Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Narapidana
2.1.1 Pengertian Narapidana
Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatann menyebutkan bahwa Narapidana adalah
terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaann.. Sedangkan pengertian
terpidana itu sendiri menurutt Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang dipidana
berdasarkann putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) narapidana mempunyai arti
orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan suatu tindak
pidana,1 sedangkan menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa
narapidana adalah orang hukuman atau orang buian.2
Sebelum istilah narapidana digunakan, yang lazim dipakai adalah orang
penjara atau orang hukuman. Dalam psal 4 ayat (1) Gestichtenreglemen
(Reglemen Penjara) Stbl. 1917 No. 708 disebutkan bahwa orang terpenjara
adalah :
a. Orang hukuman yang menjalani hukuman penjara atau suatu sattus/keadaan dimana orang yang bersangkutan berada dalam keadaan tertangkap;
b. Orang yang ditahan buat sementara; c. Orang di sel;
1 Kamus Besar Bahasa Indoneisa, Narapidana, https://kbbi.web.id., akses 19 Februari 2019 2 Dahlan, M.Y. Al-Barry, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Target Press, Surabaya, 2003, hal. 53
15
d. Sekalian orang-orang yang tidak menjalani hukuman orang-orang hilang kemerdekaan.3
2.1.2 Hak-Hak Narapidana
Selain mempunyai kewajiban di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,
narapidana juga mempunyai hak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak
mempunyai pengeritan tentang sesuatu hal yang benar, miliki, kepunyaan,
kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu.4
Hak-hak narapidana telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang
Pemasyarakatan, yaitu :
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agamaa atau kepercayaan; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohanii maupun jasmani; c. Mendapat pendidikan dan pengajaran; d. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanann yang layak; e. Menyampaikan keluhan; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran mediaa massa lainnya
yang tidak dilarang; g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaann yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atauu orang tertentu
lainnya; i. Mendapatkan pengurangann masa pidana (remisi); j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga; k. Mendapat pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturann perundang-
undangan yang berlaku; Pemerintah Indonesia yang menghormati dan mengikuti HAM, komitmen
terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM pada tahap pelaksanaan putusan.
Wujud komitmen tersebut adalah intitusi Hakim Pengawas dan Pengamat
3 Wahdanigsi, Implementasi Hak Narapidana Untuk Mendapatakan Pendiidkan dan Pengajaran Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIIB Sinjai, Sksipsi/ Hasil Penelitian Terdahulu mahasiswi Univ. Hasanuddin, Makasar, 2015. 4 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hak, https://kbbi.web.id., akses 19 Februari 2019
16
(WASMAT) sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 277 sampai dengan
pasal 283 KUHAP, serta diundangkannya Undang-Undang Pemasyrakatan
Nomor 12 Tahun 1995 adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan
yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana.5
2.1.3 Kewajiban Narapidana
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Pasal 14 menyebutkann bahwa hak-hak Narapidana, selain hak-hak Narapidana
juga ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh Narapidana menurut Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu :
a. Narapidana diwajibkan mengikuti program pembinaan dan kegiatan
tertentu secara tertib;
b. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam hal ini hak dan kewajiban dapat dijadikan sebuah tolak ukur
menganai berhasill atau tidaknya pola pembinaan yang dilakukan oleh petugass
kepada narapidana. Hal ini dapat dilihat apakah petugas memperhatikann hak-
hak yang diperoleh narapidana maupun sebaliknya narapidana juga
memperhatikan kewajibanb apa saja yang seharusnya mereka lakukan selama
menjalani masa tahanan. Dalam hal ini, agar dapat berjalan dengan seimbang
5 Jurnal Erepo Unud, Tinjauan Umum tentang Hak Narapidana, http://erepo.unud.ac.id., Universitas Udayana, 2016, hal. 3, akses 19 Februari 2019
17
anatar hak dan kewajibans terhadap narapidana maka dibuthkan adanya
kerjasama antara petugasc dan narapidana.
2.2 Teori Tentang Pemidanaan
2.2.1 Teori Pemidanaan
Satochid Kartanegara mengatakan bahwa ada 3 teori pemidanaan dalam
hukum pidana antara lain :6
1) Teori Absolute (Pembalasan)
Teori ini dasar dari pada pemidanaan itu sendiri harus dicari pada kejahatan
itu sendiri sebagai dasar pembalasa terhadap seorang yang melakukan tindak
pidana, dikarenakan kejahatan tersebut maka menimbulkan penderitaan bagi
korban. Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai sebuah
pembalasan yang diberikan oleh Negara kepada seorang pelaku tindak pidana
dengan tujuan untuk menimbulkan rasa puas bagi orang yang dirugikan akibat
tindak pidana tersebut. Ada dua sudut dalam Teori absolute ini antara lain :
a) Dijatuhkan pada pelaku tindak pidana yang merupakan sudut subjektif dari
pembalasan akibat perbuatan yang dilakukan ;
b) Dijatuhkan untuk memenuhi perasaan kecewa dan dendam di masyarakat
yang merupakan sudut objektif dari pembalasan.
2) Teori Relative (Maksut dan Tujuan)
Teori relative ini menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada maksud dan
tujuan penjatuhan hukuman tersebut sehingga ditemukannya manfaat dari
6 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, 1986, hal. 34
18
penghukuman itu sendiri. Teori ini dianggap sebagai dasar hukum dari pemidaan
bukanlah sebuah pembalasan akan tetapi melihat tujuan dari pidana itu sendiri.
Dalam teori ini mempunyai prinsip untuk menciptakan tertib di masyrakat dan
memperkecil bentuk kejahatan.7
3) Teori Gabungan
Satochid Kartanegara mengatakan bahwa teori ini dasar hukum dari
pemidaan merupakan kejahatan itu sendiri, yaitu bentuk pembalasan atau
siksaan, akan tetapi dasar pemidaan merupakan tujuan daripada hukum. Teori
ini merupakan gabungan dari teori absolute dan relative yang menggabungkan
pemidanaan sebagai suatu pembalasan dan menciptakan tertib masyarakat yang
tidak dapat diabaikan.8
2.2.2 Tujuan Pemidanaan
Menurut Barda Nawawi Arief pemidanaan di Indonesia memiliki tujuan
sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum yang erat kaitannya dengan
pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana
sebagai tahap eksekusi dalam penegakan hukum. Salah satu upaya untuk
mengetahuo tujuan pemidanaan kita dalah dengan melihat pada peraturan
perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).9
Menurut Andi Hamzah tujuan dari pemidanaan adalah untuk memberikan
rasa takut agar orang tersebut tidak melakukan kejahatan, hal ini ditujuan untuk
memberikan rasa takut kepada semua orang atau orang tertentu saja yang sudah
7 Ibid, hal. 34 8 Ibid, hal. 34 9 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1984, hal. 34
19
menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakuakn kejahatan atau
tindak pidana lagi.10
Menurut Sudarto tujuan pemidanaan antara lain :
a. Untuk menakut-nakuti agar orang jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak mengulangi kejahatan lagi;
b. Untuk mendidik atau memperbaiaki orang-orang yang sudah menandakan suka melakuakn kejahatan agar menjadi orang yang baik, sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat;
c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk.11
2.3 Tinjauan Umum Tentang Pembebasan Bersyarat
2.3.1 Pengertian Pembebasan Bersyarat
Pembebasan bersyarat merupakan proses pembinaan Narapidana di luar
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) setelah menjalanid sekurang-kurangnya 2
per 3 masa pidananyad dengan ketentuan 2 per 3 masa pidana tersebut minimal
9 (Sembilan) bulan.12
Penjelasan mengenai pembeasan bersyarat ini dapat dilihat lebih lanjut
melalui peraturand perundang-undangan diluar KUHP dan pendapat para pakar
ilmu hukumi dikarena adalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
tidak ada pasal yang menyebutkan mengenai pengertian pembebasan bersayat
hanya saja menyebutkan bahwa seorang Narapidana berhak mendapatkan
Pembebasan Bersyarat. Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari
10 Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hal 26 11 Soedarto, Hukum Pidana Jilid IA-IB, Fakultas Hukum, UNsoed, Purwokerto, 1995, hal. 83 12 PP Nomor 32 Tahun 1999, Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Warga Binaan Pemasyarakatan.
20
fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem
peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.13
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan
KUHP dibuat berdasarkan Hukum Pidana itu sendiri.14
Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan
Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah Pembebasan Bersyarat
dan cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan Narapidana di luar Lembaga
Pemasyarakatan berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) serta pasal 14, pasal 22, dan pasal 29 Undang-Undang
Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Mengenai pengawasan terhadap Narapidana yang memperoleh dan sedang
menjalani pembebasan bersyarat ini dilakukan oleh lembaga yang berwenang
yaiutu Kejaksaan Negeri. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk
memonitoring dan mengawsi Narapidana yang menjalani pembebasan bersyarat
dan cuti yang diberikan. Apabila nanti dalampelaksanaan pembebasan bersyarat
Narapidana melanggar ketentuan yang diberikan selama menjalani pembebasan
bersyarat, maka pembebasan bersyarat yang diberikan dapat dicabut kembali.
13 Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Indhill Co, Jakarta, 2008, hal. 23 14 R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di Indoneisa, Binacipta, Bandung, 1979, hal. 17
21
2.3.2 Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat
Pemberian pembebasan bersayarat merupakan salah satu sarana hukum
dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Hak narapidana yang
memperoleh pembebasan bersyarat tercantum dalam Pasal 14 huruf k Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untu lebih jelasnya
ketentuan mengenai Pembebasan Bersyarat ini diatur dalam Pasal 1 angka 8 dan
angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua
atas Peraturan Pemerintah Nomr 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam pasal 1 angka 8 dan
anagka 9 Peraturan Pmerintah Nomor 99 Tahun 2012 menyebutkan bahwa
ketentuan pasal 43 diubah sehingga menyebutkan sebagai berikut ;
1) Setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan kecuali anak sipil,
berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat;
2) Pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam ayat (1) diberikan
apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 ( dua per
tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut
tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan;
b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana skurang-
kurangnya 9 (Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal
2/3 (dua per tiga) masa pidana;
c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat;
22
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan
Narapidana.
3) Pembeasan bersyarat bagi anak diberikan setelah menjalani pembinaan
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
4) Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan Menteri
5) Pembebasan Bersyarat dicabut jika Nrapidana atau Anak Didik
Pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
6) Ketentuan mengenai pencabutan Pembebasan Bersyarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Meneteri.
2.3.3 Syarat-syarat Pembebasan Bersyarat
Dasar hukum utama mengenai pembebasan bersyarat tertuang dalam pasal
15 dan 16 KUHP disamping itu terdapat pula aturan pelaksanaan yang lain dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 15 dan 16 KUHP tersebut terdapat syarat-syarat untuk
mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana. Berdasarkan ketentuan
dalam pasal 15 KUHP terdapat syarat pemberian bebas bersyarat. Dalam hal
tersebut terdakwa harus menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga dari
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang-kurangnya Sembilan bulan
dalm jangka waktu yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat di hukum.15
15 Jurnal Unsoed, Tinjauan Umum Tentang Pembebasan Bersyarat, http://fh.undoed.ac.id., akses 19 Februari 2019
23
Ketentuan mengenai syart-syarat pembebasan bersyarat, terdapat dalam
pasal 5 sampai dengan pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Dalam pasal 5 menjelaskan bahwa Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan
dapat diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti
Bersyarat, apabila telah memenuhi persyaratan substantive dan administratif.
Berikut penjelasan pasal 6 mengenai persyaratan substantif dan administratif :
1) Perysaratan subtantif sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 yang harus
dipenuhi Narapidana dan Anak Pidana antara lain :
a. Telah menunjukkan perkembangan dan penyesaalan atas kesalahan
yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang
positif;
c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan
bersemangat;
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan
Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan;
e. Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah
mendapat hukuman disiplin untuk :
1. Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan
terakhir;
24
2. Pembebasan persyarat dan cuti menjelang bebas sekurang-
kurangnya dalam waktu 9 bulan terakhir;
3. Cuti bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam)
bulan terakhir.
f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, sepeerti pihak keluraga,
sekolah, instansi Pemerintah atau Swasta dengan diketahui oleh
Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala
desa;
g. Bagi Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan
syarat-syarat tambahan antara lain :
1. Surat jaminan dari Jedutaan Besar/Konsulat negara asing
yang bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik
Pemsyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat-
syarat selama menjalani Asimilasi, Pembebasan Bersyarat,
Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat;
2. Surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat
mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.
Menurut Pasal 8 perhitungan menjalani masa pidana dilakukan sebagai
berikut :
a. Sejak ditahan;
25
b. Apabila masa penahanan terputus, perhitunagn penetapan lamanya
masa menjalani pidana dihitung sejak penahanan kota, maka masa
penahanan tersebut dihitung sesuai ketentuan yang berlaku;
c. Perhitungan 1/3 (satu per tiga), atau 2/3 (dua per tiga) masa pidana
adalah 1/3 (satu per tiga), ½ (satu per dua), atau 2/3 (dua per tiga)
kali (masa pidana dikurangi remisi) dan dihitungsejak ditahan.
Dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Hukam dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat menjelaskan
bahwa :
1) Asimilasi, Pembebasan Beryarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat
tidak diberikan kepada :
a. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang kemungkinan
akan terancam jiwanya;
b. Narapidana yang menjalani pidana seumur hidup.
2) Warga Negara Asing yang diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas, atau Cuti Beryarat nama yang bersangkutan dimasukkan
dalam Daftar Pencegahan dan Penangkalan pada Direktorat Jenderal
Imigrasi.
3) Narapidana Warga Negara Asing yang akan dimasukkan dalam Daftar
Pencegahan dan Pencekalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
26
2.4 Tinjauan Umum Pengawasan
2.4.1 Pengertian Pengawasan
Pengawasan dari Bahasa latin (systema) dan Bahasa Yunani (sustema)
merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang
dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, metri atau energy
untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan pengawasan dalam KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) berasal dari kata awas yang berarti penjagaan.16 Dalam
ilmu manajemen dan ilmu administrasi istilah pengawasan dikenal sebagai salah
satu kegiatan pengelolaan.17
Dalam Bahasa inggris pengawasan disbut controlling yang merupakan
salah satu fungsi dasar manajemen.18 Dalam Bahasa Indonesia menurut Sujatmo
fungsi controlling memiliki 2 makna, yaitu pengawasan dan pengendalian.
Pengawasan dalam arti sempit yaitu segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas
atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Pengendalian atau
forcefull yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan
mengerahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang
semestinya.19
16 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008 hal. 123. 17 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintah Daerah, Cetakan ke-06, Nusa Media, Bandung, 2012, hal. 101 18 Sujatmo, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 53. 19 Muchsan, Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 36
27
Pengawasan terhadap pemerintah daerah terdiri atas pengawasan hirarki dan
pengawasan fungsional. Pengawasan hirarki merupakan pengawasan etrhadap
pemerintah daerah yang dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pengawasan
fungsional merupakan pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan
secara fungsional baik oleh departemen sectoral maupun oleh pemerintah yang
menyelenggarakan pemerintah umum (departemen dalam negeri).20
Pengawasan adalah suatu bentuk pola pikir dan pola tindakan untuk
memberikan pemahaman dan kesadaran kepada seseorang atau beberapa orang
yang diberikan tugas untuk dilaksanakan dengan menggunakan berbagai sumber
daya yang tersedia secara baik dan benar, sehingga tidak terjadi kesalahan dan
tidak terjadi penyimpangan yang kemudian dapat menimbulkan kerugian oleh
lembaga atau organisasi yang bersangkutan.21
2.4.2 Tujuan Pengawasan
Tujuan dari pengawasan adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan
sesuai dengan apa yang telah ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui
kesulitan dan kendala atau hambatan yang ditemukan oleh pelaksana dalam
melakukan pengawasan agar diambil langkah untuk perbaikan.22
Selain itu, menurut Handayaningrat maksud dan tujuan dari pengawasan
antara lain adalah :
20 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintah dan Otonomi Daerah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 312 21 Makmur, Efektivitas Kebijakan Pengawasan, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal 176 22 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggara Pemerintah di Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 103
28
a. Untuk mencegah atau memperbaiki kesalahan, penyimpangan,
ketidaksesuaian penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan tugas dan
wewenang yang telah ditentukan;
b. Agar hasil pekerjaan diperoleh sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan.23
2.4.3 Tipe-Tipe Pengawasan
Dilihat dari tipenya, pengawasan memiliki 3 (tiga) tipe pengawasan antara lain :
1. Pengawasan pendahuluan (steering controls). Pengawasan ini direncanakan untuk mengatasi masalah-masalah atau penyimpangan dari standart atau tujuan dan kemunkinan koreksi dibuat sebelum suatu kegiatan tertentu diselesaikan;
2. Pengawasan yang dilakukan bersama dengan pelaksanaaan kegiatan (concurrent controls). Pengawasan ini dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung. Tipe pengawasan ini merupakan proses dimana aspek tertentu harus dipenuhi dahulu sebelum kegiatan bisa dilanjutkan.
3. Pengawasan umpan balik merupakan pengawasan yang mengukur hasil-hasil dari kegiatan tertentu yang telah diselesaikan. 24 Jika kita lihat dari tipe-tipe pengawasan nya maka, suatu pemerintah yang
baik perlu melakukan pengawasan terhadap bawahannya dengan melihat proses
pelaksanaan program atau hasil dari kegiatan yang telah dilakukan dan yang
telah diselesaikan.
2.5 Tinjauan Umum Mengenai Kejaksaan
2.5.1 Pengertian Kejaksaan
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa Kejaksaan Republik
23 Ibid, hal. 105 24 Opcit, hal. 176
29
Indonesia merupakan sebuah lembaga pemerintah yang emalksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan yang lain berdasarkan
ketentuan Undang-Undang.25
Orang yang melakukan tugas, fungsi, maupun kewenangan di bidang
penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang adalah Jaksa
sedangkan lembaga atau institusi nya adalah Kejaksaan. Hal ini dijelaskan dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia menyebutkan bahwa “ jaksa merupakan pejabat fungsional
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut
umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memeperoleh keuatan
hukum tetap dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”.
Kejaksaan merupakan salah satu subsistem dalam peradilan pidana selain kepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan memegang peran penting dalam menciptakan kejaksaan terpadu. Sebagai salah satu unsur penegak hukum dalam suatu sistem hukum kejaksaan merupakan bagian dari suatu sistem, sebagaimana yang dikemukakan oleh L.M. Friedman yang dikutip oleh Marwan Effendi bahwa sistem hukum tersusun dari sub-sub sistem yang berupa susbtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau sebaliknya.26 Kejaksaan dikenal pula dengan istilah adhyaksa yang sebenarnya sudah ada
sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hundu-Jawa di Jawa Timur, yaitu
kerajaaan Majapahit, istilah Adhyaksa, dan Dharmaadhyaksa sudah mengacu
pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah ini berasal dari baha kuno
yaitu Bahasa Sansekerta.27
25 Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Ghalia Indonesia, 2007, hal. 127 26 Ibid, hal. 1 27 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Sebelum Reformasi, http://www.Kejaksaan.go.id/, akses 19 Februari 2019
30
2.5.2 Kedudukan Kejaksaan
Jaksa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. Kekuasaan negara
sebagaimana dilaksanakan secara merdeka, dalam melaksanakan fungsi, tugas,
dan kewenangannya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lain.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyi
kedudukan sentral dalam penegakakn hukum, karena hanya isntitusi Kejaksaan
yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau
tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.28
Disamping sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis) Kejaksaan
juga merupakan satu-satunya isntansi pelaksana putusan pidana.29
Maka dari itu Undang-Undang Kejaksaan yang saat ini dipandang lebih kuat
dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan.30
Dalam hal ini Kejaksaan menjadi salah satu bagian penting dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban
28 Marwan Effendy, Kejaksaan Ri, Posisi dan Fungsinya . . . Opcit, hal. 105 29 Ibid, hal. 105 30 Dian Rosita, Kedudukan Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Negara di Bidang Penuntutan dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Ius Constituendum | Vol. 3 No.1, Akses 19 Februari 2019
31
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah mendaoatkan
balasan dengan mengusahakan mereka yang melakukan kejahatan tidak
mengulangi perbuatannnya lagi.
2.5.3 Fungsi Kejaksaan
Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia No : INS-
002/A/JA/1/2010 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan
adalah sebagai berikut :
1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan lebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;
3) Pelaksanaan penegakkan hukum baik preventif maupun yang ber intikan keadilan di bidang pidana;
4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan ketentraman mum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegaakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaanm pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;
5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas
32
pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.31
2.5.4 Susunan Kejaksaan
Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan
Kejaksaan Negeru. Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan ditetapkan oleh
Presiden atas usul Jaksa Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri
dibentuk dengan Keputusan dengan keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung.
Dalam hal tertentu didaerah hukum Kejaksaan Negeri dibentuk cabang
Kejaksaan Negeri, cabang Kejaksaan Negeri dibentuk dengan keputusan Jaksa
Agung.32
2.5.5 Tugas dan Kewenangan Jaksa
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Pasal
30 Tugas dan Wewenang Jaksa adalah sebagai berikut :
Di bidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain :
a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat
d. Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan Undang-
Undang
31 Tugas Pokok dan Fungsi Kejaksaan, https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=31&sm=2, akses 19 Februari 2019 32Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Sebelum Reformasi, http://www.Kejaksaan.go.id/, Opcit, akses 19 Februari 2019
33
e. Melengkapai berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaan nya di koordinasi oleh penyidik.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan antara lain :
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
b. Pengamanan kebijakan hukum
c. Pengawasan peredaran barang cetakan
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara
e. Pencegahan penyalahgunaan dana tau penodaan agama
f. Penelitian dan pembangunan hukum serta klatistik kriminal
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan
seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain
yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri, atau
disebabkan oleh hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau
dirinya sendiri.
Salin itu terdapat dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan Undang-Undang dalam melaksanakan tugas dan
34
wewenangnya. Dalam pasal 33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina
hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan
negara atau instansi lainnya. Selanjutnya, pasal 34 meyatakan bahwa Kejaksaan
dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada isntansi
pemerintah lainnya.
2.6 Teori Efektifitas Hukum
Menurut pendapat Achmad Ali jika kita ingin mengetahui sejauh mana
efektifitas hukum tersebut, kita harus mengetahui sejauh mana hukum itu ditaati
dan tidak ditaati. Selanjtnya Achmad Ali menjelasakan bahwa pada umumnya
faktor yang banyak mempengaruhi efektifitas suatu perundang-undangan adalah
sebuah profesionalitas dan optimal dalam melaksanakan sebuah peran, wewenang
dan fungsi dari para penegak hukum, baik dalam tugas yang dibebankan kepada
mereka maupun dalam menegakkan hukum tersebut. 33
Efektifitas suatu hal dapat diartikan sebagai keberhasilan dalam mencapai
sebuat target atau tujuan. Dalam penelitian kepustakaan ini menguraikan mengenai
Teori Efektifitas Hukum dimana yang nantinya akan dijadikan tolak ukur
keberasilan dari atau tingkat indokator terhadap efektifitas suatu hal.
Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pikir masyarakat dari pola
pikir yang tradisional ke pola pikir yang modern atau lebih maju. Efektivitas hukum
33 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1, Kencana, Jakarta 2010, hal. 375
35
adalah proses yang bertujuan untuk memberlakukan hukum supaya berjalan secara
efektif.
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita
pertama-tama harus dapat mengetahui sejauh mana hukum itu ditaati oleh
masyarakat, dan kita juga harus dapat melihat seberapa besar target yang menjadi
sasaran ketaatannya, dari hal tersebut kita dapat mengatakan hukum yang
bersangkutan adalah efektif. Sekalipun telah dianggap efektif, tetapi kita tetap
masih dapat mempertanyakan lebih jauh terkait derajat seseorang menaati atau
tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.34
Menurut Soerjono Soekanto ada 5 (faktor) yang menentukan efektif tidak
nya suatu hukum, antara lain :
1. Faktor Hukum itu sendiri (Undang-Undang); 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum tersebut; 3. Factor saran atau fasilitas yang mendukung penegakkan huku tersebut; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada rasa manusia di dalam pergaulan hidup.35 Kelima faktor diatas saling barkaitan erat dikarenakan esensi dari
penegakan hukum itu sendiri. Faktor yang pertama dapat menentukan
berfungsinya hukum itu baik atau tidak nya hukum tersebut dapat dilihat dari
aturan atau Undang-Undang itu sendiri.
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa ukuran efektifitas dari faktor yang
pertama adalah :
34 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicila Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence), Kencana, Jakarta, 2009, hal. 375 35 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 8
36
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis;
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal sehingga tidak bertentangan;
3. Secara kualitatif maupun kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi;
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan peryaratan yuridis yang ada.36
Pada faktor kedua menentukan efektif tidaknya suatu hukum itu terletak
pada apparat penegak hukum itu sendiri. Dalam hubungan nya dengan hal ini peran
penegak hukum atau aparat penegak hukum yang handal dan dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik sangat di butuhkan sehingga hukum dapat berjalan secara
efektif.
Menurut Soejono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh terhadap
efektifitas hukum tertulis ditinjau dari segi apparat akan tergantung pada hal-hal
berikut :
1. Sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada; 2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberi kebijaksanaan; 3. Teladan yang seperti apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas
kepada masyarakat; 4. Sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kapada petugas sehingga memberikan batasan-batasan yang tegas pada wewenangnya.37
Pada faktor ketiga tersedianya sarana dan prasarana bagi apparat penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah
fasilitas yang digunakan aparat hukum untuk mencapai efektifitas hukum tersebut.
Soerjono soekanto memberikan prediksi efektivitas tertentu dari prasarana, dimana
prasarana tersebut harus secara jelas memang dibutuhkan atau menjadi kontribusi
36 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal. 80 37 Opcit, hal 82.
37
untuk kelancaran dari penegakan hukum tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut
antara lain :
1. Prasarana yang telah ada apakah sudah dijaga dengan baik; 2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka
waktu pengadaannya; 3. Prasarana yang kurang perlu dilengkapi; 4. Prasarana yang rusak perlu diperbaiaki; 5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan; 6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi
fungsinya.38 Tanpa adanya sarana dan prasarana yang menunjang juga tidak mungkin
hukum juga dapat berjalan secara efektiv. Dalam uraian diatas sara dan fasilitas
tersebut antara lain, mrncakup tenaga manusia yang berpendidikan dan handal,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan lain
sebagainya. Sarana dan fasilitas merupakan hal yang penting dalam proses
penegakkan hukum.
Kemudian ada beberapa elemen untuk tolak ukur efektifitas yang tergantung
pada kondisi di maskyarakat, anatara lain :
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan
yang baik;
2. Faktor penyebab masyarakat tiddak mematuhi peraturan walaupuan
peraturan sangat baik dan apparat sudah sangat berwibawa;
3. Faktor penyebab masyarakat tidak meatuhi peraturan baik, petugas atau
aparat berwibawa serta fasilitas mencukup.39
Dalam faktor diatas dapat memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan masarakat tergantung dari motivasi secara internal. Dalam hal ini kepatuhan masyarakat terhadap hukum menjadi salah satu tolak ukur tentang efektif
38 Ibid, hal. 84 39 Ibid, hal. 86
38
tidaknya hukum itu diberlakukan. Seperti kita ketahui masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besae untuk mengartikan hukum dan bahwan mengidentifitasikannya dengan petugas. Sehingga mengakibatkan baik dan buruknya hukum tersebut senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.40
Teori efektifitas Hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
tersebut relevan dengan Teori yang dikmukankan oleh Romli Atmasasmita yaitu
bahwa faktor yang menjadi penghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya
terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum akan tetapi juga terletak pada
faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan yaitu masyarakat, sarana dan
fasilitas maupun dari faktor kebudayaan yang ada pada masyarakat.41
Jika berbicara mengenai efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja
hukum itu dalam mengatur dana tau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
sebuah hukum. Hukum dapat berjalan secara efektif jika faktor-faktor yang
mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Tolak ukur
efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat
dilihat dari perilaku masyarakat. Seuatu hukum dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki, maka efektifitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut
telah tercapai.42
Berdasarkan urain diatas Teori Efektifitas Hukum dapat disimpulkan bahwa
suatu tolak ukur yang menyatakan seberapa jauh targaet atau tujuan tersebut
tercapai. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatan efektif
40 Ibid, hal. 87 41 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 55 42 Opcit, hal. 91
39
apabila usaha atau kegiatan tersebut telah berhasil mencapai tujuannya. Apabila hal
tersebut merupakan tujuan dari instansi maka proses pencapaian dari tujuan tersebut
merupakan keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan wewenang, menurut fungsi
dan tugas dari instansi tersebut.