20
24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Kajian yang membahas terkait dengan komodifikasi budaya bukanlah hal yang baru. Sudah banyak penelii yang telah mengkaji dan meneliti tentang komodifikasi budaya pada latar belakang dan loksi yang berbeda. berikut merupakan penelitian terdahulu beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis. Pertama, disertasi berjudul “Komodifikasi Warisan Budaya Sebagai Daya Tarik Wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng Gianyar” oleh Anak Agung GD Raka (1190371032) Program Studi Kajian Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar tahun 2015. Penelitian ini penulis mengambil Warisan budaya yang terdapat di Pura penataran asih yang memiliki keunikan tersendiri dijadikan sebagai alat untuk menarik minat dan perhatian para wisatawan untuk berkunjung ke Pura tersebut. Dengan tidak memperhatikan nilai asli yang terkandung dalam Pura tersebut yang merupakan tempat Ibadah bagi Umat Hindu. Relevansi penelitian ini adalah Di dusun Sade, Desa Rembitan, kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah juga menyugukan warisan budaya yang menjadi daya tarik tersendiri sehingga banyak wisatawan yang bekunjung untuk menyaksikan keunikan daerah tersebut. Namun tidak memperhatikan nilai asli serta makna yang terkandung dalam warisan budaya tersebut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40935/3/BAB II.pdfyang dulunya hanya diketahui oleh masyarakat suku sasak sekarang sudah dapat diakses oleh masyarakat

Embed Size (px)

Citation preview

24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Kajian yang membahas terkait dengan komodifikasi budaya bukanlah hal yang

baru. Sudah banyak penelii yang telah mengkaji dan meneliti tentang

komodifikasi budaya pada latar belakang dan loksi yang berbeda. berikut

merupakan penelitian terdahulu beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang

dilakukan penulis.

Pertama, disertasi berjudul “Komodifikasi Warisan Budaya Sebagai Daya

Tarik Wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng Gianyar” oleh Anak Agung GD

Raka (1190371032) Program Studi Kajian Budaya Program Pasca Sarjana

Universitas Udayana Denpasar tahun 2015. Penelitian ini penulis mengambil

Warisan budaya yang terdapat di Pura penataran asih yang memiliki keunikan

tersendiri dijadikan sebagai alat untuk menarik minat dan perhatian para

wisatawan untuk berkunjung ke Pura tersebut. Dengan tidak memperhatikan nilai

asli yang terkandung dalam Pura tersebut yang merupakan tempat Ibadah bagi

Umat Hindu.

Relevansi penelitian ini adalah Di dusun Sade, Desa Rembitan, kecamatan

Pujut, Kabupaten Lombok Tengah juga menyugukan warisan budaya yang

menjadi daya tarik tersendiri sehingga banyak wisatawan yang bekunjung untuk

menyaksikan keunikan daerah tersebut. Namun tidak memperhatikan nilai asli

serta makna yang terkandung dalam warisan budaya tersebut.

25

Kedua, skripsi yang berjudul “Komodifikasi Budaya (Studi dikampung wisata

Dipowinata Kelurahan Keparakan, kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta,

Daerah Istimewa Yogyakarta) oleh Rizki Petronaso (10413244026) Pendidikan

Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2015.

Penulisan ini peneliti mengambil kesimpulan bahwa bentuk Komodifikasi yang

terjadi yaitu dimana peninggalan budaya dijadikan sebagai komoditi yang

diperjualbelikan kepada wisatawn untuk menarik minat wisatwan yang

berkunjung seperti kesenian karawitan, kehidupan sosial masyarakat Jawa.

Ketiga, Diyah Ayu Retno Widyastuti dalam Jurnal Komunikasi vol. 1 No.

2 Januari 2011 berjudul Komodifikasi Upacara Religi Dalam Pemasaran

Pariwisata. Peenulis ini mengambil kesimpulan bahwa Bentuk komodifikasi yang

terjadi di Candi Ceto yakni terlihat pada Upacar Religi Saraswati yang pada

mulanya bersifat eksklusif dan hanya untuk kalangan terbatas khususnya umat

Hindu, tetapi sekarang ini upacara tersebut pelaksanaannya dapat diakses leluasa

oleh masyarakat umum.

Relevansi penelitian ini adalah Sama seperti halnya Lambung, Songket, yang

dulunya hanya digunakan oleh perempuan sasak yang menajdi identitas

perempuan sasak namun sekarang dijadikan sebagai objek komodifikasi, serta

kesenian Presean yang dulunya hanya diketahui oleh masyarakat suku sasak

sekarang sudah dapat diakses oleh masyarakat umum bahkan masyarakat umum

sudah dapat mempelajari kesenian tersebut.

Keempat, June Nash dalam Jurnal ethnology tahun vol.39 No.2 tahun 2000

berjudul Global Integration and Commodification of Culture. Perempuan

26

Kaqchnikel melakukan tarian tradisional dan pertunjukan drama untuk menarik

perhatian parawisatawan untuk berkunjung kedaerah mereka. Tidak hanya itu

mereka juga menyuguhkan kehidupan tradisional mereka seperti menenun sebagai

pelestarian budaya yang memikat hati para wisatawan.

Relevansi dengan penelitian ini adalah Dusun Sade, Desa Rembitan juga

menyuguhkan Presean sebagai seni tradisional yang mampu menarik perhatian

wisatawan untuk berkunjung ke Dusun tersebut. Tidak hanya itu kehidupan

sehari-hari yang masih tradisional juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang

dianggap unik, karena masih mempertahankan budaya yang telah lampau.

Penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan peneliti dalam penelitian.

Adapun bentuk penelitian terdahulu yang digunakan oleh peneliti yang menjadi

acuan penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No. Peneliti / Judul Penelitian Hasil Temuan Relevansi

1. Anak Agung GD Raka

dalam Disertasi yang

berjudul “Komodifikasi

Warisan Budaya Sebagai

Daya Tarik Wisata di

Pura Penataran Sasih

Pejeng Gianyar”

Warisan budaya yang

terdapat di Pura

penataran asih yang

memiliki keunikan

tersendiri dijadikan

sebagai alat untuk

menarik minat dan

perhatian para

Di dusun Sade,

Desa Rembitan,

kecamatan Pujut,

Kabupaten Lombok

Tengah juga

menyugukan

warisan budaya

yang menjadi daya

27

wisatawan untuk

berkunjung ke Pura

tersebut. Dengan tidak

memperhatikan nilai

asli yang terkandung

dalam Pura tersebut

yang merupakan

tempat Ibadah bagi

Umat Hindu.

tarik tersendiri

sehingga banyak

wisatawan yang

bekunjung untuk

menyaksikan

keunikan daerah

tersebut. Namun

tidak

memperhatikan

nilai asli serta

makna yang

terkandung dalam

warisan budaya

tersebut.

2. Rizki Petronaso dalam

Skripsi yang berjudul

“Komodifikasi Budaya

(Studi dikampung wisata

Dipowinata Kelurahan

Keparakan, kecamatan

Mergangsan, Kota

Yogyakarta, Daerah

Istimewa Yogyakarta)

bahwa bentuk

Komodifikasi yang

terjadi yaitu dimana

peninggalan budaya

dijadikan sebagai

komoditi yang

diperjualbelikan

kepada wisatawan

untuk menarik minat

wisatwan yang

Didusun Sade,

Desa Rembitan

juga menjadikan

potensi budaya

yang dimiliki

seperti kesenian

Presean, sebagai

komoditi yang

kemudian

dipasarkan

28

berkunjung seperti

kesenian karawitan,

kehidupan sosial

masyarakat jawa.

.

untukmenarik

minat wisatawan

yang berkunjung.

3. Diyah Ayu Retno

Widyastuti dalam Jurnal

Komunikasi vol. 1 No. 2

Januari 2011 berjudul

Komodifikasi Upacara

Religi Dalam Pemasaran

Pariwisata.

Bentuk komodifikasi

yang terjadi di Candi

Ceto yakni terlihat

pada Upacar Religi

Saraswati yang pada

mulanya bersifat

eksklusif dan hanya

untuk kalangan

terbatas khususnya

umat Hindu, tetapi

sekarang ini upacara

tersebut

pelaksanaannya dapat

diakses leluasa oleh

masyarakat umum.

Sama seperti

halnya Lambung,

Songket, yang

dulunya hanya

digunakan oleh

perempuan sasak

yang menajdi

identitas

perempuan sasak

namun sekarang

dijadikan sebagai

objek komodifikasi,

serta kesenian

Presean yang

dulunya hanya

diketahui oleh

masyarakat suku

sasak sekarang

sudah dapat diakses

29

oleh masyarakat

umum bahkan

masyarakat umum

sudah dapat

mempelajari

kesenian tersebut.

4. June Nash dalam Jurnal

ethnology tahun vol.39

No.2 tahun 2000 berjudul

Global Integration and

Commodification of

Culture

Perempuan

Kaqchnikel

melakukan tarian

tradisional dan

pertunjukan drama

untuk menarik

perhatian

parawisatawan untuk

berkunjung kedaerah

mereka. Tidak hanya

itu mereka juga

menyuguhkan

kehidupan tradisional

mereka seperti

menenun sebagai

pelestarian budaya

yang memikat hati

Dusun Sade, Desa

Rembitan juga

menyuguhkan

Presean sebagai

seni tradisional

yang mampu

menarik perhatian

wisatawan untuk

berkunjung ke

Dusun tersebut.

Tidak hanya itu

kehidupan sehari-

hari yang masih

tradisional juga

menjadi daya tarik

bagi wisatawan

yang dianggap

30

para wisatawan. unik, karena masih

mempertahankan

budaya yang telah

lampau.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Komodifikasi

Komodifikasi (Comodification) adalah proses transformasi barang

yang bernilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi merupakan strategi

atau cara yang digunakan oleh para kapitalis untuk mengakumulasi kapital

dari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi tidak dapat

dipisahkan dari para kapitalis yang memperhitungkan untung dan rugi.

Komoditas selalu dipahami sebagi alat produksi yang dibuat untuk ditukar

dipasaran. Komoditas merupakan alat tukar yang perjualbelikan.

Komodifikasi dan komoditas merupakan dua hal yang berupa obyek dan

proses dan merupakan obyek para kapitalisme.

Komoditas muncul dari rentan kebutuhan sosial, termasuk

pemuasan rasa lapar fisik dan bertemu atau bertentangan dengan kode-

kode status dari kelompok sosial tertentu. Selain itu bertentangan dengan

beberapa interpretasi, nilai guna tidak terbatas untuk memenuhi kebutuhan

bertahan hidup tetapi meluas kerentang penggunaan yang dibentuk secara

sosial (Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali Akhmad, 2014 : 18).

31

Komodifikasi muncul berdasarkan atas tuntutan pasar serta konsumen

yang terus meningkat. Greenwood (1977) dalam Pitana (2005 : 83)

melihat bahwa proses komodifikasi dan komersialisasi berawal dari

hubungan wisatawan dengan masyarakat lokal. Kehadiran wisatawan

dipandang sebagai tamu dalam pengertian tradisional, yang disambut

dengan keramah tamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin

bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah menjadi

resiprositas dalam arti ekonomi yaitu atas dasar pembayaran, yang tidak

lain daripada proses komodifikasi atau komersialisasi (Anak Agung GD

Raka : 2015 dalam disertasi).

Barker berpendapat bahwa komodifikasi yaitu proses yang

diasosiasikan dengan kapitalis, yaitu objek, tanda, dan kualitas berubah

menjadi komoditas. Kapitalis sesuai dengan habitatnya adalah upaya untuk

mengumpulkan keuntungan atau nilai surplus dalam bentuk uang yang

diperoleh dengan menjual produk, baik yang mengandung nilai guna

maupun nilai tukar sebagai komoditas. Seperti yang dipaparkan Barker

bahwa komoditas yang dimaksud adalah objek, tanda, dan kualitas. Ketiga

elemen inilah diisyaratkan memiliki nilai guna dan nilai tukar untuk

dipertukarkan dengan komoditas lainnya atau dengan uang (Anak Agung

GD Raka : 2015 dalam disertasi).

Komodifikasi juga dapat dilihat dari bentuknya yakni produksi,

distribusi dan konsumsi. Dalam konteksnya dengan penelitian yang

dilakukan yakni para pelaku komodifikasi mentransformasi warisan

budaya ke dalam simbol yang berbentuk cerita-cerita yang kemudian di

32

ceritakan oleh para pemandu wisata kepada para wisatawan untuk

memahami sejarah tentang Dusun Sade serta bentuk-bentuk budaya apa

saja yang ditinggalkan dan makna-makna yang melekat pada budaya-

budaya tersebut. Distribusi yakni proses simbol-simbol yang ditunjukkan

dengan berbagai suguhan budaya yang sedemikian rupa guna menarik

minat wisatawan untuk berkunjung dan menikmati suguhan budaya yang

disajikan. Seperti pertunjukan seni bela diri Presean, pengenalan

Lambung, Songket, Godek Nongkek, serta proses pembuatan kain songket

dengan menggunakan alat tenun yang disebut nyesek.

2.2.2 Warisan Budaya

Warisan budaya merupakan suatu bentuk benda-benda bersejarah

peninggalan nenek moyang. Warisan budaya menurut Davidson (19:12 )

dapat diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi

yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa

lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau

bangsa. Warisan budaya sendiri dapat berbentuk benda-benda seperti

keris, pedang, kerajinan tangan, kendi, dan sebagainya, dapat juga berupa

kesenian-kesenian tradisional seperti tarian, seni bela diri, alat musik

tradisional dan sebagainya. Dapat juga berupa bangunan artefak yang

dapat menjadi momentum peninggalan sejarah seperti Candi-candi,

bangunan rumah, tempat ibadah dan sebagainya.

Warisan budaya sering diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak

bergerak (Immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable

33

heritage). Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat

terbuka dan terdiri dari situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam

daratan maupun air, bangunan kuno atau bersejarah, patung-patung

pahlawan. Warisan budaya bergerak biasanya berada di dalam ruangan

dan terdiri dari benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, foto

karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video dan film (Galla dalam

Jurnal oleh Agus Dono Karmadi kepala subdin Kebudayaan Dinas P dan

K Jawa Tengah).

Warisan budaya di dusun Sade ini adalah semua harta kekayaan berupa

peninggalan budaya masa lalu yang ada di dusun Sade, desa Rembitan,

kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Bentuk dari warisan budaya ini berupa

peninggalan Rumah Adat, kesenian seperti Nyesek, Presean, serta pakaian

adat seperti Lambung, godek Nongkek, songket, serta tradisi-tradisi seperti

ngurisan, bulan beaq, merarik dengan cara menculik (Pelaik) yang

tentunya masih dilestarikan sampai sekarang ini oleh masyarakat dusun

Sade.

2.2.3 Pergeseran Nilai Masyarakat

Pergeseran merupakan proses terjadinya pergantian ataupun

perpindahan suatu kondisi ke bentuk lainnya yang menimbulkan adanya

perbedaan dari kondisi sebelumnya (Ivan dalam Jurnal).

Masyarakat selalu mengalami perubahan baik nilai maupun

strukturnya. Perubahan-perubahan tersebut selalu dipengaruhi oleh gerak-

gerak sosial, serta proses sosialisasi yang terjadi dalam kehidupan sosial

34

masyarakat. Masuknya era modern juga mempengaruhi perubahan sosial

masyarakat yang dapat menimbulkan pergeseran nilai terhadap nilai

masyarakat tertentu. Perubahan zaman yang modern serta masuknya

kebudayaan baru terlebih dengan tuntutan kebutuhan telah membuat

masyarakat memiliki pola berpikir yang berbeda.

Aksiologis atau nilai merupakan salah satu bidang filsafat yang

berhubungan dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu yang terdiri

dari dua kajian yakni estetika dan etika. Nilai merupakan suatu bentuk

keyakinan masyarakat dalam menerima segala seuatu yang bersifat baik

maupun burul. Nilai sangat berkaitan erat dengan masyarakat, baik dalam

bidang etika yang mengatur segala tingkah laku masyarakat maupun

estetika yang berkaitan dengan keindahan, nilai juga dapat masuk melalui

etika masyarakat memahami agama dan keyakinan.

Terjadinya komodifikasi di Dusun Sade menyebabkan pergeseran nilai

sakral, dari suatu kebudayaan yang telah lama dipertahankan. Hilangnya

keaslian nilai disebabkan karena tuntutan pasar yang tidak terkendali yang

harus dipenuhi oleh para kaum kapitalis. Akibat dari pengaruh arus global

yang terjadi secara terus menerus sehingga menyebabkan kebutuhan massa

yang semakin menjadi.

2.2.4 Unsur-Unsur Budaya

Dalam sistem budaya terbentuk unsur-unsur budaya yang saling

berkaitan satu sama lain. Unsur-unsur budaya tersebut kemudian

menciptakan tata kelakuan manusia. Unsur-unsur budaya tersebut adalah

35

a. Bahasa

Bahasa merupakan sesuatu yang berasal dari kode, kemudian

dikembangkan menjadi tulisan hingga berubah menjadi lisan

yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi baik

dengan sesame individu atau individu dengan kelompok.

Dalam keseharian masyarakat Sade masih menggunakan

bahasa sasak untuk berkomunikasi. Bahasa sasak yang

digunakan dibagi menjadi dua. Bahasa sasak biasa dan bahasa

sasak halus. Bahasa sasak biasa digunakan untuk

berkomunikasi dengan teman atau kerabat yang seumuran atau

lebih kecil, sedangkan bahasa sasak halus digunakan untuk

berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.

b. Sistem Pengetahuan

Pengetahuan manusia berkaitan dengan rasa ingin tahu yang

dimiliki oleh manusia. rasa ingin tahu tersebut kemudian

mendorong timbulnya pengetahuan.

Pengetahuan masyarakat sasak Sade dalam menentukan

pelaksanaan tradisi, akan menggunakan kalender berdasarkan

atas bulan hijriah atau dalam istilah sasak dikenal dengan

istilah bulan atas. Berkembangnya Dusun sade sebagai

destinasi wisata lokal telah memberikan perkembangan

pengatahuan bagi masyarakat dalam mengelola wisata.

36

c. Organisasi Sosial atau Sistem Kekerabatan

Sistem organisasi sosial termasuk sistem organisasi kenegaraan

dan pemerintahan. Sistem sosial ini meliputi sistem

kekerabatan, kekeluragaan yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia.

Sistem pemerintahan masyarakat sade masih menggunakan

sistem dinasti dengan pemilihan kepala dusun yang merupakan

kepala adat berdasarkan atas garis keturunan.

d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Untuk melangsungkan kehidupannya manusia membutuhkan

sebuah perlengkapan sebagai penunjang kebutuhan.

Selanjutnya berbagai peralatan dari yang sederhana hingga

modern diciptakan seperti alat-alat rumah tangga, senjata,

teknologi, transportasi dan lain sebagainya.

e. Sistem Mata Pencaharian

Sistem mata pencaharian merupakan salah satu sistem

perekonomian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam

masyarakat tradisional memiliki sistem mata pencaharian

seperti bercocok tanam, meramu, berburu, menangkap ikan dan

berternak.

Sistem pencarian masyarakat Sade yakni bertani,beternak dan

menenun. Setelah berkembangnya Sade sebagai destinasi

wisata lokal menjadikan masyarakat Sade beralih profesi

37

menjadi pemandu wisata yang lebih banyak mendatangkan

keuntungan bagi masyarakat Sade.

f. Sistem Religi

Sistem religi merupakan sistem kepercayaan terhadap dewa-

dewa, animism, dinamisme dan kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa.

Sistem kepercayaan masyarakat Sade menganut agama Islam.

Namun zaman dahulu masyarakat Sade menganut sistem

kepercayaan waktu telu yang tidak terdapat dalam ajaran islam.

Hal ini dikarenakan masyarakat masih belum sempurna

memahami ajaran agama Islam, serta masayarakat juga masih

belumlepas dari kepercayaan agama Hindu.

g. Kesenian

Kesenian berkaitan erat dengan estetika, nilai yang dimiliki

oleh setiap orang. Rasa keindahan inilah yang kemudian

melahirkan kesenian-kesenian yang berbeda antara kebudayaan

yang satu dengan yang lain.

Kesenian masyarakat Sade masih dilestarikan yakni Presean,

gendang beleq, amaq tempenges, dan sebagainya.

Berdirinya Sade sebagai Dusun yang masih mempertahankan adat istiadat,

tradisi serta kesenian tidak lepas dari unsur-unsur budaya yang menjadi bagian

penting dalam suatu kebudayaan serta kehidupan masyarakat tersebut.

38

2.3 Landasan Teori

a. Teori Komodifikasi (Adorno dan Horkheimer)

Teori ini digunakan untuk menjelaskan sebuah produk budaya

yang dianggap sakral menjadi profan dan menjadi milik masyarakat luas

(Barker dalam Santi Damayanti : 2014 dalam Skripsi).

Komodifikasi menurut perbendaharaan kata dalam istilah Marxis

adalah suatu bentuk transformasi hubugan yang bersifat komersil.

Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme

dimana objek, tanda-tanda diubah menjadi komoditas yaitu sesuai dengan

tujuan utamanya adalah terjual di pasar ( Barker dalam Santi Damayanti :

2014).

Karl Marx mengawali Capital dengan analisis tentang komoditas

karena dia menemukan bahwa komoditas telah menjadi bentuk paling

jelas, reprentasi paling eksplisit, dari produksi kapitalis. Kapitalisme

secara harfiah tampil sebagai koleksi komoditas yang luar biasa besarnya.

Salah satu kunci analisis Marxian adalah mendekonstruksi komoditas

untuk menentukan makna apa yang tampak untuk membongkar relasi-

relasi sosial yang membeku dalam bentuk komoditas. Marx mengambil

pandangan yang luas terhadap komoditas maupun terhadap nilai guna.

Bagi Marx (Marx dalam Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali

Akhmad, 2014 : 18) komoditas berasal dari rentang luas kebutuhan baik

fisik maupun budaya ( Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali Akhmad,

2014 : 18)

39

Komoditas muncul dari rentan kebutuhan sosial, termasuk

pemuasan rasa lapar fisik dan bertemu atau bertentangan dengan kode-

kode status dari kelompok sosial tertentu. Selain itu bertentangan dengan

beberapa interpretasi, nilai guna tidak berbatas untuk memenuhi kebutuhan

bertahan hidup tetapi meluas ke rentang penggunaan yang dibentuk secara

sosial (Idi Subandi Ibrahmim dan Bachrudin Ali Akhmad, 2014 : 18).

Komodifikasi merupakan salah satu cara atau strategi yang

dilakukan oleh para kapitalis dengan mentrasformasi nilai guna menjadi

nilai tukar. Menurut Pilliang ciri dari masyarakat postmodern adalah

dijadikannya hampir seluruh sisi kehidupan menjadi komoditas untuk

diperjualbelikan. Dalam hal inilah masyarakat postmo juga disebut

masyarakat consumer. Barker juga menyebutkan komoditas adalah produk

yang mengandung nilai guna dan nilai tukar. Komoditas adalah sesuatu

yang tersedia untuk dijual dipasar dan komodifikasi adalah proses yang

diasosiasi dengan kapitalisme yaitu objek, kualitas dan tanda berubah

menjadi komoditas (Anak Agung GD Raka dalam Skripsi).

Komodifikasi dalam era sekarang ini memang tidak dapat

dihindari. Hal ini dikarenakan kebutuhan pasar yang tidak bisa terkendali.

Sehingga membuat para kapitalisme melakukan komodifikasi dalam

berbagai hal terutama dalam bidang budaya. Adorno dan Horkheimer

(1979) dalam tulisannya The Culture Industry Enlightenment as Mass

Deception mengkritisi bahwa komodifikasi terjadi karena hasil dari

perkembangan suatu industry budaya. Dimana industri benda budaya

(music dan film) pada zaman-zaman pra industri diproduksi secara

40

otonom/murni, tidak ada campur tangan industry dengan segala sistem

pasar dalam proses produksinya. Namun dalam era globalisasi dengan

sistem kapitalisme memunculkan ledakan kebudayaan disegala aspek

kehidupan, sehingga memunculkan kebutuhan massa. Dalam hal ini,

sebuah industri telah memproduksi berbagai artefak kebudayaan yang

seolah telah menjadi kebutuhan massa dan menjadi faktor penentu dalam

proses produksinya, sehingga benda budaya yang sebelumnya dipenuhi

dengan nilai-nilai tinggi, otentik (authenticity), dan kebenaran (truth), oleh

industri budaya diproduksi secara massal menjadi komoditas yang penuh

dengan perhitungan laba (Profit).

Munculnya industri pariwisata di Indonesia memberikan tantangan

tersendiri bagi kesenian tradisonal untuk memenuhi kebutuhan pasar. akan

tetapi sebagai akibat pertumbuhan industri pariwisata yang tidak terkendali

terjadilah pencemaran seni budaya dan munculnya berbagai macam objek

wisata budaya. Dengan menanggalkan nilai kesakralan yang selama ini

diwariskan turuntemurun, para pelaku kesenian tradisional harus melayani

pemesanan pembeli. Lahirlah produk-produk seni secara massal yang tidak

didasarkan atas ide dan nilai-nilai yang selama ini melekat pada si pelaku

kesenian tradisional tersebut. Produk-produksi seni secara massal itu dijual

secara murah dan cepat. Sebagai contoh, dengan adanya alat teknologi

seperti taperecorder, TV, video player, VCD, DVD, membawa dampak

pada bentuk pertunjukan kesenian tradisional yang semula utuh dan sakral,

menjadi kemasan yang padat, ringkas, dan menghibur.

41

Gerakan komodifikasi kesenian tradisional di Indonesia tidak bisa

dihindari. Salah satu anak kandung yang dilahirkan arus globalisasi adalah

industri pariwisata. Industri pariwisatalah yang membentuk komodifikasi

budaya kesenian tradisional, karena dengan ditandai tuntutan turisme dan

pariwisata kesenian tradisional harus diperjualbelikan. Dengan

berkembangnya turisme dan pariwisata, menurut Kayam keberadaan

kesenian tradisional saat ini telah menjadi bagian dari komersialisasi

budaya. Globalisasi ekonomi bertolak dari kegiatan di sektor pariwisata

menuntut adanya hiburan berupa pertunjukan kesenian tradisional yang

sejalan dengan daya tarik objek wisata, dan lazim disebut sebagai atraksi

wisata (Agus Maladi Irianto dalam Jurnal komodifikasi budaya di era

ekonomi global terhadap kearifan lokal: Studi Kasus Eksistensi Industri

Pariwisata dan Kesenian Tradisional di Jawa Tengah Vol. 27 :2016)

Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah

merupakan dusun yang masih mempertahankan kebudayaan asli serta

masih dengan sangat telaten melestarikan budaya yang ditinggalkan oleh

nenek moyang. Mulai dari bangunan rumah yang masih sangat terlihat

murni kekhasan serta nilai yang terkandung. Tidak hanya bangunan rumah

di Dusun Sade juga masih mempertahankan adat-adat serta tradisi-traidisi

jaman nenek moyang yang mulai dari menenun Songket dari benang yang

terbuat dari kapas yang diolah menjadi benang dengan pengolahan-

pengolahan tradisional, serta Lambung yang merupakan pakaian

perempuan sasak yang menjadi identitas serta pelestarian kesenian

Presean yang merupakan kesenian yang biasanya dilakukan oleh laki-laki

42

dewasa untuk menunjukkan keperkasaannya Presean juga biasanya

digunakan oleh suku sasak untuk meminta hujan dikala musim kemarau.

Komodifikasi memang tidak dapat dihindarkan. Adanya budaya

menjadi objek yang dijadikan komoditas oleh para kapitalis dengan

memperjualkan nilai budaya demi kepentingan pasar. Dusun Sade

sekarang telah menjadi pusat perhatian wisatawan mancanegara maupun

lokal dikarenakan potensi budaya yang kental yang dilestarikan sehingga

menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung. Budaya sebagai alat

komodifikasi telah kehilangan eksistensi nilai yang melekat. Kesakralan

yang melekat pada suatu budaya berangsur bergeser karena telah

ditempatkan pada apa yang bukan seharusnya. Budaya telah dipaksakan

untuk mengikuti kebutuhan serta tuntutan pasar. Budaya telah tenggelam

dalam ideologi dominasi kaum elit. Presean misalnya yang dijadikan

komoditas untuk menarik perhatian para wisatawan sehingga dituntut

untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ada beberapa bagian yang

memang sengaja dihilangkan seperti tidak dibacakannya mantra-mantra

ketika pertandingan berlangsung, tidak digunakannya pecahan botol pada

penjalin serta tidak ada yang terluka ketika bertanding. Hal ini tentunya

menyebabkan hilangnya nilai esensial yang telah melekat pada

kebudayaan tersebut.

Budaya telah terjebak dalam ideologi hegemoni kapitalis, yang

menjadikan nilai sakral yang terdapat dalam budaya menjadi bergeser.

Budaya yang semula hanya menjadi nilai guna kini telah menjadi nilai

43

tukar yang memberikan keuntungan bagi kapitalis. Tidak hanya itu

kehadiran pariwisata juga telah menjadikan kehidupan interaksi tradisional

masyarakat menjadi ruang-ruang interaksi pasar. pekarangan rumah yang

semula digunakan untuk berinteraksi dengan warga sehingga

menimbulkan ikatan kekeluargaan kini telah dijadikan sebagi ruang-ruang

yang dimana masyarakat menjajakkan hasil jualannya yang kemudian

menimbulkan persaingan bebas antarwarga.