Upload
maftuh
View
215
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
BIOGRAFI SIMUH DAN BUKU ISLAM DAN PERGUMULAN
BUDAYA JAWA
A. Riwayat Hidup Simuh dan Karya-karyanya
Sebelum melacak pemikiran Prof. Dr. Simuh tentang tasawuf,
sebaiknya terlebih dahulu perlu diketahui sejarah atau latar belakang
hidupnya, mulai dari lahirnya hingga tingkat intelektualnya. Pertama yang
perlu di paparkan di sini adalah biografi atau riwayat hidup Simuh. Sebagai
bukti dasar untuk menunjukkan bahwa Simuh memang betul-betul berjuang
dalam mengejar keilmuannya hingga kini.
1. Perjalanan hidup dan pendidikan Prof. Dr. Simuh.
Simuh yang mempunyai nama sejak kecil, yaitu Muhammad Faqih.
Dilahirkan pada tanggal 3, bulan Juni, tahun 1933,1 Dilahirkan di rumah
yang beralamat di Gondangan, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Ia adalah
anak dari seorang petani kecil yang tempatnya tak jauh dari kota
Yogyakarta, lebih kurang 10 Km. ke arah utara, tepatnya pada Jalan
Kaliurang bertepatan menuju arah Gunung Merapi. Pendidikan Simuh
yang dijalani dari kecil hingga berhasil sebagai pemikir Islam (kejawen)
adalah anugerah Tuhan yang sangat besar. Dalam pemikirannya juga
banyak menyumbangkan tentang sufisme (tasawufnya) pada tingkat
akademisi, pengkaji ilmu agama Islam dan umumnya pada masyarakat
Indonesia. Keberhasilan Simuh, seperti saat ini bukan saja hanya hadiah 1 Wawancara dengan Simuh, Gondangan Sardonoharjo Ngaglik, di Sleman tanggal 17
Februari 2008.
16
16
dari Tuhan, melainkan juga karena kerja keras tanpa mengenal lelah dan
tanpa mengeluh atau putus asa dari setiap usaha yang ditempuh. Dengan
kegigihannya yang tinggi dapatlah diraih kesuksesan sifat sekarang ini.
Pada pra-kemerdekaan, sekolah yang ada hanya Sekolah Rakyat.
Simuh tamat dari Sekolah Rakyat (SR) ditahun 1945. Dari sekolah tingkat
dasar kemudian Simuh melanjutkan pendidikannya, di tingkat menengah
(sekarang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) pada tahun 19502. Ia dapat
menyelesaikan sekolah dengan nilai yang sangat baik. Dari tingkat
pertama kemudian Simuh melanjutkan belajarnya ke Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA) bagian B (jurusan Pasti Alam) pada tahun 19533.
Beberapa tahun kemudian setelah tamat belajar di lanjutan tingkat
atas, Simuh tidak berhenti di situ saja. Keinginan untuk belajar demi
mengikuti perkembangan keilmuan, tekadnya yang besar masih membakar
semangat juang untuk kemajuan ilmu keislaman, mendorong ia
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, pada perguruan tinggi yaitu di
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang berubah dengan nama
Universitas Islam Negeri (UIN). Fakultas yang diambilnya pada waktu itu
adalah Fakultas Ushuluddin. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun
1963, Simuh telah berhasil menyandang gelar sarjana. Hal itu ia peroleh
setelah berhasil menyelesaikan skripsinya yang mengkritik tesis-tesis
Imam Al-Ghozali dalam kitab Al-Munqidz Min Al-dhalal.
2 Wawancara dengan Simuh, tanggal 17 Februari 20083 Wawancara dengan Simuh, tanggal 25 Februari 2008
17
Pada tahun 1963, yaitu setelah Simuh berhasil menyandang gelar
sarjana pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia
menyempatkan untuk mengadakan riset studi di Australia University di
Canberra dari tahun 1981 sampai dengan 1982,4 dalam rangka
mengumpulkan bahan penulisan disertasi pada program doktornya.
Dengan disertasinya yang berjudul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ronggowarsito (Studi tentang Wirid Hidayat Jati) dengan promotor Prof.
H. A. Mukti Ali dan Prof. A. H. Johns BA. Ph.D. Land Fana. Selain itu,
sekaligus Simuh merupakan Doktor pertama dari Perguruan tinggi IAIN
Sunan Kalijaga (diluar Doktor HC). Pengajaran tentang ilmu tasawuf
mulai Dia dapatkan melalui kuliah yang diampu oleh Prof. DR. HAMKA5.
2. Karier Intelektual
Setelah mendapat gelar kesarjanaan ia mulai meniti karirnya, meski dalam
instansi yang ia pernah duduk sebagai mahasiswa pada instansi tersebut.
Justru itu, membawa keuntungan yang besar bahkan dapat mengangkat
derajat keilmuannya. Bidang karir yang ditekuni oleh Simuh yang pertama
kali adalah menjadi pegawai bulanan organik pada tahun 1963 dengan
tugas sebagai Asisten Ahli di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Pada tahun 1968 diangkat sebagai dosen muda dengan
pangkat Penata Muda pada fakultas yang sama. Beliaupun pernah
dipercaya sebagai Kepala Perpustakaan IAIN Sunan kalijaga dari tahun
4 Simuh, Perkembangan Aspek Aqidah, Al-Jami’ah, xvii, Februari 1984, hlm 89. 5 Simuh, Perkembangan Aspek Aqidah, hlm. 90.
18
1972 sampai dengan tahun 1976. Kemudian Simuh diangkat sebagai
Wakil Dekan pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.6
Karir semakin bertambah, pada tahun 1984 sampai dengan 1992,
Simuh mendapat kepercayaan pemerintah untuk menjabat Sebagai Dekan
di Fakultas Ushuluddin (1988-1992). Setelah itu Simuh menduduki
jabatan sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat hingga akhirnya beliau
mendapat kepercayaan lagi memimpin IAIN Sunan Kalijaga sebagai
Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada periode 1992 sampai dengan 1997.7
Dr. Simuh dikukuhkan sebagai guru besar (Profesor) pada Fakultas
Ushuluddin pada tahun 1996, dengan pidatonya yang bertema
Perkembagan Aspek Akidah dalam Sufisme Isi pidato tersebut banyak
ditulis dalam bentuk artikel terutama jurnal dan majalah.
Dengan kemampuan dan keahliannya dalam bidang sastra Jawa Prof,
Dr. H. Simuh dikenal sebagai orang yang paling otoritatif dalam bidang
sastra Jawa di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam
beberapa karyanya potret yang cukup berbeda mengenai masa lalu
keagamaan Jawa.8
Dalam desertasinya, Simuh membela Ronggowarsito di hadapan
para sarjana Calvinis, seperti Harun Hadiwijono dan P. van Akeren.
Ketika itu Simuh mengkritik pernyataan dari Van Akeren dalam
disertasinya yang berjudul Een Gendrocht en toch de Volmaakte mens,
6 Wawancara dengan Simuh, tanggal 08 maret 2008.
7 Wawancara dengan Simuh8 Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2002) hlm. Vi.
19
yang telah membahas ajaran Wirid Hidayat Jati tentang Baitul Muqoddas
dalam kaitannya dengan Serat Gatholoco dan Serat Darma Gandhol. Yakni
dimuliakannya alat kelamin dan hubungan seks sebagai usaha untuk
mencapai penghayatan mistik. Disimpulkan bahwa ajaran tentang Baitul
Mukoddas dalam Wirid Hidayat Jati itu sangat kuat hubungannya dengan
pengajaran terhadap Lingga (Lingga adalah lambang dzakar) yang terdapat
di Jawa sebelum masa Islam.9
Disamping Simuh menjalani kariernya sebagai pengajar dan
pemimpin pada instansi perguruan tinggi, pada waktu-waktu luang
digunakan untuk membaca dan menulis. Ia gunakan kesempatan tersebut.
Bahkan tulisannya dibukukan sehingga diterbitkan. Tujuannya agar dapat
dipelajari oleh orang lain terutama di kalangan akademis sebagai bahan
ajar kuliah tasawuf.
3. Karya-karya Simuh
Ditengah-tengah kesibukannya mengajar sebagai dosen, ia gunakan
waktu yang senggang untuk menulis sehingga dapat menghasilkan karya-
karya yang berbentuk buku dan layak karya-karya itu antara lain,
pertama, buku yang berjudul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ronggowarsito yang diterbitkan pada tahun 1988, dari Jakarta. Kedua,
Sufisme Jawa,Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, dikeluarkan
oleh penerbit Bentang Budaya pada tahun 1995, di Yogyakarta. Ketiga,
9 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito (Jakarta:UI Press 1988), hlm.7.
20
pada tahun 1996 berhasil menulis buku lagi yang berjudul Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam diterbitkan oleh Rajawali Press, dari
Jakarta. Keempat, selang beberapa tahun Simuh baru bisa menulis sebuah
buku lagi pada tahun 2003, bukunya yang berjudul Islam dan Pergumulan
Budaya Jawa, yang berhasil diterbitkan Teraju, Jakarta. Kebetulan saat ini
buku tersebut penulis jadikan sebagai bahan primer untuk rujukan
penelitian ini. Satu lagi, karyanya yang belum disempurnakan dan
diterbitkan berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Simuh tak berhenti
menulis, meskipun tidak berbentuk buku, Ia mengeluarkan ide lewat
media cetak, baik itu berupa surat kabar, artikel-artikel, maupun jurnal-
jurnal kebudayaan, yang bersifat lokal ataupun nasional.
Demikian uraian singkat tentang latar belakang kehidupan Prof.
Simuh, mulai dari kelahiran, tingkat pendidikan, karier intelektualnya,
hingga karya-karya yang berhasil diraih selama ini. Barang kali semua itu
dapat dijadikan suri tauladan bagi mahasiswa yang sedang belajar untuk
memacu tingkat keilmuan mereka.
Setelah mengetahui latar belakang pemikiran Simuh secara eksplisit,
dapat diketahui bahwa Simuh ternyata juga berkecimpung dalam bidang
kebudayaan yang terfokus pada spiritual Islam dan kebudayaan Jawa.
Lebih spesifik lagi pada Islam kejawennya, mistisisme. Hal itu dapat
dilihat pada karya yang telah dihasilkan, kebanyakan mengkaji tentang
mistik, tasawuf, dan sinkretisme. Terlihat disitu sebuah mind set
(pemikiran) yang dimiliki, sehingga ketika berbicara tentang tasawuf ia
21
mempuyai kontribusi ide, kritik, dan pandangan yang tentu sangat berguna
bagi kalangan akademis. Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa
mendapat respon para sarjana kaliber yang bergelar professor sebut saja
Prof. Dr. Franz Magniz, ia mengatakan sudah sangat tepat.
B. Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa
1. Latar Belakang Penulisan
Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa ini oleh Prof. Dr. Simuh
di bagi atas beberapa bab yaitu dua belas bab, di dahului dengan kata
pengantar oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar, dosen Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada. Melalui keterangannya buku Islam dan
Pergumulan Budaya Jawa ditulis ketika kalangan orang Jawa Tengah
dalam masa gonjang-ganjing jagad Jawa, berkenaan dengan pengelolaan
Borobudur. Yaitu dengan budaya spiritualnya yang sangat progresif.
2. Sistematika Penulisan Buku
Buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa dibagi atas dua belas bab
antara lain: Bab pertama, dengan tema Islam dan Budaya Jawa
mendeskripsikan enam nilai budaya. Keenam nilai itu setidaknya ada tiga
nilai budaya diantaranya adalah nilai agama, seni, dan solidaritas,
berkaitan dengan rasa, merupakan kristalisasi berbagai macam nilai
kehidupan manusia, sehingga keenamnya merupakan pilar yang
menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu dan
masyarakat.
22
Bab kedua, Islam sebagai kebudayaan yang paripurna mencakup dua
bagian meliputi, pancaran pola budaya Islam yang orisinal dan Islam
zaman perkembangan Agama. Dalam spektrum pola budaya Islam yang
orisinal, menampakkan nilai agama yang sangat dominan sehingga
moralitas, maupun spiritualitas Islam mewarnai kelima nilai budaya yang
lain. Dalam ajaran Al-qur’an, dukungan teori ilmiah, ekonomi, dan nilai
politik (kekuasaan) sangat diperlukan.
Bab ketiga, pola budaya Islam sufi, menguraikan pola budaya islam
sufi. Di dalamnya mendiskripsikan pola budaya pancaran Islam sufi. Jika
dibandingkan antara pola budaya menurut ajaran tauhid yang rasional,
pola budaya menurut ajaran tauhid sufi terlalu menekankan dimensi rasa
(dzauq). Pola ini lebih mempersempit ruang gerak pemikiran rasional
ilmiah. Pola pancaran budaya Islam sufi serta paham imanen dan
transenden dalam sufisme Paham immanen dan Transenden dalam
Sufisme. Setelah mengalami perkembangan penganut sufisme akhirnya
terbelah menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Yakni, para sufi
yang menganut paham immanensi Tuhan dalam alam semesta dan alam
diri manusia, dan para sufi yang mempertahankan paham transendensi
Tuhan.
Bab Keempat, menguraikan tema kebudayaaan Jawa Asli. Bahwa
dalam kebudayaan Jawa terdapat interaksi yang kuat antara Islam dan
budaya Jawa dan mempunyai karakteristik tersendiri. Pergulatan Islam
dengan sastra budaya Jawa ternyata melahirkan tiga bentuk keislaman
23
dengan landasaan berpikir yang berbeda dan kadang saling memancing
konflik satu sama lain. Yaitu: Islam santri, abangan, dan priyayi. Bab
kelima, dari dua belas bertema Pengaruh Hinduisme dan Pertumbuhan
kebudayaan Priyayi. Di dalamnya berisi Pola Budaya Priyayi Hindu-
Kejawen, disertai pola budaya Hindu-Kejawen.
Bab kelima, pengaruh Hinduisme dan pertumbuhan kebudayaan
priyayi meliputi, pola budaya priyayi Hindu kejawen serta pola budaya
kejawen. Dalam pola budaya priyayi Hindu Kejawen, yang paling
dominan bukan nilai agama tetapi orientasi terhadap nilai kekuasaan atau
nilai politik dan agama menempati urutan kedua. Sedangkan pola budaya
Hindu kejawen berkaitan langsung dengan nilai seni dan mistik, sehingga
ilmunya mengarah kepada hal-hal yang bersifat gaib dan mitos-mitos,
bukan ilmu yang ilmiah.
Bab keenam zaman Islam di Jawa: Pergumulan sastra dan budaya
Islam serta Kejawen, Pergumulan dalam budaya intelektual, pergumulan
dalam bidang politik, dan terakhir pada bab enam Islam merupakan simbol
nasionalisme religius.
Bab ketujuh, Pengaruh barat terhadap Islam dan budaya Jawa
Bab kedelapan: menjelaskan tentang muhammadiyah, di Jawa terdapat dua
organisasi besar yakni umat Islam modernis yaitu Muhammadiyah dan Islam
tradisionalis yaitu Nahdhatul Ulama. Muhammadiyah memiliki sifat progesif
dan berwawasan modern.
24
Bab kesembilan, menjelaskan tentang Nahdhatul Ulama. Pola budaya
Islam tradisional dalam Nahdhatul Ulama sama dengan pola budaya Islam sufi
yang bersifat sangat ekspresif dan mistis. Pola berfikir normatif menyebabkan
Nahdhatul Ulama sulit untuk menyesuaikan diri dengan arus utama zaman
modern.
Bab Kesepuluh, Umat Islam dan Kejawen dalam Menghadapi Proses
Globalisasi Budaya Rasional. Dalam menghadapi globalisasi budaya Barat,
kaum priyayi Islam-Kejawen lebih berselaras dengan Muhammadiyah,
meskipun masih mempunyai kelemahan dalam melaksanakan pemerintahan
modern yang menuntut asas demokratis dan efisien.
Bab Kesebelas, Kebangkitan Budaya Spiritual Kejawen: memunculkan
banyak ajaran-ajaran yang beraliran kebatinan yang kemudian menamakan
diri sebagai, berikut Paguyuban Sumarah, Paguyuban Ngesti tunggal, Ajaran
Tri Purusa, Saptadarma, Susila Budhi Dharma (Subud), Politikisasi Penghayat
Kepercayaan.
Bab Keduabelas, Umat Islam dan bangsa Indonesia menatap masa
depan. Sudah saatnya umat Islam untuk meraih zaman pencerahan dalam
memahami dan mengamalkan agama.
Daftar Pustaka, buku atau sumber yang digunakan dalam penulisan buku
Islam dan Pergumulan Budaya Jawa.
Terakhir pada sistematika buku Islam dan Pergumulan Budaya Jawa
yaitu Indeks, pemilahan kata-kata yang muncul pada halaman pembahasan
buku dan dikumpulkan.
25
1. Dialektika Islam dengan Budaya Jawa
Dalam studi antropologi, istilah culture (budaya) dibedakan dengan
istilah civilization (peradaban). Makna culture atau kebudayaan secara
etimologis berkaitan dengan sesembahan (cult) yang dalam bahasa latin
berarti “cultus” dan “culture”. Sementara, peradaban atau civilization
berkaitan dengan kata “cives” yang berarti warganegara. Kalau budaya
adalah pengaruh agama terhadap diri manusia, maka peradaban adalah
pengaruh akal pada alam.10
Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen
pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari
kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem
sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Adapun komponen isi terdiri dari
tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi,
organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian.
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan
yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya
dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana
nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan
diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan
yang bersifat materiil. Pola interaksi semacam ini dapat digambarkan
dalam alur skema interaktif sebagai berikut.11
10 Alija Izebigovic, Membangun Jalan Tengah (Bandung: Mizan, 1992), hal. 71.
11 Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawwuf ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hal. 110.
26
Dengan kerangka seperti ini dapat digunakan untuk memprediksi
karakteristik budaya Jawa dalam kaitannya dengan sistem teologi Islam
yang berkembang, dan melakukan interaksi timbal-balik di dalamnya.
Islam sebagai sebuah sistem ajaran agama akan selalu berdialog dengan
budaya lokal di mana Islam berada.
2. Fase-fase Perkembangan Kebudayaan Jawa
Signifikansi pembahasan fase-fase pertumbuhan kebudayaan Jawa
dalah untuk melihat sejauh mana pergumulan budaya Jawa sebelum dan
sesudah Islam datang. Hal ini penting dikaji untuk menguak sistem nilai
dan karakteristik budaya Jawa. Berikut ini penulis paparkan pertumbuhan
budaya Jawa masa pra Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, dan kebudayaan
Jawa masa kerajaan Islam.
a. Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha
Data mengenai perkembangan budaya Jawa masa pra Hindu-
Budha sangatlah terbatas. Namun, ciri yang menonjol dari struktur
masyarakat yang ada pada waktu itu adalah didasarkan pada aturan-
aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme
yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas
kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat
kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis
dan konservatif.
27
Ciri lain masyarakat Indonesia lama adalah kuatnya ikatan
solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat
Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek-moyang
melahirkan penyembahan ruh nenek-moyang (ancestor worship) yang
pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya.
Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek-moyang menjadi
sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara
ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam
tradisi ritual ini, fungsi ruh nenek-moyang dianggap sebagai
‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon
wayang, ruh nenek-moyang dipersonifikasikan dalam bentuk
‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog
disebut sebagai ‘religion magic’, dan merupakan sistem budaya yang
mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat
Jawa.
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai
Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan.
Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi
yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai
motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa
ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja,
28
tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama
adalah bagian dari kewajiban sosial.12
b. Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha
Salah satu hal yang patut dicatat dalam proses perkembangan
budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari
budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam
masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang
menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme
setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem
budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
Cerita Ajisaka yang datang ke pulau Jawa kemudian ia
mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun
Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Perkembangan
ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya
melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabarata dan Ramayana dari
bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena golongan
cendekiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur
Hinduisme, maka golongan cendekiawan Jawa menjadi kaum
bangsawan atau priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha
mengalami proses Jawanisasi.13
12 Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 69.
13 Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi, hlm 116.
29
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-
Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan
pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika
kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba
memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling
bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep
agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat
teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah
salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk
legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja
atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada
kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama
diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan
berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton
adalah puncak peradaban pada masa itu.”14
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi seorang raja
kepada rakyatnya dilakukan melalui media hiburan rakyat, yaitu
pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan
tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu
(tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang
14 Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: Yayasan Obor, TT), hlm. 10.
30
disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan
pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton,
kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai
istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Seorang raja mempunyai
kepentingan-kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu
untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka
ciptakan berupa mitos-mitos, yang kemudian mitos tersebut dihimpun
dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang
hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya
simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan
raja.15
c. Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Telah menjadi kesepakatan di kalangan ahli sejarah bahwa Islam
di Indonesia disebarkan oleh para saudagar dari bangsa Gujarat dan
Benggali. Akan tetapi, tidak diragukan pula bahwa orang-orang Arab
juga mengambil bagian penting dalam proses pengislaman bumi
nusantara ini. Orang-orang Arab telah membuat pemukiman di
berbagai daerah pantai di India dan berangsur-angsur menjadi pusat
penyebaran Islam. Kemudian para pedagang tersebut merantau ke
15 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 230.
31
bumi nusantara ini dengan peran ganda di samping pedagang mereka
juga muballigh.16
Marcopolo sebagai duta besar Venesia untuk menemui raja
Kubilaikhan di negeri Cina, sambil menunggu cuaca baik untuk pulang
ke Venesia, mengunjungi pantai barat laut Sumatera selama lima bulan
pada tahun 1292. Marcopolo menyaksikan bahwa para penghuni
bagian Perlak di ujung pulau Sumatera telah diislamkan oleh para
saudagar Sarasen. Sebaliknya, orang-orang gunung masih menyembah
berhala dan bersifat kanibal.17 Data historis lain menyebutkan bahwa
musafir dari Maroko, Ibnu Bathuttah, yang mengunjungi Sumatera
dalam perjalanannya menuju Cina pada tahun 1345 melaporkan bahwa
ajaran Islam telah mantap di Sumatera Pasai, dan mereka pada
umumnya menganut mazhab Syafi’i.18
Menurut Babad Tanah Djawi,19 penyebaran agama Islam di Jawa
dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai
pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka
bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka
16 R.R. Dimeglio, Arab Trade with Indonesian and Malay Peninsula the 16th to 18th Century (TTP: Oxford University Press, 1970), hal. 116.
17 T.W. Arnold, The Preaching of Islam (Lahore: Kashamiri Bazzar, 1968), hal. 371.
18Hoesein Djajadiningrat, Islam in Indonesia (New York: Ronald Press Company, 1968), hal. 376.
19 Babad Tanah Djawi dikenal sebagai kronik sejarah dan sastra Jawa, sebuah karya yang
diciptakan pada masa kerajaan Mataram pada awal abad ke-17. Para pujangga keraton Sultan Agung menciptakan Babad Tanah Djawi dimaksudkan untuk menggantikan kisah-kisah sejarah Jawa lama.
32
juga menguasai jaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan
“jaman kewalen” (jaman wali).20
Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat
penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-
budaya lain kecuali budaya Hindu-Budha, sedangkan di Jawa, Islam
menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan
oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah
Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya
petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang
masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan
Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat
Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas.21 Penyebaran Islam
di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng
pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus
merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan
sepanjang pesisir yang pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang
berpusat di pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan
nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima
kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam
agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. pengharapan
20 Zain Muchtarom, Santri dan Abangan Jawa, Volume III (Jakarta: INIS, TT), hal. 20-21.
21 Simuh, Sufisme Jawa, hal. 121.
33
kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur
sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik,
kekuatan Islam lambat-laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai
kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-
Budha.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan
berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai
bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga,
berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai jaman peralihan yakni
peralihan dari jaman “kabudhan”(tradisi Hindu-Budha) ke jaman
“kawalen” (wali). Peralihan ini bukan berarti pembuangan budaya
adiluhung jaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan
penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk
peralihan yang berupa “sinkretisme” antara warisan budaya animisme-
dinamisme dan unsur-unsur Islam.22
3. Interaksi Islam dengan Budaya Jawa
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama
yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan
pada konsep “humanisme teosentrik”, yaitu poros Islam adalah tauhidullah
yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan
peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan
ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam
22 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 18-32 10 P3M STAIN Purwokerto | Ridwan
34
konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah
muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai
agama dengan tata nilai budaya.23 Menurut Akbar S. Ahmed, agama
termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana
yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh
karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam
perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa
manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama
visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka
diskursus antropologis Islam mulai meneliti orisinalitas konsep-konsep al-
Qur’an.24
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada
konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan
dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang
mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental), dan
dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya
akan sarat dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun
bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial
budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu pendekatan yang
non-kompromis, dan pendekatan yang kompromis. Pendekat-an non-
23 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 160.
24 M. Sirozi, ‘Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi’, Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992, hlm. 15.
35
kompromis, yaitu dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-
identitas agama, serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya
tersebut seirama dengan ajaran Islam; sedangkan pendekatan kompromis
(akomodatif), yaitu suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana
damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama
dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi
agama masing-masing (cultural approach).
Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih
pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat
Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan
dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang
jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap
masyarakat pedesaan membangun tradisi budaya baru melalui pesantren
sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada
akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu
yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.
Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan
wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik
Islam. Dalam silsilah genealogis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim
sebagai keturunan dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam
konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan
nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai
kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun
36
konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya mengajarkan kepada
konsep nur-Muhammad.25
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada
akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang
terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai
berikut:
Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang
berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-
rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru
disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu).26
Dari kutipan naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas
adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan
mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini,
masuknya Islam di Jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama
sekali berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam
mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan
infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.
Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran
kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang
ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton
25 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 231.
26 W.L. Olthoff, Edisi Babad Tanah Djawi, 1941, hlm. 7.
37
pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai
bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang
dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran
dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks
sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.27 Dilihat dari intensitas
pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua,
yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah
kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-
ajaran agama; sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan
pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di
Jawa Tengah bagian selatan misalnya, pergulatan santri dan abangan justru
didominasi oleh kelompok abangan.
Secara budaya, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Jawa
menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan, priyayi dan santri.
Klasifikasi masyarakat Jawa ini merupakan hasil penelitiannya di daerah
Mojokuto Jawa Timur. Dalam hal ini dia berkata:
“Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi
sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan
unsur-unsur petani di antara penduduk. Kelompok santri mewakili sikap
yang menitikberatkan segi-segi Islam dalam sinkretisme, pada umumnya
berhubungan dengan kaum pedagang dan petani, sedangkan kelompok
27 18 P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 285.
38
priyayi adalah sikap yang menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan
berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi”.28
Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan kekuasaannya
pada seperempat abad kelimabelas, pada jaman ini pula menandai
berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang politik, khususnya di
kota-kota pantai utara seperti Ampel (Surabaya), Gresik, Tuban, Demak,
Jepara, dan Cirebon. Mereka adalah pemimpin pertama “religius politik”
Jawa Islam. Para tokoh agama/wali dalam proses dakwahnya melalui
proses pembauran dengan keluarga istana melalui perkawinan atau
keturunan.
Dari paparan di atas, tampak jelas karakteristik yang menonjol dari
budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi
animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa
adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk
ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit. Karena yang
ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas sebab
pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu,
tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman
keagamaan yang bercorak mistik.
4. Budaya Lokal (Jawa) sebagai Instrumentasi Dakwah Islam
28 Clifford Geertz, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS, 1988), hlm. 2.
39
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan
budaya lokal Jawa dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu
yang memungkinkan diakomodir eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat
dalam kaidah fiqh yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa
menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah
syari’at yang dapat dijadikan hukum).29 Kaidah ini memberikan justifikasi
yuridis bahwa kebiasaan suatu masyarakat bisa dimungkinkan dijadikan
dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk bersikap.
Hanya saja tidak semua adat/ tradisi bisa dijadikan pedoman
hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam.
Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan
sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan semangat
tauhid. Dengan semangat tauhid ini manusia dapat melepaskan diri dari
belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada peng-esaan
terhadap Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam
kaidah fiqh di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuah tradisi,
dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu
terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan
dengan Islam.
Dengan demikian kedatangan Islam selalu mendatangkan
perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial
menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga misalnya dalam
29 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Ma’arif, 1968), hlm. 90.
40
melakukan islamisasi tanah Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya,
yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan
Majapahit. Melalui seni pewayangan ia berusaha menggunakan unsur-
unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-
perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya.30
Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktek sekarang ini juga tampak
ada nuansa yang daspat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam
dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang
masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk
mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke
3, 7, 40, 100 dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi
sekarang disebut selamatan. Sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab,
yaitu Islam, salam, dan salamah yang berarti memohon keselamatan dan
kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan atau
tahlil, yaitu membaca kalimat thayyibah, La ilaha illa Allah, secara
bersama-sama sebagai cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid.
Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga
dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan, contoh dari simbol ini
adalah bentuk arsitektur bangunan masjid masih berbentuk pura atau
candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama
yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan. Di
samping itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan jimat kalimasada (dua
30 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 550.
41
kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan. Istilah jimat merupakan
pemikiran pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada
pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari budaya keraton.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang
menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan
sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa.
Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya
produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius
Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi
tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
Dari paparan di atas penulis dapat menarik kesimpulan dari
pembahasan ini sebagai berikut.
Pertama, masyarakat Jawa jauh sebelum datang agama yang
berketuhanan seperti Hindu-Budha maupun Islam telah memiliki
kepercayaan metafisik atau kekuatan di luar dirinya yang
termanifestasikan dalam kepercayaan animisme-dinamisme. Setelah
agama-agama tersebut datang, masyarakat Jawa terlibat dalam proses
akulturasi bahkan sinkretisasi agama dan budaya, dengan dimensi dan
muatan agama dan budaya Jawa sendiri.
Kedua, Islam sebagai salah satu agama yang hadir di Jawa juga
terlibat dalam pergumulan dengan budaya lokal Jawa, dan oleh karenanya
tampilan Islam di Jawa mempunyai karekteristik yang berbeda dengan
tampilan di daerah lain. Fenomena ini lahir tidak lepas dari proses
42
islamisasi yang dilakukan oleh para wali dengan menggunakan pendekatan
kompromistik-akomodatif yang memungkinkan terjadinya dialektika
antara Islam dengan budaya lokal Jawa.
Ketiga, secara metodologis dalam hukum Islam, adat/tradisi bisa
saja dijadikan sebagai dasar penetapan hukum selama adat tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Berbagai tampilan dari ekspresi
keagamaan di tengah-tengah masyarakat muslim Jawa dalam berbagai
bentuknya adalah bukti nyata adanya dialektika Islam dengan budaya Jawa
khususnya pada aspek formal dari budaya, sedangkan aspek material
diubah dengan semangat/ajaran Islam.
43