32
BAB II DASAR-DASAR FILSAFAT Bagus Takwin 1. Pendahuluan Tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa pengantar filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Pokok bahasan yang termuat dalam bab ini terdiri atas pengertian, cabang, dan aliran filsafat, serta alternatif langkah belajar dan manfaat filsafat. Sebelum masuk ke pembahasan topik-topik tersebut, terlebih dahulu akan dibahas alasan perlunya kita yang mendalami ilmu pengetahuan atau sains belajar filsafat. Di pendahuluan ini juga dibahas hubungan filsafat dengan kekuatan dan keutamaan karakter. Mengapa ilmuwan masih perlu filsafat? Penjelasan tentang hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dapat kita temui dalam literatur filsafat ilmu.

BAB II Filsafat BT-Revisi Final[1]

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IIDasar-dasar FilsafatBagus Takwin

1. Pendahuluan Tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa pengantar filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Pokok bahasan yang termuat dalam bab ini terdiri atas pengertian, cabang, dan aliran filsafat, serta alternatif langkah belajar dan manfaat filsafat.Sebelum masuk ke pembahasan topik-topik tersebut, terlebih dahulu akan dibahas alasan perlunya kita yang mendalami ilmu pengetahuan atau sains belajar filsafat. Di pendahuluan ini juga dibahas hubungan filsafat dengan kekuatan dan keutamaan karakter.Mengapa ilmuwan masih perlu filsafat?Penjelasan tentang hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dapat kita temui dalam literatur filsafat ilmu. Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi, fondasi, metode, dan implikasi dari ilmu pengetahuan. Kajian ini juga berkaitan dengan penggunaan dan manfaat ilmu pengetahuan, serta eksplorasi apakah hasil ilmiah sungguh-sungguh menghasilkan kebenaran. Filsafat ilmu juga mempertimbangkan masalah yang berlaku untuk ilmu tertentu (misalnya filsafat biologi atau filsafat fisika). Beberapa filsuf ilmu juga menggunakan hasil kontemporer ilmu pengetahuan untuk memperoleh kesimpulan tentang filsafat. Di sisi lain, filsafat ilmu berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan.Ada alasan karya pemenang Hadiah Nobel fisika 1932, Weiner Heisenberg, mengenai fisika abad ke-20 diberi judul Physics and Philosophy (Fisika dan Filsafat). Juga ada alasan hasil karya Karl Popper disebut filsafat ilmu. Keduanya memberikan indikasi yang kuat bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan saling membutuhkan. Meski ada pertentangan pendapat mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat, dewasa ini hubungan keduanya erat lagi dewasa ini. Setidaknya, ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjadi dasar bagi aktivitas-aktivitasnya mencari pengetahuan.1. Etika. Ilmuwan dituntut bertindak secara etis, baik dalam aktivitas mencari pengetahuan maupun dalam penerapan pengetahuan. Sejarah menunjukkan bahwa tanpa dasar etis, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kerugian dan kerusakan di dunia.2. Epistemologi. Sebagai bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan, epistemologi diperlukan oleh ilmu pengetahuan untuk memberi dasar bagi perolehan pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan epistemologi juga merupakan pertanyaan yang perlu diajukan ilmu pengetahuan. Bagaimana kita mengetahui apa yang kita ketahui? Sejauh mana ilmu pengetahuan dapat bekerja tanpa mengkaji pengetahuan? Apa itu pengetahuan? Apa yang membuat pengetahuan benar dan bagaimana kita mengetahuinya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab baik oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan membutuhkan jawaban, setidaknya pendekatan kerja yang akan digunakan dalam penelitian, yang biasanya tampil dalam bentuk paradigma ilmiah.3. Logika. Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita peroleh dihasilkan dari metode rasional? Apa itu metode rasional? Bagaimana kita memastikan pikiran yang digunakan dalam usaha perolehan pengetahuan yang benar adalah pikiran yang tepat? Untuk dapat menjawab ini semua dibutuhkan filsafat logika. Tanpa logika, filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang benar.Lalu, mengapa filsafat dibahas beriringan dengan pengembangan kekuatan dan keutamaan karakter? Apa hubungan antara keduanya?Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Filsafat memang mengandalkan pikiran karena untuk mencapai kebenaran diperlukan pikiran. Tetapi berfilsafat tidak hanya menggunakan pikiran. Berfilsafat berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk terlibat dalam pencarian kebenaran. Ada syarat-syarat berfilsafat yang melibatkan sifat-sifat baik manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan karakter. Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memiliki keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di dalamnya. Tetapi, berfilsafat juga merupakan sebuah cara untuk membangun karakter. Aktivitas dalam filsafat mencakup kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga kesetiaan, berani mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan karakter. Dengan dasar itu, maka filsafat dipelajari beriringan dengan pengembangan karakter.

2. Pengertian FilsafatKata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus (484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja berfilsafat dalam percakapannya dengan Croesus yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia mendengar Solon telah melakukan perjalanan melalui berbagai negeri untuk berfilsafat digerakkan oleh hasrat akan pengetahuan. Kata berfilsafat di situ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan semata. Kata filosof atau filsuf berasal dari kata philosophos yang berati pencinta kebijaksanaan; philos berarti kebijaksanaan, dan sophos berarti pecinta dari kata dasar sophia yang berarti cinta. Ada dugaan yang tak dapat dilacak catatan tertulisnya bahwa kata filsafat dapat dilacak lebih jauh lagi asalnya pada Pythagoras (sekitar 582-500 SM). Dugaan itu didasarkan pada tulisan Cicero (106-43 SM), Diogenes Laertes dan Iamblichus. Sebagaimana dikatakan oleh Cicero (terjemahan King, 1945), cerita tentang penggunaan kata filsafat itu terdapat dalam percakapan Pythagoras dengan Leon, penguasa Phlius di Peloponnesus. Pythagoras menjelaskan dirinya sebagai filsuf, dan berkata bahwa urusannya adalah menyelidiki hakikat benda-benda. Penjelasan Cicero diperkuat oleh Laertes (terjemahan Hicks, 1931) dan Iamblichus (terjemahan Burch, 1965). Dari ketiganya, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari orang-orang kebanyakan yang mencari ketenaran atau kemasyuran (doxa), filsuf mencari kebenaran (aletheia, kalliston theorian).Penggunakan kata filsuf selanjutnya digunakan oleh beberapa penulis Yunani, di antaranya Xenophon (430-354 SM) dan Plato (427-347 SM). Pengertian filsuf dalam tulisan-tulisan mereka adalah orang yang mencurahkan diri dan hidupnya untuk mencari kebijaksanaan atau untuk melakukan pembelajaran. Dalam arti sempitnya, filsuf adalah orang yang menyelidiki dan mendiskusikan sebab-sebab benda dan kebaikan tertinggi (Thayer, 2011).Dalam dialog Plato, Phaedrus, ditemukan penggunaan kata filsuf melalui paparan Socrates: to all of them we are to say that if their compositions are based on knowledge of the truth, and they can defend or prove them, when they are put to the test, by spoken arguments, which leave their writings poor in comparison of them, then they are to be called, not only poets, orators, legislators, but are worthy of a higher name, befitting the serious pursuit of their life Wise, I may not call them; for that is a great name which belongs to God alone,lovers of wisdom or philosophers is their modest and befitting title. (Plato, terjemahan Jowett, 1892: 488)Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pencinta kebijaksanaan.Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Dari asal katanya dalam bahasa Yunani Kuno yaitu philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan) maka artinya adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Definisi ini masih terlalu umum sebab ada banyak juga usaha untuk memperoleh kebenaran yang bukan filsafat. Untuk itu perlu dirumuskan sebuah definisi filsafat yang lebih spesifik. Jika kita pelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran filosofis sejak Yunani Kuno hingga abad ke-21, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis. Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah usaha. Sebuah usaha adalah sebuah proses, bukan semata produk. Dengan demikian, yang pertama-tama memiliki sifat sistematis, kritis dan radikal adalah proses memperoleh pengetahuan. Filsafat sebagai sebuah upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan mungkin ada. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses pemahaman itu berlangsung terus menerus.Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah selesai. Bisa jadi, jika kita lihat produknya saja kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak, jadilah makanan yang siap santap. Atau sebaliknya kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan orang kebanyakan. Itu bisa terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Padahal, filsafat semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses pencarian pengetahuan universal.Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah pemikiran yang perlu dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi.Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah latin kritein yang berarti memilah-milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Sifat kritis filsafat mengandung dua pengertian ini. Berfilsafat berarti memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian terhadap obyek itu. Dalam berfilsafat, para filsuf memilah satu hal dari hal lainnya untuk diperbandingkan. Hasil perbandingan kemudian dinilai guna mengetahui hubungan antara hal. Penilaian diberikan dalam bentuk yang paling sederhana seperti lebih kecil atau lebih besar hingga bentuk yang kompleks seperti hubungan sebab-akibat dan dialektika (perpaduan dua hal yang berlawanan dengan dasar pemikiran yang lebih abstrak).Secara lebih khusus lagi kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan), tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis memungkinkan orang untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan mendalam, orang tidak begitu saja menerima apa yang ada, melainkan mencermati, menemukan masalah dan lubang-lubang pada pengetahuan yang sudah ada, lalu mencari pejelasan baru yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa jadi menggantikan penjelasan terdahulu, membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Sifat radikal pada filsafat memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan yang mendasar.Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Sifat sistematis itu disertai dengan jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, sifat sistematis dalam filsafat sekaligus mencakup sifat logis. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika. Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk jamannya. Jika kita cermati pemikiran para filsuf besar dunia, maka kita temukan di sana logika yang mereka gunakan untuk memahami perwujudan kenyataan yang dikaji.Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu. Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus merupakan ciri berpikir filosofis yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang sistematis. Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan kritik secara timbal balik.Hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. Kegiatan filosofis sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, tidak begitu saja menerima sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan mengapa, dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan filosofis harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan (contradictory), tidak mungkin kedua-duanya benar. Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses, satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi, seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:15.)

3. Cabang dan Aliran FilsafatAda berbagai cara untuk membagi filsafat menjadi cabang-cabang yang memiliki obyek kajian khusus. Kita dapat menemukan pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahan (Gazalba, 1979) atau area kajian filsafat yang secara garis besar terdiri dari ontologi, epistemologi dan axiologi. Kita juga bisa menemukan pembagian filsafat berdasarkan obyek kajian dengan cabang-cabang di antaranya filsafat alam, filsafat matematika, filsafat ilmu, filsafat sejarah, filsafat ketuhanan, filsafat bahasa, filsafat agama dan filsafat politik.Di sini kita akan fokus pada pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahannya. Seperti yang sudah disebut, filsafat secara sistematis terbagi menjadi 3 bagian besar: 1) Ontologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being) atau tentang apa yang nyata; 2) Epistemologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji hakikat dan ruang lingkup pengetahuan; dan 3) Axiologi yaitu bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia.

OntologiIstilah ontologi berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu onta yang berarti ada dan logia yang berarti ilmu, kajian, prinsip atau aturan. Ontologi secara umum didefinisikan sebagai studi filosofis tentang hakikat ada (being), eksistensi, atau realitas, serta kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka. Ontologi secara tradisional dianggap sebagai cabang utama filsafat. Tetapi belakangan, banyak filsuf modern dan pascamodern yang mengabaikan ontologi dan tidak memiliki pemikiran ontologis, atau menganggap ontologi bukan bagian penting dari filsafat. Meskipun demikian, masih banyak filsuf yang masih menganggap penting ontologi.Sebagai bidang kajian filsafat tentang ada, ontologi dalam arti umum dibagi dua menjadi dua subbidang, yaitu ontologi (dalam arti khusus) dan metafisika. Ontologi dalam arti khusus mengkaji ada yang keberadaannya tidak disangsikan lagi. Dalam ontologi kita berfilsafat tentang sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan metafisika mengkaji ada yang masih disangsikan kehadirannya. Kata metafisika berasal dari kata tameta dan taphysika. Tameta berarti di balik atau dibelakang. Taphysika berarti sesuatu yang bersifat fisikal, dapat ditangkap bentuknya oleh indra. Berdasarkan asal katanya itu, metafisika diartikan sebagai kenyataan di balik fisika atau kenyataan yang bentuknya tak terjangkau oleh indra. Metafisika berhubungan dengan obyek-obyek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik ada itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya.Dalam perkembangannya, pengertian metafisika bergeser menjadi suatu cabang filsafat yang mengkaji hal-hal (being) yang masih disangsikan kehadirannya. Metafisika berhubungan dengan objek-objek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena objek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik hal itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya. Dapat dikatakan pula bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji realitas yang supra-inderawi dibalik gejala-gejala fisik.Beberapa ahli filsafat memberi pengertian yang berbeda-beda terhadap metafisika. Salah satunya Whiteley (1977) yang mendefinisikan metafisika sebagai The theory of the nature of the universe as a whole, and of those general prinsiples which are true of everything that exist. Menurutnya metafisika adalah teori tentang sifat-sifat alamiah keberadaan dunia sebagai suatu keseluruhan, dan teori yang merupakan prinsip umum itu dapat menjelaskan secara benar segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

EpistemologiEpistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji teori-teori tentang sumber-sumber, hakikat, dan batas-batas pengetahuan. Oleh karenanya kajian ini masuk juga dalam ruang lingkup epistemologi. Pertanyaan epistemologis yang hendak dijawab di sini adalah bagaimana proses perolehan pengetahuan pada diri manusia dan sejauh mana ia dapat mengetahui. Dalam epistemologi terdapat empat cabang yang lebih kecil (1) epistemologi dalam arti sempit; (2) filsafat ilmu; (3) metodologi; dan (4) logika.Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan yang ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur pengetahuan, 3) keabsahan pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan. Pengetahuan di sini adalah pengetahuan umum atau pengetahuan sehari-hari (knowledge) atau pengetahuan yang berguna bagi manusia secara praktis (eksistensial pragmatis).Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan yang dikaji berbeda dengan pengetahuan pada epistemologi dalam arti sempit. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang menjadi obyek adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari (knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh dengan menggunakan metode-metode tertentu, logis dan teruji kebenarannya. Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Di sini cara dan metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh mana kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam metodologi dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru.Seperti yang sudah disinggung terdahulu, logika adalah kajian filsafat yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Yang menjadi satuan penalaran dalam logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari putusan (judgment). Penalaran berlangsung lewat argumen sebagai kelompok proposisi. Proposisi tersusun dari premis ke kesimpulan lewat proses penyimpulan (inference). Logika berkaitan dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu. Proposisi adalah pernyataan untuk mengiyakan (afirmasi) atau menyangkal (negasi) sesuatu yang dapat diujicoba, di dalamnya termasuk bahasa kognitif. Proposisi terdiri dari pokok yang dibicarakan (subyek), apa yang disangkal atau diiyakan (predikat), dan hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula). Secara umum ada dua jenis argumen: 1) induktif dan 2) deduktif. Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke kesimpulan atau premis umum. Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis atau kesimpulam khusus. Penilaiannya adalah valid atau invalid. Induksi menghasilkan pengetahuan yang tidak niscaya, melainkan boleh jadi. Kadar kebolehjadiannya dapat diukur lewat statistik dengan penilaian kuat atau lemah.

AxiologiAxiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan Apa yang dilakukan manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia? Di sini yang dibicarakan adalah nilai-nilai (kata axiologi sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku penghayatan dan pengamalan manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia. Di dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicarakan tentang nilai rasa manusia yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata etika menunjuk dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia. Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan larangan (harus dan jangan) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia. Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.Pada dasarnya, pembahasan tentang nilai menyangkut banyak cabang pengetahuan yang berkaitan atau bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika, agama, dan epistemologi. Dari lima cabang ilmu tersebut, ada tiga nilai yang berbeda namanya, tetapi mempunyai persamaan dalam penafsiran. Etika berkaitan dengan masalah kebaikan; epistemologi dengan masalah kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Kebaikan, kebenaran, dan keindahan merupakan tiga serangkai yang bertalian dan saling melengkapi. Dari sudut pandang filsafat, baik, benar, dan indah membentuk kesatuan makna.Kattsoff (2004:324) berpendapat bahwa istilah nilai mempunyai bermacam makna, yakni mengandung nilai (artinya, berguna); merupakan nilai (artinya, baik atau benar atau indah); mempunyai nilai (artinya, merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sikap nilai tertentu); dan memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu). Pembicaraan tentang nilai mempunyai spektrum atau jangkauan yang sangat luas. Penjelasan Kattsoff tentang cara penggunaan kata nilai dapat kita jadikan pedoman dalam pemakaiannya. Menurut Kattsoff, sesuatu benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan karena itu dapat dinilai. Hal-hal tersebut di bawah ini dapat mempunyai nilai karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Suatu pernyataan mengandung nilai kebenaran, dan karena itu bernilai sebagai pemberitahuan. Suatu lukisan mempunyai nilai keindahan, dan karena itu bernilai bagi mereka yang menghargai seni. Seorang ilmuan memberi nilai kepada pernyataan-pernyataan yang benar, dan pencinta keindahan memberi nilai kepada karya-karya seni.

Aliran FilsafatPemahaman terhadap filsafat dapat juga dilakukan melalui pemahaman terhadap tokoh-tokoh dan aliran-alirannya. Seorang filsuf biasanya terfokus pada satu atau dua wilayah sistematika saja. Hanya Immanuel Kant yang menjelajahi ketiga wilayah sistematika filsafat secara lengkap lewat tiga bukunya: Critic of Pure Reason, Critic of Practical Reason, dan Critic of Judgement. F.W. Nietzsche, seorang filsuf Jerman, hanya menelaah wilayah epistemologi, metafisika, estetika dan etika. Filsuf-filsuf lain yang cukup terkenal dan berpengaruh di antaranya Rene Descartes, David Hume, F.G.W. Hegel, Edmund Husserl, Karl Marx dan Bertrand Russell.Dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran, berbagai isme bermunculan. Berikut adalah beberapa aliran yang cukup berpengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat:a. Rasionalisme: aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber dari akal (rasio), ditegaskan di sini bahwa akal yang mampu mendapatkan pengetahuan secara jernih (clear) dan lugas/terpilah (distinct) tentang realitas.b. Empirisme: aliran dalam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan.c. Kritisisme: aliran filsafat yang dibangun oleh filsuf besar: Imanuel Kant. Aliran ini pada dasarnya adalah kritik terhadap rasionalisme dan empirisme yang dianggap terlalu ekstrem dalam mengkaji pengetahuan manusia. Akal menerima bahan-bahan yang belum tertata dari pengalaman empirik, lalu mengatur dan menertibkannya dalam kategori-kategori.d. Idealisme: aliran filsafat yang berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Materi tidak memiki kedudukan yang independen melainkan hanya merupakan materialisasi dari pikiran manusia.e. Vitalisme: aliran filsafat yang memandang hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara mekanis karena pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda mati. Manusia memiliki kehendak yang mampu mengubah keadaannya yang statis menjadi lebih dinamis.f. Fenomenologi: aliran filsafat yang mengkaji penampakan (gejala-gejala) dan memandang gejala dan kesadaran selalu saling terkait.

4. Alternatif Langkah Belajar FilsafatAda banyak cara untuk belajar filsafat sesuai dengan pesatnya perkembangan filsafat sehingga sekarang kini. Para filsuf mengembangkan cara belajar filsafat sesuai dengan pendekatan yang digunakannya. Dalam tulisan ini dikemukakan satu alternatif langkah belajar filsafat yang umum dipakai oleh para filsuf, juga oleh ahli filsafat dan ilmuwan untuk memecahkan masalah filsafat secara umum dan mengkaji aliran filsafat tertentu. Secara umum, filsuf berusaha memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan analisis terhadap istilah-istilah itu berdasarkan pengenalan obyeknya dalam kenyataan. Analisis didefinisikan sebagai pemilahan bagian-bagian satu satu hal berdasarkan kategori yang relevan. Analisis terhadap istilah dilakukan dengan memilah-milah bagian makna atau isi pikiran dari istilah berdasarkan kategori tertentu. Meski pada dasarnya para filsuf memulai filsafat dari benda-benda dan bukan dari kata atau istilah, pemakaian istilah yang tepat harus dilakukan. Bahasa adalah medium filsafat dan oleh karena itu istilah dan pernyataan yang merupakan bagian dari bahasa menjadi penting dalam filsafat. Analisis terhadap istilah merupakan langkah penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan makna yang tepat dan memadai. Setelah analisis istilah, filsuf berusaha untuk memadukan hasil-hasil penyelidikannya melalui aktivitas sintesis. Dalam aktivitas sintesis, filsuf membanding-bandingkan bagian-bagian dari makna istilah yang dihasilkan dari aktivitas analisis. Lalu ia mencari benang merah antar-bagian untuk kemudian menemukan kesamaan makna di antara mereka. Dari situ diperoleh satu makna istilah yang komprehensif yang memayungi semua bagian sekaligus menjelaskan hubungan antar-bagian istilah.Penggunaan analisis dan sintesis dalam filsafat ini disebut metode analisis-sintesis. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh filsuf. Menganalisis adalah melakukan pemeriksaan konsepsional terhadap istilah-istilah yang digunakan atau pernyataan-pernyataan yang dibuat. Tujuannya adalah (1) memperoleh makna baru yang terkandung dalam istilah-istilah yang bersangkutan, dan (2) menguji istilah-istilah itu melalui penggunaannya, atau dengan melakukan pengamatan terhadap contoh-contohnya. Analisis istilah berarti perincian istilah atau pernyataan ke dalam bagiannya sedemikian rupa sehingga orang dapat melakukan pemeriksaan terhadap makna yang dikandungnya. Tujuan pemeriksaan ini adalah penentuan makna apa yang akan diberikan. Menurut Kattsoff (2004), secara filosofis analisis adalah pengumpulan semua pengetahuan yang dapat dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang dunia. Sedangkan sintesis dapat didefinisikan sebagai aktivitas menemukan benang merah antar-bagian yang dipilah berdasarkan kategori tertentu untuk kemudian menemukan kesamaan makna di antara bagian-bagian itu. Secara ringkas, Kattsoff (2004:34-38) mengemukakan langkah-langkah umum yang disarankan dalam menganalisis dan sintesis.1. Memastikan adanya masalah yang diragukan kesempurnaan atau kelengkapannya. 2. Masalah umumnya terpecahkan dengan mengikuti dua langkah, yakni menguji prinsip-prinsip kesahihannya dan menentukan sesuatu yang tak dapat diragukan kebenarannya (untuk menyimpulkan kebenaran yang lain).3. Meragukan dan menguji secara rasional segala hal yang ada sangkut pautnya dengan kebenaran.4. Mengenali apa yang dikatakan orang lain mengenai masalah yang bersangkutan dan menguji penyelesaian-penyelesaian mereka.5. Menyarankan suatu hipotesis yang kiranya memberikan jawaban atas masalah yang diajukan.6. Menguji konsekuensi-konsekuensi dengan melakukan verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaran yang telah dilakukan.7. Menarik simpulan mengenai masalah yang mengawali penyelidikan.

Metode belajar filsafat sebenarnya bukan hanya dapat digunakan untuk belajar filsafat, melainkan juga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran di bidang ilmu pengetahuan lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan filsuf untuk menemukan pengetahuan diperlukan juga oleh bidang ilmu lain. Selain sifat filsafat, kritis, radikal dan sistematis, cara filsuf menemukan pengetahuan juga dimanfaatkan oleh ilmuwan untuk menemukan pengetahuan. Hanya saja, para ilmuwan sangat mementingkan juga bukti empirik dari penjelasan tentang gejala. Bagi ilmuwan, cara berpikir filosofis, yaitu kritis, radikal dan sistematis ditambah dengan bukti empirik harus muncul bersama untuk menghasilkan solusi permasalahan yang dianggap paling tepat atau paling benar. Secara umum, disadari atau tidak, filsafat digunakan manusia untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, maka lebih banyak lagi manfaat berpikir filosofis yang dapat diperoleh. Dengan berpikir filosofis orang dapat berpikir mendalam dan mendasar. Orang juga dapat memperoleh kemampuan analisis, berpikir kritis dan logis sehingga ia mampu juga berpikir secara luas dan menyeluruh. Berpikir filosofis juga membuat orang dapat berpikir sistematis dalam mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin secara tertata. Berpikir filosofis juga membantu orang untuk menjajaki kemungkinan baru sehingga dapat memperoleh pengetahuan baru. Orang dapat terus menerus menambah pengetahuannya dengan berpikir filosofis. Di sisi lain, berpikir filosofis juga memberikan kesadaran kepada orang mengenai keterbatasan pengetahuannya. Kesadaran akan masih banyaknya hal yang tidak diketahui membuat orang menjadi rendah hati, terbuka dan siap untuk memperbaiki pengetahuannya. Dengan demikian, berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya.

DAFTAR PUSTAKADiogenes Laertes, Lives of Eminent Philosophers, VIII, 8 (Loeb Classical Library, trans. R.D. Hicks, Harvard University Press, 1931, Vol II. pp. 327 & 329)Gazalba, Sidi. (1979). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.Kattsoff, Louis O. (2004). Dasar-dasar Filsafat (terjemahan Soejono Soemargono). Cetakan ke-9. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.Iamblichus, The Life of Pythagoras, chap. XII. (translated by R. Burch from De vita Pythagorica liber, ed. [A.M. Hakkert, 1965], pp. 39-41). Jowett, B. (1892). The Dialogues of Plato, 3rd Edition. Oxford: Clarendon.Thayer, J.H. (2011). Thayers Greek Lexicon. Electronic Database. Biblesoft, Inc.Whiteley, C.H. (1977). An Introduction to Metaphysics. Hassocks Eng. and Atlantic Highlands, N.J: Harvester Press.