Upload
trantram
View
372
Download
46
Embed Size (px)
Citation preview
21
BAB II
IlMUMA’A>NI>DALAM BALAGHAH
A. Pengertian Ilmu Ma’a>ni>.
Pada awalnya struktur ilmu balaghah belumlah lengkap seperti saat ini.
Setelah mengalami berbagai fase perkembangan danpenyempurnaan akhirnya
disepakatibahwa ilmu ini membahas tiga kajian utama,yaitu ilmu bayân, ilmu
ma’a>ni> dan ilmu badi>’.
Secara umum, sebenarnya tujuan ketiga cabang dari Ilmu Balaghah ini
sama, yaitu bagamana cara mengungkapkan sesuatu yang indah dengan cara yang
indah pula. Untuk itu, perlu pemahaman lebih lanjut mengenai keilmuan ini (ilmu
ma’a>ni>). Fokus kajian ilmu ma’an>i adalah membahas bagaimana mengungkapkan
suatu ide atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Ilmu ini
disusun untuk menjelaskan keistimewaan dan keindahan susunan bahasa Al-
Qur’an dan segi kemukjizatannya yang disusun setelah muncul dan
berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. 1
Ma’a>ni> ( معانى ) merupakan bentuk jamak dari ma’na> ( معنى ). Secara
leksikal katatersebut berarti maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayan
mendefinisikannyasebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang
ada dalam pikiranatau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.2
1In’amFawwalAkkawi, Mu’jamMufasshal fi ‘Ulum al-Balaghah : al-Badi’, wa al-Bayan, wa al-Ma’ani, Cet. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), 146 2 ibid
22
Sedangkan menurut istilah Ilmu Ma’a>ni> adalah sebagai berikut.
علم یعرف بھ أحوال اللفظ العربي التى بھا یطابق مقتضى الحال
Ilmu untuk mengetahuihal-ihwal lafadz bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.3
Ilmu Ma’a>ni> juga dapat dipahami sebagai ilmu yang mengandung kaidah-
kaidah yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan kualitas kalimat dari sisi
kesesuaian kalimat itu dengan konteksnya. 4 menurut Abdul jabbarkefasihan
sebuah kalimat tidak hanya tampak dari struktur kalimat itu sendiri, melainkan
juga dari ketersesuaian dengan kondisi tempat munculnya kalimat tersebut.5
Yang dimaksud dengan hal ihwal lafadzbahasa Arab adalah model-
modelsusunan kalimat dalam bahasa Arab, seperti penggunaan taqdîm
danta’khîr, penggunaan ma’rifat atau nakirah, disebut (dzikr) atau dibuang
(hadzf),dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi dan kondisi
adalahsituasi dan kondisi mukhathab, seperti keadaan kosong dari informasi itu,
atauragu-ragu, atau malah mengingkari informasi tersebut. Ilmu Ma’a>ni> pertama
kalidikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzani.6
Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama balaghah bahwa ilmu
Ma’a>ni>bertujuan membantu agar seseorang dapat berbicara sesuai dengan
muqtad}al-h}al. Berkenaan dengan hal tersebut, maka seseorang harus mengetahui
bentuk-bentuk kalimat dalam bahasa Arab, sehingga seseorang dapat mengetehui 3Irbabullubab dan Dja’far Amir, Balaghah 1,(Surakarta: Toha Putra, 1969), 43 4Al-Hasyimi, Jawa>hir al-Bala>ghah, 45 5Roja’ ‘Aid, Falsafah al-BalaghahBaina al-Taqniyyah wa al-Tat}awwur, (Iskandaria, Nas’at al Ma’a>ri>f, Tth), 62 6 Ibid
23
kapan harus mengungkapkan dalam bentuk taqdi>m, ta’khi>r, washl, fas}l, dzikr,
hadzf, dan bentuk-bentuk lainnya.
B. Objek Kajian Ilmu Ma’a>ni>
Objek kajian ilmu ini mencakup tatanan kalimat dan bagian-bagiannya. Pada
tatanan kalimat ilmu ini mengkaji masalah fas{{l dan was{l, i>ja>z, musawa>t dan it}na>b.
Sedangkan pada tatanan bagian kalimat, ilmu ini membahas musnad dan musnadilaih.
untuk mengetahui lebih lanjut mengenai objek kajian ilmu ma’a>ni>ini, berikut penulis
paparkan secara detail.
1. Isna>d
a. Pengertian Isna>d
Term ini dipahami oleh para Ahli Balaghah dan gramatika Arab
adalah tersusunnya kalimat dari dua unsur utama yaitu musnaddan
musnadilaih dan keduanya terangkum dalam sebuah istilah yaitu
isna>d.isna>d merupakan term yang mengundang banyak kajian dan
persoalan. Al-Khabardianggap sebagai al-Musnad berimplikasi pada tidak
adanya hubungan khabar diposisikan dimana (sebelum atau sesudah
mubtada’) pun juga tidak ada kaitannya dengan bentuknya ma’rifah
maupun na>kirah. Namun di sisi lain al-Khabar adalah s}ifah. Sedangkan
al-mubtada’ adalah frasa nomina (‘Iba>rah ‘an al-Dza>ti).
24
Al-Ra>zi> mengatakan bahwa al-mubtada’ adalah al-maus}u>f
sedangkan al khabar adalah al s}ifah, maka salah satu dari keduanya harus
diletakkan lebih dulu dari yang lain.7 Padahal dari sisi makna keduanya
tidak perlu diperbincangkan mana yang lebih didahulukan, sehingga
dengan status keduanya yang seperti itu maka diletakkan di mana saja
tidak akan merubah substansi makna yang dikandungnya.
b. Keadaanmusnadilaih
خبروالفاعلوناءبھواسماءالنواسخالمسندالیھھوالمبتداءاللذیلھ
Musnadilaih adalah mubtada’ yang mempunyai khabar, fa’il, na>ib al fa>’il dan beberapa isim dari nawasikh.
Adapun keaadaan dari musnadilaih ini adalah disebutkan, dibuang,
dima’rifatkan, dinakirahkan, didahulukan dan diakhirkan.
1) Menyebutkan musnadilaih
Setiap lafadz yang menunujukkan suatu makna dalam susunan
kalimat adalah patut disebutkan untuk menyampaikan makna yang
dimaksudkan. Oleh karena itu, maka musnadilaih wajib disebutkan,
sekiranya tidak ada ha>latauqarinah yang menunjukkannya jika
dibuang, apabila tetap dibuang dalam kondisi tersebut maka kalimat
menjadi tidak dimengerti dan justru kabur juga maknanya yang
dimaksudkan tidak dapat menjadi jelas.
7Fakhr al-di>n Muhammmad Ibn ‘Umar al-Ra>zi>, Niha>yah al-I>ja>z, (Kairo: al-A>da>b al-Qa>hirah, 1317 H), 45
25
Namun kadangkala memang sengaja untuk tetap disebutkan
padahal terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinannya
musnadilaihdibuang. Dalam arti apabila dalam susunan kalimat tidak
ada tanda-tanda yang menunjukkan untuk membuang musnadilaih
atau terdapat tanda-tanda tetapi tidak ada tujuan yangmendorong
untuk membuangnya, maka musnadilaih harus disebutkan. Karena hal
yang demikian itu mempunyai tujuan dari sastra yang cukup banyak,
diantaranya adalah untuk menambah penetapan dan penjelasan kepada
pendengar dan untuk menunjukkan sedikitnya kepercayaan terhadap
tanda-tanda yang ada karena kelemahannya.
2) Membuang musnadilaih
Membuang musnadilaihadalah menyimpang dari ketentuan
yang asli. Masalah ini ada dua bagian, yaitu yang dibuang masih
tampak ketika dilakukan I’rab dan yang dibuang tidak tampak ketika
dilakukan I’rab. Yang kedua ini bisa diketahui jika diteliti makna dan
makna itu tidak sempurna kecuali dengan memperhatikannya.
Sehingga dapat diketahui bahwa bagian yang pertama tidak
mengandung makna sastra sedangkan yang kedua tampak kehalusan
sastra dan keindahan metodenya.
3) Mema’rifatkanmusnadilaih
Ketentuan musnadilaihadalah berupa isimma’rifat, sebab
sesuatu yang dihukumi selayaknya mesti diketahui dengan maksud
agar kondisi hukum memberi faidah. Perlu diketahui bahwa baik
26
isimma’rifat maupun isimnakirah adalah menunjukkan maksud
tertentu sehinga dapat sampai pada pengertiannya. Adapun caranya
mema’rifatkanmusnadilaih bisa dengan isim d}amir, isim ‘alam,
isimisharat, isimmaus}u>l, al (alif lam), id}afahdan nida’.
4) Menakirahkanmusnadilaih
Kadang-kadang musnadilaihdinakirahkan. Ini karena
mutakallimtidak mengerti suatu arah dari beberapa arah tujuan
mema’rifatkan, baik secara haqiqi maupun perkiraan. Seperti ucapan
.artinya lelaki yang bertanya tentang dirimu telah datan جاءھنرجلیسالعنك
Contoh ini diucapkan jika seseorang tidak mengerti apa yang
ditentukan, apakah itu nama diri, s}ilahatau yang lainnya.
5) Mendahulukan Musnadilaih
Tingkatan musnadilaihadalah didahulukan, hal ini dikarenakan makna
yang ditunjukkan adalah yang terlintas pertama kali di hati. Sebab
dihukumi dan mahkumilaih adalah dahulu dihukumi menurut
tabi’atnya maka dari itu didahulukan letaknya.
Ada beberapa macam hal yang mendorong untuk mendahulukan
musnadilaihitu diantaranya adalah:
a) Ta’jil al masarrah (menyegerakan kegembiraan), contohnya adalah
lafadz العفوعنكصدربھاالمر artinya pengampunan terhadapmu telah
keluar menjadi keputusan.
27
b) Menyegerakan kesusahan (ta’jil al masa>ah) seperti contoh kalimat
artinya hukuman qis}as} itu telah diputuskan ole القصاصحكمبھالقاضي
hakim
c) Menunjukkan rasa keinginan kepada makna yang diakhirkan bila
yang didahulukan mengisyaratkan keanehan seperti dalam syair
والذیحارتالبریةفیھ* حیوانمستخدثمنجماد artinya makhluk dimana manusia
bingung terhadapnya adalah binatang yang tercipta dari benda tak
bernyawa.
d) Menetukan ratanya peniadaan atau peniadaan secara merata
dengan cara mendahulukan perabot umum seperti lafadhكلجمیع
atas perlengkapan peniadaan contoh كلظالمالیفلح artinya setiap orang
zalim tak akan beruntung. Contoh tersebut diberi makna bahwa
tidak akan beruntung setiap orang-orang yang zalim. Bentuk yang
demikian dapat pula disebut dengan meratanyapeniadaan, dalam
arti peniadaannyamenyeluruskan untuk setiap satuan.
6) Mengakhirkanmusnadilaih
Musnadilaihdiakhirkan jikalaiu keadaan memang menghendaki
mendahulukan musnadsebagaimana akan datang penjelasannya. Musnad
adalah khabar, fi’il tam, isimfi’il, mubtada’ yang berupa isim sifat yang
cukup danmarfu’nya . beberapa khabar ‘amil nawasikh, masdaryang
mengganti dari fi’il.
2. Fas}l dan Was}l
28
a. Pengertian Fas}l
Secara leksikal Fas}lbermakna memisahkan, memotong, memecat,
dan menyapih.8 Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghahfas}l adalah
menggabungkan dua buah kalimat dengan tidak menggunakan huruf ‘at}af. 9
Untuk lebih jelasnya kita perhatikan contoh fas}l yang ada pada
surah al-Baqarah ayat 6:
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Pada ayat di atas terdapat aspek fas}l. Dinamakan fas}l karena ada
penggabungan dua buah kalimat, yaitu kalimat
dengan Pada penggabungan kedua kalimat tersebut tidak
digunakan huruf 'at}af.
b. Tempat-tempat Fas}l10
Penggabungan dua jumlah mesti menggunakan cara fas}l apabila
memenuhi persyaratan berikut ini:
1) Antara kalimat yang pertama dan kedua terdapat hubungan yang
sempurna. Dikatakan hubungan yang sempurna apabila kaitan antara
kalimat (jumlah) yang pertama dengan kalimat yang kedua merupakan
8Imam Al-Akhdhari, Ilmu Bala>ghah, (Bandung : al-Ma’arif, 1993), 34 9Ali Al-Jarim& Usman Musthafa, Al Balâghah al-Wa>d}ihah, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994), 56 10Hila>l dan Nurbaya>n, Maud}u>’a>t li al-Bala>ghah al-u>la>, Bandung : UPI, 1988), 67
29
hubungan tauki>d, baya>n, atau badal.
2) Antara kalimat pertama dan kedua berbeda sama sekali, seperti yang
pertama kala>m khabari> dan yang kedua kalâm insya>'i atau tidak ada
keterkaitan makna antar keduanya.
c. Pengertian Was}l11
Was}l menurut bahasa artinya menghimpun atau menggabungkan.
Sedangkan menurut istilah ilmu balaghah adalah menggabungkan suatu
kalimat dengan kalimat sebelumnya melalui huruf 'athaf. Was}l merupakan
kebalikan dari fas}l.
d. Tempat-tempat Was}l
Penggabungan dua kalimat mesti menggunakan huruf athaf'و'
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:12
1) Keadaan i’rab antar kedua kalimat tersebut sama hukumnya. Jika
suatu kalimat digabungkan dengan kalimat sebelumnya dan kedua
kalimat tersebut sama hukumnya, maka mesti menggunakan huruf
'athaf yaitu 'و'.
2) Kedua jumlah itu harus diwas}alkan ketika dikhawatirkan akan terjadi
kekeliruan jawaban.
3) Kedua jumlah sama-sama khabar atau insya>i dan mempunyai
keterkaitan yang sempurna. Selain itu pula dipersyaratkan tidak ada
11Muhsin Wahab dan Wahab Fuad , Pokok-pokok Ilmu Balâghah, Bandung : Angkasa, 1982), 59 12 Ibid, 65
30
indikator yang mengharuskan was}l.
3. I>ja>z
a. PengertianIjâz
Lafadz merupakan cara seseorang atau sekelompok orang dalam
suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa. Bunyi-bunyi tersebut
mempunyai simbol-simbol, baik yang berbentuk linguistik maupun non
linguistik.
Kuantitas lafadz yang menggambarkan suatu makna dalam bahasa
Arab bervariasi. Ada yang lafadznya sedikit, akan tetapi maknanya
melebihi jumlah lafadzya. Sebaliknya juga ada yang lafadznya banyak dan
diulang-ulang, akan tetapi maknanya lebih sedikit dari lafadz yang
diucapkannya. Dan ada juga penggunaan lafadz-lafadz dalam suatu kalimat
sebanding dengan makna yang dikandungnya. Dalam ilmu balaghah dikenal
istilah i>ja>z, it}na>b dan musa>wah.
I>ja>z merupakan salah satu bentuk pengungkapan. Secara leksikal i>ja>z
bermakna meringkas. Sedangkan dalam terminologi ilmu balaghah,i>ja>z
adalahmengumpulkanmakna yang banyak dengan menggunakan lafadz yang
sedikit, akan tetapi tetap jelas dan sesuai dengan maksud
pengungkapannya. 13
Maksud definisi di atas, i>ja>z bermakna menghadirkan makna
dengan lafadz yang lebih sedikit dari pada yang dikenal oleh orang-orang
yang pemahamannya pada tingkat sedang. Walaupun lafadznyalebih sedikit
13Imam Al-Akhdhari, Ilmu Bala>ghah,,,43
31
dari maknanya, akan tetapi pesan yang akan disampaikan oleh mutakallim
dapat terpenuhi. Suatu ungkapan yang singkat, dan tidak memerlukan
banyak kata-kata tidak dikatakan i>ja>z, jika pesan yang disampaikannya
belum terpenuhi. Efesiensi kata-kata dilakukan dengan tetap memenuhi
makna sebagai tujuan utama dari suatu tindak tutur. Contoh dalam surat
al-A’raf ayat 190 berikut ini:
Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Ayat di atas cukup pendek dan kata-katanya sedikit, akan tetapi
mengandung makna yang luas serta menghimpun akhlak-akhlak mulia
secara keseluruhan.
Tidak setiap perkataan yang singkat itu dinamakan i>ja>z. Suatu
perkataan yang lafazhnya lebih sedikit dari makna yang dikandungnya, akan
tetapi tidak dapat menampung makna yang dimaksud dinamakan ikhla>l
(cacat).14Ikhla>l adalah membuang satu atau beberapa kata pada suatu
kalimat, akan tetapi makna yang terkandung pada kalimat tersebut tidak
sempurna. Sehingga tidak tertutup kemungkinan timbulnya
kesalahpahaman.15
14Wahab Fuad, Pokok-pokok Ilmu Bala>ghah, 79 15Nurbaya>n, Maud}u>’a>t li al-Bala>ghah al-u>la>, 78
32
b. Pembagian Ijâz
Menurut Imam al-Akhdharii>ja>z terbagi dua, yaitu i>ja>z hadzfdan
i>ja>zqashr. Dalam kitab JauharMaknun, Imam Akhdhari mengatakan,16
Dan dengan ucapan yang lebih singkat dari ukurannya, itulah îjâz namanya Ijâz terbagi kepada îjâzqasar (singkat) dan îjâzhadzf (yang dibuang sebagian), Jauhilah tempat kefasikan! Janganlah kamu menemani orang fasik, tentu rusaklah kamu.
1) i>ja>zqas}r (Efisiensi dengan cara meringkas)
i>ja>z qas}r adalah kalimat i>ja>z dengan cara meringkas. Dalam
istilah ilmu ma’a>ni, i>ja>z qas}radalahbentuk susunan kalimat yang
makna-maknanya melebihi lafadznya.17
Kata-kata yang diungkapkan cukup banyak akan tetapi
lafadzyang digunakan sesedikit mungkin. Contoh i>ja>z qas}radalah
firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 164,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
16Imam al-Akhda>ri>, Ilmu Bala>ghah,terj.JauharMaknu>n, ( Bandung : PT. AlMa’arif, 1993), 48 17Usman Musthafa, Al Balâghah al-Wa>d}ihah, 77
33
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Ayat di atas telah mencakup berbagai macam perdagangan, dan
macam-macam kemanfaatan yang tidak dapat dihitung.
2) I>ja>z hadzf(Efisiensi dengan cara membuang)
Sebuah fenomena kebahasaan Arab yang menarik perhatian para
pakar balaghah adalah adanya beberapa kalimat yang kelihatan tidak
sempurna namun justru kalimat tersebut secara fungsional bisa
dipahami bahkan memberikan efek tertentubagi penerima pesan dari
kalimat tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari sering ada penggunaa
kalimat yang tidak lengkap namun mufi>d. seperti saat ada yang bertanya
kaifa ha>luka dan dijawab dengan bikhair, padahal jawaban tersebut
belum memiliki kesempurnaan secara gramatika, sedangkan jawaban
yang tepat secara gramatika adalah انا بخیر. Namun uniknya jawaban
bikhairsudah mampu memahamkan terhadap penanya.
Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh pakar ilmu ma’ani>
tentang adanya fenomena seperti ini antara lain untuk keindahan karya satra
khususnya pada syair-syair Arab dan untuk mengefektifkan sebuah ungkapan
karena sudah adanya qa>rinah wa dali>l (keterangan dan petunjuk) yang
menjelaskan bagian yang dihilangkan dalam kalimat tersebut. 18
18Roja’ ‘Aid, Falsafah al Balaghah, 81
34
I>ja>z hadzfadalah i>ja>z dengan cara membuang bagian dari
pernyataan dengan tetap tidak mengurangi makna yang
dimaksudkannya.19Selain itu pula terdapat qari>nah (indikator) yang
menunjukkan perkataan yang dibuang. Ungkapan yang dibuang dalam
kalimat i>ja>z bisa bermacam-macam antara lain:20
1). huruf, seperti firman Allah swt dalam surah Maryam 20
Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"
Pada ungkapan ayat di atas tepatnya pada ‘اك’ ada huruf
yang dibuang yaitu huruf ‘ن’. Pada ungkapan I>ja>z hadzfdisyaratkan
hendaknya terdapat dalil yang menunjukkan adanya lafadz yang
dibuang. Sebab jika tidak demikian, maka pembuangan tersebut
mengakibatkan kalimat menjadi tidak sempurna dan tidak
memenuhi kalimat yang sempurna.
3) Kata Isim yang berfungsi sebagai mud}a>f.
19Dja’far Amir, Balaghah , 59 20 Ibid, 61
35
Seperti firman Allah dalam surah al-Hajj ayat 78,
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.
4) Kata isimyang berfungsi sebagai mud}a>f ilaih, seperti firman Allah
dalam surah al-A’ra>f ayat 142:
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. dan berkata Musa kepada saudaranya Yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan".
36
c. Tujuankalâmi>ja>z
Kalâmi>ja>zmerupakan bentuk kalimat efisien. Untuk mengungkapkan
suatu makna cukup hanya dengan kalimat yang terbmatas. I>ja>zsebagai
bentuk kalimat merupakan ungkapan yang baik dan tepat untuk konteks
tertentu.21
Dalam praktek berbahasa, kala>m i>ja>z mempunyai tujuan-tujuan
sebagai berikut:22
1) Untuk meringkas
2) Untuk memudahkan hafalan
3) Mendekatkan pada pemahaman
4) Sempitnya konteks kalimat
5) Menyamarkan suatu hal terhadap selain pendengar
6) Menghilangkan perasaan bosan dan jenuh
7) Memperoleh makna yang banyak dengan lafadz yang hanya sedikit.
Suatu ungkapan akan dinilai baik jika memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti benar secara struktural, tepat dalam pemilihan diksi, dan
ungkapan tersebut diucapkan pada konteks yang tepat.
4. Ithna>b.
Ithna>badalah menambah lafadz atas maknanya. Penambahan tersebut
mempunyai fungsi dan makna. Dalam pengertian lain mendatangkan makna
21Akkawi, Mu’jamMufasshal fi ‘Ulum al-Balaghah : al-Badi’, wa al-Bayan, wa al-Ma’ani, 169 22 Ibid, 172
37
dengan perkataan yang melebihi apa yang telah dikenal oleh orang banyak
yang berfungsi untuk menguatkan dan mengukuhkannya.23
Dari penjelasan definisi tersebut jelas bahwa penambahan lafadz pada
Ithna>b signifikan dengan maknanya. Jika penambahan itu tidak ada
signifikansinya dan tidak tertentu dinamakan tat}wi>l. Sedangkan jika
tambahannya tertentu disebut hashwu.
Ithna>b mempunyai beberapa bentuk antara lain:24
a. Menyebutkan yang khusus setelah yang umum. Contoh,
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Pada ayat di atas Allah menyebutkan kata اsetelah kata
padahal kata ا merupakan bagian dari .Penyebutan
Ruhulqudus (Jibril) setelah malaikat merupakan penghormatan Allah
kepadanya. Hal ini seakan-akan Jibril berasal dari jenis lain. Faedah
penambahan kata tersebut untuk menghormati sesuatu yang bersifat
khusus.
b. Menjelaskan sesuatu yang umum. Contoh,
23Nurbaya>n, Maud}u>’a>t li al-Bala>ghah al-u>la>, 89 24Imam al-Akhda>ri>, Ilmu Bala>ghah,terj.JauharMaknu>n, 61
38
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"
Pada ayat di atas Allah menjelaskan bahwa syetan membisikkan
kepada Adam. Setelah itu dijelaskan isi dari bisikan tersebut.
5. Kalam khabari dan insya>i
Persoalan lain yang dikemukakan oleh pakar balaghah adalah ada dan
tidak adanya nilai kebenaran pada sebuah ungkapan. Dalam konteks ini
mereka membagi ungkapan menjadi dua yaitu khabar dan insya’. Khabar
dipahami sebagai ungkapan yang mengandung nilai kebenaran dan
kebohongan sedangkan insya’ tidak mengandung kedua nilai tersebut.
Kebenaran sebuah ungkapan informatif adalah adanya kesesuaian
dengan realita dan kebohongan adalah sebaliknya. Kalam khabari> kemudian
dibagi menjadi tiga yaitu yang mengandung nilai kebenaran, tidak
mengandung nilai kebenaran dan tidak mengandung kedua makna tersebut.
Munculnya pembagian di atas dilandasi adanya sebuah kenyataan bahwa ada
sesuatu sesuai dengan kenyataan namun tidak secara mutlak diyakini
kebenarannya dan ada sesuatu yang tidak realistis sekaligus tidak diyakini
kebenarannya. Persoalan seperti ini adalah diskursus yang tidak secara
langsung terkait dengan persoalan bahasa tapi lebih berhubungan dengan
logika berpikir dan filsafat.
Masih dalam sub kajian yang sama, para pakar juga mengetengahkan
perihal motif diutarakannya sebuah kalimat khabar , adakalanya seorang
39
penutur mengutarakannya dengan tujuan memberikan informasi kepada
pendengar, namun adakalanya motif tuturan tersebuthanya untuk
menunjukkan bahwa penutur memahami perihal informasi yang dia
ungkapkan. Mengenai dua motif ini para pakar memberi nama motif yang
pertama sebagai faidah al khabar sedangkan yang kedua sebagai
implikasinya (la>zimuha). Perkataan seorang anak yang mencintai ayahnya
tentu tidak hanya bermuatan informatif belaka namun lebih pada motif
memberikan kepahaman bahwa si anak adalah anak yang baik dan
menghormati orang tuanya. Dalam dunia politik misalnya kalam dengan
motif yang kedua ini banyak menghiasi konstalasi dunia politik.
Para pakar juga mengemukakan tema adanya kalam insya>I yang
mengandung makna khabari>dan sebaliknya. Dalam kasusu yang pertama
terdapat pada kalimat tanya afirmatif yang tidak memerlukan jawaban,
sedangkan yang kedua bisa diambil contoh seorang ayah yang sedang sibuk
membersihkan rumah namun anaknya malah bersantai di dalam kamarnya,
kemudian sang ayah berkata pada anaknya یابنیاناوالدك(wahai anakku, aku
adalah ayahmu). kalimat tersebut, walaupun kenyataannya adalah khabari>,
namun mengandung makna insha>I, artinya perintah sang ayah kepada
anaknya agar membantu memebrsihkan rumah.
Pada dasarnya penyampaian khabaritu disampaikan karena salah satu
dari dua tujuan yaitu memberi faidah kepada mukhatabtentang hukum yang
dikandung oleh kalimat itu apabila ia belum mengerti. Hukum tersebut
dinamakan faedah khabar. Dan yang kedua adalah memberikan faedah kepada
40
mukhatabbahwa mutakallimmengerti juga tentang hukum yang diketahui
oleh mukhatabseperti perkataan seorang guru terhadap murid yang
merahasiakan kelulusannya dalam ujian dan seorang guru mengetahui dengan
cara yang lain. Hal tersebut dikenal dengan tetapnya faedah.
C. Manfaat Ilmu Ma’a>ni>
Ilmu ma’a>ni> mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah)
bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut
kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukha>thabsesuai dengan
situasi dan kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat
memberi manfaat sebagai berikut:25
1. Mengetahui kemukjizatan Al-Quran berupa segi kebagusan penyampaian,
keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, dan penyatuan antara sentuhan dan
qalbu.
2. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada
syi’ir maupun prosanya.
3. Dengan mempelajari ilmu ma’a>ni>, seseorang bisa membedakan mana ungkapan
yang benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, serta yang teratur dan
yang tidak.
25Dja’far Amir, Balaghah 1, 54