dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan

prioritas kebutuhan disamping agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan

setempat.

24

Merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih

besar kepada Sekolah dan mendorong Sekolah untuk melakukan pengambilan

keputusan secara partisipatif dalam memenuhi kebutuhan mutu Sekolah atau

untuk mencapai sasaran mutu Sekolah. Keputusan partisipatif yang dimaksud

adalah cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka

dan demokratik, dimana warga Sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa,

tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan

keputusan yang dapat berkonstribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.

MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap

terhadap kebutuhan masyarakat sekolah setempat. Karena siswa biasanya datang

dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian

sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang yang sama untuk

memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik) Di lain pihak,

sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta

bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah. Ciri-ciri MBS, bisa

diketahui antara lain dari sudut sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan

kemampuan manajemen sekolah, terutama dalam pemberdayaan sumber daya

yang ada menyangkut Sumber Daya Kepala Sekolah dan Guru, partisipasi

masyarakat, pendapatan daerah dan orang tua, juga anggaran sekolah

Konsekuensi penerapan manajemen berbasis Sekolah (MBS) menjadi

tanggung jawab dan ditangani oleh sekolah secara profesional.

Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan sekolah meliputi:

a. Perencanaan dan evaluasi program sekolah,

25

b. Pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif,

c. Pengelolaan proses belajar mengajar,

d. Pengelolaan ketenagaan

e. Pengelolaan perlengkapan dan peralatan,

f. Pengelolaan keuangan

g. Pelayanan siswa

h. Hubungan Sekolah-masyarakat

i. Pengelolaan iklim Sekolah.

2.3.4 Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi MBS

Menurut Nurkholis (2003: 264) ada enam faktor pendukung keberhasilan

implemnetasi MBS, keenamnya mencakup political will, finansial, sumber daya

manusia, budaya sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian.vKeberhasilan

implementasi MBS di Indonesia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi

MBS yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Walaupun boleh

dikatakan penerapan MBS lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan dasar hukum

pelaksanaannya, namun dukungan yang nyata dari pemerintah melalui kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan menjadi dasar bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam

mengembangkan pedidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya

panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).

Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa

keberhasilan pelaksanaan MBS sangat dipengaruhi oleh berbagai fakta, baik

26

faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis

besarnya mencakup sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan

peningkatan kualitas pendidikan dan gotong royong kekeluargaan, potensi sumber

daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi serta dukungan

dunia usaha dan dunia industri.

a) Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan

Pemerintah dan seluruh stake holder pendidikan perlu terus melakukan

sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah kerjanya, baik

dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui orientasi dan workshop.

b) Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah

Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan, baik secara

konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah

diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan

nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan

kualitas pendidikan kepada setiap jenis dan jenjang pendidikan Pemerintah,

dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan.

c) Gotong Royong Dalam Kekeluargaan

Gotong royong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak positif

(synergistyc effect) dalam berbagai aktifitas. Gotong royong dan kekeluargaan

yang membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih dapat

dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang profesional, menuju

terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di Sekolah. Kondisi ini dapat

ditumbuhkembangkan melalui jalinan kerjasama dan keeratan hubungan

27

dengan msyarakat dan dunia kerja, terutama yang berada di lingkungan

Sekolah.

d) Potensi Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara

optimal. Setiap kepala Sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi

terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Perhatian tersebut harus

ditunjukan dalam keamanan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dan

Sekolahnya secara optimal.

e) Organisasi Formal dan Optimal

Pada sebagian besar lingkungan pendidikan sekolah di berbagai wilayah

Indonesia, dari Sabang sampai Merauke umumnya telah memiliki organisasi

formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan seperti

Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (Pokjamas), Kelompok Kerja Sekolah

(KKM), Musyawarah Kepala Sekolah (MKM), Dewan Pendidikan, dan

Komite Sekolah. Organisasi-organisasi tersebut sangat mendukung MBS

untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan

diwilayah kerjanya.

f) Organisasi Profesi

Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah

dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti Pokjawas, KKM, Kelompok

Kerja guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Persatuan

Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Peduli Guru (FPG), dan ISPI (Ikatan

28

Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir diseluruh Indonesia,

dan telah menyentuh berbagai kecamatan.

g) Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan

MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan

yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, serta komitmen dan

motivasi yang kuat untuk meningkatakan mutu sekolah secara optimal.

Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa

peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal meskipun dengan segala

keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di Sekolah.

h) Input Manajemen

Paradigma baru manajemen pendidikan perlu ditunjang oleh input manajemen

yang memadai dalam menjalankan roda Sekolah dan mengelola Sekolah

secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki seperti tugas yang jelas,

rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung implementasi,

ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas dari warga Sekolah dalam

bertindak, serta adanya sistem pengendalian mutu yang handal untuk

meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan dapat diwujudkan di

Sekolah.

2.4 Faktor Penghambat Implementasi MBS

Implementasi MBS adalah sebuah keputusan politis yang sangat

menjanjikan, namun demikian bukan berarti dalam pelaksanaannya sama sekali

tidak ada kendala, kendala tersebut antara lain:

29

1. Pertama, dalam penerapan MBS, prasyarat awal yang dibutuhkan jelas adalah

dukungan mutu guru dan kesadaran masyarakat yang benar-benar tinggi

tentang arti dan fungsi sekolah. Masalahnya, selama ini harus diakui bahwa

dalam dua hal terpenting di atas, kita sesungguhnya masih sangat lemah.

2. Kebiasaan birokrasi pendidikan di masa lalu yang seringkali menikmati

berbagai fasilitas atau kemudahan dari sekolah adalah kendala lain yang

hingga kini masih sulit dihilangkan.

3. Sejauh mana masyarakat benar-benar siap untuk duduk sebagai anggota

dewan sekolah harus diakui masih menjadi tanda tanya. Tak sedikit orang tua

siswa menganggap sekolah formal sebagai hal yang tidak penting dan sama

sekali tidak signifikan untuk mendukung anak dalam mencari pekerjaan yang

baik.

Oleh karena itu, akan lebih baik jika persiapan yang matang terhadap

program MBS pada sekolah-sekolah yang mengimplementasikannya dilakukan

terlebih dahulu sebelum benar-benar menerapkannya, karena sebaik apapun suatu

program, akan kurang nilainya jika tidak di dukung kualitas sumber daya manusia

unggul.

2.5 Ukuran Keberhasilan Implementatasi MBS

Salah satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat

terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa.

Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak terlepas dari tiga pilar kebijakan

pendidikan nasional, khususnya pilar kedua dan ketiga, yaitu pemerataan dan

30

peningkatan akses serta kebersihan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah

dan daerah dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan.

Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implemnetasi

MBS dapat dilihat dari meningkatnya prestasi akademik maupun non akademik

sedangkan indikator tata layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana

peningkata layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik

kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan

kondisi sekolah, akan menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi efektif.

Serta siswapun menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam

lingkungan belajar yang menyenangkan.

2.6 Komponen-Komponen dalam Implementatasi MBS

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

(2011:191) mengemukakan komponen-komponen MBS adalah:

2.6.1 Manajemen Kurikulum

Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum

yang kooperatif, komprehensif, sistematik, dan sistematik dalam rangka

mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Dalam pelaksanaannya manajemen

kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks MBS dan KTSP.

Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum yang

standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya

sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat

31

mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh

mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi

kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Oemar. Hamalik

(2008:102) menyebutkan empat unsur pokok dalam suatu kurikulum yaitu “

Tujuan, isi pelajaran (content atau material) dan metode, evaluasi (assessment),

dan umpan balik”.

Manajemen kurikulum dan program pengajaran meliputi tiga kegiatan

pokok, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, peserta didik dan

seluruh sivitas akademika atau warga sekolah.

Kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru meliputi :

a. Pembagian tugas guru yang dijabarkan dari struktur program pengajaran dan

ketentuan tentang beban mengajar wajib bagi guru.

b. Tugas guru dalam mengikuti jadwal pelajaran, jadwal tugas guru ada tiga,

yaitu :

a) Jadwal pelajaran kurikuler dengan memperhatikan ketentuanketentuan

akademik seperti : (1) Keseimbangan berat ringan bobot pelajaran tiap hari

(2) Pengaturan mata pelajaran mana yang perlu didahulukan / ditengah /

akhir pelajaran. (3) Mata pelajaran bersifat praktikum / PKL /PPL

b) Jadwal pelajaran non kurikuler, disusun sesuai situasi dan kondisi

individual/kelompok peserta didik.

c) Jadwal pelajaran ekstra kurikuler disusun luar jam pelajaran kurikuler dan

program kokurikuler, biasanya bersifat pengembangan ekspresi, hobi,

bakat, minat, serta prestasi seperti, seni tari, musik, pecinta alam, palang

32

merah remaja, dokter kecil, pramuka serta penunjang proses belajar

mengajar lainnya.

c. Tugas guru dalam kegiatan proses belajar mengajar meliputi :

a) Membuat persiapan/perencanaan pengajaran

b) Melaksanakan pengajaran

c) Mengevaluasi hasil pengajaran

2.6.2 Manajemen Peserta Didik / Siswa

Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan,

pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk

memasuki dunia kerja, sehingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari

dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah

peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Manajemen siswa menunjuk pada

kegiatan-kegiatan di luar kelas dan di dalam kelas.

Kegiatan diluar kelas meliputi :

a. Penerimaan siswa baru.

a) Menyusun panitia beserta program kerja

b) Pendaftaran calon siswa (pengumuman, tempat, waktu, syarat dan

sebagainya)

c) Seleksi, disesuaikan dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia

di kelas I

d) Pengumuman calon yang diterima (termasuk cadangan jika diperlukan)

e) Registrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)

33

b. Pencatatan peserta didik baru dalam buku induk dan buku klapper.

a) Membuat format buku Klapper dan buku induk

b) Data yang diisikan (identitas, orang tua/wali, alamat, pekerjaan orang

tua/wli siswa) Kelengkapan data : fotokopi surat/akta kelahiran, surat

keterangan sehat dan sebagainya.

c) Buku Klapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad.

c. Pembagian seragam sekolah dan tata tertib sekolah beserta sangsi terhadap

d. Pembinaan siswa, dan pembinaan kesejahteraan siswa.

a) Kesejahteraan mental (penyediaan tempat sembahyang, BP)

b) Kesejahteraan fisik (UKS, keamanan, kenyamanan dan sebagainya)

c) Kesejahteraan akademik (perpustakaan, lab, tempat belajar yang memadai,

bimbingan belajar, penasehat akademik)

d) Kegiatan ektra kurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, seni

dan sebagainya)

Kegiatan- kegiatan di dalam kelas meliputi :

a. Pengelolaan kelas

b. Interaksi belajar mengajar yang positif

c. Pemberian pengajaran remidi, bagi yang lambat belajar

d. Presensi secara kontinu

e. Perhatian terhadap pelaksana tata tertib kelas

f. Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertib

g. Pembentukan pengurus kelas

h. Penyediaan media belajar sesuai kebutuhan

34

2.6.3 Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan

Ada dua kelompok ketenagaan di sekolah yaitu :

1) Tenaga edukatif atau akademik, yaitu guru. Ada guru tetap, guru tidak tetap

dan guru bantu.

2) Tenaga non edukatif atau pegawai tata usaha. Ada pegawai tetap dan pegawai

honorer/tidak tetap.

Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus (2009:145) menyatakan manajemen

tenaga kependidikan mencakup “(1) prencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai,

(3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) promosi dan mutasi, (5)

pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai”. Pengelolaan

ketenagaan juga meliputi (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan pegawai, yang

merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan pegawai baik secara kuantitatif

maupun kualitatif untuk sekarang dan masa depan. (3) rekrutmen

pegawai/pengadaan pegawai merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan

pegawai pada suatu lembaga, baik jumlah maupun kualitasnya. (4)

pengembangan, (5) hadiah dan sangsi (reward and punishment), (6) hubungan

kerja, (7) evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran.

2.6.4 Manajemen Keuangan

Manajemen anggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses

kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan

sungguh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu terhadap biaya operasional

35

sekolah/pendidikan sehingga kegiatan operasional pendidikan semakin efektif dan

efisien demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah

sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa

sekolah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi

pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah.

Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang

mendatangkan penghasilan “(income generating activities), sehingga sumber

keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.

2.6.5 Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Manajemen sarana dan Prasarana pendidikan merupakan seluruh proses

kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-

sungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap benda-benda pendidikan agar

senantiasa siap pakai dalam proses belajar mengajar sehingga proses belajar

mengajar semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan

pendidikan. Pengelolaan sarana dan prasarana sudah seharusnya dilakukan oleh

sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai

pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling

mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun

kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung

dengan proses belajar mengajar.

36

2.6.6 Manajemen Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat

Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh

proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara\ sengaja dan sungguh-

sungguh serta pembinaan secara kontinu untuk\ mendapatkan simpati dari

masyarakat pada umumnya serta dari publik pada khususnya sebagai kegiatan

operasional sekolah agar semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan

pendidikan.

Depdiknas (dalam Mulyasa, 2009: 128-129) mengemukakan indikator

hubungan sekolah dan masyarakat dalam manajemen sekolah antara lain:

1. Sekolah senantiasa menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang tua.

2. Sekolah berusaha melibatkan peran orang tua siswa dalam pelaksanaan

program-program sekolah.

3. Prosedur-prosedur untuk melibatkan para orang tua siswa dalam kegiatan-

kegiatan sekolah disampaikan secara jelas dan dilaksanakan secaa konsisten.

4. Orang tua siswa di sekolah memmpunyai kesempatan-kesempatan untuk

mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan .

5. Pada pertemuan antara orang tua sekolah sekolah tingkat kehadiran orang tua

sangat tinggi.

6. Ada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua siswa, sehubungan

dengan pemantauan pekerjaan rumah (PR).

7. Orang tua dan masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan

di sekolah.

8. Para guru sering berkomunikasi dengan para orang tua siswa tentang

kemajuan siswa.

9. Sebagian besar orang tua siswa memahami dan ikut mempromosikan program

pembelajaran di sekolah.

10. Masyarakat melalalui komite sekolah aktif melaksanakan peran dan fungsi

sesuai aturan.

Jadi dengan adanya hubungan sekolah dan masyarakat dapat menambah

jalinan yang harmonis keduanya, juga dapat menjadikan sekolah sebagai pusat

ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi masyarakat, sedangkan masyarakat dapat

sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi sekolah serta sebagai lapangan

pengabdian bagi para siswa.

37

2.7 Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

sebelumnya sudah pernah diteliti oleh Agfa Sofya Ardjun pada tahun 2006 di

SMA Negeri Kabila. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah

sebagai leadership dan manajerial telah mengembangan MBS secara bertahap

dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang dimiliki sekolah. Kenyataan

di lapangan menunjukkan bahwa dalam rangka implementasi MBS di SMA

Negeri Kabila, kepala sekolah telah melakukan berbagai upaya berupa

peningkatan mutu dan profesionalitas para guru dan pada aspek lain pula dalam

rangka meningkatkan kinerja guru kepala sekolah sering memberikan

penghargaan kepada guru dan siswa yang berprestasi baik secara langsung

maupun tidak langsung, sehingga dengan gaya-gaya seperti ini akan dapat

membangkitkan semangat dan kinerja guru dalam menjalankan fungsi dan

tanggungjawab.

Dalam rangka pengembangan MBS di SMA Negeri Kabila

mengeindikasikan ada beberapa peluang dan tantangan. Peluang yang ada

diantaranya adalah banyak guru yang telah mengikuti berbagai pelatihan dan

kursus baik tingkat regional maupun nasional, serta kualifikasi guru rata

berpendidikan S-1. peluang ini tentunya menjadi modal dasar di SMA Negeri

Kabila disamping tersedinya sarana dan prasarana yang representatif. Namun

demikian disamping peluang tersebut pula peneliti menemukan beberapa kendala

di lapangan, misalnya adanya beberapa guru yang jarak sekolah dan rumah

terhitung cukup jauh, sehingga hal ini menjadi kendala dalam penerapan tingkat

38

disiplin secara menyeluruh. Masalah lainnya yang menjadi kendala dalam

penerapan MBS di SMA Negeri Kabila adalah belum bersinerginya secara

menyeluruh pihak sekolah dan komite dalam sosialisasi MBS, sehingga kadang

antara orang tua dan pihak sekolah terjadi kesimpangsiuran dalam menerima

informasi.