43
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang merupakan suatu kesatuan dari unsur-unsur yang membentuknya, yaitu rakyat, wilayah dan pemerintahan yang berdaulat. Rakyat yang terdiri atas berbagai macam etnis suku bangsa, golongan, kebudayaan, serta agama, sedangkan wilayahnya terdiri atas ribuan pulau. 1 Sebagai bangsa yang memiliki kemajemukan yang terbentuk dari berbagai macam suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama yang merupakan suatu kesatuan. Negara Indonesia memiliki ciri khas yang membedakannya dengan negara-negara lain di dunia. Ciri khas tersebut yakni nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan, serta nilai religius. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan menjadi kepribadian bangsa inilah yang kemudian dikristalisasikan dalam sistem nilai yang disebut Pancasila. Oleh karena itu Pancasila disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Pancasila tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945). Segala peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang tertinggi dalam Negara 1 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 124

BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id 1.pdfdari segala sumber hukum di Indonesia. Pancasila tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara yang merupakan suatu kesatuan dari

unsur-unsur yang membentuknya, yaitu rakyat, wilayah dan pemerintahan yang

berdaulat. Rakyat yang terdiri atas berbagai macam etnis suku bangsa, golongan,

kebudayaan, serta agama, sedangkan wilayahnya terdiri atas ribuan pulau.1

Sebagai bangsa yang memiliki kemajemukan yang terbentuk dari berbagai macam

suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama yang merupakan

suatu kesatuan.

Negara Indonesia memiliki ciri khas yang membedakannya dengan

negara-negara lain di dunia. Ciri khas tersebut yakni nilai-nilai adat-istiadat

kebudayaan, serta nilai religius. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan

menjadi kepribadian bangsa inilah yang kemudian dikristalisasikan dalam sistem

nilai yang disebut Pancasila. Oleh karena itu Pancasila disebut sebagai sumber

dari segala sumber hukum di Indonesia.

Pancasila tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945).

Segala peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 tidak boleh

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945

tersebut. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang tertinggi dalam Negara

1 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 124

2

yang menjadi dasar dalam penyelenggara pemerintahan, baik pemerintahan yang

berada di pusat maupun pemerintahan yang berada di daerah.

Bergulirnya reformasi di Indonesia menimbulkan dampak dari segi

ketatanegaraan dan politik. Dampak tersebut ditandai dengan adanya perubahan

sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan sentralistik mengarah pada sistem

pemerintahan desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 55877

(Selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah) Pasal 1 angka 8 yang menyatakan bahwa desentralisasi adalah

penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom

berdasarkan asas otonomi. Pemerintah Daerah dalam sistem pemerintahan

desentralisasi ini menyelenggarakan sendiri pemerintahan atas dasar prakarsa,

kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan dan

membangun daerahnya.2 Hal ini menunjukkan adanya pemberian keleluasaan

kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan aspirasi masyarakat dan potensi wilayahnya.

Sistem pemerintahan desentralisasi ini merupakan penyelenggaraan

pemerintahan yang dititikberatkan kepada daerah kabupaten/kota sehingga daerah

kabupaten/kota memiliki keleluasaan untuk mengelola rumah tangga daerahnya

dengan prinsip otonomi daerah.3 Keleluasaan untuk mengelola rumah tangganya

2 Syaiful Rahman, 2004, Pembangunan dan Otonomi Daerah, Yayasan Pancur Siwah,

Jakarta, h. 103 3 Juanda, 2004, Hukum Pemerinthan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan

Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, h. 58

3

sendiri juga dimiliki oleh pemerintah desa yang merupakan pemerintahan terkecil

di Indonesia.

Pengakuan terhadap desa ini telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

Undang-Undang”.

Penyebutan kata Desa di Bali tidak hanya dimaksud Desa Dinas atau Desa

Adat saja, melainkan kedua Desa tersebut merupakan Desa yang terdapat di Bali.

Oleh karena itu, Bali memiliki dua jenis Desa yaitu Desa Dinas dan Desa Adat

yang kedua Desa ini masih berjalan beriringan sampai saat ini, terdapatnya dua

jenis Desa di Bali inilah yang disebut sebagai dualisme pemakaian kata Desa.

Sehingga penyebutan kata Desa di Bali memiliki makna Desa Dinas dan juga

Desa Adat.

Desa di Bali merupakan pemerintahan di bawah kabupaten/kota.

Pemerintahan Desa di Bali memiliki otonomi yaitu otonomi desa, bukan otonomi

formal seperti yang dimiliki pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, tapi

otonomi berdasarkan asal-usul dan adat istiadat.4 Pengakuan terhadap otonomi

Desa di Bali ini adalah dari adanya hak asal-usul Desa, karena Desa di Bali telah

ada sejak sebelum Negara Indonesia terbentuk. Oleh karena itu dianggap wajar

apabila adanya pengakuan terhadap otonomi Desa itu sendiri.

4 Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

Erlangga, Jakarta, h.65.

4

Di Bali dalam satu wilayah Desa terdapat dua jenis Desa, yaitu Desa Dinas

dan Desa Adat. Desa Dinas maupun Desa Adat di Bali memiliki fungsi yang

berbeda-beda. Desa Dinas menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan,

sedangkan Desa Adat menjalankan fungsi penyelenggaraan urusan adat dan

agama. Pengakuan terhadap Desa Adat dan Desa Dinas ini selanjutnya diperkuat

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lebaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5495. Dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa “Desa

adalah Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya

disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah

yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau

hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Desa Dinas

maupun Desa Adat di Bali sama-sama diakui sebagai Desa yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisionalnya,

sehingga Desa Dinas dan Desa Adat memiliki kewenangan yang sama.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini merupakan

Undang-Undang pertama tentang Desa yang didalamnya mengatur tentang Desa

Adat. Pengaturan tentang Desa Adat diatur secara khusus yaitu diatur dalam BAB

XIII yang berjudul Ketentuan Khusus Desa Adat. Suatu Desa untuk dapat

5

dikatakan sebagai Desa Adat, harus memenuhi syarat-syarat yang dinyatakan

dalam Pasal 97 ayat (1) yaitu:

Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat :

a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, geneologis, maupun yang bersifat fungsional;

b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masuknya ketentuan yang mengatur tentang Desa Adat dalam Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini memberikan pemahaman bahwa

Desa Adat dan Desa Dinas secara bersama-sama diakui keberadaannya dalam

sistem pemerintahan desa. Desa Adat dan Desa Dinas memiliki hak dan

kewajibannya masing-masing dalam menjalankan pemerintahan desa yang

merupakan pemerintahan terkecil yang menjadi dasar dari pemerintahan di

Indonesia.

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa ini, Desa Adat dan Desa Dinas sudah ada, dan berjalan beriringan tanpa ada

masalah dan tidak ada tumpang tindih kewenangan. Desa Dinas maupun Desa

Adat di Bali selaras menjalankan fungsinya masing-masing, Desa Dinas

menjalankan penyelenggaraan pemerintahan sedangkan Desa Adat menjalankan

urusan adat dan agama. Fungsi dari masing-masing Desa ini tidak dapat di ambil

alih oleh satu sama lain.

Berjalannya Desa Adat dan Desa Dinas di Bali secara beriringan tanpa

adanya tumpang tindih kewenangan, setelah munculnya Undang-Undang Nomor

6

6 Tahun 2014 tentang Desa membuat Pemerintah Provinsi Bali menjadi bingung

dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat bahwa dalam

Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa ini mengharuskan untuk memilih antara

Desa Dinas atau Desa Adat. Apabila keharusan untuk memilih salah satu Desa ini

dilakukan tentu terjadi permasalahan dalam pelaksanaan pemerintahan desa di

Bali.

Permasalahan di atas berawal dari pengaturan Pasal 6 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa “Desa terdiri

atas Desa dan Desa Adat” dan penjelasan dari Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “untuk mencegah terjadinya tumpang tindih

wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1

(satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat.

Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1

(satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini”.

Dari pemaparan diatas terjadinya kekaburan norma. Kekaburan norma

tersebut terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, hal terjadi karena dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa mengakui adanya dua Desa, yaitu Desa Adat dan Desa Dinas,

namun dalam penjelasan dari Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa menerangkan antara Desa Adat dan Desa Dinas harus dipilih salah

satu dari Desa.

7

Kekaburan norma ini juga nampak dalam pemahaman berbagai kalangan

masyarakat, politisi, maupun para akademisi. Hal ini nampak dalam berbagai

media cetak, baliho, maupun seminar-seminar yang diadakan perguruan tinggi.

Seperti dalam seminar nasional yang diadakan pada Tanggal 28 Juni 2014 yang

bertema “Kedudukan Desa Adat dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, dalam

makalah yang dibuat oleh Ida I Dewa Gede Ngurah Swastha, mengenai

Pandangan Majelis Utama Desa Pakraman terhadap Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa, menyatakan bahwa sikap dan langkah majelis Desa

Pakraman terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu :

1. Mendukung sepenuhnya penetapan Desa Adat dan Desa Dinas sekaligus, seperti yang telah ada saat ini.

2. Mendukung langkah hukum Yudicial Review. 3. Mendukung sepenuhnya perjuangan kekhususan Bali. 4. Sebagai antisipasi kegagalan 1, 2, dan 3 diatas, mau tidak mau, suka

tidak suka, Desa Adat (Desa Pakraman) harus ditetapkan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.

5. Keberadaan dan kehidupan dan Legitimasi Desa Adat (Desa Pakraman) adalah harga mati bagi Bali, bagi majelis Desa Pakraman.

Adapun beberapa pendapat lain, misalnya I Wayan Koster yang

menyatakan bahwa dari pembahasan yang berjalan telah mengerucut pilihan

mendaftarkan Desa Adat ke pusat5. Hal serupa juga di jumpai dalam baliho-baliho

yang dibuat oleh Arya Wedakarna yang mengajak masyarakat untuk lebih

memilih Desa Adat. Sementara kalangan perbekel dan lurah di berbagai

Kabupaten/Kota di Provinsi Bali lebih memilih mendaftarkan Desa Dinas6.

5Wayan Koster; 2014. Dewan Wacanakan Pansus UU Desa. Nusa Bali, Tgl. 13 Oktober,

Halamang 15, Kolom 4. 6Ida Bagus Alit Negara; 2014. Terkait Pilihan Dilematis Dalam UU Desa, Para Perbekel

Pilih Desa Dinas. Nusa Bali, Tgl, 23 Oktober, Halaman 1, Kolom 1.

8

Sedangkan Prof Pasek Diantha menyatakan bahwa Bali tidak usah memilih karena

tidak terjadi tumpang tindih.7

Dari hal tersebut diatas dapat penulis amati bahwa adanya kebingungan

yang diakibatkan oleh kekaburan norma dalam menafsirkan maksud dari Pasal 6

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, apakah memilih Desa Adat, Desa Dinas

atau apabila dimungkinkan memilih kedua jenis Desa tersebut. Hal ini tentu saja

berawal dari kekaburan yang terjadi dalam Pasal 6 serta penjelasan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dari uraian latar belakang tersebut, maka pengkajian kedudukan Desa

Dinas di Bali menjadi menarik untuk diteliti. Oleh karena itu menarik untuk

dilakukan kajian berupa Tesis dengan judul “Kedudukan Desa di Bali Setelah

Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa”.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk

memudahkan penulis dalam membatasi masalah yang diteliti sehingga sasaran

yang hendak dicapai menjadi jelas, searah dan dapat mencapai sasaran yang

diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapatlah dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1). Bagaimanakah keuntungan dan kerugian memilih Desa Adat di Bali

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa?

7 Pasek Diantha; 2014. Hukum Adat. Bali Post, Tgl. 13 Oktober, Halaman 23, Kolom 3

9

2). Bagaimanakah keuntungan dan kerugian memilih Desa Dinas di Bali

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa?

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Maksud dari ruang lingkup masalah dalam penulisan ini, merupakan

bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit

permasalahan, dan membatasi area penelitian dan umumnya digunakan untuk

mempersempit pembahasan, yaitu hanya sebatas pada permasalahan yang sudah

ditetapkan.8

Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam tesis ini pada hakekatnya

berkaitan dengan :

1. Terhadap permasalahan pertama ruang lingkupnya meliputi keuntungan

dan kerugian memilih Desa Adat setelah berlakunya Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

2. Terhadap permasalahan kedua ruang lingkupnya meliputi keuntungan dan

kerugian memilih Desa Dinas setelah berlakunya Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 tentang Desa.

1.4. Tujuan Penelitian

Setiap penulisan karya ilmiah akan mempunyai suatu tujuan yang akan

memberikan arah yang jelas bagi kegiatan penelitian bersangkutan. Adapun tujuan

dari penulisan ini dibedakan atas tujuan umum dan khusus sebagai berikut :

8 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 114

10

1.4.1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan

ilmu hukum terkait dan memperluas wawasan pengetahuan sehingga dapat

memahami, khususnya Hukum Pemerintahan Desa dan Hukum Pemerintahan

Daerah. Selain hal tersebut diatas, penelitian ini bertujuan untuk memahami

tentang Kedudukan Desa di Bali setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa.

1.4.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan pada permasalahan hukum yang dibahas, dapat dikemukakan

tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis keuntungan dan kerugian memilih

Desa Adat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa.

2. Serta mengkaji dan menganalisis keuntungan dan kerugian memilih

Desa Dinas setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa.

1.5.Manfaat Penelitian

Mengenai manfaat yang diharapkan dapat dibedakan atas manfaat teoretis

dan manfaat praktis.

1.5.1. Manfaat Teoretis

Adapun manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk pengembangan

ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Pemerintahan Daerah dan Hukum

11

Pemerintahan Desa terkait dengan kedudukan Desa di Bali setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini di harapkan memberikan kontribusi

sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat hasil penelitian ini akan memberikan wawasan

mengenai kedudukan Desa di Bali setelah berlakunya Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

2. Bagi aparatur dan masyarakat Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, hasil

penelitian ini diharapkan memberikan informasi terkait dengan

kedudukannya setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa.

3. Bagi penulis sendiri di samping untuk memenuhi prasyarat agar dapat

meraih gelar Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana

Universitas Udayana hasil penelitian ini diharapkan juga dapat

menambah wawasan penulis terkait dengan kedudukan Desa Dinas di

Bali setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Permasalahan mengenai Desa Adat dan Desa Dinas telah dibahas dalam

beberapa penelitian, namun penelitian yang berjudul sebagaimana yang

disebutkan di atas, belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, sebagaimana

dapat disimak dari hasil penelusuran yang terkait sebagai berikut :

12

1. Tesis milik Abdul Rahman Lubis, pada Program Pascasarjana

Universitas Indonesia yang berjudul Pengaruh Kebijakan Tentang

Pemerintahan Desa Terhadap Sistem Pemerintahan di Desa-Desa Adat

disusun pada tahun 2012. Rumusan masalah yang terdapat dalam

penelitian ini yaitu :

1). Bagaimana bentuk kebijakan pemerintahan Desa dan Desa Adat

di Indonesia?

2). Apakah pengaruh kebijakan nasional di bidang pemerintahan

desa berpengaruh pada keberadaan/eksistensi dan bentuk tata

pemerintahan Desa Adat?

Dalam hasil penelitian ini disimpulkan, terkait dengan desa-desa

tersebut untuk mengatur dan menata tentang Desa dan

pemerintahannya, pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai

kebijakan walaupun dalam keadaan tidak adanya satupun kebijakan

yang spesifik mengatur tentang Desa Adat namun semua kebijakan

tentang Desa akan selalu mengatur tentang Desa Adat juga. Terhadap

berbagai kebijakan dalam ranah pemerintahan Desa menyebabkan

adanya beberapa hal penting yang berubah dalam desa-desa adat, yaitu

pertama, Desa yang pada mulanya merupakan Desa Adat semakin

terdesak karena masyarakat Desa Adat dan pemerintahannya dituntut

untuk menerima modernisasi birokrasi terhadap desa-desa adat,

sehingga sifat adat dan hukum adat yang supel mengalami

transformasi. Kedua, terjadi perubahan terhadap Desa Adat yang pada

13

mulanya merupakan Desa Adat berubah menjadi beberapa tipe desa,

seperti Desa Adat, Desa Administratif, Desa Otonom, dan Desa

Campuran.

2. Tesis milik I Made Suparta, mahasiswa Program Pascasarjana

Universitas Udayana dalam tesis yang berjudul Sinkronisasi Desa

Pakraman dan Desa Dinas Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Desa di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali disusun pada tahun

2005. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu :

1). Apakah pemahaman Desa menurut Perda Nomor 7 Tahun 2002

telah sinkrun dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

khususnya tekait Pembentukan Desa dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Desa di Kabupaten Karangasem?

2).Apa Kendala-kendala yang di hadapi Pemerintah Kabupaten

Karangasem dalam Sinkronisasi Desa Pakraman dan Desa

Dinas?

Kesimpulan dari penelitian ini, bahwa Perda Kabupaten Karangasem

Nomor 7 Tahun 2002 tidak sinkron atau tidak serasi dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena

hanya mengatur atau menetapkan pedoman umum pembentukan desa

baru dari pemekaran desa yang ada (lama) dan tidak menetapkan

Desa Pakraman sebagai Desa untuk menyelenggarakan Pemerintahan

Desa di Kabupaten Karangasem, maka Perda Kabupaten Karangasem

Nomor 7 Tahun 2002 perlu ditinjau guna disesaikan dengan Undang-

14

Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta sesuai hasil kajian secara tegas

menetapkan Desa hasil sinkronisasi atau Desa Pakraman sebagai Desa

untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa di Kabupaten

Karangasem. Dalam sinkronisasi Desa Pakraman dan Desa Dinas,

Pemerintah Kabupaten Karangasem dihadapkan kendala-kendala,

yaitu kendala teknis yuridis dan kendala yuridis. Kendala teknis

yuridis yaitu pertama,siapa yang berwenang dan sekaligus sebagai

pemerakarsa dalam sinkronisasi kedua Desa dimaksud. Kedua,

bagaimana melakukan sinkronisasi Desa Pakraman dan Desa Dinas

terhadap Desa Pakraman yang kecil-kecil yang tidak lebih dari

persyaratan Banjar Pakraman, serta Desa Pakraman yang ada wilayah

Kelurahan. Ketiga, tidak adanya kemauan ataupun keberaniannya

Pemerintah Kabupaten Karangasem dalam sinkronisasi Desa

Pakraman dan Desa Dinas dengan menetapkan Perda tentang Desa

Pakraman untuk menyelenggarakan pemerintahan desa di Kabupaten

Karangasem. Keempat, sulitnya mensinkronkan struktur perangkat

Desa kedua Desa dimaksud

3. Tesis milik Nengah Suharta, mahasiswa Program Pascasarjana

Universitas Udayana dalam tesis yang berjudul Penyelenggaraan

Pemerintahan Desa Dinas di Provinsi Bali disusun pada tahun 2011.

Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu :

1). Bagaimana pengaturan tentang pemerintahan Desa Dinas di

Provinsi Bali?

15

2). Kewenangan apakah yang di miliki oleh pemerintahan Desa

Dinas di Provinsi Bali?

Hasil penelitian ini menyimpulkan, bahwa penyelenggaraan

pemerintahan desa dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Desa Dinas atau

Desa Administratif. Hal tersebut diperjelas lagi tentang posisi Desa

sebagai Desa administrasi dengan dikeluarkannya kebijakan

Pemerintah, bahwa pengisian formasi jabatan sekretaris desa dari

unsur pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Pemerintah

Desa Dinas dalam pengaturannya diselenggarakan pada peraturan-

peraturan yang lebih tinggi dari pada yang diamanatkan oleh undang-

undang dan dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi

kewenangannya adalah berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas

pembantuan, sehingga yang bertanggung jawab terhadap

Pemerintahan Desa adalah Pemerintah Kabupaten/Kota. Urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa, dalam Pasal 206

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

tentang Desa, yang pengaturannya diserahkan kepada Desa dengan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berpedoman pada Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tatacara

Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa. Hal

tersebut tidak dilaksanakan pemerintahan desa di Provinsi Bali, sebab

16

perda yang mengaturnya justru tentang tugas, wewenang, kewajiban

dan hak Kepala Desa.

4. Tesis milik Nyoman Purnamawati, mahasiswi Program Pascasarjana

Universitas Udayana yang berjudul Implementasi Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Dalam

Pengembangan Otonomi Desa di Kabupaten Bangli, disusun pada

tahun 2011. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini

yaitu :

1). Apakah implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun

2005 tentang Desa dapat mewujudkan pengembangan otonomi

desa?

2). Bagaimanakah implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 72

Tahun 2005 tentang Desa dalam pengembangan otonomi desa di

Kabupaten Bangli?

Dalam penelitian ini disimpulkan, bahwa implementasi Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa untuk mewujudkan

pengembangan Otonomi Desa dilakukan dengan implementasi

pengaturan dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati berkaitan

dengan materi muatan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.

Sehingga manakala implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor

72 Tahun 2005 tentang Desa full implemented maka pengembangan

Otonomi Desa menuju desa yang mandiri dapat tercapai.

Pengembangan otonomi desa dilakukan dengan cara bertahap

17

membagi kewenangan dan keuangan kepada Desa. Implementasi

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa di

Kabupaten Bangli dalam hal pembentukan Peraturan Pelaksana di

tingkat Kabupaten belum optimal. Dari 20 Peraturan Pelaksana yang

diamanatkan, baru terbentuk 13 Peraturan Pelaksana.

5. Tesis milik Anak Agung Gede Geriya, mahasiswa Program

Pascasarjana Universitas Udayana yang berjudul Kewenangan

Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pembentukan Peraturan Daerah

tentang Desa Pakraman, disusun pada tahun 2006. Rumusan masalah

yang terdapat dalam penelitian ini yaitu :

1). Apakah Pemerintah Provinsi Bali mempunyai kewenangan

dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Desa Pakraman?

2). Bagaimanakah implikasi yang ditimbulkan Peraturan Daerah

tentang Desa Pakraman terhadap keberadaan Desa di Bali?

Disimpulkan dalam hasil penelitian ini, kewenangan Pemerintah

Provinsi Bali untuk membentuk Peraturan Daerah Desa Pakraman

dalam Peraturan Perundang-undangan, tidak secara jelas dan tegas

disebutkan. Dasar pembentukan Peraturan Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2001 tentang Desa Pakraman lebih ditekankan pada

kewenangan pilihan dan pola kebudayaan Bali yang spesifik, dimana

kebudayaan Bali itu sudah dikenal di Manca Negara dan juga adanya

wilayah Desa Pakraman sebagai lintas Kabupaten/Kota. Implikasi

yang ditimbulkan oleh Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001

18

terhadap keberadaan Desa di Bali adalah dengan berlakunya

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, Desa Pakraman semakin

mendapat tempat dan perlindungan hukum. Sehingga keberadaan

Desa Pakraman semakin eksis dan ada suatu pemberdayaan dan

pelestarian dalam melindungi hak-hak yang dimiliki oleh Desa

Pakraman, sedangkan bagi Desa Dinas keberadaannya tidak secara

jelas disebutkan.

1.7. Landasan Teoretis

Dalam setiap penelitian diperlukan landasan teoretis yang berfungsi

mendukung argumentasi hukum yang akhirnya untuk mendapatkan solusi dari

permasalahan yang ada, dan digunakan sebagai penuntun arah dalam

pengumpulan bahan-bahan hukum yang diperlukan. Landasan teori merupakan

teori-teori dan konsep-konsep yang mendukung atau relevan dengan penelitian

yang dibuat. Teori-teori dan konsep-konsep tersebut harus berkaitan langsung

dengan pokok masalahnya dan bermanfaat untuk memberikan analisis terhadap

topik yang dikaji. Beberapa teori dan konsep hukum yang digunakan sebagai

landasan dalam membahas permasalahan ini.

1.7.1. Teori Negara Hukum

Jika dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi, maupun

kedaulatan rakyat istilah Rechtstaat (Negara Hukum) merupakan istilah yang

baru. Para ahli telah memberikan pengertian tentang Negara hukum tersebut. R.

Soepomo misalnya, memberikan pengertian terhadap Negara hukum sebagai

Negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi

19

segala badan dan alat-alat perlengkapan Negara. Negara hukum juga akan

menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan

hukum, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.9 Hukum

merupakan penjelmaan dari pada kemauan Negara. Akan tetapi dalam

keanggotaannya Negara sendiri tunduk kepada hukum yang dibuatnya, hal ini

dinyatakan oleh Leon Duguit.10

Philipus. M. Hadjon merumuskan elemen atau unsur-unsur Negara hukum

Pancasila yang bertitik tolak dari falsafah Pancasila sebagai berikut :

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas

kerukunan;

b. Hubungan fungsional yang professional antara kekuasaan Negara;

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

merupakan sarana terakhir;

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.11

Konsepsi Negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk

menentang absolutisme yang telah melahirkan Negara kekuasaan. Pada pokoknya

kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat

dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan adanya supremasi

hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya,

tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan

9 A. Mukthi Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayu Media dan In-TRANS, Malang, h. 7

10 H. Abu Daud Busroh, 2013, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h.72 11 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum terhadap Rakyat, Bina Ilmu, Surabaya, h. 98

20

undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan

Negara khususnya kekuasaan yudikatif yang dipisahkan dari penguasa.

Di Indonesia sendiri konsep Negara Hukum tertuang dalam Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsepsi Negara Hukum,

dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara

Indonesia adalah Negara hukum”. Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan

bahwa yang harus dijadikan penglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan

adalah hukum.

Menurut Aristoteles konsep negara hukum (Rule of Law) merupakan

pemikiran yang dihadapkan dengan konsep Rule of Man. Dalam modern

constitusional state, salah satu ciri negara hukum ditandai dengan pembatasan

kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara.12 Hadirnya pembatasan

kekuasaan ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman penumpukan semua cabang

kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan

yang absolut.

Di Inggris, ide Negara hukum sudah terlihat dalam pemikiran John

Locke, yang membagi kekuasaan dalam Negara ke dalam tiga kekuasaan, antara

lain dibedakan antara penguasa pembentuk undang-undang dan pelaksana

undang-undang, dan berkait erat dengan konsep rule of law yang berkembang di

inggris pada waktu itu. Di Inggris dikaitkan dengan tugas-tugas hakim dalam

rangka menegakkan rule of law.

12 Saldi Isra, 2013, Pergeseran Fungsi Legislasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.73

21

Di Negara-negara Anglo Saxon penekanan terhadap prinsip persamaan

dihadapkan hukum lebih ditonjolkan, sehingga dipandang tidak perlu

menyediakan sebuah peradilan khusus untuk pejabat administrasi Negara. Prinsip

persamaan dihadapan hukum menghendaki agar prinsip persamaan rakyat dengan

pejabat adminsitrasi Negara, harus juga tercermin dalam lapangan peradilan.

Pejabat administrasi atau pemerintah atau rakyat harus sama-sama tunduk kepada

hukum dan bersamaan kedudukannya dihadapan hukum.

Berbeda dengan Eropa Kontinental yang memasukkan unsur peradilan

administrasi sebagai salah satu unsur Rechtsstaat. Dimasukkannya unsur

peradilan administrasi ke dalam unsur Rechtsstaat, maksudnya untuk memberikan

perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap tindakan pemerintah

yang melanggar hak asasi dalam lapangan administrasi Negara. Kecuali itu

kehadiran peradilan administrasi akan memberikan perlindungan hukum yang

sama kepada administrasi Negara yang bertindak benar dan sesuai dengan hukum.

Dalam Negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama kepada

warga dan pejabat administrasi Negara.

Menurut M. Tahir Azhary, dalam kepustakaan ditemukan lima konsepsi

negara hukum, yakni :13

1. Negara Hukum Nomokrasi Islam yang diterapkan di negara-negara islam.

2. Negara Hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan Rechtstaat.

3. Negara Hukum Rule of Law yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon.

4. Negara Hukum Sosialis yang diterapkan dinegara komunis.

13 Azhary, Muhammad Tahir, 2004, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, h. 78

22

5. Negara Hukum Pancasila.

Menurut Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl ada 4 (empat) unsur

Rechtstaat yaitu :14

1. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

2. Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika Montesquieu

3. Tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang.

4. Adanya peradilan administrasi Negara.

Suatu negara memiliki unsur utama yaitu penduduk, wilayah dan

kekuasaan didefinisikan sebagai tatanan hukum yang relatif sentralistik, yang

dibatasi lingkup keabsahan ruang dan waktunya, yang berdaulan atau hanya

tunduk kepada hukum yang berlaku secara umum.15

Salah satu asas penting Negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari

asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat

administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang,

badan/pejabat administrasi Negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan

yang dapat mengubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.

Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan

Negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang

dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan lebih

banyak memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan Negara hukum menuntut

agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada

14 Ibrahim R, 2010, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam

Hukum Nasional: Permasalahan Teoritik dan Praktek, Universitas Udayana, Denpasar, h. 4 15 Hans Kelsen, 2013, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa

Media, Bandung, h. 320

23

undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang

tertuang dalam undang-undang.16 Dalam Negara hukum, hukumlah yang

memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan Negara. Sesungguhnya,

yang memimpin dalam penyelenggaraan Negara adalah hukum itu sendiri.

Dalam paham Negara hukum yang demikian, harus dibuat jaminan bahwa

hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.

Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri, pada

dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip Negara hukum

hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau

kedaulatan rakyat.

Prinsip Negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan

prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia. Oleh karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan

berada ditangan rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar yang

diimbangi dengan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang

berkedaulatan rakyat.17

Relevansi Teori Negara Hukum terhadap permasalahan yang diangkat

adalah dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus berdasarkan

atas hukum yang berlaku, hal ini juga berlaku dalam penyelenggaraan

pemerintahan di desa yang tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku

di Negara Indonesia sebagai negara yang menganut paham Negara Hukum.

16 Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press, h. 68 17 Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 56

24

1.7.2. Teori Kewenangan

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan

dalam lapangan hukum publik. Namun ada perbedaan diantara keduanya.

Kewenangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari atau yang

diberikan oleh undang-undang, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif

atau administratif. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu

tindakan hukum publik.18 Menurut S.F.Marbun wewenang adalah kemampuan

untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah

kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk

melakukan hubungan-hubungan hukum.19

Didalam hukum publik konsep wewenang berkaitan erat dengan

kekuasaan, namun menurut Bagir Manan wewenang tidak sama dengan

kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak

berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Hak berisi

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau

menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban

memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.20

Menurut H.D. Van Wijk wewenang pemerintah diperoleh dengan tiga cara

sebagai berikut21 :

a. Atributie : toekenning van een bestuurs bevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan;

18 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, h.271 19 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, h.50 20 Ibid

21 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Culenborg, Uitgeverij LEMMA BV, h.56

25

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander;

c. Mandat : een bestuursorgaanlaat zijn bevoegheid nomens hues uitoefenen door een ander.

Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-

undang kepada suatu organ atau badan pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ

pemerintahan lainnya. Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan

mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Sedangkan cara memperoleh kewenangan menurut F.A.M Stroink dan J.G

Steenbeek melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi dan delegasi. Atribusi adalah

berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi adalah

menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang telah ada. Untuk

wewenang mandat dikatakan tidak terjadi perubahan wewenang apapun, yang ada

hanyalah hubungan internal.22

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek,

menurut J.G Brouwer dan E.A Schilder kewenangan juga diperoleh dengan tiga

cara yaitu secara atribusi, delegasi dan mandat. Seperti yang dikutip sebagai

berikut :23

a. With attribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previciously existing power. The legislative body creates independent and previously non-existent powers and assigns them to an authority.

b. Deligation is a transfer for an acquired attribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that the acquired the power) can exercise power in its own name.

22 Ibid, h.59

23 J.G, Brouwer, dan E.A. Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aequi Libri, Nijmegen, h. 6

26

c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (Mandan) assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.

Kewenangan atribusi adalah kewenangan yang diberikan kepada suatu

organ pemerintahan oleh badan legislative yang independen. Kewenangan ini

adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.

Kewenangan delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari instansi

pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (yang telah diberi

kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut. Kewenangan mandate, tidak

ada suatu pemindahan, akan tetapi pemberi mandate memberikan wewenang

kepada organ lain untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas

namanya.

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar

penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, khususnya dalam Negara hukum.

Asas legalitas ini didalam hukum administrasi mengandung makna, pemerintah

tunduk kepada undang-undang dan semua ketentuan yang mengikat warga

Negara harus didasarkan pada undang-undang. Oleh karena itu asas legalitas

sebagai landasan kewenangan pemerintah.

Dilihat dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa secara

teoretis pemerintah memperoleh wewenang melalui tiga cara yakni wewenang

atribusi, wewenang delegasi, dan wewenang mandat. Wewenang atribusi adalah

wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan.

Sedangkan wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh atas dasar

27

adanya pelimpahan wewenang. Serta wewenang mandat adalah pelimpahan

wewenang yang ada pada umumnya dalam hubungan antara atasan dan bawahan.

Relevansi teori kewenangan terhadap permasalahan yang diangkat adalah

Desa Adat atau Desa Dinas dalam menjalankan tugasnya dapat mengetahui asal

dari kewenangan yang dimiliki untuk menjalankan pemerintahan desa tersebut.

Sehingga aparatur desa dalam menjalankan tugasnya tidak menyimpang dari

aturan-aturan hukum yang menjadi dasarnya.

1.7.3. Teori Penafsiran

Sudah sejak lama, para pakar hukum mengembangkan cara melakukan

penafsiran hukum, ini dilakukan agar dalam memahami maksud dari suatu

peraturan perundang undangan dapat terhindar dari kesalahan atau meminimalisir

kesalahpahaman dalam memahami maksud dari suatu aturan dalam perundang-

undangan.

Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna

suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya.24 Isi dalam peraturan

perundang-undangan kadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang

memiliki lebih dari satu arti. Oleh karena itu penafsiran terhadap peraturan

perundang-undangan itu perlu untuk dilakukan.25

Suatu perundang-undangan seringkali tertinggal dari perkembangan

masyarakat, ini dikarenakan pembuat undang-undang tidak mampu meramalkan

apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, namun suatu peraturan selalu

dituntut untuk mengatur masyarakatnya. Karena inilah maka penafsiran hukum

24 Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, h. 157 25 Pipin Syarifin, 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung, h. 156

28

perlu dilakukan. Penafsiran ini dilakukan dengan menggunakan metode dan

teknik-teknik tertentu yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara

rasional. Metode penafsiran hukum dalam perkembangan ilmu hukum meliputi :26

a. Interpretasi Objektif (Gramatika) yaitu penafsiran bahasa, antara lain dengan melihat definisi leksikalnya.

b. Interpretasi Otentik, yaitu penafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, yang biasanya diletakkan dalam bagian penjelasan, rumusan ketentuan umum, maupun dalam salah satu rumusan pasal lainnya.

c. Interpretasi Teologi (Sosiologis), yaitu penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan.

d. Interpretasi Logis (Sistematis), yaitu penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya.

e. Interpretasi Subyektif (Historis), yaitu penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah undang-undang).

f. Interpretasi Komparatif, yaitu Penafsiran dengan cara membandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan peraturan yang ada pada system hukum lainnya.

g. Interpretasi Futuristis (Antisipatif), yaitu penafsiran dengan mengacu kepada rumusan rancangan undang-undang atau rumusan yang dicita-citakan.

h. Interpretasi Restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan.

i. Interpretasi Ekstensif, yaitu penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan.

Selain penafsiran tersebut di atas, para sarjana juga mengembangkan

pandangan mengenai teori penafsiran dalam studi hukum, yaitu :27

a. Teori Penafsiran Leterlijk, yaitu penafsiran menurut arti katanya. b. Teori penafsiran gramatikal, yaitu interpretasi menurut arti kata dari

teks suatu peraturan perundang-undangan. c. Teori penafsiran historis, yaitu penafsiran sejarah, interpretasi menurut

latar belakang sejarah perumusan suatu teks peraturan perundang-undangan.

d. Teori penafsiran sosiologis, yaitu interpretasi menurut penilaian yuridis dalam keterkaitan kemasyarakatan.

26 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, h. 85-86 27 Ibid, h. 87-88

29

e. Teori penafsiran sosio-historis, yaitu interpretasi berkenaan dengan kaitan kemasyarakatan dari perumusan pasal-pasal peraturan perundang-undangan.

f. Teori penafsiran filosofis, yaitu interpretasi menurut pemikiran filosofis dengan memformulasikan atau perumusan ide-ide dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

g. Teori penafsiran teologis, yaitu interpretasi berkenaan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh rumusan dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan.

h. Teori penafsiran holistic, yaitu interpretasi yang mengaitkan suatu dokumen hukum dengan kaitan atau konteks keseluruhan jiwa dari naskah tersebut.

i. Teori penafsiran tematis-sistematis, yaitu interpretasi menurut tema dirumuskan dalam suatu pasal atau memahami pasal peraturan perundang-undangan secara sisematis sesuai dengan pengelompokan dari perumusan peraturan tersebut.

Relevansi teori penafsiran terhadap permasalahan yang diangkat adalah

dalam menemukan cara untuk digunakan memecahkan permasalahan norma kabur

yang berkaitan dengan kedudukan Desa Dinas di Bali setelah berlakunya Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

1.7.4. Teori ROCCIPI

Dalam penerapan suatu peraturan perundang-undangan, selain peraturan

tersebut harus baik dan juga dilaksanakan oleh aparatur pemerintah yang baik,

namun juga harus dilengkapi dengan budaya hukum masyarakat yang mematuhi

aturan tersebut. Budaya hukum masyarakat ini ditentukan dalam nilai-nilai

tertentu yang hidup dalam masyarakat dan dijadikan sebagai acuan dalam

membuat suatu aturan.

Suatu peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan budaya

hukum yang terdapaqt dalam masyarakat, maka akan menjadi suatu aturan yang

sia-sia, sehingga dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan terlebih

30

dahulu harus mengkaji dan mengetahui terlebih dahulu budaya hukum masyarakat

yang akan diaturnya tersebut.

Dalam upayanya mengetahui budaya hukum dalam masyarakat tersebut,

salah satu caranya adalah dengan melakukan studi ilmiah terhadap suatu peraturan

yang akan dibuat yaitu yang disebut dengan Naskah Akademik rancangan

peraturan perundang-undangan. Dalam Naskah Akademik tersebut terdapat kajian

ilmiah mengenai keadaan sosiologis masyarakat terhadap suatu aturan yang akan

dibuat, sehingga Naskah Akademik ini harus ada dalam setiap rancangan

peraturan perundang-undangan.

Menurut Aan Seidman, dalam suatu Naskah Akademik terdapat tujuh

faktor atau indicator yang harus ada, yang dikenal dengan istilah ROCCIPI

(Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Procces dan Ideology),

sebagai berikut :28

a. Rules adalah faktor bahwa orang berperilaku tidak hanya dalam satu peraturan, tetapi dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang sering saling terkait. Oleh sebab itu, pembuatnya harus selalu mengingat peraturan perundang-undangan lain yang mungkin ada kaitannya baik secara vertical maupun horizontal. Apabila hal ini diabaikan maka akan timbul penolakan bahkan yudicial review.

b. Opportunity adalah faktor lingkungan (eksternal) dari pihak-pihak yang harus dituju yang juga harus sesuai secara jelas sehingga memungkinkan mereka berperilaku sesuai dengan perintah atau larangan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Faktor ini menuntut pembuat peraturan perundang-undangan memahami tentang konfigurasi dan keadaan riil masyarakat yang akan dikenakan peraturan yang akan di buat, hal ini dikarenakan hukum yang tidak sesuai dengan realitas sosial tidak akan dapat bekerja secara efektif.

c. Capacity adalah faktor yang terkait dengan ciri-ciri pelaku (internal) yang mungkin memiliki masalah yang bisa mendorong mereka atau tidak memungkinkan untuk mereka mentaati peraturan perundang-undangan.

28 Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajagrafindo,

Jakarta, h. 316-317

31

d. Communication adalah faktor peran pihak yang berwenang atau aparat dalam mengambil langkah-langkah, apakah sudah memadai atau belum, untuk mengomunikasikan peraturan perundang-undangan kepada pihak yang dituju. Pihak yang dituju untuk berlakunya peraturan perundang-undangan itu, harus mendapat informasi yang jelas juga, bukan hanya kita yang harus mendapat informasi tentang mereka, tetapi juga mereka harus mendapat informasi dari kita tentang peraturan perundang-undangan yang dibuat. Oleh karena itu, komunikasi dan publikasi melalui media massa menjadi sangat penting.

e. Interest yaitu terkait dengan pandangan tentang manfaat bagi pelaku peran, pelaku peran disini adalah pembuat undang-undang maupun masyarakat yang diaturnya.

f. Procces adalah prosedur bagi pelaku peran untuk menentukan apakah akan mematuhi atau tidak akan mematuhi terhadap peraturan perundang-undangan. Dari faktor ini juga terkandung keharusan agar pembentukan peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur dan mekanisme yang berlaku untuk itu.

g. Ideology terkait dengan masalah yang lebih luas cakupannya, yakni nilai, sikap, selera, bahkan mitos, mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, agama , kepercayaan, politik, sosial, ekonomi. Dari ketujuh indikator ini, Interest dan Ideology merupakan indikator

objektif, sedangkan Rule, Opportunity, Capacity, Communitation, dan Procces

merupakan indikator subjektif. Relevansi teori ROCCIPI terhadap penulisan ini

yaitu terkait dengan pengkajian terhadap Naskah Akademik dari Rancangan

Undang-Undang tentang Desa yang merupakan studi ilmiah sebelum

dirumuskannya menjadi undang-undang.

1.7.5. Konsep Pemerintahan Daerah

Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan

pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut

pemerintah dan sistem pemerintah daerah. Praktik penyelenggaraan pemerintahan

dalam hubungan antar pemerintah, dikenal dengan konsep sentralisasi dan

desetralisasi. Konsep sentralisasi menunjukkan karakteristik bahwa semua

kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat,

32

sedangkan sistem desentralisasi menunjukkan karakteristik, yakni sebagian

kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah, diberikan

kepada pemerintah daerah. Konsep desentralisasi dalam sistem pemerintahan di

Indonesia merupakan suatu pilihan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dan

telah diatur berdasarkan undang-undang dan peraturan perundang-undangan dan

peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam perjalanan sejarah sistem

pemerintahan di Indonesia, konsep desentralisasi dalam eksistensinya mengalami

inkonsistensi. Implikasi dari kebijakan ini membawa pengaruh kurang

menguntungkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu sendiri, sesuai

harapan yang diinginkan dalam penerapan desentralisasi pemerintahan dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam situasi dan kondisi apapun.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini terdapat asas penyelenggara

pemerintahan daerah (dekonsentrasi, desentralisasi, tugas pembantuan) digunakan

karena urusan-urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintahan desa

merupakan pelimpahan dari pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga dari

prinsip-prinsip pemerintahan ini akan diketahui bagaimana pendistribusian

wewenang dari pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih

rendah. Maksudnya berdasarkan asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang,

dekonsentrasi pelimpahan wewenang dan tugas pembantuan terjadi penugasan

yaitu dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah

tingkatannya.

Desentralisasi adalah salah satu obyek studi ilmu kenegaraan yaitu

menurut George Jellinek meletakkan desentralisasi dalam teori tentang

33

pemerintahan disamping teori bentuk negara, teori unsure-unsur negara, teori

konstitusi, teori lembaga perwakilan, teori sendi-sendi pemerintahan, teori alat

perlengkapan negara dan teori kerja sama antar negara.29

Desentralisasi adalah peralihan kewenangan dari lingkungan pemerintah

pusat ke lingkungan pemerintah daerah, untuk mengatur dan mengurus daerahnya

berdasarkan kondisi riil yang mendasarinya. Sedangkan prinsip asas dekonsentrasi

adalah merupakan pelimpahan wewenang dari pemerinah kepada gubernur

sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.

Sistem desentralisasi pemerintahan tidak pernah surut dalam teori maupun

praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah dari waktu ke waktu. Dalam

sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, cita desentralisasi tersebut

senantiasa menjadi bagian dalam praktik pemerintahan negara. Perwujudan cita-

cita desentralisasi telah dilakukan langkah-langkah penting dalam perumusan

kebijakan politik sampai pada tingkat perumusan kebijakan di bidang perundang-

undangan.

Dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia apabila teritori negara

dibagi dalam format Teritorial Division of Power maka akan terwujud dalam

bentuk adanya satuan pemerintahan yang disebut dengan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat adalah perangkat Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang menjalankan kekuasaan Eksekutif, yaitu terdiri atas

Presiden dan para Mentrinya. Sedangkan Pemerintah Daerah adalah Kepala

Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai eksekutif daerah.

29 Abu Daud Busroh, 2001, Ilmu Negara, PT Bumi Aksara, Jakarta, h. 12-14

34

Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah

adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya. Pemerintahan itu sendiri diartikan oleh Montesquieu yaitu pemerintahan

dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti luas meliputi

bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti

sempit menunjuk pada aparatur atau alat perlengkapan negara yang melaksanakan

tugas dan kewenangan pemerintahan dalam arti sempit, yaitu yang diartikan

sebagai tugas dan kewenangan negara di bidang eksekutif saja.30

Menurut Benyamin Hoessein, desentralisasi adalah pembentukan daerah

otonom atau penyerahan wewenang tertantu kepadanya oleh pemerintah pusat.

Sementara pengertian desentralisasi ini juga didefinisikan oleh B.C. Smith yaitu

desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah

yang mensyaratkan terdapatnya pendelegasian kekuasaan kepada pemerinah

bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerinah Pusat

dipersyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah daerah sebagai

wujud pelaksanaan desentralisasi.31

Dalam konsep otonomi daerah terdapat kepala daerah yang mejadi

penggerak dijalankannya otonomi daerah tersebut. Otonomi daerah harus

30 Sudono Syueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Mediatama,

Surabaya, h.21 31 Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.13-14

35

diterjemahkan oleh Kepala Daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan

pemerintahan sehingga serasi dan focus pada tuntutan kebutuhan masyarakat

untuk mencapai tujuan.32 Hal ini harus digunakan secara arif oleh Kepala Daerah

tanpa harus menimbulkan konflik antar pusat dan daerah.

Relevansi teori pemerintahan daerah terhadap permasalahan yang diangkat

adalah dalam menjalankan pemerintahan harus berpedoman dengan pemerintahan

yang diatasnya, jadi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan

pelimpahan dari kewenangan pemerintah daerah, sehingga pemerintahan desa

tidak boleh bertentangan dengan pemerintah daerah.

1.7.6. Konsep Otonomi Desa

Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan

pemerintahan di Indonesia jauh sebelum Bangsa ini terbentuk. Desa merupakan

institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta

relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang

tinggi membuat desa makin merupakan wujud bangsa yang paling kongkret.

Otonomi Daerah memiliki perbedaan dengan Otonomi Desa. Otonomi

Daerah merupakan implikasi dari kebijakan desentralisasi penyelenggaraan

pemerintahan melalui penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada

daerah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Implikasi dari

adanya hubungan kewenangan adalah lahirnya hubungan keuangan serta

32 J. Kaloh, 2009, Kepemimpinan Kepala Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h.15

36

hubungan pembinaan dan pengawasan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah Daerah.

Sedangkan otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh

serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah

berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak

istimewa, desa dapat melakukan berbuatan hukum baik hukum publik maupun

hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut

di muka pengadilan. Sebagai wujud demokrasi, di desa dibentuk Badan

Perwakilan Desa yang berfungsi sebagai Lembaga Legislatif dan pengawasan

terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa serta

keputusan kepala desa. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa

menuntut tanggung jawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan

bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab

untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.33

Pengertian otonomi menurut hukum tatanegara asing, desa di Indonesia

sebagai daerah hukum yang paling tua menjalankan otonomi yang sangat luas,

lebih luas dari otonomi daerah. Selanjutnya oleh daerah kemudian otonomi desa

mendapat pembatasan-pembatasan tertentu. Meskipun demikian, desa di

33 HAW. Widjaja, 2010, Otonomi Desa ,Merupakan Otonom Yang Asli, Bulat dan Utuh,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 165

37

Indonesia masih berwenang menetapkan wilayah dengan batas-batasnya sendiri

dan berwenang menetapkan tata pemerintahannya sendiri.34

Hak otonomi atau hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga desa

sebagai daerah hukum yang diatur dalam hukum adat adalah kewenangan dan

kewajiban tidak hanya yang bersangkutan dengan kepentingan keduniawian,

tetapi juga bersangkutan dengan kepentingan kerohanian. Tidak hanya

bersangkutan dengan kepentingan pemerintah, tetapi juga berkenaan dengan

kepentingan penduduk perseorangan, oleh karena itu isi dari otonomi desa

menurut hukum adat sangat luas.35

Menurut Soetardjo, otonomi desa merupakan otonomi yang sudah ada

sejak desa tersebut terbentuk. Otonomi desa berlandaskan adat, mencakup

kehidupan lahir dan batin penduduk desa, dan tidak berasal dari pemberian

pemerintah.36 Desa pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang

mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai

adat istiadat untuk mengelola dirinya sendiri, yang kemudian inilah yang disebut

self governing community. Sebutan desa sebagai suatu masyarakat hukum baru

dikenal pada masa kolonial Belanda.

Status desa adalah satuan pemerintahan di bawah kabupaten/kota. Desa

tidak sama dengan kelurahan yang statusnya di bawah camat. Kelurahan hanyalah

wilayah kerja lurah di bawah camat yang tidak mempunyai hak mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat. Sedangkan desa memiliki batas-

batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

34Ni’matul Huda, 2015, Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press, Malang, h.49 35 Ibid, h. 49 36 Ibid, h. 52

38

masyarakat setempat.37 Kepala Desa bertanggungjawab terhadap Bupati/Walikota,

sehingga Kecamatan tidak membawahi Desa.

Relevansi teori otonomi desa terhadap permasalahan yang diangkat adalah

dalam penyelenggaraan pemerintahan desa aparatur desa mengetahui bahwa

otonomi yang dimiliki desa merupakan otonomi asli bukan pemberian dari

pemerintah pusat, sehingga dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan

masing-masing desa, karena desa disini berhak untu mengatur urusannya sendiri.

1.8. Metode Penelitian

Dalam metode penelitian ini hal-hal yang perlu diketahui adalah jenis

penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan

hukum, dan teknik analisis.

1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berpikir dan bertindak logis,

metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum, atau fakta

empiris yang terjadi, atau yang ada disekitar kita untuk direkontruksikan guna

mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan. Berfikir logis adalah

berfikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu pengetahuan dengan

bebas dan mendalam sampai ke dasar persoalan guna mengungkapkan kebenaran.

Metodis adalah berfikir dan berbuat menurut metode tertentu yang kebenarannya

diakui menurut penalaran. Sistematis adalah berfikir dan berbuat yang bersistem,

yaitu runtun, berurutan dan tidak tumpang tindih. Penelitian adalah merupakan

37 Hanif Nurcholis, op.cit, h. 69

39

suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang

dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif, yang berangkat dari adanya kekaburan norma terkait kedudukan

Desa di Bali dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 6

ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa

“Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat”, yang apabila dikaitkan dengan penjelasan

dari Pasal 6 undang-undang tersebut menimbulkan kekaburan. Penjelasan dari

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan

bahwa adanya undang-undang ini bertujuan untuk mencegah terjadinya tumpang

tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat,

mengharuskan hanya terdapat salah satu di antara Desa atau Desa Adat dalam 1

(satu) wilayah. Demikian pula untuk Desa atau Desa Adat yang sudah terjadi

tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, haruslah

dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penelitian ini mengutamakan

pengkajian terhadap ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum

umum yang dilandasi isu hukum terkait dengan kedudukan Desa di Bali setelah

berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

menggunakan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.

40

Pendekatan-Pendekatan yang ada pada beberapa pendekatan yang dapat

dipergunakan dalam penelitian hukum normatif, antara lain :38

1. Pendekatan Undang-Undang

2. Pendekatan Analisa Konsep Hukum

3. Pendekatan Sejarah

4. Pendekatan Kasus

5. Pendekatan Fakta

6. Pendekatan Frasa

7. Pendekatan Perbandingan

Dalam penelitian mengenai kedudukan Desa Adat dan Desa Dinas di Bali

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini,

menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah dan

pendekatan analisa konsep hukum.

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkut dengan isu hukum yang sedang diteliti.

Pendekatan perundang-undangan merupakan inti dari suatu penelitian normatif,

sehingga pendekatan perundang-undangan dijadikan salah satu pendekatan dalam

penelitian terkait dengan kedudukan Desa di Bali setelah berlakunya Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Kemudian, pendekatan sejarah dilakukan dengan kerangka pelacakan

sejarah lembaga hukum dari masa ke masa. Pendekatan ini membantu peneliti

untuk memahami filosofi dari suatu aturan hukum dari masa ke masa, sehingga

38 Peter Mahmud Marzuki,2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h.133

41

peneliti dapat memahami perubahan perubahan dan perkembangan filosofi yang

melandasi aturan hukum terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tersebut.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan analisis konsep hukum

dengan penerapan teori-teori hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari

3 (tiga) sumber yakni :

1. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah ketentuan hukum yang

berlaku seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

2. Sumber bahan hukum sekunder adalah suatu bahan yang bersumber dari bahan

kepustakaan seperti dibidang Hukum Administrasi Negara, Hukum

Pemerintahan Daerah dan Hukum Pemerintahan Desa.

3. Sumber bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan

kejelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

berupa kamus hukum, ensiklopedia.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan

adalah dengan studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan

hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi

bahan-bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan tersebut disusun dengan

42

sistimatis untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya. Untuk

mengumpulkan bahan-bahan tersebut dilakukan dengan sistem kartu (card

system). Bahwa disediakan beberapa kartu, untuk digunakan sebagai alat bantu

yang berfungsi mengingatkan peneliti dalam hal mengutip buku-buku kutipan dan

nama pengarang secara sistematis di dalam tulisan peneliti.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa dikenal dua

macam kartu yang perlu disiapkan yaitu :

a. Kartu kutipan, yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data

beserta sumber dari data tersebut diperoleh (nama pengarang, atau

penulis, judul buku/artikel, empresum, halaman dan lain sebagainya)

b. Kartu Biografi, dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang

dipergunakan, kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu

peneliti menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari

laporan penelitian yang ditulis atau disusun.39

1.8.5. Teknik Analisis

Bahan hukum yang dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya diolah

dan dianalisis secara kualitatif. Adapun yang dimaksud analisa kualitatif adalah

analisa yang tidak digambarkan dengan angka-angka tetapi berbentuk penjelasan

dan pendeskripsian40. Analisa kualitatif dalam penulisan tesis ini menjelaskan dan

menggambarkan tentang kedudukan Desa Dinas di Bali setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kemudian hasil dari analisis

39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2007, Penelitian Hukum Normativ, Suatu tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14 40 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 167

43

ini dikumpulkan dan disajikan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan

secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan Desa Dinas di Bali

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.