Upload
phamtruc
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENGANTAR
1.1.Latar Belakang
Praksis jurnalisme lingkungan di Madura khususnya dalam peliputan
ekplorasi minyak dan gas (migas) menjadi locus yang sangat menarik, bukan
hanya lantaran dibingkai oleh peristiwa eksplorasi migas besar-besaran,
melainkan karena konfigurasi aktornya yang unik. Isu yang khas dari bagaimana
posisi konflik lingkungan migas di Madura, adalah peran dan posisi kiai sebagai
salah satu faksi penting dari peta kepentingan dalam konflik.
Untuk menunjukkan bukti dan menghindari klaim, peneliti memiliki
contoh bagaimana kiai memberikan peran sekaligus memosisikan dirinya sebagai
satu bagian penting dari suatu isu lingkungan. Dalam sengketa uji seismik PT SPE
Petrolium di Madura, kiai merepresentasikan dirinya sebagai kelompok pemangku
kepentingan rakyat. Gerakan ini diformalisasikan lewat pembentukan Forum Kiai
Muda Madura yang memberikan kontraposisi atas uji seismik.1
Menurut Suprayogo, paling tidak ada tiga klaim yang digunakan oleh kiai
Madura sebagai alasan untuk melibatkan dirinya di luar wilayah keagamaan,
terlebih fokus pada ranah persoalan ekonomi politik, termasuk dalam ranah yang
sepintas lalu terdengar asing, yakni konflik lingkungan (Suprayogo, 1998).
Pertama; bila lingkup teologi Islam ditelusuri, maka ruang gerak kiai
1 Ketua Forum Kiai Muda Madura KH Jurjiz Muzammil menyesalkan pernyataan pihak PT SPE
Petroleum yang tidak bertanggung jawab bila kegiatan uji seismik menimbulkan masalah seperti
semburan lumpur di Porong, Sidoarjo. Periksa
http://www.tempo.co/read/news/2010/08/02/180268227/Forum-Kiai-Muda-Madura-Sesalkan-
Pernyataan-Pihak-SPE-Petroleum. Diakses terakhir 18/12/12.
2
digambarkan sangat luas, bukan hanya pada aspek ritual dan bimbingan moral
tetapi juga pada nilai-nilai di semua sisi kehidupan baik dalam ilmu pengetahuan,
ekonomi, lingkungan, hukum, sosial, maupun persoalan politik. Sekalipun
sebagian besar ajaran Islam memberikan tuntunan yang bersifat garis besar, tetapi
norma-norma agama umum semisal lingkungan, politik, atau ekonomi, sering
digunakan sebagai dalil para ulama/kiai Madura dalam bergerak, baik dalam ranah
kritik pemikiran maupun praksis gerakan
Kedua, dilihat dari sisi sejarah politik lokal di Madura, keterlibatan kiai
dalam perkara publik (baca: ekonomi politik) telah terlihat dalam rentang waktu
yang lama di era kolonial. Peran para kiai lebih nampak pada saat sejumlah
pesantren ditempatkan sebagai pusat pengatur strategi melawan penjajah, banyak
para ulama yang memberikan dukungan moril, ekonomi maupun politik
(Steenbrink, 1994). Diskursus inilah yang membangun tradisi kiai lokal Madura
dalam menafsirkan sentimen ancaman ekonomi-politik dari eksplorasi migas di
ranah Madura.
Ketiga, posisi kiai sebagai elit lokal yang sangat kuat dan memiliki
legitimasi berbasis agama, memungkinkannya dalam memobilisasi massa dan
mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat. Posisi ini, ditambah
kepatuhan masyarakat Madura, menjadikan kiai terlibat dalam persoalan
pengambilan keputusan bersama, kepemimpinan, serta menyelesaikan persoalan-
persoalan sosial, pengembangan pendidikan dan kemasyarakatan.
Peta dan konstelasi media massa di Madura memiliki hubungan langsung
yang menguatkan alasan dilakukannya penelitian ini. Menurut observasi awal
3
peneliti, diskusi tentang jurnalisme lingkungan sesungguhnya telah banyak
dimulai. Bibit pembentukan komunitas jurnalis Madura yang membawa isu
lingkungan sebagai bagian penting dari perspektif pemberitaan sudah tampak.
Data yang didapat peneliti, memunculkan tanda tanya, misalnya tampak dari
wawancara peneliti dengan salah satu redaktur media lokal Radar Madura:
...teman-teman di Radar, tidak pernah berpikir mengenai hal
yang lebih berbahaya lagi. Sejujurnya, kita memang berpikir
pragmatis. Yang penting temen-temen dapat berita, menulis
berita, ya sudah. Kadang saya sendiri juga masa bodoh. Masa
bodohnya karena sejauh ini kita belum pernah merasakan
dampak langsungnya. Kalau kita di daerah terdampak, mungkin
cara berpikirnya akan lain.2
Dalam rentang waktu yang demikian panjang, dimana eksplorasi berjalan
bersamaan dengan banyak implikasi negatif untuk lingkungan lokal Madura,
perkembangan jurnalisme lingkungan dalam media massa Madura tak kunjung
menunjukkan tanda-tanda kritis. Persoalan lokalitas isu eksplorasi migas tidak
membuat jurnalisme lingkungan bertumbuhkembang. Observasi pendahuluan
yang dilakukan peneliti memperlihatkan, konsentrasi jurnalis yang sangat lemah
atas elaborasi konflik lingkungan. Persoalan ini yang menjadi salah satu fokus
dalam disertasi ini.
Kehidupan pers Madura memang unik dan menarik untuk dipelajari. Pada
saat jurnalis memberitakan suatu fakta, baik berupa peristiwa atau pernyataan
suatu narasumber (misalnya kiai, pejabat pemkab, tokoh berpengaruh, anggota
DPRD, atau kelompok ormas tertent), bisa memberikan efek amuk massa.
2 Wawancara peneliti dengan redaksi Radar Madura, pada 30 Oktober 2012
4
Anarkhisme oleh kelompok lewat perusakan kantor media atau intimidasi oleh
individu, beberapa kali terjadi di Madura. Menurut catatan Anggota Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Surabaya di Madura Muhammad Ghozi, kekerasan
terhadap pers dan jurnalis di Madura meningkat tajam. Tahun 2011 lalu hanya 1
kasus kekerasan yang menimpa kantor televisi lokal Madura Chanel. Tapi pada
2012 hingga medio 2013 tercatat sudah lima kasus kekerasan terkait karya
jurnalistik wartawan. Dua kasus di Sumenep, satu kasus di Pamekasan, satu kasus
di Sampang dan terakhir di Bangkalan. 3
Kondisi ini menciptakan sikap penuh
perhitungan dan hati-hati pada jurnalis Madura, jika akan mengangkat tokoh
sekelas kiai atau pemimpin kelompok tertentu sebagai narasumbernya.
Gambaran umum tentang bagaimana profil kepentingan dari media
Madura ditunjukkan oleh Rahmawati, et., al (2008). Dalam riset itu, kedudukan
wartawan yang berada di posisi paling bawah dalam penentuan kehadiran sebuah
teks di media membawa implikasi yang dalam. Dengan rutinitas kerja yang telah
berjalan lama, wartawan sangat paham apa yang menjadi pertimbangan redaksi
dalam memilih atau mengonstruksi suatu berita. Hegemoni ekonomi politik media
masuk melalui rutinitas kerja dalam keredaksian Radar Madura. Bahkan, pada
level analisis sociocultural terlihat bahwa produksi berita di media kini tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh ekonomi media seperti oplah, persaingan antar media,
dan intervensi kepemilikan terhadap media serta institusi politik.
Bercermin pada banyak fakta, keputusan-keputusan politik terkait
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, banyak ditentukan oleh kepentingan
3 http://ajisurabaya.org/kantor-radar-madura-dirusak-preman/diakses 15 Januari 2014
5
ekonomi dominan ketimbang pertimbangan akan batasan daya dukung lingkungan
hidup. Karena itu, keputusan-keputusan politik ini sebagian besar tidak
berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan kelestarian lingkungan hidup.
Media massa pun berhadapan dengan kondisi yang sama. Sebagai
interface antara hasil karya jurnalistik dengan masyarakat, sesungguhnya media
massa tidaklah bebas kepentingan. Jika dilihat dari sudut pandang idealis,
jurnalisme yang baik harusnya dapat membantu publik untuk mengerti apa yang
sedang berlangsung di sekelilingnya – sehingga mereka dapat ikut aktif dalam
proses pengelolaan keputusan-keputusan negara yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Mengikuti idealisme ini, pasti tumbuh harapan bahwa jurnalisme
akan mampu menjalankan peran penting di dalam menentukan kualitas demokrasi
termasuk didalamnya demokratisasi pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam.
Persoalan di luar idealisme ini, upaya untuk menyajikan fakta dan
kebenaran dari berbagai permasalahan lingkungan hidup agar dapat dinikmati
publik tanpa hambatan, ternyata sangatlah sulit. Berkali-kali terungkap bahwa
industri migas berusaha menutup-nutupi berbagai persoalan lingkungan dengan
melakukan kampanye pendiskreditan terhadap kualitas kajian ilmiah tentang
lingkungan yang dinilai dapat mengusik bisnis mereka.
Terkait isu perubahan iklim misalnya, tahun 2005 Exxon Mobil pernah
meluncurkan suatu kampanye public relations secara terselubung untuk
menyebarkan keraguan mengenai kesahihan kajian-kajian ilmiah tentang
pemanasan global. Mereka mendanai pelobi-pelobi untuk memberi disinformasi
6
kepada publik dan para politisi tentang perubahan iklim. Perusahaan ini juga
meluncurkan kampanye iklan yang menyebarkan informasi bahwa masih terlalu
sedikit yang diketahui secara pasti tentang pemanasan global untuk mendasari
aksi pencegahan dan penanggulangan. Tujuan akhir mereka adalah agar
pemerintah tidak bertindak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Exxon Mobil
memiliki kekuasaan yang luar biasa di panggung ekonomi global, dan bersama
dengan industri otomotif dan energy, mereka berhasil menghadang implementasi
kesepakatan Kyoto selama lebih dari satu dekade. Meski Eropa sejak tahun 1990-
an telah mengembangkan langkah-langkah serius untuk menurunkan tingkat emisi
carbonnya, dengan semakin banyak memberi pangsa pada energi alternatif,
tidaklah demikian halnya di Amerika Serikat.
Akibatnya, Protokol Kyoto – konvensi internasional yang lahir sebagai
upaya menanggulangi perubahan iklim, hingga kini masih terseok-seok
mengalami berbagai ganjalan dalam proses implementasinya di sejumlah negara.
Konvensi ini kalah oleh berbagai kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Sebelas
tahun setelah Protokol Kyoto dicapai, penggunaan minyak bumi dan batubara
hampir tidak memiliki saingan yang berarti sebagai sumber energi.
Di masa Orde Baru, kita mengenal pemberangusan dan pembreidelan
media massa, bilamana media massa dipandang memberitakan hal-hal yang
mendeskreditkan pemerintah. Akibatnya, pada masa itu konflik lingkungan sangat
sedikit diberitakan. ―Pemasungan‖ ini menyebabkan berita lingkungan tak sempat
lolos ke ranah publik.
7
Secara teoritik, modus wacana kritik terkait media massa di Indonesia
pada penghujung Orde Baru (Orba) sampai sekitar tahun 2004 didominasi oleh
perspektif bahwa negara merupakan aktor opresi terhadap media massa. Media
massa dengan demikian berada satu nasib dengan masyarakat umum dalam hal
sama-sama menjadi korban politik Orba.
Ketika memasuki era reformasi, pemberangusan oleh negara seperti ini
tidak terjadi, dan kebebasan media masa lebih terjamin. UU Pers No.40/1999 dan
UU Penyiaran No.32/2002 merupakan monumen perjuangan penegakan
kebebasan berekspresi lewat media massa. Melalui dua UU ini, tidak ada lagi
prosedur Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk media cetak dan daerah
memiliki peluang mendirikan stasiun penyiaran lokal. Setelah jatuhnya Soeharto,
potensi industri surat kabar mulai tampak. Ratusan surat kabar bermunculan.
Tetapi ternyata dalam perkembangannya, tidak semua surat kabar ini dapat
bertahan dalam kompetisi bisnis. Jumlah penerbitan surat kabar menurun dari
1.881 pada tahun 2001 menjadi hanya 889 tahun 2006. Namun setelah 2006,
industri ini lambat laun mulai kembali tumbuh.
Distribusi media cetak, khususnya surat kabar, tersebar dengan cukup baik
di Indonesia. Jumlah penerbit media cetak, baik itu surat kabar maupun tabloid,
yang ada di setiap provinsi masih terus meningkat dari tahun ke tahun;
membuktikan bahwa media cetak tetap merupakan bentuk media yang paling
mudah diakses oleh warga negara. Saat ini, kepemilikan media cetak tidak hanya
terbatas pada elit politik dan elit pemerintahan saja, tetapi telah menjadi bisnis
yang menjanjikan di mana setiap orang dapat terlibat di dalamnya. Dhakidae, Hill
8
dan Sen (2000) mencatat bahwa pers telah berbalik dari sebuah medium berbasis-
pesan menjadi medium yang berbasis-pembaca, karena mereka membutuhkan
pemasukan iklan yang cukup besar. Media memberitakan isu-isu mainstream
adalah satu dari berbagai cara untuk memenuhi volume iklan yang dibutuhkan.
Beberapa pemain utama pada bisnis media cetak juga memiliki kanal-kanal media
lain seperti penyiaran dan perusahaan media online.
Era reformasi membawa Indonesia memasuki sistem liberalisasi di
berbagai bidang. Banyak orang tidak waspada bahwa era reformasi yang
menyebabkan liberalisasi politik, juga sering berarti liberalisasi ekonomi.
Penumbangan rezim otoriter di berbagai negara, selalu diikuti oleh penetrasi
investasi global. Dalam perspektif kebebasan pers klasik yang berakar pada
pikiran Rousseau tentang fungsi pilar keempat, media massa digambarkan sebagi
entitas yang berhadapan dengan ootoritas politik negara dan mengabaikan
kekuatan lain misalnya pasar. Padahal media juga memiliki watak intrinsik untuk
melakukan ekspansi kapital. Dengan kata lain, selepas otoritarianisme negara (di
era Orba), di era reformasi media massa Indonesia mengalami modus dominasi
yang dikendalikan oleh kekuatan pasar (liberalisasi media).
Dalam paradigma kritis terkait proses globalisasi, orang akan cenderung
berpikir bahwa proses liberalisasi media di Indonesia akan diikuti oleh intrusi
modal asing ke bisnis media Indonesia dalam manifes kepemilikan media. Untuk
kasus Indonesia tampaknya hal ini perlu dilihat dengan lebih hati-hati terutama
karena sampai saat ini, praktis kepemilikan media masih dikuasai oleh pemodal
domestik. Perlu dilihat lebih jernih pada aspek manakah kepentingan kapitalisme
9
global mendapatkan keuntungan dari proses reformasi media di Indonesia. Ada
beberapa celah memang untuk masuknya modal asing dari peleburan Indonesia ke
dalam sistem kapitalisme global, misalnya penjualan program media, media
franchising dan perusahaan iklan.
Dengan kata lain, meski sejak era reformasi outlet media massa
bertambah, namun kepemilikannya sebenarnya semakin langsing akibat proses
konglomerasi dan merger berbagai media ke dalam satu kelompok. Ini
memungkinkan media massa melakukan cross-marketing bagi produk-produk
mereka, yang pada akhirnya memungkinkan mereka meraup keuntungan lebih
besar. Proses ini juga meningkatkan kekuasaan ekonomi dan politik korporasi dan
pengiklan, namun mengurangi keragaman dan kedalaman berita yang dapat
dinikmati oleh publik.
Era reformasi menghasilkan liberalisasi media yang pada akhirnya justru
membentuk dominasi privat pada ruang publik dan konvergensi kepemilikan
media. Liberalisasi telah menggeser karakter lingkungan makro media dari state
authoritarian menjadi market authoritarian. Regulasi media yang muncul pun
bergeser dari regulasi berbasis negara ke regulasi berbasis pasar. Lepasnya kontrol
negara terhadap media massa dalam sistem politik otoriter, tidak serta merta
memunculkan media yang mampu berpihak kepada kepentingan publik karena
situasi dalam regulasi pasar memunculkan bentuk-bentuk kontrol baru terhadap
media atas dasar kuasa pasar. Kerentanan media terhadap tekanan eksternal tidak
lagi bersifat politis namun ekonomis (Hidayat, 2003).
10
Riset ini akan difokuskan pada pemberitaan kegiatan eksplorasi migas di
Madura (khususnya di Kabupaten Sumenep baik mulai dari perencanaan, uji
seismik, hingga eksplorasi migas) oleh media cetak di Jawa Timur. Mengapa
wilayah ini yang dipilih? Hal ini dilatarbelakangi oleh kegiatan eksplorasi migas
lepas pantai (offshore) khususnya di Jawa Timur hanya ada di Madura.
Oleh sebab itu, media cetak yang dipilih dalam penelitian ini adalah media
yang memiliki persyaratan : (1) selama lima tahun terakhir dari penelitian ini
dilakukan, memuat pemberitaan tentang eksplorasi migas di Madura (2)
Pemberitaan ini terutama tentang konflik lingkungan dan kerusakan lingkungan
yang diakibatkan oleh ekplorasi migas di Madura (3) Media ini terbit dan beredar
di Jawa Timur. (4) Media ini merupakan biro atau cabang dari kantor media yang
ada di pusat (dalam konteks ini Surabaya sebagai kantor pusat media tersebut).
Syarat ini peneliti tetapkan untuk melihat apakah ada intervensi atau kebijakan
khusus dari kantor pusat media tersebut, berkaitan dengan persoalan konflik
lingkungan akibat eksplorasi migas. Hal ini mengingat, industri migas biasanya
sebagai pemasang iklan besar di media. Oleh sebab itu menarik untuk meneliti
bagaimana kebijakan manajemen media ketika terjadi konflik antara korporasi
dengan komunitas lokal yang wilayahnya dijadikan lahan eksplorasi migas.
Apakah semua kebijakan pemberitaan ditentukan oleh kantor pusat media,
ataukah diserahkan sepenuhnya (otonomi) pada kantor biro atau cabang media
tersebut.
Beberapa media yang masuk kriteria media yang akan diteliti pada
awalnya adalah Surya, Radar Madura, Surabaya Post, dan Memorandum. Setelah
11
dilakukan wawancara awal dengan pengelola media lokal Madura tersebut,
peneliti menetapkan Radar Madura sebagai media yang akan diteliti. Hal ini
dilandasi oleh beberapa pertimbangan dan temuan fakta menarik : Media cetak
yang dipilih dalam penelitian ini adalah Radar Madura dengan alasan : Pertama,
sejarah jurnalisme Madura menunjukkan situasi yang kurang menguntungkan bagi
media ketika mengangkat ketokohan seorang kiai kharismatik ketika konflik
dengan kiai lainnya. Intimidasi, teror, bahkan perusakan kantor media akan
mereka dapatkan. Menurut catatan, perusakan kantor media oleh massa
pendukung kiai ini lebih sering dialami oleh Radar Madura. Oleh sebab itu,
peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana dalam konteks konflik migas di
Madura? Apakah media tetap berani menjadikan kiai sebagai narasumber
beritanya baik yang pro ataupun kontra eksplorasi migas, menghindari keduanya,
atau hanya menjadikan kiai yang selalu menentang rencana eksplorasi migas
sebagai sumber berita.
Kedua, peneliti ingin melihat apakah ada intervensi atau kebijakan khusus
dari kantor pusat media tersebut - Radar Madura merupakan bagian dari media
group Jawa Pos (surat kabar dengan oplah terbesar di Jawa Timur) - berkaitan
dengan persoalan konflik lingkungan akibat eksplorasi migas. Hal ini mengingat,
industri migas biasanya sebagai pemasang iklan besar di media. Oleh sebab itu
menarik untuk meneliti bagaimana kebijakan manajemen media ketika terjadi
konflik antara korporasi dengan komunitas lokal yang wilayahnya dijadikan lahan
eksplorasi migas. Apakah semua kebijakan pemberitaan ditentukan oleh kantor
12
pusat media, ataukah diserahkan sepenuhnya (otonomi) pada kantor biro atau
cabang media tersebut.
Selain itu, sebagai bagian dari anak perusahaan Jawa Pos, Radar Madura
masuk di Jawa Pos News Network (JPNN). Artinya, semua berita dari seluruh
wilayah Indonesia dari jaringan JPNN, bisa dikutip di media apapun yang
termasuk anak perusahaan Jawa Pos. Asumsi awal peneliti, berita konflik
lingkungan akibat adanya ekplorasi migas di Madura pasti juga akan dimuat di
Jawa Pos edisi Surabaya. Akan tetapi dari wawancara peneliti dengan kepala biro
Radar Madura, berita untuk wilayah Madura (meliputi Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep) hanya bisa dikonsumsi di Madura dan tidak dimuat di
Jawa Pos edisi Surabaya misalnya. Hal ini merupakan kebijakan manajemen
Jawa Pos di kantor pusat Surabaya. Latar belakang inilah yang menarik untuk
dikaji, mengingat media lain pasti memuat berita konflik (dalam bentuk unjuk
rasa) antara masyarakat yang memprotes eksplorasi migas oleh sebuah industri
migas.
Munculnya koran-koran anak Jawa Pos yang memakai nama Radar,
sebenarnya meniru harian Suara Karya, yang pernah membuat lampiran berita
pedesaan dari program koran masuk desa. Jawa Pos, yang terlalu
memprioritaskan berita nasional, sering tidak mempunyai tempat untuk berita-
berita dari kotamadya dan kabupaten. Maka dibuatlah lembar-lembar lampiran
Jawa Pos dengan nama Radar Malang, Radar Bojonegoro, Radar Kediri, Radar
Jember, Radar Bromo, Radar Banyuwangi, dan Radar Madiun. Lampiran ini
13
ternyata sanggup menarik pemasang iklan dari kota/kabupaten tersebut, sehingga
diputuskanlah Radar harus mandiri.
Kesuksesan memandirikan ketujuh Radar itu membuat Jawa Pos
terdorong untuk berkembang keluar Jawa Timur: Madura, Jawa Tengah, Jawa
Barat, Lampung, sampai ke Medan, bahkan ke Papua. Muncullah Radar Madura,
Radar Solo, Radar Tegal, Radar Banyumas, Radar Cirebon, Radar Bogor, Radar
Tangerang, Radar Lampung, Radar Medan, Radar Nauli (Sibolga), Radar
Jayapura, Radar Merauke, dan Radar Timika.
Dalam penerbitannya, koran Radar digabungkan dengan harian utama
Jawa Pos. Hanya dalam waktu sekejap, Jawa Pos menjadi leading. Radar cepat
mengakar di seluruh nusantara. Konsep Jawa Pos Nasional Network (JPNN) yang
dibangun Jawa Pos mampu bersaing di setiap daerah dan menjadi surat kabar
yang diperhitungkan secara nasional. Bahkan strategi ini banyak diadopi oleh
banyak koran-koran nasional lain dengan menciptakan koran lokal. 4
Radar Madura yang berkantor pusat di kota Bangkalan, saat ini telah
berusia 15 tahun. Sama dengan perusahaan induknya (Jawa Pos), Radar Madura
selain berbentuk koran juga telah mengembangkan sayap dalam bentuk portal
berita (website) radarmadura.co.id dan radio streaming di 107,6 FM. Hal ini
sebagai antisipasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
semakin pesat. Sebagai penyesuaian terhadap teknologi baru, surat kabar sudah
saatnya juga mengembangkan distribusi berita mereka ke media online, membuat
4 http://www.lensaindonesia.com/2011/09/13/lolos-badai-moneter-jawa-pos-jadi-
koran-pelopor-resizing.html diakses 2 oktober 2014
14
berita online dan aplikasi yang dapat diakses di mana saja dan kapan saja selama
sambungan internet tersedia. Versi online dari media cetak telah menjadi populer
lima tahun belakangan ini, karena mereka juga menyediakan ruang untuk
partisipasi publik melalui pemberian komentar dan masukan, serta kanal khusus
untuk pembaca (Kompasiana – bagian dari kompas.com – dapat menjadi contoh
yang baik). Faktor lain yang berpengaruh terhadap populernya kanal online adalah
kecepatan. Membaca surat kabar online dan melalui tautan dapat membuat
seseorang mengetahui perkembangan berita secara jauh lebih cepat. Terlebih lagi,
media online menyebarkan berita dan informasi secara real time, lebih cepat
daripada media cetak.
Untuk melihat secara komprehensif bagaimana wacana media berkaitan
dengan isu-isu pertambangan migas dalam riset ini, peneliti menggunakan
pendekatan ekonomi-politik media. Dalam kajian media, perspektif ekonomi
politik media merupakan bagian dari perspektif kritis selain cultural studies, teori
kritis, feminisme, teori resepsi pesan, dan semiotika (Mohammadi &
Mohammadi, 1990, hal. 15). Pendekatan ekonomi politik merupakan sebuah
kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan kritis (McQuail,
2000:82). Pendekatan ekonomi-politik memfokuskan pada kajian utama tentang
hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan ideologi media
itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan,
kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi
media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan
sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media
15
yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah
kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik
pemilik modal dan pembuat kebijakan media (Garnham dalam Mcquail, 2000).
Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh
keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses
integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.
1.2. Permasalahan Penelitian
Penelitian ini mengambil studi kasus peliputan eksplorasi minyak dan gas
(migas) di Madura. Peneliti tidak menggunakan migas sebagai obyek penelitian
dalam konteks ini. Fokus peneliti lebih melihat bagaimana konflik lingkungan dan
kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai ekses dari kegiatan eksplorasi migas.
Bagaimana fakta ini terekspose lewat media massa terutama media cetak, yang
akan dikaji oleh peneliti.
Jurnalisme yang diterapkan dalam mengekspose kasus-kasus migas
(disebut sebagai jurnalisme isu migas dalam riset ini), bukan hanya jurnalisme di
ranah ekonomi semata, akan tetapi merupakan sebuah kombinasi ketrampilan
teknis dan kemampuan konseptual pengelola isu dalam menghadirkan teks-teks
sosial, ekonomi dan politik dari persoalan migas di sebuah negara seperti
Indonesia.
Definisi tentang jurnalisme isu migas memang belum pernah diutarakan
oleh para pakar jurnalisme. Akan tetapi jurnalisme isu migas ini bisa dimasukkan
sebagai bagian dari jurnalisme lingkungan. Hal ini mengingat fenomena
16
kerusakan lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri migas, merupakan isu
lingkungan hidup. Perkembangan terkini menunjukkan isu lingkungan yang
paling fenomenal adalah isu pemanasan global dan perubahan iklim. Sudah sejak
lama para ilmuwan mengingatkan bahwa peradaban manusia yang berkembang
begitu cepat paska revolusi industri, terutama keserakahannya mereguk energi
fosil yang seolah-olah tanpa batas – mengganggu ekuilibrium alam –
mengakibatkan pemanasan bumi. Pada gilirannya pemanasan bumi ini
mengakibatkan perubahan iklim yang membawa berbagai dampak yang sangat
serius bagi umat manusia.
Jurnalisme isu migas sama pentingnya dengan migas itu sendiri, bagi
penciptaan suatu tatanan hubungan masyarakat ekonomi dan sosial yang sehat dan
sejahtera. Sebagai aktivitas yang terjadi di ruang publik, jurnalisme dan produk
jurnalisme amat dipengaruhi oleh sistem sosial ekonomi dan politik pada saat ia
beroperasi (Muhtada, 2008).
Ketika melukiskan kondisi jurnalisme isu migas sebagai pengantar buku
Meliput Minyak (Covering Oil), Svetlana Tsalik mengungkapkan, peliputan isu
dan kasus-kasus migas adalah tugas yang cukup berat bagi jurnalis di berbagai
negara. Problem krusial yang mereka hadapi antara lain minimnya kemampuan
teknis jurnalisme dan komunikasi, batas waktu (deadline) kerja liputan yang ketat
dan tekanan dari aparat pemerintah dan perusahaan terkait. Masalah yang lebih
serius adalah minimnya independensi terhadap sumber berita akibat beban
ekonomi pribadi serta lemahnya penguasaan terhadap ilmu-ilmu yang berkaitan
langsung dengan industri migas (Tsalik, 2005).
17
Terlebih lagi, isu pertambangan belum dianggap oleh sebagian jurnalis
(media) sebagai persoalan krusial dan penting bagi publik dibandingkan isu-isu
politik, infotainment, dan olah raga. Jurnalis bahkan masih banyak yang belum
mengetahui tahapan dan istilah dalam kegiatan pertambangan (membedakan
antara ekplorasi, eksploitasi, atau uji seismik misalnya).
Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Golding & Murdoch,
1996; Curran, 1982, Smith, 2001, menunjukkan bahwa arah media telah terbukti
dipacu oleh kepentingan menangguk keuntungan (profit oriented) yang lebih
mengedepan, dibandingkan dengan logika profesional atau idealisme yang harus
diperjuangkan.
Katherine Bagley (2008) menyebut peliputan isu-isu minyak dan gas di
dunia akan selalu menjadi berita besar yang multidimensional, tidak hanya pada
konteks ekonomi dan sosial, tetapi juga teknologi, lingkungan dan politik
internasional. Kontroversi yang mencuat dalam kasus-kasus migas kerapkali tidak
hanya bersifat horizontal dan berskala regional, yaitu antara masyarakat yang
direkrut untuk menjalankan operasi pengeboran hingga distribusi dengan
masyarakat sekitar lokasi pengeboran, akan tetapi antara perusahaan pemegang
hak operasi dengan pemerintah selaku pemegang mandat rakyat atas sumber daya
migas. Konflik ini berskala internasional mengingat umumnya perusahaan
tambang merupakan investasi bisnis multinasional yang eksis karena keterbatasan
kompetensi perusahaan (bahkan negara) di tempat tambang minyak dan gas itu
berada.
18
Dilihat dari dampak yang timbul pasca pemberitaan, publikasi isu migas
seperti kelangkaan BBM, distribusi yang bermasalah atau aksi-aksi protes
masyarakat atas pencemaran lingkungan, tidak hanya memicu pergolakan
ekonomi, tetapi krisis politik lokal dan atau krisis hubungan antarnegara seperti
pernah terjadi antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam kasus tambang
Freeport.
Hal ini menunjukkan jurnalisme lingkungan khususnya pada liputan
seputar isu migas, tidak sepenuhnya steril dari pengaruh-pengaruh eksternal yang
beranjak dari persepsi pengelola media itu sendiri, dan relasi bisnis atau politik
yang terjalin antara pengelola media, pemilik perusahaan migas dan pengambil
keputusan pemerintah (penguasa) pusat maupun daerah.
Di bagian lain, sudah sekian lama media massa menjadi sebuah mesin
raksasa yang mendefinisikan khalayak (konsumen medianya) hanya sebagai objek
pasif yang menerima apa yang disampaikannya. Khalayak media, sebagai ‖yang
tak punya kuasa‖ dalam relasi kapital media, dideskripsikan sebagai komoditi oleh
agensi iklan dan redaktur media. Khalayak media hanyalah deretan angka yang
menjanjikan pertambahan nilai bagi produser atau pemilik media.
Untuk membantu menganalisis perubahan-perubahan yang mungkin
terjadi pada sebuah media massa dan lingkungannya, maka digunakan pendekatan
ekonomi-politik media. Studi ekonomi-politik media ini menganalisis perubahan-
perubahan yang terjadi karena adanya historical situatedness yang memungkinkan
hal tersebut menjadi seperti itu. Historical situatedness merupakan hasil interaksi
dari berbagai faktor yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Ia mungkin saja
19
merupakan sesuatu yang sederhana namun dapat pula merupakan sesuatu yang
kompleks, dan historical situatedness itu lahir akibat interkontekstualitas dari hal-
hal yang terdapat pada tiga level. Level pertama adalah level mikro yakni teks
yang dihasilkan oleh media. Level kedua adalah level messo yakni praktik-praktik
diskursus atau deskripsi dari proses-proses produksi dan konsumsi teks. Sedang
level ketiga adalah level makro yakni analisis tentang praktek-praktek
sosiokultural yang mempengaruhi proses-proses produksi dan konsumsi dari teks
media massa.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka pertanyaan
penelitian yang diajukan dalam disertasi ini adalah :
1. Bagaimana praktek-praktek produksi dan distribusi teks media seputar
eksplorasi migas di Madura?
2. Bagaimana interplay (pertarungan) antar aktor yang mempengaruhi
konstruksi media pada isu eksplorasi migas di Madura?
1.3. Studi Pustaka
Penelitian tentang pemberitaan media terhadap eksplorasi migas sejauh ini
telah dilakukan oleh beberapa peneliti, termasuk topik-topik lingkungan. Akan
tetapi penelitian dalam pemberitaan isu migas dengan perspektif ekonomi politik
media, untuk kasus di Indonesia masih jarang dilakukan. Untuk konteks yang
spesifik ini, belum pernah ada penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu dapat
dikatakan penelitian ini bersifat orisinal.
20
Bagaimana posisi media pada saat terjadi konflik lingkungan antara
komunitas lokal (masyarakat) dengan industri pelaksana suatu proyek
pembangunan? Hasil riset Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP)
Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 20085, menemukan fenomena media lokal
memanfaatkan momentum peresmian, konflik yang terjadi di perusahaan migas
untuk mengeruk keuntungan melalui iklan atau advertorial. Informasi yang
disampaikan kepada publik perihal keberadaan pertambangan menjadi bias,
sepotong-sepotong bahkan tidak obyektif. Sebagai illustrasi, sebuah berita tentang
kebocoran pipa dapat dimuat, hanya satu hari, tidak berlanjut karena pada hari
berikutnya perusahaan migas yang terkait memasang advertorial, baik atas
inisiatif dari perusahaan yang bersangkutan maupun oleh negosiasi yang
dilakukan pihak media setempat dengan humas perusahaan migas.
Secara lengkap PSKP UGM meneliti pemberitaan media lokal dan
nasional tentang konflik lingkungan6 meliputi Sumatera Express, Sriwijaya Post
dan Prabumulih Pos di Sumatera Selatan dan Jambi Express dan Jambi
Independent di Jambi. Sedangkan media nasional yang dipilih adalah: Kompas,
Republika, Seputar Indonesia dan Tempo interaktif). Hasil riset menunjukkan dari
93 item berita, terdiri dari 24 berita nasional Sumatera Selatan, 62 berita lokal, 2
berita nasional Jambi, 5 berita local, hasil analisisnya setali tiga uang dengan
kondisi makro institusi media setempat, yaitu: Pertama, judul-judul berita yang
dimuat baik pada koran lokal maupun nasional terkait tambang migas bersifat
5 Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyaakarta,
―Peta dan Resolusi Konflik Migas di Wilayah Sumatra Bagian Selatan,‖ kerjasama PSKP UGM
dan BP Migas, Desember 2008.
6 Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), ibid
21
informatif-deskriptif bukan kritis konstruktif. Pendekatan konflik sebagai nilai
berita masih lebih tinggi ketimbang pendekatan lain. Dalam beberapa berita,
masih cenderung bombastik seperti penggunaan kata: Heboh, Indikasi, Rawan
dan Resah
Kedua, pada berita yang berkaitan dengan aktifitas Community
Developmnet (comdev), nara sumber hanya dari perusahaan atau pemerintah,
tidak ada komentar dari warga penerima. Ketiga, jumlah sumber berita yang
berasal dari aparat pemerintah (Bupati, Kepala Dinas) BP Migas dan perusahaan
tambang masih lebih dominan ketimbang nara sumber dari kalangan warga
korban, pengamat independen atau observasi langsung wartawan. Upaya
perimbangan tidak dilakukan pada satu berita yang sama hari pemuatannya
Keempat, ukuran ruang berita yang disajikan relatif singkat hanya antara
4-12 paragraf, berpola straight news, sehingga muatannya tidak mendalam.
Kelima, dari sisi substansi isi, berita yang dimuat tidak beranjak dari judul
beritanya. Upaya pendalaman atas angle berita hanya dilakukan dengan cara
wawancara, bukan penggalian data kasus atau observasi lapangan di lokasi
peristiwa
Selain itu, fokus tentang konflik antara korporasi migas dengan komunitas
lokal masih jarang dilakukan. Kajian yang ada lebih banyak tentang relasi state -
society dalam konteks bahasan civil society (Barham, 1994)., atau antara state -
business dalam konteks bahasan ekonomi politik (Maxfield & Schneider, 1997).
Hanya sedikit dan kurang komprehensif pembahasan tentang hubungan tiga sektor
22
antara state – society - business namun bukan tata-relasi dua sektor antara
corporate - society (Warhurst, 2001).
Kajian sejenis di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) yang membahas konflik secara lebih umum antara korporasi dan
komunitas serta pemerintah (Erman, 2005.; Zulkarnaen, 2004). Kajian-kajian
yang ada umumnya berkenaan dengan community relation atau kajian tentang
community development dalam konteks kegiatan corporate social responsibility.
Terlebih lagi penelitian tentang bagaimana media meliput konflik antara
komunitas lokal dengan industri migas, yang tentunya juga melibatkan state
(dalam konteks ini pemerintah daerah), masih belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain.
Sedangkan penelitian tentang pemberitaan lingkungan hidup oleh surat
kabar memang lebih banyak dilakukan oleh para peneliti Indonesia maupun
negara-negara lainnya. Salah satu penelitian itu misalnya penelitian oleh
Mochamad Nuryadi (2003), mengenai analisis isi informasi lingkungan hidup di
beberapa surat kabar, antara lain Kompas, Koran Tempo, dan Sinar Harapan.
Penelitian tersebut tujuannya hendak mengkaji karakteristik surat kabar dalam
menampilkan informasi lingkungan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketiga surat kabar tadi berupaya menyajikan berita lingkungan hidup secara
berimbang, akurat, jelas dan obyektif.
Juga penelitian Eko Kurniawan (2006), yang mencakup pemberitaan
lingkungan di surat kabar Bangka Pos, Babel Pos dan Rakyat Pos periode 1
Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. Hasil penelitin ini menunjukkan dari aspek
23
kualitas, pemberitaan lingkungan oleh surat kabar masih belum optimal. Artinya
berita-berita yang disajikan hanya bersifat informatif untuk sekedar diketahui.
Penulisan berita yang hanya mengungkapkan kenyataan kerusakan lingkungan,
kurang dapat menggerakkan penghayatan masyarakat akan pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan.
Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan hambatan yang
dihadapi jurnalis selama proses pembuatan berita lingkungan. Penelitian
Dunwoody & Griffin (1993), kedua peneliti ini berfokus pada relasi media dengan
sumber informasi-nya, yang ternyata menimbulkan hambatan-hambatan tertentu
dalam proses produksi berita. Sumber berita memiliki kekuatan sangat besar untuk
mengontrol informasi berkait peristiwa-peristiwa lingkungan, karena isu
lingkungan adalah isu yang sering menyangkut penjelasan-penjelasan bersifat
teknis dan kompleks. Selanjutnya, sumber berita juga menyediakan informasi
yang sangat lengkap, yang membebaskan jurnalis hadir pada setiap kejadian, yang
bisa jadi sangat luas jangkauannya.
Riset Mc.Donalds pada tahun 1993 membuktikan hal tersebut, dari 800
artikel lingkungan yang dimuat di media massa terkemuka di Amerika Serikat,
lebih dari 50 persen berasal dari pemerintah, posisi kedua ditempati oleh industri,
dan kurang dari 4 persen dari kelompok gerakan pro lingkungan.
Wilkins & Patterson (1998), melihat bahwa jurnalis terbatasi pada
kecenderungan pemberitaan berdasarkan peristiwa (event centered reporting).
Pemberitaan berdasar peristiwa ini akhirnya gagal dalam melihat isu-isu
lingkungan yang bersifat jangka panjang. Jurnalis lebih suka meliput peristiwa
24
tornado, angin topan, banjir bandang, longsor, daripada masalah rusaknya
ekosistem laut, atau suhu bumi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Akan tetapi terdapat perbedaan antara surat kabar harian dengan majalah
berita mingguan. Jumlah halaman yang lebih banyak, membuat majalah berita
lebih mendalam dan detail dalam mengupas isu lingkungan. Seperti dalam studi
yang dilakukan oleh Lundberg tahun 1989 tentang peliputan isu lingkungan di
majalah berita, konflik yang ada di dalam sebuah persoalan mengenai lingkungan
hidup menjadi sorotan bagi media. 7
Menurutnya, media cenderung mengambil
angle berita lingkungan dari dua sisi, yakni kerusakan-kerusakan yang terjadi
serta konflik dan tindakan atau praktek-praktek pencegahan, termasuk solusi.
Konflik lingkungan acapkali terjadi lantaran motif ekonomi politik.
Konflik dimaksudkan di sini sebagai “two or more persons or groups manifest the
belief that they have incompatible objectives” (Kriesberg, 1998). Definisi ini
sangat sederhana dan luwes namun memberi tempat atas adanya dimensi rasional
dari konflik. Konflik antara korporasi dengan komunitas lokal berbeda dengan
konflik antar kelas, etnik (seperti di Sampit), agama (seperti di Ambon dan Poso),
atau state and society (seperti pada peristiwa reformasi politik Mei 1998) karena
konflik korporasi-komunitas merupakan wujud dari perbedaan dan pertentangan
kepentingan utamanya ekonomi. Konflik korporasi-komunitas lokal terjadi bukan
untuk saling menghancurkan (sebagaimana antar kelompok agama atau etnik) atau
7 Berger, Guy. 2002. Environmental Journalism Meets the 21st Century. Intermedia Vol. 30 No. 5. h.8.http://search.proquest.com/docview/229265424/fulltextPDF/13D4A02B0A2765D5AF0/1?acc
ountid=44396. Akses: 7 April 2013
25
menjatuhkan (seperti state and society dengan jatuhnya Rejim Orde Baru),
melainkan untuk ―memenangkan‖ kepentingan terutama kepentingan ekonomi
komunitas terhadap korporasi (Prayogo dalam Achwan dkk., 2004).
Komunitas bertindak sebagai pihak yang ofensif sementara korporasi
sebaliknya, namun korporasi dilihat sebagai pihak yang mendatangkan sebab.
Sejatinya konflik antara korporasi dengan komunitas lokal berbeda dengan ethnic
conflict, class conflict, social movement, collective behavior, social riots, mass
riots, mass behavior, atau konsep sejenis lainnya karena konflik korporasi-
komunitas lokal memiliki tujuan dan substansi yang lebih rasional dan fokus.
George Junus Aditjondro mencontohkan konflik lingkungan seperti pada
kasus pelarangan yang dilakukan pemerintah pada warga yang digusur di sekitar
Kedungombo untuk menggarap ―sabuk hijau‖ waduk itu dengan menggunakan
retorika hukum (legalistik) dan saintifik (Aditjondro, 2003:52-53).
Dalam contoh kasus penggusuran warga pada proyek waduk
Kedungombo, Aditjondro menyebutkan bahwa pemerintah menggunakan retorika
(wacana) legalistik dan saintifik untuk mengabsahkan keputusannya. Dikatakan,
pemerintah menggunakan UU Pokok Pengairan No. 11 th. 1974 untuk
memutuskan bahwa keberadaan pemukiman rakyat di sekitar sabuk hijau waduk
tersebut harus digusur. Selain itu pejabat PU dan pemerintah daerah mengatakan,
keberadaan rakyat di kawasan periferi waduk tersebut akan menimbulkan erosi
yang akan menimbulkan sedimentasi. Aditjondro sendiri sudah mengkaji ulang
kedua wacana tersebut dan membuktikan sebaliknya. Meskipun dikatakan
tindakan pemerintah itu adalah bukti dari ekofasisme ―lunak‖ seperti yang
26
dikatakan Aditjondro, saya cenderung melihatnya sebagai salah satu dalih
pemerintah yang mengkamuflasekan ―penghijauan‖ sebagai alasan kepentingan
yang sifatnya ekonomis. Gerakan perlawanan anti-Bendungan Kedungombo ini,
sudah berlangsung lama, dimana orang di Kedungombo menyatu bersama kaum
terpelajar menolak pembangunan bendungan yang juga menggunakan dana utang
dari Bank Dunia.
Konflik antara korporasi migas dengan komunitas lokal menunjukkan
peningkatan yang signifikan terutama setelah reformasi politik 1998 hingga saat
sekarang ini. Gejala ini sangat menarik karena menunjukkan adanya pola dalam
bentuk peningkatan secara kuantitas maupun tingkat kekerasannya. Catatan
lengkap tentang jumlah konflik secara empirik sulit diperoleh karena pada saat
yang relatif bersamaan terjadi beragam peristiwa konflik yang lebih besar dan
lebih menarik perhatian media massa seperti konflik antar kelompok etnik di
Kalimantan dan antar kelompok agama di Ambon dan Poso atau lainnya. Oleh
sebab itu, konflik antara korporasi dengan komunitas lokal khususnya pada
industri tambang dan migas relatif luput dari perhatian media massa nasional dan
hanya sedikit saja yang tercatat menjadi berita.
Harian Berita Buana misalnya, berhasil mencatat sejumlah kejadian yang
melibatkan industri tambang selama selang 1998-2003 (Berita Buana, 20 Maret
2003) 8
, antara lain konflik dengan perusahaan Kaltim Prima Coal, Unocal,
Kideco Jaya Agung, Kelian Equatorial Mining, Tinto Harum, Indomuro Kencana,
Expans Tomori Sulawesi, Permata Karya Graha Sakti, Meares Soputan Mining,
8 Berita Buana, Dinamika konflik industri tambang dengan komunitas lokal 1998-2003, 20 Maret
2003
27
Prima Lestari, Pulau Indah Teknik, Inco, Newmont Minahasa Raya, Newmont
Nusa Tenggara, Freeport Indonesia, Newcrest Halmahera, serta Exxon Mobil di
Aceh. Kasus yang marak secara nasional adalah kasus dugaan pencemaran pada
Newmont Minahasa Raya di Sulut, serta awal tahun 2006 terjadi pada Freeport
Indonesia di Papua dan pada Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa. Hasil
penelitian antara tahun 1999-2003, menemukan fenomena yang sama pada
perusahaan Unocal, BP, BHP-Arutmin, Newmont Sumbawa, Banpu, dan KPC,
Banpu dan Berau Coal (Prayogo, 2004). Dari sejumlah kasus tersebut terlihat
bahwa konflik meningkat setelah reformasi tahun 1998 dan dengan digulirkannya
Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan 2004 serta Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) tahun 2004.
Mengapa konflik jenis ini minim diberitakan oleh media dan hanya
ditampilkan sebatas unjuk rasa masyarakat terhadap industri migas? Edward dan
Cromwell (2005) menunjukkan jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, berkaitan
dengan kemampuan media memahami peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung tidak secara tunggal ataukah satu sudut pandang (Adaptation of the
media to a stream of events). Kedua, Overreporting of significant but unusual
events, yaitu bagaimana media memberikan pemberitaan dalam jumlah dan
frekuensi yang tinggi mengenai peristiwa yang penting (dan seringkali,
sensasional). Kemudian Selective reporting of the newsworthy aspects of
otherwise nonnewsworthy situations, berkaitan dengan kemampuan media
mencari angle tertentu yang bisa dijadikan ―senjata‖ untuk membuat berita
tampak menarik dan penting. Juga berkaitan dengan Pseudoevents, or the
28
manufacturing of newsworthy events, adalah bagaimana media membuat suatu
peristiwa menjadi layak untuk dijadikan agenda masyarakat. Misalnya berita
tentang demonstrasi, protes, dan sebagainya. Serta Event summaries, or situations
that portray nonnewsworthy events in a newsworthy way, berkaitan dengan
bagaimana media mengkorelasikan peristiwa dari yang tak memiliki nilai berita
dengan hal lain hingga menjadi laik diberitakan. Misalnya berita tentang
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kanker paru-paru.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan, memberikan inspirasi peneliti
untuk melakukan penelitian yang lebih memperdalam hasil kajian sebelumnya.
Subyektivitas tak terhindarkan dalam pemilihan obyek serta lokasi penelitian.
Harapan peneliti orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk :
1. Mengungkap praktek-praktek produksi dan distribusi teks media, terkait
dengan konflik lingkungan dalam konteks studi ini adalah eksploitasi
migas di Madura
2. Mengkaji proses interplay antara jurnalis, media, NGO, dan komunitas di
sekitar lokasi pertambangan migas (disebut sebagai agency dalam
pendekatan ekonomi politik media) dengan Pemda, DPRD, dan kebijakan
yang memberikan legitimasi proyek pertambangan migas (disebut sebagai
structure)
29
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoretis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan menambah wawasan
keilmuan khususnya bagi kalangan akademisi. Hal ini mengingat tidak
banyak penelitian yang mengambil isu di seputar kegiatan pertambangan
migas sebagai obyek, terutama kaitan antara posisi atau ideologi media
(jurnalis) dengan industri migas dan negara (yang direpresentasikan oleh
kebijakan Pemda, DPRD, maupun UU tentang Migas dan UU Pengelolaan
& Perlindungan Lingkungan Hidup); secara lebih khusus ketika hal ini
dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik media yang
melakukan analisis secara komprehensif di berbagai level. Selain itu, oleh
karena metode dan pendekatan dalam penelitian ini yang bersifat kritikal
(tidak lagi positivis/tradisional), maka diharapkan riset ini dapat
mendorong perkembangan ilmu kemasyarakatan.
2. Manfaat Praktis. Ketika Peneliti mulai menekuni jurnalisme lingkungan,
masih minim studi kasus yang dapat dijadikan literatur, besar sekali
harapan disampaikan oleh pihak pengelola media untuk mendapatkan
kajian-kajian dan penelitian ilmiah yang akan mereka gunakan sebagai
acuan kebijakan dan pedoman melangkah dalam menerapkan jurnalisme
lingkungan dan mengemas isu-isu di seputar pertambangan ini. Dengan
demikian, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat praktis yang berarti
30
bagi perkembangan jurnalisme lingkungan secara khusus, dan media
massa secara umum.
1.6. Kerangka Teoretis
Institusi media massa, dalam banyak teori, dijelaskan sebagai organisasi
yang memiliki dua bagian penting: profesional dan bisnis. Di satu sisi, media
melakukan proses produksi teks pesan atau informasi yang tersedia dalam realitas
masyarakat dalam bentuk-bentuk yang bervariasi baik secara tercetak maupun
audio-visual. Usaha memproduksi teks media ini membutuhkan disiplin
profesional, dalam konteks ini adalah jurnalisme, yang menjadi kerangka etika
(ethics frame) bagi institusi media. Kerangka, atau lebih tepatnya ideologi
professional inilah yang memproduksi teks media. Di sisi yang lain, institusi
media, terutama komersial, menggunakan logika ekonomi (komodifikasi dan
komoditi) untuk bertahan hidup dalam konteks kompetisi industri. Logika
keuntungan dan kompetisi dalam konteks industri media menjadi alasan
bagaimana media massa dijalankan sebagai suatu organisasi sosial.
Dikotomi inilah yang acapkali menjadi pertarungan bagi institusi media
ketika memproduksi dan mendistribusikan teks - sebagai komoditi ekonomi media
- kepada khalayak yang menerima atau mengkonsumsi konten media. Segregasi
kepentingan antara profesional dan kepentingan pasar (market interest) seolah
menjadi ―the nature of media‖ atau kealamian - yang kemudian disebut sebagai
‗budaya‘ atau ‗kultur‘ media - yang harus diterima (given) sebagai sebuah
konstruk media sebagai bagian dari sistem sosial dalam masyarakat.
31
Berangkat dari asumsi semacam ini, studi yang akan dilakukan ini
mencoba mempertanyakan sekaligus melakukan dekonstruksi atas pandangan-
pandangan given terhadap media. Peneliti juga akan memeriksa apa, bagaimana
dan mengapa idealisme atau etika profesional seringkali dilanggar dan lebih
memenangkan kepentingan pasar atau orientasi ekonomi. Apakah media selalu
berada dalam lingkaran diskursif seperti ini? Perspektif ekonomi politik media
peneliti gunakan untuk membuktikan apakah wartawan beroperasi dengan standar
umum yang dianggap sebagai nilai berita, hampir menyerupai semacam ―sixth-
sense‖ tentang apa yang dianggap sebagai sesuatu yang menarik bagi publik, serta
asumsi tentang karakter, arah, dan kebiasaan mekanisme editorial.
1.6.1. Ekonomi Politik Media
Usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa
dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik.
Dalam kajian media, perspektif ekonomi politik media merupakan bagian dari
perspektif kritis selain cultural studies, teori kritis, feminisme, teori resepsi pesan,
dan semiotika (Mohammadi & Mohammadi, 1990, hal. 15). Pendekatan ekonomi
politik merupakan sebuah kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan
kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian
utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan
ideologi media itu sendiri.
Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol
serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media
32
massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem
politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang
ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi
tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik
modal dan pembuat kebijakan media (Garnham dalam Mcquail, 2000:82).
Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh
keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses
integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.
Ekonomi politik sebagai sebuah pendekatan ternyata banyak melahirkan
berbagai isu sentral dalam kaitannya dengan proses relasi media dan publik.
Banyak yang dikemukakan oleh para ahli untuk melihat secara objektif terhadap
konsep ekonomi politik media massa. Lebih jauh misalnya, Vincent Mosco (1996)
dalam The Political Economy of Communication menyebutkan empat
karakteristik umum dari ekonomi-politik media massa. Pertama, memahami
perubahan sosial dan transformasi sejarah. Bisa dilihat dari revolusi kapitalis
dari masyarakat agraris ke masyarakat industrialis. Contoh, kelompok Canadian
Economy-Political, yang mengembangkan kajian proses perubahan sosial yang
ditempatkan dalam interaksi sejarah ekonomi, politik, budaya, dan ideologi
kehidupan sosial dengan dinamikanya yang berakar pada konflik sosial ekonomi.
Kedua, didasarkan pada analisa totalitas sosial yang lebih luas. Ekonomi
politik merangkum persoalan-persoalan yang terdapat dalam disiplin kajian lain.
Mills (1996) menyebut ekonomi-politik sebagai dasar dari kehidupan sosial untuk
mempelajari aspek-aspek hidup lain. Bagi kaum Marxian, totalitas diartikan
33
sebagai usaha memahami hubungan ekonomi-politik dengan bidang sosial dan
budaya masyarakat. Ketiga, filsafat moral. Berakar pada konsepsi tentang nilai-
nilai sosial dan konsepsi tentang praktek-praktek sosial yang pantas. Hal ini
diajukan untuk merujuk pada prinsip-prinsip universal-kemanusiaan seperti
keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan.
Keempat, praxis. Praxis ini mengacu pada aktivitas manusia yang kreatif
dan bebas dimana manusia mampu menghasilkan dan mengubah dunia dan
dirinya sendiri. Tujuan utama dari praxis adalah adanya tindakan. Media massa
dan kapitalisme membebaskan buruh dari alienasi keperluan yang digantikan
dengan bentuk alienasi baru – pengurangan kekuasaan tenaga kerja (menjadi
komoditas yang dapat dipasarkan.
Karakteristik di atas yang menggerakkan arus produksi media sebagai
bagian dari sistem ekonomi politik dalam sebuah negara. Bahwa industri media
ditentukan oleh faktor perluasan ekonomi-politik yang diatur oleh kepentingan
pemilik modal dan juga para penentu kebijakan semata.
Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam
pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial,
khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi
dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian
luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Setidaknya
terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk mengaplikasikan
34
pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi
(commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration).
Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari
nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar.
Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu
melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila
masing-masing diantaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah
produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi
kebutuhan sosial dan individual.
Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat
dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.
Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan
institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media
(Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun
vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah
bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal
adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang
dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk
memperoleh kontrol dalam produksi media.
Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses
sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi
35
interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco,
1996).
Herbert I. Schiller lebih menekankan pada aspek ekonomi dalam kajian
ekonomi-politik media (Schiller dalam Schudson, 1989). Ia melihat pentingnya
komersialisasi dalam industri media yang banyak menyajikan content komersial
melalui jasa periklanan yang mampu menyedot produsen untuk menawarkan
barang-barang konsumsi masyarakat yang ditayangkan melalui televisi atau media
lainnya. Seperti yang dilakukan di Amerika Serikat oleh perusahaan rokok, obat,
kosmetik, bir, mobil, bahan bakar, produk makanan, industri berat dan
sebagainya. Akhirnya melalui kampanye periklanan ini Amerika mampu
menaklukkan Asia, Afrika, hingga Eropa yang memiliki tradisi sebagai negara
yang ketat mengatur kehidupan sosial-politik masyarakatnya.
Schiller lebih menekankan aspek liberalisasi dalam industri media. Faktor
ekonomi sangat dominan bagi usaha meng-konglomerasi industri media bagi
usaha akumulasi modal yang kuat bagi para pemilik modal atau para agen
kapitalis. Media massa bukan sebagai bentuk penyaluran seni atau saluran budaya,
akan tetapi dilihat sebagai media kampanye periklanan internasional, dan sarana
efektif yang digunakan negara dengan kekuatan ekonomi besar untuk menguasai
negara lain yang secara ekonomi lemah. Media sebagai alat ekspansi ‗penjajahan‘
ekonomi kekuatan kapitalisme dunia.
Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan
Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik
36
komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif
ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam
paradigma kritis.
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran
pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih
komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan
kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan
perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Mekanisme pasar itu, diatur oleh apa yang disebut Adam Smith sebagai
―tangan tersembunyi‖ (the invisible hand theory). Media massa menurut
pandangan liberal ini benar-benar dilihat sebagai sebuah produk kebudayaan yang
harus diberikan kesempatan secara bebas dan luas untuk dimiliki oleh siapapun
juga dan untuk berkompetisi secara bebas dalam pasar tersebut.
Varian ekonomi politik liberal merupakan aliran pemikiran yang
memberikan penekanan pada peran media massa di dalam mempromosikan
kebebasan untuk berbicara (freedom of speech). Pemikiran ini memiliki beberapa
kriteria. Kriteria yang pertama adalah masyarakat dipahami sebagai kelompok-
kelompok yang saling bersaing. Ini berarti tidak ada kelompok yang dominan.
Kriteria kedua adalah media dilihat sebagai sistem organisasi yang memiliki batas,
mendapatkan otonomi dari negara, partai-partai politik serta kelompok penekan.
Kriteria ketiga adalah kontrol media dimiliki oleh elit manajerial yang otonom,
sehingga dapat menciptakan fleksibilitas terhadap pekerja profesional media.
37
Kriteria keempat adalah hubungan antara institusi media dan khalayak bersifat
simetris.
Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik
mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan
produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses
pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan
pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya,
akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam
struktur yang lebih luas lagi.
Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media
pada paradigma kritis. Mereka berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik
kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme,
keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan
dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan
publik.
Sifat holistik dalam perspektif ini (terutama dalam konteks analisa
ekonomi politik kritis) merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat
dalam konteks perspektif ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti
menunjukkan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi
dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan secara
moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public goods. Aspek historis
dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa
38
pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media,
komodifikasi dan peran negara.
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan ―dominasi‖
perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi
budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi
dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan
dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa
memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru
menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk
memilih dan menyaring informasi.
Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media
disini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan
mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas
objektif yang sudah bias karena dibentuk oleh kelompok kepentingan baik secara
politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada
antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan
merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi
dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas
kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media
dengan kepentingan kelas yang dominan.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada
campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik
39
atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis
mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat
juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan
sistem yang ada.
Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik
kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis
menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai
bagian dari ideologi dimana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat
melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu.
Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan
ke dalam norma-norma budaya dominan.
1.6.2. Jurnalisme Lingkungan
Definisi tentang jurnalisme lingkungan berakar dari komunikasi lingkungan
yang dalam penafsiran peneliti atas uraian Robert Cox (2010) dalam
Environmental Communication and the Public Sphere adalah studi dan penerapan
tentang bagaimana berbagai individu, lembaga, masyarakat serta budaya
membentuk, menyampaikan, menerima, memahami dan menggunakan pesan
tentang lingkungan itu sendiri, serta hubungan timbal-balik antara manusia
dengan lingkungan.
Apabila dikaitkan dengan jurnalistik, bisa kita tarik kesimpulan bahwa
Jurnalisme Lingkungan adalah pengumpulan, verifikasi, produksi, distribusi, dan
40
pertunjukan informasi terbaru yang berkaitan dengan berbagai peristiwa,
kecenderungan, permasalahan dan masyarakat, serta berhubungan dengan dunia
non-manusia dimana manusia berinteraksi didalamnya. Berita-berita seputar
lingkungan hidup ini memiliki beberapa ciri, antara lain : menunjukkan interaksi
saling memengaruhi antar komponen lingkungan, berorientasi dampak
lingkungan. Pemberitaan dapat dari level gen hingga level biosfer
Jurnalisme lingkungan hidup tidak hanya berbicara isu lingkungan di
seputar pembangunan. Menurut Don Michael Flournoy, isu lingkungan hidup
terkait dengan peristiwa seperti bencana alam, perubahan iklim, global warming,
penipisan lapisan ozon, dan lain-lainya seperti pengembangan teknologi serta
kebijakan pemerintah terkait lingkungan (Flournoy, 1988)
Pada prinsipnya jurnalisme lingkungan hidup sama formatnya dengan
jurnalisme yang lain. Namun, yang menjadi perbedaan adalah isu sentral dalam
pemberitaan, jurnalisme lingkungan hidup menitiberatkan peliputan dan produksi
teks berita pada realitas lingkungan hidup seperti; kerusakan lingkungan akibat
olah tangan manusia (pencemaran, banjir, tanah longsor, penggundulan hutan),
kearifan lokal, konservasi, limbah, penggunaaan sumber daya alam (Abrar, 1993).
Sehingga, kita dapat memahami jurnalisme lingkungan sebagai jurnalisme
konvensional lainnya yang harus taat etika dan menyampaikan fakta tetapi bertitik
tekan pada kasus lingkungan hidup dan sadar etika lingkungan yaitu; (1)
informasi yang relevan dengan latar belakang kasus lingkungan, (2) materi berita
menjernihkan situasi atau menjadi mediasi (dalam istilah McLuhan sebagai the
41
extension of man) dan (3) memperhatikan risiko pemberitaan dari kasus
lingkungan hidup.
Selain itu, menurut Anderson (1997) materi jurnalisme lingkungan baik
berita dan jurnalis wajib memiliki materi pengetahuan tentang lingkungan dan
nilai budaya dari masyarakat atau kasus lingkungan tersebut. Dalam pandangan
Anderson, jurang antara pengetahuan tentang lingkungan dan nilai budaya sekitar;
sering menjadikan liputan lingkungan jauh dari kata memuaskan. Semisal;
pemberitaan di negara dunia ketiga, sering karya jurnalisme lingkungan
memberikan judgments tertentu terhadap kondisi lingkungan yang sebenarnya
akarnya adalah budaya masyarakat yang belum bisa dikatakan beradab (Anderson,
1997:199-200).
Menurut Jim Detjen, Fred Fico, Xigen Li dan Yeonshim Kim, definisi
jurnalisme lingkungan adalah sebagai cara untuk memberi label pada pandangan
baru dalam melihat hubungan antara manusia dan habibatnya (Environmental
reporting is a way of labeling new way of looking at humankind – habitat
relationship) (Detjen, Fico, & Li,2000). Pandangan baru yang dimaksud adalah
perubahan dari pola pandang tradisional bahwa jurnalisme lingkungan sekedar
menyinggung pemeliharaan alam akan tetapi lebih dari itu yaitu dengan
memberikan pandangan modern terkait dengan isu yang lebih luas lagi, seperti
polusi dan sanitasi. Isu lingkungan merupakan isu yang kompleks dan meliputi
hal-hal yang lebih dari sekedar lingkungan. Isu lingkungan terbentang mulai dari
isu yang diasosiasikan dengan lingkungan alam seperti bumi, hingga ancaman
terhadap lingkungan dan masalah kesehatan makhluk hidup. Oleh sebab itu
42
seringkali isu lingkungan dikaitkan isu politik, ekonomi, dan sosial terkait dengan
masalah lingkungan.
Michael Frome menyatakan bahwa wartawan lingkungan harus membela
kesehatan dan keamanan planet ini dengan cara yang profesional maupun personal
menaruh perhatian pada isu pemanasan global, hujan asam (acid rain),
pengerusakan hutan tropis, kerusakan hutan belantara dan kepunahan hewan liar,
limbah beracun, polusi udara dan air, serta tekanan populasi yang menurunkan
kualitas kehidupan (Kaheru, 2005).
Dalam memberitakan suatu berita, konsep obyektivitas haruslah dipegang
oleh seorang pekerja media. Hal ini berarti pekerja media tersebut harus netral dan
mampu mengesampingkan pembelaan/advocacy kepada pihak apapun. Akan
tetapi hal tersebut tidak bisa diterapkan dalam pemberitaan isu lingkungan.
Menurut Frome, jika obyektivitas berarti menampilkan fakta dan
menyeimbangkan pandangan tanpa memberikan arah kepada khalayak berarti itu
bukanlah jurnalisme lingkungan. Bagi Frome, jurnalisme lingkungan – meski
didasarkan atas data dan suara serta melalui penelitian ilmiah – juga harus
menunjukkan imajinasi penulisnya, perasaan terdalam serta keinginannya untuk
meningkatkan usaha memperbaiki dunia ini. Oleh karenanya wartawan
lingkungan umumnya memiliki rasa simpati yang mendalam terhadap
perlindungan lingkungan, bahkan tak tertutup kemungkinan bagi pekerja media
untuk mengampanyekan lingkungan atau membentuk kelompok jurnalis peduli
lingkungan hidup (Kaheru, 2005).
43
Berita lingkungan hidup yang diproduksi oleh jurnalis memiliki lima
karakteristik khusus berdasarkan sumber, peristiwa, negativisme, pembingkaian
dan trivialisme (Kaheru, 2005, h.32). Pertama, Sumber : Jurnalis yang meliput
berita lingkungan cenderung lebih mengandalkan pendapat kelompok elit seperti
ilmuwan atau pejabat resmi negara. Misalnya, Hannigan (1995) menemukan
bahwa pemberitaan tumpahan minyak di California tahun 1969 lebih
mengandalkan tokoh penguasa (presiden, pejabat federal) dan organisasi
(perusahaan minyak) sebagai sumber berita. Kedua, Berorientasi pada peristiwa :
Berger (2002) menyatakan bahwa berita lingkungan umumnya bercerita tentang
krisis atau peristiwa dramatis. Media lebih tertarik untuk memberitakan isu
lingkungan yang tergolong besar seperti tumpahan minyak atau ledakan nuklir.
Pada dasarnya media sulit menjual berita tentang fenomena yang dampaknya baru
terlihat puluhan tahun kemudian seperti pemanasan global (Dumanoski, 1990,
h.6). Sayangnya kecenderungan meliput secara event-centered juga berpotensi
mengakibatkan inkonsistensi dalam pemberitaan isu lingkungan.
Ketiga, Negativisme : Lowe dan Morrison (1984, h.78) menyatakan bahwa
berita lingkungan cenderung berkisah tentang kemunduran dibandingkan
kemajuan. Media lebih menyukai berita-berita seperti tumpahan minyak di laut,
ledakan nuklir, polusi, atau deforestasi. Namun Campbell (1999) menyebut berita
lingkungan yang bersifat pesimis dan menyudutkan kegagalan teknologi atau
menusia berpotensi memberikan gambaran yang salah tentang kenyataan
sebenarnya. Keempat, Pembingkaian : Media menggunakan bahasa tertentu untuk
membahas suatu masalah agar khalayak menerima masalah tersebut sesuai dengan
44
keinginan media. Misalnya beberapa media membingkai ledakan nuklir
Chernobyl sebagai insiden terkait perang dingin dan bukan merupakan kecelakaan
nuklir sungguhan (Kaheru, 2005, h.32).
Kelima, Trivialisasi : Dalam meliput berita lingkungan terkadang media
memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan suatu isu sebagai akibat dari
pembingkaian atau sifat event centered. Hal ini dilakukan untuk menjaga bentuk
laporan straight news yang tidak menyediakan banyak tempat untuk informasi
latar belakang. Hal ini menunjukkan aspek lingkungan yang menjadi akar
persoalan justru tidak banyak disentuh, karena ketidakmampuan jurnalis
memahami persoalan lingkungan secara komprehensif.
Keadaan ini mengundang keprihatinan dari praktisi media, sehingga pada
tahun 1990-an berdiri The Society of Environmental Journalist (SEJ) yang
dipelopori The Philadelphia Inquirer, USA Today, Turner Broadcasting,
Minnesota Public Radio, dan National Geographic. Misi dari organisasi ini adalah
untuk menguatkan kualitas, capaian, dan viabilitas dari jurnalisme dalam
memberikan informasi kepada publik untuk memahami isu lingkungan
(Rademakers, thesis, 2004:4).
Terbentuknya SEJ diikuti oleh pendirian organisasi-organisasi profesional
yang juga concern terhadap persoalan lingkungan, juga lembaga-lembaga kajian
maupun institusi akademis. Misalnya The Environmental Jornalism Center of the
Radio – Center for Environmental Jornalism Universityof Colorado (1992),
International Federation of Environmental Journalists (1993), Knight Center for
Environmental Journalism – Michigan State University (1994), Earth Journalism
45
Network (2004). Ketika Center of Journalism dibentuk di University of Colorado
pada tahun 1992, para akademisi dan praktisi media memiliki kesadaran akan
perlunya sebuah standar etik khusus bagi jurnalisme lingkungan. Enam tahun
kemudian (1998) dilakukan ratifikasi code of ethics dalam event 6th World
Conggres of Environmental Journalism yang diselenggarakan di Colombo
Srilanka. Adapun poin-poin yang diratifikasi antara lain : Pertama, Jurnalis
lingkungan harus menginformasikan kepada publik tentang hal-hal yang menjadi
ancaman bagi lingkungan mereka, baik yang berskala global, regional, maupun
lokal. Kedua, tugas para jurnalis adalah untuk meningkatkan kesadaran publik
akan isu-isu lingkungan. Jurnalis harus berusaha untuk melaporkan dari berbagai
sudut pandang berkait dengan lingkungan.
Ketiga, Tugas jurnalis tidak hanya membangun kewaspadaan orang akan
hal-hal yang mengancam lingkungan mereka, tetapi juga menempatkan hal-hal
tersebut sebagai pembangunan. Jurnalis harus berusaha untuk menuliskan solusi-
solusi untuk persoalan lingkungan. Keempat. Jurnalis harus mampu memelihara
jarak dan tidak memasukkan kepentingan mereka. Sebagai aturan, jurnalis harus
melaporkan sebuah isu dari berbagai sudut pandang, terutama isu lingkungan yang
mengandung kontroversi. Kelima, Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari
informasi yang sifatnya spekulatif/dugaan dan komentar-komentar tendensius. Ia
harus men-cek otensitas narasumber, baik dari kalangan industri, aparat
pemerintah, atau dari aktivis lingkungan.
Keenam, Jurnalis lingkungan harus mengembangakan keadilan akses
informasi dan membantu pihak-pihak, baik institusi maupun perorangan untuk
46
mendapatkan informasi tersebut. Ketujuh, Jurnalis harus menghargai hak dari
individu yang terkena dampak kerusakan lingkungan, bencana alam, dan
sejenisnya. Kedelapan, Jurnalis lingkungan tidak boleh menyembunyikan
informasi yang ia yakini sebagai sebuah kebenaram, atau membangun opini
publik dengan hanya menganalisis satu sisi saja.
Di Indonesia beberapa organisasi profesional untuk jurnalis lingkungan
juga telah didirikan diantaranya adalah Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia
atau Society of Environmetal Journalism (SIEJ), Kelompok Jurnalis Peduli
Lingkungan (KJPL), dan Sahabat Alam. Dalam prakteknya, jurnalis lingkungan
dituntut mampu menguasai persoalan lingkungan secara komprehensif, sehingga
dapat memberikan informasi yang jelas, solusi-solusi, memberikan prediksi
berkait dengan potensi resiko baik yang berskala kecil maupun besar, berkait
dengan sebuah isu lingkungan. Jurnalis tidak lagi hanya bersandar kepada
informasi dari kelompok-kelompok tertentu seperti pemerintah, pelaku industri,
bahkan para aktivis lingkungan dalam memahami sebuah isu lingkungan
(Keating, 1993).
Di Amerika Serikat gerakan lingkungan hidup yang lebih kritis, mulai
tumbuh sejak terbitnya buku karya ahli biologi Rachel Carlson berjudul Silent
Spring yang ditulis pada tahun 1962. Dalam buku itu Carlson menuliskan
47
kecemasannya terhadap industri pestisida, terutama DDT, yang ternyata
berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. 9
Sejak saat itu, berbagai kalangan termasuk kelompok media mulai
menyadari bahwa ada ancaman yang cukup serius terkait dengan kerusakan
lingkungan. Berita terkait lingkungan hidup pun semakin mendapat tempat,
mendampingi isu-isu perang yang pada era 1960-an sangat mendominasi. Peran
pers inilah yang mendorong gerakan lingkungan menemukan momentumnya yang
berujung pada aksi di New York. Pada dasawarsa 1970-an, media mulai
menempatkan isu lingkungan sebagai hal penting. Media-media utama seperti
Time, Fortune, Newsweek, Life, Look, The New York Times dan The Washington
Post, menempatkan berita-berita lingkungan di halaman depan. (Kirkpatrick Sale,
1996).
Kesadaran serupa juga tumbuh di Eropa. Pada bulan Januari 1972, majalah
di Inggris, The Ecologist menurunkan artikel berjudul A Blue Print for Survival,
yang ternyata sangat berdampak terhadap munculnya kesadaran lingkungan di
negara itu. Dalam artikel itu The Ecologist menyerang masyarakat industri karena
bahaya-bahaya lingkungan yang ditimbulkan. Tulisan ini juga memprediksi apa
yang mereka sebut ‖hari kiamat‖ jika kecenderungan-kecenderungan kerusakan
lingkungan dibiarkan apa adanya. Artikel ini mendapat tanggapan yang luar biasa,
9 http://kompos.web.id/2008/09/11/pers-gerakan-lingkungan/diakses 12 maret
2013
48
tak cuma berpengaruh di Inggris namun juga negara-negara Eropa daratan.
Puncaknya dihasilkan dokumen bersama tentang penyelamatan lingkungan yang
ditandatangani oleh sejumlah ilmuwan.
Seperti hasil penelitian yang membandingkan peliputan isu lingkungan di
Amerika Serikat dan Perancis. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa liputan isu
lingkungan di Perancis lebih didasarkan pada event yang sedang terjadi, hubungan
internasional dan liputan lain yang memberikan perspektif sempit mengenai
lingkungan. Sedangkan peliputan di Amerika lebih menekankan beritanya pada
konflik antara ilmu pengetahuan dan politisi (Brossard et al,.2004). Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa setiap media memiliki caranya sendiri dalam
menggambarkan isu lingkungan sesuai dengan kepentingannya. Caranya adalah
dengan memfokuskan perhatian lebih kepada satu isu dan tidak kepada isu
lainnya. Dengan begitu media akan menciptakan pemahaman yang berbeda
mengenai inti dari masalah lingkungan.
Berita lingkungan memiliki karakteristik tersendiri. Dalam temuan Guy
Berger tahun 2002, 10
isu lingkungan yang masuk kedalam agenda media
menampakan beberapa karakteristik yang problematis. Pemberitaan lingkungan di
media massa merupakan hal yang kompleks. Tidak hanya membahas seputar
lingkungan alam, tetapi juga meliputi persoalan ekonomi, politik, dan sosial yang
ada di dalam lingkungan itu sendiri.
10 Lihat penjelasan Lundberg dalamDetwiler, Scott. 1993. A Ccontent Analysis of Environmental
Reporting in Time and the New York Times, 1991 and 199. Thesis Slippery Rock University
USA.http://www.detwiler.us/thesis.html .Diakses 3 Maret 2013
49
Penggunaan sumber berita dari kalangan pemerintah atau elit dalam
pemberitaan lingkungan identik dengan yang pernah dikemukakan Guy Berger, 11
seorang Profesor di School of Journalism & Media Studies at Rhodes University,
Afrika Selatan, mengemukakan bahwa grup elit, pemerintah lebih memiliki
otoritas dibandingkan dengan masyarakat sipil dan grup-grup penekan seperti
LSM. Pemberitaan lingkungan hidup sering menempatkan kelompok-kelompok
elit seperti pihak-pihak dari badan pemerintahan dan saintis sebagai sumber yang
berwenang terhadap sebuah informasi.
Melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh Scott Detwiler, ditemukan
bahwa ada perbedaan mengenai isi pemberitaan lingkungan hidup di surat kabar
New York Times dan majalah Time. 12
Majalah Time menyajikan berita yang
bersifat analitis dan memuat informasi lebih banyak dari kalangan scientist beserta
sudut pandang mereka soal lingkungan hidup. Sedangkan New York Times
sebagai surat kabar harian cenderung hanya memberitakan seputar kebijakan dan
peran pemerintah terhadap isu lingkungan.
Jung-Hye Yang dalam penelitiannya, menganalisis bagaimana para
jurnalis lingkungan berinteraksi dengan hambatan-hambatan organisasi, dan
bagaimana hal tersebut mampu mempengaruhi cara jurnalis menginterpretasikan
11 Kaheru, Hamis. An Analysis of the Views of Journalists and Government Officials Regarding
the
Impact of New Vison‘s Coverage of the Nakivubo Channel Rehabilitation Project.Master Thesis
Rhodes Univeristy. h.33. http://eprints.ru.ac.za/272/1/Kaheru-thesis-TR005-25.pdfAkses: 3 April
2013
12 Detwiler, Scott. Op.cit. http://www.detwiler.us/thesis.html .Diakses 3 Maret 2013
50
peristiwa-peristiwa yang berkait dengan lingkungan hidup. 13
Beberapa hal
membedakan studi yang dilakukan oleh Yang dengan studi-studi yang telah ada
sebelumnya. Studi yang sebelumnya, melihat bagaimana faktor internal organisasi
mempengaruhi produksi berita-berita lingkungan, sementara studi Yang lebih
melihat bagaimana jurnalis sebagai individu berinteraksi dan mempersepsi
rutinitas organisasional tersebut, dan bagaimana jurnalis bernegosiasi dengan
berbagai hambatan pengetahuan yang membayangi mereka ketika melakukan
liputan terhadap peristiwa-peristiwa berkait dengan lingkungan.
Yang, ingin menemukan berbagai hambatan dan sebah organisasi media
massa dapat mempengaruhi jurnalis dalam pekerjaan mereka, berdasarkan apa
yang dirasakan oleh para jurnalis lingkungan tersebut. Dari interview yang
dilakukan oleh Yang terhadap enam jurnalis lingkungan senior di Amerika
Serikat, ada beberapa hal yang menjadi temuan menarik dalam penelitian ini. Para
jurnalis sepakat bahwa lingkungan adalah subyek yang menarik bagi pemberitaan,
dan mereka bersimpati terhadap persoalan tersebut. Tetapi, mereka secara tegas
menyatakan bahwa meski lingkungan selaras dengan personal value yang mereka
miliki, namun obyektifitas dan netralitas (sebagai prinsip utama yang harus
dipegang oleh jurnalis dalam pekerjaan mereka), penting untuk dipertahankan
dalam memandang persoalan lingkungan. Kesimpulan lain dari riset Yang,
13 tulisan Jung-Hye Yang mengenai Jurnalisme Lingkungan yang dimuat dalam Journal of
International and Area Studies. Yang melakukan riset mengenai proses produksi berita-berita
lingkungan di Amerika Serikat dan hambatan-hambatan apa sajakah yang dihadapi oleh para
jurnalis tersebut ketika melakukan peliputan isu lingkungan. Yang mewawancarai enam jurnalis lingkungan senior di Amerika. Mereka semua memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun meliput
berita-berita lingkungan. Yang menanyakan kepada para jurnalis tersebut, bagaimana persepsi
mereka terhadap berita-berita lingkungan dan hambatan apa sajakah yang dihadapi ketika
melakukan tugasnya dalam liputan lingkungan hidup. Interview dilakukan via telepon dengan
keenam jurnalis.
51
kesulitan jurnalis dalam memahami persoalan lingkungan yang kompleks,
biasanya disiasati dengan cara mencari experts di bidang lingkungan atau pemilik
otoritas. Ini menyebabkan jurnalis menjadi pihak yang lemah dan bergantung pada
sumber tersebut. Sumber berita menjadi kunci penting dalam proses produksi
berita.
Para responden percaya bahwa setiap pihak yang terlibat dalam sebuah
kasus lingkungan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi narasumber.
Namun, pada praktiknya beberapa jurnalis memberikan prioritas pada orang-orang
yang menjadi korban secara langsung dari kasus lingkungan yang terjadi, terutama
untuk isu-isu yang menyangkut masalah kesehatan. Para jurnalis tersebut percaya
bahwa untuk para korban itulah mereka ada disana. Namun, jurnalis hanya
berfokus pada pengalaman korban, daripada pernyataan-pernyataan yang dapat
memicu kontroversi secara politis. Hal ini semakin menguatkan ide bahwa
masyarakat awam tidak memiliki otoritas untuk memaparkan bukti-bukti. Sebagai
konsekuensi, jurnalis masih bergantung pada pemerintah, ilmuwan, dan korporasi
sebagai sumber yang lebih penting, karena mereka adalah kelompok ―decision
maker‖ dan ―policy maker‖.
Sementara dalam studi tesis yang dilakukan oleh seorang jurnalis Norwegia,
Njord V. Svendsen, terminologi jurnalisme lingkungan hidup mengandung unsur
peliputan green issue seperti usaha konservasi dan brown issue seperti polusi
udara14
. Menurut Svendsen, ranah peliputan jurnalisme lingkungan hidup
14 ―…the term environmental journalism includes both the coverage of ‗green‘ issues, such as
conservation, as well as ‗brown‘ issues like air pollution. Importantly, environmental journalism
deals not only with the natural world, but also with people and the social world in connection to
the natural world‖ seperti dikutip dari Svendsen, Njord V. Reporting Air Pollution In South
52
seharusnya tak terbatas hanya pada lingkungan alami namun juga sosial
masyarakat yang memiliki kaitan dengan kehidupan alam.
Fenomena ini menunjukkan, proses pembuatan berita bukanlah sebuah
proses yang bebas nilai. Terbitnya berita tidak lepas dari kompleksitas organisasi
media, yang di dalamnya terdapat pertarungan pelbagai kepentingan. Termasuk di
dalamnya adalah proses negosiasi dalam dinamika ruang redaksi mengenai
pembuatan berita, pemilihan peristiwa, dan penyeleksian isu. Peristiwa tak bisa
dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted ketika ingin diterjemahkan ke
dalam berita. Ada proses dialektika antara apa yang ada dalam pikiran wartawan
dengan peristiwa yang dilihatnya.
Menurut Tankard (dalam McQuail, 2000) media kerap melakukan
pengerangkaan atas berita yang didapatnya dengan melalui penyeleksian
(selection), penekanan (emphasis), pengurangan (exclusion), dan perluasan
(elaboration). Keempat hal itu menunjukkan bahwa media tak hanya menyusun
agenda untuk isu, kejadian, tokoh tertentu untuk terlihat lebih penting, namun juga
menunjukkan beberapa atribut spesifik yang dimiliki oleh kepentingan-
kepentingan tertentu.
Fishman (dalam McQuail, 2000), melengkapi teori ini dengan mengatakan
bahwa ada dua pendekatan bagaimana proses produksi berita dilihat. Pandangan
pertama sering disebut sebagai pandangan seleksi berita (selectivity of news) yang
melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya adalah proses seleksi, komunikator
akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana yang ditekankan dan
Durban: A Case Study of Environmental Journalism In Durban Newspapers From 1985 – 2000.
Durban: University of Natal., hal. Pendahuluan.
53
mana yang disamarkan, mana yang layak diberitakan mana yang tidak. Pandangan
ini seolah menyatakan adanya realitas riil yang diseleksi wartawan untuk dibentuk
dalam sebuah berita. Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita
(creation of news). Dalam pandangan ini peristiwa bukan diseleksi, melainkan
dibentuk. Wartawanlah yang membentuk peristiwa: mana yang disebut berita dan
mana yang tidak. Realitas bukan diseleksi melainkan dikreasi oleh wartawan.
Wartawan aktif berinteraksi dengan realitas dan sedikit banyak menentukan
bagaimana bentuk dan isi berita dihasilkan (McQuail, 2000, h 65).
Sementara itu, Shoemaker dan Reese (1996) menyebut beberapa faktor
yang memengaruhi kebijakan redaksi dalam memproduksi berita: Pertama,
Individual Level, pada level ini para jurnalis yang berperan besar dalam penentuan
agenda berita, berita mana yang disiarkan dan berita mana yang tidak diliput ata
diedit. Merekalah yang berhubungan dengan langsung dengan sumber berita dan
peristiwa berita (event), dan mereka bisa merekonstruksi event atau peristiwa yang
akan ditayangkan di media masing-masing. Dalam merekonstruksi event atau
peristiwa yang terjadi, para jurnalis dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,
pengalaman, penalaran, dan pada batas tertentu berdasarkan persepsi
subyektifnya.
Kedua, Media Routine Level, para jurnalis dan editor dalam
merekonstruksi berita tunduk pada media rutin. Media rutin adalah praktek-
praktek media dimana keputusan dan persepsi mengenai event yang dibawa oleh
jurnalis ke ruang pemberitaan , dipengaruhi oleh cara profesional media di
perusahaan dimana mereka bekerja mengorganisasi sistem kerja mereka.
54
Ketiga, Organizational Level, disamping media rutin, organizational level
juga ikut terlibat dalam proses rekonstruksi berita atau peristiwa. Pada level ini
organisasi sebagai perangkat struktur industri media, ikut menentukan proses
rekonstruksi event atau peristiwa yang terjadi. Keempat, External Media Level,
proses rekonstruksi berita juga ditentukan oleh eksternal media. Menurut
Shoemaker dan Reese, terdapat lima faktor di luar organisasi media yang bisa
mempengaruhi isi media yaitu, sumber berita, iklan dan pelanggan, kontrol
pemerintah, pasar, dan teknologi.
Kelima, Ideological Level, level ideologi umumnya berkaitan dengan
struktur kekuasaan, dalam arti sejauhmana kekuasaan, melalui berbagai aturan
yang ditetapkan mampu memberi pengaruh atas proses pengambilan keputusan
rekonstruksi berita atau peristiwa dalam ruang pemberitaan media.
1.7. Kerangka Metodologis
1.7.1. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
perspektif ekonomi-politik media. Analisis ekonomi politik yang beraliran kritis,
terutama mencoba membongkar kesadaran palsu yang ditimbulkan oleh
―damaging arrangement‖ (Littlejohn, 2002) pada sedikitnya dua kondisi khusus.
Pertama, kecenderungan peralihan dari sistem media massa yang dikuasai
pemerintah menjadi sistem media massa yang dikendalikan sepenuhnya oleh
mekanisme atau kediktatoran pasar. Kecenderungan ini bukan hanya karena
terdapatnya penolakan populis oleh masyarakat mengingat sifat dan dampak
55
buruk dari sistem media yang dikembangkan selama rezim Orde Baru, namun
juga karena terdapatnya dorongan dari pemilik modal untuk mencari keuntungan
maksimal dan mencapai akumulasi modalnya seperti diisyaratkan dalam analisis-
analisis ekonomi politik media.
Kondisi khusus kedua, adalah terdapatnya sifat-sifat dan persoalan
internal di dalam institusi media massa sendiri yang masih merasa paling tahu dan
mengerti kebutuhan serta keinginan khalayak, sehingga proses perencanaan,
produksi, dan evaluasi isi media hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok
kecil eksekutif di dalam institusi media tersebut, yang disebut sebagai
kecenderungan paternalistik. Melalui kecenderungan paternalistik ini sebetulnya
terjadi juga upaya membangun kesadaran palsu atau ―damaging arrangement‖
oleh sekelompok kecil elit yang menguasai formulasi kebijakan dan sumber-
sumber produksi jurnalistik dalam institusi media tersebut.
Menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari pelaku
yang diamati. Lincoln dan Guba menyebutkan ciri-ciri penelitian kualitatif –
antara lain sebagai penelitian yang menempatkan manusia sebagai instrumen,
lebih mementingkan proses daripada hasil, juga membatasi dengan kriteria
tertentu untuk keabsahan data serta menyusun desain secara kualitatif yang terus
menerus disesuaikan dengan kondisi lapangan.
56
1.7.2. Disain Penelitian
Disain penelitian ini adalah studi kasus, khususnya liputan media
berkaitan dengan eksplorasi migas di Radar Madura. Studi kasus meneliti
kejadian, situasi dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dalam
mengamati, mengumpulkan data, menganalisis informasi dan melaporkan
hasilnya. Studi kasus bertujuan untuk menampilkan informasi secara
komprehensif, sistematis, dan mendalam dari sebuah kasus. Menurut Robert
K.Yin (2003), a case study is an empirical inquiry that investigates a
contemporary phenomenon within is real-life context, especially when the
boundaries between phenomenon and context are not clearly evident. Studi kasus
merupakan bentuk penelitian empiris yang meneliti fenomena aktual dengan
konteks yang nyata, terutama ketika batas-batas antara fenomena dan konteks
tidak jelas. Aspek keunikan dari tema penelitian merupakan hal penting yang
menjadi alasan penggunaan studi kasus. Studi kasus berfokus menampilkan
realitas dengan mengetahui keragaman dan kekhususan objeknya. Hasil akhir
yang ingin diperoleh adalah menjelaskan keunikan kasus yang dikaji, umumnya
berkaitan dengan hakekat kasus, latar belakang historis, konteks kasus dan
persoalan lain di sekitar kasus yang dipelajari.
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini, dilakukan beberapa teknik
pengumpulan data antara lain :
1. Studi Dokumen/Literatur : digunakan dengan menelaah dan menganalisis
57
data-data yang telah ada baik berupa berita-berita di sejumlah media lokal
yang memuat isu eksplorasi migas. Selain itu juga dianalisis beberapa
dokumen seperti kebijakan Kementerian Pertambangan dan Energi, SK
Pemkab Sumenep dalam pemberian ijin eksplorasi migas. Beberapa
dokumen ini dianalisis untuk mengetahui dan mendeskripsikan peran
pemerintah dan DPRD selaku struktur di dalam menetapkan kebijakan
negara yang mengatur kebijakan eksplorasi migas di lokasi penelitian.
2. Indepth interview : wawancara mendalam dilakukan dengan key person
yang dijadikan nara sumber yang memahami substansi persoalan yang
dibahas dalam penelitian ini. Terutama deskripsi mengenai mekanisme
produksi berita seputar isu eksplorasi migas, posisi jurnalis dan media
terhadap isu-isu eksplorasi migas, dan advokasi lingkungan yang
kemungkinan telah dilakukan oleh jurnalis atau institusi media.
Narasumber penelitian yang akan diwawancarai antara lain redaktur media
dan jurnalis lokal. Selain itu, pemahaman dan sikap atas isu-isu seputar
pertambangan di media massa juga digali dengan melakukan indepth
interview pada sejumlah informan, misalnya perwakilan pihak industri
migas, tokoh masyarakat (kiai) di lokasi eksplorasi migas, pejabat Pemda
Kabupaten Sumenep, anggota DPRD, dan aktivis LSM yang concern pada
isu eksplorasi migas.
3. Observasi : Observasi dilakukan dengan mengamati proses produksi (rapat
redaksi, penugasan, peliputan, penulisan, serta editing berita) di Radar
Madura.
58
Tujuan dari wawancara mendalam serta observasi ini adalah untuk
mengenal nara sumber, mengeksplorasi realitas yang ia miliki, dan mengetahui
makna-makna apa yang ia berikan pada kehidupan sehari-harinya serta
kelompoknya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, peneliti harus bisa
menempatkan diri dalam posisi nara sumber yang diwawancarai, untuk
mendapatkan pemahaman terhadap proses-proses berpikir dari nara sumber.
Hanya dengan cara ini peneliti dapat mengetahui rekonstruksi dari perspektif nara
sumber (Glaser & Strauss, 1967; Strauss dan Corbin, 1990).
Pada tahap awal dari penelitian ini, sebuah daftar dari konsep-konsep telah
dibuat untuk digunakan sebagai pedoman selama wawancara dan pengamatan.
Urutan dari konsep-konsep yang dikemukakan dalam wawancara dan pengamatan
bukanlah merupakan persyaratan utama, karena akan lebih tergantung pada apa
yang disampaikan nara sumber, orientasi dan isi dari masing-masing jawaban.
Menggarisbawahi hubungan antara konsep-konsep menjadi penting untuk
kemudian mendapatkan sebuah visi yang jelas tentang hubungan-hubungan
interkontekstualitas (d‘Haenens et al, 1999).
1.7.4. Nara Sumber dan Lokasi Penelitian
Nara sumber untuk penelitian ini terdiri dari kalangan pengelola media
(redaktur) dan jurnalis Radar Madura, humas industri migas, tokoh masyarakat
(kiai) di lokasi penelitian, pemerintah daerah setempat, anggota DPRD, LSM yang
59
concern pada isue lingkungan (eksplorasi migas), dan pakar atau akademisi yang
menggeluti bidang ekonomi politik media.
Lokasi penelitian di Madura Jawa Timur (khususnya di Sumenep). Alasan
penetapan wilayah ini sebagai lokasi penelitian, dilatarbelakangi oleh konfigurasi
aktornya yang unik dalam eksplorasi migas di Madura. Terutama kiai sebagai
salah satu faksi penting dalam konflik lingkungan migas di Madura (baik yang
menyetujui maupun menentang rencana eksplorasi dengan menggerakkan para
santrinya atau lewat pembentukan Forum Kiai Muda Madura, maupun adanya
perebutan kue ekonomi antara satu kiai dengan kiai lainnya sebagai dampak
kegiatan ekplorasi migas melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).
Pada beberapa contoh kasus di Madura, ketika media memberitakan kiai
kharismatik dan dianggap berita itu mencemarkan nama baik atau menjatuhkan
kewibawaan kiai tersebut, maka akan dilawan oleh para santri dan pengikut
setianya dengan melakukan tindakan anarkhis ke kantor media yang
memberitakan kiai tersebut (Radar Madura yang paling sering didemo dan dirusak
oleh massa ini).
Alasan lainnya, kegiatan eksplorasi migas lepas pantai (offshore)
khususnya di Jawa Timur hanya ada di Sumenep Madura. Juga terdapat beberapa
dampak sosial dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri
migas tersebut.
60
1.7.5. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap.
Pertama, reduksi data. Data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara,
maupun studi dokumen/literatur, disimpulkan melalui penafsiran peneliti yang
diharapkan dapat memberikan data siap pakai. Kedua, display data. Data-data
yang berhasil dikumpulkan akan dijabarkan dalam bentuk kategori-kategori agar
mempermudah proses verifikasi. Pada tahap ini akan diperoleh sinopsis dan
kumpulan data kualitatif. Ketiga, penarikan kesimpulan beserta verifikasi data.
Penarikan kesimpulan berlangsung secara kontinyu selama riset dengan
mengamati data beserta teori yang dipakai. Kesimpulan bisa bersifat longgar dan
skeptis pada awalnya sampai menemukan bangunan kesimpulan yang kokoh.