Upload
truongthu
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hasil Belajar
2.1.1.1 Pengertian Belajar
Belajar merupakan kegiatan esensial dalam pengajaran, juga terkait
dengan berbagai faktor yang dapat memberikan perubahan pada siswa. Faktor
siswa, guru serta faktor lingkungan secara menyeluruh merupakan faktor-faktor
yang berpengaruh. Menurut T. Raka Joni (1998) bahwa belajar adalah perubahan
tingkah laku yang disebabkan oleh matangnya seseorang atau perubahan yang
bersifat temporer.
Selanjutnya Sardiman A.M (2010) Belajar merupakan peubah tingkah laku
atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca,
mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.
Belajar tidak untuk mengubah tingkah laku tetapi untuk mengubah
kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar lebih
banyak dan mudah mempelajari sesuatu menjadi keterampilan dan pengetahuan
(Bruner dalam Daryanto, 2010).
Sedangkan menurut Slameto (2003) Belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri yaitu
berinteraksi dengan lingkungan .
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa belajar adalah usaha sadar yang
dilakukan individu dan menyebabkan adanya perubahan tingkah laku sebagai
responden terhadap lingkungan, baik langsung ataupun tidak langsung.
2.1.1.2 Pengertian Hasil Belajar
Menurut Nana Sudjana (2011) hasil belajar adalah kemampuan-
kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan guru mengajar dan keberhasilan
7
siswa dalam belajar, setiap akhir pelajaran diadakan evaluasi belajar yang
bertujuan untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Indikator
kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai anak didik dalam proses belajar
mengajar disebut juga dengan hasil belajar. Hasil adalah penilaian pendidikan
tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenan dengan penguasaan
bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka dan nilai-nilai yang terdapat di
dalam kurikulum. Setiap guru pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan
hasil belajar siswa yang dibimbingnya. Karena itu guru harus memiliki hubungan
dengan siswa yang dapat terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses
belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang
dicapai siswa.
Sedangkan pengertian hasil belajar yang dikemukakan Oemar Hamalik
(2005) yaitu hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada
diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan pengetahuan sikap dan
keterampilan. Perubahan dapat diartikan terjadinya peningkatan dan
pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari
tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi sopan dan sebagainya.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instruksional menggunakan klasifikasi hasil belajar dari
Benyamin Bloom (Nana Sudjana, 2011) yang secara garis besar membaginya
menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris.
a. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama tersebut kognitif tingkat rendah
dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.
b. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yakni gerakan
refleks, ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan
8
atau ketepatan, gerakan ketrampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan
interpretatif.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar suatu bukti keberhasilan setelah melakukan usaha yang maksimal
dalam kegiatan belajar. Untuk mengetahui kegiatan itu berhasil atau tidak, maka
harus dilakukan pengukuran dalam upaya penilaian.
2.1.1.3 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Aktivitas belajar siswa tidak selamanya berlangsung wajar, kadang-kadang
lancar dan kadang-kadang tidak, kadang-kadang cepat menangkap apa yang
dipelajari, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami. Dalam hal semangat pun
kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang sulit untuk bisa berkosentrasi dalam
belajar. Demikian kenyataan yang sering kita jumpai pada setiap siswa dalam
kehidupannya sehari-hari di dalam aktivitas belajar mengajar.
Setiap siswa memang tidak ada yang sama, perbedaan individual inilah
yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan siswa, sehingga
menyebabkan perbedaan dalam hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari
suatu proses yang di dalamnya terdapat sejumlah faktor yang saling
mempengaruhi, tinggi rendahnya hasil belajar siswa tergantung pada faktor-faktor
tersebut.
Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar baik itu
menurut Muhibbin Syah, Slamet, Sumardi Suryabrata dapat digolongkan menjadi
tiga macam, sebagai mana yang dikatakan oleh Abu Ahmadi dalam Saminanto
(2010) yaitu:
1. Faktor-faktor stimulasi belajar.
Segala sesuatu diluar individu yang merangsang individu untuk mengadakan
reaksi atau perbuatan belajar dikelompokan dalam faktor stimulasi belajar
antara lain: panjangnya bahan pelajaran, kesulitan bahan pelajaran, berartinya
bahan pelajaran, berat ringannnya tugas, suasana lingkungan eksternal.
9
2. Faktor-faktor metode belajar.
Metode belajar yang dipakai guru sangat mempengaruhi metode belajar yang
dipakai oleh si pelajar, faktor-faktor metode belajar menyangkt hal berikut:
kegiatan berlatih atau praktek, everlearning dan drill, resitasi belajar,
pengenalan tentang hasil-hasil belajar, belajar dengan keseluruhan dan dengan
bagian-bagian, penggunaan modalited indera, bimbingan dalam belajar,
kondisi-kondisi intensif.
3. Faktor-faktor individual.
Faktor-faktor individual meliputi: kematangan, faktor usia kronologis,
perbedaan jenis kelamin, pengalaman sebelumnya, kapasitas mental, kondisi
kesehatan jasmani, kondisi kesehatan rohani, dan motivasi.
2.1.1.4 Cara Pengukuran Hasil Belajar
Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa.
Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar
yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa objek
yang dinilai adalah hasil belajar siswa. Sedangkan penilaian proses belajar adalah
upaya memberi nilai terhadap belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan
guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Dalam penilaian ini dilihat seajuh
mana keefetifan dan efesiensinya dalam mencapai tujuan pengajaran atau
perubahan tingkah laku siswa. Oleh sebab itu, penilaian hasil dan proses belajar
saling berkaitan satu sama lain sebab hasil merupakan akibat dari proses (Nana
Sudjana, 2011)
Pada penelitian ini, untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar
siswa digunakan alat penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah
ditetapkan tercapai atau tidak. Alat penilaian yang digunakan untuk mengukur
hasil belajar menggunakan evaluasi. Tes evaluasi tersebut menggunakan tes
objektif dimana jawaban yang diharapkan adalah tertentu yang tidak dipaparkan
dianggap salah. Hasil belajar ini, diambil dari skor yang diperoleh siswa dari tes
objektif disetiap akhir siklus. Sedangkan untuk mengukur keberhasilan proses
belajar menggunakan lembar observasi guru dan siswa.
10
2.1.2 Pembelajaran Matematika
Menurut Suyitno dalam Saminanto (2010) Pembelajaran adalah upaya
untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat,
bakat dan kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal anatara
guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa.
Pembelajaran adalah siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah dan guru
berfungsi sebagai motivator bagi siswa mendapatkan pengalaman yang
memungkinkan mereka menemukan dan memecahkan masalah (Bruner dalam
Saminanto, 2010).
Pembelajaran matematika adalah proses membantu siswa mempelajari
matematika dengan menggunakan perencanaan yang tepat, mewujudkannya
sesuai kondisi yang tepat pula sehingga tercapai hasil yang memuaskan. Hasil
tersebut merupakan tujuan yang telah dirumuskan yang merupakan akibat dari
interaksi antara guru yang mengajar dan murid yang belajar matematika (Nana
Sudjana, 1998).
Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika secara tuntas guru harus
bisa merencanakan pembelajaran dengan tepat, mewujudkannya dalam kondisi
yang tepat, metode mengajar yang tepat, serta didukung oleh media pembelajaran
yang tepat pula.
Berdasarkan pengertian pembelajaran matematika tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai proses
belajar matematika oleh siswa dengan perencanaan yang tepat sehingga akan
tercapai hasil yang memuaskan.
2.1.2.1 Hakikat Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern yang mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin
memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat dibidang teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di
bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.
11
Untuk menguasai teknologi dimasa depan diperlukan penguasaan matematika
yang kuat sejak dini.
Kata “matematika” berasal dari kata “mathema” dalam bahasa Yunani
yang diartikan sebagai “sains, ilmu pengetahuan, atau belajar”, juga
“mathematikos” yang diartikan sebagai “suka belajar”. Matematika secara umum
ditegaskan sebagai penelitian pola-pola dari struktur, perubahan dan ruang,
seorang mungkin mengatakan matematika adalah penelitian bilangan dan angka.
Dalam pandangan formalis, matematika adalah pemeriksaan aksioma yang
menegaskan struktur abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi
matematika. Ada pendapat yang terkenal yang memandang matematika sebagai
pelayan dan sekaligus raja dari ilmu-ilmu lain. Sebagai pelayan, matematika
adalah ilmu dasar yang melandasi dan melayani berbagai ilmu pengetahuan lain
atau Wikipedia Indonesia (Siti Aslikah, 2009).
Matematika yaitu pengkajian logis mengenai bentuk, susunan, besaran dan
konsep-konsep yang berkaitan, matematika sering kali dikelompokkan ke dalam
tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri, walaupun demikian tidak dibuat
pembagian yang jelas karena cabang-cabang ini telah bercampur baur. Pada
dasarnya aljabar melibatkan bilangan dan pengabstrakannya analisis melibatkan
kekontinuan dan limit, sedangkan geometri membahas bentuk dan konsep-konsep
yang berkaitan.
Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-
aspek bilangan, geometri dan pengukuran, serta pengolahan data. Sedangkan
tujuan pembelajaran matematika adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai
berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, evisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
12
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang di peroleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah. (Tim MkPBM, 2001).
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Sesuai dengan hakekat pendidikan metematika maka tujuan pendidikan
matematika tidaklah hanya sekedar agar siswa dapat memiliki kemampuan
berhitung, melainkan juga melalui pendidikan matematika diharapkan dapat
menimbulkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan, serta membentuk
sikap logis, kritis, cemat, kreatif dan disiplin, sekaligus juga mempersiapkan siswa
agar dapat menggunakan matematika dalam menyelesaikan soal-soal dan
pemecahan masalah dengan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari hari
serta dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
2.1.3 Konsep Pembagian
Secara matematika konsep yang berlaku untuk pembagian dapat
didefinisikan berikut ini : a : b = ... artinya adalah ada sekumpulan benda
sebanyak a dibagi rata (sama banyak) dalam b kelompok. Maka cara membaginya
dilakukan dengan pengambilan berulang sebanyak b sampai habis dengan setiap
kali pengambilan dibagi rata ke semua kelompok. Banyaknya pengambilan
ditunjukkan dengan hasil yang didapat masing-masing kelompok. Hasil bagi
adalah banyaknya pengambilan/banyaknya anggota yang dimuat oleh masing-
masing kelompok.
Akibat dari definisi (aturan membagi sama banyak) tersebut adalah :
1. Dari sebuah kumpulan benda sebanyak a tersebut jika pengambilan berulang
yang dilakukan untuk dibagi rata itu setiap kalinya sebanyak b anggota, dan
jika banyaknya kali pengambilan sampai habis itu adalah c kali, maka kalimat
matematika yang bersesuaian dengan pembagian tersebut adalah a : b = c.
13
Contoh : 30 : 6 = 5 artinya adalah ada 5 kali pengambilan enaman sampai
habis pada bilangan 30, dengan setiap kali pengambilan dibagi rata ke dalam
6 kelompok.
2. Suatu hal yang amat penting dan jarang dilakukan oleh guru di awal
pembelajaran pembagian adalah “memberi pengalaman membagi kepada
siswanya” menggunakan beberapa soal sederhana sehingga siswa dapat
“memahami dan menghayati makna pembagian yang dimaksud dalam
matematika” padahal pengalaman seperti ini diperlukan dalam penanaman
konsep pada pembagian lanjut.
3. Dengan mengacu pada 3 falsafah Cina: (1) saya mendengar dan saya lupa, (2)
saya melihat dan saya ingat, (3) saya mempraktikkan dan saya mengerti, maka
mustahil bagi siswa/anak untuk dapat memahami makna pembagian (baik
pembagian dasar maupun pembagian lanjut) tanpa pernah diberikan
pengalaman membagi secara nyata. Pengalaman membagi yang paling tepat
adalah diberikan di awal pembelajaran (di kelas II semester 2), yakni di awal
penanaman konsep setelah pelajaran perkalian selesai secara tuntas (mulai dari
penanaman konsep, pemahaman konsep, hingga pembinaan keterampilan).
4. Kebiasaan umum yang sangat tidak dibenarkan menurut kaidah-kaidah
pembelajaran matematika adalah “Guru hanya memberikan pengumuman
seperti misalnya dari pertanyaan “berapakah 4 . 7?” Setelah dijawab 4 . 7 = 28
guru kemudian menerangkan, jika 4 . 7 = 28 maka 28 : 4 = 7 dan 28 : 7 = 4.
Pertanyaan berikutnya misal “berapakah 8 . 5?” Setelah dijawab 8 . 5 = 40
guru kemudian menerangkan, jika dari 8 . 5 = 40 maka 40 : 5 = 8 dan 40 : 8 =
5
5. Demikianlah seterusnya hingga dirasa cukup. Dari pengumuman itulah
selanjutnya siwa didril pembagian dasar (pembagian yang berkait langsung
dengan perkalian dasar, yakni perkalian 2 bilangan 1 angka) hingga mereka
lancar.
6. Pembelajaran awal pembagian yang dibenarkan adalah (1) diberikan
pengalaman membagi (yang benar menurut konsep matematika), (2) anak
diajak mengamati hasil-hasil praktek membagi tersebut untuk melihat pola
14
yang menghubungkan antara bilangan yang dibagi, pembagi, dan hasil
baginya, (3) anak diberi kesempatan untuk menyimpulkan apa hubungannya
antara bilangan depan, tengah, dan belakang (bilangan yang dibagi, pembagi,
dan hasil baginya).
Dengan mengacu pada kesimpulan tersebut dan hafal perkalian dasar,
maka pelajaran pembagian dasar dapat berlangsung secara lebih efektif (tujuan
pembelajaran tercapai secara efisien/lebih cepat dan lebih bermakna).
2.1.4 Metode Bermain Peran
2.1.4.1 Pengertian Metode Bermain Peran
Metode sosiodrama dan bermain peran dapat dikatakan sama artinya dan
dalam pemakaiannya sering disilihgantikan. Metode sosiodrama pada dasarnya
mendramatisasikan tingkah laku seseorang dalam hubungan sosial antar manusia
dan metode bermain peran pada dasarnya juga sama yakni siswa dapat berperan
atau memainnkan perannan dalam mendramatisasikan masalah sosial/psikologis
(Roestiyah, 2008)
Menurut Hamzah B. Uno (2009) bermain peran sebagai suatu model
pembelajaran bertujuan utuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di
dalam lingkungan sosial dan memecahkan dilemma dengan bantuan kelompok.
Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran,
menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan
perilaku orang lain.
Martinis Yamin (2003) Metode bermain peran adalah metode yang
melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang suatu topik atau situasi.
Metode ini dapat dipergunakan dalam praktik isi pelajaran yang baru, mereka
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memerankan sehingga menemukan
kemungkinan masalah yang akan dihadapi dalam pelaksanaan sesungguhnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode bermain peran adalah
permainan pembelajaran yang seolah-olah siswa dihadapkan pada situasi tertentu
untuk mengetahui pemahaman suatu konsep pembelajaran yang dilakukan dengan
melibatkan siswa bermain sendiri perannya masing-masing dalam materi
15
pembelajaran. Metode bermain peran merupakan proses interaksi antar siswa dan
antara siswa dengan guru dalam kegiatan pembelajaran yang lebih aktif,
komunikasi berjalan dua arah dari guru ke siswa dan dari siswa ke guru. Dengan
demikian, siswa tidak hanya menerima penjelasan materi secara teoritis tetapi juga
ikut mengamati dan menganalisa masalah yang sedang diperankan yang
merupakan ilustrasi dari materi yang akan disampaikan.
2.1.4.2 Kelebihan dan Kelemahan Metode Bermain Peran
Menurut Roestiyah (2008) mengemukakan kebaikan-kebaikan atau
kelebihan metode bermain peran yakni dimana dengan metode ini, siswa lebih
tertarik perhatiannya pada pelajaran. Bagi siswa dengan berperan seperti orang
lain, maka siswa dapat menempatkan diri seperti watak orang lain. Siswa dapat
merasakan perasaan orang lain, sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian,
tenggang rasa, toleransi dan cinta kasih, akhirnya siswa dapat berperandan
menimbulkan diskusi yang hidup. Disamping itu penontonpun tidak pasif tetapi
aktif mengamati dan mengajukan saran dan kritik.
Seperti metode-metode yang lain, metode bermain peran juga memiliki
kekurangan. Kekurangan Metode ini yaitu metode ini memerlukan waktu yang
relatif panjang/banyak, memerlukan kreatifitas dan kreasi yang tinggi dari pihak
guru maupun siswa, kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa
malu untuk memerankan suatu adekan tertentu, tidak semua materi pelajaran tidak
dapat disajikan melalui metode ini dan apabila pelaksanaan bermain peran
mengalami kegagalan, bukan saja memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus
berati tujuan pengajaran tidak tercapai dan waktu menjadi sia-sia.
2.1.4.3 Langkah-langkah Pembelajaran dengan Metode Bermain Peran
Sebelum menerapkan metode pembelajaran bermain peran, guru
hendaknya menyusun skenario sesuai kebutuhan. Hal ini perlu agar kegiatan
pembelajaran dapat menarik, mencapai sasaran dan tidak melebihi alokasi yang
ditentukan.
16
Langkah-langkah pelaksanaan metode bermain peran agar berhasil dengan
baik menurut Roestiyah (2008), yaitu :
a. Guru harus mengajarkan dan memperkenalkan kepada siswa tentang teknik
pelaksanaan metode bermain peran ini, bahwa dengan metode ini siswa
dapat memecahkan masalah sesuai hubungan social yang actual di
masyarakat.
b. Guru menunjuk beberapa siswa yang lain menjadi penonton dengan tugas-
tugas tertentu pula.
c. Guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat siswa.
d. Guru harus dapat menceritakan peristiwa yang akan diperankan sambil
mengatur adegan yang pertama agar siswa memahami peristiwanya.
e. Bila ada kesediaan sukarela dari siswa untuk berperan, guru harus
memberikan tanggapan dan harus mempertimbangkan apakah siswa yang
memiliki kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman sesuai dengan
peran yang akan dimainkan.
f. Guru memberikan penjelasan kepada pemeran dengan baik sebaik-baiknya,
agar mengetahui tugas perannya, menguasai masalahnya dan pandai
berekspresi maupun berdialog.
g. Siswa yang tidak bermain peran menjadi penonton yang aktif, disamping
mendengar dan melihat, siswa harus memberikan saran dan kritik kepada
siswa yang telah bermain peran.
h. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat
pertama dalam dialog.
i. Setelah bermain peran mencapai situasi klimaks, maka harus dihentikan agar
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara
umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai
permainan dan sebagainya. Bermain peran juga dapat dihentikan bila sedang
menemui jalan buntu
j. Sebagai tindak lanjut sebagai diskusi, dilakukan tanya jawab, diskusi atau
membuat karangan yang berbentuk sandiwara.
17
Sejalan dengan pendapat diatas, langkah-langkah metode bermain peran
menurut Saminanto (2010) adalah sebagai berikut :
a. Guru menyusun/ menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
b. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum
KBM
c. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang
d. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
e. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario
yang sudah dipersiapkan.
f. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil
memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan.
g. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai
lembar kerja untuk membahas.
h. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya
i. Guru memberikan kesimpulan secara umum
j. Evaluasi
k. Penutup
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan Rianta Agus Prabawa (2010) dengan judul
penelitian “Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Melalui Bermain Peran Pada
Pokok Bahasan Operasi Hitung Campuran Untuk Siswa Kelas II SD N Winong
Semester II Tahun Ajaran 2009/2010”, pada 37 siswa menghasilkan rata-rata
kelas prasiklus 58,4, pada siklus I nilai rata-rata kelas adalah 65,4 dengan
ketuntasan klasikal 56,7% sedangkan pada siklus II nilai rata-rata kelas adalah
75,1 dengan ketuntasan klasikal 100%, sehingga metode bermain peran tersebut
berhasil meningkatkan prestasi siswa.
Temuan penelitian Krisna Nugraha (2009) dengan judul penelitian
“Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Sub Pokok Bahasan Pembagian
Menggunakan Metode Bermain Peran Pada Siswa Kelas II SD Negeri Bringin 1
Kecamatan Beringin Kabupaten Semarang Tahun Ajaran 2008/2009”, pada 30
18
siswa menghasilkan nilai rata- rata siswa 5,5 pada post test I nilai rata-rata siswa
6,8 sedangkan tes ke II nilai rata-rata siswa 8,0 sehingga metode bermain tersebut
berhasil meningkatkan prestasi siswa.
2.3 Kerangka Berfikir
Penerapan pembelajaran pada penelitian ini berdasarkan skema kerangka
berpikir. Adapun skema itu adalah sebagai berikut:
Pada skema di atas dapat dijelaskan bahwa kondisi awal dalam proses
pembelajaran masih konvensional dan dalam membagikan dua angka siswa masih
kesulitan. Hal ini menyebabkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
matematika pembagian dua angka rendah. Hasil belajar siswa dapat dilihat dari
nilai ulangan harian siswa dari siswa yang berjumlah 29 siswa terdapat 18 siswa
yang mendapatkan KKM di bawah 65, sedangkan 11 siswa lainnya mendapat nilai
KONDISI AWAL
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
75% kemampuan dalam membagikan dua angka siswa meningkat. 75% dari hasil belajar siswa meningkat berdasarkan hasil evaluasi tertulis siswa. 75% dari jumlah siswa memperoleh nilai ≥ 65 sesuai dengan KKM.
Metode bermain peran adalah permainan pembelajaran yang seolah-olah siswa dihadapkan pada situasi tertentu untuk mengetahui pemahaman suatu konsep.
Kemampuan belajar siswa dalam membagikan dua angka rendah Hasil belajar materi Pembagian Bilangan Dua Angka dari 29 siswa terdapat 18 siswa mendapat nilai dibawah KKM sedangkan 11 siswa diatas KKM. ( KKM = 65 )
SIKLUS II
SIKLUS I
19
di atas KKM atau di atas nilai 65. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan dalam
proses pembelajaran yang dapat meningkatkan ketrampilan membagikan dua
angka sehingga dapat meningkatkan juga terhadap hasil belajar siswa dalam mata
pelajaran matematika pembagian dua angka. Tindakan ini dilakukan dalam dua
siklus yaitu siklus I dan siklus II melalui pembelajaran dengan menerapkan
metode bermain peran yaitu permainan pembelajaran yang seolah-olah siswa
dihadapkan pada situasi tertentu untuk mengetahui pemahaman suatu konsep.
Setelah dilakukan suatu tindakan maka, diperoleh kondisi akhir yang merupakan
hasil dari tindakan yang telah dilaksanakan melalui penerapan metode
pembelajaran bermain peran. Kondisi akhir menunjukan 75% kemampuan dalam
membagikan dua angka siswa meningkat. Dan 75% dari hasil belajar siswa
meningkat berdasarkan hasil evaluasi tertulis siswa. sedangkan ketuntasan belajar
siswa 75% memperoleh nilai ≥65 sesuai dengan KKM.
2.4 Hipotesis Tindakan
Hipotesis dalam penelitian tindakan kelas ini adalah pembelajaran
menggunakan metode bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar siswa
dalam pembelajaran matematika pembagian dua angka kelas II SD
Muhammadiyah Ambarketawang 3 Gamping Sleman Tahun Ajaran 2011/ 2012.