42
BAB II BIOGRAFI SIMUH DAN BUKU ISLAM DAN PERGUMULAN BUDAYA JAWA A. Riwayat Hidup Simuh dan Karya-karyanya Sebelum melacak pemikiran Prof. Dr. Simuh tentang tasawuf, sebaiknya terlebih dahulu perlu diketahui sejarah atau latar belakang hidupnya, mulai dari lahirnya hingga tingkat intelektualnya. Pertama yang perlu di paparkan di sini adalah biografi atau riwayat hidup Simuh. Sebagai bukti dasar untuk menunjukkan bahwa Simuh memang betul-betul berjuang dalam mengejar keilmuannya hingga kini. 1. Perjalanan hidup dan pendidikan Prof. Dr. Simuh. Simuh yang mempunyai nama sejak kecil, yaitu Muhammad Faqih. Dilahirkan pada tanggal 3, bulan Juni, tahun 1933, 1 Dilahirkan di rumah yang beralamat di Gondangan, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Ia adalah anak dari seorang petani kecil yang tempatnya tak jauh 1 Wawancara dengan Simuh, Gondangan Sardonoharjo Ngaglik, di Sleman tanggal 17 Februari 2008. 16 1 6

BAB II-2 dadi

  • Upload
    maftuh

  • View
    215

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II-2 dadi

BAB II

BIOGRAFI SIMUH DAN BUKU ISLAM DAN PERGUMULAN

BUDAYA JAWA

A. Riwayat Hidup Simuh dan Karya-karyanya

Sebelum melacak pemikiran Prof. Dr. Simuh tentang tasawuf,

sebaiknya terlebih dahulu perlu diketahui sejarah atau latar belakang

hidupnya, mulai dari lahirnya hingga tingkat intelektualnya. Pertama yang

perlu di paparkan di sini adalah biografi atau riwayat hidup Simuh. Sebagai

bukti dasar untuk menunjukkan bahwa Simuh memang betul-betul berjuang

dalam mengejar keilmuannya hingga kini.

1. Perjalanan hidup dan pendidikan Prof. Dr. Simuh.

Simuh yang mempunyai nama sejak kecil, yaitu Muhammad Faqih.

Dilahirkan pada tanggal 3, bulan Juni, tahun 1933,1 Dilahirkan di rumah

yang beralamat di Gondangan, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Ia adalah

anak dari seorang petani kecil yang tempatnya tak jauh dari kota

Yogyakarta, lebih kurang 10 Km. ke arah utara, tepatnya pada Jalan

Kaliurang bertepatan menuju arah Gunung Merapi. Pendidikan Simuh

yang dijalani dari kecil hingga berhasil sebagai pemikir Islam (kejawen)

adalah anugerah Tuhan yang sangat besar. Dalam pemikirannya juga

banyak menyumbangkan tentang sufisme (tasawufnya) pada tingkat

akademisi, pengkaji ilmu agama Islam dan umumnya pada masyarakat

Indonesia. Keberhasilan Simuh, seperti saat ini bukan saja hanya hadiah 1 Wawancara dengan Simuh, Gondangan Sardonoharjo Ngaglik, di Sleman tanggal 17

Februari 2008.

16

16

Page 2: BAB II-2 dadi

dari Tuhan, melainkan juga karena kerja keras tanpa mengenal lelah dan

tanpa mengeluh atau putus asa dari setiap usaha yang ditempuh. Dengan

kegigihannya yang tinggi dapatlah diraih kesuksesan sifat sekarang ini.

Pada pra-kemerdekaan, sekolah yang ada hanya Sekolah Rakyat.

Simuh tamat dari Sekolah Rakyat (SR) ditahun 1945. Dari sekolah tingkat

dasar kemudian Simuh melanjutkan pendidikannya, di tingkat menengah

(sekarang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) pada tahun 19502. Ia dapat

menyelesaikan sekolah dengan nilai yang sangat baik. Dari tingkat

pertama kemudian Simuh melanjutkan belajarnya ke Sekolah Lanjutan

Tingkat Atas (SLTA) bagian B (jurusan Pasti Alam) pada tahun 19533.

Beberapa tahun kemudian setelah tamat belajar di lanjutan tingkat

atas, Simuh tidak berhenti di situ saja. Keinginan untuk belajar demi

mengikuti perkembangan keilmuan, tekadnya yang besar masih membakar

semangat juang untuk kemajuan ilmu keislaman, mendorong ia

melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, pada perguruan tinggi yaitu di

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang berubah dengan nama

Universitas Islam Negeri (UIN). Fakultas yang diambilnya pada waktu itu

adalah Fakultas Ushuluddin. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun

1963, Simuh telah berhasil menyandang gelar sarjana. Hal itu ia peroleh

setelah berhasil menyelesaikan skripsinya yang mengkritik tesis-tesis

Imam Al-Ghozali dalam kitab Al-Munqidz Min Al-dhalal.

2 Wawancara dengan Simuh, tanggal 17 Februari 20083 Wawancara dengan Simuh, tanggal 25 Februari 2008

17

Page 3: BAB II-2 dadi

Pada tahun 1963, yaitu setelah Simuh berhasil menyandang gelar

sarjana pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia

menyempatkan untuk mengadakan riset studi di Australia University di

Canberra dari tahun 1981 sampai dengan 1982,4 dalam rangka

mengumpulkan bahan penulisan disertasi pada program doktornya.

Dengan disertasinya yang berjudul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi

Ronggowarsito (Studi tentang Wirid Hidayat Jati) dengan promotor Prof.

H. A. Mukti Ali dan Prof. A. H. Johns BA. Ph.D. Land Fana. Selain itu,

sekaligus Simuh merupakan Doktor pertama dari Perguruan tinggi IAIN

Sunan Kalijaga (diluar Doktor HC). Pengajaran tentang ilmu tasawuf

mulai Dia dapatkan melalui kuliah yang diampu oleh Prof. DR. HAMKA5.

2. Karier Intelektual

Setelah mendapat gelar kesarjanaan ia mulai meniti karirnya, meski dalam

instansi yang ia pernah duduk sebagai mahasiswa pada instansi tersebut.

Justru itu, membawa keuntungan yang besar bahkan dapat mengangkat

derajat keilmuannya. Bidang karir yang ditekuni oleh Simuh yang pertama

kali adalah menjadi pegawai bulanan organik pada tahun 1963 dengan

tugas sebagai Asisten Ahli di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Pada tahun 1968 diangkat sebagai dosen muda dengan

pangkat Penata Muda pada fakultas yang sama. Beliaupun pernah

dipercaya sebagai Kepala Perpustakaan IAIN Sunan kalijaga dari tahun

4 Simuh, Perkembangan Aspek Aqidah, Al-Jami’ah, xvii, Februari 1984, hlm 89. 5 Simuh, Perkembangan Aspek Aqidah, hlm. 90.

18

Page 4: BAB II-2 dadi

1972 sampai dengan tahun 1976. Kemudian Simuh diangkat sebagai

Wakil Dekan pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.6

Karir semakin bertambah, pada tahun 1984 sampai dengan 1992,

Simuh mendapat kepercayaan pemerintah untuk menjabat Sebagai Dekan

di Fakultas Ushuluddin (1988-1992). Setelah itu Simuh menduduki

jabatan sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat hingga akhirnya beliau

mendapat kepercayaan lagi memimpin IAIN Sunan Kalijaga sebagai

Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada periode 1992 sampai dengan 1997.7

Dr. Simuh dikukuhkan sebagai guru besar (Profesor) pada Fakultas

Ushuluddin pada tahun 1996, dengan pidatonya yang bertema

Perkembagan Aspek Akidah dalam Sufisme Isi pidato tersebut banyak

ditulis dalam bentuk artikel terutama jurnal dan majalah.

Dengan kemampuan dan keahliannya dalam bidang sastra Jawa Prof,

Dr. H. Simuh dikenal sebagai orang yang paling otoritatif dalam bidang

sastra Jawa di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam

beberapa karyanya potret yang cukup berbeda mengenai masa lalu

keagamaan Jawa.8

Dalam desertasinya, Simuh membela Ronggowarsito di hadapan

para sarjana Calvinis, seperti Harun Hadiwijono dan P. van Akeren.

Ketika itu Simuh mengkritik pernyataan dari Van Akeren dalam

disertasinya yang berjudul Een Gendrocht en toch de Volmaakte mens,

6 Wawancara dengan Simuh, tanggal 08 maret 2008.

7 Wawancara dengan Simuh8 Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang

Budaya, 2002) hlm. Vi.

19

Page 5: BAB II-2 dadi

yang telah membahas ajaran Wirid Hidayat Jati tentang Baitul Muqoddas

dalam kaitannya dengan Serat Gatholoco dan Serat Darma Gandhol. Yakni

dimuliakannya alat kelamin dan hubungan seks sebagai usaha untuk

mencapai penghayatan mistik. Disimpulkan bahwa ajaran tentang Baitul

Mukoddas dalam Wirid Hidayat Jati itu sangat kuat hubungannya dengan

pengajaran terhadap Lingga (Lingga adalah lambang dzakar) yang terdapat

di Jawa sebelum masa Islam.9

Disamping Simuh menjalani kariernya sebagai pengajar dan

pemimpin pada instansi perguruan tinggi, pada waktu-waktu luang

digunakan untuk membaca dan menulis. Ia gunakan kesempatan tersebut.

Bahkan tulisannya dibukukan sehingga diterbitkan. Tujuannya agar dapat

dipelajari oleh orang lain terutama di kalangan akademis sebagai bahan

ajar kuliah tasawuf.

3. Karya-karya Simuh

Ditengah-tengah kesibukannya mengajar sebagai dosen, ia gunakan

waktu yang senggang untuk menulis sehingga dapat menghasilkan karya-

karya yang berbentuk buku dan layak karya-karya itu antara lain,

pertama, buku yang berjudul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi

Ronggowarsito yang diterbitkan pada tahun 1988, dari Jakarta. Kedua,

Sufisme Jawa,Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, dikeluarkan

oleh penerbit Bentang Budaya pada tahun 1995, di Yogyakarta. Ketiga,

9 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito (Jakarta:UI Press 1988), hlm.7.

20

Page 6: BAB II-2 dadi

pada tahun 1996 berhasil menulis buku lagi yang berjudul Tasawuf dan

Perkembangannya dalam Islam diterbitkan oleh Rajawali Press, dari

Jakarta. Keempat, selang beberapa tahun Simuh baru bisa menulis sebuah

buku lagi pada tahun 2003, bukunya yang berjudul Islam dan Pergumulan

Budaya Jawa, yang berhasil diterbitkan Teraju, Jakarta. Kebetulan saat ini

buku tersebut penulis jadikan sebagai bahan primer untuk rujukan

penelitian ini. Satu lagi, karyanya yang belum disempurnakan dan

diterbitkan berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Simuh tak berhenti

menulis, meskipun tidak berbentuk buku, Ia mengeluarkan ide lewat

media cetak, baik itu berupa surat kabar, artikel-artikel, maupun jurnal-

jurnal kebudayaan, yang bersifat lokal ataupun nasional.

Demikian uraian singkat tentang latar belakang kehidupan Prof.

Simuh, mulai dari kelahiran, tingkat pendidikan, karier intelektualnya,

hingga karya-karya yang berhasil diraih selama ini. Barang kali semua itu

dapat dijadikan suri tauladan bagi mahasiswa yang sedang belajar untuk

memacu tingkat keilmuan mereka.

Setelah mengetahui latar belakang pemikiran Simuh secara eksplisit,

dapat diketahui bahwa Simuh ternyata juga berkecimpung dalam bidang

kebudayaan yang terfokus pada spiritual Islam dan kebudayaan Jawa.

Lebih spesifik lagi pada Islam kejawennya, mistisisme. Hal itu dapat

dilihat pada karya yang telah dihasilkan, kebanyakan mengkaji tentang

mistik, tasawuf, dan sinkretisme. Terlihat disitu sebuah mind set

(pemikiran) yang dimiliki, sehingga ketika berbicara tentang tasawuf ia

21

Page 7: BAB II-2 dadi

mempuyai kontribusi ide, kritik, dan pandangan yang tentu sangat berguna

bagi kalangan akademis. Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa

mendapat respon para sarjana kaliber yang bergelar professor sebut saja

Prof. Dr. Franz Magniz, ia mengatakan sudah sangat tepat.

B. Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa

1. Latar Belakang Penulisan

Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa ini oleh Prof. Dr. Simuh

di bagi atas beberapa bab yaitu dua belas bab, di dahului dengan kata

pengantar oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar, dosen Fakultas Filsafat

Universitas Gajah Mada. Melalui keterangannya buku Islam dan

Pergumulan Budaya Jawa ditulis ketika kalangan orang Jawa Tengah

dalam masa gonjang-ganjing jagad Jawa, berkenaan dengan pengelolaan

Borobudur. Yaitu dengan budaya spiritualnya yang sangat progresif.

2. Sistematika Penulisan Buku

Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa dibagi atas dua belas bab

antara lain: Bab pertama, dengan tema Islam dan Budaya Jawa

mendeskripsikan enam nilai budaya. Keenam nilai itu setidaknya ada tiga

nilai budaya diantaranya adalah nilai agama, seni, dan solidaritas,

berkaitan dengan rasa, merupakan kristalisasi berbagai macam nilai

kehidupan manusia, sehingga keenamnya merupakan pilar yang

menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu dan

masyarakat.

22

Page 8: BAB II-2 dadi

Bab kedua, Islam sebagai kebudayaan yang paripurna mencakup dua

bagian meliputi, pancaran pola budaya Islam yang orisinal dan Islam

zaman perkembangan Agama. Dalam spektrum pola budaya Islam yang

orisinal, menampakkan nilai agama yang sangat dominan sehingga

moralitas, maupun spiritualitas Islam mewarnai kelima nilai budaya yang

lain. Dalam ajaran Al-qur’an, dukungan teori ilmiah, ekonomi, dan nilai

politik (kekuasaan) sangat diperlukan.

Bab ketiga, pola budaya Islam sufi, menguraikan pola budaya islam

sufi. Di dalamnya mendiskripsikan pola budaya pancaran Islam sufi. Jika

dibandingkan antara pola budaya menurut ajaran tauhid yang rasional,

pola budaya menurut ajaran tauhid sufi terlalu menekankan dimensi rasa

(dzauq). Pola ini lebih mempersempit ruang gerak pemikiran rasional

ilmiah. Pola pancaran budaya Islam sufi serta paham imanen dan

transenden dalam sufisme Paham immanen dan Transenden dalam

Sufisme. Setelah mengalami perkembangan penganut sufisme akhirnya

terbelah menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Yakni, para sufi

yang menganut paham immanensi Tuhan dalam alam semesta dan alam

diri manusia, dan para sufi yang mempertahankan paham transendensi

Tuhan.

Bab Keempat, menguraikan tema kebudayaaan Jawa Asli. Bahwa

dalam kebudayaan Jawa terdapat interaksi yang kuat antara Islam dan

budaya Jawa dan mempunyai karakteristik tersendiri. Pergulatan Islam

dengan sastra budaya Jawa ternyata melahirkan tiga bentuk keislaman

23

Page 9: BAB II-2 dadi

dengan landasaan berpikir yang berbeda dan kadang saling memancing

konflik satu sama lain. Yaitu: Islam santri, abangan, dan priyayi. Bab

kelima, dari dua belas bertema Pengaruh Hinduisme dan Pertumbuhan

kebudayaan Priyayi. Di dalamnya berisi Pola Budaya Priyayi Hindu-

Kejawen, disertai pola budaya Hindu-Kejawen.

Bab kelima, pengaruh Hinduisme dan pertumbuhan kebudayaan

priyayi meliputi, pola budaya priyayi Hindu kejawen serta pola budaya

kejawen. Dalam pola budaya priyayi Hindu Kejawen, yang paling

dominan bukan nilai agama tetapi orientasi terhadap nilai kekuasaan atau

nilai politik dan agama menempati urutan kedua. Sedangkan pola budaya

Hindu kejawen berkaitan langsung dengan nilai seni dan mistik, sehingga

ilmunya mengarah kepada hal-hal yang bersifat gaib dan mitos-mitos,

bukan ilmu yang ilmiah.

Bab keenam zaman Islam di Jawa: Pergumulan sastra dan budaya

Islam serta Kejawen, Pergumulan dalam budaya intelektual, pergumulan

dalam bidang politik, dan terakhir pada bab enam Islam merupakan simbol

nasionalisme religius.

Bab ketujuh, Pengaruh barat terhadap Islam dan budaya Jawa

Bab kedelapan: menjelaskan tentang muhammadiyah, di Jawa terdapat dua

organisasi besar yakni umat Islam modernis yaitu Muhammadiyah dan Islam

tradisionalis yaitu Nahdhatul Ulama. Muhammadiyah memiliki sifat progesif

dan berwawasan modern.

24

Page 10: BAB II-2 dadi

Bab kesembilan, menjelaskan tentang Nahdhatul Ulama. Pola budaya

Islam tradisional dalam Nahdhatul Ulama sama dengan pola budaya Islam sufi

yang bersifat sangat ekspresif dan mistis. Pola berfikir normatif menyebabkan

Nahdhatul Ulama sulit untuk menyesuaikan diri dengan arus utama zaman

modern.

Bab Kesepuluh, Umat Islam dan Kejawen dalam Menghadapi Proses

Globalisasi Budaya Rasional. Dalam menghadapi globalisasi budaya Barat,

kaum priyayi Islam-Kejawen lebih berselaras dengan Muhammadiyah,

meskipun masih mempunyai kelemahan dalam melaksanakan pemerintahan

modern yang menuntut asas demokratis dan efisien.

Bab Kesebelas, Kebangkitan Budaya Spiritual Kejawen: memunculkan

banyak ajaran-ajaran yang beraliran kebatinan yang kemudian menamakan

diri sebagai, berikut Paguyuban Sumarah, Paguyuban Ngesti tunggal, Ajaran

Tri Purusa, Saptadarma, Susila Budhi Dharma (Subud), Politikisasi Penghayat

Kepercayaan.

Bab Keduabelas, Umat Islam dan bangsa Indonesia menatap masa

depan. Sudah saatnya umat Islam untuk meraih zaman pencerahan dalam

memahami dan mengamalkan agama.

Daftar Pustaka, buku atau sumber yang digunakan dalam penulisan buku

Islam dan Pergumulan Budaya Jawa.

Terakhir pada sistematika buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa

yaitu Indeks, pemilahan kata-kata yang muncul pada halaman pembahasan

buku dan dikumpulkan.

25

Page 11: BAB II-2 dadi

1. Dialektika Islam dengan Budaya Jawa

Dalam studi antropologi, istilah culture (budaya) dibedakan dengan

istilah civilization (peradaban). Makna culture atau kebudayaan secara

etimologis berkaitan dengan sesembahan (cult) yang dalam bahasa latin

berarti “cultus” dan “culture”. Sementara, peradaban atau civilization

berkaitan dengan kata “cives” yang berarti warganegara. Kalau budaya

adalah pengaruh agama terhadap diri manusia, maka peradaban adalah

pengaruh akal pada alam.10

Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen

pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari

kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem

sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Adapun komponen isi terdiri dari

tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi,

organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian.

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan

yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya

dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana

nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan

diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan

yang bersifat materiil. Pola interaksi semacam ini dapat digambarkan

dalam alur skema interaktif sebagai berikut.11

10 Alija Izebigovic, Membangun Jalan Tengah (Bandung: Mizan, 1992), hal. 71.

11 Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawwuf ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hal. 110.

26

Page 12: BAB II-2 dadi

Dengan kerangka seperti ini dapat digunakan untuk memprediksi

karakteristik budaya Jawa dalam kaitannya dengan sistem teologi Islam

yang berkembang, dan melakukan interaksi timbal-balik di dalamnya.

Islam sebagai sebuah sistem ajaran agama akan selalu berdialog dengan

budaya lokal di mana Islam berada.

2. Fase-fase Perkembangan Kebudayaan Jawa

Signifikansi pembahasan fase-fase pertumbuhan kebudayaan Jawa

dalah untuk melihat sejauh mana pergumulan budaya Jawa sebelum dan

sesudah Islam datang. Hal ini penting dikaji untuk menguak sistem nilai

dan karakteristik budaya Jawa. Berikut ini penulis paparkan pertumbuhan

budaya Jawa masa pra Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, dan kebudayaan

Jawa masa kerajaan Islam.

a. Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha

Data mengenai perkembangan budaya Jawa masa pra Hindu-

Budha sangatlah terbatas. Namun, ciri yang menonjol dari struktur

masyarakat yang ada pada waktu itu adalah didasarkan pada aturan-

aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme

yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas

kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat

kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis

dan konservatif.

27

Page 13: BAB II-2 dadi

Ciri lain masyarakat Indonesia lama adalah kuatnya ikatan

solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat

Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek-moyang

melahirkan penyembahan ruh nenek-moyang (ancestor worship) yang

pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya.

Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek-moyang menjadi

sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.

Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara

ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam

tradisi ritual ini, fungsi ruh nenek-moyang dianggap sebagai

‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon

wayang, ruh nenek-moyang dipersonifikasikan dalam bentuk

‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog

disebut sebagai ‘religion magic’, dan merupakan sistem budaya yang

mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat

Jawa.

Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai

Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan.

Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi

yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai

motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa

ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja,

28

Page 14: BAB II-2 dadi

tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama

adalah bagian dari kewajiban sosial.12

b. Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha

Salah satu hal yang patut dicatat dalam proses perkembangan

budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari

budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam

masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang

menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme

setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem

budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.

Cerita Ajisaka yang datang ke pulau Jawa kemudian ia

mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun

Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Perkembangan

ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya

melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabarata dan Ramayana dari

bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena golongan

cendekiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur

Hinduisme, maka golongan cendekiawan Jawa menjadi kaum

bangsawan atau priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha

mengalami proses Jawanisasi.13

12 Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 69.

13 Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi, hlm 116.

29

Page 15: BAB II-2 dadi

Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-

Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan

pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika

kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba

memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling

bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep

agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.

Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat

teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah

salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:

“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk

legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja

atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada

kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama

diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan

berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton

adalah puncak peradaban pada masa itu.”14

Penanaman watak teokratis dan watak supremasi seorang raja

kepada rakyatnya dilakukan melalui media hiburan rakyat, yaitu

pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan

tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu

(tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang

14 Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: Yayasan Obor, TT), hlm. 10.

30

Page 16: BAB II-2 dadi

disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan

pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.

Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton,

kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai

istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Seorang raja mempunyai

kepentingan-kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu

untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka

ciptakan berupa mitos-mitos, yang kemudian mitos tersebut dihimpun

dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang

hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya

simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan

raja.15

c. Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam

Telah menjadi kesepakatan di kalangan ahli sejarah bahwa Islam

di Indonesia disebarkan oleh para saudagar dari bangsa Gujarat dan

Benggali. Akan tetapi, tidak diragukan pula bahwa orang-orang Arab

juga mengambil bagian penting dalam proses pengislaman bumi

nusantara ini. Orang-orang Arab telah membuat pemukiman di

berbagai daerah pantai di India dan berangsur-angsur menjadi pusat

penyebaran Islam. Kemudian para pedagang tersebut merantau ke

15 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 230.

31

Page 17: BAB II-2 dadi

bumi nusantara ini dengan peran ganda di samping pedagang mereka

juga muballigh.16

Marcopolo sebagai duta besar Venesia untuk menemui raja

Kubilaikhan di negeri Cina, sambil menunggu cuaca baik untuk pulang

ke Venesia, mengunjungi pantai barat laut Sumatera selama lima bulan

pada tahun 1292. Marcopolo menyaksikan bahwa para penghuni

bagian Perlak di ujung pulau Sumatera telah diislamkan oleh para

saudagar Sarasen. Sebaliknya, orang-orang gunung masih menyembah

berhala dan bersifat kanibal.17 Data historis lain menyebutkan bahwa

musafir dari Maroko, Ibnu Bathuttah, yang mengunjungi Sumatera

dalam perjalanannya menuju Cina pada tahun 1345 melaporkan bahwa

ajaran Islam telah mantap di Sumatera Pasai, dan mereka pada

umumnya menganut mazhab Syafi’i.18

Menurut Babad Tanah Djawi,19 penyebaran agama Islam di Jawa

dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai

pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka

bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka

16 R.R. Dimeglio, Arab Trade with Indonesian and Malay Peninsula the 16th to 18th Century (TTP: Oxford University Press, 1970), hal. 116.

17 T.W. Arnold, The Preaching of Islam (Lahore: Kashamiri Bazzar, 1968), hal. 371.

18Hoesein Djajadiningrat, Islam in Indonesia (New York: Ronald Press Company, 1968), hal. 376.

19 Babad Tanah Djawi dikenal sebagai kronik sejarah dan sastra Jawa, sebuah karya yang

diciptakan pada masa kerajaan Mataram pada awal abad ke-17. Para pujangga keraton Sultan Agung menciptakan Babad Tanah Djawi dimaksudkan untuk menggantikan kisah-kisah sejarah Jawa lama.

32

Page 18: BAB II-2 dadi

juga menguasai jaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan

“jaman kewalen” (jaman wali).20

Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat

penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-

budaya lain kecuali budaya Hindu-Budha, sedangkan di Jawa, Islam

menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan

oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah

Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya

petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang

masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan

Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat

Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas.21 Penyebaran Islam

di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng

pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus

merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan

sepanjang pesisir yang pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang

berpusat di pesantren.

Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan

nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima

kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam

agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. pengharapan

20 Zain Muchtarom, Santri dan Abangan Jawa, Volume III (Jakarta: INIS, TT), hal. 20-21.

21 Simuh, Sufisme Jawa, hal. 121.

33

Page 19: BAB II-2 dadi

kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur

sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik,

kekuatan Islam lambat-laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai

kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-

Budha.

Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan

berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai

bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga,

berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai jaman peralihan yakni

peralihan dari jaman “kabudhan”(tradisi Hindu-Budha) ke jaman

“kawalen” (wali). Peralihan ini bukan berarti pembuangan budaya

adiluhung jaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan

penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk

peralihan yang berupa “sinkretisme” antara warisan budaya animisme-

dinamisme dan unsur-unsur Islam.22

3. Interaksi Islam dengan Budaya Jawa

Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama

yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan

pada konsep “humanisme teosentrik”, yaitu poros Islam adalah tauhidullah

yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan

peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan

ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam

22 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 18-32 10 P3M STAIN Purwokerto | Ridwan

34

Page 20: BAB II-2 dadi

konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah

muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai

agama dengan tata nilai budaya.23 Menurut Akbar S. Ahmed, agama

termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana

yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh

karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam

perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa

manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama

visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka

diskursus antropologis Islam mulai meneliti orisinalitas konsep-konsep al-

Qur’an.24

Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada

konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan

dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang

mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental), dan

dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya

akan sarat dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun

bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.

Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial

budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu pendekatan yang

non-kompromis, dan pendekatan yang kompromis. Pendekat-an non-

23 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 160.

24 M. Sirozi, ‘Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi’, Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992, hlm. 15.

35

Page 21: BAB II-2 dadi

kompromis, yaitu dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-

identitas agama, serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya

tersebut seirama dengan ajaran Islam; sedangkan pendekatan kompromis

(akomodatif), yaitu suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana

damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama

dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi

agama masing-masing (cultural approach).

Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih

pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat

Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan

dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang

jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap

masyarakat pedesaan membangun tradisi budaya baru melalui pesantren

sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada

akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu

yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.

Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan

wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik

Islam. Dalam silsilah genealogis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim

sebagai keturunan dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam

konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan

nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai

kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun

36

Page 22: BAB II-2 dadi

konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya mengajarkan kepada

konsep nur-Muhammad.25

Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada

akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang

terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai

berikut:

Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang

berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-

rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru

disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu).26

Dari kutipan naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas

adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan

mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini,

masuknya Islam di Jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama

sekali berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam

mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan

infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.

Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran

kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang

ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton

25 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 231.

26 W.L. Olthoff, Edisi Babad Tanah Djawi, 1941, hlm. 7.

37

Page 23: BAB II-2 dadi

pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai

bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang

dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran

dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks

sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.27 Dilihat dari intensitas

pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua,

yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah

kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-

ajaran agama; sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan

pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di

Jawa Tengah bagian selatan misalnya, pergulatan santri dan abangan justru

didominasi oleh kelompok abangan.

Secara budaya, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Jawa

menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan, priyayi dan santri.

Klasifikasi masyarakat Jawa ini merupakan hasil penelitiannya di daerah

Mojokuto Jawa Timur. Dalam hal ini dia berkata:

“Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi

sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan

unsur-unsur petani di antara penduduk. Kelompok santri mewakili sikap

yang menitikberatkan segi-segi Islam dalam sinkretisme, pada umumnya

berhubungan dengan kaum pedagang dan petani, sedangkan kelompok

27 18 P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 285.

38

Page 24: BAB II-2 dadi

priyayi adalah sikap yang menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan

berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi”.28

Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan kekuasaannya

pada seperempat abad kelimabelas, pada jaman ini pula menandai

berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang politik, khususnya di

kota-kota pantai utara seperti Ampel (Surabaya), Gresik, Tuban, Demak,

Jepara, dan Cirebon. Mereka adalah pemimpin pertama “religius politik”

Jawa Islam. Para tokoh agama/wali dalam proses dakwahnya melalui

proses pembauran dengan keluarga istana melalui perkawinan atau

keturunan.

Dari paparan di atas, tampak jelas karakteristik yang menonjol dari

budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi

animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa

adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk

ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit. Karena yang

ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas sebab

pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu,

tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman

keagamaan yang bercorak mistik.

4. Budaya Lokal (Jawa) sebagai Instrumentasi Dakwah Islam

28 Clifford Geertz, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS, 1988), hlm. 2.

39

Page 25: BAB II-2 dadi

Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan

budaya lokal Jawa dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu

yang memungkinkan diakomodir eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat

dalam kaidah fiqh yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa

menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah

syari’at yang dapat dijadikan hukum).29 Kaidah ini memberikan justifikasi

yuridis bahwa kebiasaan suatu masyarakat bisa dimungkinkan dijadikan

dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk bersikap.

Hanya saja tidak semua adat/ tradisi bisa dijadikan pedoman

hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam.

Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan

sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan semangat

tauhid. Dengan semangat tauhid ini manusia dapat melepaskan diri dari

belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada peng-esaan

terhadap Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam

kaidah fiqh di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuah tradisi,

dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu

terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan

dengan Islam.

Dengan demikian kedatangan Islam selalu mendatangkan

perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial

menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga misalnya dalam

29 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Ma’arif, 1968), hlm. 90.

40

Page 26: BAB II-2 dadi

melakukan islamisasi tanah Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya,

yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan

Majapahit. Melalui seni pewayangan ia berusaha menggunakan unsur-

unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-

perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya.30

Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktek sekarang ini juga tampak

ada nuansa yang daspat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam

dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang

masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk

mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke

3, 7, 40, 100 dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi

sekarang disebut selamatan. Sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab,

yaitu Islam, salam, dan salamah yang berarti memohon keselamatan dan

kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan atau

tahlil, yaitu membaca kalimat thayyibah, La ilaha illa Allah, secara

bersama-sama sebagai cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid.

Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga

dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan, contoh dari simbol ini

adalah bentuk arsitektur bangunan masjid masih berbentuk pura atau

candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama

yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan. Di

samping itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan jimat kalimasada (dua

30 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 550.

41

Page 27: BAB II-2 dadi

kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan. Istilah jimat merupakan

pemikiran pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada

pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari budaya keraton.

Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang

menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan

sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa.

Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya

produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius

Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi

tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.

Dari paparan di atas penulis dapat menarik kesimpulan dari

pembahasan ini sebagai berikut.

Pertama, masyarakat Jawa jauh sebelum datang agama yang

berketuhanan seperti Hindu-Budha maupun Islam telah memiliki

kepercayaan metafisik atau kekuatan di luar dirinya yang

termanifestasikan dalam kepercayaan animisme-dinamisme. Setelah

agama-agama tersebut datang, masyarakat Jawa terlibat dalam proses

akulturasi bahkan sinkretisasi agama dan budaya, dengan dimensi dan

muatan agama dan budaya Jawa sendiri.

Kedua, Islam sebagai salah satu agama yang hadir di Jawa juga

terlibat dalam pergumulan dengan budaya lokal Jawa, dan oleh karenanya

tampilan Islam di Jawa mempunyai karekteristik yang berbeda dengan

tampilan di daerah lain. Fenomena ini lahir tidak lepas dari proses

42

Page 28: BAB II-2 dadi

islamisasi yang dilakukan oleh para wali dengan menggunakan pendekatan

kompromistik-akomodatif yang memungkinkan terjadinya dialektika

antara Islam dengan budaya lokal Jawa.

Ketiga, secara metodologis dalam hukum Islam, adat/tradisi bisa

saja dijadikan sebagai dasar penetapan hukum selama adat tersebut tidak

bertentangan dengan ajaran Islam. Berbagai tampilan dari ekspresi

keagamaan di tengah-tengah masyarakat muslim Jawa dalam berbagai

bentuknya adalah bukti nyata adanya dialektika Islam dengan budaya Jawa

khususnya pada aspek formal dari budaya, sedangkan aspek material

diubah dengan semangat/ajaran Islam.

43