Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kemampuan Koneksi Matematis
Proses pembelajaran matematika kelas VIII SMP diperlukan beberapa
kemampuan dasar matematika yang harus dimiliki siswa diantaranya adalah
kemampuan memahami (understanding), menalar (reasoning), memecahkan
masalah (problem solving), komunikasi matematis, serta koneksi matematis.
Dikarenakan koneksi matematis merupakan salah satu aspek penting yang harus
dimiliki siswa dalam menjalani proses pembelajaran matematika, maka aspek
koneksi matematis harus ditanamkan pada siswa sebagai kemampuan dasar dalam
pembelajaran matematika.
2.1.1 Pengertian Kemampuan Koneksi Matematis
Koneksi berasal dari kata connection dalam bahasa inggris yang berarti
hubungan atau keterkaitan, sedangkan koneksi yang dikaitkan dengan matematika
disebut sebagai koneksi matematis. Kemampuan koneksi matematis merupakan
kemampuan siswa dalam menghubungkan atau mengaitkan berbagai
permasalahan dengan konsep matematika, keterkaitan tersebut termasuk dalam
konteks matematika atau di luar matematika (Siregar, & Surya, 2017).
Kemampuan koneksi adalah salah satu aspek penilaian pembelajaran
matematika yang harus dikuasai oleh setiap siswa. Pentingnya kemampuan
koneksi dijelskan oleh Hendriana et al (2014), “kemampuan koneksi matematika
adalah kemampuan kognitif dan afektif yang harus dikembangkan pada siswa
sekolah menengah”. Matematika merupakan sesuatu yang selalu terhubung
dengan sesuatu yang lain, sebab tidak adanya operasi atau konsep dalam
8
matematika yang tidak terhubung/terkait dengan konsep lain (Bruner, dalam
Suherman, 2001).
Koneksi matematis terbagi menjadi dua tipe yaitu, modelling connection
dan mathematical connection. Yang disebut dengan modelling connection adalah
suatu permasalahan mengenai koneksi permodelan, dimana terdapat hubungan
antara masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari atau dalam bidang ilmu
lain. Sedangkan mathematical connection adalah suatu konsep atau permasalahan
yang menghubungkan antar bidang ilmu matematika (NCTM, 2000).
Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan
koneksi matematis adalah kemampuan siswa dalam mencari hubungan suatu
konsep atau pengetahuan matematika dengan konsep matematika yang lain.
Dengan kehidupan sehari-hari, atau dengan bidang ilmu lain.
2.1.2 Indikator Kemampuan Koneksi Matematis dalam Menyelesaikan
Soal Matematika
Terdapat fase kegiatan dalam koneksi matematis, Menurut National
Council of Teacher of Mathematics (NCTM) (2000), kegiatan tersebut meliputi:
a) mengenali dan menggunakan hubungan-hubungan antar konsep-konsep
matematika; b) memahami bagaimana gagasan matematika saling berhubungan
dan saling membangun untuk menghasilkan sesuatu yang utuh; c) memahami dan
menerapkan matematika dalam bidang lain (di luar matematika).
Sedangkan Hendriana, & Soemarmo (2014) menyatakan bahwa kegiatan yang
terlibat dalam tugas koneksi matematis yaitu sebagai berikut: a) memahami
representasi suatu konsep, proses, atau prosedur matematis; b) mencari hubungan
9
berbagai representasi konsep, proses, atau prosedur matematis; c) memahami
hubungan antartopik matematika; d) menerapkan matematika dalam bidang lain
atau dalam kehidupan sehari-hari; e) mencari hubungan satu prosedur dengan
prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; f) menerapkan hubungan antara
topik matematika dengan topik matematika, atau dengan topik disiplin ilmu
lainnya
Berdasarkan kajian teori diatas, secara umum terdapat tiga aspek atau
indikator kemampuan koneksi matematis, yaitu:
1. Melalui masalah dalam kehidupan sehari-hari, siswa mampu menuliskan
permodelan matematikanya. Pada tahap ini siswa diharapkan mampu
mengkoneksikan antara bentuk masalah yang ada dengan konsep matematika.
2. Menuliskan konsep matematika yang mendasari jawaban. Pada aspek ini,
siswa diharapkan memiliki jawaban yang sesuai dengan konsep matematika
yang digunakan.
3. Menghubungkan antar objek dan konsep matematika. Pada aspek ini,
diharapkan siswa mampu menghubungkan antar objek dan konsep
matematika yang digunakan dalam menjawab soal, seperti halnya
menyelesaikan operasi matematika yang telah dituliskan sebelumnya
berdasarkan pengetahuan atau konsep yang telah didapat.
Berdasarkan ketiga aspek diatas, maka indikator kemampuan koneksi
matematisnya yaitu seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini,
4. Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Koneksi Matematis
No Kegiatan
1 Mampu menuliskan permodelan matematika
2 Menuliskan konsep matematika yang mendasari jawaban
3 Menghubungkan antar objek dan konsep matematika
10
2.2. Pembelajaran REACT
2.2.1 Pengertian Pembelajaran REACT
Menurut Handayani (2015), REACT adalah cara pembelajaran yang
berlandaskan pada konstruktivisme. Hal ini berarti pembelajaran REACT
merupakan cara pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengaktifkan peserta
didik dalam membangun pengetahuannya sendiri. Mengingat bahwa REACT
memiliki komponen-komponen penting dalam penerapannya, yaitu mengaitkan
(Relating), mengalami (Experiencing), menerapkan (Applying), bekerja sama
(Cooperating), dan saling mentransfer pengetahuan (Transfering).
Fakhruriza dan Kartika (2015) menyatakan bahwa pembelajaran REACT
menekankan pada pemberian informasi yang berkaitan dengan informasi
sebelumnya yang telah diketahui oleh siswa, sehingga siswa akan lebih mudah
memahami konsep-konsep yang disampaikan oleh guru karena sering dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dengan adanya pemberian informasi yang
berkaitan dengan informasi sebelumnya, siswa akan menjadi lebih mudah dalam
menganalisis suatu permasalahan matematika dengan mengandalkan informasi
yang telah diketahui sebelumnya.
2.2.2 Tujuan Pembelajaran REACT
Pembelajaran REACT diterapkan, bertujuan agar siswa mampu memiliki
kemampuan matematis yang jauh lebih baik dan lebih dalam dari sebelumnya,
selain itu untuk meningkatkan kemampuan memahami dan menganalisis suatu
permasalahan matematika dengan berpatokan pada 5 komponen REACT yang
telah ditetapkan. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Handayani (2015), bahwa
11
. pembelajaran REACT banyak memberi manfaat dan pengalaman pada siswa,
diantaranya:
a) Belajar lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (learning through of
life);
b) Siswa belajar dengan cara menggali sendiri informasi baru yang belum
didapatkan dan teknologi yang dibutuhkannya secara aktif untuk membangun
pengetahuan baru;
c) Siswa tidak hanya menguasai isi mata pelajarannya, melainkan juga
mempelajari bagaimana caranya belajar, dalam artian bahwa siswa
mempelajari bagaimana caranya membuat diri sendiri memahami apa yang
telah disampaikan oleh guru dengan berbekal pengetahuan yang telah didapat
sebelumnya.
2.2.3 Langkah-langkah Pembelajaran REACT
Menurut Putri & Santosa (2015), pembelajaran REACT yang mengaitkan
materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari diharapkan akan berpengaruh
terhadap siswa agar mampu menerapkan konsep matematika ke dalam
permasalahan kehidupan sehari-hari, atau sebaliknya (dari kehidupan sehari-hari
dihubungkan dengan konsep matematika). Oleh karena itu, terdapat langkah-
langkah pembelajaran REACT menurut Noor & Raisah (2015), bahwa
pembelajaran REACT memiliki beberapa fase dalam penerapannya, diantaranya
yaitu: 1) Relating (mengaitkan atau menghubungkan); 2) Experiencing
(mengalami); 3) Applying (menerapkan); 4) Cooperating (bekerja sama); 5)
Transfering (mentransfer), yang memiliki penjabaran berikut:
12
Tabel 2.2 Langkah-langkah Pembelajaran REACT (Noor & Raisah, 2015)
Langkah Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Relating 1. Menghubungkan materi dengan
cabang ilmu matematika yang lain,
dengan kehidupan sehari-hari,
maupun dengan bidang ilmu lain.
1. Memperhatikan penjelasan
guru.
Experiencing 1. Mengarahkan siswa untuk
melakukan kegiatan peng-alaman
langsung (berekspe-rimen)
1. Bereksperimen (memaha-mi,
dan menemukan kon-sep atau
pengetahuan baru)
Applying 1. Memberi suatu soal atau
permasalahan
1. Menerapkan konsep atau
pengetahuan yang telah
didapat untuk memecahkan
soal atau permasalahan
Cooperating 1. Memberi soal atau perma-salahan
yang serupa untuk dikerjakan
secara berkelompok
1. Memecahkan soal atau
permasalahan dengan bekerja
sama
Transfering 1. Meminta siswa untuk
mempresentasikan hasil diskusi
mengenai konsep baru yang telah
didapatkan
2. Membimbing siswa melakukan
diskusi
1. Menyampaikan konsep atau
pengetahuan baru pada guru
dan siswa lainnya,
2. Mengerjakan soal yang
bersifat menggali, jadi siswa
dituntut untuk mentransfer
atau me-nuangkan
pengetahuan yang dimilikinya
deng-an cara mengerjakan
soal.
2.3. Kemampuan Mengatasi Kesulitan (Adversity Quotient)
Sebagian besar orang beranggapan bahwa kemampuan IQ (Intelligent Quotient)
dapat menentukan keberhasilan belajar siswa, tetapi pada kenyataannya siswa
yang memiliki IQ tinggi belum tentu berhasil dalam meraih prestasi, sebab setiap
siswa memiliki pandangan tersendiri untuk menghadapi kesulitan belajar. Ada
yang pantang menyerah dan menjadikan suatu kesulitan menjadi tantangan, ada
yang berhenti di tengah-tengah perjalanan karena menyadari kemampuan yang
dimiliki,dan ada pula yang tidak pernah ingin menghadapi dan menyelesaikan
kesulitan yang ada. Untukk menghadapi kesulitan belajar, maka perlu adanya
kecerdasan atau kemampuan dalam mengatasi kesulitan tersebut, kecerdasan atau
kemampuan ini disebut dengan Adversiti Quotient.
13
Adversity dalam kamus bahasa inggris berarti kemalangan, dan kesulitan,
sedangkan Quotient diartikan sebagai kemampuan atau kecerdasan. Sedangkan
menurut Stoltz (2000), AQ adalah kecerdasan atau kemampuan dalam mengatasi
kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan dan pengetahuan
yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan.
Hafidhah, Mardiyana, dan Usodo (2016) menyatakan bahwa dalam
kegiatan pembelajaran, AQ siswa dalam merespon atau menyelesaikan masalah
matematika sangat penting, karena AQ merupakan potensi yang sangat diperlukan
oleh setiap individu. Dapat disimpulkan dari 2 definisi dari AQ tersebut bahwa,
AQ merupakan kemampuan atau cara siswa dalam mengatasi kesulitan, jika
dihubungkan dengan bidang ilmu matematika maka mengatasi kesulitan yang
dimaksud adalah menyelesaikan atau memecahkan soal-soal dan permasalahan
yang ada pada pembelajaran matematika.
2.3.1 Tipe AQ
Stoltz (2000) menjelaskan bahwa potensi AQ seseorang (siswa) dapat
dikelompokkan menjadi 3 tipe, yaitu: 1) Seseorang (siswa) quitter, yaitu
seseorang dengan AQ rendah, 2) Seseorang (siswa) camper, yaitu seseorang
dengan AQ sedang, 3) Seseorang (siswa) climber, yaitu seseorang dengan AQ
tinggi.
Siswa Quitter adalah siswa yang berusaha menjauh dari permasalahan.
Ciri-ciri siswa quitter yaitu: usahanya sangat minim, saat dihadapkan dengan soal
yang tingkat kesulitannya lebih tinggi sisiwa tersebut akan memilih mundur, tidak
mempunyai keberanian untuk mencoba menyelesaikan suatu permasalahan (soal).
14
Siswa seperti ini beranggapan bahwa matematika merupakan mata
pelajaran yang sangat sulit dan membingungkan. Motivasi belajar yang dimiliki
siswa quitter sangat kurang, sehingga apabila dihadapkan dengan permasalahan
mereka lebih memilih menyerah dan berhenti tanpa disertai usaha.
Siswa Camper adalah siswa yang tidak ingin mengambil resiko, siswa ini
mudah merasa puas terhadap pencapaian yang ia dapatkan saat ini, atau dapat
dikatakan bahwa siswa camper selalu merasa cukup berada di posisi tengah.
Siswa seperti ini tidak dapat disebut siswa dengan AQ rendah ataupun AQ tinggi,
karena mereka jarang memaksimalkan usahanya walaupun kesempatan dan
peluangnya ada (berusaha sekedarnya saja). Mereka berpandangan bahwa tidak
perlu nilai bagus asalkan lulus walaupun ilmu yang didapatnya sedikit, setidaknya
mereka sudah berusaha.
Siswa Climber adalah siswa memiliki tujuan dan terget. Agar target dan
tujuannya dapat tercapai, maka ia harus memaksimalkan usahanya. Siswa ini
memiliki tekad, keberanian, dan kedisiplinan yang tinggi, ia selalu mencoba
menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Karena AQ mereka tinggi, maka
motivasi belajar matematika mereka juga tinggi. Para siswa climber selalu
memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada.
2.4. Kemampuan Koneksi Matematis pada Pembelajaran REACT
Pada pembelajaran materi bangun ruang sisi datar, sub materi kubus dan
balok menjadi salah satu pembahasan yang sulit dikuasai oleh siswa, besar
kemungkinan bahwa kesulitan siswa dikarenakan siswa langsung diberi rumus
dalam menghitung dan menyelesaikan soal mengenai kubus dan balok tanpa
dikenalkan terlebih dahulu konsep-konsep dan sifat-sifat dari kubus dan balok,
15
sehingga siswa cenderung menghafal rumus tersebut bukan memahami bagaimana
cara rumus tersebut didapatkan.
Dari penjelasan tersebut, siswa dituntut untuk memiliki kemampuan
koneksi matematis yang tinggi, mengingat bahwa penilaian pembelajaran
matematika memiliki salah satu aspek penting untuk melihat kemampuan dasar
siswa, salah satu aspek tersebut merupakan aspek koneksi matematis. Oleh karena
itu, untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa, maka
diterapkannya model pembelajaran REACT sebagai mediator . Menurut penelitian
Yuniawatika & Nuraeni (2016), model pembelajaran REACT lebih efektif
meningkatkan kemampuan koneksi matematis daripada model pembelajaran
konvensional.
2.5. Kemampuan Koneksi Matematis ditinjau dari Adversity Quotient
Berdasarkan uraian pada subbab sebelumnya, kemampuan koneksi
matematis yang ada pada siswa sangatlah penting, kemampuan tersebut dapat
mempermudah siswa untuk menganalisis bagaimana cara suatu rumus didapatkan,
dan dapat mempermudah siswa memecahkan permasalahan atau menyelesaikan
suatu soal matematika dikarenakan tingginya kemampuan koneksi matematis
siswa tersebut terhadap materi matematika lain, maupun dengan kehidupan sehari-
hari.
Untuk melihat kemampuan koneksi matematis siswa, maka harus dilihat
terlebih dahulu kemampuan siswa dalam menyelesaikan atau menghadapi
kesulitannya (Adversity Quotient). Apabila AQ siswa tersebut tinggi, atau yang
lebih dikenal dengan siswa climber, maka otomatis kemampuan siswa tersebut
dalam memecahkan masalah dengan cara mengkoneksikan konsep-konsep yang
16
diketahuinya juga tinggi, seperti halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pratiwi (2016) yang berjudul “Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa SMP dalam Pembelajaran CPS ditinjau dari Adversity
Quotient”
2.6. Kerangka Konseptual
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.7. Penelitian Yang Relevan
1) “Pengaruh Pembelajaran Strategi REACT Terhadap Peningkatan
Kemampuan Mahasiswa PGSD Tentang Koneksi Matematis” oleh
Yuniawatika dan Nuraeni (2016)
Hasil penelitian menyatakan bahwa perbandingan rata-rata kemampuan
koneksi matematis mahasiswa secara keseluruhan berdasarkan jenis
strategi pembelajaran (REACT dan konvensional) berturut-turut adalah
39,33 dan 31,60, dengan jumlah mahasiswa masing-masing yaitu 24 dan
25.
Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan
strategi REACT dapat menjadikan kemampuan koneksi matematis
mahasiswa lebih baik daripada mahasiswa dengan pembelajaran
Masalah Matematika
Kemampuan Koneksi dalam
memecahkan masalah
AQ (Adversity Quotient):
1. Control (C)
2. Asal usul dan Pengakuan (O2)
3. Jangkauan (R)
4. Daya tahan (E)
Penerapan Pembelajaran
REACT
17
konvensional. Terdapat kesamaan aspek kegiatan yang akan diteliti yaitu
menganalisis kemampuan koneksi matematis siswa pada pembelajaran
REACT ditinjau dari kemampuan mengatasi kesulitan (AQ). Perbedaan
penelitian ini dengan Yuniawatika dan Nuraeni (2016) yaitu subjek
penelitiannya adalah siswa SMP kelas VIII, selain itu penelitian ini juga
melibatkan kemampuan siswa untuk mengatasi kesulitan (AQ),
kemampuan ini (AQ) sebagai objek peninjau dari kemampuan koneksi
matematis pada pembelajaran REACT.
2) “Kemampuan Koneksi dan Representasi Matematis Siswa pada
Pembelajaran Matematika dengan Model REACT Berbasis
Etnomatematika” oleh Sholikhah (2017).
Hasil dari penelitian tersebut yaitu menyatakan bahwa penilaian
kemampuan koneksi matematis siswa berdasarkan 3 aspek, yaitu koneksi
antar bidang ilmu matematika, koneksi antar bidang ilmu lain, dan koneksi
pada kehidupan nyata.
a. Aspek penilaian pertama (koneksi antar bidang ilmu matematika):
indikator dari aspek ini adalah siswa dapat menghubungkan informasi
dalam soal dengan materi sebelumnya, dan hasil rata-rata tes individu
menunjukkan presentase sebesar 75,83 yang termasuk dalam kategori
baik.
b. Aspek penilaian kedua (koneksi antar bidang ilmu lain): aspek ini
memiliki 2 indikator, yaitu siswa dapat menghubungkan bidang ilmu
lain (sejarah dan pengetahuan umum) dengan ilmu matematika, dan
siswa dapat menyelesaikan soal tentang bidang ilmu lain terkait
18
dengan ilmu matematika. Hasil presentase sebesar 87,78 yang
termasuk dalam kategori sangat baik.
c. Aspek penilaian ketiga (koneksi dengan kehidupan nyata): aspek ini
memiliki 2 indikator, yaitu siswa dapat menghubungkan masalah di
kehidupan nyata dengan ilmu matematika, dan siswa dapat
menyelesaikan soal atau permasalahan tentang kehidupan nyata terkait
dengan ilmu matematika. Hasil presentase sebesar 85,00 yang
termasuk dalam kategori sangat baik.
Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan koneksi
matematis menjadi sangat baik apabila disandingkan dengan model
pembelajaran REACT.
3) “Adversity Quotient Pembangkit Motivasi Siswa dalam Belajar
Matematika” oleh Sudarman (2012).
Hasil penelitian tersebut yaitu bahwa tingkatan kemampuan AQ
(climber, camper, quitter) pada siswa dapat meningkat, dan apabila AQ
siswa meningkat maka motivasi belajar juga akan meningkat. Motivasi
belajar dapat dilihat dari segala aspek, salah satunya kemampuan siswa
dalam menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang diketahui
(kemampuan koneksi matematis), oleh karena itu penelitian penulis
melibatkan kemampuan AQ dalam meninjau kemampuan koneksi
matematis siswa.
Penelitian penulis dengan penelitian-penelitian yang relevan pada jabaran
di atas memiliki kaitan dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Pada hasil
19
penelitian Yuniawatika & Nuraeni (2016) menyebutkan bahwa REACT dapat
mempengaruhi kemampuan koneksi matematis siswa, oleh karena itu penulis
menganalisis tingkat kemampuan koneksi matematis siswa pada pembelajaran
REACT ditinjau dari AQ. Menurut subbab sebelumnya, AQ merupakan
kemampuan siswa dalam mengatasi atau menyelesaikan kesulitan, oleh karena itu
penulis meninjau seberapa kemampuan siswa untuk tidak mudah menyerah dalam
upaya mengkoneksikan suatu permasalahan dengan konsep yang telah didapat
untuk menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan tingkat atau tipe-tipe AQ.