Upload
vuongdang
View
250
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
35
BAB II
ANALISIS DATA
Bab ini akan membahas naskah Bab dodotan secara kajian filologis dan
kajian isi naskah. Kajian filologi digunakan untuk menguraikan permasalahan-
permasalahan filologi berupa varian-varian yang ditemukan dalam naskah Bab
Dodotan, yang akan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kajian ini mengacu
cara kerja filologi, sehingga mendapat suntingan teks yang bersih dari kesalahan.
Adapun analisisnya terdiri: deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks beserta
aparat kritik, dan terjemahan. Kemudian dilanjutkan dengan kajian isi untuk
mengulas tuntas mengenai isi yang terkandung di dalam naskah Bab Dodotan.
A. Kajian Filologi
Filologi memiliki tujuan khusus yaitu menyajikan teks setepat mungkin
yang bersih dari kesalahan. Kajian filologis digunakan untuk membahas
permasalahan yang ada di dalam naskah, berupa varian yang terdapat dalam
Naskah Bab Dodotan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Naskah Bab Dodotan merupakan naskah tunggal yang dikaji
menggunakan metode standar sesuai dengan teori langkah kerja yang
dikemukakan Edwar Djamaris (2002:24). Adapun langkah kerja filologi sesuai
dengan analisis yang dilakukan terdiri dari: deskripsi naskah, kritik teks,
suntingan teks dan aparat kritik, kemudian terjemahan.
36
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah merupakan langkah awal dalam penggarapan naskah
sebagai gambaran, rincian mengenai kondisi fisik naskah dan memberikan garis
besar isi yang dibalut secara ringkas guna mempermudah dalam pengenalan
naskah. Dalam membuat deskripsi naskah hendaknya dipertegas dan apa adanya
sesuai dengan bentuk dan kondisi asli naskah. Menurut Emuch Hermansoemantri
(1986) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat deskripsi
naskah, yaitu: a. Judul naskah; b. Nomor naskah; c. Tempat penyimpanan naskah;
d. Asal naskah; e. Keadaan naskah; f. Ukuran naskah; g. Tebal naskah; h. Jumlah
baris perhalaman; i. Huruf, aksara, tulisan; j. Cara penulisan; k. Bahan naskah; l.
Bahasa naskah; m. Bentuk teks; n. Umur naskah; o. Pengarang/penyalin; p. Asal-
usul naskah; q. Fungsi sosial naskah, dan; r. Ikhtisar teks / cerita. Berikut adalah
deskripsi naskah Bab Dodotan.
a. Judul naskah
Naskah ini berjudul Bab Dodotan, judul berada pada sampul luar naskah
yang dilaminating. Ada 2 versi penulisan, yaitu judul ditulis dengan cara
diketik (mesin ketik) dan tulisan tangan.
37
Gambar 18: Judul Naskah
b. Nomor naskah
Bernomor F2, dengan judul Bab Dodotan di dalam katalog Induk
Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 karya T.E Behrend (1990) yang
tergolong Bab Adat Istiadat. Kemudian, nomor dalam katalog lokal
Museum Sonobudoyo yaitu PBC 113 berada pada cover depan naskah.
Gambar 19: Nomor Katalog Lokal Museum Sonobudaya
38
c. Tempat Penyimpanan Naskah
Naskah tersimpan rapi di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
d. Asal Naskah
Naskah ini dulu milik Panti Budoyo yang kemudian dihibahkan kepada
Museum Sonobudoyo. Adapun bukti kepemilikan dari Panti budoyo
terdapat cap merah yang bertuliskan Panti Budoyo, sebagai berikut:
Gambar 20: Cap Panti Budoyo
Cap merah bertuliskan Panti Budaya, menandakan bahwa sebelumnya
naskah adalah milik Panti Budaya.
e. Keadan Naskah
Naskah sudah rapuh. Dalam penanganan pihak museum dibuatkan
hardcover guna melindungi ketas teks naskah. Kemudian untuk cover
asli pada naskah sudah lepas, sehingga dilakukan perbaikan dengan cara
melaminating cover asli, agar cover tidak semakin rusak. Lihat gambar
berikut:
39
Gambar 21: hardcover dan cover asli naskah
Gambar 22: Cover asli naskah
Sampul naskah lepas dari naskah, sehingga terlihat ukuran kertas teks
setelah sampul lebih tinggi dibanding sampul. Kemudian dari pihak
40
kolektor melakukan penanganan terhadap fisik naskah dengan cara cover
naskah dilaminating agar tidak semakin rusak.
Sampul naskah yang lepas dari bendel kertas teks tidak mempengaruhi
keutuhan naskah. Keutuhan naskah terlihat pada kertas teks yang masih
masih dalam satu bendel. Keutuhan tersebut dibuktikan melalui baris
akhir teks bertuliskan „tamat‟ berarti naskah sudah selesai tidak ada
lanjutannya. Berikut adalah baris akhir yang menandakan naskah sudah
selesai ditulis.
Gambar 23: Teks selasai
“tamat”
Ada beberapa bagian dalam teks hilang (korup) karena umur naskah yang
tergolong sudah tua. Seperti pada gambar berikut:
41
Gambar 24: Teks Korup
Bagian dari naskah yang korup
f. Ukuran Naskah
Naskah berukuran 22 x 17 cm, dengan ukuran teks sebagai berikut:
Ukuran teks
Panjang teks : 17,5 cm
Lebar teks : 12 cm
Margin kiri : 3 cm
Margin kanan : 2 cm
Margin atas : 2,5 cm
Margin bawah : 2 cm
42
g. Tebal Naskah
Bab Dodotan memiliki ketebalan 0,5 cm dengan 36 lembar kertas, terdiri
dari: 2 lembar untuk cover depan dan belakang, 1 lembar untuk cap
kepemilikan bertuliskan Panti Budaya, dan 19 halaman bertuliskan teks
Bab Dodotan selebihnya kosong.
h. Jumlah Baris Tiap Halaman
Pada naskah Bab Dodotan memiliki jumlah baris tiap halaman rata-rata
22 baris. Terdapat dua nomor halaman yang berbeda, karena pada naskah
akan dilakukan rekontruksi teks sehingga interpolasi halaman yang
menggunakan pensil tetap ditampilkan. Interpolasi nomor halaman yang
menggunakan pensil dalam pembahasan ini akan ditulis memakai warna
hijau (green) sedangkan pada naskah nomor halaman yang di tulis
menggunakan tinta huruf jawa, tetap akan ditulis dalam warna hitam.
Adapun rincian penulisan baris tiap halaman pada naskah Bab dodotan
sebagai berikut:
Jumlah baris pada halaman 1 (1) adalah 22 baris
Jumlah baris pada halaman (2) adalah 7 baris, dan 10 baris interpolasi
Jumlah baris pada halaman 2 (3) adalah 22 baris
Jumlah baris pada halaman (4) adalah 19 baris
Jumlah baris pada halaman 3 (5) adalah 22 baris
Pada halaman (6) kosong
Jumlah baris pada halaman 4 (7) adalah 22 baris
Pada halaman (8) kosong
Jumlah baris pada halaman 5 (9) adalah 22 baris
43
Jumlah baris pada halaman (10) adalah 4 baris
Jumlah baris pada halaman 6 (11) adalah 22 baris
Pada halaman (12) kosong
Jumlah baris pada halaman 7 (13) adalah 22 baris
Pada halaman (14) kosong
Jumlah baris pada halaman 8 (15) adalah 22 baris
Pada halaman (16) kosong
Jumlah baris pada halaman 9 (17) adalah 22 baris
Pada halaman (18) kosong
Jumlah baris pada halaman 10 (19) adalah 22 baris
Pada halaman (20) kosong
Jumlah baris pada halaman 11 (21) 23 baris
Pada halaman (22) kosong
Jumlah baris pada halaman 12 (23) adalah 17 baris
Nomor halaman yang berwarna hijau (1,2,3,...) adalah interpolasi nomor
halaman menggunakan pensil.
i. Huruf, Aksara, Tulisan
Naskah Bab Dodotan ditulis menggunakan huruf jawa dengan tulisan
tangan. Terdapat penambahan nomor halaman menggunakan angka arab,
akan tetapi tidak sama dalam penomoran halaman yang menggunakan
huruf jawa. Teks ditulis rapi menggunakan tinta berwarna hitam dan ada
beberapa bagian yang diberi tambahan menggunakan pensil (interpolasi).
Tulisan condong ke kanan dengan jarak antar baris 0,1 cm. Berikut
44
adalah tampilan nomor halaman yang membuktikan penomoran halaman
ganda:
Gambar 25: nomor halaman
Pada gambar 24 terdapat dua nomor halaman. Menggunakan angka arab
dan angka jawa. Nomor halaman yang menggunakan angka arab adalah
sebuah interpolasi nomor halaman. Interpolasi nomor halaman tersebut
ditulis secara recto-verso yaitu penulisan secara bolak-balik. Sedangkan
nomor halaman dengan angka jawa ditulis secara satu muka saja.
Sehingga penomoran halaman tidak sama. Berikut contoh penomoran
halaman yang tidak sama:
Gambar 26: nomor halaman
3 dan 2
Penambahan nomor halaman yang menggunakan pensil tidak sama
dengan nomor halaman yang menggunakan tinta hitam. Penambahan
tersebut ditulis pada kertas teks naskah secara recto-verso (bolak-balik).
Selain interpolasi nomor halaman terdapat interpolasi kalimat dan huruf
di dalam teks naskah Bab Dodotan, sebagai berikut:
45
Gambar 27: interpolasi
Penambahan huruf/kata/kalimat dalam teks
“Mênawa dodoté cilik têgêsé mung pitung kacu”
Terjemahan : Jika dodotnya kecil maksudnya hanya 7 lebar kain
(smbr : Bab Dodotan hlmn 1)
j. Cara penulisan
Teks ditulis menggunakan tinta hitam dengan cara recto-verso. Dalam
penomoran halaman yang menggunakan tinta hitam dan huruf jawa
ditulis secara recto maksudnya hanya satu muka yang ditulisi yaitu pada
halaman ganjil, akan tetapi pada halaman verso (bagian genap) yaitu
pada interpolasi nomor halaman 2, 4 dan 10 terdapat tulisan/teks.
Tulisan/teks tersebut adalah penjelasan mengenai halaman sebelumnya
46
yaitu halaman yang ditulis secara recto. Seperti pada gambar berikut,
berlaku untuk halaman 2, 4 dan 10.
Gambar 28: Cara penulisan
Pada halaman 1 (1) terdapat kata dibalenggi (digaris bawahi warna
merah) untuk keterangan kata dibalenggi berada pada halaman (2).
k. Bahan naskah
Teks ditulis pada kertas bergaris berwarna coklat yang mulai menua.
l. Bahasa naskah
Bahasa yang diggunakan adalah bahasa Jawa baru dengan selingan
bahasa Indonesia.
47
m. Bentuk teks
Naskah Bab Dodotan berbentuk prosa, pada halaman belakang terdapat 2
gambar ilustrasi yang menyangkut mengenai teks cara pemakaian dodot.
n. Umur naskah
Naskah ini berumur sekitar 82 tahun, sebab terdapat tarikh yang berbunyi
Dina Jumuah tanggal kaping 2 Sasi Robiulawal taun Dal Angka 1855,
dan juga pada cover asli naskah yang bertuliskan 1855=1924 yang
dimaksudkan 1924 adalah tahun Masehi
Gambar 29: angka tahun yang terdapat pada sampul naskah
o. Pengarang/ Penulis
Naskah Bab Dodotan ditulis oleh Bupati Anom Keraton Surakarta yaitu
R.T Purbadipura yang dibuktikan dalam teks Bab Dodotan halaman 1
berbunyi:
“... aku Raden Tumenggung Purbadipura, Bupati Anom ing Surakarta...”
Terjemahan : “...saya Raden Tumenggung Purbadipura, Bupati Anom di
Surakarta...”
48
p. Asal-usul naskah
Naskah ditulis oleh R.T Purbadipura di Surakarta. Kemudian naskah ini
menjadi milik Panti Budaya yang kemudian dihibahkan kepada Museum
Sonobudaya, Yogyakarta hingga sekarang.
q. Fungsi sosial naskah
Naskah Bab Dodotan memiliki fungsi sosial yaitu dengan melakukan
penelitian ini dapat mengetahui pengertian dodot kemudian nama-nama
dodot yang digunakan, dan bagaimana cara memakai dodot yang benar
pada masa itu. Naskah ini memberi informasi bahwasanya pada masa
lampau juga terdapat buku teks yang menyangkut mengenai Adat Istiadat
seperti naskah Bab Dodotan ini, tidak hanya itu naskah ini memiliki
peran, serta mempermudah dalam penyampaian kepada para pendidik
khususnya pada bidang Tata Rias Pengantin Jawa.
r. Ikhtisar teks / cerita
Naskah Bab Dodotan menceritakan atau memaparkan tentang cara
memakai dodot dan namanya-namanya. Dalam naskah ini dibagi menjadi
2bagian untuk bagian A terdapat pengertian dodot seperti dalam teks:
“Dodot iku jarik bathik kang dawané sathithik-sathithiké pitung kacu,
akèh-akèhé sangang kacu mori amba, didadèkaké loro jênêng rong
lirang, banjur digandhèng mujur adu sèrèt jênêng dikampuh”
Terjemahan:
Dodot itu kain batik yang panjangnya sedikitnya tujuh lebar kain,
sebanyak-banyaknya sembilan lebar pada kain mori, dijadikan dua
namanya dua lirang, kemudian dijadikan satu searah dan berlawanan
nama dikampuh.
49
Pada bagian B terdapat nama-nama dodot seperti : untuk orang nikah
menggunakan motif namanya Blumbangan atau Bango Buthak. Dodot
yang dipakai pengantin sepasar namanya dodot gadhung mlathi pradan.
2. Kritik Teks
Setelah naskah Bab Dodotan diidentifikasi melalui deskripsi naskah, maka
selanjutnya ialah melakukan kritik teks. Kritik teks adalah memposisikan teks
pada tempat yang sesuai atau tepat, memberi evaluasi dan pengayaan terhadap
teks. Tujuan dari kritik teks adalah untuk mendapatkan teks yang asli, bebas dari
kesalahan yang ditulis oleh pengarang sendiri.
Kritik teks merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmiah oleh seorang
filolog dalam penelitian naskah. Dalam kritik teks, seorang filolog dituntut untuk
mempunyai alasan kuat yang didukung dengan referensi-referensi akurat,
misalnya kamus Bahasa Jawa dalam menentukan bacaan yang benar, sehingga
tidak terjadi penyimpangan yang kemudian akan membingungkan pembaca.
Segala kesalahan maupun kelainan yang terdapat pada naskah, diteliti kemudian
diadakan pembetulan. Adapun pembetulan-pembetulan itu berdasarkan kelompok
kesalahan. Kegiatan ini merupakan usaha yang dilakukan peneliti guna mendapat
suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Untuk mendapatkan suntingan teks dan
aparat kritik dalam penelitian ini harus melalui tahap kritik teks terlebih dahulu.
Kelainan bacaan (varian) yang terdapat dalam naskah Bab Dodotan
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Lakuna
b. Adisi
50
c. Hiperkorek
d. Korup
e. Ketidakkonsistenan tulisan
Pengelompokan varian yang terdapat dalam naskah Bab Dodotan
dimasukkan dalam bentuk dalam tabel untuk mempermudah pemahaman, adapun
pembuatan singkatan sebagai berikut:
$ : Edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik
& : Pertimbangan konteks kalimat
ᴤ : Teks interpolasi
A : Menerangkan bahwa teks termasuk dalam jenis varian
Adisi
b : Baris
Edisi teks : Teks yang dibetulkan
H : Menerangkan teks termasuk dalam jenis varian
Hiperkorek
Hlmn : Halaman
K : Menerangkan bahwa teks hilang atau rusak (Korup)
L : Menerangkan bahwa teks termasuk dalam jenis varian
Lakuna
No : Menerangkan nomor urut
U : Berdasar urutan halaman
W : Wawancara ahli
Berikut sajian daftar varian yang terdapat pada naskah Bab Dodotan:
51
Tabel 1
Daftar Kata yang Tergolong Jenis Varian Lakuna
Tabel 2
Daftar Kata yang Tergolong Jenis Varian Hiperkorek
Tabel 3
Daftar Kata yang Tergolong Jenis Varian Adisi
No Hlmn/b Kata Edisi Teks
1 2(3)/3 Palipitdan Palipidan A$
No Hlmn/b Teks Kata Edisi Teks
1 1/1
Sasi
Rabinguawal
Sasi
Rabiulawal
L$
2 5(9)/10
Bangkèka Bangkèkan
L$
N
o
Hlmn/
b
Teks Kata Edisi Teks
1 7(13)
/22
Kalangsrah Kêlangsrah
H$
52
Dengan gambar teks bab dodotan sebagai berikut:
Gambar 30: Adisi
“palipitdan diwiru” jadi “palipidan diwiru”
Tabel 4
Daftar Kata yang Hilang / Korup
No Hlmn Teks Bab Dodotan Kata Edisi Teks
1 Verso
(2)
Rénda
kêmbang
{...}
Rénda
kêmbang
suruh K&
2 2(3)
Kang tiba
a{...} jero
Kang tiba
ana ing jêro
K&
3 Verso
(4)
Buburon
a{...}
Buburon
alas K&
4 Verso
(4)
Kêndhêla,
kê{...}
Kêndhêla,
kêmbang
sapethil
K&
53
5 Verso
(4)
ma{...} mau
diprada
déné K&
6 Verso
(4)
Pa{...} Pangantèn
sapasar K&
7 3(5)
Lêbokna
{...}
Lêbokna
marang
sangarêping
K&
8 3(5)
Kanggo
mi{...}
Kanggo
minangka
kanthong
K&
9 3(5)
Salê{...} Salêmpitna
marang
sabukan
K&
10 3(5)
Nyalêmpi
{...}
Nyalêmpita
ke K&
11 3(5)
{...}ganda
re
Kêris utawa
gandaré
K&
54
12 7(13)
Bongko
{...}
Bongkoting
kunca K&
13 8(15)
Tiba
cethi{...}
Tiba cethik
têngên K&
14 8(15)
Ba{...} Banjur rupa
kaya kêpuh
K&
15 8(15)
{...}dalem
Ratu
Kajaba
Panjênênga
n dalêm
Ratu K&
Tabel 5
Daftar Paragraf/kalimat hilang/korup
No Hlmn Teks Bab Dodotan Edisi Teks
1 2
Balênggi iku wusأ
nganggo papan
ana ing pucuking
dodot. Ingkono
ditémbok wutuh
kira-kira ambané
sacêngkang,
55
sawisé dibabar,
banjur dibodholi
karo dom. Manut
serating bênang,
kang mujur
dikèrèkaké, kang
malang dibuang,
banjur duwé rupa
kaya gombyoking
renda kembang
suruh. KW&ᴤ
2 3
Nuli kang
sumampir
pundhak
diudhunaké,
ubêtna manêngên
turut bangkèkan,
tiba sakiwaning
ula-ula, yèn wus
sumèlèh ditali
ngubêngi
bangkèkan tiba
sangisoring
sabukan
56
dikancingake,
kang minangka
sabukan ucul
banjur diubêtaké
ing bangkékan
mangiwa
minangka
sabukan mubêng
manêngên mêtu
buri pucuke
talèkna manèh
kaya bab:6:
nontona gambar
angka: :
K&W
Tabel 6
Daftar Kata yang Tergolong Tidak konsisten
No Hlmn/b Kata Edisi Teks
1 1/10
1/16
Verso (2)/6
3(5)/13
Banjur Banjur $
57
Ketidakkonsistenan penulis dituang dalam bentuk grafik, sebagai berikut:
1. Kata banjur
(a) Gambar 31: Banjur
(b) Grafik 32: Banyjur
5(9)/7
5(9)/13
5(9)/14
7(13)/18
5(9)/9 Banyjur
2 1/12 Palipidan Palipidan A$
7(13)/3 Palipitdan
3
7(13) Kalangsrah Kêlangsrah H$
8(19) Kelangsrah
58
2. Kata palipid
(a) Gambar 33: palipitdan
(b) Gambar 34: palipidan
3. Kata ratu
(a) Gambar 35: Ratu (ta murda)
(b) Gambar 36: Ratu
4. Kata kêlangsrah
(a) Gambar 37: Kalangsrah
59
(b) Gambar 38: Kêlangsrah
Tabel 7 Kesalahan Nomor Halaman
No Nomor hlmn pada teks Pembetulan
1 18 14 U
2 19 15 U
3 20 16 U
4 21 17 U
5 22 18 U
6 23 19 U
7 24 20 U
8 25 21 U
9 26 22 U
10 27 23 U
3. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah sajian teks dalam bentuk alih aksara sesuai teks asli
atau mendekati aslinya yang bersih dari kesalahan, didasari dengan bukti-bukti
yang terdapat pada naskah yang dikritisi.
Aparat kritik merupakan pertanggungjawaban dalam penelitian naskah
yang menyertai suntingan teks dan menjadi lengkap dengan kritik teks. Segala
60
kelainan (varian) bacaan yang terdapat dalam naskah Bab Dodotan ditampilkan
dalam satu wadah yaitu aparat kritik. Aparat kritik yang dimaksudkan dalam hal
ini berada di bagian bawah suntingan teks (semacam catatan kaki / footnote). Jadi,
untuk mendapat suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara
filologi, dalam tahap ini suntingan teks disertai dengan aparat kritik dan kritik teks
yang telah dikritisi ditampilkan secara bersamaan.
Suntingan teks dan aparat kritik terhadap naskah Bab Dodotan
ditampilkan sesuai dengan kondisi naskah teks asli. Berikut suntingan teks dan
aparat kritik naskah Bab Dodotan yang sesuai dengan kondisi naskah teks aslinya.
Untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman terhadap naskah Bab Dodotan,
digunakan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Penggunaan angka arab dalam kurung tegak [1], [2], [3], [4] dan
seterusnya menunjukkan pergantian halaman naskah secara recto (sesuai
dengan teks aslinya), sedangkan untuk nomor halaman (1), (2), (3), (4) dan
seterusnya yang berwarna hijau (green) adalah penomoran halaman secara
recto-verso yang berupa interpolasi, sehingga nomor halaman tidak sama
dengan nomor halaman teks yang ditulis menggunakan huruf jawa dan
bertinta hitam.
b. Penggunaan angka arab ...ˡ ...² ...³ dan seterusnya, berada pada kanan atas
teks adalah penunjuk bahwa teks memiliki varian, yang kemudian
dibetulkan dengan edisi teks, ditunjukkan sama dengan nomor varian dan
berada di bagian bawah halaman berupa catatan kaki (footnote).
c. Penggunaan warna hijau/green adalah sebuah interpolasi/tambahan kata,
kalimat yang menggunakan pensil di dalam teks asli naskah.
61
d. Tanda kurung kurawal yang di dalamnya terdapat tanda titik berjumlah
tiga {...} adalah penanda bahwa teks korup/rusak hanya satu kata.
e. Tanda modifer yang di dalamnya terdapat tiga titik <...> adalah penanda
bahwa teks korup lebih dari satu kata.
f. Huruf „ê‟ pada kata, dibaca ê seperti kata „têrbit‟ dalam bahasa Indonesia.
g. Huruf „è‟ pada kata, dibaca è seperti kata pèndèk dalam bahasa Indonesia.
h. Huruf „é‟ pada kata, dibaca e seperti pada kata sore dalam bahasa
Indonesia.
i. Penggunaan huruf arab alif hamzah (أ) pada suntingan adalah pengganti
angka arab 1 yang terdapat pada teks asli, karena jika ditulis menggunakan
angka arab 1 (sama) akan merusak edisi teks.
j. Penggunaan tanda square root (√) pada teks suntingan menandakan di
dalam teks terdapat interpolasi atau tambahan penulis yang menggunakan
bahan tulis pensil.
k. Tanda L, memberi keterangan bahwa kata yang diganti termasuk dalam
varian Lakuna.
l. Tanda A, memberi keterangan bahwa kata yang diganti termasuk dalam
varian Adisi.
m. Tanda H, memberi keterangan bahwa kata yang diganti termasuk dalam
varian Hiperkorek.
n. Tanda K, memberi keterangan bahwa kata yang diganti korup atau tidak
dapat dibaca.
o. Tanda $, memberi keterangan penggantian kata berdasar pertimbangan
linguistik.
62
p. Penggunaan huruf s terbalik (ᴤ), memberi keterangan bahwa kalimat
tersebut berupa interpolasi, di dapat dari teks asli.
q. Tanda U, memberi keterangan bahwa nomor halaman interpolasi tidak
urut, dan dibenarkan berdasar urutan penomoran halaman interpolasi.
r. Tanda W, memberikan keterangan edisi hasil wawancara kepada ahli.
s. Tanda &, memberi keterangan penggantian kata berdasar konteks kalimat.
t. [kosong], merupakan teks kosong.
u. Penulisan teks menggunakan aksara (ô), seperti pada kata minôngka
mi[n=ok, akan alih aksara dengan minangka.
v. Penulisan kata ulang dalam teks, dialihaksarakan dengan menggunakan
tanda hubung (-). Seperti: kir kir menjadi kira-kira.
Berikut adalah sajian suntingan teks dan aparat kritik naskah Bab Dodotan
sesuai dengan teks asli naskah:
[1](1) Dina Jumuah tanggal kaping 2 sasi Rabinguawal1 taun Dal angka 1855
aku Radèn Tumênggung Purbadipura, Bupati Anom ing Surakarta. Mratélakaké
patrap lan jênêngé wong dodotan, kaya ing ngisor iki.
1 Rabiulawal L$
63
Bab 1
Dodot iku jarik bathik kang dawané sathithik-sathithiké pitung kacu, akèh-akèhé
sangang kacu mori amba, didadèkaké loro jênêng rong lirang, banjur digandhèng
mujur adu sèrèt jênêng dikampuh, pucuk kang sisih dibalênggiأ sisihé dipalipid.
Nonton gambar angka 1 A
Bab 5
Wong arêp dodotan iku kang lumrah mêsthi nganggo calana utawa saruwal
diênggo dhisik. Sawisé mangkono banjur ngêtrapaké dodot marang badané.
√
Bab 6
Patrapé yèn arêp dodotan iku, pojoking dodot kang balênggèn diwiru tumêka
pojoking dodot kang sisih (ngéncong) banjur disampiraké pundhak têngên.
Saturahé kang ngêndhuruk diubênga-[2](3)ké ing badan mangiwa, sèrèté kang
dhuwur diangkaha aja nganti kêtalip=ora kétok, yèn wus têpung têkan lambung
kiwa, pojoking dodot kang palipitdan2 diwiru ngéncong, banjur diubêtaké ing
2 palipidan A$ balênggi iku wus nganggo papan ˂ ana ing pucuking dodot. Ing kono ditémbok wutuh kira-kira أ
ambané sacêngkang, sawisé dibabar, banjur dibodholi karo dom ˃ Manut sêrating bênang, kang
mujur dikèrèkaké, kang malang dibuang, banjur duwé rupa kaya gombyoking rénda kêmbang
s{uru}h. ᴤK&
√ Mênawa dodoté cilik têgêsé mung pitung kacu ing mangka kang nganggo priyayi gêdhé duwur,
kang mêsthi bakal jingkrang, mulané wiwit sangénconging dodot pucuk bênanging panjupuké karo
diwiru kudu mèncèng marang balênggi kapara akèh, dadi mêngko talining wêdhung ngisara dada.
Kosok balèné yèn dodoté gêdhe têgêsé sangang kacu, ing mangka kang nganggo priyayi gêdhe
jamak, kang mêsthi kasak kêklèmbrèhèn. Mulane sawit pangènconging dodot uga kaya pucuk
bênêr, nanging panjupuké karo diwiru pucuke marang sèrèt kapara akèh manèh. ᴤ
64
bangkékan mangiwa minangka sabukan, pucuké ditalèkaké pungkasaning wiron
kang ana ing lêmpèng kiwa.
Bab 7
Nuli kang sumampir pundhak diudhunaké, ubêtna manêngên turut bangkèkan,
tiba sakiwaning ula-ula, yèn wus sumèlèh di ˂...˃3 manèh kaya bab 6 nontona
gambar angka: :
Bab 8
Pojoking dodot kang tiba a{...}4 ing jêro kaprênah ngarêp, iku jèrèngên mangiwa
manêngên, kang rata dèn kongsi ilang rasané angganjêl utawa malilit marang
wêtêng, yèn pojoking dodot kêdawan kongsi têkan dhêngkul, iku pucuké têkukên
munggah. Salêmpitna ing kêmpung kiwa, supaya aja ribêt.
Bab 9
[verso](4) Bab 2
B kajaba kang kasêbut bab:1: ana manèh dodot bathik latara irêng latara putih,
têngah ora dibathik, amung ditémbok byur putih √ iku agêmé para pangéran
munggah utawa kanggoné pangantèn nikahan; Jênêng balumbangan utawa
bango buthak. Nontona gambar angka: :
3 ditali ngubêngi bangkèkan tiba sangisoring sabukan dikancingake, kang minangka sabukan ucul
banjur diubêtaké ing bangkékan mangiwa minangka sabukan K&W 4 Ana K&
√utawa sok ditumpangi pangenta-enta, putra nata jênêngé ana manêh dilimbang. ᴤ
65
Bab 3
Lan manèh ana dodot anggoné pangantèn têmu ênggon bathikan; ha na ca ra;
mau irêng byur, banjur ditulis gambar buburon {...}5, éstha macan, manjangan,
kupu, kêndhêla, kêmba{...}6 sapêthil. ésthan-ésthanan m{...}
7 déné têngahé. :ka da
ta sa wa la: lêstari putih diarani dodot bangun tulak pradan.
Bab 4
Kaya bab:3: amung kacèké; ha na ca ra : digadhung iku kanggoné pa{...}8,
diarani dodot gadhung mlathi pradan.
[3](5) dodot kang kalèmbrèh kaprênah pupu têngên, cincingna malêbu.
Salêmpitna sabukan lêmpèng têngên. cumincingé kira-kira sèrèté tiba
sandhuwuring dhêngkul cakêt. ênggoné nyalêmpitaké mau ora amung janji
nyalêmpit kudu diangkah kang ngisor murih turut, ngarêp buriné bisa anyerong
mégos kalèmbrèh mangiwa, salêmpitaning lêmpèng têngên mau. Sarêhné
nganggo dipèsthi sèrèté tiba sandhuwuré dhêngkul cakêt. Tamtuné ijèh ana kang
ngêndhuruk ana ing pupu têngên, kang ngêndhuruk mau wingkisén mêtu. Lêbokna
{...}9 sangarêping kêmpung kang rata (kêna kanggo {...}
10 kanthong) turahané
kang ana cêthik têngên. Banjur {...}11
lêmpèng uga têngên. Tamtu bisa katon rêsik
lungsirané wijang
5 Alas K&
6 kêmbang K&
7 mau diprada K&
8 pangantèn sapasar K&
9 marang K&
10 minangka K&
11 salêmpitna marang sabukan K&
66
Bab 10
Cincingan kang sumlêmpit mandhuwur mau, kang buri tumrap sajêroning
sabukan iku ana parluné12
, kanggo {...}13
{...}14
gandaré ora anggêpok kuliting
boyok, mulané tatanên kang rêsik. Têgêsé aja nganti tapsirih bisaa lêga lêbuning
gandar kêris kang dianggo, ing dhuwur kètokna turut sabukan kaprênah ngisor
têpak têngên, kang buri mung têkan (6)[kosong] [4](7) ing ula-ula. Disambungi
sabukan kang saka kiwa, uga tiba ing ngula-ula. Dadi katon adu mancung, ana
sandhuwuring sabukan buri.
Bab 11
Nalika nindakaké bab 9 ing nduwur mau, iki uga mèlu diaraha kalèmbrèhé kang
mucuk bisa anarampat lêmah, (ing jêmpolan sikil kiwa) aja kongsi katut
kacincing, pucuké katona lincip kaya godhong suruh mangkana manèh dodot
kang tiba pupu kiwa mangisor, uga diangkaha aja kongsi katut kacincing, malah
bisaa kalèmbrèhé tiba ing polok kiwa, iku pidakan jênêngé. Dadi kang jênêng
cincingan iya kang cumincing, kang jênêng samparan iya kang sumampar, kang
jênêng pidakan iya kang sawatara kapidak. Ora-orané iya mung tiba polok. Aja
kongsi ninggal jênêng, dadi kang têngên jaluk kepara munggah, kang kiwa
ngarêp buri jaluké para kalèmbrèh, nontona gambar angka: :
Bab 12
Sawusé rampung rêsik ênggoné nincingaké utawa ngalèmbrèhaké, sarta wus ora
ana kang karasa angganjêl malilit. Kêkêndhon, kêkêncengên,(8)[kosong] [5](9)
12
pêrlune H$ 13
nyalêmpitake K& 14
kêris utawa K&
67
têgêsé wus rasa kapénak. Tumuli lêmpitan dodot kang tiba cêthik têngên buri (iku
bakal kêpuh utawa kunca) sèrèté gèrèdên manêngên tibakna cêthik têngên.
Balêngginé aja owah ana cêthik kiwa, sakèriné tatanên mangiwa manêngên kang
warata, aja kongsi kandêl tipis wiwironé, ing kono katon ngêndharah pucuké
narampat lêmah. Banjur têkukên munggah pucukké sampirna pundhak têngên,
ingêpok turahana satêbah saka watêsing sabukan, banjur talènanaأ. Taliné
ngubêngi bangkèka15
tiba sangisoring sabukan. Panyindhêté ana ing ngarêp kang
kêncêng tali wangsul, kang sumampir pundhak udhuna, ditata manèh kang rata,
banjur ukurên manut dawaning bahu mangisor, watês jêmpolan tangan kiwa
têngên, banjur tekukên munggah mêtu sangisoré kang dèn ukur. Pucuké
salêmpitna kêndhitan kang wus tumali kang kukuh, têkukan mau jênêngé kêpuh.
Nontona gambar angka: :
Bab 13
Tumuli ujunging dodot kang minangka sabuk uculana, parlu ngêpénakaké karo
nata wujud lan rasané tumraping sabukan, kayata: kêkêncêngên, kêkêndhon,
ngêndhêlong lan jêngkêrut sapituruté (10)[kosong] [6](11) kanggo pikir kurang
prayoga. Sawusé kok rasa pakolèh, banjur balèkna manèh pucuké tumali ing
bangkèkan kiwa. Pucuké jèrèngên iku jênêng tali wêdhung kang dèn anggo.
15
bangkekan L$ kêndhitan saka sèrèting cindhé. Gêdhéné sajêmpoling tangan. Dawané manut gêdhé cilikingأ
wêtêng kapara turah dawa ning kêna nganggo tali liyané amung janji kang dikukuhi. ᴤ
68
Bab 14
Sawisé tata prayoga kêpénak, banjur nganggoa ukup. Ukup mau kukuhé ana
sarana timang, ana sarana cathokan, papasangé ana sandhuwuring sabukan.
Tumuli ujunging dodot kang digawé sabukan, sèrèté wêtokna mandhuwur, sawisé
mêtu banjur tutupna marang èpèking ukup, mung ing ngarêp ênggon timang
utawa cathokan iku kang ijèh katon.
Bab 15
Ukup iku amba dawa kandêl tipisé kaya èpèk, nanging ing buri nganggo gèmblèh
loro dawané sakilan. Lêté siji lan sijiné amung têlung nyari, déné kang dianggo
akèh warnané, kayata : rénda, cindhé, limar, moga, bludru disulam sangkèlat.
Kabèh mau wanguné padha, amung ukup moga kang tanpa rénda= bênang mas;
iku diarani ukup moga gubêg, ingkang kalilan ngang-(12)[kosong]-[7](13)go
para santana dalêm ingkang sêsêbutan Arya, nontona gambar angka: :
Bab 16
Kasebut bab: 12: iku dodotané para Bupati, Mayor riya ngisor, Pangulu, diarani
dodotan tumênggungan. Déné panèwu mantri lurah bêkêl jajar, yèn dodotan
patrap lan wujudé mèh padha baé, kacèké amung cincingané tiba sangisoring
dhêngkul lan manèh dodoté tanpa balênggi, (palipidan kiwa têngên) iku diarani
dodotan; kadêmangan;
Bab 17
Para pangéran papatih dalêm, kangjêng gusti kampuhané = dodotané iya mèh
padha baé, bédané karo kang kasêbut bab 12 mangkéné : panêkuking kunca mêtu,
69
kaubêdaké ing gandaring kêris. Saka sangisoring cangklakan têngên. Banjur tiba
ing buri, kaduduta kang akèh, supaya pucuké bisa kalangsrah16
ing lemah, dadi
yèn nganggo tali, taliné tibakna sangisoring sabukan, {...}17
kunca kang tiba
sangisoring warangka kêris tahanên kang bacak. Aja kongsi pating jêkonong
(1818
)[kosong][8](1919
) wironé kang rata, déné ambané kira kira amung
sacêngkang, iku kêna digawé wêwadhah kacu utawa wadhah rokok. Déné
kuncané yèn kêpara kêlangsrah malah bêcik. Sarta panincinging dodot kapara
munggah têkan sangisoring cêthik têngên. Kira-kira amung sacêngkang, nontona
gambar angka: :
Bab 18
Dodotané riya dhuwur kaya bab : : kacèké panêkuké kunca mêtu, banjur
sumampir marang gandaring keris. Pucuké tiba cêthik {...}20
. dawané kèh-kèhé
amung rong cêngkang, ing buri ijèh sarupa kêpuh, nanging ambalik mêtu, dadi
karo bab 12 walikan, nontona gambar angka : :
Bab 19
Yèn kampuhané panjênêngan dalêm Ratu, kuncané ora nganggo dipardi manèh,
têrus ngêndharah mangisor kongsi kêlangsrah lêmah, déné samparané kaprênah
ing têngah diunggahaké ngaggo tali kaya bab 17 pucuké saiki tiba ana ing
jêngku=dêngkul kiwa, sandhuwuré {...}21
rupa kaya kêpuh, nanging ana ngarêp.
16
kelangsrah H$ 17
bongkoting K& 18
14 U 19
15 U 20
têngên K& 21
banjur K&
70
Iku dodotan grêbong kandhêm jênênge = iya kêprabon. {...}22
panjênêngan dalêm
ratu, kampuhan kê-(2023
)[kosong][9](2124
) prabon mau kang kanggo para
pangantèn. Gêdhé cilika dodotané padha mangkana, nontona gambar angka: :
katon saka ngarêp gambar angka: : katon saka buri.
Bab 20
Kuluk biru nom iku agêm dalêm utawa agêmé para pangéran putra, papatih
dalêm utawa pangantèn têmu, diarani kuluk biru kêmbang wèwèhan, yèn para
pangéran santana lan riya dhuwur, biruné rada tuwa. Kuluk Pramané =
panunggul
Bab 21
Kuluk kanigara, iku agêm dalêm utawa agêmé pangéran papatih dalêm. Para
Bupati arya ngisor, arya dhuwur, litnan kolonèl, lan para mayor utawa
pangantèn bubar têmu.
Bab 22
Kuluk irêng, saka gêrusan mori diuwori nila, nganggo rangkêpan calumpring,
utawa saka congkèng dicèt irêng gilap. Iku anggoné para bupati utawa abdi
dalêm prajurit jêro litnan kolonèl sapangisor, yèn padinan diarani kuluk prêji.
22
kajaba K& 23
16 U 24
17 U
71
(2225
)[kosong][10](2326
) Bab 23
Kuluk putih, saka gêrusan mori kongsi tipis miyar miyar bêning, iku anggoné
para bupati yèn sèba dina gêdhé, diarani kuluk mathak manawa nganggo
rangkêpan calumpring, diarani mathak balibar.
Bab 24
Kuluk irêng, saka kêsting iku anggoné panèwu mantri lurah lan bêkêl.
Bab 25
Kuluk putih, saka kêsting, iku anggoné abdi dalêm kang pangkat jajar, utawa
babur kapêdhaké para luhur, nanging saiki akèh kang padha kuluk irêng
kapêdhak mau, kabèh kang nganggo kuluk ditamtokaké nganggo nyamat. Amung
panjênêngan dalêm nata lan pangantèn iku kang tanpa nyamat.
Bab 26
Déné ukurané kuluk-kuluk mau, sawisé diukur sêdhêngan karo gêdhé ciliking
sirah sapira dawaning ubêng, banjur dipara papat, sabagéhané dianggo
dêdêging kuluk lan ambaning tarak = tutuping kuluk kang dhuwur, iku ukuran
kuluk kuna, (Surakarta Awal tume-(2427
)[kosong][11](2528
)ka ing mataram), yèn
saiki kang didêmêni padha nganggo kuluk kang rada cilik ing dhuwur, mulané
sabagéhané prapatan kang kanggo ukurran tarak, sudanên dawané anaa sanyari,
supaya katon rada mêthit, nontona gambar angka: :
25
18 U 26
19 U 27
20 U 28
21 U
72
Bab 27
Calana iku uga akèh warnané, kayata; cindhé, limar, uyah sawuku, kêling,
gunung guntur, sutra, baludru, lakên lurik, sapanunggalané, kabèh mau wangun
lan pamatrapé iya padha baé, calana iku kang dianggêp bêcik dhéwé amung
cindhé, calana cindhé iku ana rupa loro, siji gubêg, loro sorot. Gubêg iku agêmé
para arya munggah têkan panjênêngan dalêm nata, sorot iku anggoné para
bupati, kang dèn arani sorot iku, pucuking cindhé kang tulisé lincip kaya tumpêng
jèjèr-jèjèr, kabèh calana pucuké mêsthi nganggo sèrèd rénda ambané kira kira
rong sènti mètêr, nontona gambar angka: :
Bab 28
Calana putih byar, iku anggoné panèwu mantri lurah bêkêl jajar anggandhèk
utawa pangantèn lanang ningkahan.
(2629
)[kosong][12](2730
) Bab 29
Wêdhung iku rupané baya wus padha sumurup. Kang winênang ora ngagêm
amung panjênêngan dalêm nata, gandhèk bupati kang dadi utusan dalêm yèn dina
gêdhé, lan pangantèn, liyané kang kasêbut mau, ditêmtokaké. Yèn sèba ana
sitinggil srimanganti ing kadhaton. Utawa anaa ing ngêndi-êndi yèn ana
ngarsaning ratu, kudu nganggo wêdhung, kajaba putra santana ing nata.
29
22 U 30
23 U
73
Bab 30
Nyamat iku mas utawa salaka pinatik intên, trakadhang amung lugas baé tanpa
intên. Ana kang éstha krun, malah manawa puwungan amung nganggo
kêmbanging cêngkèh baé, déné kang lumrah nyamat iku gêdhéné amung
sakêmbang malathi.
Tamat
4. Terjemahan
Terjemahan merupakan suatu tindakan guna mempermudah dalam
penyampaian isi naskah yang dilakukan setelah transliterasi. Transliterasi dan
suntingan teks pada naskah Bab Dodotan dari huruf jawa ke huruf latin telah
dilakukan, dengan demikian dari hasil transliterasi dan suntingan teks tersebut
kemudian dilakukan terjemahan ke dalam bahasa sasaran yaitu bahasa Indonesia
terhadap naskah Bab Dodotan.
Naskah teks asli Bab Dodotan ditulis menggunakan huruf jawa dengan
rapi yang di dalamnya terdapat banyak tambahan tulisan menggunakan pensil.
Tambahan-tambahan tersebut sering disebut interpolasi yang fungsinya untuk
memperjelas alur teks.
Interpolasi pada naskah Bab Dodotan berperan penting dalam rangkaian
urutan teks naskah. Interpolasi ini dapat digunakan untuk merekontruksi naskah.
Agar tidak merusak teks asli naskah, rekontruksi dilakukan pada terjemahan
sesuai dengan makna dan urutan tambahan tulisan yang ditulis oleh penulis
naskah tersebut. Rekontruksi ini hanya merubah sedikit letak dari teks naskah
74
yang kurang sesuai yang berdasarkan dari berbagai pertimbangan sehingga teks
menjadi runtut dan jelas.
Teks yang runtut akan mempermudah pembaca dalam memahami sebuah
tulisan. Dari permasalahan keruntutan teks, naskah bab dodotan perlu dilakukan
rekontruksi teks tetapi hanya sebagian atau mengulang dan mengurutkan. Karena
penulisan nomor halaman pada naskah ada dua, walaupun salah satu berupa
interpolasi akan tetapi interpolasi di sini memberi petunjuk urutan alur cerita
naskah Bab Dodotan. Urutan alur cerita dari naskah Bab dodotan yang dituang
dalam terjemahan ini, tidak sesuai pada penomoran halaman teks asli. Akan tetapi
menggunakan urutan “bab” pada teks dan ada beberapa interpolasi yang tidak
ditampilkan dalam terjemahan ini karena menurut peneliti akan merusak alur teks.
Sedangkan untuk nomor halaman teks asli tetap dicantumkan dalam terjemahan
kali ini. Berikut terjemahan dari naskah dan teks Bab Dodotan yang telah
direkontruksi dan bersih dari kesalahan:
Tabel 8. Terjemahan
Teks Bab Dodotan Terjemahan
[1] Dina Jumuah tanggal kaping 2
sasi Rabiulawal taun dal angka
1855 aku Radèn Tumênggung
Purbadipura, Bupati Anom ing
Surakarta. Mratélakaké patrap
Hari Jumat tanggal 2 bulan Rabiulawal
tahun Dal 1855. Saya Raden
Tumenggung Purbadipura, Bupati
Anom di Surakarta menerangkan cara
dan namanya orang memakai dodot,
75
lan jênêngé wong dodotan, kaya
ing ngisor iki.
seperti di bawah ini
Bab 1
Dodot iku jarik bathik kang
dawané sathithik-sathithiké pitung
kacu, akèh-akèhé sangang kacu
mori amba, didadèkaké loro
jênêng rong lirang, banjur
digandhèng mujur adu sèrèt
jênêng dikampuh, pucuk kang
sisih dibalênggiأ sisihé dipalipidi.
Nonton gambar angka 1 A
Dodot itu kain bathik yang panjangnya
sedikitnya tujuh sapu tangan,
sebanyak-banyaknya sembilan sapu
tangan lebar kain mori (kain putih
polos). Dijadikan dua lirang (barang
yang umumnya satu pasang).
Kemudian dihubungkan ke arah
berlawanan sèrèt, namanya di kampuh.
Ujung yang bagian balenggi (pinggir
kain yang di sulam benang mas),
sisinya ditekuk/dilipat. Lihat gambar
angka 1 A
[verso] أbalênggi iku wus nganggo
papan ana ing pucuking dodot.
Ing kono ditémbok wutuh kira-
kira ambané sacêngkang sawisé
dibabar, banjur dibodholi karo
dom manut serating bênang. Kang
mujur dikèrèkaké, kang malang
dibuang. Banjur duwé rupa kaya
Balenggi itu sudah memiliki tempatأ
yaitu pada ujung dodot. Disana
ditembok utuh kira-kira lebarnya
sejengkal jari setelah dicuci
(menghilangkan malam). Kemudian
dirusak (disuwir) mengikuti serat kain
menggunakan jarum. Kemudian yang
searah dikerjakan akhir, yang
76
gombyoking rénda kêmbang
suruh.
berlawanan (tidak searah) dibuang.
hingga seperti renda bunga sirih.
[verso] Bab 2
B kajaba kang kasêbut bab 1 ana
manèh dodot bathik latar irêng
latar putih, têngah ora dibathik,
amung ditémbok bur putih.
√utawa sok ditumpangi
pangentha-entha putra nata
jênêngé ana manêh dilimbang. iku
agêmé para pangéran munggah
utawa kanggoné pangantèn
nikahan; Jênêng balumbangan
utawa bango buthak. Nontona
gambar angka: :
B kecuali yang disebutkan bab 1 ada
lagi dodot batik latar hitam latar
putih, tengah tidak di batik hanya
ditembok putih polos. √atau kadang
ditambahi motif-motif untuk putra
nata ada lagi namanya yaitu
dilimbang. Itu dipakai oleh Pangeran
ke atas atau pengantin nikahan,
namanya blumbangan atau bango
buthak. Lihat gambar angka: :
Bab 3
Lan manèh ana dodot anggoné
pangantèn têmu ênggon bathikan;
ha na ca ra; mau irêng byur,
banjur ditulis gambar bêburon
alas, éstha macan, manjangan,
kupu, kêndhèla, kêmbang sapêthil.
Dan ada lagi dodot yang dipakai
pengantin temu (bertemu
pasangannya) menggunakan batik: ha
na ca ra: tadi hitam polos, lalu
digambar bentuk binatang buruan di
hutan, dilukis menyerupai macan,
77
ésthan-ésthanan mau diprada
déné têngahé. :ka da ta sa wa la:
lêstari putih diarani dodot bangun
tulak pradan.
kijang, kupu, capung besar, bunga
pethik. Lukis-lukisan tadi dihias,
sedangkan tengahnya : ka da ta sa wa
la: tetap putih diberi nama dodot
bangun tulak pradan
Bab 4
Kaya bab 3 amung kacèké; ha na
ca ra : digadhung iku kanggoné
panganten sapasar, diarani dodot
gadhung mlathi pradan.
Seperti bab 3 hanya saja :ha na ca ra:
itu diberi warna hijau dipakai untuk
pengantin sepekan namanya dodot
gadhung mlati pradan.
[1]Bab 5
Wong arêp dodotan iku kang
lumrah mêsthi nganggo calana
utawa saruwal diênggo dhisik.
Sawisé mangkono banjur
ngêtrapaké dodot marang badané.
Mênawa dodoté cilik têgêsé mung
pitung kacu ing mangka kang
nganggo priyayi gêdhé duwur,
kang mêsthi bakal jingkrang,
mulané wiwit sangénconging
dodot pucuk bênanging panjupuké
Orang yang akan memakai dodot itu
pasti memakai celana atau saruwal
terlebih dahulu. Setelah itu lalu
memakai kain dodot di badan. Jika
dodotnya kecil maksudnya hanya 7
ukuran lebar kain, padahal untuk
orang yang tinggi besar yang pasti
akan kurang sesuai. Makanya, dari
yang melengkung ujung benangnya
sekalian diwiru, harus sesuai terhadap
balenggi yang terbagi banyak, jadi
78
karo diwiru kudu mèncèng
marang balênggi kapara akèh,
dadi mêngko talining wêdhung
ngisara dada. Kosok balèné yèn
dodoté gêdhe têgêsé sangang
kacu, ing mangka kang nganggo
priyayi gêdhe jamak, kang mêsthi
kasak kêklèmbrèhèn. Mulane
sawit pangènconging dodot uga
kaya pucuk bênêr, nanging
panjupuké karo diwiru pucuke
marang sèrèt
nanti tali wedhungnya di bawah dada.
Kebalikannya jika dodotanya besar
maksudnya 9 ukuran lebar kain yang
untuk orang besar 2kalinya, pasti akan
menjuntai. Makanya untuk
lengkungan dodot juga harus runcing
bener, namun mengambilnya sekalian
dilipat ujung sèrètnya
Bab 6
Patrapé yèn arêp dodotan iku,
pojoking dodot kang balênggèn
diwiru tumêka pojoking dodot
kang sisih (ngéncong) banjur
disampiraké pundhak têngên.
Saturahé kang ngêndhuruk
diubênga-[2]ké ing badan
mangiwa, sèrèté kang duwur
diangkaha aja nganti kêtalip=ora
kétok, yèn wus têpung têkan
Caranya jika akan memakai dodot itu,
pojok dodot yang balenggen dilipat
sampai ke pojok dodot yang sisi
serong lalu disampirkan pada pundhak
atau bahu sebelah kanan. Sisanya yang
menjuntai ke bawah dililitkan kebadan
kearah kiri, seretnya yang atas
diperhatikan jangan sampai terselip =
tidak keliatan, kalau sudah sampai ke
lambung kiri, pojok dodot yang
79
lambung kiwa, pojoking dodot
kang palipidan diwiru ngéncong,
banjur diubêtaké ing bangkékan
mangiwa minangka sabukan,
pucuké ditalékaké pungkasaning
wiron kang ana ing lêmpèng kiwa.
ditekuk tadi dilipat serong, lalu
dililitkan pinggang ke kiri ketika
memakai sabuk, ujungnya diikatkan
pada ujung lipatan yang ada
dipinggang sebelah kiri.
Bab 7
Nuli kang sumampir pundhak
diudhunaké, ubêtna manêngên
turut bangkèkan, tiba sakiwaning
ula-ula, yèn wus sumèlèh ditali
ngubêngi bangkèkan tiba
sangisoring sabukan
dikancingake, kang minangka
sabukan ucul banjur diubêtaké
ing bangkékan mangiwa
minangka sabukan mubêng
manêngên mêtu buri pucuke
talèkna manèh kaya bab 6
nontona gambar angka: :
Kemudian yang telah disampirkan
pundhak tadi diturunkan, belitkan
kekanan mengikuti pinggang sampai
sebelah kirinya punggung, jika sudah
siap diikat memutar pinggang sampai
ke bawah sabuk dikancingkan, jika
sabukan lepas lalu diikatkan lagi ke
pinggang kiri seperti sabukan ke arah
kanan lewat belakang ujungnya diikat
seperti bab 6 lihatlah gambar angka : :
Bab 8
Pojoking dodot kang tiba ana ing
Pojok dodot yang terdapat di depan
80
jêro kaprênah ngarêp, iku
jèrèngên mangiwa manêngên,
kang rata dèn kongsi ilang rasané
angganjêl utawa malilit marang
wêtêng, yèn pojoking dodot
kêdawan kongsi têkan dhêngkul,
iku pucuké têkukên munggah.
Salêmpitna ing kêmpung kiwa,
supaya aja ribêt.
bagian dalam tadi, kemudian
dilebarkan ke kiri ke kanan yang rata
supaya hilang rasanya yang
mengganjal atau yang melilit di perut,
jika pojok dodot terlalu panjang
sampai ke lutut itu ujungnya di tekuk
ke atas. Disisipkan di bagian perut
sebelah kiri, supaya tidak ribet.
Bab 9
[3] dodot kang kalèmbrèh
kaprênah pupu têngên, cincingna
malêbu. Salêmpitna sabukan
lêmpèng têngên. cumincingé kira-
kira sèrèté tiba sandhuwuring
dhêngkul cakêt. ênggoné
nyalêmpitaké mau ora amung
janji nyalêmpit kudu diangkah
kang ngisor murih turut, ngarêp
buriné bisa anyérong mégos
kalèmbrèh mangiwa,
salêmpitaning lêmpèng têngên
mau. Sarêhné nganggo dipêsthi
Dodot yang menjuntai disebelah paha
kanan, angkat ke atas luar. Sisipkan
pada sabukan atas pinggang sebelah
kanan, mengangkatnya ke atas kira-
kira seretnya jatuh di atas lutut tepat.
Waktu menyisipkan tadi jangan hanya
janji / asal harus diperhatikan yang
bawah supaya turut sesuai depan
belakangnya bisa serong miring
sampiran ke arah kiri sisipan yang di
atas pinggang kanan tadi. Pelan
pastikan seretnya jatuh di atas lutut
tepat. Tentunya masih ada yang
81
sèrèté tiba sandhuwuré dhêngkul
cakêt. Tamtuné ijèh ana kang
ngêndhuruk ana ing pupu têngên,
kang ngêndhuruk mau wingkisén
mêtu. Lêbokna marang
sangarêping kêmpung kang rata
(kêna kanggo minangka
kanthong) turahané kang ana
cêthik têngên. Banjur salêmpitna
marang sabukan lêmpèng uga
têngên. Tamtu bisa katon rêsik
lungsirané wijang.
menjuntai ke bawah tadi dikeluarkan,
masukan kedepanya kampuh yang rata
( bisa digunakan jika ) sisanya yang
pendek kanan. Lalu sisipkan ke sabuk
pinggang kanan juga. Tentu bisa
kelihatan bersih lungsir (kain
sutra)nya terlihat jelas.
Bab 10
Cincingan kang sumlêmpit
mandhuwur mau, kang buri
tumrap sajêroning sabukan iku
ana perluné, kanggo nyalêmpitake
kêris ugaa gandaré ora anggêpok
kuliting boyok, mulané tatanên
kang rêsik. Têgêsé aja nganti
tapsirih bisaa lêga lêbuning
gandar kêris kang dianggo, ing
dhuwur kétokna turut sabukan
Cincingan yang terselip di atas tadi
yang belakang dalam pemakaian
sabuk itu ada perlunya, untuk
menyisipkan keris, juga tempat keris
tidak boleh mengenai kulit pinggang.
Maka dari itu ditata yang bersih/rapi.
Maksudnya jangan sampai bisa
longgar masuknya tempat keris yang
dipakai di atas tadi, perlihatkan turut
sabuk bagian bawah kanan, yang
82
kaprênah ngisor têpak têngên,
kang buri mung têkan [4] ing ula-
ula. Disambungi sabukan kang
saka kiwa, uga tiba ing ula-ula.
Dadi katon adu mancung, ana
sandhuwuring sabukan buri.
belakang hanya sampai di bagian
tulang punggung. Disambung dengan
sabuk yang dari sebelah kiri, juga
sampai di bagian punggung. Jadi,
kelihatan adu mancung agar lebih
kelihatan tinggi, ada di atasnya
sabukan belakang.
Bab 11
Nalika nindakaké bab 9 ing
nduwur mau, iki uga mèlu
diaraha kalèmbrèhé kang mucuk
bisa anarampat lêmah, (ing
jêmpolan sikil kiwa) aja kongsi
katut kacincing, pucuké katona
lincip kaya godhong suruh
mangkana manèh dodot kang tiba
pupu kiwa mangisor, uga
diangkaha aja kongsi katut
kacincing, malah bisaa
kalèmbrèhé tiba ing polok kiwa,
iku pidakan jênêngé. Dadi kang
jênêng cincingan iya kang
cumincing, kang jênêng samparan
ketika melakukan bab 9 di atas tadi,
ini juga ikut disesuaikan juntaian
kainnya yang ujung bisa menyentuh
tanah (di jempol kaki kiri) jangan
sampai ikut ditarik ke atas, ujungnya
biarkan kelihatan runcing seperti daun
sirih. Begitu juga dodot yang jatuh di
paha kiri ke bawah juga diperhatikan
jangan sampai ikut ditarik ke atas
malah bisa kain sampiran jatuh di
mata kaki sebelah kiri, itu pidakan
(injakan) namanya. Jadi, yang
namanya cincingan iya itu yang ke
arah atas, yang namanya samparan iya
itu yang di bawah, yang namanya
83
iya kang sumampar, kang jênêng
pidakan iya kang sawatara
kapidak. Ora-orané iya mung tiba
polok. Aja kongsi ninggal jênêng,
dadi kang têngên jaluk kepara
munggah, kang kiwa ngarêp buri
jaluké para kalèmbrèh, nontona
gambar angka: :
pidakan yaitu yang senantiasa diinjak
setidak-tidaknya hanya sampai di mata
kaki. Jangan sampai meninggalkan
nama, jadi yang kanan minta dibagi ke
atas, yang kiri depan belakang diminta
kain menjutai, lihatlah gambar angka
Bab 12
Sawusé rampung rêsik ênggoné
nyincingake utawa
ngalèmbrèhaké, sarta wus ora
ana kang karasa angganjêl malilit
kêkêndhon, kêkêncengên [5]
têgêsé wus rasa kapénak. Tumuli
lêmpitan dodot kang tiba cêthik
têngên buri (iku bakal kêpuh
utawa kunca) sèrèté gèrèdên
manêngên tibakna cêthik têngên.
Balêngginé aja owah ana cêthik
kiwa, sakèriné tatanên mangiwa
manêngên kang warata, aja
kongsi kandêl tipis wiwironé, ing
kono katon ngêndharah pucuké
Setelah selesai bersih/rapi melakukan
cincingan atau membuat kalembreh,
serta sudah tidak ada yang terasa tidak
sesuai di bangian lilitan, longgar,
terlalu kencang [5] maksudnya sudah
merasakan nyaman. Sampai lipatan
dodotan yang jatuh pendek di bawah
pinggang di belakang (itu akan jadi
kepuh atau kunca) seretnya ditarik
kearah kanan dan jatuhkan di bawah
pinggang kanan. Balenggi jangan
sampai geser (gerak) berada di bawah
pinggang kiri. Setelah itu ditata kekiri-
kekanan hingga rata (terlihat rapi),
jangan sampai terlihat tebal tipis
84
narampat lêmah. Banjur têkukên
munggah pucuké sampirna
pundhak têngên, ingêpok
turahana satêbah saka watêsing
sabukan, banjur talènanaأ. Taliné
ngubêngi bangkèkan tiba
sangisoring sabukan. Panyindhêté
ana ing ngarêp kang kêncêng tali
wangsul, kang sumampir pundhak
udhuna, ditata manèh kang rata,
banjur ukurên manut dawaning
bahu mangisor, watês jêmpolan
tangan kiwa têngên, banjur
tekukên munggah mêtu sangisoré
kang dèn ukur. Pucuké salêmpitna
kêndhitan kang wus tumali kang
kukuh, têkukan mau jênêngé
kêpuh. Nontona gambar angka: :
wirunya, disana akan terlihat
berserakan pucuknya dan mengenai
tanah. Lalu ditekuk ke atas dan
disampirkan pada bahu kanan, yang
bersangkutan disisakan seukuran
bergelangan tangan dari batas
sabukan, kemudian diikatأ. Talinya
memutari pinggang sampai ke bawah
sabukan. Gumpalan talinya ada di
depan yang kencang, tali wangsul.
Kemudian yang ada di pundak
diturunkan, ditata lagi sampai rapi,
lalu di ukur sesuai panjangnya bahu ke
bawah dengan batas jempol tangan
kanan dan kiri, lalu di lipat ke atas
lewat bawahnya yang diukur.
Pucuknya disisipkan pada tali yang di
pakai sebagai sabuk yang sudah terikat
kencang. Lipatan tadi namanya kepuh,
lihatlah gambar angka: :
[verso] أkêndhitan saka sèrèting
cindhé. Gêdhéné sajêmpoling
tangan. Dawané manut gêdhé
Tali yang digunakan sebagai sabukأ
dari seret cindhe, besarnya sebesar
jempol tangan, panjangnya sesuai
85
ciliking wêtêng kapara turah
dawa ning kêna nganggo tali
liyané amung janji kang dikukuhi.
dengan besar kecilnya perut, jika sisa
panjangnya bisa dipakai sebagai tali
lainnya hanya yang digencangkan.
Bab 13
Tumuli ujunging dodot kang
minangka sabuk uculana, perlu
ngêpénakaké karo nata wujud lan
rasané tumraping sabukan,
kayata: kêkêncêngên, kêkêndhon,
ngêndhèlong lan jêngkêrut sapitu-
[6]ruté kanggo pikir kurang
prayoga. Sawusé kok rasa
patholèh, banjur balènana manèh
pucuké tumali ing bangkèkan
kiwa. Pucuké jèrèngên iku jênêng
tali wêdhung kang dèn anggo.
Sampai pada ujungnya dodot yang
dipakai sabuk lepaskan, perlu
kenyamanan dengan keinginanan
wujud dan rasanya memakai sabuk,
seperti : terlalu kencang, terlalu
longgar, melengkung tidak rapi
(terlipat-lipat) dan seterusnya yang
dipikir kurang pantas (baik). Setelah
terasa, kemudian ulangi lagi pucuknya
yang diikat di pinggang kiri. Pucuknya
dilebarkan itu namanya tali wedhung
yang kamu pakai.
Bab 14
Sawisé tata prayoga kêpénak,
banjur nganggoa ukup. Ukup mau
kukuhé ana sarana timang, ana
sarana cathokan, papasangé ana
sandhuwuring sabukan. Tumuli
ujunging dodot kang digawé
Setelah tertata baik dan nyaman,
kemudian pakailah ukup. ukup tadi
dikaitkan yang kencang dengan
timang, ada yang berbentuk cathokan,
memasangnya di atasnya sabukan.
Sampai pada ujungnya dodot yang
86
sabukan, sèrèté wêtokna
mandhuwur, sawisé mêtu banjur
tutupna marang èpèking ukup,
mung ing ngarêp ênggon timang
utawa cathokan iku kang ijèh
katon.
dibuat sabukan, seretnya keluarkan ke
atas, setelah keluar lalu diletakkan
diatasnya epek ukup, hanya saja di
bagian depan timang atau
timangannya itu yang masih terlihat.
Bab 15
Ukup iku amba dawa kandêl tipisé
kaya èpèk, nanging ing buri
nganggo gèmblèh loro dawané
sakilan. Lêté siji lan sijiné amung
têlung nyari, déné kang dianggo
akèh warnané, kayata : rénda,
cindhé, limar, moga, bludru
disulam sangkèlat. Kabèh mau
wanguné padha, amung ukup
moga kang tanpa rénda= bênang
mas; iku diarani ukup moga
gubêg, ingkang kalilan ngang-
[7]go para santana dalêm
ingkang sêsêbutan Arya, nontona
gambar angka: :
Ukup itu lebar panjang tebal tipisnya
seperti èpèk, hanya yang belakang
menggunakan dua klèmbrèh
panjangnya seukuran 2 jari tangan.
Jaraknya satu dan satunya hanya tiga
lebar jari, sedangkan yang dipakai
banyak warnanya, seperti: renda,
cindhe, limar, moga, bludru disulam.
Semua itu sama pantasnya, hanya
ukup moga yang tanpa renda=benang
mas, itu disebut dengan ukup moga
gubeg yang berhak memakai para
bangsawan dalam keraton yang
dimaksudkan Arya, lihatlah gambar
angka: :
87
Bab 16
Kasebut bab 12 iku dodotané para
Bupati, Mayor riya ngisor,
Pangulu, diarani dodotan
tumênggungan. Déné panèwu
mantri lurah bêkêl jajar, yèn
dodotan patrap lan wujudé mèh
padha baé, kacèké amung
cincingané tiba sangisoring
dhêngkul lan manèh dodoté tanpa
balênggi, (palipidan kiwa têngên)
iku diarani dodotan;
kadêmangan;
Disebut bab 12 itu dodotannya para
Bupati, mayor, orang bawah, penghulu
disebut dodotan tumenggungan.
Sedangkan untuk pangkat diatasnya
mantri lurah pangkat sejajar, cara dan
wujudnya dodotannya hampir sama,
hanya saja cincingan sampai di bawah
lutut dan lagi dodotnya tanpa balenggi
(melipatnya kiri dan kanan) itu disebut
dodotan: kademangan:
Bab 17
Para pangéran papatih dalêm,
kangjêng gusti kampuhané =
dodotané iya mèh padha baé,
bédané karo kang kasêbut bab 12
mangkéné : panêkuking kunca
mêtu, kaubêdaké ing gandaring
kêris. Saka sangisoring
cangklakan têngên. Banjur tiba
ing buri, kaduduta kang akèh,
Para Pangeran patih dalam, kanjeng
gusti kampuhnya=dodotnya iya
hampir sama saja, bedanya hanya
disebut bab 12 seperti ini : tekukan
kunca keluar, dililitkan pada tempat
(wadah) keris dari bawah ketiak
sebelah kanan. Kemudian sampai
dibelakang ditarik yang banyak supaya
ujungnya bisa terurai menyentuh
88
supaya pucuké bisa kelangsrah
ing lemah, dadi yèn nganggo tali,
taliné tibakna sangisoring
sabukan, bongkoting kunca kang
tiba sangisoring warangka kêris
tahanên kang bacak. Aja kongsi
pating jêkonong [8] wironé kang
rata, déné ambané kira kira
amung sacêngkang, iku kêna
digawé wêwadhah kacu utawa
wadhah rokok. Déné kuncané yén
kepara kêlangsrah malah bêcik.
Sarta panincinging dodot kapara
munggah têkan sangisoring cêthik
têngên. Kira- kira amung
sacêngkang, nontona gambar
angka: :
tanah. Jadi jika menggunakan tali,
talinya jatuhkan kebawahnya sabukan,
dasarannya kunca yang jatuh di bawah
tempat keris ditahan yang kuat. Jangan
sampai begitu tidak rapi lipatannya
yang rata (rapi), sedangkan lebarnya
kira-kira hanya sejengkal itu bisa
dibuat/dibikin tempat kacu (sapu
tangan) atau tempat rokok. Sedangkan
kuncanya yang terbagi dan menyentuh
tanah lebih bagus. Serta cincingannya
terbagi atas sampai bawah pinggang
kanan kira-kira hanya, lihatlah gambar
angka : :
Bab 18
Dodotané riya dhuwur kaya bab :
: kacèkké panêkuké kunca mêtu,
banjur sumampir marang
gandaring kêris. Pucuké tiba
cêthik têngên. dawané kèh-kèhé
Dodotannya orang atas seperti bab: :
hanya saja tekukan dari kunca keluar,
kemudian disampirkan ke tempat
keris. Pucuknya sampai bawah
pinggang kanan, panjangnya banyak-
89
amung rong cêngkang, ing buri
ijèh sarupa kêpuh, nanging
ambalik mêtu, dadi karo bab: 12 :
walikan, nontona gambar angka :
:
banyaknya hanya dua jengkal di
belakang masih serupa kepuh, tapi
kembali keluar. Jadi sama bab 12
kebalikannya, lihatlah gambar: :
Bab 19
Yèn kampuhané panjênêngan
dalêm Ratu, kuncané ora nganggo
dipardi manèh, têrus ngêndharah
mangisor kongsi kêlangsrah
lêmah, déné samparané kaprênah
ing têngah diunggahaké ngaggo
tali kaya bab 17 pucuké saiki tiba
ana ing jêngku=dêngkul kiwa,
sandhuwuré banjur rupa kaya
kêpuh, nanging ana ngarêp. Iku
dodotan grêbong kandhêm
jênênge = iya kêprabon. Kajaba
panjênêngan dalêm ratu,
kampuhan kê-[9] prabon mau
kang kanggo para pangantèn.
Gêdhé cilika dodotané padha
mangkana, nontona gambar
angka: : katon saka ngarêp
Jika kampuhnya Panjenengan Dalem
Ratu, kuncanya tidak diangkat atau
dibawa, dibiarkan saja ke bawah
sampai menyentuh tanah, sedangkan
yang terurai ke tanah yang berada
ditengah dinaikan menggunakan tali
seperti bab 17 pucuknya sekarang
berada di lutut=lutut kiri atasnya lalu
tampak seperti kepuh tapi ada di
depan, itu dodotan grebong kadhem
namanya=iya keprabon. Kecuali
panjenengan dalem Ratu, kampuhan
keprabon tadi untuk pengantin. Besar
kecilnya dodotannya seperti tadi
lihatlah gambar angka: : terlihat dari
depan, gambar angka: : terlihat dari
belakang.
90
gambar angka: : katon saka buri.
Bab 20
Kuluk biru nom iku agêm dalêm
utawa agêmé para pangéran
putra, papatih dalêm utawa
pangantèn têmu, diarani kuluk
biru kêmbang wèwèhan, yèn para
pangéran santana lan riya
dhuwur, biruné rada tuwa. Kuluk
Pramané = panunggul
Kuluk biru muda itu dipakai orang
dalam atau pemakainya para pangeran
putra, pepatih dalem atau temu
pengantin disebut kuluk biru kembang
wewehan, jika para pangeran sentana
dan orang atas, birunya agak tua.
Kuluk pramane=panunggul.
Bab 21
Kuluk kanigara, iku agêm dalêm
utawa agêmé pangéran papatih
dalêm. Para Bupati arya ngisor,
arya dhuwur, litnan kolonèl, lan
para mayor utawa pangantèn
bubar têmu.
Kuluk kanigara itu dipakai orang
dalam atau pemakainya pangeran
pepatih dalem, para pangeran arya
bawah, arya atas, letnan kolonel, dan
para mayor atau penganten selesai
temu.
Bab 22
Kuluk irêng, saka gêrusan mori
diuwori nila, nganggo rangkêpan
calumpring, utawa saka congkèng
Kuluk hitam dari mori dicampur
dengan nila menggunakan rangkap
atau dari daleman (rangkapan) di cat
91
dicèt irêng gilap. Iku anggoné
para bupati utawa abdi dalêm
prajurit jêro litnan kolonèl
sapangisor, yèn padinan diarani
kuluk prêji.
hitam terang. Itu dipakai para bupati
atau abdi dalem prajurit dalam Letnan
Kolonel kebawah, jika keseharian
disebut kuluk preji
[10] Bab 23
Kuluk putih, saka gêrusan mori
kongsi tipis miyar-miyar bêning,
iku anggoné para bupati yèn séba
dina gêdhé, diarani kuluk mathak
manawa nganggo rangkêpan
calumpring, diarani mathak
balibar.
Kuluk putih dari alas mori hingga tipis
agak-agak bening, itu dikenakan para
bupati pada hari besar, disebut kuluk
mathak. Bisa juga menggunakan
rangkapan yang lembaran, disebut
mathak balibar
Bab 24
Kuluk irêng, saka kêsting iku
anggoné panèwu mantri lurah lan
bêkêl
Kuluk hitam, dari kain itu dipakai oleh
panewu mantri lurah dan bekel
Bab 25
Kuluk putih, saka kêsting, iku
anggoné abdi dalêm kang pangkat
jajar, utawa babur kapêdhaké
Kuluk putih dari kesting (bahan sutra)
itu dipakai abdi dalem yang
berpangkat sejajar atau babur
92
para luhur, nanging saiki akèh
kang padha kuluk irêng kapêdhak
mau, kabèh kang nganggo kuluk
ditamtokaké nganggo nyamat.
Amung panjênêngan dalêm nata
lan pangantèn iku kang tanpa
nyamat.
kedekatannya terhadap leluhur, namun
jika sekarang banyak yang sama kuluk
hitam kedekatan tadi, semua yang
memakai kuluk ditentukan memakai
nyamat. Hanya panjenengan dalem
nata dan pengantin itu yang tanpa
nyamat.
Bab 26
Déné ukurané kuluk-kuluk mau,
sawisé diukur sêdhêngan karo
gêdhé ciliking sirah sapira
dawaning ubêng, banjur dipara
papat, sabagéhané dianggo
dêdêging kuluk lan ambaning
tarak = tutuping kuluk kang
dhuwur, iku ukuran kuluk kuna,
(Surakarta Awal tumê-[11]ka ing
mataram), yèn saiki kang
didhêmêni padha nganggo kuluk
kang rada cilik ing dhuwur,
mulané sabagéhané prapatan
kang kanggo ukuran tarak,
sudanên dawané anaa sanyari,
Sedangkan ukuran kuluk-kuluk tadi
setelah diukur sesuai dengan besar
kecilnya kepala seberapa sisanya
putar, lalu dibagi empat, sebagian
dipakai tingginya kuluk dan lebarnya
tarak=tutupnya kuluk yang atas, itu
ukuran kuluk lama/kuna (Surakarta
Awal sampai Mataram) jika sekarang
yang disukai adalah menggunakan
kuluk yang agak kecil di atas,
makanya seperempat (1/4) bagiannya
yang menggunakan kukuran tarak,
kurangilah panjangnya sekitar tiga jari
tangan supaya terlihat agak mucuk
(runcing), lihatlah gambar angka: :
93
supaya katon rada mêthit,
nontona gambar angka: :
Bab 27
Calana iku uga akèh warnané,
kayata; cindhé, limar, uyah
sawuku, kêling, gunung guntur,
sutra, baludru, lakên lurik,
sapanunggalané, kabèh mau
wangun lan pamatrapé iya padha
baé, calana iku kang dianggêp
bêcik dhéwé amung cindhé,
calana cindhé iku ana rupa loro,
siji gubêg, loro sorot. Gubêg iku
agêmé para arya munggah têkan
panjênêngan dalêm nata, sorot
iku anggoné para bupati, kang
dèn arani sorot iku, pucuking
cindhé kang tulisé lincip kaya
tumpêng jèjèr-jèjèr, kabèh calana
pucuké mêsthi nganggo sèrèd
rénda ambané kira kira rong sènti
mètêr, nontona gambar angka: :
Celana itu juga banyak macamnya,
seperti: cindhe, limar, uyah sawuku,
keling, gunung guntur, sutra, baludru,
laken lurik, dan yang lainnya. Semua
itu pantas dan caranya juga sama saja.
Celana yang dianggap pantas/baik
hanya cindhe. Celana cindhe itu ada
dua macam, satu gubeg, dua sorot.
Gubeg itu dipakai para Arya ke
atassampai dengan Panjenengan
Dalem Nata. Sorot itu kepunyaannya
para Bupati, yang di maksudkan sorot
itu, ujungnya cindhe yang tulisnya
runcing mirip dengan tumpeng (nasi
kuning yang dibuat meruncing) ditata
sejajar. Semua celana ujungnya pasti
menggunakan sered renda lebarnya
kira-kira dua senti meter (2cm),
lihatlah gambar angka: :
Bab 28
94
Calana putih byar, iku anggoné
panèwu mantri lurah bêkêl jajar
anggandhèk utawa pangantèn
lanang ningkahan.
Celana putih byar, itu dipakai oleh
panewu mantri lurah bekel jajar
anggandhek atau penganting laki
dalam pernikahan.
[12] Bab 29
Wêdhung iku rupané baya wus
padha sumurup. Kang winênang
ora ngagêm amung panjênêngan
dalêm nata, gandhèk bupati kang
dadi utusan dalêm yèn dina
gêdhé, lan pangantèn, liyané kang
kasêbut mau, ditêmtokaké. Yèn
séba ana sitinggil srimanganti ing
kadhaton. Utawa anaa ing
ngêndi-êndi yèn ana ngarsaning
ratu, kudu nganggo wêdhung,
kajaba putra santana ing nata.
Wedhung itu wujudnya sudah pada
tahu. Yang winenang tidak pakai
hanya Panjenengan Dalem Nata,
gandhèk Bupati yang jadi perintah
oleh dalem jika hari besar, dan
pengantin lainnya yang disebutkan
tadi ditentukan. Jika menghadap Raja
di satinggil srimanganti dalam
kedhaton atau berada dimanapun jika
berada di rumah Ratu harus
menggunakan wedhung, kecuali putra
sentana nata.
Bab 30
Nyamat iku mas utawa salaka
pinatik intên, trakadhang amung
lugas baé tanpa intên. Ana kang
éstha krun, malah manawa
Nyamat itu emas atau logam yang ada
permata, terkadang hanya polosan saja
tanpa permata. Ada yang wujud
mahkota, bisa jadi hanya
95
puwungan amung nganggo
kêmbanging cêngkèh baé, déné
kang lumrah nyamat iku gêdhéné
amung sakêmbang malathi.
tamat
menggunakan bunga cengkeh saja,
jika pada umumnya nyamat itu hanya
sebesar bunga melati.
Tamat
96
B. Kajian Isi
Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana yang memiliki arti
kekuatan diri berdasarkan ucapannya, dan ketangkasan seseorang terlihat dari
penampilannya. Maka dari itu, pitutur Jawa di atas mengajarkan bahwa penilaian
dan derajat diri seseorang berdasar ungkapan dan penampilan. Penampilan
berbusana seseorang dapat menunjukan sifat seseorang baik dari tindak laku, tata
krama, kesenangan, maupun pandangan hidup. Berbusana yang merupakan
pandangan hidup akan membentuk sebuah jati diri, tidak hanya untuk diri pribadi
melainkan juga dapat menunjukkan jati diri atau karakteristik suatu bangsa,
negeri. Karakteristik bangsa Indonesia dapat dilihat dari berbagai budaya yang ada
di dalamnya, dengan ciri khas pakaian adat salah satunya berupa busana jawa
menjadi icon budaya Jawa. Budaya Jawa memiliki pedoman atau dasar dalam cara
pemakaian dan berbusana yang benar sesuai dengan situasi serta kondisi.
Busana adat Jawa yang menjadi ciri khas budaya Jawa salah satunya
adalah dodot atau kampuh, yang berupa kain panjang sekitar 7 hingga 9 meter
dililitkan pada badan. Dodot juga sering disebut busana Solo Basahan dalam
dunia tata rias pengantin, yang dikenakan pengantin puteri gaya solo. Solo
Basahan berupa dodot menggunakan kain batik warna gelap dengan motif alas-
alasan atau tumbuhan hutan. Begitu juga dengan pengantin pria mengenakan
dodot atau kampuh dengan kain motif yang sama dengan pengantin wanita, akan
tetapi untuk pengantin pria dilengkapi dengan memakai kuluk sebagai penutup
kepala, stagen, sabuk timang, epek, celana cindhe sekar abrid, keris warangka
ladrang, buntal, kolong keris, selop dan perhiasan kalung ulur.
97
Busana Solo Basahan tidaklah lepas dari tradisi Keraton Surakarta, yang
pemakainya adalah para bangsawan dan raja Jawa. Bangsawan dan raja-raja di
Jawa selalu mengenakan busana ageng berupa dodot dalam setiap prosesi atau
acara kebesaran, misalnya: Grebeg, menghadap Ratu, dan upacara-upacara besar
lainnya.
Busana ageng pria berbeda dengan busana puteri khas keraton dengan
kelengkapannya. Sesuai dengan pendapat Moeryati (2003:24), kelengkapan
busana puteri hanya mencerminkan usia pemakainya, masih remaja atau sudah
berkeluarga dan tingkat kedudukan dalam kerabat raja (puteri wayah atau buyut
dalem). Sedangkan untuk busana ageng pria, penekanannya lebih ditujukan pada
jabatan, derajat, pangkat, kedudukan seseorang dalam hierarki.
1. Nama Jenis Dodotan dan Berkenaan dengan Pemakainya
Dodotan adalah pakaian adat Jawa. Kebanyakan orang jawa
menyebut busana dodotan ketika pernikahan gaya Solo digunakan. Pada
acara pernikahan tersebut mempelai menggunakan pakaian adat Solo
yang sering disebut basahan, dikenakan pengantin wanita tanpa kebaya
hanya jarik yang dililitkan pada tubuh pengantin. Dalam naskah Bab
Dodotan, busana dodot dipakai juga sebagai penunjuk status sosial
pemakainya, maupun untuk membedakan strata kedudukan pemakainya,
apakah dia seorang bangsawan, kerabat keraton, abdi dalem, atau rakyat
biasa. Bahan dasar pemakaian dodot adalah jarik / kain mori panjang
dengan ukuran yang ditentukan, biasanya 7-9 meter. Seperti yang tertera
pada teks naskah Bab dodotan, “Dodot iku jarik bathik kang dawané
sathithik-sathithiké pitung kacu, akéh-akéhé sangang kacu mori omba”
98
terjemahan: Dodot itu kain bathik yang panjangnya sedikit-dikitnya tujuh
ukuran lebar kain, sebanyak-banyaknya sembilan ukuran lebarnya kain
mori (kain putih polos). Adapun nama-nama dodot sesuai dengan
pemakainya dalam keraton maupun masyarakat biasa. Untuk masyarakat
jawa biasa dodot diaplikasikan pada sebuah pernikahan yang
menggunakan Busana adat jawa yang disebut Solo Basahan, berikut
jenis-jenisnya:
a. Dodot Bango Buthak
Bango buthak atau blumbangan adalah kain berwarna hitam dengan
tengahan putih. Dalam lingkungan keraton Surakarta Dodot Bango
Buthak dikenakan oleh para pangeran. Seperti pada teks asli Bab dodotan
halaman verso sebagai berikut:
Ana manèh dodot bathik latar irêng latar putih, têngah ora dibathik,
amung ditémbok byur putih, iku agemé para pangéran munggah
utawa kanggoné pangantèn nikahan; Jênêng balumbangan utawa
bango buthak.
Terjemahan :
Ada lagi dodot batik latar hitam latar putih, tengah tidak di batik hanya
ditembok putih polos, itu dipakai oleh Pangeran (bangsawan) ke atas atau
boleh pengantin nikahan, bernama blumbangan atau bango buthak.
b. Dodot Bangun Tulak
Dodot Bangun Tulak menggunakan kain hitam polos yang kemudian
diberi gambar tumbuhan yang ada di hutan dan di prada, sedang untuk
tengahnya supaya indah tetap warna putih. Busana ini digunakan oleh
pengantin ketika temu. Sesuai dengan teks asli Bab dodotan, sebagai
berikut:
Lan manèh ana dodot anggoné pangantèn têmu, ênggon bathikan; ha
na ca ra; mau irêng byur, banjur ditulis gambar buburon alas, éstha
macan, manjangan, kupu, kêndhéla, kêmbang sapêthil. ésthan-
99
ésthanan mau diprada déné têngahé. :ka da ta sa wa la: lêstari putih
diarani dodot bangun tulak pradan.
Terjemahan :
Dan lagi ada dodot dipakai pengantin temu (bertemu pasangannya)
menggunakan bathik : ha na ca ra : tadi hitam polos, lalu digambar
bentuk binatang yang buru di alas, dilukis (seperti) macan, kijang, kupu,
capung besar, bunga pethik. Lukis-lukisan tadi di prada (dihias),
sedangkan tengahnya : ka da ta sa wa la: lestari putih diberi nama dodot
bangun tulak pradan.
Berikut gambar motif bangun tulak:
Gambar 39: motif Bangun Tulak
(Sumber http://images.google.com/)
c. Dodot Gadhung Mlathi
Dodot Gadhung Mlathi hampir sama dengan Dodot Bangun Tulak
Pradan. Dodot Gadhung Mlathi menggunakan kain berwarna hijau dan
putih. Hal tersebut didapat dari kata gadhung yang berarti hijau dan
mlathi/melati yang berarti putih. Dodot Gadhung mlathi memiliki
kekhasan dalam history, yang konon busana tersebut diciptakan oleh
Kangjeng Ratu Kencana Sari yaitu Ratu Roro Kidul, kemudian
100
dikenakan dalam pernikahan beliau dengan Raja Mataram Islam
Kangjeng Sinuhun Sultan Agung.
Jenis pakaian adat Jawa dodot, memiliki nilai keindahan dalam
bentuk yang ditampilkannya. Keindahan itulah yang menjunjung tinggi
harkatnya, menjadi sebuah icon budaya di Jawa. Berikut adalah gambar
kain dodot dan pakaian pengantin adat Jawa yang sering disebut Basahan
Solo
Gambar 40: kain dodot / kampuh
(sumber http://images.google.com/)
101
Gambar 41: Basahan Solo atau Dodot Gadhung Mlathi
(sumber http://images.google.com/)
Dodotan memiliki nama lain yang disebut Sikepan Ageng atau
Basahan Solo Keprabon (dalam pernikahan), merupakan busana basahan
yang sudah menjadi tradisi dari para bangsawan. Dalam lingkup kraton
busana Keprabon ini hanya boleh dikenakan oleh Sinuhun (Raja) saja.
Caranya sama dengan menggunakan dodot hanya saja dilengkapi dengan
bolero dari kain bludru, sehingga menutup pundak dan dada. Adapun
gambar mengenai busana keprabon, sebagai berikut:
102
Gambar 42: Busana Keprabon
(sumber http://image.google.com/)
2. Cara Pemakaian Dodotan atau Kampuhan Ageng
Memasang kain dodot tidak dapat dilakukan sendiri, perlu bantuan
orang lain untuk memasangkannya. Hal tersebut menjadi ciri khas orang
jawa yang selalu mengutamakan kelompok dengan sikap gotong royong.
Berikut cara memasang kain dodot beserta pelengkap yang harus
digunakan di badan.
a. Sebelum memasang kain dodot, terlebih dahulu memakai kain cindhe
yang panjangnya 3,5 meter, untuk putri. Sedangkan untuk pria
memakai kain cindhe yang sudah berbentuk celana atau saruwal.
103
Seperti dalam teks naskah Bab dodotan: “Wong arep dodotan iku
kang lumrah mesthi nganggo calana utawa saruwal dienggo disik”
yaitu orang akan memakai dodot harus mmenggunakan celana terlebih
dahulu. Sebagai berikut gambar kain cindhe.
Gambar 43: memakai kain cinde untuk putri
(sumber doc penelitian uny)
b. Kain cindhe yang dibelitkan di badan diberi sisa kurang lebih 1,4m
dengan diwiru rapi, kemudian ditarik kebawah dan dimasukkan
disela-sela kaki, sehingga terlihat nglewer di bawah. Itu yang
dinamakan seredan
c. Sudut kampuh yang akan dibuat kunca diukur dari pinggang sampai
ke kaki.
d. Sudut kampuh yang akan jatuh kebelakang diikat dengan tali.
e. Kain dodot dilingkarkan memutar badan kearah kanan, belakang,
depan dan berhenti di bagian belakang tengah yang diikat dengan tali
tepat ditengah punggung agar membentuk lengkungan yang sama dan
104
simetris ke arah depan. Dan sisanya dilipat sejengkal, lalu diputar
melingkar pinggang.
f. Kunca yang ada di bahu pemakai diturunkan, ujung tali yang bersama
kunca digunakan untuk mengangkat kampuh yang masih ada dan
diikat jadi satu.
g. Kunca dirapikan dibagian belakang, kerut-kerut kain atau rempelnya
diratakan dari pinggir kiri ke sebelah kanan kanan badan belakang.
Bawah kunca dirapikan agar bagian bawah pantat tampak
melengkung.
h. Sisa kain yang diwiru pada sebelah kiri pemakai disisipkan melingkari
pinggang dengan rapi. Di bagian belakang dimasukkan hiasan
sepasang kêpuh di bawah ikatan lipatan kampuh.
i. Kampuh di bagian depan pemakai diatur agar kerut-kerut kain/rampel
rata berbentuk setengah lingkaran didepan kedua paha sampai ke
bawah lutut. kemudian Busana Ageng ini dilengkapi dengan wedhung
sebagai hiasan.
Cara memakai dodotan tiap abdi dalem berbeda-beda, dapat diketetahui
dari cincingan. Semakin tinggi cincingannya semakin rendah pangkatnya,
sedangkan semakin panjang cincingannya berarti pangkatnya lebih tinggi
(Kangjeng Budayaningrat Kraton Surakarta, 16 Juli 2016).
1. Grebong kandhem, pemakaian kunca untuk Raja atau Sri Susushunan.
Cincingannya sekitar 20cm di atas tanah, kemudian kunca lepas di
biarkan saja menjuntai ke bawah. Menggunakan celana akan tetapi tidak
105
memakai wedhung. Cara tersebut juga terdapat pada teks Bab Dodotan
bab 19, sebagai berikut:
Bab 19
Yèn kampuhané panjênêngan dalêm Ratu, kuncané ora nganggo dipardi
manèh, têrus ngêndharah mangisor kongsi kêlangsrah lêmah, déné
samparané kaprênah ing têngah diunggahaké ngaggo tali kaya bab :17:
pucuké saiki tiba ana ing jêngku=dêngkul kiwa, sandhuwuré banjur rupa
kaya kêpuh, nanging ana ngarêp. Iku dodotan grêbong kandhêm jênênge
= iya kêprabon. Kajaba panjênêngan dalêm ratu, kampuhan kê-[9]
prabon mau kang kanggo para pangantèn. Gêdhé cilika dodotané padha
mangkana, nontona gambar angka: : katon saka ngarêp gambar angka: :
katon saka buri.
Terjemahan:
Jika kampuhnya Panjenengan Dalem Ratu, kuncanya tidak perlu diulang
lagi, terus menuju ke bawah sampai menyentuh tanah, sedangkan yang
terurai ke tanah yang berada ditengah dinaikan menggunakan tali seperti
bab 17, pucuknya sekarang berada di lutut=lutut kiri atasnya lalu tampak
seperti kepuh tapi ada di depan, itu dodotan grebong kadhem
namanya=iya keprabon. Kecuali panjenengan dalem Ratu, kampuhan
keprabon tadi untuk pengantin. Besar kecilnya dodotannya seperti tadi
lihatlah gambar angka: : terlihat dari depan, gambar angka: : terlihat dari
belakang.
2. Ngumbar kunca, dikenakan oleh Patih, Putra Mahkota. Kunca di lepas,
biarkan menjuntai. Untuk menyampirkan kunca menggunakan tangan
kiri disisipkan pada keris. Untuk melepas kunca, ada waktu-waktu
tertentu. Misal, pada saat Grebeg Mulud, ketika menghadap Gusti
berjalan dari ringin besar keraton menuju ke barat (masjid agung) tanpa
menggunakan selop (alas kaki). Kemudian kunca di lepas dan membaca
mantra menghadap ke barat (Kangjeng Budaya, 29 Juli 2016)
3. Sampir kunca, dipakai oleh abdi dalem pangkat tinggi (K.R.A, K.R.A.T).
Pada bagian ini kunca di sampirkan pada keris dari kanan ke kiri.
106
4. Kepuh sampir, dipakai oleh Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T),
Raden Tumenggung (R.T), kunca disampirkan pada keris dari kiri ke
kanan.
5. Kepuh ukel, dipakai oleh panewu ke bawah. Kunca dilipat terlebih
dahulu kemudian dinaikkan dan disisipkan pada sabuk.
3. Ketepatan Pemakaian Dodotan dan Makna Simbolik
Budaya sebagai hasil dari tingkah laku atau hasil kreasi manusia
memerlukan bahan, material atau alat penghantar untuk menyampaikan
maksud atau pengertian yang terkandung di dalamnya (Budiono, 2008:137).
Bagi orang Jawa budaya berpakaian adat memiliki penilaian rasa,
seperti penilaian pantas atau tidaknya pakaian yang digunakan, baik atau
tidak baiknya dan sebagainya. Sesuai yang diutarakan Budiono (2008:14),
sesuatu yang dikerjakan manusia di dalamnya mengandung sebuah nilai.
Nilai yang terkandung di dalamnya dapat bermacam-macam, misalnya: nilai
sosial, ekonomi, keindahan, kegunaan dan sebagainya. Dalam mengenakan
dodotan tidak diperkenankan asal memakai, akan tetapi dalam pemakaian
harus disesuaikan dengan pangkat dan jabatan. Oleh karena itu, tradisi Jawa
mengenal beberapa istilah terhadap nilai berpakaian, diantaranya:
1. Sebutan yang dianggap kurang baik:
a. Wagu : tidak pantas
b. Wadag : tidak halus atau kasar
c. Jekonong : tidak rapi
107
d. Saru : kurang sopan
e. Degsura : tidak sesuai dengan martabatnya
2. Sebutan yang dianggap baik
a. Sembada : seimbang, sesuai
b. Jinem : sopan
c. Luwes : menampakkan kehalusan, lembut
d. Dhemes : lemah gemulai, pantas
e. Prayoga : baik, pantas
f. Prasaja : sederhana
g. Nimis : terlihat kepriyayiannya
Istilah-itilah di atas menunjukan pada corak pakaian orang
berpakaian. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa orang Jawa
memiliki penilaian terhadap wujud berpakaian seseorang harus sesuai
dengan lingkungannya. Penyesuaian tersebut tidak hanya pada lingkungan
melainkan (1) ketepatan orang yang memakai dodotan, dan harus
mengetahui (2) makna simbolik yang terkandung di dalam kelengkapan
busana dodotan.
1) Ketepatan Pemakaian Dodot
Dodotan sebagai busana adat Jawa yang tidak sembarang orang
bisa memakainya. Dalam masyarakat Jawa dodot dapat digunakan ketika
melaksanakan pernikahan. Dodotan memiliki simbol kepangkatan, maka
dari itu dodot tidak sembarang dipakai, akan tetapi dipakai oleh orang
108
yang tepat. Dalam lingkungan keraton ketepatan pemakaian dodot sesuai
dengan motif atau corak kampuh, sebagai berikut:
a. Kampuh bermotif Parang rusak atau parang lainnya, digunakan oleh
Sri Susuhunan, Pangeran Adipati Anom, Pangeran Putera, Pangeran
Sentana, Bangsawan Sentana dengan sebutan Harya. Sedangkan pada
waktu sidang pengadilan Sri Susuhunan memakai Busana Kampuh
bermotif parang barong (Moeryati, 2003:73)
b. Batik kampuh motif udan riris digunakan oleh Patih
c. Motif rejeng-rejeng digunakan oleh prajurit, kolonel komandan,
letnan kolonel, dan mayor.
d. Motif semen latar putih, dipakai oleh Bupati, Bupati Anom jawi,
Bupati Anom lebet gandhek
e. Motif padhas gempal, digunakan oleh Panèwu prajurit
f. Panèwu untuk golongan carik menggunakan motif kampuh tambal
miring
g. Panèwu golongan kadipaten Anom, motif batik kampuh jamblang
h. Motif slobog, Panèwu mantri kebawah golongan niyaga
i. Motif ayam puger, digunakan Panèwu mantri kebawah golongan
yogaswara
j. Motif wora-wari rumpuh, digunakan oleh Panèwu mantri ke bawah
golongan Pangeran Praja
k. Motif batik kampuh krambil sacukil, digunakan oleh Panèwu mantri
ke bawah golongan kepatihan
109
l. Lurik perkutut jenis motif batik yang di gunakan oleh Panèwu mantri
ke bawah golongan Priyantaka
m. Motif batik kampuh sindur, digunakan oleh canthang balung
golongan Kridhastama
Pemakaian Dodotan harus lengkap dengan kelengkapan-kelengkapannya.
Setiap kelengkapan tersebut juga memiliki makna simbol kepantasan dan
kepangkatan seseorang yang memakainya, berikut kelengkapan dari dodotan
beserta simbol kepangkatan:
1. Kuluk
a. Kuluk kembang wewehan (biru muda), dipakai oleh pangeran putra,
pepatih dalem atau pengantin temu. Berikut gambar kuluk biru muda:
Gambar 44 : Kuluk Biru muda
(sumber http://images.google.com/)
b. Kuluk biru tua dipakai oleh pangeran sentana dan orang atas disebut
panunggul
c. Kuluk Kanigara, dipakai oleh pangeran pepatih dalem, para pangeran
arya bawah, arya atas, letnan kolonel, dan para mayor atau penganten
selesai temu.
110
d. Kuluk ireng, dipakai oleh Bupati atau abdi dalem prajurit, letnan kolonel
kebawah. Untuk kesehariannya disebut kuluk preji. Berikut tampilan dari
kuluk ireng:
Gambar 45 : Kuluk ireng
(sumber http://images.google.com/)
e. Kuluk putih yang terbuat dari bahan tipis, dikenakan oleh para bupati
ketika hari besar disebut kuluk mathak. Jika menggunakan yang
rangkapan calumpring disebut mathak balibar
f. Kuluk putih yang terbuat dari kain sutra, dipakai oleh abdi dalem
berpangkat sejajar. Guna untuk mendekatkan diri pada leluhur. Berikut
adalh gambar kuluk yang dibalut dengan kain sutra:
Gambar 46 : Kuluk Putih
(sumber : http://image.google.com/)
111
2. Songkok
Bentuk Songkok Tugel Semongka dan di belakang memakai tedeng,
terbuat dari bludru hitam. Dipakai oleh Raja ke bawah sampai abdi
dalem, bupati dan mayor.
3. Makutha
Disebut juga kuluk atau panunggul, digunakan sejak zaman Mataram
sampai keraton Surakarta. Dipakai oleh Sri Susuhunan, pangeran (para
putera), patih kebawah sampai pangkat jajar dan juga mempelai.
4. Mathak
Mathak adalah tutup kepala. Bentuknya menyerupai kuluk. Warnanya
biru atau putih.
a. Balibar Manggis (mathak putih atau biru) dibagian dalam dilengkapi
calumpring, dipakai saat hujan (Mooryati, 78:2003)
b. Putih dipakai oleh bupati ke bawah sampai pangkat .lurah
5. Keris
Sebagai senjata, yang juga menjadi pelengkap busana.
Keris ladrang / capu sering digunakan dalam perlengkapan busana adat
jawa (Gusti Puger, 12 Juli 2016). Berikut gambar keris dan tempatnya:
Gambar 47 : Keris
(sumber http://images.google.com/)
112
6. Wedhung (pasikon)
Berupa pedang berukuran 40cm. Dalam dodotan dikenakan semua abdi
dalem, kecuali Susuhunan tidak memakai wedhung. Berikut adalah
sontoh gambar wedhung:
Gambar 48 : wedhung
(sumber http://image.google.com/)
7. Ukup
Sepasang potongan kain di bagian belakang dan tengah. Ukup terbuat
dari benang tenun emas dengan rumbai warna emas dan bahan kain yang
berbeda sesuai dengan pangkat pemakainya, sebagi berikut:
Ukup iku amba dawa kandêl tipisé kaya èpèk, nanging ing buri nganggo
gèmblèh loro dawané sakilan. Lêté siji lan sijiné amung têlung nyari,
déné kang dianggo akèh warnané, kayata : rénda, cindhé, limar, moga,
bludru disulam sangkèlat. Kabèh mau wanguné padha, amung ukup
moga kang tanpa rénda= bênang mas; iku diarani ukup moga gubêg,
ingkang kalilan ngang-[7]go para santana dalêm ingkang sêsêbutan
Arya, nontona gambar angka::
Terjemahan:
Ukup itu lebar panjang tebal tipisnya seperti èpèk, hanya yang belakang
menggunakan dua klèmbrèh panjangnya seukuran 2 jari tangan. Jaraknya
satu dan satunya hanya tiga lebar jari, sedangkan yang dipakai banyak
warnanya, seperti: renda, cindhe, limar, moga, bludru disulam. Semua itu
sama pantasnya, hanya ukup moga yang tanpa renda=benang mas, itu
113
disebut dengan ukup moga gubeg yang berhak memakai para bangsawan
dalam keraton yang dimaksudkan Arya, lihatlah gambar angka: :
Jadi, yang berhak memakai ukup moga tanpa renda disebut ukup moga
gubeg hanya para bangsawan yaitu Sri Susuhunan, Pangeran Putra
Sentana dengan sebutan arya, patih, dan bupati anom.
8. Celana atau saruwal
Celana merupakan pelengkap busana yang wajib. Adapun berbagai
macam celana, seperti dalam teks bab dodotan, bab 26
Calana iku uga akèh warnané, kayata; cindhé, limar, uyah sawuku,
kêling, gunung guntur, sutra, baludru, lakên lurik, sapanunggalané,
kabèh mau wangun lan pamatrapé iya padha baé, calana iku kang
dianggêp bêcik dhéwé amung cindhé, calana cindhé iku ana rupa loro,
siji gubêg, loro sorot. Gubêg iku agêmé para arya munggah têkan
panjênêngan dalêm nata, sorot iku anggoné para bupati, kang dèn arani
sorot iku, pucuking cindhé kang tulisé lincip kaya tumpêng jèjèr-jèjèr,
kabèh calana pucuké mêsthi nganggo sèrèd rénda ambané kira kira rong
sènti mètêr, nontona gambar angka: :”
Terjemahan :
Celana itu juga banyak macamnya, seperti: cindhe, limar, uyah sawuku,
keling, gunung guntur, sutra, baludru, laken lurik, dan yang lainnya.
Semua itu pantas dan caranya juga sama saja. Celana yang dianggap
pantas/baik hanya cindhe. Celana cindhe itu ada dua macam, satu gubeg,
dua sorot. Gubeg itu dipakai para Arya ke atas sampai dengan
Panjenengan Dalem Nata. Sorot itu kepunyaannya para Bupati, yang di
maksudkan sorot itu, ujungnya cindhe yang tulisnya runcing mirip
dengan tumpeng (nasi kuning yang dibuat meruncing) ditata sejajar.
Semua celana ujungnya pasti menggunakan sered renda lebarnya kira-
kira dua senti meter (2cm), lihatlah gambar angka: :
Jadi, dari teks di atas terdapat macam celana yang dapat digunakan
sebelum memakai kain dodot, seperti: cindhe, limar, keling, sutra, bludru,
laken lurik, dan yang lainnya. Tetapi yang dianggap pantas untuk
dipakaikan pada busana adat kususnya sebelum memakai dain dodot
adalah celana cindhe. Berikut ini gambar lengkap busana dodotan:
114
Gambar 49 : pakaian dodot lengkap
(Sumber http://images.google.com/)
Gambar 50 : èpèk
(sumber http://images.google.com/)
kuluk
Kain dodot
Celana cindhe
èpèk
Warangka keris
Gambar 51: Timang
115
2) Makna Simbolik Kelengkapan Busana Dodotan
Setiap kelengkapan busana pasti memiliki makna maupun simbol yang
tidak setiap orang memahaminya. Selain simbol-simbol kepangkatan yang telah
diutarakan di atas tadi, ada beberapa kelengkapan busana dodotan yang
mengandung makna tak terlihat yang harus diketahui:
1. Kain dodot
Setiap kain dodot memiliki motif berbeda-beda. Motif kain dodot
disesuaikan dengan acara dan pemakainya, tidak hanya itu dalam motif
kain dodot juga memiliki simbol makna yang berbeda-beda. Dalam
pembahasan ini adalah motif kain dodot:
(a) Dodot bangun tulak, motif dodot ini adalah berupa alas-alasan atau
seglanya yang berada di hutan. Dodot bangun tulak memiliki makna
simbolik yang berdasar dari kata bangun atau bango yang merupakan
jenis hewan burung dan dipercaya memiliki umur panjang, sementara
itu tulak yang berarti menolak penyakit (sarat). Jadi, motif bangun
tulak ini memiliki simbol yang sampai sekarang masih diyakini oleh
orang-orang yang mengetahui sebagai kain yang digunakan untuk sarat
menyingkirkan bahaya, agar manusia selamat dengan umur yang
panjang.
(b) Motif kain dodot gadhung mlathi, motif Gadhung mlathi merupakan
kombinasi dari warna hijau dan putih, warna putih terletak di tengah
dan hijau di bagian pinggir. Motif ini sering dipergunakan oleh
pengantin pria maupun pengantin wanita. Motif dodot Gadhung Mlathi
memiliki makna gadhung (hijau) yang menyimbolkan kemakmuran,
116
tentram, nyaman. Sedangkan mlathi adalah bunga melati yang berarti
putih dan harum, harum yang dimaksud agar menjunjung tinggi
kesusilaan. Masyarakat jawa pada umumnya masih mempercayai
bahwa dodot gadhung mlathi memiliki simbol kemakmuran baik lahir
maupun batin, sehingga yang memakai motif kain ini, khususnya
pengantin akan mendapat kemakmuran lahir dan batin setelah
menjalankan syariat agama berupa pernikahan.
2. Nyamat
Nyamat adalah benda yang berada tepat di atas kuluk, bentuknya kecil
berupa emas. Semua pemakai kuluk wajib menggunakan nyamat, kecuali
sinuhun tanpa menggunakan nyamat (polosan). Hal ini memiliki simbol
bahwa seorang pemakai kuluk yang bernyamat memiliki pengayom yang
berada di atasnya. Pengayom tersebut yang akan bertanggung jawab atas
segala yang diperintahkan. Sehingga setiap individu juga memiliki
pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan. Contoh nyamat yang
terdapat dalam kuluk, sebagai berikut:
Gambar 52: nyamat
(sumber http://images.google.com/)
nyamat
117
3. Sabuk
Sabuk (Ikat pinggang) dikenakan dengan cara dilingkarkan (diubedke)
pada badan. Sabik merupakan simbol yang memiliki makna bahwa harus
bersedia untuk tekun berkarya, guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Maka dari itu manusia harus ubed yaitu bekerja dengan tekun jangan
sampai pekerjaannya itu sia-sia dan tidak mendapat keuntungan (buk).
4. Epek
Memiliki makna jika bekerja harus yang bagus, baik (apek, golek) dan
ilmu yang berguna.
5. Timang
Bermakna bahwa apabila ilmu yang di dapat harus benar-benar dipahami,
dipilih yang baik, sehingga tidak akan ada rasa samang (khawatir)
6. Selop
Digunakan pada kaki, selop memiliki makna bahwa dalam menyembah
Tuhan harus didasari dengan iman, lahir dan batin sujud menyembah di
kaki Tuhan dengan hati yang suci pasrah kepada Tuhan YME.
7. Keris dan Warangka
Keris dan warangka (tempat/wadah) dikenakan dibagian belakang badan.
Keris beserta tempatnya memiliki makna sebagaimana manusia adalah
ciptaan Tuhan, yang harus berserah diri kepada-Nya. Dan letak keris yang
berada di belakang memiliki makna, jika menyembah Tuhan harus bisa
ngungkurake atau mengalahkan godaan setan yang selalu memngganggu
manusia dalam beribadah maupun bertindak kebaikan.