28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan hal yang dibutuhkan bagi manusia dalam bersosialisasi. Sosialisasi manusia menggunakan bahasa bertujuan untuk menyampaikan informasi berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung. Berbagai tujuan tersebut menunjukkan bahwa pemahaman dan pengkajian terhadap kegiatan komunikasi serta bahasa harus terus dilakukan sebagai upaya pengembangan keilmuan kebahasaan dan sebagai upaya-upaya mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan komunikasi dan hubungan sosial manusia pada umumnya. Proses komunikasi yang efektif dan interaktif pada dasarnya melibatkan dua pihak atau lebih, yaitu penutur atau mitra tutur. Penutur berperan sebagai pemberi pesan atau informasi, adapun mitra tutur berperan sebagai penerima pesan dari penutur. Proses ini termasuk dalam kajian pragmatik. Menurut Levinson pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda bahasa dengan penggunanya (dalam Subroto, 2011: 1). Pengguna bahasa dapat disebut dengan penutur atau mitra tutur, sehubungan dengan hal itu Levinson menyatakan: “Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding” (dalam Subroto, 2011: 21). Berdasarkan rumusan tersebut jelas bahwa konteks bersifat dasar untuk memahami maksud tuturan. Dengan demikian pragmatik mengkaji

BAB I PENDAHULUAN - abstrak.ta.uns.ac.id · Menurut Levinson pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda bahasa dengan penggunanya (dalam Subroto, 2011: 1). Pengguna bahasa

  • Upload
    haduong

  • View
    231

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan hal yang dibutuhkan bagi

manusia dalam bersosialisasi. Sosialisasi manusia menggunakan bahasa

bertujuan untuk menyampaikan informasi berupa pikiran, gagasan, maksud,

perasaan maupun emosi secara langsung. Berbagai tujuan tersebut

menunjukkan bahwa pemahaman dan pengkajian terhadap kegiatan

komunikasi serta bahasa harus terus dilakukan sebagai upaya pengembangan

keilmuan kebahasaan dan sebagai upaya-upaya mengatasi permasalahan yang

berkenaan dengan komunikasi dan hubungan sosial manusia pada umumnya.

Proses komunikasi yang efektif dan interaktif pada dasarnya melibatkan

dua pihak atau lebih, yaitu penutur atau mitra tutur. Penutur berperan sebagai

pemberi pesan atau informasi, adapun mitra tutur berperan sebagai penerima

pesan dari penutur. Proses ini termasuk dalam kajian pragmatik.

Menurut Levinson pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda

bahasa dengan penggunanya (dalam Subroto, 2011: 1). Pengguna bahasa dapat

disebut dengan penutur atau mitra tutur, sehubungan dengan hal itu Levinson

menyatakan: “Pragmatics is the study of the relations between language and

context that are basic to an account of language understanding” (dalam

Subroto, 2011: 21). Berdasarkan rumusan tersebut jelas bahwa konteks bersifat

dasar untuk memahami maksud tuturan. Dengan demikian pragmatik mengkaji

2

hubungan antara bahasa dan konteks. Hubungan antara keduanya bersifat dasar

(basic) dalam rangka memahami komunikasi dengan bahasa.

Teori tindak tutur merupakan salah satu kajian penting dalam

pragmatik. Menurut Searle dalam bukunya Speech acts: An Essay in The

Philosophy of Language (1987: 23-25) mengemukakan bahwa secara

pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur,

yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan

tindak perlokusi (perlocutionary act).

Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan

dengan kalimat performatif dan eksplisit. Sebuah tuturan selain berfungsi untuk

mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan untuk

melakukan sesuatu (Wijana, 1996: 18). Searle (1987) membagi tindak tutur

ilokusi ini menjadi 5 macam, yaitu asertif, ekspresif, komisif, deklaratif, dan

direktif.

Leech (1993: 327-328) dalam buku “Prinsip-Prinsip Pragmatik”

menyatakan, tindak tutur asertif berupa tuturan affirm (menguatkan), allege

(menduga), assert (menegaskan), forecast (meramalkan), predict

(memprediksi), announce (mengumumkan), insist (mendesak). Tindak tutur

ekspresif berupa tuturan apologize (meminta maaf), commiserate (merasa ikut

bersimpati), congratulate (mengucapkan selamat), pardon (memaafkan), thank

(mengucapkan terima kasih). Tindak tutur komisif berupa tuturan offer

(menawarkan), promise (berjanji), swear (bersumpah), vow (berkaul). Tindak

tutur deklaratif berupa tuturan adjourn (menunda), veto (memveto),

3

sentence(menjatuhkan hukuman), baptize (membaptis). Adapun tindak tutur

direktif berupa tuturan ask (meminta) beg (meminta dengan sangat), bid

(memohon dengan sangat), command (memberi perintah), demand (menuntut),

forbid (melarang), recommend (menganjurkan), request (memohon).

Leech (1993: 327) menyatakan bahwa tuturan menegaskan merupakan

salah satu jenis tindak tutur asertif. Tuturan menegaskan bertujuan untuk

menjelaskan kembali suatu kesalahan atau keraguan yang dilakukan oleh

seorang penutur kepada mitra tutur. Tuturan menegaskan dapat kita temui

dalam percakapan sehari-hari, tuturan dalam film, drama, talkshow, novel dan

buku cerita, misalnya seperti penggalan tuturandrama Ahlul Kahfi bagian

pertama:

؟شو ن ر ام اي ن ث ب ل م ك !ن م ل ؤ ىي ر ه ي(آه!ظ ط م ت )ي :اي ن ي ل ش م !ك ت ل ئ س أ ىب ر د ص ج ر ت ك ن !إ ف أ :شو ن ر م

ك ن أ :مشلينيا ك و ن ر م لك!ث م ر د الص ق ي لمض تع و ل ك ل ذ ا ااى ن ث ب ل م ش،(AKbg1/1932/14/65)ا؟ن ى

Misyli>niya: (yatamaththa>) a>h! zhahri> yu’limuni>! Kam labitsna ya> marnusy?

Marnu>sy: uf! Innaka tuchriju shadri> bias’ilatika! Misyli>niya: ana> kadzalika lau ta’lam dhaiqu’sh-shadri mitslak! Marnusy,

kam labitsna> ha huna>?

Mislinia: “(berjalan sempoyongan) “aah! Punggungku sakit! Berapa lama kita

tinggal Marnus?”

Marnus: “uff! Sesungguhnya pertanyaanmu membuat dadaku sesak!”

Mislinia: “aku juga begitu kalau kamu tahu dadaku sesak sepertimu! Marnus,

berapa lama kita tinggal di sini?”

Penggalan tuturan dalam drama Ahlul Kahfi bagian pertama di atas

ditemukan tuturan menegaskan, yaitu pada tuturan “Marnusy, kam labitsna> ha

ha huna>?‛ yang mengulang tuturan sebelumnya yaitu “Kam labitsna

4

ya>marnusy?”. Pada tuturan tersebut juga ditemukan tanda menegaskan selain

pengulangan kata, , yaitu berupacharfu tanbih ha. Charfu tanbih ha digunakan

untuk menegaskan tempat yang dimaksud oleh penutur. Shachrawi (2005: 210)

menyebutkan adanya tiga ciri ta’ki>d (tuturan menegaskan) salah satunya adalah

adalah dengan ada>tu tauki>d.

Drama merupakan suatu petunjukkan yang membawakan sebuah cerita,

media yang digunakan untuk menyampaikan cerita tersebut melalui gerak dan

tuturan-tuturan yang dilakukan oleh para tokohnya. Drama Ahlul Kahfi

initerdiri dari empat bagian cerita. Bagian pertama merupakan awal kisah yang

menceritakan bagaimana dan mengapa dua orang menteri raja Dikyanus dan

seorang penggembala beserta anjingnya bersembunyi di dalam gua ar-Raqim.

Bagian pertama ini diakhiri dengan terbongkarnya tempat persembunyian dua

menteri dan seorang penggembala beserta anjing penggembala tersebut.

Bagian kedua, menceritakan mengenai ketakjuban di istana dan kota

Tharsus mengenai kabar dari kota akan datangnya para pemuda Ahlul Kahfi

dari gua ar-Raqim. Tiga orang dan yang ke-empat adalah anjingnya, Mislinia,

Marnus, Yimlikha dan Qitmir si anjing. Bagian kedua ini diakhiri dengan

tersadarnya Yimlikha bahwa mereka telah tertidur selama 309 tahun lamanya.

Bagian ketiga, menceritakan bagaimana mereka menghadapi kenyataan

yang tidak mereka duga. Kenyataan yang disangkal kedua menteri akan

tertidurnya mereka selama 309 tahun terungkap. Kenyataan yang sulit

dipahami oleh Marnus mengenai keberadaan keluarganya dan Misylinia

mengenai kisah cintanya kepada ratu Priska harus tetap mereka terima. Bagian

5

ketiga ini berakhir pada kembalinya Misylinia menuju gua menyusul kedua

temannya dan meninggalkan ratu Priska di lobi istana. Bagian keempat,

menceritakan akhir kehidupan mereka di dalam gua ar-Raqim

Pemilihan drama Ahlul Kahfi karya Taufiq al-Chaki>m sebagai objek

penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, drama ini

menggunakan bahasa Arab Fushcha> (Modern Standard Arabic). Fushcha>

adalah ragam bahasa Arab yang digunakan dalam al-Qur‟an, situasi resmi,

prosa, saduran puisi, maupun karya-karya ilmiah. Kedua, drama Ahlul Kahfi

dianggap sebagai pelopor drama kontemporer yang pernah dipentaskan di

Mesir (Sirsaeba, 2008: 35). Pemilihan cerita bagian pertama dikarenakan pada

bagian ini mempunyai banyak pesan moral yang disampaikan di antaranya

ketika keimanan dua menteri dan seorang penggembalanya sedang diuji,

Yimlikha (penggembala) menyikapinya dengan berserah diri kepada Allah dan

al-Masih, mengajarkanuntuk selalu mengingat Allah dan al-Masih di manapun

dan kapanpun.

Ditemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan kajian penelitian

skripsi ini, di antaranya:

Wahyudi (2012) dalam jurnalThaqa>fiyya>tdengan judul “Jenis dan Fungsi

Fungsi Tindak Tutur Dosen dalam Interaksi Pembelajaran Bahasa Arab di UIN

Malang”, mendeskripsikan mengenai jenis dan fungsi tindak bahasa dosen

dalam interaksi pembelajaran Bahasa Arab di UIN Malang. Jurnal ini

memaparkan bahwa di dalam pembelajaran bahasa Arab, dosen menggunakan

lima jenis tindak tutur, yaitu tindak direktif, tindak asertif, tindak komisif, tindak

6

ekspresif, dan tindak deklaratif. Jenis tindak tutur direktif menduduki peran

dominan, kemudian asertif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.

Rosnilawati, dkk (2013) dalam jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia dengan judul “Tindak Tutur dan Strategi Bertutur dalam Pasambahan

Maantaan Marapulai Pesta Perkawinan di Alahan Panjang Kabupaten Solok”,

membahas tentang gambaran mengenai bentuk tindakan pidato dan strategi

mengatakan Pasambahan Maantaan Marapulai Pesta Perkawinan di Alahan

Panjang Kabupaten Solok. Temuan studi sebagai berikut. Pertama, ada empat

bentuk pidato kisah yang digunakan dalam Pasambahan Maantaan Marapulai,

yaitu (1) representatif, (2) direktif, (3) ekspresif, (4) deklarasi. Kedua, strategi

yang digunakan dalam Pasambahan Maantaan Marapulai, yaitu (1) memberitahu

terus terang tanpa basa-basi, (2) memberitahu terus terang dengan basa-basi

kesopanan positif, (3) mengatakan terus terang dengan negatif kesopanan, dan

(4) samar-samar.

Nafisah (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur Asertif

Dalam Tuturan Tokoh Film Denias, Senandung Di Atas Awan”, membahas

tentang jenis tindak tutur asertif dan pola pasangan berdampingan yang

digunakan dalam tuturan Film Denias, Senandung di Atas Awan. Pada penelitian

ini ditemukan tiga belas jenis tindak tutur asertif di dalam film DSAA, yaitu

tindak tutur memberitahu atau menginformasikan sesuatu; bercerita;

menyatakan; mengakui; menjawab; memprediksi; menjelaskan; membantah;

membenarkan; menunjukkan; membetulkan atau mengoreksi; mengira; dan

mengingatkan. Terdapat dua belas pasangan berdampingan yang merupakan

7

pola percakapan dalam film Denias Senandung Di Atas Awan yang meliputi,

pertanyaan-jawaban; pemberian informasi-tanggapan; keluhan-bantahan;

permintaan maaf-keluhan; permintaan-pemersilaan; permintaan-penolakan;

penawaran-penerimaan; penawaran-penolakan; perintah-pelaksanaan; perintah-

bantahan; panggilan-jawaban; dan sindiran-sindiran.

Indriastuti (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur Asertif

Penjual Pakaian di Pasar Klewer Kota Surakarta”. Pada skripsi ini

mendeskripsikan: (1) bentuk-bentuk tindak tutur asertif yang digunakan penjual

pakaian di pasar Klewer kota Surakarta, (2) strategi pengungkapan tindak tutur

asertif penjual pakaian di pasar Klewer kota Surakarta, (3) faktor-faktor yang

mempengaruhi penggunaan tindak tutur asertif penjual pakaian di pasar Klewer

kota Surakarta. Hasil penelitian: (1) pemakaian bahasa oleh penjual pakaian di

pasar Klewer kota Surakarta lebih banyak menggunakan tuturan dalam bahasa

Jawa, terkadang juga menggunakan bahasa Indonesia yang terdapat unsur-unsur

bahasa Jawa, (2) pemakaian tuturan oleh penjual pakaian di pasar Klewer kota

Surakarta lebih banyak ditemukan kategori jenis tindak tutur asertif yang

meliputi subtindak tutur: meyakinkan, menanyakan, membenarkan,

menyangsikan, menegaskan, memamerkan, memberitahu, menyangkal,

menyatakan, dan membanggakan, (3) strategi pengungkapan tindak tutur asertif

penjual pakaian di pasar Klewer kota Surakarta berdasarkan teknik bertutur

ditemukan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, serta

berdasarkan interaksi makna ditemukan tuturan-tuturan literal dan tuturan-

tuturan nonliteral, (4) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan tindak tutur

8

asertif penjual pakaian di pasar Klewer kota Surakarta, yaitu: penutur/mitra

tutur, isi pertuturan, tujuan pertuturan, dan intonasi berbicara.

Fitarini (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur dalam

Naskah Drama Qadiyyatu Ahli ar-Rab’i karya Alī Ahmad Bākasīr: Analisis

Pragmatik‛. Pada skripsi ini meneliti mengenai jenis-jenis tindak tutur yang

digunakan dalam naskah drama Qadiyyatu Ahli ar-Rab‟i dengan memanfaatkan

teori Searle dan Wijana. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tindak tutur

dalam naskah drama Qadiyyatu Ahli ar-Rab‟i menggunakan beberapa bentuk

tindak tutur, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, tindak perlokusi, tindak tutur

langsung, tindak literal, dan tindak tutur tidak literal. Adapun tindak tutur yang

paling banyak digunakan adalah tindak lokusi karena berfungsi untuk

menyampaikan keseluruhan alur cerita.

Maulid (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur Kalimat

Tanya Dalam Naskah Drama Ahlul-Kahfi Babak I Karya Taufi>q Al-Chaki>m

(Analisis Pragmatik)” mendeskripsikan bentuk kalimat tanya serta maksud yang

terkandung di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kalimat

tanya dalam naskah drama ini menggunakan berbagai macam kata tanya yaitu:

hamzah, hal, ma>, ma>dza>, lima>dza >, man, kam, kaifa, aina, mata>, ayyu serta

serta ditemukan juga kalimat tanya yang tidak menggunakan perangkat tanya.

Maksud tuturan kalimat interogatif yang terkandung dalam naskah drama

tersebut terbagi menjadi dua, yaitu bermakna chaqi>qi> dan maja>zi. Makna chaqiqi

chaqiqi dalam naskah drama tersebut sebanyak tujuh puluh tujuh kalimat.

Makna maja>zi ditemukan sebanyak lima puluh delapan kalimat, meliputi makna

9

makna al-amru (memerintah), a’n-nahyu (melarang), a’n-nafyu (meniadakan),

al-inka>ru (mengingkari), a’t-tasywi>q (merangsang untuk melakukan sesuatu),

a’t-taqri>r (menetapkan), a’t-ta’zhi>m (mengagungkan), a’t-tachqi>r (menghina),

(menghina), a’t-ta’ajjub (merasa takjub, heran), dan a’t-tahakkum (mengejek).

Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai tindak tutur asertif

dalam drama Ahlul Kahfi bagian pertama belum pernah dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam

skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk tindak tutur asertif yang digunakan dalam drama Ahlul

Kahfi bagian pertama?

2. Bagaimana ciri tuturan menegaskan dalam drama Ahlul Kahfi bagian

pertama?

C. Tujuan Pembahasan

Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk tindak tutur asertif yang digunakan di dalam

drama Ahlul Kahfi bagian pertama.

2. Untuk mengetahui ciri tuturan menegaskan dalam drama Ahlul Kahfi

bagian pertama.

D. Pembatasan Masalah

Penelitian ini memiliki pembatasan masalah agar pokok pembahasannya

tetap fokus sesuai dengan tujuan penelitian. Objek dalam penelitian ini terbatas

pada tuturan tokoh-tokoh pada naskah Ahlul Kahfi bagian pertama karya

10

Taufiqal-Chakim. Teori yang digunakan adalah teori pragmatik, khususnya

mengenai tindak tutur asertif dan ciri tuturan menegaskan.

E. Landasan Teori

1. Pengertian Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan penutur

(pengirim pesan) kepada mitra tutur (penerima pesan). Akibatnya studi ini

banyak berhubungan dengan analisis mengenai fungsi dan makna dari suatu

tuturan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pragmatik adalah studi

tentang maksud penutur (Yule, 1996: 3). Batasan pengertian ilmu pragmatik

juga dikemukakan oleh para ahli yang lain. Parker mengartikan pragmatik

sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal,

yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi (dalam

Wijana, 1996: 2).

Yule (1996: 4) juga menjelaskan pengertian pragmatik adalah studi

tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan dari pada yang

dituturkan, karena pragmatik merupakan studi pencarian makna yang tersamar.

Studi ini menggali seberapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan menjadi

bagian dari yang disampaikan.

Subroto (2011: 8) menegaskan pendapat Yule di atas mengenai

pragmatik, yaitu ilmu bahasa yang mengkaji arti (maksud tuturan) yang terikat

konteks. Pragmatik mengkaji “arti” tafsiran yang dimaksud oleh seorang

penutur. Tafsiran arti tersebut sangat bergantung pada konteks.

11

Levinson (1983: 7-24) mendefinisikan pragmatik menjadi beberapa

pengertian, yaitu:

“The study of language from a functional perspective, that is, that it

attempts to explain facets of linguistic structure by reference to non-

linguistic pressures and causes”. “Pragmatics is the study of those

relations between language and context that are grammaticalized, or

encoded in the structure of a language”. “Pragmatics is the study of all

those aspects of meaning not captured in a semantic theory”.

“Pragmatics is the study of the relations between language and context

that are basic to an account of language understanding”. “Pragmatics is

the study of the ability of language users to pair sentences with contexts

in which they would be appropriate”. “Pragmatics is the study of deixis

(at least in part), implicature, presupposition, speech acts, and aspects of

discourse structure”.

„Pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya

pragmatik berusaha menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan

mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejala-gejala non-linguistik‟.

Pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa

dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatikalisasi dan

terkodifikasi dalam struktur bahasanya‟. „Pragmatik adalah kajian

tentang aspek-aspek makna yang belum tercakup dalam teori semantik‟.

„Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks

berdasarkan pada pemahaman kebahasaan‟. „Pragmatik adalah studi

tentang kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-

kalimat yang digunakannya dengan konteks yang cocok‟. „Pragmatik

adalah studi tentang deiksis (paling tidak sebagian), implikatur,

presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana‟.

Horn di dalam bukunya yang berjudul The Handbook of Pragmatics

menjelaskan beberapa pengertian pragmatik (2006: xi-xii), di antaranya:

“pragmatics is the study of those context-dependent aspects of meaning

which are systematically abstracted away from in the construction of

content or logical form”. “Pragmatics is “the study of linguistic acts and

the contexts in which they are performed” (Stalnaker 1972: 383),

Pragmatics has been to “characterize the features of the speech context

which help determine which proposition is expressed by a given

sentence”.

‟Pragmatik adalah studi kasus yang bergangtung pada konteks makna

secara sistematis diambil dari kontenatau logis‟‟. Pragmatik adalah studi

tentang tindakan linguistik dan konteks di manapun mereka lakukan‟.

12

„Pragmatik mencirikan fitur konteks tindak tutur yang membantu

menentukan proposisi yang diungkapkan oleh sebuah kalimat tertentu‟.

Dalam bahasa Arab, pragmatik dikenal denganistilah At-Tada>wuliyah.

Shachrawi (2005: 26) menjelaskan dalam buku At-Tada>wuliyyah ’indal-

’Ulama>il-’Arab bahwa At-Tada>wuliyah adalah:

عنددراسة اللغة تدرس ولكن ذاهتا، اللغوية" "البنية تدرس ال اليت اللغة"، "استعمالطبقاتاملقاميةاملختلفة،أيباعتبارىا"كالماحمددا"صادرامن"متكلماستعماهلايفال

"خماطب إىل وموجها لتحقيقدحمدحمدد" حمدد" تواصلي يف"مقام حمدد" ب"لفظ "."غرضتواصليحمدد"

Dira>satu ‚isti’ma>li ’l-lughah‛, al-lati> la> tadrusu ‚albinyata ’l-lughawiyah‛ dza>tuha, wala>kin tadrusu ‘l-lughata ‘inda isti’ma >liha fith-thabaqa>til-muqa>miyatil-mukhtalifah, ai bi i’tiba>riha ‚kalaman muchaddadan‛ sha>diran min ‚mutakallimin muchaddadin‛ wa muwajjahan ila> ‚mukha>tabin muchaddadin‛ bi ‚lafzhin muchaddadin‛ fi ‚maqa>min tawa>shulin muchaddadin‛ litachqi>qi ‚ghardhin tawa>shuliyyin muchaddadin‛

‘Kajian tentang “penggunaan bahasa”, bukan mempelajari “bentuk-

bentuk kebahasaan” tetapi mengkaji bahasa dalam penggunaanya pada

berbagai kategori dan kedudukan, yaitu dengan mempertimbangkan

“perkataan tertentu”, dari “penutur tertentu”, kepada “mitra tutur

tertentu”, menggunakan “pengucapan tertentu”, pada “situasi tertentu”,

dan dengan “tujuan tertentu”„.

Pragmatik adalah ilmu yang mengandung pemahaman tentang kalimat,

kasus, juga konteks yang digunakan dalam bahasa (Lehwimel, 2011: 163).

Lehwimel(2011: 162) dalam at-Tada>wuliyah wa’l-balaghat’l-’arabiyah

menyatakan, pragmatik merupakan ilmu bahasa di dalamnya terdapat beberapa

teori yang berkaitan, di antaranya: (1) Tindak tutur (af’alul kala>m), (2)

Implikatur (mutadzamina>t al-qaul), (3) Implikatur percakapan (al-istilza>mi al-

khiwa>ri>), dan (4) Dieksis (al-i>sya>riya>t).

13

Dari beberapa batasan mengenai pragmatik tersebut, dapat disimpulkan

bahwa pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji struktur dan

makna bahasa secara eksternal yang terikat oleh konteks dan situasi yang

melatar belakangi pemakaian suatu bahasa.

2. Tindak Tutur

Seperti yang telah disebutkan bahwa tindak tutur (af’alul kala>m)

merupakan bagian dari pramatik (Lehwimel, 2011: 162). Teori mengenai

tindak tutur dikenalkan pertama kali oleh J. W. Austin (1962) dalam kuliahnya

di Universitas Havard, kemudian dibukukan oleh Urmson (1965) yang berjudul

“How to do Thing with Word?”.

Tharifah (2010: 20) dalam penelitiannya yang berjudul Al-Wadza>If Al-

Tadawuliyah Fi> Al-Masrach Masrachiyah ‘Shachib Al-Jala>Lah Li Taufiq Al-

Chakim menyatakan bahwa tindak tutur (af’alul-kala>m) adalah setiap yang

disuarakan itu terlafazhkan disertai dengan bentuk formalitas, bertujuan untuk

menunjukkan, mencapai dan mempengaruhi.

Shachrawi (2005: 40) menyatakan bahwa:

الكالمي الفعل األعمال: من الكثري يف مركزية نواة الكالمي الفعل مفهوم أصبح.تداوليةال

Al-fi’lu’l-kala>mi>: Ashbacha mafhu>mu’l-fi’li’l-kala>mi>yyi nawa>tun markazi>yah fi’l-katsi>ri min ’l-ama>li‘t-tada>wuliyyah

‘Tindak tutur (af’alul kala>m): merupakan inti terpusat dari beberapa

tindakan konsultatif (kebiasaan)‟.

Searle (1987: 23-25), mengemukakan bahwa ada tiga jenis tindakan

yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yakni tindak lokusi (locutionary

14

act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary

act).

Shachrawi (2005: 40) menyebutkan istilah dalam bahasa Arab

mengenai tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur

yakni, fi’lul-qauli (actelocutoire), al-fi’il ’l- mutadhaman fi>’l-qauli atau inja>zi

(acte illocutoire), fi’lul na>tija ’ani’l-qauli (acte perlocutoire). Berikut

penjelasan mengenai tiga jenis tindaktutur tersebut.

a. Tindak Lokusi (locutionary act/fi’lu’l-qauli)

Yule menyatakan bahwa tindak lokusi merupakan tindak dasar

tuturan menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna

(1996: 83). Tindak lokusi (locutionary act) adalah tindak tutur yang

semata-mata meyatakan sesuatu, biasanya dianggap kurang penting

dalam kajian tindak tutur (Wijana, 1996: 17). Dalam hal ini kita tidak

mempermasalahkan maksud atau tujuan dari tuturan tersebut.

Austin (dalam Sumarlam, 2003: 320) tindak ilokusi adalah

semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu

dengan kata dan kalimat sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Maksud

dan fungsi ujaran pada tindak tutur ini belum menjadi perhatian.

Menurut Shachrawi (2005: 43) tindak tutur lokusi adalah fi’lul-qauli

(actelocutoire), yaitu:

فعلالقول)قولشئمعي(Fi’lul-qauli (qaulu syai‟in mu‟ayyan)

‘Tindak lokusi (perkataan menyatakan sesuatu)‟

15

Chaer (2010: 53) menyatakan, tindak tutur lokusi adalah

tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak

tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.

b. Tindak Ilokusi (ilocutionary act/ fi’il mutadhamman fi>l qauli/ inja>zi)

Austin (dalam Sumarlam, 2003: 320) menjelaskan mengenai

tindak tutur ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu, yaitu berbicara

mengenai maksud dan fungsi atau data ujaran yang bersangkutan,

untuk apa ujaran itu dilakukan.

Shachrawi(2005: 43) menyebut tindak tutur ilokusi ke dalam

bahasa Arab menjadi al-fi’l ’l-mutadhaman fi>’l-qauli atau inja>zi (acte

illocutoire), yaitu:

الفعلاملتضمنيفالقول)القيامبفعلماضمنقولشئ(al-fi’il ’l- mutadhammanu fi>’l-qauli (al-qiya>mu bifi’li ma> dhamina qaula syai’in

‘Tindak ilokusi (melakukantindakan sesuai suatu tuturan. )’

Tindak ilokusi (illocutionary act) selain berfungsi untuk

mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan

untuk melakukan sesuatu (Wijana, 1996: 18).

Adapun menurut Chaer (2010: 53) tindak tutur ilokusi adalah

tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat

performatif yang eksplisit. Tindak ilokusi berkenaan dengan apa yang

ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan

dapat merupakan tindakan menyatakan berjanji, meminta maaf,

16

mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya

(Nadar, 2009: 14).

Wijana berpendapat sehubungan dengan tindak tutur ilokusi

sebagai berikut:

Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi karena harus

mempertimbangkan terlebih dahulu siapa penutur dan mitra

tutur, kapan dan dimana tindak tutur dilakukan. Pada tindak

tutur ilokusi perlu disertakan konteks tuturan dalam situasi tutur.

Dengan demikian, tindak ilokusi merupakan bagian sentral

untuk memahami tindak tutur (Wijana, 1996: 19).

Adapun Searle (1987), mengklasifikasikan tindak ilokusi

menjadi 5 jenis, yaitu terdiri dari deklaratif, direktif, ekspresif,

komisif, dan representatif.

c. Tindak Perlokusi (perlocutionary act/ fi’lul na>tija ’ani’l-qauli)

Tindak perlokusi (perlocutionary act) adalah tindakan untuk

mempengaruhi mitra tutur seperti memalukan, megintimidasi,

membujuk dan lain-lain (Nadar, 2009: 15). Wijana mengatakan bahwa

tindak tutur perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan

seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary

force) (1996: 19), atau efek bagi yang mendengarkannya (mitra tutur).

Austin (dalam Sumarlam, 2003: 302) menyatakan bahwa

tindak perlokusi mengacu kepada efek yang ditimbulkan oleh ujaran

yang dihasilkan oleh penutur. Secara singkat, perlokusi adalah efek

dari tindak tutur bagi mitra tutur.

17

Shachrawi (2005: 43) juga menyatakan bahwa, acte

perlocutoire (Fi’lul na>tija ’ani’l-qauli) adalah:

ا آلثاراملرتتبةعلىالفعلاإلجنازى(الفعلالناتجعنالقول)Al-fi’lun-na>tija ’ani’l-qauli (al-a>tsa>ru’l-mutarattibah ’ala>’l-fi’li’l-inja>zi>)

‘Tindak tutur perlokusi (pengaruh yang diberikan kepada mitra

tutur. )‟

Pendapat lain mengenai tindak tutur perlokusi disampaikan

oleh Chaer (2010: 53), yaitu tindak tutur yang berkenaan dengan

adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non

linguistik dari orang lain itu. Salah satu contoh tindak perlokusi, yaitu

ketika ada penutur berkata.

3. Tindak Tutur Asertif

Tindak tutur asertif menurut Shachrawi (2005: 82) adalah at-taqri>riya>t,

yaitu:

بوتفظليمسؤوليةاملتكلمعنصحةماإدراجIdra>j mas’u>liyatu’l-mutakallim ‘an shichati ma yaltafizhu bihi.

„Penggabungan pertanggung jawaban penutur mengenai kebenaran

yang dituturkannya‟.

Huang (2005: 106) menyatakan:

Representatives (or assertives; the constantives in the original Austinian

performative/constantive dichotomy) are those kinds of speech act that

commit the speaker the truth of expressed proposition, and thus carry a

truth-value. They express the speaker‟s belief. Paradigmatic cases

include asserting, claiming, concluding, reporting, and stating.

„Representatif (assertif; constantif menurut pembagian Austin) adalah

jenis tindak tutur yang dilakukan penutur untuk menyatakan kebenaran

proposisi, dan dengan demikian menjaga nilai kebenaran. Mereka

18

mengekspresikan kepercayaan penutur. Kasus paradigmatik termasuk

menegaskan, mengklaim, menyimpulkan, pelaporan, dan menyatakan‟.

Seperti halnya Austin, Yule juga menggunakan istilah representatif

sebagai tindak tutur asertif. Representatif menurut Yule adalah jenis tindak

tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur merupakan suatu kasus atau

bukan (1996: 92).

Leech (1993: 27) menyatakan bahwa verba tindak tutur asertif

merupakan ketegori verba ilokusi yang paling banyak digunakan, meskipun

pada kenyataannya tidak mudah dianalisis secara sistematis. Pada umumnya,

secara sintaksis tindak tutur asertif memiliki pola pemakaian S Verb (…) that

X, di mana S adalah subjek (mengacu pada penutur [n] dan that X mengacu

pada preposisi. Adapun, dipandang dari sudut semantik verba, ilokusi asertif

lebih bersifat proporsional artinya pada ilokusi ini penutur terikat pada

kebenaran proposisi yang diungkapkan. Dilihat dari prespektif sopan santun,

verba ini pada umumnya memiliki kecenderungan netral, dengan beberapa

pengecualian bergantung pada konteks yang mengiringi tuturan itu.

Seperti yang dipaparkan sebelumnya Leech (1993: 327) menyatakan,

tindak tutur asertif dapat berupa tuturan affirm (menguatkan), assert

(menegaskan), allege (menduga), forecast (meramalkan), predict

(memprediksi), insist (mendesak), announce (mengumumkan), selain itu dapat

berupa reporting (melaporkan), claiming (mengakui), concluding

(menutup/mengakhiri), dan stating (menyatakan) (Huang, 2005: 106).

19

4. Tuturan Menegaskan(ta’ki>d)

Menegaskan adalah menerangkan, menjelaskan, mengatakan dengan

tegas (pasti, tentu, tidak ragu-ragu), membenarkan, memastikan suatu gagasan

atau pernyataan (KBI, 2008: 1325). Tuturan menegaskan disampaikan oleh

penutur untuk menerangkan, menjelaskan, membenarkan atau memastikan

suatu gagasan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur. Tuturan

menegaskan dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yakni adanya

keraguan mitra tutur dalam menerima gagasan dari penutur, selain itu

adakalanya mitra tutur melakukan pengingkaran atau penolakan terhadap

gagasan atau pernyataan dari penutur, sehingga untuk meyakinkan mitra

tuturnya seorang penutur akan berupaya untuk menjelaskan atau menegaskan

tuturannya.

Tindak tutur menegaskan di dalam bahasa Arab disepadankan dengan

istilah „ta’ki>d’ (Baalbaki, 1990: 59). Ta’ki>d atau tauki>d merupakan

pembahasan dalam ilmu nahwu yang menjelaskan tentang pengukuhan dalam

tingkah atau perkataan seseorang, supaya dapat menjadikan kepercayaan bagi

orang yang mendengarnya. Definisi tauki>d dijelaskan oleh beberapa ahli, di

antaranya definisi dari Anwar (2006: 52) dalam kitabnya yang berjudul “ilmu

nahwu” menjelaskan:

تثبيتأمريفنفسالسامع

Tatsbi>tu amrin fi> nafsi’s-sa>mi’

“suatu penetapan yang dilaksanakan pada orang yang mendengarnya”

20

Definisi lainnya disampaikan oleh Nashif dkk (2011: 63) dalam

kitabnya “Qawa>idu'l-Lughah al-'Arabiyah”, yaitu:

دىوالتابعالرافعلالحتماليالتوك

At-tauki>du huwa’t-ta>bi’u’r-ra>fi’u lil ichtima>li

“at-taukid adalah pengulangan yang berfungsi untuk melenyapkan

anggapan”.

Tauki>d dibagi mepunyai dua bentuk, yaitu berupa tauki>d lafdzi dan

tauki>d ma’nawi. Tauki>d lafdzi adalah pengukuhan dengan lafazh yang terbagi

terbagi menjadi enam bagian sebagai berikut: ism dhahir, ism dhamir, fi’l, harf,

jumlah, dan ism mutaradhif. Adapun tauki>d ma’nawi adalah pengukuhan

dilihat dari artinya saja dengan mengulangi kata-kata مجيع-نفس -كل-عي،كلتا-كال-عامة ‘nafsun – ainun, jami>’un – kullun – ‘a>matun – kullan –kulta>’

(Patah, 2003: 81).

a. Ciri tindak tutur menegaskan

Ghulayaini (1993: 542) dalam kitabnya yang berjudul “Jami>’u Ad-

Duru>s al-‘Arabiyyah” menjelaskan artiat-ta’ki>d sebagai berikut:

.التوكيد))أوالتأكيد((تكريريرادبوتثبيتأمراملكرريفنفسالسامع

At-tauki>d ((au at-ta’ki>d)) takri>ru yura>du bihi tatsbi>tu amr’l-mukarrari fi> nafsi’s-sa>mi’

At-tauki>d atau at-ta’ki>d: pengulangan yang bermaksud untuk

menguatkan pernyataan pada mitra tutur.

21

Patah (2003: 75) menyebutkan ciri tindak tutur menegaskan, yaitu:

و وأ ن الزائ د ةالإ ن واحل ر وف الت و ك ي د ن و ن و والق س م ب ة الن س ر ف و أ ح اء ب ت د اإل مواجل م وإ ن ا الش ر ط ي ة وأ ما و ق د الف اعلوالتكر ار وت قد ي الفص ل وض م ري اإل س ي ة ل ة

ع ن وى.امل

inna wa anna wala>mu’l-ibtida>’i wa achrufin-nisbah wa’l-qasam wa nu>ni’t-tauki>di wa’l-churu>fi’z-za>idati wa’t-tikra>ri wa qad wa ama>’sy-syarthiyyah wa innama> wa’l-jumlata’l-ismiyyah wa dhami>ri’l-fashal wataqdi>mi’lfa>’il’l-ma’nawi>

„inna, anna, lam sebagai kata depan, charfu nisbah, qasam

(pernyataan sumpah), nun taukid, huruf-huruf tambahan,

pengulangan kata, qad, charfu syarat (ama>), innama>, merubah pola

kalimat fi’liyah menjadi ismiyyah, dhamir fashl, mendahulukan

fa’il ma’nawi. ‟

Shachrawi (2005: 207) dalamkitabnya yang berjudul at-

Tada>wuliyyah ‟indal-‟Ulama>il-‟Arab menyatakan bahwa ada tiga

bentuk/ciri tindak tutur menegaskan, yaitu:

1. Ada>tu tauki>d

Ada>tu tauki>d, yang sering digunakan dalam tuturan, di

antaranya إ ن dan أ ن Umumnya ada>tu tauki>d dalam bahsa Arab di atas, dalam

bahasa lndonesia diterjemahkan dengan kata sungguh atau tertentu.

Namun ada di antaranya dari ada>tu tauki>d itu yang tidak dapat dan

atau tidak perlu diterjemahkan dengan satu kata pun dalam bahasa

lndonesia (Patah, 2003: 75).

22

2. Qasam

Patah (2003: 81-82) menjelaskan makna qasam, yaitu

pernyataan sumpah yang disebut sebelum kalimat khabar (berita).

Untuk menyatakan sumpah dapat menggunakan partikelwau, ba, dan

ta.

Shachrawi membagi Qasam menjadi dua jenis, yaitu: qasam

as-su’a>l (ath-thalabi>) dan qasam al-ikhba>ri (2005: 208). Qasam

merupakan salah satu ciri tuturan menegaskan yang disebutkan

Sachrawi. Qasam yang dimaksud adalah qasam yang bertujuan untuk

menegaskan yaitu Qasam al-ikhba>ri. Qasam al-ikhba>ri adalah tuturan

qasam yang dimaksudkan untuk menekankan atau menegaskan

jawaban, bertujuan untuk menegaskan khabar (predikat). Contoh:

واهللمافعلتكذاWaalla>hi ma> fa’altu kadza>

‘ Demi Allah aku tidak melakukan yang seperti ini’.

3. Taqdi>m al-musnad ilaih

Musnad ilaih adalah sesuatu kata yang menjadi sandaran dari

kata lain (Jarim, 2007: 161).

b. Tujuan Tuturan Menegaskan

Istirabadi (dalam Shachrawi, 2005: 206) mengidentifikasi tujuan dari

ta’ki>d dalam 3 hal, yaitu:

1. Penutur mencegah kurangnya perhatian pendengar terhadapnya;

23

2. Penutur bertanggung jawab atas kesalahannya dalam bertutur apabila

dirinya tidak sengaja melakukan kesalahan, sehingga penutur harus

mengulangi frase yang diduga kurang diperhatikan oleh pendengar

dapat menyebabkan pemikiran yang salah;

3. Penutur bertanggung jawab atas dirinya sendiri yang menganggap

pendengar kurang memperhatikan.

Patah (2003: 77) dengan memperhatikan sikap orang kedua atau

mitra tutur yang kedua „kata penegas‟ digunakan pada tuturan menegaskan

dalam bahasa Arab bertujuan sebagai:

1. Untuk meyakinkan orang kedua yang sudah sedikit mengetahui

informasi, namun masih ragu dan mempertanyakan kepastian

informasi tersebut;

2. Untuk menolak sikap ingkar mitra tutur kedua yang sudah

mengetahui informasi dan membawanya untuk menyerah, sehingga

tidak lagi ingkar dan mau menerima informasi itu dengan baik.

Untuk menghadapi mitra tutur kedua yang ingkar ini terkadang

dibutuhkan tidak hanya satu tanda penegas dalam satu kalimat;

3. Untuk memberi kemantapan mitra tutur kedua yang belum tahu

informasi, akan tetapi apabila kalimat itu disampaikan kepadanya

dengan begitu saja, ia akan mempertanyakan kepastian informasi

yang disebutkan;

24

4. Untuk menghindarkan orang kedua yang sebenarnya tidak

mempunyai sifat ingkar, kemungkinan ingkar yang muncul akibat

ketidak tahuannya, atau karena adanya tanda-tanda ingkar;

5. Untuk menyatakan bahwa amanat yang disampaikan itu agung dan

mulia, tanpa melihat apakah orang kedua itu ragu/ingkar atau tidak.

F. Data dan Sumber Data

Data merupakan semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam

(dalam arti luas), yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh penulis

(Subroto, 1992: 34). Data disebut juga dengan bahan penelitian (Sudaryanto,

1993: 9). Data sebagai bahan penelitian bukanlah data mentah atau calon data,

melainkan bahan jadi yang siap dianalisis (Sudaryanto, 1993: 3). Dalam

penelitian ini yang menjadi data adalah tuturan dalam naskah drama Ahlul

Kahfi bagian pertama karya Taufiq al-Chakim.

Adapun yang menjadi objek penelitian ini adalah tuturan yang termasuk

tindak tutur asertif dalam naskah drama Ahlul Kahfi bagian pertama.

Data diperoleh dari sumber data, dari sumber data kita dapat

memperoleh data yang kita inginkan. Sumber data dalam penelitian kebahasaan

dibagi menjadi dua, yaitu sumber data lisan dan sumber data tertulis (Subroto,

1992: 33). Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan sehingga sumber data

yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis berupa naskah

drama Ahlul Kahfi bagian pertama karya Taufiq al-Chakim.

25

G. Metode Penelitian

Pemecahan masalah suatu penelitian, hendaknya penulis menelusuri

beberapa tahapan metode. Menurut Sudaryanto (1993: 5), tahapan tersebut

dibagi menjadi tiga urutan, yaitu: penyediaan data, penganalisisan data yang

telah disediakan, dan penyajian hasil analisis data yang bersangkutan. Tahapan-

tahapan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Metode pengumpulan data

Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, yaitu dengan

menyimak naskah drama Ahlul Kahfi bagian pertama. Naskah drama yang

akan disimak berupa tuturan-tuturan para tokoh drama Ahlul Kahfi.

Data yang dikumpulkan menggunakan metode simak akan dilanjutkan

dengan teknik catat. Teknik catat digunakan dengan mencatat tuturan-

tuturan drama yang termasuk dalam tindak tutur asertif, kemudian data yang

sudah dicatat akan diklasifikasikan berdasarkan bentuk-bentuk tindak tutur

asertif.

2. Metode analisis

Setelah data dikumpulkan dan diklasifikasi langkah selanjutnya adalah

analisis data. Tahapan ini memerlukan metode dan teknik tertentu sesuai

dengan masalah dalam penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode padan. Metode padan adalah metode yang alat

penentunya di luar bahasa, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa

(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Adapun sub metode

26

padan adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis adalah

metode yang alat penentunya mitra wicara (Sudaryanto, 1993: 15).

Teknik yang digunakan adalah teknik daya pilah yaitu teknik memilah

data yang bersangkutan berdasarkan terjadinya tindak tutur antara penutur

dan mitra tuturnya. Teknik dari metode padan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik dengan daya pilah sebagai pembeda reaksi dan

kadar keterdengaran. Dalam kaitannya dengan mitra wicara dapat dibedakan

pula adanya reaksi yang bermacam-macam yaitu: bertindak menuruti atau

menentang apa yang diucapkan oleh si pembicara, berkata dengan isi yang

informatif, tergerak emosinya, diam tetapi menyimak dan berusaha mengerti

apa yang diucapkan oleh pembicara (Sudaryanto, 1993: 25). Parameter yang

digunakan penulis untuk mengetahui reaksi mitra tutur dalam suatu naskah

tuturan adalah jawaban dari mitra tutur dan terkadang dapat dilihat pada

keterangan pada tanda kurung.

Adapun dalam hal kadar keterdengaran yaitu: terdengar keras bertekan

atau biasa, terdengar melengking tinggi atau biasa, terdengar cepat atau

biasa (Sudaryanto, 1993: 25). Parameter yang digunakan penulis untuk

mengetahui kadar keterdengaran mitra tutur dapat dilihat dari penggunaan

tanda baca penutur. Berdasarkan teori yang disampaikan Wijana mengenai

tanda baca, yaitu: tanda titik menunjukkan adanya intonasi datar biasanya

digunakan untuk memberitahukan sesuatu atau menyatakan sesuatu, tanda

tanya menunjukkan adanya intonasi sedikit naik digunakan untuk

menanyakan sesuatu, tanda seru menunjukkan adanya intonasi naik

27

digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan

(1996: 32).

Contoh:

ك ن م ل ؤ ىي ر ه ظ ي(آه!ط م ت )ي :اي ن ي ل ش م ش؟و ن ر ام اي ن ث ب ل م !Misyli>niya : (yatamaththa>) a>h! zhahri> yu’limuni >! Kam labitsna ya>

marnusy?

Mislinia : (berjalan sempoyongan) “aah! Punggungku sakit! Berapa

lama kita tinggal Marnus?

Pada kalimat diatas terdapat tindak tutur asertif karena tindak tutur ini

berfungsi menginformasikan apadan bagaimana keadaan yang dirasakan.

Sub tindak tutur yang terdapat dalam kalimat diatas adalah sub tindak tutur

“memberitahukan”. Penutur memberitahukan kepada mitra tuturnya bahwa

keadaannya tidak baik, penutur berharap agar mitra tutur memperhatikannya

dan bersikap baik kepada penutur.

3. Metode penyajian hasil analisis data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan model penyajian

informal yang merujuk pada metode penyajian hasil analisis oleh

Sudaryanto (1993). Metode penyajian informal adalah perumusan dengan

kata atau kalimat biasa tanpa menggunakan tanda dan lambang dan

lambang-lambang tertentu yang biasanya bersifat matematis (Sudaryanto,

1993: 145). Meskipun penyajian dilakukan dengan kata-kata biasa,

penyajian ini tetap memiliki terminologi yang bersifat teknis. Sehingga

penyajian informal digunakan dalam penelitian ini karena metode tersebut

memungkinkan penjelasan mengenai suatu kaidah secara detil, rinci, dan

28

terurai sehingga dapat memberikan nilai keterbacaan yang tinggi dari hasil

penelitian yang dilakukan. Menggunakan teknik informal dalam penelitian

ini bertujuan untuk mempermudah pembaca dalam memahami penelitian

ini.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penelitian ini dijabarkan untuk mempermudah

penguraian masalah. Adapun sistematika penulisan penelitian ini, yaitu:

Bab I merupakan Pendahuluan, yang mencakup: latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan

masalah, landasan teori, sumber data, metode penelitian dan sistematika

penelitian.

Bab II Bentuk Tindak Tutur Asertif dalam Drama Ahlul Kahfi Bagian

Pertama.

Bab III Ciri Tuturan Menegaskan dalam Drama Ahlul Kahfi Bagian

Pertama.

Bab IV Penutup, yang berisi simpulan dan saran yang berhubungan

dengan penelitian ini.