Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai pembahasan landasan teoritis yang
berisikan mengenai teori-teori yang relevan untuk mendukung pembahasan dan analisis
penelitian serta bagaimana hubungan antara pajak penghasilan badan, ukuran perusahaan,
tax haven country, dan kualitas audit terhadap agresivitas transfer pricing pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI pada periode 2016-2018 dan akan disertai dengan beberapa
jurnal serta buku yang akan dicantumkan pada penelitian-penelitian terdahulu.
Setelah peneliti memaparkan landasan teori dan penelitian terdahulu, peneliti akan
membuat kerangka pemikiran yang menggambarkan alur logika hubungan masing-masing
variabel penelitian agar dapat dimengerti dengan baik oleh pembaca. Dari penjelasan teori
yang dijelaskan sebelumnya maka pada bagian akhir dari bab ini, penelitian dapat
menghasilkan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang akan
diteliti dan kemudian perlu dibuktikan dalam penelitian.
A. Landasan Teori
1. Teori Agensi (Agency Theory)
Teori agensi adalah sebuah teori yang membahas mengenai suatu hubungan
antara manajemen perusahaan (agent) dan pemegang saham (principal). Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebagai kontrak
antara satu orang atau lebih (principals) yang melibatkan orang lain (agent) untuk
melaksanakan beberapa layanan atau jasa bagi mereka dengan melakukan
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Manajemen sebagai
agen merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam mengoptimalkan keuntungan
18
para pemegang saham (principal). Untuk itu manajemen diberikan sebagian
kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham.
Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya
kepada pemegang saham. Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori
agensi merupakan sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor
(principal). Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa konflik kepentingan antara
prinsipal dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai
dengan kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Teori keagenan adalah teori yang menjelaskan tentang hubungan antara dua
pihak yaitu pihak agent, dimana dalam hal ini adalah manajer perusahaan atau dewan
direksi yang bertindak sebagai pembuat keputusan dalam menjalankan perusahaan
dan pihak principal sebagai pemilik perusahaan atau pemegang saham yang
mengevaluasi informasi maupun mengelola jalannya perusahaan. Teori agensi
mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri.
Prinsipal menginginkan pengembalian yang besar dan cepat atas investasinya
melalui dividen dari tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan adanya
pemberian kompensasi atau bonus yang besar atas kinerjanya dalam menjalankan
perusahaan. Keduanya memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga keduanya
berlomba-lomba untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Pemegang saham menilai
kinerja manajer berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan laba perusahaan
yang besar untuk dialokasikan pada pembagian dividen. Semakin tinggi laba yang
dihasilkan maka semakin tinggi pula dividen yang didapatkan investor. Ketika laba
yang didapatkan besar, maka manajer akan dinilai memiliki kinerja yang baik
sehingga layak mendapatkan kompensasi atau insentif yang diinginkan.
19
Namun, manajer seringkali melakukan manipulasi saat melaporkan kondisi
perusahaan kepada pemegang saham agar tujuannya mendapatkan kompensasi dapat
tercapai. Kondisi perusahaan yang dilaporkan oleh manajer tidak sesuai atau tidak
mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Timbul upaya-upaya untuk
mempercantik laporan keuangan untuk menutupi target laba yang tidak tercapai
dengan cara melakukan manajemen laba. Hal ini terjadi karena adanya asimetri
informasi. Asimetri informasi adalah ketidakseimbangan informasi yang dimiliki
oleh investor dan manajemen. Maka dari itu, menurut Eisenhardt (1989) teori
keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi dasar yaitu:
a. Asumsi mengenai sifat manusia
Asumsi ini menekankan bahwa manusia memiliki kecenderungan sifat
untuk lebih mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan
rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion).
b. Asumsi mengenai keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya sebuah konflik antar anggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri
informasi (Asymmetric Information) antara principal dan agent.
c. Asumsi mengenai informasi
Asumsi tentang informasi adalah informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Menurut Colgan (2001), beberapa faktor yang menyebabkan munculnya
masalah keagenan yaitu:
20
a. Moral Hazard
Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang
tinggi), dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat
melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar
kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
b. Penahanan Laba (Earnings Retention)
Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi
yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan
pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau
penghargaan bagi dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang
saham.
c. Horison Waktu (Time-Horizon)
Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana prinsipal
lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti
dan memiliki risiko tinggi, sedangkan manajemen cenderung menekankan
kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dengan risiko yang lebih
rendah. Perbedaan horizon waktu inilah yang menyebabkan konflik antara
manajemen dan pemegang saham.
d. Penghindaran Risiko Manajerial (Managerial Risk Aversion)
Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang
berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,
sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari
21
keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih
senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman utang,
karena mengalami kebangkrutan atau kegagalan.
Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini
menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh
principal maupun agent. Jensen & Meckling (1976) mendefinisikan agency cost
sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan
terhadap agen dan membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding
cost dan residual loss. Monitoring cost merupakan biaya yang timbul dan
ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur,
mengamati, dan mengontrol perilaku agen. Bonding cost merupakan biaya yang
ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin
bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss
merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai
akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.
2. Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)
Teori akuntansi positif merupakan teori yang dikembangkan oleh Watts &
Zimmerman (1986) yang menjelaskan mengenai kebijakan akuntansi dan
praktiknya dalam perusahaan serta memprediksi kebijakan apa yang akan dipilih
manajer dalam kondisi-kondisi tertentu dimasa yang akan datang. Penentuan
kebijakan akuntansi dan praktik yang tepat merupakan hal yang penting bagi
perusahaan dalam hal penyusunan laporan keuangan. Oleh karena itu, dalam
menentukan kebijakan akuntansi, pelaksanaannya tidak terlepas dari pihak-pihak
yang berwenang serta pihak yang memiliki kepentingan dengan penyusunan laporan
22
keuangan. Teori akuntansi positif menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang optimal dan mempunyai tujuan
tertentu.
Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh
perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi
kebebasan untuk memilih alternatif yang tersedia untuk meminimalkan biaya
kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Oleh karena itu, manajer mempunyai
kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan yang menurut teori akuntansi
positif dinamakan sebagai tindakan oportunis (Scott, 2015:319). Tindakan oportunis
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam memilih kebijakan
akuntansi yang menguntungkan dan memaksimalkan kepuasan perusahaan tersebut.
Dalam jurnal Positive Accounting Theory yang ditulis oleh Watts dan
Zimmerman (1990) menjelaskan bahwa teori akuntansi positif dapat menjelaskan
mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-
pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan dan untuk memprediksi
kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan dalam situasi tertentu.
Tiga hipotesis tersebut dihubungkan dengan tindakan yang dilakukan oleh
perusahaan, diantaranya:
a. Hipotesis Rencana Bonus
Dalam hipotesis ini, menjelaskan bahwa para manajer perusahaan
dengan rencana bonus lebih cenderung memilih prosedur akuntansi dengan
perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini.
Para manajer perusahaan menginginkan imbalan yang tinggi pada setiap
periodenya. Jika imbalan mereka bergantung pada bonus yang dilaporkan pada
23
pendapatan bersih, maka kemungkinan mereka bisa meningkatkan bonus
mereka pada periode tersebut dengan melaporkan pendapatan bersih setinggi
mungkin. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan
akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajer di sebuah perusahaan
dengan bonus tertentu cenderung lebih menyukai metode yang dapat
meningkatkan laba pada periode berjalan. Pilihan tersebut diharapkan mampu
meningkatkan nilai sekarang dari bonus yang akan diterima seandainya komite
kompensasi dari dewan direktur tidak menyesuaikan metode yang dipilih.
b. Hipotesis Kontrak Utang
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat
suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada
kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar kemungkinan
manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang
dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Alasannya adalah laba
yang dilaporkan yang makin meningkat akan menurunkan kelalaian teknis.
Sebagian besar dari perjanjian utang berisi kesepakatan bahwa pemberi
pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian. Sebagai contoh, perusahaan
yang mendapat pinjaman boleh sepakat memelihara level tertentu dari utang
terhadap harta, laporan bunga, modal kerja, dan harta pemilik saham. Jika
kesepakatan semacam itu dikhianati, perjanjian utang tersebut bisa memberikan
atau mengeluarkan penalti, seperti pembatasan dividen atau tambahan pinjaman.
Dengan jelas, prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi kegiatan
perusahaan dalam operasional perusahaan itu sendiri. Untuk mencegah, atau
24
paling tidak menunda, pelanggaran semacam itu, perusahaan bisa memilih
kebijakan akuntansi tertentu yang bisa meningkatkan laba masa kini.
Berdasarkan hipotesis kesepakatan utang, ketika perusahaan mendekati
kelalaian, atau memang sudah berada dalam lalai atau cacat, lebih cenderung
untuk melakukan hal ini.
c. Hipotesis Biaya Politik
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin besar
biaya politik yang mesti ditanggung oleh perusahaan, manajer cenderung lebih
memilih prosedur akuntansi yang menyerah pada laba yang dilaporkan dari masa
sekarang menuju masa depan. Hipotesis biaya politik memperkenalkan suatu
dimensi politik pada pemilihan kebijakan akuntansi. Perusahaan-perusahaan
yang ukurannya sangat besar mungkin dikenakan standar kinerja yang lebih
tinggi, dengan penghargaan terhadap tanggung jawab lingkungan, hanya karena
mereka merasa bahwa mereka besar dan berkuasa. Jika perusahaan besar juga
memiliki kemampuan meraih profit yang tinggi, maka biaya politik bisa
diperbesar.
Perusahaan-perusahaan juga mungkin akan menghadapi biaya politik
pada poin-poin waktu tertentu. Persaingan luar negeri mungkin mengarah pada
menurunnya profitabilitas kecuali perusahaan yang terkena dampaknya ini bisa
mempengaruhi proses politik untuk bisa melindungi impor secara keseluruhan.
Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan mengadopsi kebijakan
akuntansi income-decreasing (pendapatan menurun) dalam rangka meyakinkan
pemerintah bahwa profit sedang turun.
25
3. Transfer Pricing
a. Definisi Transfer Pricing
Transfer Pricing menurut Gunadi (2007:222) adalah jumlah harga atas
penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak dalam transaksi bisnis finansial maupun transaksi lainnya.
Darussalam & Danny (2012:7) menyatakan bahwa transfer pricing
merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan untuk
memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antar perusahaan
yang mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas prinsip harga pasar
wajar (arm’s length price principal).
R. Feinschreiber (2004:3) mengemukakan transfer pricing dalam
perspektif perpajakan, adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang
dilakukan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Proses kebijakan
tersebut menentukan pula besaran penghasilan dari setiap entitas yang terlibat.
Pengertian transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pengertian bersifat netral dan bersifat pejoratif-negatif. Pengertian yang bersifat
netral mengasumsikan bahwa transfer pricing adalah murni merupakan strategi
dan taktik bisnis tanpa motif pengurangan beban pajak. Sedangkan pengertian
yang bersifat pejoratif mengasumsikan bahwa transfer pricing sebagai upaya
untuk menghemat beban pajak dengan taktik, antara lain menggeser laba ke
negara yang tarif pajaknya lebih rendah (Suandy, 2014).
Transfer pricing merupakan salah satu bentuk dari penghindaran pajak
yang dilakukan oleh perusahaan multinasional karena perusahaan multinasional
memiliki perusahaan asing yang memungkinkan perusahaan melakukan
kebijakan transfer pricing. Berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur
26
Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 yang mengalami perubahan menjadi
PER-32/PJ/2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing)
yaitu penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
b. Dasar Hukum Transfer Pricing
Beberapa dasar hukum mengenai Transfer Pricing adalah sebagai
berikut:
(1) Undang-Undang Pasal 18 Nomor 36 Tahun 2008 mengenai “Pajak
Penghasilan.”
(2) Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor: PER-32/PJ/2011 tentang
“Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha salam transaksi antara
wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.”
(3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7/PMK.03/2015
tentang ”Tata cara pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer
(Advance Pricing Agreement).”
(4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016
tentang “Jenis dokumen dan atau informasi tambahan yang wajib disimpan
oleh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan para pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dan tata cara pengelolaannya.”
c. Metode Transfer Pricing
Horngren et al. (2012:781) menerangkan bahwa secara umum terdapat 6
(enam) metode transfer pricing, antara lain:
(1) Harga Transfer Berdasarkan Pasar (Market-Based Transfer Prices)
27
Harga transfer yang berdasarkan biaya kurang memuaskan untuk
perencanaan bisnis unit usaha, motivasi, dan evaluasi kerja. Oleh karena itu,
diperkenalkan harga transfer dengan basis harga pasar. Model dari bentuk ini
berada pada harga pasar yang berlaku (current-market place) dengan harga
pasar yang dikurangi diskon (market-price minus discount). Bentuk ini
dijadikan tolak ukur untuk menilai kemampuan kinerja manajemen unit
usaha karena hal ini menunjukan kemampuan produk untuk menghasilkan
laba serta merangsang unit usaha untuk bekerja secara bersaing. Bentuk ini
digunakan apabila pasar perantara cukup bersaing dan saling ketergantungan
antarunit usaha. Transfer barang atau jasa pada harga pasar secara umum
akan mengarah pada keputusan optimal ketika kondisi berikut ini terpenuhi:
harga untuk intermediate product secara sempurna kompetitif, independensi
antara sub unit adalah minimal, tidak ada tambahan biaya atau manfaat untuk
perusahaan secara keseluruhan dari membeli atau menjual dalam pasar
terbuka dibandingkan transaksi secara internal. Dengan menggunakan harga
pasar dalam pasar yang secara sempurna kompetitif, suatu perusahaan dapat
mencapai tujuan congruence, dukungan manajemen, evaluasi kinerja unit
usaha, dan otonomi unit usaha.
(2) Harga Transfer Berdasarkan Biaya (Cost-Method Transfer Prices)
Harga yang berdasarkan pada biaya produksinya. Biaya yang
digunakan dalam harga transfer berdasarkan biaya dapat merupakan biaya
aktual (actual cost) atau biaya yang dianggarkan (budget cost). Transfer
berdasarkan biaya merupakan suatu mark-up atau profit margin yang
menggambarkan tingkat pengembalian investasi suatu unit usaha:
28
(a) biaya variabel aktual (actual variable costs)
(b) biaya tetap standar (standard fixed costs)
(c) biaya tetap aktual (actual fixed costs)
(d) biaya total standar (standard full costs)
(e) biaya rata-rata (average costs)
(f) biaya total ditambah laba (full costs plus mark-up)
Penentuan harga transfer berdasarkan biaya dalam konsep ini
sederhana dan menghemat sumber daya karena informasi biaya tersedia
pada setiap tingkat aktivitas.
(3) Harga Transfer Berdasarkan Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Pemberian tingkat otoritas dan pengendalian laba per divisi secara
memadai menghendaki kemungkinan penentuan harga transfer berdasarkan
negosiasi. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa kedua unit usaha
mempunyai posisis tawar-menawar yang sama, namun penentuan harga
transfer yang demikian akan memakan waktu, mengulang pemeriksaan serta
revisi harga transfer.
(4) Harga Transfer Berdasarkan Biaya Total (Full Cost Based Transfer Prices)
Dalam praktiknya, beberapa perusahaan menggunakan harga transfer
berdasarkan full cost. Untuk menaksir suatu harga mendekati harga
pasarnya, harga transfer berdasarkan biaya terkadang dibuat pada full cost
ditambah dengan suatu margin.
(5) Harga Transfer Arbitrase (Arbitrary Transfer Prices)
29
Dalam pendekatan ini, harga transfer ditentukan berdasarkan
interaksi kedua unit usaha pada tingkat yang dianggap terbaik bagi
kepentingan perusahaan.
(6) Harga Transfer Ganda (Double Transfer Prices)
Beberapa perusahaan memilih penetapan harga ganda menggunakan
metode penetapan harga transfer terpisah untuk menentukan harga setiap
transfer dari satu subunit ke subunit lainnya. Meskipun metode ini
mendukung tercapainya goal congruence perusahaan, pada praktiknya
metode harga transfer ini jarang digunakan.
4. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principal)
a. Definisi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha ini merupakan sebuah standar
internasional untuk menentukan harga transfer. Dalam Pasal 9 ayat 1 dari
OECD Model Tax Convention, dikatakan bahwa Arm’s Length Principal
sebagai keadaan yang diberlakukan di antara kedua pihak dalam hubungan
dagang atau hubungan keuangan yang dibuat pada perusahaan independen.
Norma Arm’s Length Principal juga mensyaratkan perlunya analisis
kesebandingan dalam aplikasinya sehingga diperlukan perbandingan antara
kondisi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan kondisi yang
independen atau tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (Danny dan
Darussalam, 2013:90).
Menurut Kurniawan (2015:202), wajib pajak dalam melakukan
transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib
30
menerapkan prinsip ini. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding.
(2) Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat.
(3) Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil
analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa.
(4) Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau
laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
b. Metode Penentuan Harga Wajar
Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam menentukan harga
pasar wajar (Arm’s Length Price). Tujuan dari metode-metode tersebut adalah
untuk memastikan bahwa transaksi yang terjadi antara perusahaan perusahaan
yang memiliki hubungan istimewa telah memenuhi harga pasar wajar dengan
konsisten atau harga transfer yang paling sesuai (the most appropriate method).
Menurut Kurniawan (2015:206), terdapat lima metode penentuan harga
wajar, yaitu:
(1) Metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa (Comparable Uncontrolled Pricing / CUP method)
Metode ini dilakukan untuk membandingkan harga transfer yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
31
harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan
yang sebanding. Secara teoritis, metode ini termasuk yang paling baik,
namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala, misalnya
perbedaan kuantitas, kualitas, kondisi, waktu penjualan, merek dagang,
pangsa pasar, dan geografis pasar. Kondisi yang tepat dalam menerapkan
metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa, adalah:
(a) Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang
identik dalam kondisi yang sebanding.
(b) Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang
tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk
menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
(2) Metode harga penjualan kembali (Resale Price Method)
Metode ini dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah
dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi aset dan resiko atas
penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak memiliki
hubungan istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam
kondisi wajar. yang ditransfer ke anggota grup lainnya untuk dijual
kembali.
32
(3) Metode biaya-plus (Cost Plus Pricing Method)
Metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor
wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar
yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi yang sebanding yang tidak
mempunyai hubungan istimewa dengan pihak pada harga pokok penjualan
yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Metode
ini umumnya dipakai dalam hal penyerahan barang setengah jadi
(semifinished product) atau terdapat kontrak penggunaan fasilitas Bersama
atau kontrak jual-beli jangka panjang antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
(4) Metode pembagian laba (Profit Split Method)
Metode penentuan harga transfer berbasis laba transaksional yang
dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi
yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi
yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi
dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa dengan menggunakan metode kontribusi atau metode sisa
pembagian laba.
(5) Metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method)
Metode ini dilakukan dengan membandingkan presentase laba
bersih operasi terhadap biaya, penjualan, aktiva atau dasar lain atas
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
33
presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding
dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau
presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang
dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya.
5. Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa (related parties) adalah hubungan yang terjadi antara
dua wajib pajak atau lebih yang menyebabkan pajak penghasilan yang terutang
antara wajib pajak tersebut menjadi lebih kecil daripada yang seharusnya. Menurut
Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang PPh, hubungan istimewa diantara wajib pajak dapat
terjadi karena ketergantungan atau ketertarikan satu dengan yang lain. Pasal 18 ayat
4 UU PPh menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan terjadinya hubungan
istimewa, antara lain:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua
Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada dibawah penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung.
c. Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
Sedangkan menurut Undang-Undang PPN Pasal 2 ayat 2 hubungan
istimewa dianggap ada apabila:
34
a. Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih kepada pengusaha lain, atau hubungan antara
pengusaha dengan pertanyaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua
pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pengusaha atau lebih
yang disebut terakhir.
b. Pengusaha menguasai pengusaha lainnya atau dua atau lebih pengusaha berasa
di bawah penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung.
c. Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 (Revisi
2009), definisi dari pihak-pihak berelasi (dulunya disebut pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa) adalah orang atau entitas yang berkaitan dengan
entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya:
a. Orang atau anggota keluarga terdekat mempunyai relasi jika:
(1) memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;
(2) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau
(3) personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas
pelapor.
b. Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika (salah satu):
(1) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang
sama.
(2) Suatu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas
lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota
suatu kelompok usaha, dimana entitas lain tersebut adalah anggotanya).
35
(3) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang
sama.
(4) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang
lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.
(5) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pasca kerja untuk
imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait
dengan entitas pelapor.
(6) Entitas yang dkendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang
diidentifikasi dalam butir (a).
(7) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (1) memiliki pengaruh
signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau
entitas induk dari entitas).
6. Pajak
a. Definisi pajak menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP):
”Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
b. Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro (Mardiasmo, 2018) menyatakan:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat
ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
c. Definisi pajak menurut S. I. Djajadiningrat (Resmi, 2014), menyatakan bahwa:
36
“Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan
kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi
tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan
umum.”
7. Pajak Penghasilan Badan
a. Definisi Pajak Penghasilan Badan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1, pajak
penghasilan yaitu pajak negara atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Pajak Penghasilan badan adalah
pajak yang dikenakan atas penghasilan yang di terima oleh badan.
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
b. Subjek Pajak Penghasilan Badan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 2 yang menjadi
subjek pajak penghasilan badan adalah:
37
(1) Subjek Pajak Badan dalam negeri yaitu badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah.
(2) Subjek Pajak Badan luar negeri yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, dan atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui Bentuk Usaha
Tetap (BUT) di Indonesia.
c. Objek Pajak Penghasilan Badan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1 yang
menjadi objek pajak penghasilan badan adalah:
(1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
(2) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
(3) laba usaha;
(4) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
(a) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
(b) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
38
(c) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
(d) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
(e) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
(5) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
(6) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
(7) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
(8) royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
(9) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
39
(10) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
(11) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
(12) keuntungan selisih kurs mata uang asing;
(13) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
(14) premi asuransi;
(15) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
(16) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
(17) penghasilan dari usaha berbasis syariah;
(18) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
(19) surplus Bank Indonesia.
d. Tarif Pajak Penghasilan Badan
(1) PPh Pasal 17 ayat 1 huruf b
Tarif PPh ini diterapkan kepada wajib pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap. Pada tahun 2009, tarif tunggal ditetapkan sebesar 28%
dan diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Tarif sebesar 25% efektif
berlaku untuk tahun 2010 dan seterusnya. Sehingga cara menghitung PPh
badan adalah 25% × Penghasilan Kena Pajak (taxable income).
40
(2) PPh Pasal 17 ayat 2b
Pengurangan tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif normal yang
diterapkan kepada wajib pajak badan dalam negeri (WPDN) berbentuk
perseroan terbuka. Wajib pajak harus memenuhi syarat berikut ini:
(a) Paling sedikit sebesar 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
dicatat untuk diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
(b) Saham sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dimiliki paling sedikit
oleh 300 pihak.
(c) Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dan
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh.
(d) Ketentuan dari poin-poin di atas harus dipenuhi dalam waktu paling
singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu 1 tahun pajak.
(3) PPh Final 0,5%
Pemerintah telah mengatur tarif PPh yang dibedakan berdasarkan
skala bisnis suatu badan. Seperti halnya wajib pajak badan (peredaran bruto
di bawah Rp4,8 Miliar serta belum wajib melakukan pembukuan) diberi
fasilitas untuk memanfaatkan tarif PPh Final sebesar 0,5%.
8. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan ialah sebuah nilai yang menunjukkan besar atau kecilnya
perusahaan. Ukuran perusahaan pada dasarnya adalah pengelompokan perusahaan
menjadi beberapa kelompok yaitu perusahaan kecil, perusahaan menengah, dan
perusahaan besar. Ketentuan untuk ukuran perusahaan diatur dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Kekayaan
bersih untuk Usaha Menengah adalah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
https://klikpajak.id/blog/penghitungan-pajak/pembayaran-pph-final/
41
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah). Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan
usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari
Usaha Menengah atau lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah), yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan
usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Perusahaan
Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2016-2018
termasuk ke dalam kategori usaha besar karena memiliki kekayaan bersih lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Semakin besar jumlah asset perusahaan, maka semakin besar pula ukuran
perusahaan tersebut. Semakin besar aset suatu perusahaan dapat disimpulkan bahwa
kompleksitas yang dimiliki perusahaan juga bertambah luas, termasuk pengambilan
keputusan-keputusan yang dilakukan oleh manajemen. Menurut Hartono (2008),
ukuran perusahaan adalah besar kecilnya perusahan dapat diukur dengan total aktiva
atau besar harta perusahaan dengan menggunakan perhitungan nilai logatima dari
total aktiva.
Ukuran Perusahaan (SIZE) = Ln (Total Asset)
9. Tax Haven Country
Tax haven country adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja
memberikan fasilitas pajak, berupa penetapan tarif pajak yang rendah atau bahkan
tidak mengenakan pajak sama sekali. Hal ini bertujuan agar penghasilan penduduk
negara lain bisa dialihkan ke negara tersebut (Kurniawan, 2015:189).
42
Menurut OECD, ada empat faktor utama yang digunakan untuk menentukan
apakah suatu negara merupakan tax haven:
a. Negara tidak mengenakan pajak atau hanya nominal saja.
b. Tidak ada transparansi.
c. Memiliki ketentuan dan praktik administrasi yang menghambat pertukaran
informasi dengan negara lain terkait dengan wajib pajak yang mendapat
keuntungan dari tidak adanya pengenaan pajak.
d. Tidak ada kewajiban untuk adanya aktivitas secara subtansial.
Sedangkan The United States Government Accountability Office memberikan
5 karakteristik tax haven country, sebagai berikut:
a. Tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja.
b. Tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.
c. Tidak ada transparansi dalam pelaksanaan Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaannya.
d. Tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada
negara itu.
e. Mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center.
Definisi tax haven country bisa berbeda-beda di setiap masing-masing
negara, tergantung pada ketentuan masing-masing negara mendefinisikan tax haven
country. Berikut ini adalah negara-negara tax haven menurut Gravelle (2015):
43
Tabel 2.1
Daftar Negara Tax Haven
Caribbean / West Indies
Anguilla, Antigua and Barbuda, Aruba, Bahamas, Barbados,
British Virgin Islands, Cayman Islands, Dominica, Grenada,
Montserrat, Netherlands Antilles, St. Kitts and Navis, St. Lucia,
St. Vincent and Grenadines, Turks and Caicos, U.S. Virgin
Islands
Central America Belize, Costa Rica, Panama
Coast of East Asia Hong Kong, Macau, Singapore
Europe / Mediterranean
Andorra, Channel Islands (Guernsey and Jersey), Cyprus,
Gibralter, Isle of Man, Ireland, Liechtenstein, Luxembourg,
Malta, Monaco, San Marino, Switzerland
Indian Ocean Maldives, Mauritius, Seychelles
Middle East Bahrain, Jordan, Lebanon
North Atlantic Bermuda
Pacific, South Pacific Cook Islands, Marshall Islands, Samoa, Nauru, Niue, Tonga,
Vanuatu
10. Kualitas Audit
Menurut Arens, et al. (2017:41) audit adalah pengumpulan data dan evaluasi
bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian
antara informasi itu dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan
oleh orang yang kompeten dan independen. Oleh karena itu, diperlukan adanya
proses audit yang dilakukan oleh auditor. Kualitas audit dapat diartikan sebagai
bagus atau tidaknya suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor. Menurut Dewi
44
dan Jati (2016), kualitas audit adalah segala kemungkinan yang dapat terjadi saat
auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau
kesalahan yang terjadi dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan. Dengan
adanya pengauditan diharapkan dapat mengurangi kesalahan penyampaian
informasi yang ada pada laporan keuangan sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan baik dari sisi manajemen perusahaan maupun pihak eksternal. Pihak
eksternal seperti pemegang saham atau kreditor yang mengandalkan laporan
keuangan untuk mengambil keputusan bisnis bisa diyakinkan lewat laporan auditor
sebagai indikasi keandalan laporan keuangan tersebut.
Komite Nasional Kebijakan Governance (2006:5), ada lima unsur penting
dalam Corporate Governance yaitu Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness),
Transparansi (Transparancy), Akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban
(Responsibility), dan Independensi (Independency). Dalam melakukan audit, hal
yang terpenting dalam pelaksanaannya adalah transparansi yang merupakan salah
satu unsur dari Good Corporate Governance (GCG). Transparansi terhadap
pemegang saham dapat dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada
pasar modal dan pertemuan para pemegang saham. Karena asumsi adanya implikasi
dari perilaku pajak yang agresif, perusahaan akan mengambil posisi agresif dalam
hal pajak dan akan mencegah tindakan tersebut.
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan laporan keuangan tahunan yang telah
diaudit sebagai salah satu syarat laporan tahunan emiten atau perusahaan publik
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.04.2016 tentang Laporan
Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Berikut adalah dua cara untuk mengukur
kualitas audit:
45
a. Reputasi Brand Name
Teoh & Wong (1993) menggunakan ukuran auditor (KAP) dalam mengukur
kualitas audit, dimana reputasi auditor dianggap berkorelasi dengan kualitas
auditor. Tentunya auditor berkualitas tinggi mampu menghasilkan laporan audit
yang lebih kredibel. Oleh karena itu, Teoh & Wong (1993) berpendapat bahwa
kualitas audit dapat diukur lewat variabel dummy yang bernilai 1 dimana laporan
keuangan perusahaan manufaktur diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Big
Four, dan bernilai 0 apabila laporan keuangan perusahaan manufaktur diaudit
oleh KAP Non Big Four. Kantor Akuntan Publik yang dinilai terpercaya dan
terintegrasi adalah Price Waterhouse Cooper (PWC), Ernst & Young (EY),
Deloitte, dan KPMG.
b. Spesialisasi Industri Auditor
Kasus kebangkrutan Enron yang diaudit oleh Arthur Andersen yang merupakan
KAP Big Five melemahkan kepercayaan publik terhadap auditor, sehingga
pengukuran kualitas audit dengan menggunakan reputasi brand name menjadi
diragukan banyak orang. Craswell, Francis, & Taylor (1995) beranggapan bahwa
kualitas audit dapat dibedakan lewat spesialisasi industri auditor, dimana KAP
yang spesialis dianggap mampu memberikan audit yang lebih berkualitas
dibanding KAP yang tidak spesialis. Dengan kata lain, spesialisasi industri
auditor dapat didefinisikan sebagai penguasaan auditor atas suatu industri
tertentu yang dapat mengakibatkan peningkatan kualitas audit. Terdapat
beberapa kriteria yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam menentukan
spesialisasi industri auditor, diantaranya:
(1) Craswell et al. (1995) menentukan ambang batas spesialisasi industri auditor
berdasarkan penelitian terdahulunya (Craswell & Taylor, 1991), dimana
46
auditor dikatakan spesialis apabila memiliki penguasaan industri sebesar
10% atau lebih dengan syarat industri tersebut harus memiliki minimal 30
perusahaan.
(2) Krishnan (2003) mengemukakan bahwa auditor dikatakan spesialis apabila
memiliki penguasaan industri di atas 15%.
(3) Dunn & Mayhew (2004) menyatakan bahwa auditor dikatakan spesialis
apabila memiliki penguasaan industri minimal 20%.
B. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
1 Nama Peneliti Aida Yulia, Nurul Hayati, Rulfah M. Daud
Tahun Penelitian 2019
Judul Penelitian
The Influence of Tax, Foreign Ownership and Company Size
on the Application of Transfer Pricing in Manufacturing
Companies Listed on IDX during 2013-2017
Variabel Penelitian
X1 : Tax
X2 : Foreign Ownership
X3 : Company Size
Y : Transfer Pricing
Hasil Penelitian Tax berpengaruh positif terhadap penerapan transfer
pricing. Sedangkan Foreign Ownership dan Firm Size tidak
berpengaruh terhadap aplikasi transfer pricing.
47
2 Nama Peneliti Lucky Nugroho, Brianditya Ridlo Wicaksono, Wiwik Utami
Tahun Penelitian 2018
Judul Penelitian
Analysis of Taxes Payment, Audit Quality and Firm Size to
the Transfer Pricing Policy in Manufacturing Firm in
Indonesia Stock Exchange
Variabel Penelitian
X1 : Tax
X2 : Audit Quality
X3 : Firm Size
Y : Transfer Pricing
Hasil Penelitian
Tax berpengaruh secara signifikan terhadap indikasi transfer
pricing. Sedangkan Audit Quality dan Firm Size tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap indikasi transfer
pricing.
3
Nama Peneliti Machfirah Aprilia Rezky, Fachrizal
Tahun Penelitian 2018
Judul Penelitian
Pengaruh Mekanisme Bonus, Ukuran Perusahaan,
Leverage, dan Multinationality Terhadap Keputusan
Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014
Variabel Penelitian
X1 : Mekanisme Bonus
X2 : Ukuran Perusahaan
X3 : Leverage
X4 : Multinationality
Y : Transfer Pricing
48
Hasil Penelitian
Mekanisme Bonus, Ukuran Perusahaan, Leverage, dan
Multinationality berpengaruh terhadap keputusan Transfer
Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014
4
Nama Peneliti Ratna Dewi Kusumasari, Sri Fadilah, Edi Sukarmanto
Tahun Penelitian 2018
Judul Penelitian
Pengaruh Pajak, Kepemilikan Asing dan Ukuran
Perusahaan Terhadap Transfer Pricing (Studi Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2012-2016)
Variabel Penelitian
X1 : Pajak
X2 : Kepemilikan Asing
X3 : Ukuran Perusahaan
Y : Transfer Pricing
Hasil Penelitian
Pajak dan Kepemilikan Asing berpengaruh positif terhadap
Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2016.
Sedangkan, Ukuran Perusahaan berpengaruh negative
terhadap Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2016
5 Nama Peneliti Ria Rosa, Rita Andini, Kharis Raharjo
Tahun Penelitian 2017
Judul Penelitian
Pengaruh Pajak, Tunneling Insentive, Mekanisme Bonus,
Debt Covenant dan Good Corporate Governance (GCG)
Terhadap Transaksi Transfer Pricing (Studi Pada
Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2013-2015)
49
Variabel Penelitian
X1 : Pajak
X2 : Tunneling Insentive
X3 : Mekanisme Bonus
X4 : Debt Covenant
X5 : Good Corporate Governance (GCG)
Y : Transfer Pricing
Hasil Penelitian
Debt Covenant dan Good Corporate Governance (GCG)
berpengaruh positif terhadap transfer pricing. Sedangkan
Pajak, Tunneling Insentive, dan Mekanisme Bonus tidak
berpengaruh positif terhadap transfer pricing.
6 Nama Peneliti Muhammad Rheza Ramadhan
Tahun Penelitian 2017
Judul Penelitian Faktor-Faktor Penentu Agresivitas Tranfer Pricing
Variabel Penelitian
X1 : Multinasionalitas
X2 : Tax Haven Country
X3 : Ukuran Perusahaan
X4 : Profitabilitas
X5 : Leverage
X6 : Intangible Asset
X7 : Kompensasi Kerugian
X8 : Selisih Kompensasi Kerugian
Y : Agresivitas Transfer Pricing
50
Hasil Penelitian
Multinasionalitas, Pemanfaatan Tax Haven Country,
Kompensasi Kerugian, Selisih Kompensasi Kerugian
berpengaruh positif secara signifikan terhadap agresivitas
transfer pricing. Sedangkan Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, dan Intangible Asset tidak
berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing.
7 Nama Peneliti Thesa Refgia
Tahun Penelitian 2017
Judul Penelitian
Pengaruh Pajak, Mekanisme Bonus, Ukuran Perusahaan,
Kepemilikan Asing dan Tunneling Incentive Terhadap
Transfer Pricing (Perusahaan Sektor Industri Dasar dan
Kimia yang Listing di BEI Tahun 2011-2014)
Variabel Penelitian
X1 : Pajak
X2 : Mekanisme Bonus
X3 : Ukuran Perusahaan
X4 : Kepemilikan Asing
X5 : Tunneling Incentive
Y : Transfer Pricing
Hasil Penelitian
Pajak, Kepemilikan Asing dan Tunneling Incentive
berpengaruh terhadap Transfer Pricing. Sedangkan
Mekanisme Bonus dan Ukuran Perusahaan tidak
berpengaruh terhadap Transfer Pricing.
8 Nama Peneliti Dwi Noviastika F., Yuniadi Mayowan, Suhartini Karjo
Tahun Penelitian 2016
51
Judul Penelitian
Pengaruh Pajak, Tunneling Incentive dan Good Corporate
Governance (GCG) Terhadap Indikasi Melakukan Transfer
Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di
Bursa Efek Indonesia (Studi Pada Bursa Efek Indonesia
yang Berkaitan dengan Perusahaan Asing)
Variabel Penelitian
X1 : Pajak
X2 : Tunneling Incentive
X3 : Good Corporate Governance (GCG)
Y : Transfer Pricing
Hasil Penelitian
Pajak dan Tunneling Incentive berpengaruh positif secara
signifikan terhadap indikasi melakukan Transfer Pricing.
Sedangkan Good Corporate Governance (GCG)
berpengaruh tidak signifikan terhadap indikasi melakukan
Transfer Pricing.
9 Nama Peneliti Waworuntu S. R. dan Hadisaputra R.
Tahun Penelitian 2016
Judul Penelitian
Determinants of Transfer Pricing Aggresiveness in
Indonesia
Variabel Penelitian
X1 : Firm Size
X2 : Profitability
X3 : Leverage
X4 : Intangible Asset
X5 : Multinationality
X6 : Tax Haven Utilisation
Y : Transfer Pricing Aggresiveness
52
Hasil Penelitian
Firm Size dan Leverage berpengaruh positif signifikan
terhadap agresivitas Transfer Pricing. Intangible Asset dan
Multinationality berpengaruh negatif signifikan terhadap
agresivitas Transfer Pricing. Sedangkan Profitability dan
Tax Haven Utilisation tidak berpengaruh signifikan
terhadap agresivitas Transfer Pricing.
10
Nama Peneliti Grant Richardson, Grantley Taylor, Roman Lanis
Tahun Penelitian 2013
Judul Penelitian
Determinants of Transfer Pricing Aggresiveness: Empirical
Evidence from Australia Firms
Variabel Penelitian
X1 : Firm Size
X2 : Profitability
X3 : Leverage
X4 : Intangible Asset
X5 : Multinationality
X6 : Tax Haven Utilization
Y : Transfer Pricing Aggresiveness
Hasil Penelitian Firm Size, Profitability, Leverage, Intangible Assets dan
Multinationality berpengaruh positif signifikan terhadap
agresivitas Transfer Pricing.
53
C. Kerangka Pemikiran
1. Pengaruh Pajak penghasilan badan terhadap Agresivitas Transfer Pricing
Transfer Pricing merupakan tindakan yang dilakukan oleh perusahaan untuk
menghindari pembayaran pajak yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pajak
penghasilan badan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas
transfer pricing. Perusahaan akan melakukan penghematan pajak dimana perusahaan
akan melaporkan laba yang lebih rendah pada laporan keuangannya yang
menyebabkan beban pajak badan perusahaan pun menjadi lebih rendah. Semakin
tinggi pajak penghasilan badan, maka semakin tinggi tingkat agresivitas transfer
pricing suatu perusahaan. Dan sebaliknya, jika semakin rendah pajak penghasilan
badan suatu perusahaan, maka semakin rendah tingkat agresivitas transfer pricing.
Penelitian yang dilakukan oleh Refgia (2017) menyatakan bahwa semakin tinggi tarif
pajak suatu negara maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan
memanipulasi agar mengalihkan penghasilannya kepada perusahaan di negara yang
memiliki tarif pajaknya lebih sedikit atau dengan kata lain perusahaan akan
cenderung melakukan kebijakan transfer pricing.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pajak penghasilan (PPh) badan
berpengaruh secara positif terhadap agresivitas transfer pricing yang ditunjukkan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Yulia et al. (2019), Kusumasari et al. (2018),
Refgia (2017), Noviastika (2016) dan Yuniasih et al. (2012) dimana penelitian-
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pajak berpengaruh positif terhadap
keputusan perusahaan untuk melakukan kebijakan transfer pricing.
54
2. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Agresivitas Transfer Pricing
Ukuran perusahaan ialah sebuah nilai yang menunjukkan besar atau kecilnya
perusahaan. Ukuran perusahaan dapat menentukan banyak sedikitnya praktik
transfer pricing pada perusahaan. Ukuran perusahaan akan sangat penting bagi
investor karena akan berhubungan dengan risiko investasi yang dilakukan
perusahaan yang memiliki total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut
telah mencapai tahap kedewasaan di mana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah
positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif
lebih lama (Kiswanto & Purwaningsih, 2014). Perusahaan-perusahaan besar yang
memiliki keuntungan besar cenderung akan terlibat dalam transaksi untuk
menghindarkan pajak. Di beberapa kasus perusahaan besar cenderung memiliki
masalah pembayaran pajak yang tinggi, oleh sebab itu beberapa perusahaan
melakukan berbagai cara agar pembayaran pajak menjadi rendah, salah satunya
dengan cara melakukan kebijakan transfer pricing. Semakin besar ukuran
perusahaan maka akan semakin tinggi tingkat agresivitas transfer pricing.
Hal ini sejalan dengan beberapa peneliti sebelumnya seperti yang dilakukan
oleh Richardson et al. (2013), Waworuntu & Hadisaputra (2016), Rezky et al. (2018)
serta Pradana (2018) yang menunjukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
positif terhadap agresivitas transfer pricing.
3. Pengaruh Tax Haven Country terhadap Agresivitas Transfer Pricing
Tax haven country adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja
memberikan fasilitas pajak, berupa penetapan tarif pajak yang rendah atau bahkan
tidak mengenakan pajak sama sekali. Hal ini bertujuan agar penghasilan penduduk
negara lain bisa dialihkan ke negara tersebut (Kurniawan, 2015:189). Pemanfaatan
55
tax haven countries adalah usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendirikan
usahanya di negara-negara yang menyediakan fasilitas pajak. Tax haven country juga
menawarkan penghindaran pajak melalui transfer pricing dengan mengizinkan realokasi
penghasilan kena pajak untuk pajak rendah dan dengan mengurangi jumlah pajak dalam
negeri yang dibayar atas penghasilan. Secara khusus, penghindaran pajak dapat dicapai
melalui transfer pricing dengan mentransfer barang ke negara-negara dengan tingkat
pajak penghasilan rendah (misalnya bebas pajak) dan dengan memindahkan barang dari
negara-negara tersebut dengan harga pengalihan tertinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan dan Kustiani (2017) dan
Richardson et al. (2013) tentang faktor-faktor penentu agresivitas transfer pricing
menyatakan bahwa variabel tax haven country berpengaruh positif secara signifikan
terhadap agresivitas transfer pricing yang artinya perusahaan yang memiliki
transaksi dengan pihak berelasi di tax haven country memiliki kecenderungan yang
lebih besar dalam melakukan agresivitas transfer pricing.
4. Pengaruh Kualitas Audit terhadap Agresivitas Transfer Pricing
Kualitas audit merupakan salah satu komponen dari Good Corporate
Governance (GCG). Kualitas audit adalah segala kemungkinan yang dapat terjadi
saat auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau
kesalahan yang terjadi dalam laporaan keuangan auditan (Dewi, 2016). Dengan
adanya pengauditan diharapkan dapat mengurangi kesalahan penyampaian informasi
yang ada pada laporan keuangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan baik dari
sisi manajemen perusahaan maupun pihak eksternal. Menurut Rosa (2017), kualitas
audit juga didasarkan pada pertimbangan yang mencakup beberapa unsur yang ada
dalam Good Corporate Governance (GCG) yaitu keterbukaan, keadilan,
akuntabilitas dan keberlanjutan.
56
KAP Big Four dianggap memiliki integritas yang tinggi serta di beri
kepercayaan oleh banyak perusahaan, sehingga KAP Big Four dipercaya mampu
mendorong perusahaan agar tetap transparan dalam melaporkan transaksi transfer
pricing di SPT Tahunan serta tetap patuh dengan ketentuan-ketentuan pajak yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah yang terkait dengan transaksi transfer pricing. Jika
suatu laporan keuangan perusahaan di audit oleh KAP Big Four, maka perusahaan
tersebut dianggap semakin bisa untuk melakukan penghematan pajak dalam hal ini
adalah melakukan kebijakan transfer pricing. Sehingga dapat dikatakan bahwa
semakin baik kualitas audit dari suatu perusahaan, maka semakin tinggi tingkat
agresivitas transfer pricing. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rosa et
al. (2017) yang menunjukkan bahwa kualitas audit berpengaruh positif terhadap
transfer pricing. Kualitas audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap transfer
pricing dikarenakan perusahaan yang diaudit oleh KAP the big ten memang akan
lebih cenderung dipercayai oleh fiskus karena KAP tersebut memiliki reputasi yang
baik, memiliki integritas yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Noviastika et
al. (2016) juga menunjukkan hasil bahwa kualitas audit berpengaruh positif tidak
signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing. Sedangkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Nugroho et al. (2018) mengemukakan bahwa kualitas audit
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan transfer pricing.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka secara skematis dibuat kerangka pemikiran
sebagai berikut:
57
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H1 : Pajak penghasilan badan berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.
H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.
H3 : Tax Haven country berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.
H4 : Kualitas audit berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.
Pajak penghasilan badan
(X1)
Ukuran Perusahaan (X2)
Tax Haven Country (X3)
Kualitas Audit (X4)
Agresivitas Transfer
Pricing (Y)