41
17 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai pembahasan landasan teoritis yang berisikan mengenai teori-teori yang relevan untuk mendukung pembahasan dan analisis penelitian serta bagaimana hubungan antara pajak penghasilan badan, ukuran perusahaan, tax haven country, dan kualitas audit terhadap agresivitas transfer pricing pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada periode 2016-2018 dan akan disertai dengan beberapa jurnal serta buku yang akan dicantumkan pada penelitian-penelitian terdahulu. Setelah peneliti memaparkan landasan teori dan penelitian terdahulu, peneliti akan membuat kerangka pemikiran yang menggambarkan alur logika hubungan masing-masing variabel penelitian agar dapat dimengerti dengan baik oleh pembaca. Dari penjelasan teori yang dijelaskan sebelumnya maka pada bagian akhir dari bab ini, penelitian dapat menghasilkan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang akan diteliti dan kemudian perlu dibuktikan dalam penelitian. A. Landasan Teori 1. Teori Agensi (Agency Theory) Teori agensi adalah sebuah teori yang membahas mengenai suatu hubungan antara manajemen perusahaan (agent) dan pemegang saham (principal). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebagai kontrak antara satu orang atau lebih (principals) yang melibatkan orang lain (agent) untuk melaksanakan beberapa layanan atau jasa bagi mereka dengan melakukan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Manajemen sebagai agen merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam mengoptimalkan keuntungan

BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.kwikkiangie.ac.id/864/3/31160180 - JESSICA GRACIA... · 2020. 9. 17. · 17 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai pembahasan

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 17

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai pembahasan landasan teoritis yang

    berisikan mengenai teori-teori yang relevan untuk mendukung pembahasan dan analisis

    penelitian serta bagaimana hubungan antara pajak penghasilan badan, ukuran perusahaan,

    tax haven country, dan kualitas audit terhadap agresivitas transfer pricing pada perusahaan

    manufaktur yang terdaftar di BEI pada periode 2016-2018 dan akan disertai dengan beberapa

    jurnal serta buku yang akan dicantumkan pada penelitian-penelitian terdahulu.

    Setelah peneliti memaparkan landasan teori dan penelitian terdahulu, peneliti akan

    membuat kerangka pemikiran yang menggambarkan alur logika hubungan masing-masing

    variabel penelitian agar dapat dimengerti dengan baik oleh pembaca. Dari penjelasan teori

    yang dijelaskan sebelumnya maka pada bagian akhir dari bab ini, penelitian dapat

    menghasilkan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang akan

    diteliti dan kemudian perlu dibuktikan dalam penelitian.

    A. Landasan Teori

    1. Teori Agensi (Agency Theory)

    Teori agensi adalah sebuah teori yang membahas mengenai suatu hubungan

    antara manajemen perusahaan (agent) dan pemegang saham (principal). Jensen dan

    Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebagai kontrak

    antara satu orang atau lebih (principals) yang melibatkan orang lain (agent) untuk

    melaksanakan beberapa layanan atau jasa bagi mereka dengan melakukan

    pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Manajemen sebagai

    agen merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam mengoptimalkan keuntungan

  • 18

    para pemegang saham (principal). Untuk itu manajemen diberikan sebagian

    kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham.

    Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya

    kepada pemegang saham. Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori

    agensi merupakan sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor

    (principal). Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa konflik kepentingan antara

    prinsipal dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai

    dengan kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).

    Teori keagenan adalah teori yang menjelaskan tentang hubungan antara dua

    pihak yaitu pihak agent, dimana dalam hal ini adalah manajer perusahaan atau dewan

    direksi yang bertindak sebagai pembuat keputusan dalam menjalankan perusahaan

    dan pihak principal sebagai pemilik perusahaan atau pemegang saham yang

    mengevaluasi informasi maupun mengelola jalannya perusahaan. Teori agensi

    mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri.

    Prinsipal menginginkan pengembalian yang besar dan cepat atas investasinya

    melalui dividen dari tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan adanya

    pemberian kompensasi atau bonus yang besar atas kinerjanya dalam menjalankan

    perusahaan. Keduanya memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga keduanya

    berlomba-lomba untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Pemegang saham menilai

    kinerja manajer berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan laba perusahaan

    yang besar untuk dialokasikan pada pembagian dividen. Semakin tinggi laba yang

    dihasilkan maka semakin tinggi pula dividen yang didapatkan investor. Ketika laba

    yang didapatkan besar, maka manajer akan dinilai memiliki kinerja yang baik

    sehingga layak mendapatkan kompensasi atau insentif yang diinginkan.

  • 19

    Namun, manajer seringkali melakukan manipulasi saat melaporkan kondisi

    perusahaan kepada pemegang saham agar tujuannya mendapatkan kompensasi dapat

    tercapai. Kondisi perusahaan yang dilaporkan oleh manajer tidak sesuai atau tidak

    mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Timbul upaya-upaya untuk

    mempercantik laporan keuangan untuk menutupi target laba yang tidak tercapai

    dengan cara melakukan manajemen laba. Hal ini terjadi karena adanya asimetri

    informasi. Asimetri informasi adalah ketidakseimbangan informasi yang dimiliki

    oleh investor dan manajemen. Maka dari itu, menurut Eisenhardt (1989) teori

    keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi dasar yaitu:

    a. Asumsi mengenai sifat manusia

    Asumsi ini menekankan bahwa manusia memiliki kecenderungan sifat

    untuk lebih mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan

    rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion).

    b. Asumsi mengenai keorganisasian

    Asumsi keorganisasian adalah adanya sebuah konflik antar anggota

    organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri

    informasi (Asymmetric Information) antara principal dan agent.

    c. Asumsi mengenai informasi

    Asumsi tentang informasi adalah informasi dipandang sebagai barang

    komoditi yang dapat diperjualbelikan.

    Menurut Colgan (2001), beberapa faktor yang menyebabkan munculnya

    masalah keagenan yaitu:

  • 20

    a. Moral Hazard

    Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang

    tinggi), dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya

    diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat

    melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar

    kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

    b. Penahanan Laba (Earnings Retention)

    Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi

    yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan

    pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau

    penghargaan bagi dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang

    saham.

    c. Horison Waktu (Time-Horizon)

    Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana prinsipal

    lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti

    dan memiliki risiko tinggi, sedangkan manajemen cenderung menekankan

    kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dengan risiko yang lebih

    rendah. Perbedaan horizon waktu inilah yang menyebabkan konflik antara

    manajemen dan pemegang saham.

    d. Penghindaran Risiko Manajerial (Managerial Risk Aversion)

    Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang

    berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,

    sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari

  • 21

    keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih

    senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman utang,

    karena mengalami kebangkrutan atau kegagalan.

    Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini

    menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh

    principal maupun agent. Jensen & Meckling (1976) mendefinisikan agency cost

    sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan

    terhadap agen dan membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding

    cost dan residual loss. Monitoring cost merupakan biaya yang timbul dan

    ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur,

    mengamati, dan mengontrol perilaku agen. Bonding cost merupakan biaya yang

    ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin

    bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss

    merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai

    akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.

    2. Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)

    Teori akuntansi positif merupakan teori yang dikembangkan oleh Watts &

    Zimmerman (1986) yang menjelaskan mengenai kebijakan akuntansi dan

    praktiknya dalam perusahaan serta memprediksi kebijakan apa yang akan dipilih

    manajer dalam kondisi-kondisi tertentu dimasa yang akan datang. Penentuan

    kebijakan akuntansi dan praktik yang tepat merupakan hal yang penting bagi

    perusahaan dalam hal penyusunan laporan keuangan. Oleh karena itu, dalam

    menentukan kebijakan akuntansi, pelaksanaannya tidak terlepas dari pihak-pihak

    yang berwenang serta pihak yang memiliki kepentingan dengan penyusunan laporan

  • 22

    keuangan. Teori akuntansi positif menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

    manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang optimal dan mempunyai tujuan

    tertentu.

    Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh

    perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi

    kebebasan untuk memilih alternatif yang tersedia untuk meminimalkan biaya

    kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Oleh karena itu, manajer mempunyai

    kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan yang menurut teori akuntansi

    positif dinamakan sebagai tindakan oportunis (Scott, 2015:319). Tindakan oportunis

    adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam memilih kebijakan

    akuntansi yang menguntungkan dan memaksimalkan kepuasan perusahaan tersebut.

    Dalam jurnal Positive Accounting Theory yang ditulis oleh Watts dan

    Zimmerman (1990) menjelaskan bahwa teori akuntansi positif dapat menjelaskan

    mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-

    pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan dan untuk memprediksi

    kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan dalam situasi tertentu.

    Tiga hipotesis tersebut dihubungkan dengan tindakan yang dilakukan oleh

    perusahaan, diantaranya:

    a. Hipotesis Rencana Bonus

    Dalam hipotesis ini, menjelaskan bahwa para manajer perusahaan

    dengan rencana bonus lebih cenderung memilih prosedur akuntansi dengan

    perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini.

    Para manajer perusahaan menginginkan imbalan yang tinggi pada setiap

    periodenya. Jika imbalan mereka bergantung pada bonus yang dilaporkan pada

  • 23

    pendapatan bersih, maka kemungkinan mereka bisa meningkatkan bonus

    mereka pada periode tersebut dengan melaporkan pendapatan bersih setinggi

    mungkin. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan

    akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode tersebut.

    Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajer di sebuah perusahaan

    dengan bonus tertentu cenderung lebih menyukai metode yang dapat

    meningkatkan laba pada periode berjalan. Pilihan tersebut diharapkan mampu

    meningkatkan nilai sekarang dari bonus yang akan diterima seandainya komite

    kompensasi dari dewan direktur tidak menyesuaikan metode yang dipilih.

    b. Hipotesis Kontrak Utang

    Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat

    suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada

    kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar kemungkinan

    manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang

    dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Alasannya adalah laba

    yang dilaporkan yang makin meningkat akan menurunkan kelalaian teknis.

    Sebagian besar dari perjanjian utang berisi kesepakatan bahwa pemberi

    pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian. Sebagai contoh, perusahaan

    yang mendapat pinjaman boleh sepakat memelihara level tertentu dari utang

    terhadap harta, laporan bunga, modal kerja, dan harta pemilik saham. Jika

    kesepakatan semacam itu dikhianati, perjanjian utang tersebut bisa memberikan

    atau mengeluarkan penalti, seperti pembatasan dividen atau tambahan pinjaman.

    Dengan jelas, prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi kegiatan

    perusahaan dalam operasional perusahaan itu sendiri. Untuk mencegah, atau

  • 24

    paling tidak menunda, pelanggaran semacam itu, perusahaan bisa memilih

    kebijakan akuntansi tertentu yang bisa meningkatkan laba masa kini.

    Berdasarkan hipotesis kesepakatan utang, ketika perusahaan mendekati

    kelalaian, atau memang sudah berada dalam lalai atau cacat, lebih cenderung

    untuk melakukan hal ini.

    c. Hipotesis Biaya Politik

    Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin besar

    biaya politik yang mesti ditanggung oleh perusahaan, manajer cenderung lebih

    memilih prosedur akuntansi yang menyerah pada laba yang dilaporkan dari masa

    sekarang menuju masa depan. Hipotesis biaya politik memperkenalkan suatu

    dimensi politik pada pemilihan kebijakan akuntansi. Perusahaan-perusahaan

    yang ukurannya sangat besar mungkin dikenakan standar kinerja yang lebih

    tinggi, dengan penghargaan terhadap tanggung jawab lingkungan, hanya karena

    mereka merasa bahwa mereka besar dan berkuasa. Jika perusahaan besar juga

    memiliki kemampuan meraih profit yang tinggi, maka biaya politik bisa

    diperbesar.

    Perusahaan-perusahaan juga mungkin akan menghadapi biaya politik

    pada poin-poin waktu tertentu. Persaingan luar negeri mungkin mengarah pada

    menurunnya profitabilitas kecuali perusahaan yang terkena dampaknya ini bisa

    mempengaruhi proses politik untuk bisa melindungi impor secara keseluruhan.

    Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan mengadopsi kebijakan

    akuntansi income-decreasing (pendapatan menurun) dalam rangka meyakinkan

    pemerintah bahwa profit sedang turun.

  • 25

    3. Transfer Pricing

    a. Definisi Transfer Pricing

    Transfer Pricing menurut Gunadi (2007:222) adalah jumlah harga atas

    penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh

    kedua belah pihak dalam transaksi bisnis finansial maupun transaksi lainnya.

    Darussalam & Danny (2012:7) menyatakan bahwa transfer pricing

    merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan untuk

    memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antar perusahaan

    yang mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas prinsip harga pasar

    wajar (arm’s length price principal).

    R. Feinschreiber (2004:3) mengemukakan transfer pricing dalam

    perspektif perpajakan, adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang

    dilakukan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Proses kebijakan

    tersebut menentukan pula besaran penghasilan dari setiap entitas yang terlibat.

    Pengertian transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

    pengertian bersifat netral dan bersifat pejoratif-negatif. Pengertian yang bersifat

    netral mengasumsikan bahwa transfer pricing adalah murni merupakan strategi

    dan taktik bisnis tanpa motif pengurangan beban pajak. Sedangkan pengertian

    yang bersifat pejoratif mengasumsikan bahwa transfer pricing sebagai upaya

    untuk menghemat beban pajak dengan taktik, antara lain menggeser laba ke

    negara yang tarif pajaknya lebih rendah (Suandy, 2014).

    Transfer pricing merupakan salah satu bentuk dari penghindaran pajak

    yang dilakukan oleh perusahaan multinasional karena perusahaan multinasional

    memiliki perusahaan asing yang memungkinkan perusahaan melakukan

    kebijakan transfer pricing. Berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur

  • 26

    Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 yang mengalami perubahan menjadi

    PER-32/PJ/2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing)

    yaitu penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai

    hubungan istimewa.

    b. Dasar Hukum Transfer Pricing

    Beberapa dasar hukum mengenai Transfer Pricing adalah sebagai

    berikut:

    (1) Undang-Undang Pasal 18 Nomor 36 Tahun 2008 mengenai “Pajak

    Penghasilan.”

    (2) Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor: PER-32/PJ/2011 tentang

    “Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha salam transaksi antara

    wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.”

    (3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7/PMK.03/2015

    tentang ”Tata cara pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer

    (Advance Pricing Agreement).”

    (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016

    tentang “Jenis dokumen dan atau informasi tambahan yang wajib disimpan

    oleh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan para pihak yang

    mempunyai hubungan istimewa dan tata cara pengelolaannya.”

    c. Metode Transfer Pricing

    Horngren et al. (2012:781) menerangkan bahwa secara umum terdapat 6

    (enam) metode transfer pricing, antara lain:

    (1) Harga Transfer Berdasarkan Pasar (Market-Based Transfer Prices)

  • 27

    Harga transfer yang berdasarkan biaya kurang memuaskan untuk

    perencanaan bisnis unit usaha, motivasi, dan evaluasi kerja. Oleh karena itu,

    diperkenalkan harga transfer dengan basis harga pasar. Model dari bentuk ini

    berada pada harga pasar yang berlaku (current-market place) dengan harga

    pasar yang dikurangi diskon (market-price minus discount). Bentuk ini

    dijadikan tolak ukur untuk menilai kemampuan kinerja manajemen unit

    usaha karena hal ini menunjukan kemampuan produk untuk menghasilkan

    laba serta merangsang unit usaha untuk bekerja secara bersaing. Bentuk ini

    digunakan apabila pasar perantara cukup bersaing dan saling ketergantungan

    antarunit usaha. Transfer barang atau jasa pada harga pasar secara umum

    akan mengarah pada keputusan optimal ketika kondisi berikut ini terpenuhi:

    harga untuk intermediate product secara sempurna kompetitif, independensi

    antara sub unit adalah minimal, tidak ada tambahan biaya atau manfaat untuk

    perusahaan secara keseluruhan dari membeli atau menjual dalam pasar

    terbuka dibandingkan transaksi secara internal. Dengan menggunakan harga

    pasar dalam pasar yang secara sempurna kompetitif, suatu perusahaan dapat

    mencapai tujuan congruence, dukungan manajemen, evaluasi kinerja unit

    usaha, dan otonomi unit usaha.

    (2) Harga Transfer Berdasarkan Biaya (Cost-Method Transfer Prices)

    Harga yang berdasarkan pada biaya produksinya. Biaya yang

    digunakan dalam harga transfer berdasarkan biaya dapat merupakan biaya

    aktual (actual cost) atau biaya yang dianggarkan (budget cost). Transfer

    berdasarkan biaya merupakan suatu mark-up atau profit margin yang

    menggambarkan tingkat pengembalian investasi suatu unit usaha:

  • 28

    (a) biaya variabel aktual (actual variable costs)

    (b) biaya tetap standar (standard fixed costs)

    (c) biaya tetap aktual (actual fixed costs)

    (d) biaya total standar (standard full costs)

    (e) biaya rata-rata (average costs)

    (f) biaya total ditambah laba (full costs plus mark-up)

    Penentuan harga transfer berdasarkan biaya dalam konsep ini

    sederhana dan menghemat sumber daya karena informasi biaya tersedia

    pada setiap tingkat aktivitas.

    (3) Harga Transfer Berdasarkan Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)

    Pemberian tingkat otoritas dan pengendalian laba per divisi secara

    memadai menghendaki kemungkinan penentuan harga transfer berdasarkan

    negosiasi. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa kedua unit usaha

    mempunyai posisis tawar-menawar yang sama, namun penentuan harga

    transfer yang demikian akan memakan waktu, mengulang pemeriksaan serta

    revisi harga transfer.

    (4) Harga Transfer Berdasarkan Biaya Total (Full Cost Based Transfer Prices)

    Dalam praktiknya, beberapa perusahaan menggunakan harga transfer

    berdasarkan full cost. Untuk menaksir suatu harga mendekati harga

    pasarnya, harga transfer berdasarkan biaya terkadang dibuat pada full cost

    ditambah dengan suatu margin.

    (5) Harga Transfer Arbitrase (Arbitrary Transfer Prices)

  • 29

    Dalam pendekatan ini, harga transfer ditentukan berdasarkan

    interaksi kedua unit usaha pada tingkat yang dianggap terbaik bagi

    kepentingan perusahaan.

    (6) Harga Transfer Ganda (Double Transfer Prices)

    Beberapa perusahaan memilih penetapan harga ganda menggunakan

    metode penetapan harga transfer terpisah untuk menentukan harga setiap

    transfer dari satu subunit ke subunit lainnya. Meskipun metode ini

    mendukung tercapainya goal congruence perusahaan, pada praktiknya

    metode harga transfer ini jarang digunakan.

    4. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principal)

    a. Definisi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

    Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha ini merupakan sebuah standar

    internasional untuk menentukan harga transfer. Dalam Pasal 9 ayat 1 dari

    OECD Model Tax Convention, dikatakan bahwa Arm’s Length Principal

    sebagai keadaan yang diberlakukan di antara kedua pihak dalam hubungan

    dagang atau hubungan keuangan yang dibuat pada perusahaan independen.

    Norma Arm’s Length Principal juga mensyaratkan perlunya analisis

    kesebandingan dalam aplikasinya sehingga diperlukan perbandingan antara

    kondisi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan kondisi yang

    independen atau tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (Danny dan

    Darussalam, 2013:90).

    Menurut Kurniawan (2015:202), wajib pajak dalam melakukan

    transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib

  • 30

    menerapkan prinsip ini. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dilakukan

    dengan langkah-langkah sebagai berikut:

    (1) Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding.

    (2) Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat.

    (3) Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil

    analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat

    ke dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang

    mempunyai hubungan istimewa.

    (4) Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau

    laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang

    berlaku.

    b. Metode Penentuan Harga Wajar

    Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam menentukan harga

    pasar wajar (Arm’s Length Price). Tujuan dari metode-metode tersebut adalah

    untuk memastikan bahwa transaksi yang terjadi antara perusahaan perusahaan

    yang memiliki hubungan istimewa telah memenuhi harga pasar wajar dengan

    konsisten atau harga transfer yang paling sesuai (the most appropriate method).

    Menurut Kurniawan (2015:206), terdapat lima metode penentuan harga

    wajar, yaitu:

    (1) Metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan

    istimewa (Comparable Uncontrolled Pricing / CUP method)

    Metode ini dilakukan untuk membandingkan harga transfer yang

    dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan

  • 31

    harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak

    yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan

    yang sebanding. Secara teoritis, metode ini termasuk yang paling baik,

    namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala, misalnya

    perbedaan kuantitas, kualitas, kondisi, waktu penjualan, merek dagang,

    pangsa pasar, dan geografis pasar. Kondisi yang tepat dalam menerapkan

    metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan

    istimewa, adalah:

    (a) Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang

    identik dalam kondisi yang sebanding.

    (b) Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai

    hubungan istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai

    hubungan istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang

    tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk

    menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.

    (2) Metode harga penjualan kembali (Resale Price Method)

    Metode ini dilakukan dengan membandingkan harga dalam

    transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai

    hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah

    dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi aset dan resiko atas

    penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak memiliki

    hubungan istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam

    kondisi wajar. yang ditransfer ke anggota grup lainnya untuk dijual

    kembali.

  • 32

    (3) Metode biaya-plus (Cost Plus Pricing Method)

    Metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor

    wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak

    yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar

    yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi yang sebanding yang tidak

    mempunyai hubungan istimewa dengan pihak pada harga pokok penjualan

    yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Metode

    ini umumnya dipakai dalam hal penyerahan barang setengah jadi

    (semifinished product) atau terdapat kontrak penggunaan fasilitas Bersama

    atau kontrak jual-beli jangka panjang antara pihak-pihak yang mempunyai

    hubungan istimewa.

    (4) Metode pembagian laba (Profit Split Method)

    Metode penentuan harga transfer berbasis laba transaksional yang

    dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi

    yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa

    tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi

    yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi

    dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan

    istimewa dengan menggunakan metode kontribusi atau metode sisa

    pembagian laba.

    (5) Metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method)

    Metode ini dilakukan dengan membandingkan presentase laba

    bersih operasi terhadap biaya, penjualan, aktiva atau dasar lain atas

    transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan

  • 33

    presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding

    dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau

    presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang

    dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya.

    5. Hubungan Istimewa

    Hubungan istimewa (related parties) adalah hubungan yang terjadi antara

    dua wajib pajak atau lebih yang menyebabkan pajak penghasilan yang terutang

    antara wajib pajak tersebut menjadi lebih kecil daripada yang seharusnya. Menurut

    Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang PPh, hubungan istimewa diantara wajib pajak dapat

    terjadi karena ketergantungan atau ketertarikan satu dengan yang lain. Pasal 18 ayat

    4 UU PPh menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan terjadinya hubungan

    istimewa, antara lain:

    a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling

    rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan

    antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima

    persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua

    Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

    b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak

    berada dibawah penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung.

    c. Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dalam garis

    keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

    Sedangkan menurut Undang-Undang PPN Pasal 2 ayat 2 hubungan

    istimewa dianggap ada apabila:

  • 34

    a. Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25%

    (dua puluh lima persen) atau lebih kepada pengusaha lain, atau hubungan antara

    pengusaha dengan pertanyaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua

    pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pengusaha atau lebih

    yang disebut terakhir.

    b. Pengusaha menguasai pengusaha lainnya atau dua atau lebih pengusaha berasa

    di bawah penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung.

    c. Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dalam garis

    keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

    Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 (Revisi

    2009), definisi dari pihak-pihak berelasi (dulunya disebut pihak-pihak yang

    mempunyai hubungan istimewa) adalah orang atau entitas yang berkaitan dengan

    entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya:

    a. Orang atau anggota keluarga terdekat mempunyai relasi jika:

    (1) memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;

    (2) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau

    (3) personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas

    pelapor.

    b. Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika (salah satu):

    (1) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang

    sama.

    (2) Suatu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas

    lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota

    suatu kelompok usaha, dimana entitas lain tersebut adalah anggotanya).

  • 35

    (3) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang

    sama.

    (4) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang

    lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.

    (5) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pasca kerja untuk

    imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait

    dengan entitas pelapor.

    (6) Entitas yang dkendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang

    diidentifikasi dalam butir (a).

    (7) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (1) memiliki pengaruh

    signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau

    entitas induk dari entitas).

    6. Pajak

    a. Definisi pajak menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan

    Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP):

    ”Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

    atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

    mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

    bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

    b. Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro (Mardiasmo, 2018) menyatakan:

    “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang

    dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat

    ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

    c. Definisi pajak menurut S. I. Djajadiningrat (Resmi, 2014), menyatakan bahwa:

  • 36

    “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan

    kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang

    memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut

    peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi

    tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan

    umum.”

    7. Pajak Penghasilan Badan

    a. Definisi Pajak Penghasilan Badan

    Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1, pajak

    penghasilan yaitu pajak negara atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang

    diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun

    dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah

    kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Pajak Penghasilan badan adalah

    pajak yang dikenakan atas penghasilan yang di terima oleh badan.

    Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan

    baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha meliputi perseroan

    terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara

    atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,

    kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

    massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk

    badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

    b. Subjek Pajak Penghasilan Badan

    Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 2 yang menjadi

    subjek pajak penghasilan badan adalah:

  • 37

    (1) Subjek Pajak Badan dalam negeri yaitu badan yang didirikan atau bertempat

    kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah.

    (2) Subjek Pajak Badan luar negeri yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak

    bertempat di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

    melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, dan atau badan yang tidak

    didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima

    penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui Bentuk Usaha

    Tetap (BUT) di Indonesia.

    c. Objek Pajak Penghasilan Badan

    Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1 yang

    menjadi objek pajak penghasilan badan adalah:

    (1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

    diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,

    bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali

    ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

    (2) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

    (3) laba usaha;

    (4) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

    (a) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan

    badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

    (b) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,

    atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

  • 38

    (c) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

    pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan

    dalam bentuk apa pun;

    (d) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau

    sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam

    garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan

    pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi

    yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur

    lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada

    hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di

    antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

    (e) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak

    penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan

    dalam perusahaan pertambangan;

    (5) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya

    dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

    (6) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

    pengembalian utang;

    (7) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

    perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

    koperasi;

    (8) royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

    (9) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

  • 39

    (10) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

    (11) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah

    tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

    (12) keuntungan selisih kurs mata uang asing;

    (13) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

    (14) premi asuransi;

    (15) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang

    terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

    (16) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

    dikenakan pajak;

    (17) penghasilan dari usaha berbasis syariah;

    (18) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang

    mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

    (19) surplus Bank Indonesia.

    d. Tarif Pajak Penghasilan Badan

    (1) PPh Pasal 17 ayat 1 huruf b

    Tarif PPh ini diterapkan kepada wajib pajak badan dalam negeri dan

    bentuk usaha tetap. Pada tahun 2009, tarif tunggal ditetapkan sebesar 28%

    dan diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Tarif sebesar 25% efektif

    berlaku untuk tahun 2010 dan seterusnya. Sehingga cara menghitung PPh

    badan adalah 25% × Penghasilan Kena Pajak (taxable income).

  • 40

    (2) PPh Pasal 17 ayat 2b

    Pengurangan tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif normal yang

    diterapkan kepada wajib pajak badan dalam negeri (WPDN) berbentuk

    perseroan terbuka. Wajib pajak harus memenuhi syarat berikut ini:

    (a) Paling sedikit sebesar 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor

    dicatat untuk diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).

    (b) Saham sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dimiliki paling sedikit

    oleh 300 pihak.

    (c) Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dan

    keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh.

    (d) Ketentuan dari poin-poin di atas harus dipenuhi dalam waktu paling

    singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu 1 tahun pajak.

    (3) PPh Final 0,5%

    Pemerintah telah mengatur tarif PPh yang dibedakan berdasarkan

    skala bisnis suatu badan. Seperti halnya wajib pajak badan (peredaran bruto

    di bawah Rp4,8 Miliar serta belum wajib melakukan pembukuan) diberi

    fasilitas untuk memanfaatkan tarif PPh Final sebesar 0,5%.

    8. Ukuran Perusahaan

    Ukuran perusahaan ialah sebuah nilai yang menunjukkan besar atau kecilnya

    perusahaan. Ukuran perusahaan pada dasarnya adalah pengelompokan perusahaan

    menjadi beberapa kelompok yaitu perusahaan kecil, perusahaan menengah, dan

    perusahaan besar. Ketentuan untuk ukuran perusahaan diatur dalam Undang-

    Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Kekayaan

    bersih untuk Usaha Menengah adalah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta

    https://klikpajak.id/blog/penghitungan-pajak/pembayaran-pph-final/

  • 41

    rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar

    rupiah). Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan

    usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari

    Usaha Menengah atau lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar

    rupiah), yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan

    usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Perusahaan

    Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2016-2018

    termasuk ke dalam kategori usaha besar karena memiliki kekayaan bersih lebih dari

    Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

    Semakin besar jumlah asset perusahaan, maka semakin besar pula ukuran

    perusahaan tersebut. Semakin besar aset suatu perusahaan dapat disimpulkan bahwa

    kompleksitas yang dimiliki perusahaan juga bertambah luas, termasuk pengambilan

    keputusan-keputusan yang dilakukan oleh manajemen. Menurut Hartono (2008),

    ukuran perusahaan adalah besar kecilnya perusahan dapat diukur dengan total aktiva

    atau besar harta perusahaan dengan menggunakan perhitungan nilai logatima dari

    total aktiva.

    Ukuran Perusahaan (SIZE) = Ln (Total Asset)

    9. Tax Haven Country

    Tax haven country adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja

    memberikan fasilitas pajak, berupa penetapan tarif pajak yang rendah atau bahkan

    tidak mengenakan pajak sama sekali. Hal ini bertujuan agar penghasilan penduduk

    negara lain bisa dialihkan ke negara tersebut (Kurniawan, 2015:189).

  • 42

    Menurut OECD, ada empat faktor utama yang digunakan untuk menentukan

    apakah suatu negara merupakan tax haven:

    a. Negara tidak mengenakan pajak atau hanya nominal saja.

    b. Tidak ada transparansi.

    c. Memiliki ketentuan dan praktik administrasi yang menghambat pertukaran

    informasi dengan negara lain terkait dengan wajib pajak yang mendapat

    keuntungan dari tidak adanya pengenaan pajak.

    d. Tidak ada kewajiban untuk adanya aktivitas secara subtansial.

    Sedangkan The United States Government Accountability Office memberikan

    5 karakteristik tax haven country, sebagai berikut:

    a. Tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja.

    b. Tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.

    c. Tidak ada transparansi dalam pelaksanaan Undang-Undang dan peraturan

    pelaksanaannya.

    d. Tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada

    negara itu.

    e. Mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center.

    Definisi tax haven country bisa berbeda-beda di setiap masing-masing

    negara, tergantung pada ketentuan masing-masing negara mendefinisikan tax haven

    country. Berikut ini adalah negara-negara tax haven menurut Gravelle (2015):

  • 43

    Tabel 2.1

    Daftar Negara Tax Haven

    Caribbean / West Indies

    Anguilla, Antigua and Barbuda, Aruba, Bahamas, Barbados,

    British Virgin Islands, Cayman Islands, Dominica, Grenada,

    Montserrat, Netherlands Antilles, St. Kitts and Navis, St. Lucia,

    St. Vincent and Grenadines, Turks and Caicos, U.S. Virgin

    Islands

    Central America Belize, Costa Rica, Panama

    Coast of East Asia Hong Kong, Macau, Singapore

    Europe / Mediterranean

    Andorra, Channel Islands (Guernsey and Jersey), Cyprus,

    Gibralter, Isle of Man, Ireland, Liechtenstein, Luxembourg,

    Malta, Monaco, San Marino, Switzerland

    Indian Ocean Maldives, Mauritius, Seychelles

    Middle East Bahrain, Jordan, Lebanon

    North Atlantic Bermuda

    Pacific, South Pacific Cook Islands, Marshall Islands, Samoa, Nauru, Niue, Tonga,

    Vanuatu

    10. Kualitas Audit

    Menurut Arens, et al. (2017:41) audit adalah pengumpulan data dan evaluasi

    bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian

    antara informasi itu dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan

    oleh orang yang kompeten dan independen. Oleh karena itu, diperlukan adanya

    proses audit yang dilakukan oleh auditor. Kualitas audit dapat diartikan sebagai

    bagus atau tidaknya suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor. Menurut Dewi

  • 44

    dan Jati (2016), kualitas audit adalah segala kemungkinan yang dapat terjadi saat

    auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau

    kesalahan yang terjadi dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan. Dengan

    adanya pengauditan diharapkan dapat mengurangi kesalahan penyampaian

    informasi yang ada pada laporan keuangan sehingga dapat meningkatkan

    kepercayaan baik dari sisi manajemen perusahaan maupun pihak eksternal. Pihak

    eksternal seperti pemegang saham atau kreditor yang mengandalkan laporan

    keuangan untuk mengambil keputusan bisnis bisa diyakinkan lewat laporan auditor

    sebagai indikasi keandalan laporan keuangan tersebut.

    Komite Nasional Kebijakan Governance (2006:5), ada lima unsur penting

    dalam Corporate Governance yaitu Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness),

    Transparansi (Transparancy), Akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban

    (Responsibility), dan Independensi (Independency). Dalam melakukan audit, hal

    yang terpenting dalam pelaksanaannya adalah transparansi yang merupakan salah

    satu unsur dari Good Corporate Governance (GCG). Transparansi terhadap

    pemegang saham dapat dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada

    pasar modal dan pertemuan para pemegang saham. Karena asumsi adanya implikasi

    dari perilaku pajak yang agresif, perusahaan akan mengambil posisi agresif dalam

    hal pajak dan akan mencegah tindakan tersebut.

    Otoritas Jasa Keuangan menetapkan laporan keuangan tahunan yang telah

    diaudit sebagai salah satu syarat laporan tahunan emiten atau perusahaan publik

    dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.04.2016 tentang Laporan

    Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Berikut adalah dua cara untuk mengukur

    kualitas audit:

  • 45

    a. Reputasi Brand Name

    Teoh & Wong (1993) menggunakan ukuran auditor (KAP) dalam mengukur

    kualitas audit, dimana reputasi auditor dianggap berkorelasi dengan kualitas

    auditor. Tentunya auditor berkualitas tinggi mampu menghasilkan laporan audit

    yang lebih kredibel. Oleh karena itu, Teoh & Wong (1993) berpendapat bahwa

    kualitas audit dapat diukur lewat variabel dummy yang bernilai 1 dimana laporan

    keuangan perusahaan manufaktur diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Big

    Four, dan bernilai 0 apabila laporan keuangan perusahaan manufaktur diaudit

    oleh KAP Non Big Four. Kantor Akuntan Publik yang dinilai terpercaya dan

    terintegrasi adalah Price Waterhouse Cooper (PWC), Ernst & Young (EY),

    Deloitte, dan KPMG.

    b. Spesialisasi Industri Auditor

    Kasus kebangkrutan Enron yang diaudit oleh Arthur Andersen yang merupakan

    KAP Big Five melemahkan kepercayaan publik terhadap auditor, sehingga

    pengukuran kualitas audit dengan menggunakan reputasi brand name menjadi

    diragukan banyak orang. Craswell, Francis, & Taylor (1995) beranggapan bahwa

    kualitas audit dapat dibedakan lewat spesialisasi industri auditor, dimana KAP

    yang spesialis dianggap mampu memberikan audit yang lebih berkualitas

    dibanding KAP yang tidak spesialis. Dengan kata lain, spesialisasi industri

    auditor dapat didefinisikan sebagai penguasaan auditor atas suatu industri

    tertentu yang dapat mengakibatkan peningkatan kualitas audit. Terdapat

    beberapa kriteria yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam menentukan

    spesialisasi industri auditor, diantaranya:

    (1) Craswell et al. (1995) menentukan ambang batas spesialisasi industri auditor

    berdasarkan penelitian terdahulunya (Craswell & Taylor, 1991), dimana

  • 46

    auditor dikatakan spesialis apabila memiliki penguasaan industri sebesar

    10% atau lebih dengan syarat industri tersebut harus memiliki minimal 30

    perusahaan.

    (2) Krishnan (2003) mengemukakan bahwa auditor dikatakan spesialis apabila

    memiliki penguasaan industri di atas 15%.

    (3) Dunn & Mayhew (2004) menyatakan bahwa auditor dikatakan spesialis

    apabila memiliki penguasaan industri minimal 20%.

    B. Penelitian Terdahulu

    Tabel 2.2

    Penelitian Terdahulu

    1 Nama Peneliti Aida Yulia, Nurul Hayati, Rulfah M. Daud

    Tahun Penelitian 2019

    Judul Penelitian

    The Influence of Tax, Foreign Ownership and Company Size

    on the Application of Transfer Pricing in Manufacturing

    Companies Listed on IDX during 2013-2017

    Variabel Penelitian

    X1 : Tax

    X2 : Foreign Ownership

    X3 : Company Size

    Y : Transfer Pricing

    Hasil Penelitian Tax berpengaruh positif terhadap penerapan transfer

    pricing. Sedangkan Foreign Ownership dan Firm Size tidak

    berpengaruh terhadap aplikasi transfer pricing.

  • 47

    2 Nama Peneliti Lucky Nugroho, Brianditya Ridlo Wicaksono, Wiwik Utami

    Tahun Penelitian 2018

    Judul Penelitian

    Analysis of Taxes Payment, Audit Quality and Firm Size to

    the Transfer Pricing Policy in Manufacturing Firm in

    Indonesia Stock Exchange

    Variabel Penelitian

    X1 : Tax

    X2 : Audit Quality

    X3 : Firm Size

    Y : Transfer Pricing

    Hasil Penelitian

    Tax berpengaruh secara signifikan terhadap indikasi transfer

    pricing. Sedangkan Audit Quality dan Firm Size tidak

    berpengaruh secara signifikan terhadap indikasi transfer

    pricing.

    3

    Nama Peneliti Machfirah Aprilia Rezky, Fachrizal

    Tahun Penelitian 2018

    Judul Penelitian

    Pengaruh Mekanisme Bonus, Ukuran Perusahaan,

    Leverage, dan Multinationality Terhadap Keputusan

    Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang

    Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014

    Variabel Penelitian

    X1 : Mekanisme Bonus

    X2 : Ukuran Perusahaan

    X3 : Leverage

    X4 : Multinationality

    Y : Transfer Pricing

  • 48

    Hasil Penelitian

    Mekanisme Bonus, Ukuran Perusahaan, Leverage, dan

    Multinationality berpengaruh terhadap keputusan Transfer

    Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di

    Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014

    4

    Nama Peneliti Ratna Dewi Kusumasari, Sri Fadilah, Edi Sukarmanto

    Tahun Penelitian 2018

    Judul Penelitian

    Pengaruh Pajak, Kepemilikan Asing dan Ukuran

    Perusahaan Terhadap Transfer Pricing (Studi Empiris pada

    Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek

    Indonesia Tahun 2012-2016)

    Variabel Penelitian

    X1 : Pajak

    X2 : Kepemilikan Asing

    X3 : Ukuran Perusahaan

    Y : Transfer Pricing

    Hasil Penelitian

    Pajak dan Kepemilikan Asing berpengaruh positif terhadap

    Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang

    Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2016.

    Sedangkan, Ukuran Perusahaan berpengaruh negative

    terhadap Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur

    yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2016

    5 Nama Peneliti Ria Rosa, Rita Andini, Kharis Raharjo

    Tahun Penelitian 2017

    Judul Penelitian

    Pengaruh Pajak, Tunneling Insentive, Mekanisme Bonus,

    Debt Covenant dan Good Corporate Governance (GCG)

    Terhadap Transaksi Transfer Pricing (Studi Pada

    Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

    Indonesia tahun 2013-2015)

  • 49

    Variabel Penelitian

    X1 : Pajak

    X2 : Tunneling Insentive

    X3 : Mekanisme Bonus

    X4 : Debt Covenant

    X5 : Good Corporate Governance (GCG)

    Y : Transfer Pricing

    Hasil Penelitian

    Debt Covenant dan Good Corporate Governance (GCG)

    berpengaruh positif terhadap transfer pricing. Sedangkan

    Pajak, Tunneling Insentive, dan Mekanisme Bonus tidak

    berpengaruh positif terhadap transfer pricing.

    6 Nama Peneliti Muhammad Rheza Ramadhan

    Tahun Penelitian 2017

    Judul Penelitian Faktor-Faktor Penentu Agresivitas Tranfer Pricing

    Variabel Penelitian

    X1 : Multinasionalitas

    X2 : Tax Haven Country

    X3 : Ukuran Perusahaan

    X4 : Profitabilitas

    X5 : Leverage

    X6 : Intangible Asset

    X7 : Kompensasi Kerugian

    X8 : Selisih Kompensasi Kerugian

    Y : Agresivitas Transfer Pricing

  • 50

    Hasil Penelitian

    Multinasionalitas, Pemanfaatan Tax Haven Country,

    Kompensasi Kerugian, Selisih Kompensasi Kerugian

    berpengaruh positif secara signifikan terhadap agresivitas

    transfer pricing. Sedangkan Ukuran Perusahaan,

    Profitabilitas, Leverage, dan Intangible Asset tidak

    berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing.

    7 Nama Peneliti Thesa Refgia

    Tahun Penelitian 2017

    Judul Penelitian

    Pengaruh Pajak, Mekanisme Bonus, Ukuran Perusahaan,

    Kepemilikan Asing dan Tunneling Incentive Terhadap

    Transfer Pricing (Perusahaan Sektor Industri Dasar dan

    Kimia yang Listing di BEI Tahun 2011-2014)

    Variabel Penelitian

    X1 : Pajak

    X2 : Mekanisme Bonus

    X3 : Ukuran Perusahaan

    X4 : Kepemilikan Asing

    X5 : Tunneling Incentive

    Y : Transfer Pricing

    Hasil Penelitian

    Pajak, Kepemilikan Asing dan Tunneling Incentive

    berpengaruh terhadap Transfer Pricing. Sedangkan

    Mekanisme Bonus dan Ukuran Perusahaan tidak

    berpengaruh terhadap Transfer Pricing.

    8 Nama Peneliti Dwi Noviastika F., Yuniadi Mayowan, Suhartini Karjo

    Tahun Penelitian 2016

  • 51

    Judul Penelitian

    Pengaruh Pajak, Tunneling Incentive dan Good Corporate

    Governance (GCG) Terhadap Indikasi Melakukan Transfer

    Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di

    Bursa Efek Indonesia (Studi Pada Bursa Efek Indonesia

    yang Berkaitan dengan Perusahaan Asing)

    Variabel Penelitian

    X1 : Pajak

    X2 : Tunneling Incentive

    X3 : Good Corporate Governance (GCG)

    Y : Transfer Pricing

    Hasil Penelitian

    Pajak dan Tunneling Incentive berpengaruh positif secara

    signifikan terhadap indikasi melakukan Transfer Pricing.

    Sedangkan Good Corporate Governance (GCG)

    berpengaruh tidak signifikan terhadap indikasi melakukan

    Transfer Pricing.

    9 Nama Peneliti Waworuntu S. R. dan Hadisaputra R.

    Tahun Penelitian 2016

    Judul Penelitian

    Determinants of Transfer Pricing Aggresiveness in

    Indonesia

    Variabel Penelitian

    X1 : Firm Size

    X2 : Profitability

    X3 : Leverage

    X4 : Intangible Asset

    X5 : Multinationality

    X6 : Tax Haven Utilisation

    Y : Transfer Pricing Aggresiveness

  • 52

    Hasil Penelitian

    Firm Size dan Leverage berpengaruh positif signifikan

    terhadap agresivitas Transfer Pricing. Intangible Asset dan

    Multinationality berpengaruh negatif signifikan terhadap

    agresivitas Transfer Pricing. Sedangkan Profitability dan

    Tax Haven Utilisation tidak berpengaruh signifikan

    terhadap agresivitas Transfer Pricing.

    10

    Nama Peneliti Grant Richardson, Grantley Taylor, Roman Lanis

    Tahun Penelitian 2013

    Judul Penelitian

    Determinants of Transfer Pricing Aggresiveness: Empirical

    Evidence from Australia Firms

    Variabel Penelitian

    X1 : Firm Size

    X2 : Profitability

    X3 : Leverage

    X4 : Intangible Asset

    X5 : Multinationality

    X6 : Tax Haven Utilization

    Y : Transfer Pricing Aggresiveness

    Hasil Penelitian Firm Size, Profitability, Leverage, Intangible Assets dan

    Multinationality berpengaruh positif signifikan terhadap

    agresivitas Transfer Pricing.

  • 53

    C. Kerangka Pemikiran

    1. Pengaruh Pajak penghasilan badan terhadap Agresivitas Transfer Pricing

    Transfer Pricing merupakan tindakan yang dilakukan oleh perusahaan untuk

    menghindari pembayaran pajak yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pajak

    penghasilan badan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas

    transfer pricing. Perusahaan akan melakukan penghematan pajak dimana perusahaan

    akan melaporkan laba yang lebih rendah pada laporan keuangannya yang

    menyebabkan beban pajak badan perusahaan pun menjadi lebih rendah. Semakin

    tinggi pajak penghasilan badan, maka semakin tinggi tingkat agresivitas transfer

    pricing suatu perusahaan. Dan sebaliknya, jika semakin rendah pajak penghasilan

    badan suatu perusahaan, maka semakin rendah tingkat agresivitas transfer pricing.

    Penelitian yang dilakukan oleh Refgia (2017) menyatakan bahwa semakin tinggi tarif

    pajak suatu negara maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan

    memanipulasi agar mengalihkan penghasilannya kepada perusahaan di negara yang

    memiliki tarif pajaknya lebih sedikit atau dengan kata lain perusahaan akan

    cenderung melakukan kebijakan transfer pricing.

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pajak penghasilan (PPh) badan

    berpengaruh secara positif terhadap agresivitas transfer pricing yang ditunjukkan

    dalam penelitian yang dilakukan oleh Yulia et al. (2019), Kusumasari et al. (2018),

    Refgia (2017), Noviastika (2016) dan Yuniasih et al. (2012) dimana penelitian-

    penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pajak berpengaruh positif terhadap

    keputusan perusahaan untuk melakukan kebijakan transfer pricing.

  • 54

    2. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Agresivitas Transfer Pricing

    Ukuran perusahaan ialah sebuah nilai yang menunjukkan besar atau kecilnya

    perusahaan. Ukuran perusahaan dapat menentukan banyak sedikitnya praktik

    transfer pricing pada perusahaan. Ukuran perusahaan akan sangat penting bagi

    investor karena akan berhubungan dengan risiko investasi yang dilakukan

    perusahaan yang memiliki total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut

    telah mencapai tahap kedewasaan di mana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah

    positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif

    lebih lama (Kiswanto & Purwaningsih, 2014). Perusahaan-perusahaan besar yang

    memiliki keuntungan besar cenderung akan terlibat dalam transaksi untuk

    menghindarkan pajak. Di beberapa kasus perusahaan besar cenderung memiliki

    masalah pembayaran pajak yang tinggi, oleh sebab itu beberapa perusahaan

    melakukan berbagai cara agar pembayaran pajak menjadi rendah, salah satunya

    dengan cara melakukan kebijakan transfer pricing. Semakin besar ukuran

    perusahaan maka akan semakin tinggi tingkat agresivitas transfer pricing.

    Hal ini sejalan dengan beberapa peneliti sebelumnya seperti yang dilakukan

    oleh Richardson et al. (2013), Waworuntu & Hadisaputra (2016), Rezky et al. (2018)

    serta Pradana (2018) yang menunjukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh

    positif terhadap agresivitas transfer pricing.

    3. Pengaruh Tax Haven Country terhadap Agresivitas Transfer Pricing

    Tax haven country adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja

    memberikan fasilitas pajak, berupa penetapan tarif pajak yang rendah atau bahkan

    tidak mengenakan pajak sama sekali. Hal ini bertujuan agar penghasilan penduduk

    negara lain bisa dialihkan ke negara tersebut (Kurniawan, 2015:189). Pemanfaatan

  • 55

    tax haven countries adalah usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendirikan

    usahanya di negara-negara yang menyediakan fasilitas pajak. Tax haven country juga

    menawarkan penghindaran pajak melalui transfer pricing dengan mengizinkan realokasi

    penghasilan kena pajak untuk pajak rendah dan dengan mengurangi jumlah pajak dalam

    negeri yang dibayar atas penghasilan. Secara khusus, penghindaran pajak dapat dicapai

    melalui transfer pricing dengan mentransfer barang ke negara-negara dengan tingkat

    pajak penghasilan rendah (misalnya bebas pajak) dan dengan memindahkan barang dari

    negara-negara tersebut dengan harga pengalihan tertinggi.

    Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan dan Kustiani (2017) dan

    Richardson et al. (2013) tentang faktor-faktor penentu agresivitas transfer pricing

    menyatakan bahwa variabel tax haven country berpengaruh positif secara signifikan

    terhadap agresivitas transfer pricing yang artinya perusahaan yang memiliki

    transaksi dengan pihak berelasi di tax haven country memiliki kecenderungan yang

    lebih besar dalam melakukan agresivitas transfer pricing.

    4. Pengaruh Kualitas Audit terhadap Agresivitas Transfer Pricing

    Kualitas audit merupakan salah satu komponen dari Good Corporate

    Governance (GCG). Kualitas audit adalah segala kemungkinan yang dapat terjadi

    saat auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau

    kesalahan yang terjadi dalam laporaan keuangan auditan (Dewi, 2016). Dengan

    adanya pengauditan diharapkan dapat mengurangi kesalahan penyampaian informasi

    yang ada pada laporan keuangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan baik dari

    sisi manajemen perusahaan maupun pihak eksternal. Menurut Rosa (2017), kualitas

    audit juga didasarkan pada pertimbangan yang mencakup beberapa unsur yang ada

    dalam Good Corporate Governance (GCG) yaitu keterbukaan, keadilan,

    akuntabilitas dan keberlanjutan.

  • 56

    KAP Big Four dianggap memiliki integritas yang tinggi serta di beri

    kepercayaan oleh banyak perusahaan, sehingga KAP Big Four dipercaya mampu

    mendorong perusahaan agar tetap transparan dalam melaporkan transaksi transfer

    pricing di SPT Tahunan serta tetap patuh dengan ketentuan-ketentuan pajak yang

    sudah ditetapkan oleh pemerintah yang terkait dengan transaksi transfer pricing. Jika

    suatu laporan keuangan perusahaan di audit oleh KAP Big Four, maka perusahaan

    tersebut dianggap semakin bisa untuk melakukan penghematan pajak dalam hal ini

    adalah melakukan kebijakan transfer pricing. Sehingga dapat dikatakan bahwa

    semakin baik kualitas audit dari suatu perusahaan, maka semakin tinggi tingkat

    agresivitas transfer pricing. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rosa et

    al. (2017) yang menunjukkan bahwa kualitas audit berpengaruh positif terhadap

    transfer pricing. Kualitas audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap transfer

    pricing dikarenakan perusahaan yang diaudit oleh KAP the big ten memang akan

    lebih cenderung dipercayai oleh fiskus karena KAP tersebut memiliki reputasi yang

    baik, memiliki integritas yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Noviastika et

    al. (2016) juga menunjukkan hasil bahwa kualitas audit berpengaruh positif tidak

    signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing. Sedangkan hasil penelitian

    yang dilakukan oleh Nugroho et al. (2018) mengemukakan bahwa kualitas audit

    tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan transfer pricing.

    Berdasarkan penjelasan diatas, maka secara skematis dibuat kerangka pemikiran

    sebagai berikut:

  • 57

    Gambar 2.1

    Kerangka Pemikiran

    D. Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis

    sebagai berikut:

    H1 : Pajak penghasilan badan berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.

    H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.

    H3 : Tax Haven country berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.

    H4 : Kualitas audit berpengaruh positif terhadap agresivitas transfer pricing.

    Pajak penghasilan badan

    (X1)

    Ukuran Perusahaan (X2)

    Tax Haven Country (X3)

    Kualitas Audit (X4)

    Agresivitas Transfer

    Pricing (Y)