Upload
phungtuong
View
225
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
“ Djikalau seorang bapak beranak perempoean, dan anaknja itoe telah beroemoer 15 atau 18 tahoen, pendeknja soedah patoet akan bersoeami dan iboe bapak poen soedah hendak berminantoe poela, maka patoetlah lebih dahoeloe disediakan oleh iboe bapak tadi segala alat perkakas dan pekajan jang patoet dibawa kawin serta perkakas roemahnja. Baharoelah
ditjahari doea atau tiga boelan lamanja mendjalang akan beralat itoe siapa jang akan djadi menantoe iboe bapak”.1
Inilah sepenggal artikel yang ditulis oleh seorang perempuan
bernama Djoeriah dari Payakumbuh dalam sebuah surat kabar
Soenting Melajoe, surat kabar perempuan pertama di Sumatera
yang diterbitkan di Sumatera Barat. Dalam artikel itu Djoeriah
mengecam banyaknya orang tua yang mau saja bermantu pria
berusia 50-60 tahun, sementara anak gadisnya baru berusia
belasan tahun. Hal ini seringkali terjadi sebelum abad ke-20,
menantu orang berpangkat adalah suatu kehormatan bagi sebuah
keluarga, seperti seorang penghulu, tuanku laras, dan pegawai
pemerintahan. Menikahkan anak gadis dengan laki-laki tua yang
kadang seusia bapaknya dan dijadikan istri muda bukanlah
sebuah halangan. Djoeriah, satu dari beberapa perempuan Minang
yang mulai berani bersuara dalam surat kabar; mengkritik adat
1 Djoeriah, “Perkawinan”, Soenting Melajoe, Djoema’at 30
Januari 1914.
2
istiadat perkawinan yang selama ini mengekang perempuan
Minangkabau.
Berbicara tentang perempuan sebagai objek maupun
wacana sejarah, merupakan unsur yang hilang dalam historigrafi
Indonesia pascakolonial. Narasi maupun penjelasan terhadap
masa lalu Indonesia hanya berlangsung di sekitar laki-laki.
Jikapun ada yang menghadirkan perempuan dalam proses
sejarah, maka keberadaan mereka hanya dikaitkan pada beberapa
aspek tertentu yang cenderung berkonotasi negatif, seperti
pelacuran, kekerasan, dan lain sebagainya.2 Padahal narasi
mengenai perempuan tidak sebatas itu saja, mereka juga memiliki
porsi yang cukup besar dalam realitas sejarah.
Pembahasan adat Minangkabau merupakan kajian yang
begitu kompleks. Di satu sisi, sistem matrilineal selalu
dibanggakan sebagai sistem kekerabatan yang menempatkan
perempuan pada posisi yang penting dalam keluarga, yaitu
sebagai penerus garis keturunan sekaligus penjamin eksistensi
dan kontinuitas sebuah keluarga Minangkabau. Kelahiran anak
perempuan sangat diharapkan sebagai penerus keturunan
keluarga Minangkabau. Namun, dalam prakteknya posisi
perempuan di Minangkabau tetap berada di bawah kendali laki-
2 Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 28-31.
3
laki, yaitu mamak (saudara laki-laki ibu) baik dalam lingkungan
keluarga maupun sosial. Beberapa wewenang yang secara
normatif seharusnya dimiliki perempuan seringkali tidak berlaku
efektif. Banyak kasus ditemukan, bagaimana mamak mengambil
keputusan sendiri guna menjual atau mengalihkan hak harta
warisan yang menjadi hak perempuan sebagai pemilik sah.
Dominasi patriarki terhadap perempuan yang terjadi di
Minangkabau dibungkus dengan nilai-nilai adat yang
mendudukkan posisi perempuan di tempat yang terhormat.3
Persoalan ini terlihat dalam perkawinan, sebagai suatu
siklus yang penting dalam menentukan kelanjutan suatu klan
atau kelompok dalam masyarakat Minangkabau. Perkawinan tidak
hanya masalah sepasang insan yang membentuk keluarga atau
membentuk rumah tangga saja, melainkan persoalan dan urusan
kaum kerabat, mulai dari mencari pasangan, membuat
persetujuan, pertunangan, perkawinan, bahkan sampai kepada
segala urusan akibat perkawinan itu.4
3 Zurneli Zubir, Dari Pingitan Hingga Karier: Perjalanan
Tokoh Perempuan Minangkabau Menentang Tradisi (Yogyakarta:
Eja Publisher, 2011), hlm. 5. 4 A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1986), hlm.
193.
4
Perempuan dewasa yang belum mendapatkan jodoh akan
menimbulkan aib oleh seluruh kaum5, karena dianggap menderita
cacat turunan, cacat lahir batin, atau karena orang enggan
berkerabat dengan kaum tersebut. Harga diri suatu kaum sangat
dipertaruhkan dalam hal ini. Oleh karena itu untuk memperoleh
jodoh bagi perempuan dalam suatu kaum, setiap keluarga akan
berusaha dengan segala cara mendapatkannya. Walaupun dengan
memberi harta benda agar mendapatkan jodoh, mereka akan
menyediakannya.
Begitu krusialnya masalah perkawinan di Minangkabau,
tanah sebagai harta pusaka milik bersama yang tidak boleh dijual,
boleh digadaikan pada orang lain karena memenuhi salah satu
dari hutang adat yang empat, yaitu: rumah adat (rumah gadang)
ketirisan atau bocor, sehingga diperlukan biaya untuk
memperbaikinya; gadis dewasa yang belum bersuami, jika perlu
uang untuk meminang seseorang guna mau beristrikan gadis atau
bujang dewasa kaum itu; mayat terbujur di tengah rumah, karena
kekurangan biaya untuk penguburan dan membangkit batang
tarandam; dan terakhir menggelarkan kembali gelar pusaka yang
5 Suatu pengelompokan anggota masyarakat suatu nagari
berdasarkan garis keturunan ibu yang disatukan oleh satu suku
yang sama.
5
selama ini tidak lagi dipergunakan karena kematian si pemakai
yang terakhir (penghulu).6
Demi menjaga kedudukan dan kehormatan suatu kaum
dalam masyarakat, perkawinan di Minangkabau seringkali
mengorbankan perempuan. Dalam memilih pasangan bagi
perempuan, faktor usia atau status laki-laki yang sudah menikah
tidak dihiraukan lagi, asalkan sepadan dan punya status sosial
(kedudukan). Perempuan tidak punya hak dalam memilih jodoh,
dia tidak dapat menuruti keinginan hatinya, tetapi dia harus
tunduk pada kemauan keluarga. Kalau kedua belah pihak sudah
sepakat, maka perkawinan akan dilangsungkan walaupun bujang
dan gadisnya belum berkenalan.7 Jadi umum bagi masyarakat
Minangkabau perkawinan tidak dengan percintaan. Sekalipun ada
laki-laki yang menyimpan perasaan (cinta) kepada seorang gadis,
dia akan kawin juga dengan laki-laki lain yang bukan dicintai dan
dikenalnya karena keinginan orang tua dan mamak. Inilah yang
menjadi salah satu penyebab seringnya terjadi perceraian dan
poligami di Minangkabau.
6 Ahmad Dt. Batuah, Tambo Minangkabau dan Adatnya
(Jakarta: Balai Pustaka, 1956), hlm. 91-92. Lihat juga Zaiyardam Zubir, Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai, Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin Oleh Kolonial Belanda 1891-1927
(Padang: Andalas University Press, 2006), hlm. 42.
7 “Perkawinan di Soematera Barat”, Panji Pustaka, 17 April
1930, No.31-32, hlm. 498.
6
Polemik dalam adat perkawinan mendapat perhatian seiring
dengan pendidikan yang mulai berkembang pada masyarakat
Minangkabau. Berawal dengan suksesnya sekolah sekuler
pertama tahun 1840-an yang dikenal dengan sekolah nagari
(nagari schools) yang didirikan di Padang Darat (kawasan dataran
tinggi pedalaman). Kemajuan mulai masuk ke nagari-nagari
Minangkabau. Walaupun tujuan awal sekolah ini hanya untuk
menciptakan warga yang baik (good citizens) untuk mengisi
pekerjaan-pekerjaan tertentu dalam pemerintahan dan dalam
kehidupan sehari-hari. Tetapi ide sekolah nagari menjadi sebuah
kesempatan besar bagi kemajuan anak-anak Minangkabau
selanjutnya dengan perkembangan sekolah-sekolah yang mulai
banyak di dirikan.8
Ini terbukti pada tahun 1913, terdapat 111 volkscholen
(sekolah rakyat) atau sekolah dasar yang ditata ulang. Menjelang
tahun 1915 jumlahnya meningkat menjadi 358 dan kemudian
menjadi 548 pada tahun 1925.9 Reformasi pendidikan Islam dan
ekspansi sekolah-sekolah agama modern pun juga terjadi sekitar
8 Elizabeth E.Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern:
Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007), hlm.149-153. 9 Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda
Movement in West Sumatera (1927-1933) (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1971), hlm. 12.
7
tahun 1910 setelah para reformis dalam gerakan Kaum Muda
kembali dari Mekah. Mereka memperkenalkan sistem pembagian
kelas dalam sekolah-sekolah agama. Mata pelajaran sekuler
dimasukkan dalam kurikulum, buku pelajaran baru disiapkan
dan untuk pertama kalinya anak-anak perempuan diterima masuk
dalam sekolah ini.10
Kemunculan sekolah-sekolah khusus perempuan pada awal
abad ke-20, menjadi jembatan pacu bagi perempuan Minangkabau
untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem yang selama ini
membatasi mereka.11 Sekolah telah membuka wawasan mereka
mengenai banyak hal, anak-anak mengenal tentang aturan adat di
rumah, belajar tentang Islam di surau, dan menerima pendidikan
barat di sekolah-sekolah “pribumi” yang didirikan Belanda.12
Walaupun perempuan yang mendapatkan pendidikan ini masih
terbatas kepada anak-anak dari keluarga bangsawan dan
pedagang kaya, tetapi mereka inilah yang menjadi pelopor untuk
menggerakkan perempuan Minangkabau lainnya.
10 Ibid, hlm. 54-59.
11 Zurneli Zubir, op.cit., hlm. 14.
12 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat,
Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2010), hlm. 145.
8
Seiring dengan perkembangan pendidikan di Sumatera
Barat. Anak-anak Minangkabau mulai banyak yang berpindah ke
ruang kota untuk masuk ke sekolah-sekolah terbaik yang
umumnya berada di kota. Tidak hanya kota-kota di Sumatera
Barat saja, perpindahan pelajar ini juga terjadi sampai ke kota
besar seperti Medan, Jakarta hingga Belanda. Pusat terpenting
elite pendidikan sekuler ini kebanyakan berada di nagari-nagari
kecil di kawasan perbukitan seputar Bukittinggi dan lebih kuat
terkonsentrasi di Koto Gadang. Dimana nagari ini awal tahun
1900 sudah dikenal luas sebagai kampung halaman kaum
birokrat kolonial pribumi-anak nagarinya bekerja sebagai jaksa,
kepala gudang, pejabat pajak dan lain-lain yang tersebar seluruh
Sumatera, Kalimantan dan beberapa di antaranya di Jakarta.
Sebuah laporan tahun 1915 memperkirakan 165 orang penduduk
Koto Gadang bekerja sebagai pejabat pemerintah, 79 diantaranya
bekerja di luar Minangkabau. Penting untuk dicatat bahwa
sebanyak 72 dari 165 orang tersebut fasih berbahasa Belanda, hal
ini menjadi petunjuk terhadap pendidikan lanjutan mereka yang
baik.13
Modernitas yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau
telah membawa pengaruh terhadap kehidupan perempuan
Minangkabau. Perempuan Minangkabau yang sebelumnya
13 Elizabeth E.Graves, op.cit., hlm. 252-253.
9
bergerak dalam bidang domestik, berada di seputaran rumah
gadang akhirnya beralih ke dunia publik dengan pindah ke
rantau. Mereka memasuki dunia jurnalistik yang selalu dianggap
dunia “milik laki-laki”. Apalagi dengan lahirnya surat kabar
Soenting Melajoe pada tahun 1912, surat kabar perempuan
pertama di Sumatera. Lewat surat kabar ini perempuan
Minangkabau berkeluh kesah mengeluarkan suara hati mereka.
Mengkritisi aturan-aturan adat yang telah mengekang mereka
untuk bergerak maju. Perkawinan menjadi salah satu persoalan
yang disorot oleh perempuan terpelajar Minangkabau, adat
perkawinan yang selama ini dijalankan telah membuat perempuan
Minangkabau tertindas. Mereka tidak punya suara dalam
memutuskan kapan mereka akan menikah dan dengan siapa akan
menikah, karena semua keputusan berada di tangan orang tua
dan mamak. Hal ini menyebabkan perkawinan di bawah umur dan
poligami tidak terelakkan lagi, sehingga pada akhirnya sering
berakhir dengan perceraian. Adat perkawinan yang dijalankan di
Minangkabau secara turun temurun mulai ditentang karena
dirasakan telah mengikat perempuan.
Selain itu, masalah perkawinan di Minangkabau juga
mendapat perhatian dari pemerintah. Perkawinan tidak lagi hanya
masalah adat yang diurus oleh ninik mamak dan penghulu, tetapi
telah menjadi urusan pemerintah Hindia Belanda dan tertuang
10
dalam Staatsblad 1910 No. 659.14 Telah diadakan undang-undang
peraturan tentang nikah, talak, dan rujuk di Minangkabau. Kalau
orang hendak kawin, maka dia harus dinikahkan di muka tukang
kawin atau walinya dengan surat keterangan dari kepala-kepala
Negeri, bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan itu tidak
melanggar adat Negeri.
Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda
menjadi periode baru kehidupan perempuan Minangkabau dalam
masalah perkawinan. Bahwa, untuk melaksanakan perkawinan
tidak segampang masa sebelum adanya undang-undang. Kawin-
cerai yang begitu mudah dilakukan oleh para laki-laki tanpa
menimbang akibat yang ditimbulkan dari perkawinan maupun
perceraian yang mereka lakukan.
B. Rumusan Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini adalah
pengaruh modernitas terhadap sikap perempuan elite
Minangkabau di dalam hal perkawinan pada awal abad ke-20
14 Pegawai nikah atau kadli yaitu seseorang yang mengerti
perkara kawin, tugasnya mengurus orang kawin (nikah) dan wajib
menjaga apa yang patut menurut agama dan juga mengetahui thalak dan rujuk yang ditunjuk oleh toean Besar. “Peratoeran
Perkara Nikah, Thalak, dan Roedjoe’ di Pertja Barat”, Berita Adat, No.1, Januari 1935 Tahun II, hlm. 12-14. Lihat juga ”Oendang-oendang Perkawinan Thalak dan Roedjoek jang terpakai di tanah
Seberang, oentoek Orang Islam”, Oetoesan Minangkabau, Januari 1939 No.1, hlm. 14-15.
11
sampai 1930-an. Pembahasan akan difokuskan pada pengaruh
modernitas terhadap adat istiadat, kemajuan perempuan
Minangkabau, perubahan adat perkawinan, termasuk di
dalamnya transformasi keluarga Minangkabau.
Dari permasalahan utama di atas, maka muncul pertanyaan
penting yang dikemukan. Pertama, tentang alam Minangkabau
dan masyarakatnya. Bagaimana kehidupan masyarakat
tradisional Minangkabau? Sejauhmana masyarakat Minangkabau
bertahan dengan sistem matrilineal yang tetap dipegangnya?
Bagaimana adat dan hukum kolonial mempengaruhi masyarakat
Minangkabau?
Kedua, mengenai modernitas dan kehidupan perempuan
Minangkabau pada awal abad ke-20. Memunculkan pertanyaan;
dalam hal apakah dan sejauhmana modernitas pada perempuan
Minangkabau pada awal abad ke-20? Bagaimana modernitas
mempengaruhi kehidupan perempuan Minangkabau?
Ketiga, tentang perubahan adat perkawinan dalam keluarga
Minangkabau. Bagaimana adat perkawinan yang dilaksanakan
oleh masyarakat Minangkabau? sejauhmana dan dalam hal
apakah modernitas dan perempuan mempengaruhi perubahan
dalam adat perkawinan Minangkabau? Lalu bagaimana kehidupan
keluarga Minangkabau di tengah perubahan adat perkawinan
yang terjadi pada awal abad ke-20 ini? Berbagai pertanyaan
12
penelitian ini digunakan untuk membahas perubahan kehidupan
perempuan Minangkabau di dalam perkawinan pada awal abad
ke-20.
Subjek studi ini adalah perempuan elite Minangkabau, yaitu
perempuan dari golongan menengah ke atas. Anak-anak dari
keluarga bangsawan atau keluarga pedagang kaya. Sebab,
pendidikan (sekolah) masih terbatas dan hanya bisa dijangkau
oleh keluarga yang mampu secara ekonomi. Secara spasial
penelitian yang dimaksud adalah “Dunia Minangkabau” yaitu
perempuan elite Minangkabau yang tidak hanya tinggal di
Sumatera Barat tetapi juga hidup di rantau seperti Medan,
Bandung, Jakarta, dan kota besar lainnya. Cakupan waktu dalam
penelitian ini adalah awal abad ke-20 sampai tahun 1930-an.
Dimulai awal abad ke-20 sebagai suatu titik atau awal terjadinya
perubahan terhadap masyarakat Minangkabau khususnya
perempuan. Hal ini menjadi momentum penting, bagaimana
pendidikan (sekolah) telah mendorong perempuan bergerak maju.
Tahun 1930-an diambil sebagai batasan akhir dengan
pertimbangan kisaran tahun ini modernitas telah menampakkan
pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan perkawinan pada
perempuan Minangkabau. Perempuan yang telah mendapatkan
pendidikan inilah yang menjadi pelopor bagi perempuan lainnya
dalam menyuarakan kemajuan. Adat perkawinan yang dijalankan
13
selama ini mengalami pergeseran seiring dengan kemajuan
perempuan Minangkabau.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada tiga tujuan penting dalam penelitian ini. Pertama,
menjelaskan sikap perempuan Minangkabau dalam hal adat
perkawinan seiring dengan modernitas yang masuk dalam
masyarakat Minangkabau. Kedua, menjelaskan perubahan adat
perkawinan Minangkabau pada awal abad ke-20. Ketiga, untuk
mendokumentasikan potongan-potongan kisah kehidupan
perempuan Minangkabau dalam perkawinan pada awal abad ke-
20 sebagai bagian dalam narasi sejarah yang seringkali terabaikan
dalam historiografi Indonesia.
Berdasarkan tujuan tersebut, tesis ini diharapkan dapat
memberikan manfaat yaitu: pertama, dapat menambah khasanah
historiografi lokal, khususnya yang berkaitan dengan penulisan
sejarah perempuan Minangkabau. Narasi tentang perempuan
Minangkabau tidak hanya mengenai kekerasan, penindasan, dan
keterbelakangan saja, tetapi ada hal lain mengenai kemajuan dan
perubahan yang dilakukan oleh perempuan. Kedua, hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi kajian
selanjutnya mengenai sisi berbeda sejarah perempuan dalam
memperjuangkan kemerdekaan kaumnya.
14
D. Tinjauan Pustaka
Telah banyak studi yang mengkaji mengenai Minangkabau
baik yang dilakukan oleh para akademisi maupun non akademisi.
Pada periode awal informasi tentang masyarakat Minangkabau
yang ditulis sebagai kajian ilmiah dimulai sejak pertengahan abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Bisa dilihat dalam tulisan De Stuers
(1850),15 De Stuers adalah Residen Sumatra’s Westkust (1824-
1829), salah seorang petinggi kolonial Belanda yang ikut terlibat
dalam Perang Paderi (1803-1837). Pengalamannya selama
bertugas di Minangkabau dituangkannya dalam dua jilid bukunya
yang berjudul De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter
Westkust van Sumatra. Kemudian munculnya tulisan Joustra
(1920)16 yang semua tulisan-tulisan ini mulai terfokus pada
gambaran etnografi umum tentang sistem sosial-budaya, seperti
masyarakat Minangkabau yang matrilineal, sistem organisasi
sosial berbentuk kaum, suku, sistem kerapatan adat, dan sistem
pemerintahan nagari.
Pada tahun 1960, kajian yang dilakukan oleh P.E. Josselin
de Jong Minangkabau and Negri Sembilan: Socio-political Structure
15 H.J.J.L. Ridder De Stuer, De vestiging en uitbreiding der
Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Amsterdam: P.N Van
Kampen: 1849,1850). 16 M.Joustra, Minangkabau: Overzicht van land, geschidenis
en volk, (Leiden: Martinus Nijhoff, 1923).
15
in Indonesia17. Tentang sistem sosial-budaya masyarakat
Minangkabau dan Negeri Sembilan. Karya Josselin de Jong,
kemudian dianggap sebagai “masterplan” oleh banyak peneliti jika
ingin mengkaji masyarakat Minangkabau. Akan tetapi tulisannya
lebih banyak menggambarkan tentang sistem sosial-budaya secara
umum masyarakat Minangkabau.
Pada masa ini, beberapa penulis Minangkabau juga mulai
bermunculan. Beberapa penulis dari latar adat di tahun-tahun
1950-an ini, misalnya Datuak Batuah Sango18, A Batuah dan
Datuk A Majoindo19; Datuk Maruhum Batuah & D.H. Bagindo
Tanameh (1954)20 yang keduanya mencoba menuliskan kembali
tentang Tambo alam Minangkabau. Sementara kelompok lain yang
lebih “moderat” dan mencoba mengulas posisi Islam dalam
tatanan sistem adat Minangkabau juga banyak bermunculan.
17 P.E. Josselin de Jong, Minangkabau and Negeri Sembilan:
Socio-political Structure in Indonesia (Djakarta, Bhratara, 1960).
18 Datuak Batoeah Sango, Tambo Alam Minangkabau
(Payakumbuh: Limbago, 1954). 19 A. Batuah dan A.Dt. Majoindo, Tambo Alam Minangkabau
(Jakarta, 1957). 20 Datuk Maruhun Batuah dan Bagindo Tanameh, Hukum
Adat dan Adat Minangkabau (Jakarta: Poesaka Aseli, 1954).
16
Beberapa di antaranya misalnya karya M. Radjab (1950)21, Darwis
Datuak M. Lelo & Marzuki (1951)22 yang kebetulan keduanya
mencoba mengulas Perang Padri dan posisi Islam (Tuanku Imam
Bonjol) dalam masyarakat Minangkabau. Kemudian tulisan
lainnya seperti tulisan-tulisan Hamka (1946; 1951)23 tentang
posisi Adat Minangkabau dalam tatanan negara; Nasroen (1957)24
tentang Dasar Falsafah adat Minang.
Barulah pada tahun-tahun 1960-an dan 1970-an, karya-
karya penelitian yang beragam tema dan beragam universitas
mulai semakin gencar mengulas tentang masyarakat
Minangkabau. Pada tahun 1960-an ini, kelompok yang paling
gencar melakukan dan mengkaji Minangkabau adalah dari
kelompok Cornel University, yang pada awalnya telah didahului
oleh Anthony H. John (1958) yang mengulas sebuah kaba yaitu
Kaba Rantjak Dilabuah. Setelah John menganalisis sistem sosial-
21 Muhammad Radjab, Semasa Kecil di Kampung (1913-
1928): Outobiografi Seorang Anak Minangkabau (Jakarta: Balai
Pustaka, 1950). 22 Datuak Madjolelo, Darwis dan Ahmad Marzoeki,Tuanku
Imam Bonjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan (Jakarta: Djambatan, 1951).
23 Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.
(Jakarta: Firma Tekad, 1946) dan Kenang-kenangan Hidup 1: Dimasa Ketjil (Jakarta: Gapura, 1951).
24 Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau (Jakarta:
Bulan Bintang, 1957).
17
budaya masyarakat Minangkabau yang secara implisit tercermin
dalam Kaba Rantjak Dilabuah, maka karya-karya penulis Cornell
berikutnya bermunculan. J.V. Maretin, dissappearance of
matriclan survivals in Minangkabau family (1961)25 yang
mempertanyakan tentang keberlanjutan sistem matrilineal di
Minangkabau. Lalu tulisan Nancy Tanner (1971)26 yang juga dari
Cornell University, yang mengulas tentang pola perselisihan di
Minangkabau dan proses penyelesaiannya.
Taufik Abdullah Adat and Islam: An Examination of Conflict
in Minangkabau (1966)27, mencoba menggambarkan Minangkabau
dalam kacamata pemilik budayanya. Taufik Abdullah mulai
mencoba mengkhusus pada Adat dan Islam, yang kemudian
dilanjutkan dengan disertasinya, Minangkabau 1900-1927:
Preliminary Studies in Social Development28. Peneliti Minangkabau
lainnya yang juga gencar menginformasikan tentang sistem sosial-
25 J.V.Maretin “Dissappearance of Matriclan Survivals in
Minangkabau Family” (Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, 1961).
26 Nancy Tanner, “Minangkabau Dispute”, Ph.D. Dissertation
(University of California, Berkeley, 1971).
27 Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of
Conflict in Minangkabau “, Indonesia 2 (1966). 28 Taufik Abdullah, “Minangkabau 1900-1927: Preliminary
Studies in Social Development”, Tesis MA, (Cornell University, 1967).
18
budaya Minangkabau melalui tulisan-tulisannya diantaranya
Deliar Noer (1973)29.
Pada periode 1970-an, tulisan Christine Dobbin
Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah,
Sumatera Tengah, 1784-187430, mencoba mengupas ekonomi
petani di saat gerakan kaum padri (Islam) berlangsung. Sebuah
perubahan sosial yang lebih dilihat dalam konteks ekonomi.
Tulisan Akira Oki31 yang mengargumentasikan, bahwa proses
perubahan sosial di masyarakat Minangkabau lebih sebagai proses
yang dikondisikan dan diintervensi oleh Belanda untuk
kepentingan pemerintahan penjajah (akibat krisis ekonomi akhir
tahun 1929), dan tekanan penjajah inilah yang menurut Akira Oki
sebagai salah faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
dalam tatanan masyarakat, termasuk dalam tatanan
pemerintahan nagari, yang sebenarnya sangat otonom.
29 Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia
1900-1942 (Singapura: Oxford University Press, 1973). Diterbitkan
ulang dalam bahasa Indonesia. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES,1980.
30 Christine Dobbin,” Economic Change in Minangkabau as a Factor of the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, Indonesia. No. 23 (April), 1977. Diterbitkan ulang dalam bahasa Indonesia.
Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah, 1784-1847 (Jakarta: INIS, 1992).
31 Akira Oki, “Social Change in the West Sumatran Village
1908-1945, Ph.D Dissertation, (Australian National University, 1977).
19
Kajian-kajian lainnya yang cukup menonjol adalah kajian
tentang migrasi (merantau) sebagai salah satu fenomena sosial
yang dianggap sudah berkembang sejak lama dalam masyarakat
Minangkabau. Tulisan Mochtar Naim32 dan Tsuyoshi Kato 33. Lalu
tulisan Elizabeth Graves34, dan Audry Kahin35.
Pada periode 2000-an pun kajian mengenai perempuan
Minangkabau juga telah dilakukan. Zurneli Zubir dalam tesis
Kekerasan Terhadap Perempuan Minangkabau Pada Masa
Pendudukan Jepang 1942-194536. Kajian yang melihat perempuan
dalam sejarah yang tertindas pada masa pendudukan Jepang dan
Reni Nuryanti dalam tesisnya Hidup di Zaman Bergolak:
Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah 1956-
32 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1979).
33 Tsuyoshi Kato. Matriliny and Migration:Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia (Ithaca, N.Y: Cornell
University Press, 1982). Diterbitkan ulang dalam bahasa Indonesia. Adat Minangkabau dan Merantau Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).
34 Elizabeth E Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century (Ithaca: Cornell SEAP,
1981). Diterbitkan ulang dalam bahasa Indonesia .Asal Usul Elite Minangkabau Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).
35 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan politik Indonesia, 1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
36 Zurneli Zubir, “Kekerasan Terhadap Perempuan
Minangkabau Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945”, Tesis (Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2006).
20
1961.37 Kajian ini merupakan kajian sejarah sosial yang
menekankan pada pengalaman perempuan Minangkabau selama
pergolakan politik. Pergolakan pada tahun 1950-an ini telah
memunculkan perilaku politik dan kekerasan terhadap perempuan
Minangkabau. Perilaku politik ini ditunjukkan dengan sikap
oposisi terhadap dewan Banteng dan PRRI dari sebagian
perempuan Minangkabau yang tergabung dalam Gerwani. Adapun
kekerasan yang muncul selama pergolakan politik di golongkan
dalam empat bentuk, yakni fisik, psikologis, seksual, dan
penelantaran (deprivasi).
Dua kajian ini lebih melihat perempuan dalam sisi “gelap”,
perempuan-perempuan yang selalu tertindas dalam realita
sejarah. Hanya temporal waktunya saja yang berbeda, ketika Reni
Nuryanti berbicara mengenai perempuan pada masa 1956-1961
dan Zurneli Zubir berbicara mengenai perempuan pada masa
pendudukan Jepang.
Berdasarkan kajian-kajian yang ada tidak banyak
ditemukan informasi yang diharapkan tentang masa lalu mengenai
perempuan dan modernitas : perubahan adat perkawinan di
Minangkabau pada awal abad ke-20. Pembahasan tentang
37 Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak: Perempuan
Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah 1956-1961” Tesis (Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009).
21
perempuan hanya sebatas pelengkap dalam kajian mengenai
Minangkabau, adapun bahasan yang sering diangkat hanya
sekitaran perempuan dalam sudut yang termarginalkan seperti
persoalan kekerasan dan pelecehan. Oleh karena itu, tesis ini
mencoba menghadirkan sisi lain dari realitas masa lalu yang
belum ada mengenai perempuan dan modernitas terhadap
perubahan adat perkawinan Minangkabau pada awal abad ke-20.
E. Kerangka Konseptual
Kajian sejarah perempuan yang di fokuskan pada
perubahan adat perkawinan Minangkabau, cenderung
terpinggirkan oleh tema-tema besar seperti tema sejarah politik
dan militer. Kedua jenis sejarah ini adalah sejarah tentang
kekuasaan dan keperkasaan, dua hal yang selalu menjadi milik
kaum laki-laki. Sebagaimana yang dikemukan Bambang
Purwanto, perempuan seolah-olah tidak pernah ada dalam proses
menyejarah Indonesia. Kalaupun perempuan ada di dalam sejarah
Indonesia, hal itu hanya sekedar menghadirkan perempuan
sebagai objek yang ada pada masa lalu, bukan masa lalu dilihat
dengan perspektif keperempuanan.38
Berbicara tentang perempuan dalam masyarakat
Minangkabau bukanlah hal yang mudah. Masalahnya bukan saja
38 Bambang Purwanto, op.cit., hlm. 30-31.
22
sulit, tetapi juga rumit. Ironisnya, kedudukan ibu atau perempuan
yang ideal itu sering berhadapan dengan realita sehari-hari yang
jauh berbeda dan mungkin berlawanan. Taufik Abdullah (1970)
dalam “Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: an Example of
Minangkabau Traditional Literature”. Memberikan uraian mengenai
perempuan dalam kebudayaan Minangkabau di mana sistem ideal
alam Minangkabau menjelaskan kedudukan tokoh-tokoh yang
berkuasa. Tokoh utamanya adalah Bundo Kanduang ialah ratu
yang kedudukannya tidak dibeli ataupun dipinta. Dia “rajo usali”
yang berdiri sendiri dan diciptakan bersama-sama alam
Minangkabau itu sendiri. Bundo Kanduang ialah sumber ilmu
pengetahuan dan kebijaksanaan dan dialah yang mengajarkan
adat istiadat kepada Dang Tuanku yang mempunyai kedudukan
sebagai “raja alam”. Dari kaba “Rancak Dilabuah” kita juga
mendapatkan informasi tentang sistem ideal Minangkabau dimana
kedudukan seorang ibu sangat penting. Kedua kaba ini
menggambarkan pentingnya seorang perempuan senior atau ibu di
alam Minangkabau, dan struktur hubungan yang biasa ditemui
yang menyangkut otoritas ialah ibu dan anak laki-lakinya yang
menjadi mamak. Akan tetapi sebaliknya, sekalipun seorang ibu
mempunyai posisi yang sangat penting dan terhormat ia tidak
mempunyai kedudukan yang formal dalam struktur kekuasaan
dan politik di dalam alam Minangkabau.
23
Menurut adat Minangkabau perempuan digolongkan
menjadi tiga macam yaitu : simarewan, adalah perempuan yang
jauh dari kesopanan dalam setiap tingkah laku. mambang tali
awan, adalah perempuan yang tinggi hati, sombong, dan besar
mulut, dan parampuan adalah seorang perempuan baik gadis
maupun setelah menjadi ibu atau istri yang senantiasa
mempunyai sifat terpuji menurut adat yang dilengkapi dengan
segala kecakapan dan pengetahuan sesuai kemampuan seorang
perempuan.39
Dengan demikian, menulis sejarah perempuan dari sudut
pandang perubahan adat perkawinan Minangkabau dapat
menghadirkan realita masa lalu kehidupan masyarakat
Minangkabau. Kuntowijoyo memandang perkawinan sebagai salah
satu aspek dari kehidupan suatu masyarakat. Menurut Brouwer,
bahwa pelembagaan perkawinan di dunia barat dan sebagian
besar di luar dunia ini merupakan cara hidup bersama antara lak-
laki dan wanita yang diatur formil-yuridis dan sering juga secara
religius, sesuai dengan maksud kedua orang itu dan undang-
undang, dilakukan seumur hidup. Dasar hidup bersama itu ialah
nafsu birahi, produksi, kebutuhan bersaudara, dorongan
memelihara anak, dan keinginan mendidik anak-anak untuk
menjadi anggota yang baik dalam masyarakat. Bentuk perkawinan
39 Zurneli Zubir,op.cit.,hlm. 132.
24
itu tidak berdasarkan hukum alam melainkan tergantung pada
kebudayaan setempat.
Sementara, Koentjaraningrat memandang perkawinan dari
sudut kebudayaan manusia, menyebutkan bahwa perkawinan
merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut
dengan kehidupan seksnya, ialah kelakuan-kelakuan seks,
terutama persetubuhan. Perkawinan menyebabkan seorang laki-
laki dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan
sembarang perempuan lain, tetapi hanya dengan satu atau
beberapa perempuan tertentu dalam masyarakatnya.
Adat perkawinan Minangkabau yang menggunakan sistem
eksogami, mengharuskan seseorang mencari jodoh diluar
lingkungan sosial, kerabat, golongan sosial, atau lingkungan
pemukiman. Dalam masyarakat Minangkabau, mencari jodoh ke
luar lingkungan kerabat matrilineal. Sistem ini tidak mengenal
pembayaran “jujur” atau “kawin jujur” seperti di Tapanuli. Seorang
yang telah berumah tangga tetap menjadi kerabat asalnya. Suami
dirumah istri disebut “urang sumando” (semenda) dan tidak
masuk ke dalam kerabat anak-anaknya. Pada saat perkawinan,
25
suami dijemput oleh keluarga perempuan dengan upacara adat
untuk kemudian dibawa ke rumah istri. 40
Perkawinan merupakan salah satu bentuk aplikasi adat
dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Menyimak tambo
yang dipercayai sebagai awal pembentukan adat yang berkembang
dan dikembangkan di masyarakat Minangkabau, maka aturan-
aturan berkenaan dengan perkawinan memang tidak diceritakan
dengan jelas. Dalam cerita tambo tidak pernah mengungkap
bagaimana perkawinan yang seharusnya di masyarakat
Minangkabau.41 Sistem eksogami yang dipakai dalam adat
perkawinan Minangkabau menjadikan perkawinan sebagai urusan
komunal. Mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan,
pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai kepada akibat-
akibat perkawinan itu sendiri. sesuai kebersamaan sebagai ciri
khas komunal, maka rumah tangga selain urusan yang sangat
pribadi menjadi urusan bersama pula.
Perubahan yang terjadi dalam adat perkawinan merupakan
pengaruh dari modernitas yang masuk dalam kehidupan
40 Yaswirman, Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek
Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau (Yogyakarta: Grafindo Persada, 2013), hlm. 130-134.
41 Zainal Arifin, “Dualisme Praktik Perkawinan di Dua Nagari
Minangkabau, Disertasi (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM,
2008), hlm. 5.
26
masyarakat Minangkabau pada awal abad ke-20. Sebagaimana
ditulis oleh Jurgen Habermas dalam The Philosophical Discourse of
Modernity, modernitas lahir berdasarkan keinginan untuk
membedakan atau menjauhkan zaman sekarang dengan zaman
yang sudah lewat. Modernitas sebagai sebuah ide-ide untuk
menjadikan manusia bisa melampaui sejarah sendiri. Dengan kata
lain, modernitas ingin menaklukan apa yang tidak bisa ditaklukan
manusia sebelumnya.42 Sedangkan Inkeles menyatakan bahwa
modernitas adalah sebuah kesiapan menerima pengalaman baru
dan terbuka terhadap inovasi dan perubahan.
Taufik Abdullah melihat modernitas adalah sebuah proses
penyesuaian kepada lingkungan yang baru untuk mendorong
masyarakat melihat kebudayaannya sendiri. Walaupun,
modernisasi digerakkan oleh keinginan dalam ataupun tekanan
dari luar atau keduanya yang mana kelihatannya sebagai jalan
keluar dari jalan buntu yang diciptakan oleh perjuangan yang
susah payah, tetap harus dibatasi dengan jelas. Penyesuaian
masyarakat Minangkabau dengan keadaan keliling yang baru
tidak hanya ketegangan antara tradisi dan modernisasi,
42 Karen W.Washburn, ”Jilbab, Kesadaran Identitas Post
Kolonial dan Aksi Perempuan Jawa” dalam Monika Eviandaru,
dkk., Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global
(Kanisius: Yogyakarta, 2001), hlm. 111.
27
kontinuitas dan perubahan, tetapi lebih penting adalah sikap-
sikap baru terhadap tradisi itu sendiri dan penyelidikan untuk
satu dasar yang sesuai untuk modernisasi, kontinuitas dan
perubahan.43
Modernitas yang masuk dalam masyarakat Minangkabau
pastinya ada sisi negatif dan positifnya. Sebagian masyarakat
Minangkabau yang belum siap menerima perubahan menjadi
korban dari modernitas yang berkembang. Tetapi disisi lain
modernitas juga dapat dilihat dari sisi positif, yaitu melahirkan
perempuan elite Minangkabau yang muncul sebagai “agen
perubahan” dalam hal adat perkawinan.
Mereka menjadi penggerak dan pelopor dalam menyuarakan
ketidakadilan dalam adat perkawinan yang telah mengekang
kehidupan perempuan Minangkabau. Melalui perkumpulan,
pergerakan dan tulisan dalam suratkabar perempuan tampil di
depan publik. Bahwa perlunya pembaharuan dalam sistem adat
yang selama ini ada. Aturan-aturan dalam adat perkawinan mulai
melunak dan menyesuaikan dengan kemajuan masyarakat.
Seperti larangan kawin se-suku diperlakukan pada lingkungan
keluarga yang sangat terbatas saja. Selain itu, perubahan adat
43 Taufik Abdullah, “Modernization in Minangkabau :West
Sumatra in the early Decades of the Twentieeth Century” dalam buku Claire Holt, Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornel
University Press, 1972),hlm. 179.
28
perkawinan juga ditandai dengan diberlakukannya undang-
undang perkawinan. Untuk menjaga kaum perempuan
Minangkabau dari kebiasaan-kebiasaan poligami dan perceraian
yang seringkali terjadi pada masyarakat Minangkabau.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang
di dapat dari sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber visual.
Sumber tertulis (literacy) didapatkan dari catatan arsip, majalah,
surat kabar, buku-buku teks, skripsi, tesis, disertasi, jurnal
ilmiah, dan novel.
Pada tahap awal penelitian, penulis melakukan pencarian
data di ANRI, Jakarta, namun tidak banyak yang ditemukan
mengenai perempuan Minangkabau. Penulis hanya menemukan
beberapa foto perempuan Minangkabau dalam pakaian adat. Di
Perpusnas, Jakarta, penulis menemukan cukup banyak surat
kabar dan majalah yang terbit di Sumatera Barat. Surat kabar ini
dapat dikelompokkan menurut bahasannya, mengenai ekonomi,
agama, adat, pergerakan, dan kemajuan. Nagari dalam cakupan
kecilpun juga telah memiliki surat kabar: Barito Koto Gadang,
Berita Banoehampoe, dan Berita Koerai. Surat kabar untuk kaum
perempuan pun juga mulai menggeliat: Soenting Melajoe, Sarikat
Kaom Iboe Soematera, dan majalah Alsjarq. Tak hanya terbit di
29
Sumatera Barat, beberapa surat kabar seperti Soeara
Minangkabau diterbitkan di Batavia oleh para perantau
Minangkabau. Sayangnya, beberapa tulisan dalam surat kabar
terbitan tahun ini banyak yang menggunakan nama pena sebagai
nama pengenalnya. Sehingga sulit untuk melacak siapa nama
penulis aslinya.
Beberapa sumber tertulis seperti buku, jurnal ilmiah, dan
laporan penelitian, penulis peroleh di Perpustakaan Daerah
Sumatera Barat, walaupun hal ini tidak banyak karena
banyaknya buku-buku lama yang hilang akibat gempa yang
mengguncang Sumatera Barat tahun 2009. Selain itu juga
diperoleh di perpustakaan Fakultas Sastra Unand dan
Perpustakaan Balai Bahasa Padang. Penelusuran ke daerah-
daerah yang kiranya bisa mendapatkan sumber penelitian juga
penulis lakukan. Koto Gadang merupakan nagari yang penulis
kunjungi untuk mencari informasi dan data mengenai
perkembangan kehidupan perempuan Minangkabau, karena Koto
Gadang merupakan salah satu nagari kecil yang maju dalam
pendidikan. Beberapa tokoh pergerakan banyak yang berasal dari
nagari ini.
Penelitian pustaka berupa tesis, disertasi juga penulis
peroleh di Perpustakaan Pusat UGM dan Perpustakaan Fakultas
Ilmu Budaya UGM. Volkstelling mengenai data penduduk
30
Sumatera Barat pada masa kolonial dan Staadsblad yang
berhubungan dengan masyarakat Minangkabau yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Selain sumber tulisan, penelitian ini juga didukung dengan
penelitian visual berupa film-film pendek menggambarkan
suasana kehidupan Minangkabau pada masa kolonial. Penelitian
lisan (oral history) melalui wawancara juga dilakukan untuk
mengungkap pengalaman perempuan-perempaun Minangkabau.
Hal ini guna membantu mendokumentasikan aspek-aspek
tertentu dari pengalaman sejarah yang cenderung hilang dari
sumber lainnya. 44 Walaupun kemungkinan besar, para informan
yang hidup pada masa ini jumlahnya tidak banyak, tetapi akan
sangat dibutuhkan guna menunjang keakuratan sumber.
Informasi lewat saksi hidup yang menceritakan kembali masa
lalunya akan menjadi hal yang menarik.
G. Sistematika Penulisan
Agar tesis ini runut dan mudah dipahami, maka penulis
membagi tulisan ini dalam 6 bab yang disusun secara sistematis.
Sebagai pengantar, bab I merupakan pintu masuk yang
44 Bambang Purwanto, “Sejarah Lisan dan Upaya Mencari
Format Baru Historiografi Indonesiasentris” dalam buku dari Samudera Pasai ke Yogyakarta Persembahan kepada Tengku Ibrahim Alfian (Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia,
2002), hlm. 52.
31
memberikan gambaran mengenai Perubahan adat perkawinan
Minangkabau pada awal abad ke-20. Bab ini menghadirkan fakta-
fakta tentang perkawinan sebagai salah satu bagian kehidupan
penting dalam masyarakat Minangkabau.
Selanjutnya, masyarakat Minangkabau dan daya tahan
adat istiadatnya diuraikan pada bab II. Bab ini merupakan
landasan pembahasan pada bab-bab selanjutnya karena
memberikan gambaran awal mengenai alam Minangkabau dan
masyarakatnya, sistem matrilineal yang masih dijalankan oleh
masyarakat serta aturan adat dan hukum kolonial yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau.
Bab III membahas kehidupan perempuan Minangkabau
pada awal abad ke-20 yang telah mengalami kemajuan.
Bagaimana perempuan Minangkabau mulai keluar dari sekat-
sekat yang selama ini membatasi mereka. Bab IV membahas
perempuan dan perubahan adat perkawinan dalam keluarga
Minangkabau. Adat perkawinan yang selama ini dijalankan oleh
masyarakat mulai mendapat pertentangan-pertentangan karena
dirasa tidak sesuai lagi.
Pada bab V membahas keluarga Minangkabau pada awal
abad ke-20 ditengah perubahan adat perkawinan. Bagaimana
perkawinan mempengaruhi perubahan keluarga Minangkabau,
dan apa saja bentuk perubahannya. Di akhir bab akan ditutup
32
dengan kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan
yang diajukan.